:M.ecfia a[
J{a[arnan
, •
•
• •
: ~O
°
CERPEN
OLEH MASH OAR ZAINAL •
awa pmtuo Merangkakomemenuhi ruang tengah, ruang tamu dapur k hO ' ,amar man dI, mgga merebak ke teras depano •
walnya, orang-orang mengira bahwa fWllah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjiJati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, "Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk."
••• Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun siJam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan diKibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Tbu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah berbinc,ll1g dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing goJok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakklm
nama Tuhan. Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. meminta kami untuk segena pergi lewat pintu belakang. A;ah meminta kami untuk pcrgi Ice rumah abah (bapak dari ayah) ying terletak di kola kecamatan, yq jaralatya lidak terlampall
Masih Jekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terbillU-billU meJewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi Jentera kami dari Jaknatnya malam. Beberapa kali aku terpeJeset, kakiku menancap daJam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongKu. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-billU dan. melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keri ngatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih Wltuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya. Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing api sesekali. Abah menyuruilku \IDtuk segera memejamkan mala,
.
Subuh paginya, ketika uara terdengar bergetar, abah nama ibu )11 meneJanjangi seluruh biAbah panik karena ibu sudah ada lagi di kanlarnya. duha, :lbah m ngan pulang dengan kercta unIbumu pasli sudah pulang
jjtlli. 'J(,[. liPIJfC;'
qalim :J{O.liOllll( rlll/Olle III Jr. 9rl,aan !Mertfe~ 'Timlll '.No. 14J··C"I~1 (I' t ~O') "'\jl I1 ·,/.1111 I. \' 10 I J4111 J~J4 IJ' (021) 10 IJOJ I lVUtUJ·ou(en 11(/ II()IIaC
or.la '1/111 If O"{,'" !~", (O.IIIt lil t . Id
•
:Mecfia rtan a[
•
•
.•
J{a~~ man~:~J~O~---------
•
duJuan, begitu kata abah. Sesampainya di dep~ rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang bau tembakau. Dari ela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancUT berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras . Warn a merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah karni yang kian mengecil dalam pandanganku. itu Orang-orang tampak terlunta-Iunta mengangkat karung keranda "Mengapa kita tak jadi puJang, Bah?" tanyaku. "Rumahmu masih kotor, biar illbersihkan duJu." Abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya "Kotor kenapa, Bah?" Abah terdiam beberapa jenak, "Ya kotor, mungkin semalam banjir." "Banjir? Kan semalum tidak hujan. Bah. Banjir apa?" "Ya banjir." "Banjir darah ya, Bah. kok warnanya merah." "Hus!"
:K rtan a[ • -------------------------J{a[aman o. 9vtecfr:a
•
••• Ber elang jam, pada hari yang ama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka pintu ataupun keh I3f rumah sebchun abah datang. "Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu member ihkan rumahmu dulu, ekalian jemput ibumu." Aku tak tahu apa yang tengah t rjadi di luar ana, tapi hawa mencekam itu ampai kini ma ih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bLa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar epi ekali. Sangat epi. Kampung inj eperti kampung mati. Lama sekali abal1 tak
•
•
kunjung datang. Jauh elepas ashar, bruu kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega Menyongsong abah. Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya ko ong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam. Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu. abah hanya menjawah singkat, bahwa ibu sedang
akit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayal1 mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan angat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bi a dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian-lantaran mereka pemah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu
aku tak . menangis. amun, dadaku sesak menahan ngeri.
• •• Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pemah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada ,esuatu yang ru ak dalan1 kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari
Jvlec£ia Tan a{
• •
.
J{a~m~a-l1~:~--' ----------~
•
dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi. Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus karni yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selirnut, sem ua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang karni tidak mengerti: kamar ibu selalu be\'kabut. Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba Kabut yang selalu mengepul, setelah karni menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah karni tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pe\'nah kami pahami
••• Pada akhirnya, bagi karni, kabu t ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu dan jendela lebar-Iebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk ka~ mi. Makanan dan minuman kanu selipkan melewati jendela kac~ lual'. Namun sepertinya ia tak lagt peduli dengan makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama Tak
Mung-
kinkah kabut itu . .
danSlrma-
ta yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah. I(J.., N)l'Nf.,
c,ja{rn" 'Na nlmn( 1,II(ol/rJI
y[ !MI'd/1I1 Jrft'/,ff/W ' / 111111 1 ' O. JI 'II' k!lI /I'
er
,1'1/111/
(021) l/8jJ~1/ 'I (11.'1) l(!/ l(1I1 WU "'-fltd"'/I I/I"/tIlltI/'.,, . IJ "/11,,11· 1"(,,.,,~r/l/d"'Il/ 11 /1.1
•
Jvtetfia
•
Tan a[
.•
•
J{awm~a-n--.--------------
•
I
I
•
tersentuh sama sekali. Ketika Rami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah dr depan mata kami. Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Karni tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali karni melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Karni terus menghantarnnya, mencongkelnya, . mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah. A.ku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Narnun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana Aneh, karni juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bUik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang. Karni masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari karni meneari ibu sampai ke kantor keeamatan. Karni juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu takjuga kami temukan. Hingga keganjiIan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hiiang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak penMlh ada kikisnya.
• •• Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Karni tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah karni, sebagaimana ia menelan ibu. Ketika Kabut Malang, 11-11-11
•
?rt.ema :/\ rr'a1lJJi1..a[ •• J{a[aman •
,
•
\
Karya Kemal Ezedine .l(j,i'PI'Nq qafen 'NaS/Otlil{ [nlotles/a J[ ':Mela'll9t1erle/isr 'Timur 0.14 Ja/isrrla il'tI;al rr: (011)34833954 'l,~ (021) 30iJ011 '/V/Vw.ga{m tla.liorli!i:of./.r MltllD gllrtlus@!i"Jo.I,II. /U'Ud
--