TRADISI MASA IDDAH CERAI MATI NYIRAM MAKAM (Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Iddah Masyarakat Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru, Kabupaten Indramayu)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh: TISNA NIM: 21111042
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2015
i
ii
TRADISI MASA IDDAH CERAI MATI NYIRAM MAKAM (Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Iddah Masyarakat Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru, Kabupaten Indramayu)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh: TISNA NIM: 21111042
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2015
iii
iv
v
vi
MOTO
“Sebesar apa sukses anda diukur dari seberapa
kuat keinginan anda, seberapa besar mimpi-mimpi anda, bagaimana pula anda mampu mengatasi kekecewaan dalam hidup anda.” [Robert T Kiyosaki, motivator dan penulis asal Amerika Serikat]
Seperti dalam kaidah fikih bahwasanya keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan. Maka niat adalah ukuran dalam menilai benarnya suatu perbuatan, oleh karenanya, ketika niatnya benar, maka perbuatan itu benar, dan jika niatnya buruk, maka perbuatan itu buruk.
vii
PERSEMBAHAN Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada: 1. Skripsi ini kupersembahkan kepada Sang Maha Cinta, Allah Swt, dan panutan hidup, Nabi Muhammad Saw. 2. Kepada Bapak Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si yang telah sabar dan tak pernah lelah membimbing, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini 3. Kepada Keluarga besar pp. al-Islah, terutama Bapak K. Selamet Idris, K.H. Jainal Abidin, K. Rofiq yang takhenti-hentinya memberikan dukungan serta Do‟anya. 4. Kepada Ayah anda Warnadi alm dan Ibu Ratimpen yang selalu mendukung dan mendoakanku. 5. Kepada Keluarga besar Kess De Joung dan Tuti yang selalu mendukung, memotivasi dan mendoakanku. 6. Kepada Mr. Hans Biermans dan Mr. Wim yang selalu mendukung dan mendoakanku. 7. Kepada teman-teman organisasi PMII Komisariat Joko Tingkir Salatiga, Wushu IAIN Salatiga, GEMAK Syariah, Teater Lintang Songo, teman-teman kampus satu dan kampus dua, yang selelu memotivasi dan mendoakanku. Terimakasih atas dukungan kalian semua, saya mampu menyelesaikan perjuanganku menuju gelar sarjana Hukum Islam dan menjadi orang yang besar seperti sekarang ini, Semoga amal-amal kalian dicatat sebagai amal yang memenuhi timbangan kelak di akhirat dan mendapatkan ridha-Nya, Amiin
viii
KATA PENGANTAR Al-Hamdulillah, puji beserta syukur kehadirat Ilahi Robbi yang telah memberikan hidayah dan kekuatan, sholawat beriring salam atas junjungan besar Nabi Muhammad SAW, semoga kita mendapatkan safaatnya, amin. Setelah merintas waktu yang cukup panjang dan melelahkan, sebuah karya yang sangat sederhana ini, pada akhirnya terselesaikan juga, tentunya setelah melewati berbagai macam tantangan dan rintanagan yang penulis rasakan, terutama perang pikiran antara idealisme dan realisme. Namun berkat ketabahan, kesabaran dan kekuatan, serta besarnya dorongan moril dari keluarga dan temanteman, maupun doa yang senantiasa penulis panjatkan kepada Ilahi Robbi, pada akhirnya proses penulisan skripsi ini terselesaikan juga. Karya ini, penulis sadari sangat jauh dari kesempurnaan, banyak kekurangan di dalamnya. Namun ini semua tentunya merupakan proses pembelajaaran yang penulis sadari “bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini”. Semoga akan menjadi pegangan yang berarti bagi penulis untuk dapat berkarya dikemudian hari, serta dapat memberikan manfat bagi kita semua. Kemudian, karya ini akan sangat sulit terselesaikan tanpa bantuan dan dorongan dari semua pihak, maka ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada : 1. Kepada Bapak Dr. Rachmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Kepada Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga. 3. Kepada Bapak Sukron Ma‟mun, M. Si selaku Kajur Ahwal AlSyakhshiyyah IAIN Salatiga. 4. Kepada Ibu Heni Satar N, S.H., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik. 5. Bapak Sukron Ma‟mun, M. Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi. 6. Kepada seluruh dosen IAIN Salatiga dan karyawan akademik yang tidak dapat saya sebut satu persatu. ix
x
ABSTRAK Tisna : Tradisi Masa Iddah Cerai Mati Nyiram Makam Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Iddah Masyarakat Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru, Kabupaten Indramayu. Skripsi Fakultas Syari‟ah, Jurusan Ahwal AL-Syakhshiyyah, Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Sukron Ma‟mun, M.Si
Kata Kunci: Tradisi Masa Iddah Cerai Mati Iddah pada umumnya bahwasanya seseorang wanita tidak boleh keluar dari rumah ketika sedang menjalankan masa iddah akan tetapi pada kenyataanya ada tradisi yang dilakukan di masyarakat Kebon Randu ketika suaminya meninggal, mereka melakukan ritual dengan memberi makan kepada suaminya dengan cara menyuguhkan sesajen di dalam rumah dan diletakan di pedaringan. Disamping meraka menjalankan syariat Islam mereka juga melakukan ritual sesajen bahkan tidak hanya itu saja ada ritual lain yang dipercayai masyarakat Kebon Randu seperti menyalakan damar di dalam kurungan ayam, bahkan ada kebiasaan keluar malam hari untuk memberikan air yang sudah di do‟akan yang berisi bunga tujuh rupa kemudian diantarkan ke makam suaminya bersama orang lain, dari situlah muncul pertanyaan bahwasanya bagaimana tradisi iddah cerai mati di Desa Kebon Randu? Apa makna tradisi cerai mati di Desa Kebon Randu? Terus bagaimana presepektif hukum Islam mengenai masa iddah cerai mati di Desa Kebon Randu? Dari pemaparan diatas maka saya mengangkat judul TRADISI MASA IDDAH CERAI MATI NYIRAM MAKAM (Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Iddah Masyarakat Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru, Kabupaten Indramayu) sebagagai SKRIPSI. Metode penilitian yang digunakan adalah jenis penelitian lapangan (field research) dalam pelaksanaanya menggunakan metode pendekatan kualitatif diskripsi analisis yang umumnya menggunakan strategi multi media yaitu wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen/studi dokumenter, dengan pendekatan normatif dan sosiologis, normatif digunakan untuk mengetahui hukum iddah tersebut sedangkan sosiologis digunakan untuk mengetahui kondisi atau pelaksanaan tradisi masa iddah di masyarakat Kebon Randu II. Hasil dari penelitian tradisi cerai mati nyiram makam di desa Kebon Randu yaitu iddahnya dengan memberikan makan kepada suaminya yang telah meninggal, seperti sesajen dan keluar dimalam hari bersama laki-laki lain selama 7 hari. Hukumnya haram, apabila berniat mendekatkan diri kepada jin, ini seperti dijelaskan dalam surat an-Nisaa‟ayat 48 perbuatan syirik (menyekutukan-Nya). Hukumnya boleh, jika diniatkan dengan sedekah dan medekatkan diri pada allah. Ini berdasarkan dalam kaidah fikih ada yang namanya kaidah Al-„Adah Al-Muhakkamah yang mana memiliki arti bahwa adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum. Menurut Abdurrahman wanita yang sedang dalam masa iddah juga dilarang keluar rumah baik siang hari maupun malam hari. Ulama Hanafi mengatakan, perempuan yang menjalani masa iddah karena ditalak satu, dua, tiga tidak boleh keluar rumah siang hari maupun malam hari.
xi
DAFTAR ISI SAMPUL ......................................................................................................... i LEMBAR BERLOGO ..................................................................................... ii JUDUL ............................................................................................................. iii NOTA PEMBIMBING .................................................................................... iv PENGESAHAN ............................................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................... vi MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................. viii KATA PENGANTAR ..................................................................................... x ABSTRAK ....................................................................................................... xi DAFTAR ISI .................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................ 3 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 3 D. Penegasan Istilah ................................................................................. 4 E. Kerangka Teori ..................................................................................... 6 F. Telaah Pustaka...................................................................................... 10 G. Matode Penelitian ................................................................................. 16 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian..................................................... 16 2. Pendekatan Penelitian .................................................................... 20 3. Waktu Penelitian dan Kehadiran Penelitian ................................... 20 4. Lokasi Penelitian ............................................................................ 21 5. Sumber Data ................................................................................... 21 6. Metode Analisis Data ..................................................................... 23 7. Pengecekan Keabsahan Data.......................................................... 23
xii
8. Tahap Penelitian ............................................................................. 24 H. Sistematika Pembahasan ...................................................................... 25 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASA IDDAH CERAI MATI A. Penegertian Iddah…………………………………………………… 27 1. Iddah Menurut Fiqih ........................................................................ 27 2. Iddah Menurut KHI ......................................................................... 30 B. Hukum Iddah dalam Al-Qur‟an dan Hadis .......................................... 31 1. Dasar Hukum dari Firman Allah ...................................................... 31 2. Dasar Hukum dari Hadist ................................................................. 32 3. Ketentuan Masa Iddah dalam UU KHI ............................................ 34 C. Macam-Macam Iddah ......................................................................... 34 1. Iddah Bagi Perempuan Karena Cerai Mati ...................................... 34 2. Iddah Bagi Perempuan Hamil .......................................................... 35 3. Iddah Bagi Cerai Mati dalam Kondisi Haid..................................... 36 4. Iddah Cerai Bagi Perempuan yang Tidak Haidl (Monopause) ........ 37 5. Iddah Cerai Belum Bercampur dengan Suaminya ........................... 37 D. Pendapat Ulama Tentang Iddah ........................................................... 38 1. Iddah Perempuan Kematian Suami .................................................. 38 2. Iddah Bagi Wanita yang Berhias ..................................................... 39 E. Manfat dan Hikmah Iddah .................................................................. 40 1. Manfaat Iddah .................................................................................. 40 2. Hikmah Iddah ................................................................................... 40 BAB III ISI GAMBARAN UMUM TRADISI ADAT INDRAMAYU A. Sejarah Indramayu ............................................................................... 41 1. Sejarah Indramayu ............................................................................ 41 2. Nilai-nilai Budaya Tradisi Indramayu ............................................. 45 B. Iddah dalam Tradisi Indaramayu ......................................................... 54 C. Makna Iddah dalam Tradisi Indaramayu ............................................. 58 D. Pengaruh Tokoh Adat dalam Tradisi Iddah di Indramayu ................... 62
xiii
E. Pandangan Masyarakat Indramayu terhadap Iddah ............................. 66 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI IDDAH MASYARAKAT KEBON RANDU II, KECAMATAN ANJATAN BARU, KABUPATEN INDRAMAYU A. Tradisi Iddah Cerai Mati di Desa Kebon Randu .................................. 68 B. Makna Tradisi Masa Iddah Cerai Mati di Desa Kebon Randu ............ 75 C. Presepektif Hukum Islam Tradisi Iddah Cerai Mati ............................ 80 BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................... 88 B. Saran ..................................................................................................... 90 1. Untuk Desa Kebon Randu ............................................................... 90 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Hasil Wawancara Tradisi Indramayu 2. Hasil Wawancara Iddah dalam Tradisi Indaramayu 3. Hasil Wawancara Makna Iddah dalam Adat Jawa 4. Hasil Wawancara Pengaruh Tokoh Adat dalam Tradisi Iddah 5. Hasil Wawancara Pandangan Masyarakat Jawa Terhadap Iddah dan Latar Belakang Tradisi Masa Iddah Cerai Mati
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum Islam terdapat hukum syara‟ yang mengatur ibadah seseorang, dimana hukum syara‟ tersebut adalah salah satu dari beberapa objek kajian ushul fiqh. Dalam hal ini istilah hukum syara‟ bermakna hukum-hukum yang digali dari syari‟at Islam. Oleh karena itu, begitu penting kedudukan hukum syara‟ dalam kehidupan sehari-hari, seperti hanya dalam masalah iddah bagi seorang perempuan. Dalam masa iddah terdapat hukum yang menjelaskan bahwa semua wanita yang berpisah dari suaminya dengan sebab talak khulu‟ (gugat cerai), faskh (penggagalan akad pernikahan) atau ditinggal mati, dengan syarat sang suami telah melakukan hubungan suami isteri dengannya atau telah diberikan kesempatan dan kemampuan yang cukup untuk melakukannya, dalam hal ini seorang isteri wajib menjalankan masa iddah tersebut. Dalam kitab fikih disebutkan, iddah wanita berarti hari-hari kesucian wanita dan pengkabungannya terhadap suami. Dalam istilah fuqaha‟ iddah adalah masa menunggu wanita sehingga halal bagi suami lain (Hawwas & Azzam, 2011: 318). Iddah dimaksudkan untuk menjaga wanita tersebut dari tercampurnya laki-laki lain yang akan menikahinya dan untuk menjaga kebersihan rahimnya atau masa tenggang waktu dimana janda bersangkutan tidak boleh kawin, dan dilarang pula menerima pinangan atau lamaran. Bahakan dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqar‟ah ayat 234, bahwasanya
1
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri itu menangguhkan dirinya (ber‟iddah) selama empat bulan sepuluh hari” Kemudian diperkuat dengan surat AthThalaq ayat 1, bahwasanya: “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru” Dalam hukum Islam dijelaskan iddah pada umumnya yaitu seseorang wanita tidak boleh keluar dari rumah ketika sedang menjalankan masa iddah akan tetapi pada kenyataanya ada tradisi yang dilakukan di masyarakat Kebon Randu, ketika suaminya meninggal, mereka melakukan ritual dengan memberi makan kepada suaminya dengan cara menyuguhkan sesajen di dalam rumah dan diletakan di pedaringan (tempat penyimpanan beras). Disamping meraka menjalankan syariat Islam mereka juga melakukan ritual sesajen bahkan tidak hanya itu saja ada ritual lain yang dipercayai masyarakat Kebon Randu seperti menyalakan damar (lampu penerangan) di dalam kurungan ayam, bahkan ada kebiasaan keluar malam hari untuk memberikan air yang sudah di do‟akan yang berisi bunga tujuh rupa kemudian diantarkan ke makam suaminya bersama orang lain atau tetangganya. Dari situlah muncul pertanyaan bahwasanya bagaiman tradisi iddah cerai mati di Desa Kebon Randu? Apa
2
makna tradisi cerai mati di Desa Kebon Randu? Terus bagaimana presepektif hukum Islam mengenai masa iddah cerai mati di desa Kebon Randu?. Dari pemaparan di atas maka penelitian ini mengangkat judul TRADISI MASA IDDAH CERAI MATI NYIRAM MAKAM (Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Iddah Masyarakat Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru, Kabupaten Indramayu). B. Rumusan Masalah Berdasarkan gambaran dan uraian di atas penyusun dapat merumuskan pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini meliputi: 1. Bagaimana tradisi iddah cerai mati di Desa Kebon Randu II? 2. Apa makna tradisi masa iddah cerai mati di Desa Kebon Randu II? 3. Bagaimana presepektif hukum Islam mengenai masa iddah cerai mati di Desa Kebon Randu II? C. Tujuan dan manfaat Penelitian 1. Tujuan a. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan adat Jawa terhadap tradisi masa iddah cerai mati dalam masyarakat Kebon Randu. b. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan makna tradisi masa iddah cerai mati dalam masyarakat Kebon Randu. c. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan presepektif hukum Islam mengenai masa iddah cerai mati di Desa Kebon Randu.
3
2. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut: a. Memeperluas wawasan dalam ranah keilmuan fiqih mengenai masa iddah. b. Sebagai bahan referensi pembelajaran ilmu fiqih munakahat khususnya mengenai tradisi masa iddah cerai mati. c. Sebagai kajian ilmu fiqih dalam syariat Islam. d. Sebagai penambah wawasan dalam keilmuan khususnya dalam bidang fiqih munakahat mengenai masa iddah dan bisa bermanfaat bagi semuanya. e. Menetahui pandangan hukum Islam tentang masa iddah cerai mati di Desa Kebon Randu. f. Mengetahui makna tradisi masa iddah cerai mati di Desa Kebon Randu. D. Penegasan Istilah Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda dengan maksud peneliti, maka penulisan akan menjelaskan istilah dalam judul ini. Istilah yang perlu dijelaskan penulisan adalah: 1. Adat atau Tradisi adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang bernilai sepiritual yang di dalamnya terkandung kepercayaan atau
4
keyakinan yang harus dilakukan dan memiliki sangsi yang mengikat bagi yang melakukan dan dilakukan turun temurun (Djoko, 2012). 2. Iddah adalah menurut bahasa dari kata “al-udd” dan “al-ihsha” yang berati bilangan atau hitungan, maksudnya menghitung hari kesucian wanita dan pengkabungannya terhadap suami. Dalam istilah fuqaha‟ iddah adalah masa menunggu wanita sehingga halal bagi suami lain (Hawwas & Azzam, 2011: 318). 3. Cerai adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan keputusan pengadilan (UU Perkawinan No 1 tahun 1974, Pasal 38). 4. Mati adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis atau terpisahnya antara roh dan tubuh (Artikel, 2015). Jadi tradisi masa iddah cerai mati adalah sustu kegiatan menunggu untuk kebersiahan rahimnya seseorang yang bernilai sepiritual dan di dalamnya terkandung kepercayaan atau keyakinan yang harus dilakukan dan memiliki sangsi yang mengikat bagi yang melakukan. Sesajen berasal dari kata sesajian atau yang biasa disingkat dengan ‟sajen‟ ini adalah istilah atau ungkapan untuk segala sesuatu yang disajikan dan dipersembahkan untuk sesuatu yang tidak tampak bahkan ditakuti atau dipercayai sebagai leluhur, seperti roh-roh halus, para penunggu atau penguasa tempat yang dianggap keramat atau angker, atau para roh orang yang sudah mati. Sesajian ini bisa berupa makanan, minuman, bunga, atau benda-benda lainnya. Bahkan termasuk di antaranya adalah sesuatu yang bernyawa.
5
Adapun kemungkinan istlah yang belum diketahui oleh penulis, maka dari itu penulis melakukan observasi lapangan di Desa Kebon Randu, guna memperjelas istilah dalam penulisan skripsi. E. Kerangka Teori Menurut hukum Islam seseorang wanita cerai mati ketika ditinggal wafat oleh suaminya diwajibkan menjalankan masa iddah. Dan masa iddahnya adalah empat bulan 10 hari. Hal itu memang sudah menjadi ketetapan Allah SWT dan diabadikan di dalam Al-Qur‟an Al-Karim.
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri itu menangguhkan dirinya (ber‟iddah) selama empat bulan sepuluh hari (QS. Al-Baqarah: 234) (Jateng: 2004 hlm71-72). 1. Iddah bagi wanita yang berhias Wanita yang berhiasa bermaksud perempuan yang diceraikan sebelum disetubuhi. Hal ini, berbeda pandangan ulama mengenai kewajiban beriddah bagi perempuan dalam keadaan suci. Bahkan ulama mazhab berdebat mengenai perselisihan iddah bagi wanita yang berhias yaitu: a. Syafi‟i tiadak wajib iddah sekiranya tiada percampuran diantara mereka sekalipun juga pasangan tersebut berkhalwat. b. Jumhur Ulama‟ tiadak wajib sekiranya belum berlaku percampuran dan juga tidak berkhalwat tetapi wajib iddah sekiranya pernah berkhalwat.
6
2. Iddah Perempuan Karena Mati Iddah perempuan karena mati yaitu perempuan yang diceraikan dalam keadaan mati suaminya, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari sekalipun perempuan tersebut di dalam keadaan belum pernah mengalami haid, mengandung, telah mengalami haid, telah putus masa haid, telah dicampuri atau belum dicampuri. Tetapi ulama berbeda pendapat dalam keadaan seperti dibawah ini. Keadaan semasa perceraian dan pendapat mazhab. a. Jumhur Ulama‟ mengatakan bahwasanya iddah seseorang yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi hamil maka iddahnya sepertimana orang hamil atau sampai anak itu lahir. Ini untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang dalam keadaan hamil atau tidak, karena dalam syariat Islam telah mensyariatkan masa 'iddah untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan. b. Jumhur Ulama mengatakan bahwasanya iddah seseorang yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi haid maka memperbaruhi iddahnya sampai 3 kali suci. Iddah ini untuk perempuan yang sedang dalam kondisi haid, ketika ditinggal mati suaminya, maka iddahnya perbaharui dengan masa iddah 3 kali suci. c. Jumhur Ulama‟ mengatakan bahwasanya iddah seseorang yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi telah putus masa haid maka meneruskan dengan 3 kali suci (Bain). Iddah ini untuk perempuan yang
7
sedang dalam kondisi telah putus masa haid, maka masa iddah perempuan menjadi 3 kali suci (Bain). d. Syafie & Maliki seseorang isteri yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi telah dicampuri maka iddahnya Lanjut tempoh iddah supaya cukup tempoh iddah mati. Karena dalam masa iddah seseorang wanita dilarang untuk menikah sebelum masa iddah itu selesai. Ini digunakan untuk mengetahui kebersihan rahim seseorang wanita. e. Hanafi & Hambali seseorang isteri yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi belum dicampuri maka iddahnya di ubah menjadi iddah mati. Iddah ini untuk perempuan yang belum dicampuri. Sedangkan, ketika dalam kondisi haid dan sudah di talak sebelum meninggal maka iddahnya seperti iddahnya mati suaminya atau 3 kali suci Bain (Hayazi, 2009). Sedangkan dalil dari sunah banyak sekali, di antaranya:
ْ َسبَ ُْ َعتُ َكا َّ ًَّصه َج ُ سهَّ َى أ َ ٌَّ ْاي َشأَة ً ِي ٍْ أ َ ْسهَ َى َُقَا ُل نَ َها َ ُاَّلل َ َ عهَ ُْ ِه َو َ ع ٍْ أ ُ ِ ّو َ ٍِ ّ سهَ ًَتَ صَ ْوسِ انَُّ ِب َ ٍِ ُح ْبهًَ فَ َخ ْ سَُا ِب ِم ب ٍُْ َب ْع َككٍ فَأ َ َب ُج أ َ ٌْ ح َ ُْ ِك َحه َّ ط َب َها أَبُى ان َ ٍ َ ع ُْ َها َوه َ ّحَحْ جَ صَ ْو ِص َها ح ُ ُى ِف ْ َ آخ َش ْاْل َ َصهَُ ٍِْ فَ ًَ ُكز َّ فَقَا َل َو ع ْش ِش نَ َُا ٍل ِ ٌِّصهُ ُح أ َ ٌْ ح َ ُْ ِك ِحُ ِه َحخًَّ ح َ ْعخَذ ْ ََ اَّللِ َيا َ ٍْ ج قَ ِشَبًا ِي ْ ر ُ َّى َصا َء َّ ًَّصه ٍسهَّ َى فَقَا َل ا َْ ِك ِح َ ُاَّلل َ عهَ ُْ ِه َو َ ٍ َّ ث انَُّ ِب Artinya: Dari Ummi Salamah isteri Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai‟ah ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin Ba‟kak melamarnya, namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata, "Demi Allâh, dia tidak boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia
8
mendatangi Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, "Menikahlah!" [HR alBukhâri no. 4906] (Syamhudi, 2013). Sedangkan dalil dalam As Sunnah cukup banyak, di antaranya hadits Furai'ah binti Malik bin Sinan, saudari perempuan Abu Said Al-Khudhri radhiyallahuanha. Ketika suaminya wafat, Rasulullah SAW memerintahkan untuk menetap di dalam rumah suaminya, hingga selesai masa iddahnya.
َ أ َ َي َشهَا أ َ ٌْ ح ًَْ ُك-سهَّ َى َّ ًَّصه َّ سى َل ٍ ِعذّح ُ َها ُ أ َ ٌَّ َس َ ُاَّلل َ عهَ ُْ ِه َوآ ِن ِه َو َ - ِاَّلل َ ذ فٍِ بَ ُْخِ َها َحخًَّ ح َُخ َ ِه Artinya: Rasulullah SAW memerintahkannya untuk menetap di dalam rumahnya hingga selesai masa iddahnya. (HR. Malik, As-Syafi'i, Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i, At-Tirmizy dan Ibnu Majah). Al-Hakim dan Ibnu Hibban menshahihkan hadits ini. Dan oleh karena itulah maka umumnya para ulama sepakat mengharamkan wanita keluar rumah selama masa iddahnya. Dan pendapat inilah yang lebih rajih dan lebih banyak diterima oleh para ulama. Sedangkan para ulama yang berbeda pendapat, di antaranya mazhab AlMalikiyah, Asy-Syafi‟iyah dan Al-Hanabilah, serta Ats-Tsuari, Al-Auza‟i, Allaits dan yang lainya, mengatakan bahwa bagi wanita yang ditalak bain, yaitu talak yang tidak memungkinkan lagi untuk dirujuk atau kembali, seperti ditalak untuk yang ketiga kalinya, maka mereka diperbolehkan untuk keluar rumah, setidak-tidaknya pada siang hari. Alasannya karena wanita yang telah ditalak seperti itu sudah tidak berhak lagi mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Dan dalam keadaan itu, dia wajib mencari nafkah sendiri dengan kedua tangannya. Maka tidak masuk akal bila wanita itu tidak boleh keluar
9
rumah, sementara tidak ada orang yang berkewajiban untuk menafkahi (Sarwat, 2013). F. Telaah Pustaka Setelah penulis melaksanakan penelusuran literatur yang membahas mengenai iddah, penulis telah menemukan beberapa refrensi khususnya dari skripsi dan beberapa buku. Diantaranya yang dapat dijadikan sumber Telaah Pustaka adalah sebagai berikut: Pertama: skripsi Muria Ulfa (2013) fakultas syari‟ah dan hukum jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah. yang menulis dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penggunaan Taspack Sebagai Pengganti Masa ‟iddah”. Yang melatar belakangi skripsi ini yaitu kewajiban iddah bagi perempuan yang bercerai dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati. Iddah di syaratkan bagi perempuan tersebut karena dalam hukum iddah mengandung banyak kemasalahatan yang kembali kepada suami, isteri keluarga dan masyarakat. Kemasalahatan iddah untuk melindungi dan memelihara keturunan dari ketercampuran dengan laki-laki lain yang akan dinikahi. Sebab kesucian permpuan selama masa iddah tanpa menikah dapat diketahui dari kebebasan dan kekosongan rahimnya dari adanya janin yang ada di dalam rahimnya. Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang canggih, hasilhasil yang dicapai ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK) ini luar bisa. Berkaitan kemajuan tekhnologi dalam bidang kedokteran dan juga rekayasa
10
manusia yang sangat mengagumkan, kebersihan rahim seseorang perempuan dapat diketahui melalui alat tes kelamin Tespack (Home Pregnancy Test). Tespack ini adalah salah satu dari sekian banyak alat tes kelamin yang praktis dan lebih pribadi. Tespack bekerja dengan cara mendeteksi hormon HCG (Human Chorionic Goandortopin) yang terdapat pada urin dan hanya dengan menunggu beberapa menit saja rahim seorang wanita dapat diketehui apakah didalamnya terdapat janin atau tidak ada tanda positif atau negatif. Dengan adanya alat pendeteksi kehamilan dalam waktu singkat dan hasil yang akurat tersebut tentu saja telah menimbulkan implikasi hukum terhadap iddah. Mungkin dengan adanya tespack dapat menggugurkan kewajiban beriddah. Penelitian ini merupakan peneliti pustaka library research yaitu penelitian dilakukan dengan jalan menelaah bahan-bahan pustaka baik berupa buku, kitab, jurnal, maupun sumber lainya. Tekhnik dalam penelitian ini adalah studi keperpustakan, sedangkan pengumpulan datanya adalah menggunakan data primer dan data sekunder. Pendekatan penelitian ini di gunakan dengan normatif dan serta filosofis, yaitu pendekatan dengan melihat persoalan dikaji dengan berlandaskan pada teks-teks Al-Quran dan Al Hadist, Kitab Usul Fiqih serta pendapat ulama yang berkaitan dengan masa iddah. Pendekatan filosofis dengan memahami masalah tersebut dengan hikmahhikama dan tujuan yang terkandung dalam suatu penetapan hukum. Analisis dalam penelitian ini adalah berpola metode dedukatif, yaitu metode berfikir yang bertitik tolak dari data yang bersifat umum untuk diambil kesimpulan yang bersifat khusus. Hasil penelitian ini ialah, adanya alat uji kelamin tespeck 11
tidak bisa mengubah ketentuan hukum iddah, karena kebersihan rahim bukan satu-satunya faktor yang dapat menghilangkan ketentuan iddah melainkan ada faktor lain yang tidak bisa dipisahkan yaitu, ta‟abudi yang merupakan hak allah yang harus dilaksanakan, selain itu juga rasa bela sungkawa bagi seorang isteri atas kepergian suaminya, dengan adanya kemasalahatan ini maka iddah tidak boleh ditiadakan (Muria: 2013). Kedua: Skripsi Jundhi, Faris, Ahmad. (2013) Fakultas Syari‟ah Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah. yang menulis dengan judul “Pemberian Nafkah Iddah pada Cerai Gugat, (Studi Pemberian Nafkah Iddah Pada Cerai Gugat. No 1925/Pdt.G/2010/PA.pt)” Dalam tulisan ini menjelaskan tentang pemberian nafkah iddah pada cerai gugat. Yang melatarbelakangi penelitian ini yaitu dalam putusan perkara cerai talak hakim di Pengadilan Agama mewajibkan seorang suami membayar nafkah iddah kepada mantan istrinya. Sedangkan untuk putusan cerai gugat dalam hukum fiqh tidak memberikan nafkah iddah bagi mantan isteri karena isteri dianggap nuzyuz. Isteri yang menuntut cerai dari suaminya dapat menggugurkan hak-haknya di masa mendatang, seperti hak nafkah selama iddah, nafkah mut‟ah (nafkah untuk istri yang dicerai tanpa alasan setelah masa iddah) dan mahar yang belum sempat terbayar. Namun dalam putusan cerai gugat di Pengadilan Agama Pati mengenai kasus cerai gugat hakim memberikan putusan dengan mengabulkan gugatan cerai gugat tersebut dengan membebankan biaya nafkah iddah pada suami. Adapun tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini selesai adalah mengetahui bagaimana hak nafkah iddah isteri setelah mengajukan cerai gugat kepada
12
suaminya dalam fiqh, menurut perundang-undangan dan landasan hukum hakim dalam putusannya. Penelitian ini merupakan hasil dari penelitian lapangan (field research). Jenis Penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif deskriptif analisis. Hasil penelitian
yang diperoleh adalah
pertama,
hakim
mempertimbangan
pemberian nafkah iddah dan mut‟ah pada talak ba‟in ini didasarkan pada pendapat
Imam
Hanafi,
kedua,
dalam
putusan
PA
Pati
No.
1925/Pdt.G/2010/PA.Pt ini pemberian nafkah iddah oleh majelis hakim juga didasarkan dengan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007, Ketiga, Adanya 5 dasar pertimbangan hakim yaitu keadilan, ketertiban hukum, menempatkan harkat perempuan pada porsinya, adanya kelayakan suami memberi nafkah iddah, adanya kelayakan bekas istri menerima nafkah iddah (Jundhi: 2013). Ketiga: Muhammad Fahmi Rois (2013) Fakultas Syari‟ah Al-Ahwal AsySyakhshiyyah. yang menulis dengan judul “Penentuan Awal Masa Iddah Menurut Fiqih Munakahat dan KHI”. (Studi terhadap pendapat hakim Pengadilan
Agama
Salatiga
dan
kepala
KUA
Argomulyo).”
Yang
melatarbelakangi pengambilan judul skripsi ini yaitu adanya penentuan, awal, „iddah. Dalam penelitian ini berusaha meneliti perbedaan konsep masa„iddah antara Fiqh dan KHI. Penelitian ini mengkhususkan pada penentuan awal dimulainya masa„iddah. Permasalahan utama yang akan dibahas melalui penelitian ini adalah bagaimana penentuan awal masa „iddah menurut fiqh, 13
bagaimana penentuan awal masa„iddah menurut KHI, bagaimana pelaksanaan penentuan
awal masa „iddah? Dalam pembahasan permasalahan tersebut
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan landasan berfikir yuridis empiris. pengumpulan data
pada
penelitian ini dilakukan dengan
mencari literatur yang membahas tentang masalah „iddah dan wawancara kepada hakim-hakim Pengadilan Agama Salatiga dan kepala KUA Kecamatan Argomulyo. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa awal masa „iddah dalam fiqh penentuan awal masa„iddah tergantung pada kondisi wanita saat perceraian terjadi dalam keadaan suci sedang haid, sudah dikumpuli dalam masa suci atau tidak berhaid. Pada wanita berhaid yang bercerai dalam keadaan suci dan belum berkumpul pada masa suci „iddahnya dumulai sejak masa suci saat terjadinya perceraian. Pada wanita berhaid yang bercerai dalam keadaan haid atau telah berkumpul pada masa suci saat bercerai „iddahnya mulai dihitung pada masa suci setelahnya. Dan pada wanita yang tidak berhaid, „iddahnya dihitung sejak hari jatuhnya. Dalam KHI „iddah dihitung sejak penetapan perceraian yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Penetapan berkekuatan hukum tetap apabila tidak ada upaya hukum dari tergugat selama batas waktu pengajuan upaya hukum. Apabila ada upaya hukum, maka „iddah dihitung sejak penetapan upaya hukum telah berkekuatan hukum tetap. Pelaksanaan penentuan awal masa„iddah
dilakukan oleh KUA berdasarkan
tanggal
atas/induk kalimat yang terdapat pada isi dari akta cerai. Tanggal atas pada
14
akta cerai adalah tanggal dimana pembacaan akta talak pada cerai talak atau tanggal putusan bekekuatan hukum tetap pada cerai gugat (Muhamad: 2013). Setelah membaca dari berbagai sumber referensi yang ada, peneliti tidak menemukan masa iddah dalam tradisi Jawa seperti nyiram makam, kebanyakan pembahasan mengenai hukum iddah tersebut, seperti tinjauan hukum Islam terhadap penggunaan taspack sebagai pengganti masa ‟iddah, pemberian nafkah iddah pada cerai gugat, penentuan awal masa iddah menurut fiqih munakahat dan KHI. Dalam hal ini peneliti terletak pada tradisi masa iddah cerai mati adat Jawa, dalam masyarakat Indramayu desa Kebon Randu II, mengapa peneliti memilih judul ini karena setiap manusia itu mempunyai sifat yang berbeda dan karekter yang berbeda sehingga mempunyai pandangan yang berbeda, sehingga menimbulkan kepercayaan atau keyakinan dan pemahaman yang berbeda pula, begitu juga dengan masyarakat Kebon Randu II, bahwasanya ketika suaminya telah meninggal dunia ia melaksanakan masa iddah-nya sesuai dengan syari‟at Islam disamping itu mereka memiliki kepercayaan bahwasanya ada tradisi seperti memberi makan kepada suaminya, dengan mengirimkan sesejen di dalam rumah seperti tempat pedaringan (tempat penyimpanan beras), tempat kurungan yang kemudian di dalamnya ada damar (lampu), dan masih ada lagi hal-hal yang lain yang belum peneliti ketahui tentang masa iddah tradisi masyarakat Kebon Randu. Kemudian penliti timbul pertanyaan, bahwasanya Bagaimana tradisi iddah cerai mati di desa Kebon Randu, Apa makna tradisi masa iddah cerai mati di desa Kebon Randu,
15
Bagaimana presepektif hukum Islam mengenai masa iddah cerai mati di desa Kebon Randu, maka dari itu peneliti mengangkat judul ini. F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research) dalam pelaksanaanya menggunakan metode pendekatan kualitatif diskripsi analisis yang umumnya menggunakan strategi dengan metode pengolahan data seperti wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen/studi documenter yang antara satu dengan yang lain saling melengkapi, memperkuat dan menyempurnakan (Sukmadinata, 2005:108). Dalam laporan penelitian ini data memungkinkan berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto. a. Metode Wawancara Mendalam (Depth Interview) Wawancara (Interview) adalah tanya-jawab atau pertemuan dengan seseorang untuk suatu pembicaraan. Metode wawancara dalam konteks ini berarti proses memeperoleh suatu fakta atau data dengan melakukan komunikasi langsung (tanya-jawab secara lisan) dengan responden penelitian, baik secara temu wicara atau menggunakan tekhnologi komunikasi (jarak jauh). Dalam wawancara ini ada dua belah pihak yang berinteraksi
yaitu
yang
bertanya
disebut
dengan
Interviewer
(pewawancara) dan Interviewee (yang diwawancarai atau dalam penelitian disebut dengan responden) (Supardi, 2005: 121).
16
Dalam penelitian wawancara ini dilakukan secara mendalam mengetahui informasi data dari tokoh adat seperti Bapak Kebon, Bapak Dasuki, Bapak Tarma dari narasumber ini untuk mengetahui pengaruh tokoh adat dan mengenai latar belakang tradisi cerai mati di desa Kebon Randu. Sedangkan untuk masyarakat yang melaksanskan adat atau trdisi cerai mati adat Jawa desa Kebon Randu seperti Ibu Naritem, Ibu Casitem, Ibu Tani, Ibu Item narasumber ini digunakan untuk mengetahui proses pelaksanaan tradisi masa iddah cerai mati seperti Nyiram Makam dan untuk mengetahui apa saja yang di perlukan dalam tradisi tersebut. Sedangkan untuk tokoh agama di masyarakat Kebon Randu seperti Bapak Muhaimin, Bapak Tarma, Bapak Rosid, narasumber ini digunakan untuk mengetahui persepektif hukum Islam dan pendapat mereka mengenai tradisi masa iddah adat Jawa dan masyarakat setempat yang dianggap mengerti tentang adat di desa Kebon Randu seperti Ibu Sayu, Ibu Bonung, Ibu Ecih, Ibu Dadang, Ibu Rum, Ibu Cuat, Ibu Suritem, Bapak Jiin, Bapak Sarwah Bapak Dasuki, Bapak Arda dari narasumber tersebut peneliti menggali informasi yang mendalam mengenai tradisi masa iddah cerai mati di desa Kebon Randu. Mengapa peneliti memilih judul ini karena peneliti ingin menggali pemahaman masyarakat yang memiliki kepercayan adat yang masih kuat sehingga peneliti bisa mengarahkan permasalah yang ada dan mencari kebenaran dari narasumber yang sudah dipilih tersebut dan masyarakat sekitar untuk mendapatkan data yang diperlukan. Teknik wawancara yang digunakan
17
peneliti ini dilakukan secara tidak setruktur, dimana peneliti tidak melakukan wawancara dengan struktur yang ketat kepada informan agar informasi yang diperoleh memiliki kapasitas yang cukup tentang berbagai aspek dalam penelitian ini. b. Metode Observasi atau Pengamatan Metode observasi adalah tekhnik pengumpulan data dengan pengamatan langsung kepada objek penelitian (Surakhmad, 1994:164). Metode ini digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi lingkukngan Desa Kebon Randu II Kencamatan Anjatan Baru, Kebupaten Indramayu. Pengamatan disini termasuk juga di dalamnya peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun langsung diperoleh dari data (Moleong, 2007:174). Observasi ini dilakukan dengan alat perekam seperti HP dengan menggunakan alat perekam berupa video di dalam HP, ini digunakan untuk memudahkan peneliti dalam pengecekan data dari informan satu dengan informan yang lain dan memudahkan penulisan dalam meneganalisis data ini karena banyak berbagai narasumber yang harus peneliti wawancara, sehingga HP bisa sebagai alat menyimpan data dan informasi. Disamping itu peneliti melakukan serangkaian pengamatan dengan menggunakan alat indra penglihatan dan pendengaran secara langsung terhadap objek yang diteliti, ini digunakan peneliti mengecek langsung kondisi di lapangan dengan narasumber melalui, peneliti terjun langsung kelapangan dan mengikuti tradisi di masyarakat Kebon Randu
18
dan peneliti ikut membantu-bantu dalam pelaksanan tradisi tersebut seperti mengundang bapak-bapak untuk tahlian menyiapkan sesajian. c. Metode Dokumentasi Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara membaca dan mengutip dokumen-dokumen yang ada dan dipandang relevan. Dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda tertulis seperti buku-buku, peraturan aparat, catatan harian dan sebagainya (Arikunto, 1989:131). Metode ini digunakan untuk memperoleh data sejarah Desa Kebon Randu II kecamatan Anjatan Baru Kebupaten Indramayu data dan informasi lain yang menunjang.
Gambar 1 (Desa Kebon Randu) 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan peneliti yaitu normatif dan sosiologis yaitu pendekatan normatif dilakukan untuk mengetahui hukum iddah dari segi
19
hukum Islam sedangkan pendekatan sosiologis dilakukan untuk mengetahui tradisi masa iddah masyarakat Kebon Randu. 3. Waktu Penelitian / Kehadiran Penelitian Penelitian dan pengumpulan data di desa Kebon Randu II Kecamatan Anjatan Baru Kabupaten Indramayu ini dengan cara peneliti terjun kelapangan. Penelitian ini dimulai pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret 2015 sampai dengan selesai penelitian yang disertai dengan kegiatan akhir berupa penyusunan skripsi. Namun peneliti sudah melakukan wawancara terlebih dahulu terhadap masyarakt Kebon Randu, wawancara tersebut sebagai narasumber pangkal seperti Bapak Arda Bapak Uki Bapak Sutandi. Narasumber pangkal ini digunakan untuk mengetahui kemana peneliti harus mencari data dan kesiapa peneliti harus menemuin tokoh adat, yang kemudian narasumber pakanal yang bisa mengarahkan kepada peneliti agar menemui tokoh adat, isteri yang dicerai mati dalam tradisi masyarakat Kebon Randu yang kemudian memberikan informasi yang dikaksudkan peneliti sehingga kebenaran datanya kuat. kehadiran peneliti dalam tradisi cerai mati adat Jawa di Desa Kebon Randu ini peniliti ikut serta dalam pelaksanaan seperti menyiapkan bahan sesajen, mengundang orang untk tahlilan, bahkan peneliti bergaul dengan orang-orang yang sudah sepuh untuk mencari data yang mendalam. Disamping itu ada kendala yang dihadapi penelitih ketika mewawancarai masyarakat seperti lokasi yang jauh, alat perekam tidak berfungsi/ batu HPnya habis, terkadang informan juga sulit ditemui karena kesibukan dengan pekerjaanya disawah, bahkan
20
ada yang tidak mau di dokumentasi dengan foto sehingga data hanya di ambil dengan catatan kecil dibuku. Untuk informan kunci peneliti mewawancarai Bapak Kebon, Ibu Ratingkem, Ibu Casitem, Bapak Das, Ibu Bonung, Bapak tarma untuk menghasilakan data tradisi masa iddah ceri mati adat Jawa dan latar belakang munculnya tradisi tersebut. 4. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Kobon Randu II Kecamatan Anjatan Baru Kabupaten Indramayu. Adapun alasan pemilihan tempat adalah penelitian di Desa Kebon Randu II Kecamatan Anjatan Baru Kabupaten Indramayu ini berkaitan dengan upaya peningkatan dan pemahaman pengetahuan mengenai hukum Islam khususnya dalam fiqih munakahat yang membahas mengenai masa iddah dalam tradisi adat Jawa di desa Kebon Randu II. Disamping itu lokasi yang dijangkau lebih mudah karena tempat tinggal peneliti berdekatan, peneliti lebih tau kondisi masyarakat karena peneliti pernah tinggal disitu selama 9 tahun, bahkan peneliti juga dianggap bagian dari masyarakat Kebon Randu sehingga bisa memeksimalakan dalam memperoleh data. 5. Sumber Data Data merupakan suatu fakta atau keterangan dari obyek yang diteliti. Menurut Lofaland (1984:47) dalam Melong, (2007:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen lain (sumber data tertulis, foto, dan statistic).
21
a. Data Primer Sumber dan jenis data primer penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan subjek serta gambaran ekspresi, sikap dan pemahaman dari subjek yang diteliti sebagai dasar utama melakukan interpretasi data. Data atau informasi tersebut diperoleh secara langsung dari orang-orang yang dipandang mengetahui masalah yang akan dikaji dan bersedia memberi data atau informasi yang diperlukan. Sedangkan pengambilan data dilakukan dengan bantuan rekaman suara handphone. Sementara itu observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung segala aktivitas di desa Kebon Randu II Kecamatan Anjatan Baru, Kabupaten Indramayu. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data atau informasi yang diperoleh dari sumber lain dari data primer. Diantaranya buku-buku literature, internet, majalah, atau journal, arsip, dokumen pribadi, dan tidak menutup kemungkina ada data dari lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitianini. Data tersebut diantaranya buku buku referensi. Menurut Mestika Zed (2004:10) buku referensi ialah koleksi buku yang memuat informasi yang sepesifik, paling umun serta paling banyak dirujuk untuk keperluan cepat. Yang termasuk buku-buku refernsi diantaranya undang-undang KHI, buku fiqih munakahat yang membahas tentang iddah, kitab terjemahan, jaournal, artikel, skkripsi selebihnya hasil wawancara lapangan di desa kebon randu II.
22
6. Metode Analisis Data Metode analisis adalah suatu penanganan terhadap objek ilmiah tertentu dengan jalan memilah, memilih antara pengertian yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan pengertian yang baru. Data yang berhasil dihimpun akan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menerapkan metode berfikir yang bertolak dari fenomena yang khususnya dan kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum (Daimon, 2008:369). 7. Pengecekan Keabsahan Data Dalam pengcekan keabsahan data penelitian terhadap beberapa criteria keabsahan data yang nantinya akan dirumuskan secara tepat, tehnik pemeriksaannya yaitu dalam penelitian ini harus terdapat adanya kredibilitas yang dibuktikan dengan perpanjangan. Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam penelitian memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka dilakukan pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin validitas data akan dilakukan terianggulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfatakan sesuatu yang lain diluar data ini untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2006:330). Metode terianggulasi ini digunakan untuk mengumpulkan data hasil dari wawancar yang beragam dan sumber yang berbeda dengan menggunakan suatu metode yang sama. Maka digunakan pengecekan antara informan yang satu dengan informan yang lain dengan aktivitas yang sama atau dengan obyek yang sama, waktu dan tempat yang berbeda. Maka, jika datanya konsiten akan
23
menghasilkan variable yang sama berarti informan yang telah di wawancarai mengatakan yang sejujurnya, jika datanya tidak konsisten maka informan itu berbohong. sehingga validitas data akan membuktikan apakah data yang diperoleh sesuai dengan apa yang ada dilapangan atau tidak, dengan demikian data yang diperolah dari suatu sumber akan dikontrol oleh data yang sama dari sumber yang berbeda. 8. Tahapan-tahapan penelitian a. Penelitian Pendahuluan Penulis yang mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan masa iddah perempuan dan buku lain yang berkaitan dengan adat Jawa. b. Pengembangan Pustaka Setelah penulis mengetahui banyak hal tentang hukum iddah dalam berbagai sumber, kemudian penulis melakukan observasi ke objek penelitian untuk melihat secara langsung ketika seorang isteri ditinggal mati suaminya kemudian menjalankan masa iddahnya yang beradat tradisi Jawa di desa Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru, Kabupaten Indramayu. c. Penelitian lapangan Penulisan melakukan penelitian dengan cara terjun langsung ke lokasi penelitian untuk meneliti secara lebih mendalam tentang kasus yang sebenarnya terjadi mengenai masa iddah tradisi adat Jawa di masyarakat Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru, Kabupaten Indramayu
24
dengan mengikuti tradisi tersebut dan membantu proses pelaksanaan tradisi tersebut. d. Penyusunan Setelah mengkaji berbagai sumber, yang kemudian penliti melakukan wawancara di desa Kebon Randu dengan berbagai informan waktu dan tempat yang berbeda, kemudian peneliti akhirnya menyusun dan menerjemakan bahasa untuk dimengarti kemudian dituangkan dalam karya tulis ini. G. Sistematika Pembahasan Sistemimatis pembahasan merupakam suatu hal yang sangat urgan dalam pembahsan karya tulis ini agar dapat memberikan gambaran yang teratur tentang isi dan krangka penyusunan karya tulis ini. Sebagai bahan untuk pemahaman dan kemudahan bagi penyusun dan pembaca dalam memahami tulisan ini. Sebagai upaya untuk menjaga keutuhan dalam pembahsan karya tulis ini penyusun menggunakan sistematis pembahsan sebagai berikut: Bab pertama adalah berisikan pendahuluan yang memuat latar belakang, pokok masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab dua yaitu membahas tentang gambaran umum hukum Islam tentang masa iddah, dalam bab ini akan mejelaskan tentang pengertian iddah, tujuan iddah, hukum iddah dalam al-Qur‟an dan Hadis, Macam-macam iddah, pendapat ulama tentang iddah, manfaat dan hikmah iddah.
25
Bab tiga ini membahas tentang adat Jawa seperti sejarah adat Jawa, iddah dalam Jawa, makna iddah dalam adat Jawa, pengaruh tokoh adat, pandangan masyarakat Jawa terhadap hukum Islam dan adat Jawa terhadap tradisi (Kebiasaan masa iddah cerai mati di Desa Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru, Kabupaten Indramayu). Bab empat ini membahas mengenai analisa dari bab-bab dimana akan menganalisis terhadap hukum Islam dan adat Jawa terhadap tradisi/kebiasaan masa iddah cerai mati di Desa Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru, Kabupaten Indramayu yaitu berisi tentang makna masa iddah cerai mati tradisi masyarakat Kebon Randu, pandangan iddah dalam tradisi masyarakat Kebon Randu, pengaruh tokoh adat dalam masa iddah cerai mati tradisi masyarakat Kebon Randu. Bab lima berisi tentang penutup yaitu kesimpulan, saran-saran dan lampiran. Disni penyusun akan memberikan jawaban dari pokok masalah dan solusi penyelesaian masalah.
26
BAB II
Gambaran Umum Tentang Masa Iddah Cerai Mati
F. Penegertian Iddah 1. Iddah Menurut Fiqih Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya dari suaminya, berlaku baginya waktu tunggu atau masa iddah kecuali apabila seorang isteri dicerai suaminya sebelum berhubungan (qabla dukhul). Baik karena kematian, perceraian, atau atas keputusan pengadilan (Rofiq, 1998: 301). Maka iddah merupakan perintah Allah yang harus dijalankan kepada bekas isteri ketika dicerai atau ditinggal mati suaminya. a. Secara Etimologi „Iddah menurut bahasa Arab berasal dari akar kata “al-„udd” dan “al-ihsha” yang berarti bilangan atau hitungan (Hawwas, 2011: 318). Kata “hitungan” ini digunakan untuk maksud „iddah karena dalam masa iddah, wanita haram dinikahi, sehingga perempuan menghitung hari-hari kesucian wanita dan masa bersihnya setelah diceraikan suaminya. Wahbah
Zuhaili
mengemukakan
Seperti
dalam
buku
Sabiq
memeparkan bahwa:
اء أ َ ِو اْالَ ْش َه ِش غَا ِنبًا ِ عذَ ِد االقُ َش ِ صا ُء يأ َ ُخ ْىرَة ٌ ِي ٍْ ْان َعذَ ِد ِ : ًَو ُه َى نُغَت َ ًَعه َ اال ْسخِ ًَا ِن َها َ ْاالح Artinya :“Iddah secara bahasa adalah menahan, terambil dari kata Adad (Bilangan) karena mencakup atas bilangan dari beberapa quru‟ dan beberapa bulan menurut kebiasaan.”
27
Sayyid Sabiq memaparkan dalam fiqih saunah:
اء االَََّا ِي ًِ ُِّ َىحُعَ ِذّ هَان ًَ ْشأ َ ِة ِ ٌ واْالَ ْق َش ِ ْصا َء حَح َ ْ انعَذَ ِد ِي ُِّ ُخ ْىدَة ُ َيا االح: ًاان ِعذ ّ ص ُْ ِه ًَاا Artinya:“Iddah terampilan dari kata „Adad, artinya menghitung, maksudnya perempuan yang menghitung hari-harinya dan masa bersihnya” (Sabbiq, 1987: 150). Dari dua pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fiqh tersebut dapat dipahami bahwa pengertian iddah dari segi bahasa berasal dari kata „adda yang berarti bilangan, menghitung, dan menahan. Maksudnya perempuan menghitung hari-harinya dan masa bersihnya setelah diceraikan suaminya. b. Secara Terminologi Mengenai definisi „iddah menurut terminologi terdapat beberapa redaksi yang berbeda dari para fuqaha‟ sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Di antaranya ada yang mengemukakan defenisi „iddah dengan
menekankan
kepada
macam-macam
„iddah,
ada
yang
mengutamakan tujuan dan ada yang mengedepankan sebab. Sekalipun redaksinya berbeda tapi semuanya bermuara pada tujuan yang sama. Abi Yahya Zakaria al Anshari mengemukakan pengertian „iddah Seperti dalam buku Wahyudi menurut istilah yaitu:
.وهٍ يذة حخشبص فُهاانًشاة نًعشفت بشاة سصًهااونهخعبذ او نخفضعها عهً صوس Artinya : “Iddah adalah masa menunggu seorang perempuan untuk mengetahui kebersihan rahimnya atau untuk melaksanakan ibadah atau untuk menghilangkan rasa duka karena kematian suami.” .
28
Definisi iddah yang dikemukakan oleh Abi Yahya al Zakaria tersebut lebih mengutamakan tujuan iddah. Adapun tujuan iddah ini adalah untuk
mengetahui
kebersihan
rahim
seorang perempuan,
untuk melaksanakan ibadah, dan untuk menghilangkan rasa duka bagi seorang perempuan yang kematian suaminya (Wahyudi,2009: 10). Dalam kitab fiqh ditemukan definisi iddah itu yang pendek dan sederhana diantaranya adalah: يذة حخشبص فُها انًشاةatau masa tunggu yang dilalui oleh seorang perempuan. Karena sederhananya definisi ini, maka ia masih memerlukan penjelasan mengenai apa yang ditunggunya, kenapa dia menunggu, dan untuk apa ia menunggu. Untuk menjawab apa yang di tunggu dan mengapa ia harus menuggu, al-Shan‟any mengemukakan definisi yang lebih lengkap sebagai berikut:
اسى نًذة حخشبص بها انًشٲة عٍ انخضوَش بعذ وفاة صوصها وفشاقه نها Artinya: Nama bagi suatu masa yang seorang perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena wafatnya suaminya atau bercerai dengan suaminya (Amir, 2006: 303). Untuk menjawab pertanyaan untuk apa dia menunggu, ditemukan jawabannya dalam ta‟rif lain yang bunyinya:
يذة حخشبص فُها انًشٲة نخعشَف بشائت سحًُها او نخعبذ Artinya: Masa tunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya perempuan itu atau untuk beribadah. Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disusun hakikat dari iddah tersebut sebagai berikut: “masa yang harus ditunggu oleh seorang perempuan yang telah bercerai dari suaminya agar dapat
29
menikah lagi untuk mengetahui bersihnya rahimnya atau untuk melaksanakan perintah Allah”. Para ulama sepakat bahwa iddah hukumnya adalah wajib. Dilihat dari firman Allah SWT 228. Artinya:
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (Al-Baqarah:228.).
2. Iddah Menurut KHI Dalam KHI „iddah disebut dengan waktu tunggu. Konsep-konsep mengenai waktu tunggu yang terdapat pada KHI diambil dari kitab fiqh. Berikut akan diterangkan tentang dasar hukum dan macam-macam serta perhitungan waktu tunggu menurut KHI. a. Dasar Hukum „iddah Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya dari suaminya, berlaku baginya waktu tunggu (masa„iddah), kecuali apabila seorang istri dicerai suaminya sebelum berhubungan (qabla al-dukhul), baik karena kematian, perceraian atau atas keputusan pengadilan. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada Pasal 153, 154 dan 155. Pasal 153 ayat (1) Kompilasi menyatakan: Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau„iddah kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami (Rofiq, 1998: 310). Ini didasarkan pada firman allah dalam surat al-Ahzab 33: 49 yang menjelaskan “Hai orang-orang
30
yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman,
kemudian
kamu
ceraikan
mereka
sebelum
kamu
mencampurinya, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka „iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya”. Bahkan dalam pasal 39 ayat 1 huruf a .PP.No.9/1975 menjelaskan “apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari (seratus tiga puluh) hari”. Ketentuan ini diatur dalam pasal 153 ayat 2 huruf a. ini didasarkan pada (QS.al-Baqarah 2:234) (Rofiq, 1998: 311). G. Hukum Iddah dalam Al-Qur’an dan Hadis Aturan yang ditunjukan dalam hukum Islam baik kitab suci Al-Qur‟an maupun Al- Hadist bagai seorang isteri ketika sudah bercerai dari suaminya, baik dicerai suami dalam kondisi apapun, cerai mati atau hidup, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, maka seorang isteri wajib menjalani masa iddah. Seluruh imam mazhab sepakat atas wajibnya iddah, landasan dasarnya terdapat dalam Al-Qur‟an dan Hadist. 1. Dasar Hukum Dari Firman Allah
a. Surat Al-Baqar‟ah ayat: 228 Artinya:
Wanita-wanita yang ditalak (menunggu) tiga kali quru
31
handaklah
menahan
diri
b. Surat Al-Baqar‟ah ayat: 234
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri itu menangguhkan diri nya (ber‟iddah) selama empat bulan sepuluh hari c. Surat Ath-Thalaq ayat: 1
Artinya: Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru Ath-Thalaq: 1 2. Dasar Hukum dari Hadist a) Bukhari dan Muslim, dalam Nailul 6:329
ٌْ َ ِخ ِش ا ِ ْ الَ ََ ِح ُّم ِال ْي َشأَةٍ ُي ْس ِه ًَ ٍت حُؤْ ِي ٍُ ِباهللِ َو اْنَُ ْى ِو ا:قَا َل
ٍ َ َ ع ٍْ ا ُ ّو َّ سهَ ًَتَ ا َ ٌَّ انَُّ ِب
فىُُم، انبخاسي و يسهى.ع ْش ًشا َ عهًَ صَ ْو ِص َها ا َ ْسبَ َعتَ ا َ ْش ُه ٍش َو َ َّح ُ ِحذَّ فَ ْىقَ رَالَر َ ِت اََ ٍَّاو اِال 6:329 االوطاس
32
Artinya: Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita muslimah yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari kecuali terhadap suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari”. b) Bukhari dan Muslim
َعهًَ صَ ْوسٍ ا َ ْس َب َعت ْ َع ِطَُّتَ قَان ٍ َج فَ ْىقَ رَال ٍ ُّعهًَ َي َ َّد اِال َ َّ ُكَُّا َُ ُْ َهً ا َ ٌْ َُ ِحذ:ج َ ع ٍْ ا ُ ّو َ َ َ َو الَ ََ ْكخ َِح َم َو الَ ََخ.ع ْش ًشا ً صب ُْى .ٍ ص ْ ع ْ طَُّ َ َو الَ َ َْه َب َ ر َ ْىبًا َي َ َ غا اِالَّ ر َ ْى َ ا َ ْش ُه ٍش َو ُّ َص نََُا ِع ُْذ ْ َسه ج ِ ْض َها فًِ َُ ْبزَةٍ ِي ٍْ ُك ْس ِ ُج اِحْ ذَاََا ِي ٍْ َي ِح َ َ انط ْه ِش اِرَا ا ْغخ َ َو قَ ْذ ُس ّخ 6:332 فً َُم االوطاس، انبخاسي و يسهى.اس ٍ َا َ ْ ف Artinya: Dari Ummu „Athiyah, ia berkata, “Kami dilarang berkabung terhadap orang mati lebih dari tiga hari kecuali terhadap suami, yaitu empat bulan sepuluh hari, dimana tidak boleh bercelak, tidak boleh berwangi-wangian dan tidak boleh memakai pakaian yang dicelup, kecuali kain genggang (pakaian yang tidak mencolok), dan kami diberi keringanan pada waktu suci yaitu apabila salah seorang diantara kami mandi dari haidlnya (menggunakan) sedikit qust adhfar (sejenis kayu yang berbau harum. c) Ahmad, Bukhari dan Muslim
ِخ ِش ِ ِْالي َشأَةٍ حُؤْ ِي ٍُ بِاهللِ َو اْنَُ ْى ِو ا ْ الَ ََ ِح ُّم:
ٍ ُّ ِ قَا َل انَُّب:و فً سواَت قانج
ً صب ُْى ٍ َح ُ ِحذُّ فَ ْىقَ رَال ْ عهًَ صَ ْوسٍ فَ ِاََّ َها الَ ح َ ْكخ َِح ُم َو الَ ح َْهبَ ُ ر َ ْىبًا َي َ غا اِالَّ ر َ ْى َ َّد اِال َ َو الَ ح َ ًَ ُّ ِط ُْبًا اِالَّ اِرَا،ٍ ص ْ ط ُه َش احًذ و انبخاسي.اس ْ ع َ ٍ َث َُ ْبزَة ً ِي ٍْ قُسْظٍ ا َ ْو ا َ ْ ف 6:332 فً َُم االوطاس،و يسهى Artinya: Dan dalam riwayat lain (dikatakan), Ummu „Athiyah berkata: Nabi SAW bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari kecuali terhadap suami, maka istri tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai pakaian yang dicelup kecuali kain genggang dan tidak boleh memakai wangiwangian kecuali apabila bersuci (dengan menggunakan) sedikit qust atau adhfar (sejenis kayu yang berbau harum).
33
3. Ketentuan Masa Iddah dalam UU KHI a. Bagi isteri yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurangkurangnya 90 (sebilan puluh hari) b. Bagi isteri yang tidak haid ditetapkan 90 hari c. Bagi isteri yang sedang hamil, masa iddahnya ditetapkan samapai melahirkan d. Adapun terhadap isteri yang diceraikan sedangkan antara janda tersebut dengan bekas suaminya qablad dukhul/belum coitus, maka tidak ada masa iddah bagai janda tersebut. Selanjutnya pasal 150 dan 163 KHI menegaskan bahwa bekas suami hanya berhak melakukan ru‟ju kepada bekas isterinya yang masih dalam masa iddah. Dengan demikian, dari ketentuan tersebut telah jelas bahwa setelah habis masa iddah isteri yang diceraikan, maka bekas suami itu tidak dapat lagi (haram) rujuk kepada bekas isterinya C. Macam-Macam Iddah 1. Iddah Bagi Perempuan Karena Cerai Mati Isteri yang ditinggal suaminya karena wafat, maka iddahnya adalah selama empat bulan sepuluh hari selama ia tidak hamil:
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” QS. Al-Baqarah; 234.
34
Iddah perempuan atas kematian suaminya yaitu 4 bulan 10 hari asal ia tidak hamil. Jika seorang perempuan dithalaq raj‟i suaminya, lalu suaminya meninggal selama masih dalam masa iddah perempuan itu beriddah seperti iddahnya perempuan atas kematian suaminya. 2. Iddah Bagi Perempuan Hamil a. Iddah bagi wanita yang sedang hamil Iddahnya sampai melahirkan wanita ini maka masa menunggunya ('iddah) berakhir setelah ia melahirkan bayinya, berdasarkan firman Allâh:
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (athThalaq/65:4) b. Iddah perempuan jika tidak hamil Jika tidak hamil, maka masa 'iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Allâh Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:
Artinya:“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri hendaklah Para isteri itu menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari”. (al-Baqarah/2: 234).
35
Keumuman ayat ini di kuatkan dengan hadits Al-Miswar bin Makhramah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
َّ ْ ج بَ ْعذَ َوفَاةِ صَ ْو ِص َها بِهََُا ٍل فَ َضا َء ْ س َّ ًَّصه سهَّ َى ُ ٌأ َ ُاَّلل َ عهَ ُْ ِه َو َ سبَ ُْعَتَ ْاْل َ ْسهَ ًَُِّتَ َُ ِف َ ٍ َّ ِث انَُّب ْ فَا ْسخ َأْرَََخْهُ أ َ ٌْ ح َ ُْ ِك َح فَأَرٌَِ نَ َها فََُ َك َح ج Artinya: Subai‟ah al-Aslamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan dan bernifas setelah kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi Shallallahu „alaihi wa salam lantas meminta idzin kepada beliau untuk menikah (lagi). Kemudian beliau mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi). 3. Iddah bagi Cerai Mati dalam kondisi Haid Iddah cerai dalam keadaan suci/haid tidak hamil maka seorang wanita wajib beriddah selama 3 Quru‟ yakni 3 kali suci atau 3 kali haid, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al- Baqoroh ayat 228.
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' Para Mufassirin dan Ulama ahli fiqih bersepakat dalam makna Quru' dapat diartikan suci atau haidh. Jadi apabila seorang wanita diceraikan oleh suaminya dalam keadaan suci, maka wanita tersebut dapat menikah lagi dengan orang lain apabila telah menyempurnakan 3 kali suci dan menemukan haid ke tiga, demikian pula sebaliknya apabila seorang wanita diceraikan suaminya dalam keadaan haid maka dia dapat menikah apabila telah menyempurnakan 3 kali suci dan menemukan haid ke empat.
36
4. Iddah Cerai bagi perempuan yang tidak haidl (Monopause) a. Iddah Bagi perempuan yang tidak haidl Maka iddahnya selama tiga bulan. Hal itu dibenarkan untuk perepmpuan kecil yang belum baligh dan perempuan tua yang tidak haidl, baik haidl masih berlangsung ataupun terputus haidlnya. Berdasarkan Firman Allah SWT :
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haidl lagi (monopause) diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddah), Maka masa iddah mereka adalah tida bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan tidak haidl. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Qs. AtThalaq(65):4). 5. Iddah Cerai Belum Bercampur dengan Suaminya a. Sebelum dicampuri, maka tidak punya iddah
Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS: Al-Ahzab Ayat: 59).
37
b. Dalam keadaan sesudah dicampuri dan masih haid maka iddahnya tiga quru‟ allah SWT berfirman:
Artinya:
Wanita-wanita yang dicerai, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru‟ (QS. Al-Baqarah: 228).
Menurut Mazhab Syafi‟i dan Maliki dalam ayat di atas adalah kata quru‟ berati suci. Sementara itu Mazhab Hambali dan Hanafi berati haid. Sedangkan menurtut PP. Nomor 9/1975 PS.39 (1) b adalah 90 hari. Dalam keadaan sudah dicampuri, jika belum pernah haid atau sudah tidak haid lagi kurang lebih umur 50 sampai dengan 62 tahun maka iddahnya 3 bulan, dalam firaman allah di jelaskan bahwa:
Artinya: “dan perempuan-perempuan yang sudah berhentih haid, jika ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum haid” (QS.At-Thalaq ayat 4) (Jateng, 2004: 71-72). D. Pendapat Ulama Tentang Iddah 1. Iddah Perempuan Kematian Suami. Iddah perempuan kematian suami adalah 4 bulan 10 hari sekalipun perempuan tersebut di dalam keadaan belum pernah mengalami haid, mengandung, telah mengalami haid, telah putus masa haid, telah dicampuri
38
atau belum dicampuri. Tetapi berbeda pendapat pada keadaan seperti di bawah. Keadaan semasa perceraian dan pendapat mazhab empat. a) Menurut Jumhur Ulama seorang isteri yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi hamil maka iddahnya sepertimana orang hamil atau sampai anak itu lahir. b) Menurut jumhur ulama seorang isteri yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi haid maka memperbaruhi iddahnya samapai 3 kali suci. c) Menurut Jumhur Ulama seorang isteri yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi telah putus masa haid maka meneruskan dengan 3 kali suci. d) Menurut mazhab Imam Syafi‟i & Maliki seorang isteri yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi telah dicampuri maka iddahnya Lanjut tempoh iddah supaya cukup tempoh iddah mati. e) Menurut mazhab Imam Hanafi & Hambali seorang isteri yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi belum dicampuri maka iddahnya ubah iddahnya menjadi iddah mati. 2. Iddah Bagi Wanita yang Berhias Iddah bagi wanita yang berhiasa bermaksudkan perempuan yang diceraikan sebelum disetubuhi. Hal ini, berbeda pandangan ulama mengenai kewajipan beriddah bagi perempuan dalam keadaan demikian. Pendapat ulama dibawah menjelaskan perselisihan di antara mazhab empat berpendapat yaitu:
39
a) Menurut mazhab Imam Syafi‟i tidak wajib iddah sekiranya tiada percampuran diantara mereka sekalipun juga pasangan tersebut berkhalwat. b) Jumhur ulama‟ tidak wajib sekiranya belum berlaku percampuran dan juga tidak berkhalwat tetapi wajib iddah sekiranya pernah berkhalwat (Hayazi, 2009). E. Manfat dan Hikmah Iddah 1. Manfaat Iddah Agar terjaga nama baik dari keluarga yang ditinggalkan atau tidak menimbulkan fitnah 2. Hikmah Iddah Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa semua iddah tidak lepas dari sebagian masalahat yang dicapai, yaitu sebagai berikut: a) Mengetahui kebebasan rahim dari percampuran nasab. b) Memberikan kesempatan suami agar dapat introspeksi diri dan kembali kepada isteri yang tercerai. c) Berkabungnya wanita yang ditinggal meninggal suami untuk memenuhi dan menghormati perasaan keluarganya. d) Mengagungkan urusan nikah, karena ia tidak sempurna kecuali dengan terkumpulnya kaum laki-laki dan tidak melepas kecuali dengan penantian yang lama (Hawwas, 2011:320).
40
BAB III GAMBARAN UMUM TRADISI ADAT INDRAMAYU
A. Sejarah Indaramayu 1. Sejarah Indramayu Menurut tim panitia peneliti sejarah kabupaten Indramayu bahwa hari jadi Indramayu jatuh pada tanggal 7 Oktober 1527 M yang telah disahkan pada sidang Pleno DPRD kabupaten daerah tingkat II Indramayu pada tanggal 24 Juni 1977 dan ditetapkan dalam peraturan daerah, kabupaten daerah tingkat II Indramayu Nomor 02 Tahun 1977 tentang penetapan hari jadi Indramayu, dimana dalam peraturan daerah tersebut disebutkan bahwa hari jadi Indramayu ditetapkan jatuh pada tanggal 7 (tujuh) Oktober 1527 M hari Jumat Kliwon tanggal 1 Muharam 934 H. Dalam menentukan hari jadi tersebut tim panitia peneliti sejarah Indramayu berpegang pada sebuah patokan peninggalan jaman dulu dan atas dasar beberapa fakta sejarah yang ada, yaitu prasasti, penulisan-penulisan masa lalu, benda-benda purbakala atau benda pusaka, legenda rakyat serta tradisi yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Proses sejarah Indramayu Menurut Babad Dermayu penghuni partama daerah Indramayu adalah Raden Aria Wiralodra yang berasal dari Bagelen Jawa Tengah putra Tumenggung Gagak Singalodra yang gemar melatih diri olah kanuragan, tirakat dan bertapa. Suatu saat Raden Wiralodra tapa brata dan semedi di perbukitan melaya di kaki gunung sumbing, setelah melampau masa tiga tahun ia mendapat
41
wangsit “Hai Wiralodra apabila engkau ingin berbahagia berketurunan di kemudian hari carilah lembah sungai Cimanuk. Manakala telah tiba disana berhentilah dan tebanglah belukar secukupnya untuk mendirikan pedukuhan dan menetaplah disana, kelak tempat itu akan menjadi subur makmur serta tujuh turunanmu akan memerintan disana”. Dengan di dampingi Ki Tinggil dan berbekal senjata Cakra Undaksana berangkatlah mereka ke arah barat untuk mencari sungai Cimanuk. Suatu senja sampailah mereka di sebuah sungai, Wiralodra mengira sungai itu adalah Cimanuk maka bermalamlah disitu dan ketika pagi hari bangun mereka melihat ada orang tua yang menegur dan menanyakan tujuan mereka. Wiralodra menjelaskan apa maksud dan tujuan perjalanan mereka, namun orang tua itu berkata bahwa sungai tersebut bukan Cimanuk karena Cimanuk telah terlewat dan mereka harus balik lagi ke arah timur laut. Setelah barkata demikian orang tarsebut lenyap dan orang tua itu menurut riwayat adalah Ki Buyut Sidum, Kidang Penanjung dari Pajajaran. Ki Sidum adalah seorang panakawan tumenggung Sri Baduga yang hidup antara tahun 1474-1513. Kemudian Raden Wiralodra dan Ki Tinggil melanjutkan perjalanan menuju timur laut dan setelah berhari-hari berjalan mereka melihat sungai besar, Wiralodra berharap sungai tersebut adalah Cimanuk, tiba-tiba dia melihat kebun yang indah namun pemilik kebun tersebut sangat congkak hingga Wiralodra tak kuasa mengendalikan emosinya ketika ia hendak membanting pemilik kebun itu, orang itu lenyap hanya ada suara “Hai cucuku Wiralodra ketahuilah bahwa hamba adalah Ki Sidum dan sungai ini
42
adalah sungai Cipunegara, sekarang teruskanlah perjalanan kearah timur, manakala menjumpai seekor Kijang bermata berlian ikutilah dimana Kijang itu lenyap maka itulah sungai Cimanuk yang tuan cari.”. Saat mereka melanjutkan perjalanan bertemulah dengan seorang wanita bernama Dewi Larawana yang memaksa untuk di persunting Wiralodra namun Wiralodra menolaknya hingga membuat gadis itu marah dan menyerangnya. Wiralodra mengelurkan Cakranya kearah Larawana, gadis itupun lenyap barsamaan dengan munculnya seekor Kijang. Wiralodra segera mengejar Kijang itu yang lari kearah timur, ketika Kijang itu lenyap tampaklah sebuah sungai besar. Karena kelelahan Wiralidra tertidur dan bermimpi bertemu Ki Sidum, dalam mimpinya itu Ki Sidum berkata bahwa inilah hutan Cimanuk yang kelak akan menjadi tempat bermukim. Setelah
ada
kepastian
lewat
mimpinya
Wiralodra
dan
Ki
Tinggil membuat gubug dan membuka ladang, mereka menetap di sebelah barat ujung sungai Cimanuk. Pedukuhan Cimanuk makin hari makin banyak penghuninya. diantaranya seorang wanita cantik paripurna bernama Nyi Endang Darma. Karena kemahiran Nyi Endang dalam ilmu kanuragan telah mengundang Pangeran Guru dari Palembang yang datang ke lembah Cimanuk bersama 24 muridnya untuk menantang Nyi Endang Darma namun semua tewas dan dikuburkan di suatu tempat yang sekarang terkenal dengan “Makam Selawe”. Untuk menyaksikan langsung kehebatan Nyi Endang Darma, Raden Wiralodra mengajak adu kesaktian dengan Nyi Endang Darma namun Nyi
43
Endang Darma kewalahan menghadapi serangan Wiralodra maka dia meloncat terjun ke dalam sungai Cimanuk dan mengakui kekalahannya. Wiralodra mengajak pulang Nyi Endang Darma untuk bersama-sama melanjutkan pembangunan pedukuhan namun Nyi Endang Darma tidak mau dan hanya berpesan, “Jika kelak tuan hendak memberi nama pedukuhan ini maka namakanlah dengan nama hamba, kiranya permohonan hamba ini tidak berlebihan karena hamba ikut andil dalam usaha membangun daerah ini”. Untuk
mengenang
jasa
orang
yang
telah
ikut
membangun
pedukuhannya maka pedukuhan itu dinamakan “DARMA AYU” yang di kemudian hari menjadi “INDRAMAYU”. Berdirinya pedukuhan Darma Ayu memang tidak jelas tanggal dan tahunnya namun berdasarkan fakta sejarah Tim Peneliti menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada jum‟at kliwon, 1 sura 1449 atau 1 Muharam 934 H yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1527 M. Cerita pedukuhan Darma Ayu adalah salah satu catatan sejarah daerah Indramayu namun ada beberapa catatan lainnya yang juga berkaitan dengan proses pertumbuhan daerah Indramayu antara lain: 1. Berita yang bersumber pada Babad Cirebon bahwa seorang saudagar China beragama Islam bernama Ki Dampu Awang datang ke Cirebon pada tahun 1415. Ki Dampu Awang sampai di desa Junti dan hendak melamar Nyi Gedeng Junti namun ditolak oleh Ki Gedeng Junti, disini dapat disimpulkan bahwa Desa Junti sudah ada sejak tahun 1415 M.
44
2. Catatan dalam buku Purwaka Caruban Nagari mengenai adanya Desa Babadan, dimana pada tahun 1417 M Sunan Gunung Jati pernah datang ke Desa Babadan untuk mengislamkan Ki Gede Babadan bahkan menikah dengan puteri Ki Gede Babadan. 3. Di tengah Kota Indramayu ada sebuah desa yang bernama Lemah Abang, Nama itu ada kaitannya dengan nama salah seorang Wali Songo Syeikh Siti Jenar yang dikenal dengan nama Syeikh Lemah Abang, mungkin dimasa hidupnya (1450 - 1406) Syeikh Lemah Abang pernah tinggal di desa
tersebut
atau
setidak-tidaknya
dikunjungi
olehnya
untuk
mengajarkan agama Islam. Setelah bangsa Portugis pada tahun 1511 menguasai Malaka antara 1513-1515 pemerintah Portugis mengirimkan Tom Pires ke Jawa. Dalam catatan harian Tom Pires terdapat data- data bahwa: a. Tahun 1513-1515 pedukuhan Cimanuk sudah ada bahkan sudah mempunyai pelabuhan b. Pedukuhan Cimanuk ada dalam wilayah kerajaan sunda (Pajajaran). Melihat bukti-bukti atau sumber di atas diperkirakan pada akhir abad XVI M daerah Indramayu sekarang atau sebagian dari padanya sudah dihuni manusia (Kemendagri, 2013).
2. Nilai-Nilai Budaya Tradisi Indramayu Masyarakat kabupaten Indramayu memiliki beraneka ragam suku, ada suku Jawa dan ada pula suku Sunda dari keduanya tumbuh dan berkembang di masyarakat Indramayu. Suku jawa dan suku Sunda yang merupakan
45
bentuk implementasi atau ekspresi masyarakat setempat yang dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga bentuk kebudayaannya merupakan akulturasi dari kedua kebudayaan tersebut. Adapun bentuk kebudayaan Indramayu antara lain sebagai berikut: a. Tradisi Nadran Nadran adalah merupakan upacara adat para nelayan di pesisir pantai, Nadran sebenarnya merupakan suatu tradisi hasil akulturasi antara budaya Islam dan Hindu yang diwariskan sejak ratusan tahun secara turun-temurun. Kata Nadran sendiri sebenarnya berasal dari kata Nadzar-Nadzaran-Nadran yang berarti kaul atau sukuran. Nadran disini maksudnya sukuran para nelayan Indramayu, ini merupakan cerminan dari sebuah hubungan manusia dengan sang pencipta dengan berupa ungkapan rasa sukur akan hasil tangkapan ikan, dan mengharapkan akan meningkatnya hasil di masa mendatang, serta dijauhkan dari bencana dan mara bahaya dalam mencari nafkah dilaut. Adapun inti upacara Nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan). Sesajen nadran biasanya disebut ancak, yang berupa anjungan berbentuk replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, tumpeng, dan lain sebagainya. Tradisi nadran sebelum dilepaskan ke laut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang
46
telah ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional seperti umbul, genjring, reog, jangkungan, musik gamelan dan musik tradisonal lainya (Sarwah, sayu, supendi, Ratingkem, Murni, 12/9/2014). b. Tradisi Ngarot Ngarot adalah merupakan upacara tradisional masyarakat Desa Lelea yang dilakukan pada saat tibanya musim menggarap sawah, upacara ini sudah ada sejak abad 16 dan sampai sekarang masih di selenggarakan, terutama oleh masyarakat desa di Kecamatan Lelea setiap menjelang penggarapan sawah. Ngarot ini berasal dari kata”Nga-rot” (basa Sunda) yaitu istilah minum atau ngaleueut, adat ini melibatkan muda-mudi untuk turut serta dalam upacara tesebut. Uniknya hanya pemuda dan pemudi yang masih menjaga kesuciannya yang boleh ikut dalam acara ini karena jika pemuda atau pemudi sudah tidak suci akan terlihat sangat buruk di mata para peserta ngarot, dalam upacara ini para gadis desa dihias dengan mahkota bunga di kepalanya sebagai lambang kesucian. Tradisi itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil bercocok tanam dan sebagai penyemangat para petani untuk memulai bercocok tanam kembali serta sebagai pembelajaran dan regenerasi petani dari generasi tua terhadap generasi muda (Ratingkem, dadang, jumedi, Naritem, Tani, 15-17/9/2014). c. Tradisi Jaringan Jaringan adalah upacara kaum remaja yang bertujuan untuk mencari pasangan hidup yang dilaksanakn pada malam bulan purnama. kegiatan
47
ini bertempat di desa parean Kecamatan kandang haur Jaringan berasal dari kata jaring, adalah alat menangkap ikan. Bagi warga Parean, khususnya Desa Parean Girang, istilah jaringan ini diartikan sebagai ajang mencari jodoh diwaktu terang bulan, saat dimana para nelayan sedang tidak melaut dan berkumpul di desa, karena menurut masyarakat setempat, waktu terang bulan biasanya ikan-ikan di laut berdiam di dasar laut sehingga sulit ditangkap. Karena ikan-ikan tersebut sulit ditangkap, sehingga para nelayan, yang mayoritas notabene adalah para pemuda, beralih „menjaring‟ para gadis desa di waktu terang bulan tersebut. Tradisi jaringan yang biasanya berlangsung di alun-alun desa, tepatnya di depan Masjid Besar At-Taqwa ini bertujuan untuk menjembatani pertemuan pemuda dan pemudi desa. Namun sebenarnya tradisi ini tidak hanya terbatas bagi pemuda pemudi yang belum menikah saja, tetapi juga bagi para duda maupun janda yang ingin kembali membina rumah tangga. Tradisi jaringan ini tidak diketahui secara pasti sejak kapan dimulai. Adat jaringan mempunyai aturan-aturan tertentu. Pemudanya harus memakai baju kampret berwarna hitam atau putih, dengan celana komprang sampai lutut, dan berselempang kain sarung. Bagi para gadis diharuskan mengenakan baju kurung berwarna hijau dengan selembar selendang di pundaknya sedangkan bagi para janda diharuskan mengenakan kebaya yang juga mengenakan selembar selendang di pundaknya. Biasanya, selepas kegiatan menjaring selesai, para pemuda
48
mengantarkan gadis hasil jaringannya pulang ke rumah masing-masing. Di rumah, sang pemuda hanya ditemani oleh orang tua si gadis tanpa gadis tersebut untuk berbincang-bincang. Setelah diyakini bahwa si pemuda serius dengan sang gadis, maka sejak malam itu dimulailah penjajakan-penjajakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak agar lebih saling mengenal masing-masing calon pasangan beserta keluarganya. Setelah masa penjajakan berjalan dan musim jaringan telah usai, akhirnya tibalah saatnya untuk melakukan lamaran. Dalam proses lamaran biasanya orang tua dari pihak laki-laki membayar sejumlah uang dan membagi-bagikan sirih kepada tetangga sebagai isyarat bahwa si gadis sudah „diikat‟. Menurut tradisi saat itu, setelah melakukan lamaran, sang pemuda harus mengabdi kepada calon mertua. Kebiasaan ini dinamakan sambatan. Sambatan bisa dilakukan misalnya dengan cara menggarap sawah milik calon mertua hingga panen. Selama masa sambatan ini sang pemuda boleh mengajak teman-temannya untuk membantu ataupun mengerjakannya sendiri. Dahulunya tradisi jaringan ini agak berbau sakral, namun dalam perkembangannya, tradisi jaringan ini mengalami perubahan fungsional. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk pengaruh globalisasi yang mendorong bebasnya arus informasi sehingga bisa diakses oleh penduduk desa melalui berbagai media, seperti tayangan televisi dan internet. Tradisi jaringan kini cenderung mengalami pergeseran makna
49
karena para pelaku kebiasaan jaringan ini telah dipengaruhi oleh berbagai nilai dan norma (Sarwah, Ecih, Tarma 16-18/10/2014). d. Tradisi Ngunjung Ngunjung adalah merupakan upacara sukuran yang dilaksanakan di kuburan atau makam yang dianggap keramat biasanya dilaksanakan pada bulan Syuro Mulud. Tradisi ngunjung ini diadakan setiap 1 tahun sekali setelah selesai masa panen. Pada acara tradisi ngunjung ini, semua warga desa datang ke makam anggota keluarga mereka disalah satu pemakaman yang sedang diadakan acara ngunjung ini sambil membawa nasi tumpeng, ayam panggang atau ayam goreng, ketupat dan lain lain dan kemudian mendo'akan keluarga mereka yang sudah meninggal tersebut. Pada tradisi ngunjung ini ada hiburan untuk meramaikannya, bisa berupa sandiwara, wayang kulit ataupun yang lainnya. Untuk hiburannya ini tergantung dana yang didapat dari hasil sumbangan sukarela masyarakat setempat, biasanya acara ngunjung yang diselenggarakan dimulai sekitar jam 11:00 WIB dan malamnya jam 21:00 WIB. Yang unik dari tradisi ngunjung ini adalah adanya suatu hiburan yang diselenggarakan di tengah-tengah pemakaman. Bayangkan kalau malam. Orang yang belum tahu mungkin menganggapnya serem dan pasti hiburan dan pedagangnya akan sepi penonton dan pembeli karena diadakan di tengah-tengah pemakaman. Anggapan ini tentu saja tidak benar, karena pada saat malam pun akan tetap ramai penonton. Mereka menonton hiburan tersebut sambil duduk duduk diatas pusara makam
50
sambil senderan dibatu nisan. Begitupun dengan pedagang. Mayoritas pedagang, barang dagangannya akan habis terbeli bahkan tidak sampai malam, para pedagang ini sudah kehabisan barang dagangannya. Upacara Ngunjung ini, dilakukan sebagai ungkapan rasa menghormati kepada arwah leluhur, tradisi ini dianggap oleh masyarakt akan membawa keselamatan dan keberkahan (Petok, Dadang, Jumedi 25-27/9/2014). e. Tradisi Mapag Tamba Yaitu upacara yang dilaksanakan dengan tujuan agar desa terhindar dari bencana seperti banjir yang sering melanda lahan pertanian, kegiatan ini dilakukan dengan cara membawa air tambak ke dalam bungbung bambu yang berasal dari kasepuhan atau sumber mata air untuk dituangkan ke dalam sawah. Sebelum itu, air yang di bawa dari mata air tersebut terlebih dahulu diarak keliling desa kemudian disiramkan ke air yang mengalir di sawah. Upacara Mapag Tamba yang dimaksudkan sebagai ritual untuk meminta keberkahan dalam usaha pertanian mereka juga memohon keselamatan atas kehidupan warga, dan penghormatan atas leluhur (Sarwah, Ecih, Tarma 22/10/2014). f. Tradisi Mapa Sri Mapag Sri adalah salah satu adat atau budaya masyarakat Indonesia khususnya Jawa dan Sunda yang dilaksanakan untuk menyambut datangnya panen, sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa. Mapag Sri apabila dilihat dari bahasa Jawa halus mengandung arti menjemput padi. Dalam bahasa Jawa halus, mapag berarti menjemput,
51
sedangkan Sri dimaksudkan sebagai padi. Maksud dari menjemput padi adalah panen. Mapag Sri adalah ritual yang terhubung dengan mitos Dewi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang dianggap sebagai Dewa Padi. Bagi masyarakat tradisional khususnya wilayah pesisir pantura Indramayu, Dewi Sri adalah dewi pemberi kehidupan dan menuntun orang pada berbagai tatacara menghormati arti kehidupan. Oleh karena itu, jikalau orang hendak menuai padi yang telah menguning, sebelumnya beberapa bulir padi dipungut dan dibentuk seperti dua orang (lambang sepasang pengantin) yang dipertemukan dan diarak pulang, dengan harapan bahwa padi mendatangkan hidup yang bermanfaat bagi yang memilikinya. Sanghyang Sri adalah hidayah, lambang Dunia Atas yang sengaja diundang turun ke bumi untuk memberikan berkatnya. Padi, mulai dari tanam sampai panen di upacarakan dengan bermacam-macam cara. Sebutannya juga bermacam-macam: Ngampihkeun, Ngaseuk, dan sebagainya. Demikian pula pelaksanaannya, masing-masing mempunyai tatacaranya sendiri. Waktu dan tempat pelaksanaannya tidak bisa sembarangan, biasanya dihitung berdasarkan hari wuku dan hari pasaran. Di dalam upacara tersebut, biasanya disediakan sesaji dan kesenian. Sesaji adalah bagian penting dalam upacara itu. Tanpa sesaji, upacara itu menjadi tak lengkap. Jenis sesaji yang harus disediakan, di masingmasing tempat berbeda. Demikian pula kesenian yang dihadirkannya. Di Cirebon dan Indramayu, disertai dengan tari topeng dan wayang kulit.
52
Dikebanyakan wilayah Indramayu, mapagsri selalu mementaskan tanggapan wayang kulit (Dasuki, Sarwah, Ecih, Tarma 21/10/2014). g. Tradisi Sedekah Bumi Adalah upacara yang dilaksanakan oleh petani pada saat akan turun menggarap sawahnya. Tradisi sedekah bumi ini, merupakan salah satu bentuk ritual tradisional. Pada upacara tradisi sedekah bumi tersebut umumnya, tidak banyak peristiwa dan kegiatan yang dilakukan didalamnya. Hanya saja, pada waktu acara tersebut biasanya seluruh masyarakat sekitar yang merayakan tradisi sedekah bumi membuat tumpeng dan berkumpul menjadi satu di tempat sesepuh kampong, di balai desa atau tempat yang telah disepakati masyarakat setempat untuk menggelar acara ritual sedekah bumi tersebut. Setelah itu, kemudian masyarakat membawa tumpeng tersebut ke balai desa atau tempat untuk di doakan oleh sesepuh adat, setelah selesai di doakan kemudian diserahkan kepada masyarakat setempat yang membuatnya sendiri. Nasi tumpeng yang sudah di doakan oleh sesepuh adat kemudian di makan secara ramai-ramai oleh masyarakat yang mengikuti tradisi sedekah bumi, pembuatan nasi tumpeng ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan pada saat upacara tradisonal itu. Makanan pokok yang harus ada dalam tradisi sedekah bumi adalah nasi tumpeng dan ayam pangggang, sedangkan yang lainnya seperti buah-buahan, minuman, dan lauk pauknya hanya bersifat tambahan saja, tidak menjadi prioritas yang utama,. Pada acara akhir para petani
53
biasanya menyisakan sebagian makanan itu dan diletakan disudut petak sawahnya masing-masing itu sebagai bentuk rasa syukur (Dasuki, Item, Jin 23/10/2014). h. Tradisi Baritan Baritan adalah suatu tradisi masyarakat yang dilaksanakan ketika ada marabahaya seperti angin besar, gempa bumi (lindu), dan penyakit, upacara ini dilakukan di desa Kebon Randu, tradisi baritan ini diyakini sebagai ritual tolak bala (keselamatan). Biasanya upacara ini digelar di perempatan jalan atau jembatan, sesajen yang disuguhkan biasanya berupa nasi tumpeng yang diatasnya berisi telur, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, kopi manis, kopi pait, teh manis, teh pahit dan lain sebagainya ditempat perempatan jalan atau di jembatan, kemudian berdoa bersama agar di hindarkan dari marabahaya (Sarwah, Ecih, Tarma 23/10/2014).
B. Iddah dalam Tradisi Indaramayu Dalam ilmu fikih bagi seorang isteri yang telah putus hubungan perkawinan dengan suaminya, apabila ditalak atau karena ditinggal mati oleh suaminya, maka mereka mempunyai akibat hukum yaitu „iddah (masa menunggu). Sedangkan dalam konsep fikih dalam iddah bahwasanya seorang wanita yang diceraikan suami atau berpisah akibat kematian suami, maka hendaklah para isteri itu menangguhkan dirinya beriddah empat bulan sepuluh hari. Bahkan dalam surat At-Thalaq menegaskan bahwa “apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
54
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru”. Dari itulah bahwasanya seorang wanita wajib menjalankan masa iddahnya. Iddah pada umumnya bahwasanya seseorang wanita tidak boleh keluar dari rumah ketika sedang menjalankan masa iddahnya. Sedangkan iddah di desa Kebon Randu ketika suaminya meninggal dengan melakukan ritual seperti nyiram makam bersama laki-laki lain yang bukan mukhrimnya, mengapa dengan laki-laki lain karena ada yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut yang akan menggantikan suami yang telah meninggal sebagai calon suaminya kelak nati atau bisa dijadikan saudara dan memberi makan yang berupa sesajen. Adapun proses dari tradisi cerai mati adat Jawa dengan menyiram makam, hal pertama yang dilakukan seorang isteri ketika proses pemakaman telah selsai kemudian sang isteri pulang kerumah mertuanya untuk melakukan tradisi memberi makan dengan menyuguhkan sesajen di letakan dipedaringan, sesajen itu seperti tumpeng diatasnya dengan telur putih, sega asahan, sega wuduk, ingkung ayam, kembang rasulan, bubur merah dan bubur putih, sega punar atau nasi kuning, apem, keten, air putih, air kopi. Setelah disiapkan kemudian sang isteri meletakan sesajen itu di dalam rumah berdekatan dengan tempat
55
pedaringan (tempat penyimpanan beras jaman dahulu), mengapa diletakan pedaringan, karena tempat itu yang biasanya para roh leluhur datang yang untuk meninta makan, terkadang kalu sesajenya tidak lengkap roh tersebut merasuki tubuh orang yang di sekitar rumah dan berasama kemenyan sebagai tanada pemanggilan leluhur yang telah meninggal.
Gambar 2 (sesajen dalam tradisi cerai mati) Setelah sang isteri selsai melakukan sesajen kemudian isteri berdiam diri di dalam kamar sampai menjelang magrib. Setelah itu kemudian kemenyan pun ditaburkan diatas wangwa (bara api) oleh sesepuh yang dianggap mengerti tentang ruh halus dan bisa mendatangkan para leluhur yang telah tiada, setelah itu dibacakan do‟a oleh buyut untuk memanggil arwah (kegiatan pemanggilan arwah ini dilakukan ketika menjelang terbenamnya matahari atau yang
56
dinamakan sendakala atau banganerep), setelah itu mereka melakukan tahlilan seperti biasanya yang diajarkan oleh agama Islam, akan tetapi sebelum dilakukan tahlilan seperti biasanya seorang isteri terlebih dahulu menyalakan damar di latar (halaman rumah) di tempat bekas pemandian suami yang meningal, mengapa diletakan disitu karena selama tujuh hari arawah masih disitu, dan damar adalah sebagai lambang penerangan di alam bakah, kemudian sesajen kecil dipersiapkan oleh sang isteri seperti tumpeng kecil, bawang lawe, damar (cluplak berisi minyak), pisang raja, telor, beras, kurungan ayam, yang kemudian diletakan di dalam kurungan ayam, lalu di sajikan ditempat bekas pemandian suaminya, selain itu biasanya sebelum tahlilan sang isteri menyiapkan bunga tujurupa yang kemudian dimasukan kedalam toples yang berisi air, dan uang receh kemudian disajikan ditengahtengah kumpulan orang tahlilan.
Gambar 3 (foto tahlilan dan sesajen)
57
Setelah selsai tahlilan kemudian toples yang berisi bunga tujuh rupa dan uang receh itu kemudian dibawa ke makam suaminya bersama dengan laki-laki lain untuk menyiramkan air yang berisi bunga tujuh rupa kemudian ditaburkan ke makam suaminya, tradisi ini dilakukan samapai mitungdina, setelah teradisi ini selsai biasanya hari berikut seorang isteri hanya meyuguhkan sesajen di triktikan selama sepuluh hari. Kemudian isteri juga boleh bercelaan ketika belum empat puluh hari, ini terhitung saat suaminya meningal bahkan belum boleh dilamar oleh orang lain sebelum mertuanya membolehkan. Mengapa keluar malam dengan laki-laki lain, ada yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut yang akan mengantikan sang suami yang telah meninggal, ada juga yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut akan menjadi saudaranya (Ratingkem, Ecih, 16/10/2014). C. Makna Iddah dalam Tradisi Indaramayu Pada upacara tradisi adat Jawa desa Kebon Randu dinamakan selamatan ini selain diadakan sesajen berupa: Sega asahan atau ambengan, sega wuduk dan lauk pauk segar/bumbu lembaran, ingkung ayam, kembang rasulan atau kembang telon, bubur merah dan bubur putih, sega punar atau nasi kuning, apem, ketan, air putih, air kopi. Semua itu disajikan di tempat pelaksanaan seperti tempat berdoda untuk orang meninggal bisa di pedaringan (tempat menyimpan beras) atau bisa juga ditempat makam. Adapun makana yang terkandung dalam sesajen tersebut yaitu:
58
1. Sega asahan atau ambengan; melambangkan suatu maksud agar arwah si mati maupun keluarga yang masih hidup kelak akan berada pada “pembenganing Pangeran”, artinya selalu mendapatkan ampun atas segala dosa-dosanya dan diterima di sisiNya (Dasuki 10/10/2014). 2. Sega wuduk dan lauk pauk segar/bumbu lembaran maksudnya untuk menjamu roh para leluhur (Dasuki 10/10/2014). 3. Ingkung ayam melambangkan kelakuan pasrah atau menyerah kepada kekuasaan Tuhan. Istilah ingkung atau diingkung mempunyai makna “dibanda” atau dibelenggu (Naritem, 11/10/2014). 4. Kembang rasulan atau kembang telon melambangkan keharuman doa yang dilontarkan dari hati yang tulus ikhlas lahir batin. Di samping itu bau harus mempunyai makna kemuliaan ( Ratingkem, 12/10/2014). 5. Bubur merah dan bubur putih melambangkan keberanian dan kesucian dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Allah. Makanan khas yang mejadi symbol do‟a, harapan, persatuan dan semnangat masyarakat orang jawa. Di samping itu bubur merah untuk memule atau tanda bakti kepada roh dari bapak atau roh laki-laki dan bubur putih sebagai tanda bakti kepada roh dari ibu atau roh perempuan. Secara komplitnya adalah sebagai tanda bakti kepada bapa angkasa ibu pertiwi atau penguasa langit dan bumi, semua dibekteni dengan harapan akan memberikan berkah, baik kepada si mati maupun kepada yang masih hidup (Ratingkem, Naritem, 11/10/2014).
59
6. Sega punar atau nasi kuning melambangkan kemulian, sebab warna atau cahaya kuning melambangkan sifat kemuliaan. Juga dimaksudkan sebagai jamuan mulia kepada yang dipujinya (Dasuki, Tani, 11/10/2014). 7. Apem melambangkan payung dan tameng, dan dimaksudkan agar perjalanan roh si mati maupun yang masih hidup selalu dapat menghadapi tantangannya dan segala rintangan, bahkan mendapatkan perlindungan dari yang maha kuasa dan para leluhurnya. Dan ada juga yang mengatakan sebagai symbol permintaan maaf atau ngapuro (Ratingkem, 12/10/2014). 8. Ketan adalah salah satu makanan dari beras yang mempunyai sifat”pliket‟ atau lekat. Dari kata pliket atau ketan, keraket melambangkan suatu keadaan atau tujuan yang tidak luntur atau layu, artinya tidak kenal putus asa (Ratingkem,12/10/2014). 9. Air putih adalah salah satu minuman yang mempunyai sifat murni atau bersish melambangkan suatu keadaan suci (Ratingkem, 12/10/2014). 10. Air kopi sebagai suatu sajian minuman terhadap orang terdahulu sebagai bentuk rasa hormat kepada leluhur (Ratingkem,12/10/2014). Dari makanan sajian lain seperti: Benang lawe, Damar dan sentir, Kurungan ayam, Clupak berisi minyak dan sumbu, Pisang raja, Beras, gula kelapa, Telor, dan lain sebagainya yang mana hal ini biasanya pada selamatan tiga hari adalah sebagai lambang dari segala perlengkapan hidup manusia sehari-hari, dan semua itu dimaksudkan sebagai bekal roh si mati dalam menjalani kehidupan di alam baka.
60
Adapun lambang atau makna dari semua itu antara lain: 1. Benang lawe adalah beang putih sebagai lambang tali suci sebagai pengikat atau tali hubugan antara keluarga yang ditinggalkan dengan yang sudah pergi jauh itu. 2. Damar dan sentir adalah lambang penerang, maksudnya agar roh si mati tadi selalu mendapatkan terang. 3. Kurungan ayam melambangan peneduh ketika di alam kubur. 4. Clupak berisi minyak dan sumbu melambangkan obor di perjalanan dan semangat yang tinggi. 5. Pisang raja sebagai lambang persembahan kepada yang maha kuasa di samping itu juga sebagai buah segar. 6. Beras, gula kelapa melambangkan makanan beserta lauk dan bumbunya, sebagai bekal hidup di alam kelanggengan. 7. Telor melambangkan kebulatan atau kemanunggalan berbagai sifat dan tujuan sebab telor itu sendiri terdiri dari berbagai lapisan, dan masingmasing lapisan mempunyai makna sendiri-sendiri (Ecih, Tarma 1516/10/2014). Mengapa masyarakat mengikuti tradisi seperti ini kareana mereka berkeyakinan bahwa pemberian sesaji merupakan hal biasa bahkan dianggap sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan. Sehingga diyakini pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji lalu pada suatu pada saat tidak diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan sesaji akan kualat (celaka, terkena kutukan). Inilah pemahaman yang diikuti oelah para leluhur
61
jaman dahulu sehingga sekarang masih mempercayai seperti hanya orang yang meninggal jika tidak diadakan selamatan 1 hari, 3 hari, 7 hari, 40 hari. Maka rohnya akan gentayangan sehingga mereka takut jika tidak melakukan tradisi tersebu dan mereka juga berpemahaman bahwa tradisi tersebut adalah sebagai bentuk soial anatara masyarakat yang satu dengan yang lain sehingga terciptanya masyarakat yang bergotong royong misalkan selametan 7 hari, biasanya tetangga membantu dalam memasak atau menyiapkan buat tahlilan. Sebenarnya tradisi tersebut adalah pengaruh dari ajaran Animisme dan Dinamisme serta dari agama Hindu dan Budha ini masih marak dilakukan oleh orang-orang pada jaman modernisasi yang serba canggih ini. Hal ini membuktikan pada kita bahwa sebenarnya manusianya secara naluri/fitrah meyakini adanya penguasa yang maha besar, yang pantas dijadikan tempat meminta, mengadu, mengeluh, berlindung, berharap dan lain-lain. Sedangkan maksud dari tradisi tersebut adalah sebagai tanda penghormatan atau rasa syukur terhadap semua yang terjadi dimasyarakat dan sebagai bentuk sosial terhadap masyarakat. D. Pengaruh Tokoh Adat dalam Tradisi Iddah di Indramayu Kalau dilihat dari tumbuhnya ritual tersebut memang bukan berasal dari desa Kebon Randu, munculnya ritual dan sesajen ini melainkan adalah dari leluhur yang sudah ada sejak dahulu sehingga agama atau kepercayaan sangat kuat, hal ini memang berangkat dari kebiasaan dari nenek moyang yang percaya akan adanya roh. Dan kepercayaan pada roh tersebut mempunyai beberapa sebutan, seperti animisme, dinamisme dan atheisme.
62
Kebiasaan dalam melakukan ritual ini banyak berkembang dalam kawasan Jawa, karena hal tersebut juga merupakan pengaruh dari kercayaan yang ada dan kemudian dengan adanya pengaruh agama Islam. Agama yang dibawa oleh para wali juga memberikan pengaruh penting bagi tumbuh dan berkembangnya ritual dan sesajen ini. Para wali yang melihat fenomena tersebut bukan lantas memberantas kebiasaan atau kebudayaan yang telah ada dan tumbuh subur dimasyarakat. Akan tetapi kebiasaan yang menghambur-hamburkan sesuatu (katakan saja makanan, karena dalam hal ini mengupas tentang sesajen) selanjutnya diarahkan untuk tidak dibuang dengan percuma. Para wali akhirnya mengarahkan masyarakat untuk memberikan makanan yang biasanya selalu hadir dalam bentuk kemasan yang berupa sesajen, kemudian makanan tersebut dibagikan kepada tetangga atau orang disekitarnya. Sehingga mengubah eksistensi dari sesajen tersebut, dari yang awalnya dibuang kemudian diberikasan atau disedekahkan.
hasil dari wawancara dengan masyarakat Kebon Randu bahwasanya, tradisi masa iddah adat Jawa seperti memberikan makan terhadap orang yang telah meninggal dunia dengan sesajen yaitu berasal dari leluhur yang disebut dengan embah buyut, nyai buyut, dalam ajaranya ternyata mengarahkan kepada kebaikan seperti menolong, bersedekah dengan melalui seperti hasil wawancara bahwasanya mengapa mereka melakukan kegiatan seperti ini, ternyata setelah saya mewawancarai beberapa orang yang terkait dengan tradisi tersebut yaitu pada jaman dahulu ketika ada seseorang pengemis yang meintaminta kepada seseorang warga yang punya rumah, kemudian kata si nenek tua
63
itu bilang “nak minta airnya saya kehausan” akan tetapi si pemilik rumah berkata: “ini airnya asin nek”, kemudian nenek itu berkata: “air ini selamanya akan menjadi air yang asin”, kemudian seketika nenek itu pergi, ternyata terbukti bahwasanya kemudian air sumur, air bornya menjadi asin, itu hanya satu desa yang terkena kejadian seperti itu ketika nenek itu menghampiri desa tersebut, setelah mewawancarai secara mendalam ternyata si pemilik rumah berbohong yang sehyarusnya air itu rasanya tawar, kemudian dia bilang ke nenek itu airnya asin, dan nenek tua itu ternyata mahluk halus yang ingin memberi cobaan kepada desa itu dengan kejadian seperti, ternyata nenek itu adalah jelmaan dari buyut sumur adem yang menunggu desa itu berpuluhpuluh tahun yang ingin menguji masayarakat sumur adem, sehingga sumber air yang di desa tersebut menjadi asin (Ratingkem, Naritem, Bonung, 14/10/2014).
Kejadian yang ke dua bahwa dulu desa tetangga ketika ada orang tua atau pengemis yang usianya lebih tua, beliau dengan membawa tongkat kecil, ketika itu nenek tua itu bilang kepada pemilik rumah “bu minta airnya, dengan nada pelan gemetar, kemudian si pemilik rumah tidak mau memberikan air minum kepada nenek tua itu, kemudian malah mengusir nenek “nek gak punya air” kemudian nenek itu berkata: entar juga ada musibah besar nok” kemudian seketika nenek itu pergi dari si pemilik rumah, terjadilah mala petaka datang ke desa itu dengan angin yang kencang Desa Karang Dawa itu banyak rumah yang rusak, kemudian rumah dari yang di datangi nenek tua tadi ternyata rusak tertimpah pepohonan, setelah saya wawancara mendalam ternyata beberapa orang mengatakan hal yang sama, nenek tua tersebut ternyata jelmaan dari
64
buyut penunggu Desa Karang Dawa yang ingin menguji masyarakat Desa Karang Dawa (Ratingkem, Casitem, 15-18/10/2014).
Dari peristiwa tersebut mengajarkan bahwa menolong sesama itu lebih penting, apa lagi memberi makan kepada orang yang telah meninggal, meskipun tidak ada wujudnya orang yang di berimakan akan tetapi ruhnya masih hidup, sehingga dari kejadian itu masyarakat Kebon Randu terpengaruh dan menjadi tradisi pemberian makan kepada orang yang telah meninggal, apalagi susminya yang meninggal mereka lebih menghormati dengan melakukan tradisi tersebut bahkan dalam masa iddahnya janda ketika suaminya meninggal maka tradisi tersebut tetap berjalan karena mereka tidak mau ditimpah mala peteka, atau sebagai rasa cinta terhadap suaminya bahkan kejadian yang berkaitan dengan tradisi masa iddah seperti kejadian yang pernah dialami oleh ibu Ratingkem, bahwasanya ketika anaknya meninggal, dia membuktikan kata orang tua jaman dahulu atau disebut buyut mereka berkata bahwa taruh lah abu letekan di kurungan ayanm yang diberi sentir/dama jika ingin melihat orang yang sudah meninggal tapi tapi masih ada di sekitar rumah, lalu selama masa-masa tujuh hari anaknya meninggal dia membuktikan dengan meneburkan abu di dalam kurungan ayam yang telah diberi dammar, selama tiga hari ternyata terbukti ada bekas kaki dari orang yang telah meninggal dunia, sehingga tradisi tersebut di yakini oleh masyarakt sebagai kebaikan.
65
Dapat saya simpulkan bahwasanya ternyata orang yang sudah meninggal itu ruh nya ternyata mendampingi mahluk yang masih hidup, dan mereka minta untuk di kirimin makanan seperti mahluk hidup lainnya tetapi mereka berbeda alam.
E. Pandangan Masyarakat Indramayu terhadap Iddah Adapun menurut pandangan masyarakat Islam tentang tradisi masa iddah cerai mati di desa Kebon Randu, bahwasanya tradisi tersebut adalah suatu kesunahan boleh dilakukan dan boleh juga tidak dilakukan (Rosyid, Muhaimin, 16/10/2014). Mengapa demikian, karena mereka menganggap sunah kalau di ibaratkan antara wajib dan sunah karena dalam Islam tidak mengajarkan, akan tetepi ada nilai-nilai sosial yang tumbuh dalam masyarakat yaitu sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah meninggal namun ketika orang itu sudah meninggal dia tidak bisa menerima makanan dari sang isteri, dan putus hubunganya dengan yang masih hidup, akan tetapi rasa hormat dari sang isteri kepada suaminya begitu besar dengan di wujudkan dalam tradisi tersebut.
Sehingga masyarakat Kebon Randu berbeda keyakinan, mengenai tradisi tersebut ada yang menganggap bahwa tradisi itu harus dilakukan, ada juga masyarakat moderen memendang bahwasanya tradisi tersebut tidak harus dilakukan. Mereka yang berkeyakinan menganggap bahwa tradisi itu harus dilakukan, karena mereka berpedoman kepada leluhur yang sudah-sudah, serta tradisi itu sudah bertahun-tahun, mengapa seperti itu karena mereka takut akan
66
keburukan datang jika tidak melakukanya. Mereka masyarakat moderen memendang bahwasanya tradisi tersebut tidak harus dilakukan karena mereka berpikirnya secara rasional sehingga apapun yang hal mengenai ritual mereka tidak mempercayainya.
67
BAB IV ANALISIS TRADISI CERAI MATI A. Tradisi Iddah Cerai Mati di Desa Kebon Randu Dalam ilmu fiqih bagi seorang istri yang telah putus hubungan perkawinan dengan suaminya, apabila ditalak atau karena ditinggal mati oleh suaminya, maka mereka mempunyai akibat hukum yaitu „iddah (masa menunggu). Bahkan dalam Al Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 234 dijelaskan bahwasanya orang yang meninggal dunia yang meninggalkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri itu menangguhkan dirinya (ber‟iddah) selama empat bulan sepuluh hari. Kemudian dipertegas dalam surat Ath-Thalaq ayat 1 bagi isteri yang sedang menjalankan iddah janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. Sedangkan Menurut Mazhab Imam Syafi‟i & Maliki seorang isteri yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi telah dicampuri maka iddahnya lanjut tempoh iddah supaya cukup tempoh iddah mati. Menurut Mazhab Imam Hanafi & Hambali seorang isteri yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi belum dicampuri maka iddahnya ubah menjadi iddah mati. Bahkan dalam undangundang Kompilasi Hukum Islam diterangkan juga bahwasanya bagi seorang
68
isteri yang putus perkawinannya dari suaminya, berlaku baginya waktu tunggu (masa„iddah), kecuali apabila seorang istri dicerai suaminya sebelum berhubungan (qabla al-dukhul), karena kematian, perceraian atau atas keputusan pengadilan. Dari itulah hukum iddah wajib bagi seorang isteri yang ditinggal mati suaminya bahkan dilarang keluar sebelum 4 bulan sepuluh hari. Iddah pada umumnya bahwasanya seseorang wanita tidak boleh keluar dari rumah ketika sedang menjalankan masa iddahnya. Sedangkan iddah di desa Kebon Randu ketika suaminya meninggal dengan melakukan ritual seperti nyiram makam bersama laki-laki lain yang bukan mukhrimnya, mengapa dengan laki-laki lain karena ada yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut yang akan menggantikan suami yang telah meninggal sebagai calon suaminya kelak nati atau bisa dijadikan saudara dan memberi makan yang berupa sesajen. Adapun proses dari tradisi cerai mati adat Jawa dengan menyiram makam, hal pertama yang dilakukan seorang isteri ketika proses pemakaman telah selsai kemudian sang istri pulang kerumah mertuanya untuk melakukan tradisi memberi makan dengan menyuguhkan sesajen di letakan dipedaringan, sesajen itu seperti tumpeng diatasnya dengan telur putih, sega asahan, sega wuduk, ingkung ayam, kembang rasulan, bubur merah dan bubur putih, sega punar atau nasi kuning, apem, keten, air putih, air kopi. Setelah disiapkan kemudian sang isteri meletakan sesajen itu di dalam rumah berdekatan dengan tempat pedaringan (tempat penyimpanan beras jaman dahulu), mengapa diletakan pedaringan, karena tempat itu yang biasanya para roh leluhur datang yang untuk meninta makan, terkadang kalu sesajenya tidak lengkap roh tersebut
69
merasuki tubuh orang yang di sekitar rumah dan berasama kemenyan sebagai tanada pemanggilan leluhur yang telah meninggal. Setelah sang isteri selsai melakukan sesajen kemudian istri berdiam diri di dalam kamar sampai menjelang magrib. Setelah itu kemudian kemenyan pun ditaburkan diatas wangwa (bara api) oleh sesepuh yang dianggap mengerti tentang ruh halus dan bisa mendatangkan para leluhur yang telah tiada, setelah itu dibacakan do‟a oleh buyut untuk memanggil arwah (kegiatan pemanggilan arwah ini dilakukan ketika menjelang terbenamnya matahari atau yang dinamakan sendakala atau banganerep), setelah itu mereka melakukan tahlilan seperti biasanya yang diajarkan oleh agama Islam, akan tetapi sebelum dilakukan tahlilan seperti biasanya seorang isteri terlebih dahulu menyalakan damar di latar (halaman rumah) di tempat bekas pemandian suami yang meningal, mengapa diletakan disitu karena selama tujuh hari arawah masih disitu, dan damar adalah sebagai lambang penerangan di alam bakah, kemudian sesajen kecil dipersiapkan oleh sang isteri seperti tumpeng kecil, bawang lawe, damar (cluplak berisi minyak), pisang raja, telor, beras, kurungan ayam, yang kemudian diletakan di dalam kurungan ayam, lalu di sajikan ditempat bekas pemandian suaminya, selain itu biasanya sebelum tahlilan sang isteri menyiapkan bunga tujurupa yang kemudian dimasukan kedalam toples yang berisi air, dan uang receh kemudian disajikan ditengahtengah kumpulan orang tahlilan. Setelah selsai tahlilan kemudian toples yang berisi bunga tujuh rupa dan uang receh itu kemudian dibawa ke makam suaminya bersama dengan laki-laki
70
lain untuk menyiramkan air yang berisi bunga tujurupa kemudian ditaburkan ke makam suaminya, tradisi ini dilakukan samapai mitungdina, setelah teradisi ini selsai biasanya hari berikut seorang isteri hanya meyuguhkan sesajen di triktikan selama sepuluh hari. Kemudian isteri juga boleh bercelaan ketika belum empat puluh hari, ini terhitung saat suaminya meningal bahkan belum boleh dilamar oleh orang lain sebelum mertuanya membolehkan. Mengapa keluar malam dengan laki-laki lain, ada yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut yang akan mengantikan sang suami yang telah meninggal, ada juga yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut akan menjadi saudaranya Analisis tradisi adat Jawa di desa Kebon Randu 1. Mengenai tradisi sesajen yang berlangsung dimasyarakat ada dua hukum yaitu: a. Hukumnya haram, apabila berniat mendekatkan diri kepada Jin, ini seperti
dijelaskan
dalam
surat
an-Nisaa‟ayat
48
bahwasanya
“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar”. Bahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 168 bahwsanya “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
71
b. Hukumnya boleh, jika diniatkan dengan sedekah dan medekatkan diri pada allah. Dalam kaidah fikih ada yang namanya kaidah Al-„Adah AlMuhakkamah yang mana memiliki arti bahwa Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum. Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari‟. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Pada dasarnya kaidah ini ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan „adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Kalau dilihat dari latar belakang muncul terjadinya tradisi tersebut seperti dalam metode ushul fiqih antara Urf dan Adat. Ufr mempunyai makna bahwa suatu amaliyah atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakanya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaanya. Sedangkan adat sendiri bermakan suatu amaliah atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara
72
kontinyu manusia mau mengulanginya. Dari definisi tersebut dapat diambil pengertian bahwa urf dan adat adalah dua perkataan yang memiliki arti yang sama dan tidak ada perbedaan diantara keduangaya, oleh sebab itu hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku yang positif yang disatu pihak mempunyai sangsi karena itu lah sebagai hukum. Maka diqiyaskan dalam tradisi cerai mati di desa Kebon Randu, ada namanya tradisi nyiram makam, pekerjaan ini yang dilakukan masyarakat Kebon Randu dinamakan amaliyah (perbuatan) dalam metode usul fiqih, sedangkan perkataan adalah pendapat yang di bawa dari sesepu kemudian berpengaruh terhadap masyarakat yang kemudian dilakukan oleh masyarakat terus menerus sehingga dipercayai. Maka dalam usul fiqih ada yang namanya taqlid yaitu beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain tanpa ada dasar yang kuat. 2. Mengnai tradisi iddah cerai mati dengan keluar malam dengan laki-laki lain hukumnya haram, karena sudah di jelaskan secara ksplisit oleh dalil nass al-Qur‟an maupun Sunnah, seperti dalam surat Al-Baqarah 234 bahwasanya "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat." Al-Baqarah: 234 kemudian dipertegas dengan surat surat Ath-Thalaq: 1 bahwa “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
73
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru”. Ayat ini menjelaskan secara rinci tentang iddah, bahwasanya ketika wanita masih dalam masa iddah tidak boleh keluar rumah sedangkan dalam tradisi cerai mati adat Jawa di desa kebon randu ketika wanita ditinggal mati suaminya melakukan tradisi nyiram makam bersama orang lain. Sehingga seorang wanita ditinggal mati suaminya wajib menjalankan masa iddahnya, ini didasarkan pada dalil Al-Qur‟an dan sunah. Bahkan di pertegas dengan undang-undang kompilasi hukum Isalam, undang-undang no 1 tahun 1974 dalam pasal 11 dan pendapat para ulama, bahwa wanita wajib menjalankan iddahnya sebagaimana tertera dalam Al-Qur‟an. Ini ketika di analisis dari metode usul fiqih dengan mengunakan Metode Ta‟arudh Al-Adillah. Pertama dilihat dari pengertian Ta‟arudh beratri pertentangan antara satu dengan yang lain. Sedangkan Al-Adillah adalah suatu ungkapan yang dipakai untuk meniadakan dua dalil atau beberapa dalil yang menunjukan pertentangan yang sulit dikomporomikan antara keduanya misalkan antara dua dalil yang satu menunjukan wajib sementara yang lain menunjukan hukum nya haram. Ini di qiyaskan dengan dalil surat At-Thalaq yang melarang wanita keluar malam hari sedangkan dalil yang menjadikan patokan tradisi adalah Al-„Adah Al-
74
Muhakkamah yang mana memiliki arti bahwa adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum. Maka dari situlah bertentangan antara dalil yang satu dengan dalil yang lain. Sehingga cara penyelsaianya dengan mengunakan naskh yaitu menghapus salah satu hukum dari dua dali atau pemindahan dengan mengkaji, untuk menghapus salah satu dalil maka dilihat dari kualitas dalinya dan dilihat dari sejarah turunya dalil tersebut/siapa yang meriwayatkanya. Jadi hukum tradisi keluar malam ketika dalam masa iddah adalah hukumnya haram, karena dalil yang satu diriwayatkan oleh Allah, sedangkan dalil yang satunya hasil ijtihad manusia. Maka yang digunakan dalil Al-Qur‟an surat At-Thalaq ayat 1. B. Makna Tradisi Masa Iddah Cerai Mati di Desa Kebon Randu Kalau dilihat dari tumbuhnya ritual tersebut memang bukan berasal dari Kebon Randu, munculnya ritual dan sesajen ini adalah dari penganut orang terdahulu yang mepercayaan pada sang widi (Hindu). Hal ini memang berangkat dari kebiasaan dari nenek moyang yang percaya akan adanya roh. Tradisi ini sangat penting dalam masyarakat Kebon Randu karena teradisi tersebut sudah berjalan lama sehingga dianggap sakral jika tidak dilakukan, biasanya akan terkena musibah, acara sesajen ini biasanya diadakan ketika ada hajat dalam keluarga seperti pernikahan, orang meninggal dan acar slametan biasanya menggunakan sesajen, rokat (ruwetan), sesajen selalu hadir ditengahtengah acara tersebut. Dari tradisi tersebut, semua komponen harus lengkap dan tidak boleh kurang satupun dari beberapa hal yang telah ada. Karena
75
semua komponen tersebut mempunyai simbol dan pemaknaan yang berbeda dan keberadaanya pun akan melengkapi dari acara yang akan berlangsung. Karena keberadaan ritual dan sesajen ini bukan hanya semata-mata bentuk ritual saja akan tetapi ada nilai yang harus ada dalam pelaksanaan tersebut seperti Tumpeng urubung, damar, sinar lampu, ini bermakna sebaik-baiknya orang itu yang bermanfaat bagi orang lain dan berwibawa. Ini melambangkan bahwa dalam menjalani kehidupan, orang tidak boleh egois, mementingkan diri sendiri, saling menolong dan welas asih, haruslah diutamakan Dalam tradisi Kebon Randu Slametan pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan makanan tujuh rupa seperti tumpeng diatasnya dengan telur putih, sega asahan, sega wuduk, ingkung ayam, kembang rasulan, bubur merah dan bubur putih, sega punar atau nasi kuning, apem, keten, air putih, air kopi. Menurut tradisi Islam Jawa, "Tumpeng" merupakan akronim dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya "Buceng", dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh). Dua kalimat akronim itu, berasal dari sebuah do‟a dalam surah al Isra' ayat 80: "Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan". Menurut ustadz (Muhaimin 16/10/2014). do‟a ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan
76
menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Adapun makna dari makanan teradisi tersebut seperti: 1. Sega asahan atau ambengan; melambangkan suatu maksud agar arwah si mati maupun keluarga yang masih hidup kelak akan berada pada “pembenganing Pangeran”, artinya selalu mendapatkan ampun atas segala dosa-dosanya dan diterima di sisiNya. 2. Sega wuduk dan lauk pauk segar/bumbu lembaran maksudnya untuk menjamu roh para leluhur. 3. Ingkung ayam melambangkan kelakuan pasrah atau menyerah kepada kekuasaan Tuhan. Istilah ingkung atau diingkung mempunyai makna “dibanda” atau dibelenggu. 4. Kembang rasulan atau kembang telon melambangkan keharuman doa yang dilontarkan dari hati yang tulus ikhlas lahir batin. Di samping itu bau harus mempunyai makna kemuliaan. 5. Bubur merah dan bubur putih melambangkan keberanian dan kesucian dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Allah. Maknan khas yang mejadi simbol do‟a, harapan, persatuan dan semangat masyarakat orang jawa. Di samping itu bubur merah juga tanda bakti kepada roh dari bapak atau roh laki-laki dan bubur putih sebagai tanda bakti kepada roh dari ibu atau roh perempuan. Secara komplitnya adalah sebagai tanda bakti dari anak orang tua atau kepada bapak dan ibu pertiwi atau penguasa langit
77
dan bumi, semua di baktikan dengan harapan akan memberikan berkah, baik kepada si mati maupun kepada yang masih hidup. 6. Sega punar atau nasi kuning melambangkan kemulian, sebab warna atau cahaya kuning melambangkan sifat kemuliaan. Juga dimaksudkan sebagai jamuan mulia kepada yang dipujinya. 7. Apem melambangkan payung dan tameng, dan dimaksudkan agar perjalanan roh si mati maupun yang masih hidup selalu dapat menghadapi tantangannya dan segala rintangan, bahkan mendapatkan perlindungan dari yang maha kuasa dan para leluhurnya. Dan ada juga yang mengatakan sebagai symbol permintaan maaf atau ngapuro. 8. Ketan adalah salah satu makanan dari beras yang mempunyai sifat”pliket‟ atau lekat. Dari kata pliket atau ketan, ke-raket melambangkan suatu keadaan atau tujuan yang tidak luntur atau layu, artinya tidak kenal putus asa. 9. Air putih adalah salah satu minuman yang mempunyai sifat murni atau bersish melambangkan suatu keadaan suci. 10. Air kopi sebagai suatu sajian minuman terhadap orang terdahulu sebagai bentuk rasa hormat kepada leluhur. Adapun lambang atau makna dari semua itu antara lain: 1. Benang lawe adalah benag putih sebagai lambang tali suci sebagai pengikat atau tali hubugan antara keluarga yang ditinggalkan dengan yang sudah pergi jauh itu.
78
2. Damar dan sentir adalah lambang penerang, maksudnya agar roh si mati tadi selalu mendapatkan terang. 3. Kurungan ayam melambangan peneduh 4. Clupak berisi minyak dan sumbu melambangkan obor di perjalanan dan semangat yang tinggi. 5. Pisang raja sebagai lambang persembahan kepada yang maha kuasa di samping itu juga sebagai buah segar. 6. Beras, gula kelapa melambangkan makanan beserta lauk dan bumbunya, sebagai bekal hidup di alam kelanggengan. 7. Telor melambangkan kebulatan atau kemanunggalan berbagai sifat dan tujuan sebab telor itu sendiri terdiri dari berbagai lapisan, dan masing-masing lapisan mempunyai makna sendiri-sendiri. Dari semua makna yang ada dalam tradisi tersebut menggambarkan wujud syukur kepada sang pencipta. Disemping itu wujud sosial mayarakat terhadap orang lain atau sedekah dari harta yang ditinggalkan orang yang telah meninggal. Hukumnya haram, apabila berniat mendekatkan diri kepada jin, ini seperti dijelaskan dalam surat an-Nisaa‟ayat 48 bahwasanya “Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik)
itu,
bagi
siapa
yang
dikehendaki-Nya.
Barangsiapa
yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar”. Bahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 168 bahwsanya “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
79
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. Hukumnya boleh, jika diniatkan dengan sedekah dan medekatkan diri pada allah. Dalam kaidah fikih ada yang namanya kaidah Al-„Adah AlMuhakkamah yang mana memiliki arti bahwa Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum. Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari‟. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Pada dasarnya kaidah ini ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan „adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. C. Presepektif Hukum Islam Tradisi Iddah Cerai Mati Iddah di desa Kebon Randu ketika suaminya meninggal dengan melakukan ritual seperti nyiram makam bersama laki-laki lain yang bukan mukhrimnya, mengapa dengan laki-laki lain karena ada yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut yang akan menggantikan suami yang telah meninggal
80
sebagai calon suaminya kelak nati atau bisa dijadikan saudara dan memberi makan yang berupa sesajen. Adapun proses dari tradisi cerai mati adat Jawa dengan menyiram makam, hal pertama yang dilakukan seorang isteri ketika proses pemakaman telah selsai kemudian sang isteri pulang kerumah mertuanya untuk melakukan tradisi memberi makan dengan menyuguhkan sesajen di letakan dipedaringan, sesajen itu seperti tumpeng diatasnya dengan telur putih, sega asahan, sega wuduk, ingkung ayam, kembang rasulan, bubur merah dan bubur putih, sega punar atau nasi kuning, apem, keten, air putih, air kopi. Setelah disiapkan kemudian sang isteri meletakan sesajen itu di dalam rumah berdekatan dengan tempat pedaringan (tempat penyimpanan beras jaman dahulu), mengapa diletakan pedaringan, karena tempat itu yang biasanya para roh leluhur datang yang untuk meninta makan, terkadang kalu sesajenya tidak lengkap roh tersebut merasuki tubuh orang yang di sekitar rumah dan berasama kemenyan sebagai tanada pemanggilan leluhur yang telah meninggal. Setelah sang isteri selsai melakukan sesajen kemudian isteri berdiam diri di dalam kamar sampai menjelang magrib. Setelah itu kemudian kemenyan pun ditaburkan diatas wangwa (bara api) oleh sesepuh yang dianggap mengerti tentang ruh halus dan bisa mendatangkan para leluhur yang telah tiada, setelah itu dibacakan do‟a oleh buyut untuk memanggil arwah (kegiatan pemanggilan arwah ini dilakukan ketika menjelang terbenamnya matahari atau yang dinamakan sendakala atau banganerep), setelah itu mereka melakukan tahlilan seperti biasanya yang diajarkan oleh agama Islam, akan tetapi sebelum
81
dilakukan tahlilan seperti biasanya seorang isteri terlebih dahulu menyalakan damar di latar (halaman rumah) di tempat bekas pemandian suami yang meninggal, mengapa diletakan disitu karena selama tujuh hari arawah masih disitu, dan damar adalah sebagai lambang penerangan di alam bakah, kemudian sesajen kecil dipersiapkan oleh sang isteri seperti tumpeng kecil, bawang lawe, damar (cluplak berisi minyak), pisang raja, telor, beras, kurungan ayam, yang kemudian diletakan di dalam kurungan ayam, lalu di sajikan ditempat bekas pemandian suaminya, selain itu biasanya sebelum tahlilan sang isteri menyiapkan bunga tujurupa yang kemudian dimasukan kedalam toples yang berisi air, dan uang receh kemudian disajikan ditengahtengah kumpulan orang tahlilan. Setelah selsai tahlilan kemudian toples yang berisi bunga tujuh rupa dan uang receh itu kemudian dibawa ke makam suaminya bersama dengan laki-laki lain untuk menyiramkan air yang berisi bunga tujurupa kemudian ditaburkan ke makam suaminya, tradisi ini dilakukan samapai mitungdina, setelah teradisi ini selsai biasanya hari berikut seorang isteri hanya meyuguhkan sesajen di triktikan selama sepuluh hari. Kemudian isteri juga boleh bercelaan ketika belum empat puluh hari, ini terhitung saat suaminya meningal bahkan belum boleh dilamar oleh orang lain sebelum mertuanya membolehkan. Mengapa keluar malam dengan laki-laki lain, ada yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut yang akan mengantikan sang suami yang telah meninggal, ada juga yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut akan menjadi saudaranya.
82
Analisis tradisi cerai mati adat Jawa nyiram makam di masyarakat Kebon Randu: 1. Mengenai tradisi sesajen yang berlangsung dimasyarakat ada dua hukum yaitu: a. Hukumnya haram, apabila berniat mendekatkan diri kepada jin, ini seperti
dijelaskan
dalam
surat
an-Nisaa‟ayat
48
bahwasanya
“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar”. Bahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 168 bahwsanya “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. b. Hukumnya boleh, jika diniatkan dengan sedekah dan medekatkan diri pada allah. Dalam kaidah fikih ada yang namanya kaidah al-„adah almuhakkamah yang mana memiliki arti bahwa Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum. Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari‟. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Pada dasarnya kaidah ini ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak
83
lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan „adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Imam Ibnu Katsir berkata, bahwasanya Allah ta‟ala memerintahkan kepada hamba-hambaNya yang beriman untuk saling menolong dalam melakukan
perbuatan-perbuatan
baik,
yang
ini
adalah
Al-Birr
(kebajikan), dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mungkar, yang ini adalah ketakwaan, serta melarang mereka dari saling membantu dalam kebatilan dan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan maksiat. Seperti dalam surat Al-Ma‟idah ayat 2 bahwasanya “Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” Bahkan dijelaskan dalam surat An Nisaa‟: 48 bahwsanya “Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakinya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar.”
84
2. Mengnai tradisi iddah cerai mati dengan keluar malam dengan laki-laki Menurut ustadz (Muhaimin16/10/2014) dalam Islam ada aturan yang ditunjukan terhadap semua umat muslism yang berupa hukum-hukum Islam baik kitab suci Al-Qur‟an maupun Al- Hadist namun dalam hal ini seorang isteri ketika sudah bercerai dari suaminya, baik dicerai suami dalam kondisi apapun, cerai mati atau hidup, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, maka seorang isteri wajib menjalani masa iddah. Bahakan dalam imam mazhab sepakat atas wajibnya iddah atas wanita yang ditinggal mati suaminya, mengapa seperti itu karena mereka berlandasan kepada kitab suci Al-Qur‟an dan Hadist seperti dalam Surat Al-Baqar‟ah ayat: 234 yang menjelaskan bahwa“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri itu menangguhkan diri nya (ber‟iddah) selama empat bulan sepuluh hari”. Bahakn dalam Surat Ath-Thalaq: 1 menjelaskan bahwa “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru”. Menurut para ulama mazhab ketika Iddah perempuan kematian suami adalah 4 bulan 10 hari sekalipun perempuan tersebut di dalam keadaan belum pernah mengalami haid, mengandung, telah mengalami
85
haid, telah putus masa haid, telah dicampuri atau belum dicampuri. Tetapi berbeda pendapat pada keadaan seperti di bawah. Keadaan semasa perceraian dan pendapat mazhab empat. a. Jumhur Ulama‟ mengatakan bahwasanya iddah seseorang yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi hamil maka iddahnya sepertimana orang hamil atau sampai anak itu lahir. Ini untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang dalam keadaan hamil atau tidak, karena dalam syariat Islam telah mensyariatkan masa 'iddah untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan. b. Jumhur Ulama mengatakan bahwasanya iddah seseorang yang ditinggal
mati
suaminya,
ketika
dalam
kondisi
haid
maka
memperbaruhi iddahnya sampai 3 kali suci. Iddah ini untuk perempuan yang sedang dalam kondisi haid, ketika ditinggal mati suaminya, maka iddahnya perbaharui dengan masa iddah 3 kali suci. c. Jumhur Ulama‟ mengatakan bahwasanya iddah seseorang yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi telah putus masa haid maka meneruskan dengan 3 kali suci (Bain). Iddah ini untuk perempuan yang sedang dalam kondisi telah putus masa haid, maka masa iddah perempuan menjadi 3 kali suci (Bain). d. Syafie & Maliki seseorang isteri yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi telah dicampuri maka iddahnya Lanjut tempoh iddah supaya cukup tempoh iddah mati. Karena dalam masa iddah seseorang wanita dilarang untuk menikah sebelum masa iddah itu
86
selesai. Ini digunakan untuk mengetahui kebersihan rahim seseorang wanita. e. Hanafi & Hambali seseorang istri yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi belum dicampuri maka iddahnya di ubah menjadi iddah mati. Iddah ini untuk perempuan yang belum dicampuri. Sedangkan, ketika dalam kondisi haid dan sudah di talak sebelum meninggal maka iddahnya seperti iddahnya mati suaminya atau 3 kali suci Bain. Menurut Abdurrahman wanita yang sedang dalam masa iddah juga dilarang keluar rumah baik siang hari maupun malam hari. Ulama hanafi mengatakan, perempuan yang menjalani masa iddah karena ditalak satu, dua, tiga tidak boleh keluar rumah siang hari maupun malam hari. Tentu saja berbeda dengan janda yang telah resmi bercerai. Sedangkan menurut Ulama Hambali membolehkan wanita keluar rumah pada siang hari, baik dia dalam iddah karena cerai ataupun ditinggal mati suaminya. maka semuanya diberlakukan tidak saja untuk keselamatan wanita tersebut untuk menghindari fitnah.
87
BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan 1. Iddah di desa Kebon Randu ketika suaminya meninggal dengan melakukan ritual seperti nyiram makam bersama laki-laki lain yang bukan mukhrimnya, mengapa dengan laki-laki lain karena ada yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut yang akan menggantikan suami yang telah meninggal sebagai calon suaminya kelak nati atau bisa dijadikan saudara dan memberi makan yang berupa sesajen. Adapun proses dari tradisi cerai mati adat Jawa dengan menyiram makam, hal pertama yang dilakukan seorang isteri ketika proses pemakaman telah selsai kemudian sang istri pulang kerumah mertuanya untuk melakukan tradisi memberi makan dengan menyuguhkan sesajen di letakan dipedaringan, sesajen itu seperti tumpeng diatasnya dengan telur putih, sega asahan, sega wuduk, ingkung ayam, kembang rasulan, bubur merah dan bubur putih, sega punar atau nasi kuning, apem, keten, air putih, air kopi. Setelah disiapkan kemudian sang istri meletakan sesajen itu di dalam rumah berdekatan dengan tempat pedaringan (tempat penyimpanan beras jaman dahulu), mengapa diletakan pedaringan, karena tempat itu yang biasanya para roh leluhur datang yang untuk meninta makan, terkadang kalu sesajenya tidak lengkap roh tersebut merasuki tubuh orang yang di sekitar rumah dan berasama kemenyan sebagai tanada pemanggilan leluhur yang telah meninggal.
88
Setelah sang isteri selsai melakukan sesajen kemudian istri berdiam diri di dalam kamar sampai menjelang magrib. Setelah itu kemudian kemenyan pun ditaburkan diatas wangwa (bara api) oleh sesepuh yang dianggap mengerti tentang ruh halus dan bisa mendatangkan para leluhur yang telah tiada, setelah itu dibacakan do‟a oleh buyut untuk memanggil arwah (kegiatan pemanggilan arwah ini dilakukan ketika menjelang terbenamnya matahari atau yang dinamakan sendakala atau banganerep), setelah itu mereka melakukan tahlilan seperti biasanya yang diajarkan oleh agama Islam, akan tetapi sebelum dilakukan tahlilan seperti biasanya seorang isteri terlebih dahulu menyalakan damar di latar (halaman rumah) di tempat bekas pemandian suami yang meningal, mengapa diletakan disitu karena selama tujuh hari arawah masih disitu, dan damar adalah sebagai lambang penerangan di alam bakah, kemudian sesajen kecil dipersiapkan oleh sang isteri seperti tumpeng kecil, bawang lawe, damar (cluplak berisi minyak), pisang raja, telor, beras, kurungan ayam, yang kemudian diletakan di dalam kurungan ayam, lalu di sajikan ditempat bekas pemandian suaminya, selain itu biasanya sebelum tahlilan sang isteri menyiapkan bunga tujurupa yang kemudian dimasukan kedalam toples yang berisi air, dan uang receh kemudian disajikan ditengah-tengah kumpulan orang tahlilan. Setelah selsai tahlilan kemudian toples yang berisi bunga tujuh rupa dan uang receh itu kemudian dibawa ke makam suaminya bersama dengan lakilaki lain untuk menyiramkan air yang berisi bunga tujurupa kemudian ditaburkan ke makam suaminya, tradisi ini dilakukan samapai mitungdina,
89
setelah teradisi ini selsai biasanya hari berikut seorang isteri hanya meyuguhkan sesajen di triktikan selama sepuluh hari. Kemudian isteri juga boleh bercelaan ketika belum empat puluh hari, ini terhitung saat suaminya meningal bahkan belum boleh dilamar oleh orang lain sebelum mertuanya membolehkan. Mengapa keluar malam dengan laki-laki lain, ada yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut yang akan mengantikan sang suami yang telah meninggal, ada juga yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut akan menjadi saudaranya. 2. Hukumnya haram, apabila berniat mendekatkan diri kepada Jin, ini seperti dijelaskan dalam surat an-Nisaa‟ayat 48 perbuatan syirik (menyekutukanNya). Hukumnya boleh, jika diniatkan dengan sedekah dan medekatkan diri pada allah. Ini berdasarkan dalam kaidah fikih ada yang namanya Kaidah Al-„Adah Al-Muhakkamah yang mana memiliki arti bahwa adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum. 3. Menurut Abdurrahman wanita yang sedang dalam masa iddah juga dilarang keluar rumah baik siang hari maupun malam hari. Ulama hanafi mengatakan, perempuan yang menjalani masa iddah karena ditalak satu, dua, tiga tidak boleh keluar rumah siang hari maupun malam hari. B. Saran 1. Dalam tradisi masyarakat kebon randu, ada yang namanya tradisi nyiram makam yaitu ketika wanita sedang menjalani masa iddah cerai matinya, wanita itu diperbolehkan keluar malam hari untuk melakukan tradisi nyiram makam bersama orang lain yang bukan mukhrimnya, sebaiknya
90
wanita yang sedang menjalani masa iddahnya jangan di perbolehkan keluar malam hari karena dalam ajaran Islam juga wanita yang sedang menjalani masa iddah dilarang keluar malam hari bahkan dalam al-Qur‟an tidak diperbolehkan seperti dalam surat Ath-Thalaq: 1
91
DAFTAR PUSTAKA Hawwas & Azzam. 2011. Fiqih Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak, Jakarta :Penerbit Amzah Djoko, D. (2012). Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa. In D. Djoko, Faham Keselamatan Dalam Budaya Jawa (P. 67). Yogyakarta: Ampera Utama. Prsiden RI, 1974 Uundang-Uundang Perkawinan No 1 Tahun 1974 (Pasal 38) Jakarta, Artikel. (2015, Maret sabtu). wikipedia.org/wiki/Kematian. Retrieved Maret kamis, 2015,fromwikipedia.org/wiki/Kematian:http://id.wikipedia.org/wiki/Kemati an. Hayazi, I. (2009, November Senin). Iddah Sorotan Pendapat Mazhab Empat. Retrieved Oktober Kamis, 2014, From Http://Ikhwanulislam.Blogspot.Com: Http://Ikhwanulislam.Blogspot.Com Syamhudi, K. (2013, Juli Jumat). Masa Iddah dalam Islam . Retrieved Oktober Senin, 2014, From Http://Almanhaj.Or.Id: Http://Almanhaj.Or.Id Sarwat, A. (2013, Agustus Minggu). Janda Berangkat Haji dalam Masa Iddah Haramkah.RetrievedOktoberJumat,2014,FromHttp://Www.Rumahfiqih.Co m: Http://Www.Rumahfiqih.Com
Ulfa, Muria 2013. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penggunaan Taspack Sebagai Pengganti Masa ‟iddah. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: fakultas syari‟ah UIN Sunan Kalijaga. Jundhi, Faris, Ahmad. 2013 Pemberian Nafkah Iddah pada Cerai Gugat (Studi Pemberian Nafkah Iddah Pada Cerai Gugat. No 1925/Pdt.G/2010/PA.pt). Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga. Rois , Muhammad Fahmi. 2013 Penentuan Awal Masa Iddah Menurut Fiqih Munakahat dan KHI (Studi terhadap pendapat hakim Pengadilan Agama Salatiga dan kepala KUA Argomulyo). Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga. Supardi, 2005. Metodologi penelitian ekonomi bisnis. Yogyakarta penerbit UII Press Yogyakarta (anggota IKAPI) Sukmadinata, Saudih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosadakarya Moleong, Jlexy, 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT Remaja Rosadakarya Mestika, Zed.2004. Metode Penelitian Pustaka. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia Koentjaraningrat, 1986: Pengantar Ilmu Antropologi Cet.VI Jakarta: Aksara Baru Daimon, Kristina. 2008: Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Public Relation dan Marketing Communication :Yogyakarta Ptbentang Pustaka.
Rofiq, Ahmad. (1998). hukum islam di indonesia . jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Hawwas, sayyed, wahhab, Abdul. (2011). fikih munakahat, khitbah, nikah dan talak. jakarta: AMZAH. Sabbiq, Sayyid. 1987. Fiqh Sunnah, jilid 7, diterjemahkan Muhammad Thalib, “Fikih Sunnah. Bandung: Al Ma‟arif. Wahyudi,
Muhammad
Isna.
2009.
Fiqih
Iddah;
Klasik
dan
Kontemporer.Yogyakarta:Pustaka Pesantren. Syaifuddi, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam diIndonesia (Antara Fikih Munakahat dan UU Perkawinan). Jakarta: Kencana. Jateng, K. D. 2004. Fikih Maderasah Aliyah Jateng: C.V. Gani & Son Sulaiman Rasid 1988, Fiqih Islam Jakarta: C.V.Sinar Baru Bandung Kemendagri. (2013, juli jumat). Profil Kabupaten Indramayu . Retrieved Maret Kamis, 2014, from http://www.kemendagri.go.id : http://www.kemendagri.go.id Hayazi, I. (2009, November senin). iddah sorotan pendapat mazhab empat. Retrieved oktober kamis, 2014, from http://ikhwanulislam.blogspot.com: http://ikhwanulislam.blogspot.com
LAMPIRAN 1 INFORMAN 1
Nama
: Sarwah, Murni,
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tanggal
: 12/9/2014
Umur
: 56 Tahun
Alamat
: Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu A. Pertanyaan
: Ada berpakah tradisi di masyarakat Indramayu?
B. Jawab
: Kalau tradisi di masyarakat Indramayu sendiri ada banyak mas, tapi setauhu saya ada empat
A. Pertanyaan
: apa saja pak sarwah?
B. Jawab
: Seperti tradisi Nadran, Ngarot, Jaringan, dan Ngunjung.
A. Pertanyaan
: Apakah tradisi Nadran itu pak sarwah?
B. Jawab
: Sebenarnya tradisi Nadran artinya kaul atau sukurannya, ini biasanya untuk para nelayan mas, itu wujud ungkapan rasa sukur akan hasil tangkapan ikan di laut.
A. Pertanyaan
: Seperti apakah tradisi Nadran itu pak sarwah?
B. Jawab
: Tradisi nadran itu wujud ungkapan rasa sukur akan hasil tangkapan ikan di laut oleh para nelayan di pesisir pantai. Upacara Nadran yaitu mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh
leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan). A. Pertanyaan
: Seperti apa sesajen yang di gunakan upacara Nadran itu?
B. Jawab
: Sesajen yang di gunakan upacara Nadran biasanya disebut ancak, yang berupa anjungan berbentuk replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, tumpeng, dan lain sebagainya.
A. Pertanyaan
: Dimana dilaksanakannya upacara Nadran itu?
B. Jawab
: Tradisi nadran sebelum dilepaskan ke laut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional seperti umbul, genjring, reog, jangkungan, musik gamelan dan musik tradisonal lainya
A. Pertanyaan
: tradisi Nadran itu berasal darimana?
B. Jawab
: Ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan)
INFORMAN 2
Nama
: Ratingkem, Naritem, Tani,
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tanggal
: (15-17/9/2014).
Umur
: 56 Tahun
Alamat
: Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu II A. Pertanyaan
: Ada berpakah tradisi di masyarakat Indramayu?
B. Jawab
: Kalau tradisi di masyarakat Indramayu sendiri ada banyak mas, tapi setauhu saya ada empat.
A. Pertanyaan
: apa saja pak sarwah?
B. Jawab
: Seperti tradisi Nadran, Ngarot, Jaringan, dan Ngunjung.
A. Pertanyaan
: Apakah tradisi ngarot itu?
B. Jawab
: Sebenarnya Ngarot itu berasal dari kata”Nga-rot” (basa Sunda) yaitu istilah minum atau ngaleueut, adat ini hanya melibatkan muda-mudi untuk turut serta dalam upacara tesebut.
A. Pertanyaan
: Mengapa tradisi ngarot yang bisa mengikuti upacara hanya pemuda-pemudi?
B. Jawab
: Karena jika pemuda atau pemudi sudah tidak suci akan terlihat sangat buruk di mata para peserta ngarot, dalam upacara ini para
gadis desa dihias dengan mahkota bunga di kepalanya sebagai lambang kesucian. A. Pertanyaan
: Untuk apakah tradisi ngarot itu?
B. Jawab
: Tradisi itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil bercocok tanam dan sebagai penyemangat para petani untuk memulai bercocok tanam kembali serta sebagai pembelajaran dan regenerasi petani dari generasi tua terhadap generasi muda.
INFORMAN 3 Nama
: Ecih, Tarma, Naritem, Tani,
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tanggal
: (16-18/10/2014)
Umur
: 56 Tahun
Alamat
: Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu II A. Pertanyaan
: Apakah tradisi Jaringan itu?
B. Jawab
: Upacara kaum remaja yang bertujuan untuk mencari pasangan hidup yang dilaksanakn pada malam bulan purnama
A. Pertanyaan B. Jawab
: Bagaimana tradisi Jaringan itu? : Sebenernya tradisi jaringan itu berasal dari kata jaring, adalah alat menangkap ikan, akan tetapi Bagi warga Parean, khususnya Desa Parean Girang, istilah jaringan ini diartikan sebagai ajang mencari jodoh diwaktu terang bulan, saat dimana para nelayan sedang tidak melaut dan berkumpul di desa, karena menurut masyarakat setempat, waktu terang bulan biasanya ikan-ikan di laut berdiam di dasar laut sehingga sulit ditangkap.
A. Pertanyaan
: Dimana tradisi jaringan itu dilakukan?
B. Jawab
: Tradisi jaringan yang biasanya berlangsung di alun-alun desa, tepatnya di depan Masjid Besar At-Taqwa ini bertujuan untuk menjembatani pertemuan pemuda dan pemudi desa.
A. Pertanyaan
: Bagaimana proses tradisi jaringan di lakukan?
B. Jawab
: Proses adat jaringan mempunyai aturan-aturan tertentu. Yaitu Pemudanya harus memakai baju kampret berwarna hitam atau putih, dengan celana komprang sampai lutut, dan berselempang kain sarung. Bagi para gadis diharuskan mengenakan baju kurung berwarna hijau dengan selembar selendang di pundaknya sedangkan bagi para janda diharuskan mengenakan kebaya yang juga mengenakan selembar selendang di pundaknya. Biasanya, selepas kegiatan menjaring selesai, para pemuda mengantarkan gadis hasil jaringannya pulang ke rumah masing-masing. Di rumah, sang pemuda hanya ditemani oleh orang tua si gadis tanpa gadis tersebut untuk berbincang-bincang. Setelah diyakini bahwa si pemuda serius dengan sang gadis, maka sejak malam itu dimulailah penjajakan-penjajakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak agar lebih saling mengenal masing-masing calon pasangan beserta keluarganya. Setelah masa penjajakan berjalan dan musim jaringan telah usai, akhirnya tibalah saatnya untuk melakukan lamaran. Dalam proses lamaran biasanya orang tua dari pihak laki-laki membayar sejumlah uang dan membagibagikan sirih kepada tetangga sebagai isyarat bahwa si gadis sudah „diikat‟. Menurut tradisi saat itu, setelah melakukan lamaran, sang pemuda harus mengabdi kepada calon mertua. Kebiasaan ini dinamakan sambatan.
INFORMAN 4 Nama
: Petok, Dadang, Jumedi,
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tanggal
: (25-27/9/2014).
Umur
: 56 Tahun
Alamat
: Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu II A. Pertanyaan
: Apakah tradisi ngunjung itu?
B. Jawab
: upacara sukuran yang dilaksanakan di kuburan atau makam yang dianggap keramat biasanya dilaksanakan pada bulan Syuro Mulud.
A. Pertanyaan B. Jawab
: Kapan tradisi ngunjung itu dilakukan? : Tradisi ngunjung ini diadakan setiap 1 tahun sekali setelah selesai masa panen. Pada acara tradisi ngunjung ini, semua warga desa datang ke makam anggota keluarga mereka disalah satu pemakaman yang sedang diadakan acara ngunjung ini sambil membawa nasi tumpeng, ayam panggang atau ayam goreng, ketupat dan lain lain dan kemudian mendo'akan keluarga mereka yang sudah meninggal tersebut.
A. Pertanyaan
: Untuk apakah tradisi ngunjung itu?
B. Jawab
: Upacara Ngunjung ini, dilakukan sebagai ungkapan rasa menghormati kepada arwah leluhur, tradisi ini dianggap oleh masyarakt akan membawa keselamatan dan keberkahan.
A. Pertanyaan B. Jawab
: Seperti apakah tradisi ngunjung itu? : Tradisi ngunjung dilaksanakan di kuburan atau makam yang mana tradisi ngunjung ini adalah adanya suatu hiburan yang diselenggarakan di tengah-tengah pemakaman seperti berupa sandiwara, wayang kulit.
INFORMAN 5 Nama
: Sarwah, Ecih, Tarma
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tanggal
: (22/10/2014).
Umur
: 56 Tahun
Alamat
: Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu II A. Pertanyaan
: Apa yang anda ketahui tentang tradisi di kabupaten indramayu?
B. Jawab
: Mapag Tambak, Mapa Sri, Sedekah Bumi, Baritan.
A. Pertanyaan
: Seperti apakah tradisi Mapag Tamba itu?
B. Jawab
: Mapag Tambak upacara yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengusir penyakit, dengan cara membawa air tambak ke dalam bungbung bambu yang berasal dari kasepuhan atau sumber untuk disiramkasan ke air yang mengalir ke sawah pada sawah yang berada di batas desa.
A. Pertanyaan
: Setelah disiramkasan ke air yang mengalir ke sawah lalu bagaimana?
B. Jawab
: iya seblumnya itu, air yang di bawa dari mata air tersebut terlebih dahulu diarak keliling desa kemudian disiramkan ke air yang mengalir di sawah.
A. Pertanyaan
: untuk apakah upacara tersebut?
B. Jawab
: sebagai ritual untuk meminta keberkahan dalam usaha pertanian mereka juga memohon keselamatan atas kehidupan warga, dan penghormatan atas leluhur.
INFORMAN 6 Nama
: Dasuki, Sarwah, Ecih, Tarma
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tanggal
: (21/10/2014).
Umur
: 56 Tahun
Alamat
: Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu II A. Pertanyaan
: Apakah tradisi Mapa Sri?
B. Jawab
: Sebenarnya tradisi Mapag Sri dilaksanakan untuk menyambut datangnya panen, sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa. Mapag Sri apabila dilihat dari bahasa Jawa halus mengandung arti menjemput padi. Dalam bahasa Jawa halus, Mapag berarti menjemput, sedangkan Sri dimaksudkan sebagai padi. Maksud dari menjemput padi adalah panen.
A. Pertanyaan B. Jawab
: ko bisa dinamakan tradisi Mapa Sri? : Mapag Sri adalah ritual yang terhubung dengan mitos Dewi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang dianggap sebagai Dewa Padi. Bagi masyarakat tradisional khususnya wilayah pesisir pantura Indramayu, Dewi Sri adalah dewi pemberi kehidupan dan menuntun orang pada berbagai tatacara menghormati arti kehidupan. Oleh karena itu, jikalau orang hendak menuai padi yang telah menguning, sebelumnya beberapa bulir padi dipungut dan dibentuk seperti dua orang (lambang sepasang pengantin)
yang di pertemukan dan diarak pulang, dengan harapan bahwa padi
mendatangkan
hidup
yang
bermanfaat
bagi
yang
memilikinya. A. Pertanyaan
: Sanghyang Sri siapa?
B. Jawab
: Sanghyang Sri adalah hidayah, lambang Dunia Atas yang sengaja diundang turun ke bumi untuk memberikan berkatnya. Padi, mulai dari tanam sampai panen di upacarakan dengan bermacam-macam cara. Sebutannya juga bermacam-macam: Ngampihkeun, Ngaseuk, dan sebagainya.
INFORMAN 7 Nama
: Dasuki, Item, Jin
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tanggal
: (23/10/2014).
Umur
: 56 Tahun
Alamat
: Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara di Desa Kebon Randu II A. Pertanyaan
: apa yang anda ketahui tradisi di Indramayau?
B. Jawab
: Mapag Tambak, Mapa Sri, Sedekah Bumi, Baritan.
A. Pertanyaan
: bagaiamankah tradisi sedekah bumi itu?
B. Jawab
: Adalah upacara yang dilaksanakan oleh petani pada saat akan turun menggarap sawahnya. biasanya dilakukan pada awal musim hujan yaitu sekitar bulan oktober sampai desember. Prosesi upacara ini biasanya dimulai dari berkumpulnya masyarakat disuatu tempat dilakukan doa bersama dan setalah itu
dilaksanakan
upacara
adat.
Sedekah
Bumi
adalah
permohonan para petani agar hasil tani pada periode yang akan datang berhasil dengan baik. A. Pertanyaan
: seperti apakah tradisi baritan itu?
B. Jawab
: Suatu tradisi masyarakat yang dilaksanakan ketika ada marabahaya seperti angin besar, gempa bumi (lindu), dan penyakit, upacara ini dilakukan di desa Kebon Randu.
A. Pertanyaan
: kapan dilakukan tradisi baritan itu?
B. Jawab
: Biasanya upacara ini digelar di perempatan jalan atau jembatan, sesajen yang disuguhkan biasanya berupa nasi tumpeng yang diatasnya berisi telur, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, kopi manis, kopi pait, teh manis, teh pahit dan lain sebagainya ditempat perempatan jalan atau di jembatan, kemudian berdoa bersama agar dihinadrkan dari marabahaya
INFORMAN 8 Nama
: Dasuki, Item, Jin
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tanggal
: (23/10/2014).
Umur
: 56 Tahun
Alamat
: Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara di Desa Kebon Randu II A. Pertanyaan
: apa yang anda ketahui tradisi di Indramayau?
B. Jawab
: Mapag Tambak, Mapa Sri, Sedekah Bumi, Baritan.
A. Pertanyaan
: bagaiamankah dan untuk apa tradisi baritan itu?
B. Jawab
: Baritan adalah suatu tradisi masyarakat yang dilaksanakan ketika ada marabahaya seperti angin besar, gempa bumi (lindu), dan penyakit, upacara ini dilakukan di desa Kebon Randu, tradisi baritan ini diyakini sebagai ritual tolak bala (keselamatan).
A. Pertanyaan
: kapan tradisi baritan itu dilakukan?
B. Jawab
: Biasanya upacara ini digelar di perempatan jalan atau jembatan, sesajen yang disuguhkan biasanya berupa nasi tumpeng yang diatasnya berisi telur, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, kopi manis, kopi pait, teh manis, teh pahit dan lain sebagainya di tempat perempatan jalan atau di jembatan, kemudian berdoa bersama agar dihinadrkan dari marabahaya.
LAMPIRAN 2 Nama
: Ratingkem, Ecih,
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tanggal
: 16/10/2014
Umur
: 56 Tahun
Alamat
: Dusun Kebonrandu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu A. Pertanyaan: bagamana tradisi masa Iddah dalam adat Jawa kebonrandu B. jawaban: di Masyarakat Kebon Randu ketika suaminya meninggal, sang isteri keluar malam bersama orang lain yang bukan mukhrimnya untuk melakukan tradisi nyiram makam. Adapun tradisi yang berjalan saat ini yang masih di percayai oleh masyarakat Kebon Randu seperti memberi makan kepada suaminya dengan cara menyuguhkan sesajen, lalu hal pertama yang dilakukan oleh seorang istri ketika menjalankan masa iddahnya dengan melakukan tradisi seperti memepersiapkan sesajen seperti tumpeng diatasnya dengan telur putih, sega asahan, sega wuduk, ingkung ayam, kembang rasulan, bubur merah dan bubur putih, sega punar atau nasi kuning, apem, keten, air putih, air kopi, setelah disiapkan kemudian sang istri meletakan sesajen itu di dalam rumah berdekatan dengan tempat pedaringan (tempat penyimpanan beras jaman dahulu) dan berasama kemenyan sebagai tanada pemanggilan leluhur yang telah meninggal, setelah sang isteri selsai melakukan sesajen kemudian istri berdiam
diri di dalam kamar sampai menjelang maghrib. Setelah itu kemudian kemenyan pun ditaburkan diatas wangwa (bara api) oleh sesepuh yang dianggap mengerti tentang ruh halus dan bisa mendatangkan para leluhur yang telah tiada, setelah itu dibacakan do‟a oleh buyut untuk memanggil arwah (kegiatan pemanggilan arwah ini dilakukan ketika menjelang terbenamnya matahari atau yang dinamakan sendakala atau banganerep), setelah itu mereka melakuakan tahlilan seperti biasanya yang diajarkan oleh agama Islam, akan tetapi sebelum dilakukan tahlilan seperti biasanya seorang isteri terlebih dahulu menyalakan damar dilatar kemudian sesajen kecil dipersiapkan oleh sang isteri seperti tumpeng kecil, bawang lawe, dammar (cluplak berisi minyak), pisang raja, telor, beras, kurungan ayam, yang kemudian diletakan di dalam kurungan ayam, lalu di sajikan ditempat bekas pemandian suaminya, selain itu biasanya sebelum tahlilan sang isteri menyiapkan bunga tujurupa yang kemudian dimasukan kedalam toples yang berisi air, dan uang receh kemudian disajikan ditengah-tengah kumpulan orang tahlilan, setelah selsai tahlilan kemudian toples yang berisi bunga tujuh rupa dan uang receh itu kemudian dibawa ke makam suaminya bersama dengan laki-laki lain untuk menyiramkan air yang berisi bunga tujurupa kemudian ditaburkan ke makam suaminya, tradisi ini dilakukan samapai mitungdina, setelah teradisi ini selsai biasanya
hari berikut seorang istri hanya meyuguhkan sesajen di triktikan selama sepuluh hari.
LAMPIRAN 3 Nama
:Ratingkem, Tani, Naritem, Dasuki
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tanggal
: 10-12/102014
Umur
: 56 Tahun
Alamat
: Dusun Kebonrandu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu No 1
2
3
4
5
Pertanyan Untuk Narasumber Apa yang anda ketahui makna Sega asahan atau ambengan dalam tradisi iddah cerai mati di desa Kebon Randu?
Apa yang anda ketahui makna Sega wuduk dan lauk pauk segar/bumbu lembaran dalam tradisi iddah cerai mati di desa Kebon Randu? Apa yang anda ketahui makna Ingkung ayam dalam tradisi iddah cerai mati di desa Kebon Randu? Apa yang anda ketahui makna Kembang rasulan atau kembang telon dalam tradisi iddah cerai mati di desa Kebon Randu? Apa yang anda ketahui makna Bubur merah dan bubur putih dalam tradisi iddah cerai mati di desa Kebon Randu?
Jawaban dari informan Sega asahan atau ambengan; melambangkan suatu maksud agar arwah si mati maupun keluarga yang masih hidup kelak akan berada pada “pembenganing Pangeran”, artinya selalu mendapatkan ampun atas segala dosa-dosanya dan diterima di sisiNya Sega wuduk dan lauk pauk segar/bumbu lembaran maksudnya untuk menjamu roh para leluhur
Ingkung ayam melambangkan kelakuan pasrah atau menyerah kepada kekuasaan Tuhan. Istilah ingkung atau diingkung mempunyai makna “dibanda” atau dibelenggu Kembang rasulan atau kembang telon melambangkan keharuman doa yang dilontarkan dari hati yang tulus ikhlas lahir batin. Di samping itu bau harus mempunyai makna kemuliaan Bubur merah dan bubur putih melambangkan keberanian dan kesucian dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Allah. Makanan khas yang mejadi symbol do‟a, harapan, persatuan dan semnangat masyarakat orang jawa. Di samping itu bubur merah untuk memule atau tanda bakti
6
7
8
9
10
kepada roh dari bapak atau roh laki-laki dan bubur putih sebagai tanda bakti kepada roh dari ibu atau roh perempuan. Secara komplitnya adalah sebagai tanda bakti kepada bapa angkasa ibu pertiwi atau penguasa langit dan bumi, semua dibekteni dengan harapan akan memberikan berkah, baik kepada si mati maupun kepada yang masih hidup Apa yang anda ketahui Sega punar atau nasi kuning melambangkan makna Sega punar atau kemulian, sebab warna atau cahaya kuning nasi kuning dalam tradisi melambangkan sifat kemuliaan. Juga iddah cerai mati di desa dimaksudkan sebagai jamuan mulia kepada Kebon Randu? yang dipujinya Apa yang anda ketahui Apem melambangkan payung dan tameng, makna Apem dalam tradisi dan dimaksudkan agar perjalanan roh si mati iddah cerai mati di desa maupun yang masih hidup selalu dapat Kebon Randu? menghadapi tantangannya dan segala rintangan, bahkan mendapatkan perlindungan dari yang maha kuasa dan para leluhurnya. Dan ada juga yang mengatakan sebagai symbol permintaan maaf atau ngapuro Apa yang anda ketahui Ketan adalah salah satu makanan dari beras makna Ketan dalam yang mempunyai sifat”pliket‟ atau lekat. tradisi iddah cerai mati di Dari kata pliket atau ketan, keraket desa Kebon Randu? melambangkan suatu keadaan atau tujuan yang tidak luntur atau layu, artinya tidak kenal putus asa Apa yang anda ketahui Air putih adalah salah satu minuman yang makna Air putih dalam mempunyai sifat murni atau bersish tradisi iddah cerai mati di melambangkan suatu keadaan suci desa Kebon Randu? Apa yang anda ketahui Air kopi sebagai suatu sajian minuman makna Air kopi dalam terhadap orang terdahulu sebagai bentuk rasa tradisi iddah cerai mati di hormat kepada leluhur desa Kebon Randu?
Nama
: Ecih, Tarma
Pekerjaan
: Petani
Tanggal
: 15-16/10/2014
Umur
: 56 Tahun
Alamat
: Dusun Kebonrandu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu No 1
Pertanyaan Apa yang anda ketahui makna Benang lawe dalam tradisi iddah cerai mati di desa Kebon Randu?
2
Apa yang anda ketahui makna Damar dan sentir dalam tradisi iddah cerai mati di desa kebon randu? Apa yang anda ketahui makna Kurungan ayam dalam tradisi iddah cerai mati di desa kebon randu? Apa yang anda ketahui makna Clupak berisi minyak dan sumbu dalam tradisi iddah cerai mati di desa kebon randu? Apa yang anda ketahui makna Pisang raja dalam tradisi iddah cerai mati di desa kebon randu? Apa yang anda ketahui makna Beras, gula kelapa dalam tradisi iddah cerai mati di desa kebon randu? Apa yang anda ketahui makna Telor dalam tradisi iddah cerai mati di desa kebon randu?
3
4
5
6
7
Jawaban Benang Lawe adalah benag putih sebagai lambang tali suci sebagai pengikat atau tali hubugan antara keluarga yang ditinggalkan dengan yang sudah pergi jauh itu Damar dan Sentir adalah lambang penerang, maksudnya agar roh si mati tadi selalu mendapatkan terang Kurungan Ayam melambangan peneduh ketika di alam kubur
Clupak Berisi Minyak dan Sumbu melambangkan obor di perjalanan dan semangat yang tinggi Pisang Raja sebagai lambang persembahan kepada yang maha kuasa di samping itu juga sebagai buah segar Beras, Gula Kelapa melambangkan makanan beserta lauk dan bumbunya, sebagai bekal hidup di alam kelanggengan Telor melambangkan kebulatan atau kemanunggalan berbagai sifat dan tujuan sebab telor itu sendiri terdiri dari berbagai lapisan, dan masingmasing lapisan mempunyai makna sendiri-sendiri
LMPIRAN 4 Nama
: Rosyid, Muhaimin
Pekerjaan
: Petani, Suwasta
Tanggal
: 16/10/2014
Umur
: 56 Tahun
Alamat
: Dusun Kebonrandu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu A. Pertanyaan : Bagaimana bisa terjadinya muncul tradisi seperti itu di Desa Kebon Randu? B. Jawaban
: Adapun menurut pandangan masyarakat Islam tentang tradisi masa iddah cerai mati di desa Kebon Randu, bahwasanya tradisi tersebut adalah suatu kesunahan boleh dilakukan dan boleh juga tidak dilakukan.
Nama
: Ratingkem, Naritem, Bonung,
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tanggal
: 14/10/2014
Umur
: 56 Tahun
Alamat
: Dusun Kebonrandu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu A. Pertanyaan : Bagaimana bisa terjadinya muncul tradisi seperti itu di Desa Kebon Randu? B. Jawaban
: pada jaman dahulu ketika ada seseorang pengemis yang meintaminta kepada seseorang warga yang punya rumah, kemudian kata si nenek tua itu bilang “nak minta airnya saya kehausan” akan tetapi si pemilik rumah berkata: “ini airnya asin nek”, kemudian nenek itu berkata: “air ini selamanya akan menjadi air yang asin”, kemudian seketika nenek itu pergi, ternyata terbukti bahwasanya kemudian air sumur, air bornya menjadi asin, itu hanya satu desa yang terkena kejadian seperti itu ketika nenek itu menghampiri desa tersebut, setelah mewawancarai secara mendalam ternyata si pemilik rumah berbohong yang sehyarusnya air itu rasanya tawar, kemudian dia bilang ke nenek itu airnya asin, dan nenek tua itu ternyata mahluk halus yang ingin memberi cobaan kepada desa itu dengan kejadian seperti, ternyata nenek itu adalah jelmaan dari buyut sumur adem yang menunggu desa itu berpuluh-puluh tahun yang ingin menguji masayarakat sumur adem, sehingga sumber air yang di desa tersebut menjadi asin.
Nama
: Ratingkem, Casitem,
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tanggal
: 15-18/10/2014
Umur
: 56 Tahun
Alamat
: Dusun Kebonrandu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu A. Pertanyaan : Bagaimana bisa terjadinya muncul tradisi seperti itu di Desa Kebon Randu? B. Jawaban
:Kejadian yang ke dua bahwa dulu desa tetangga ketika ada orang tua atau pengemis yang usianya lebih tua, beliau dengan membawa tongkat kecil, ketika itu nenek tua itu bilang kepada pemilik rumah “bu minta airnya, dengan nada pelan gemetar, kemudian si pemilik rumah tidak mau memberikan air minum kepada nenek tua itu, kemudian malah mengusir nenek “nek gak punya air” kemudian nenek itu berkata: entar juga ada musibah besar nok” kemudian seketika nenek itu pergi dari si pemilik rumah, terjadilah mala petaka datang ke desa itu dengan angin yang kencang Desa Karang Dawa itu banyak rumah yang rusak, kemudian rumah dari yang di datangi nenek tua tadi ternyata rusak terjatuhan pepohonan, setelah saya wawancara mendalam ternyata beberapa orang mengatakan hal yang sama, nenek tua tersebut ternyata jelmaan dari buyut penunggu Desa Karang Dawa yang ingin menguji masyarakat Desa Karang
Tradisi Iddah Cerai Mati Ceritane kuh ana wong jejaluk, wong ngemis nyjaluk nginum barang sing ngupai nginume, kaya kitane seindane pengen ngupai wong kuene kuh ngemis “laka banyu jeh wa ana gah jeh asin jare kita sing ngupaie kuh” jare wong tuane kuh “engko gah nok seteruse asin,” wong tua kuwenekuh ora dipaing ingnung, terus miang wong tua kuwenekuh, lewat seminggu banyu semana ademe terus pada asin, sumure asin, bore asin, supatanine wong tua nini-nini kuwesih dadi asin, wong tua kuwekuh udu wong biasa nang, anu jelmaane wong sumur ademe, buyut kunuh nang, nyoba wong kono kaya priwe amal baike. Bengen lagi musibah ning kono, lagi sira urung ana, mas iwan bae gah masih cilik, umah dan sekolahan pada ambrek kah bengen, ana wong nini-nini nggawa tetekan terus nyjaluke ning emboke mang bongsang yang tukang beca kah, njaluk nginum ora dipaih ehemm “engko gah jeh ana musibah nok”, kuh ilange wong kuwe angin gebes-gebes terus umae pada amberk kuh nang, barang mayak mah ning kene kuh aja maning nyjaluk nginum, nyjaluk sega gah tak paih, lagi ning dermaga gah ana wong ngemis “nok nyjaluk sega urung mangan, tak paih ana wong ngemis nyjaluk mangan kuh. Besuk senang mana-mana ana wong ngemis nyjaluk-nyjaluk dipaih melasaken ning wong kuh, tula-tula sodakoh beh indagah sodakoh dunya langka, meninding beh ana sega, ana banyu sodakohe karo kuwe, mulanegah aja bae ana wong ngemis kuh permisi atau ora ngupaih kuh, embuh ana sewu ana mangewu gah ngupaih, sema mah laka-laka gah terus ngojoli ning warung enggo ngupaih wong ngemis kuh, kaya konon wong bengen kuh ana pituture bae mulane gah aja bae nolak kah, mayak mah ning kene ora keserang,
wong ngemiseku entas ning karang dawa terus mengkok ning Kebon Randu, kita amah ning kene pada ngupaih kabeh indahgah ora weruh wong kuwe setan kuh., atau nyoba apaika terus kuh angin sing kana kuh mulek-mulek terus umah karang dawa kuh nang brek-brek pada rusak, masa iya wiwitan sing ning kulon bisa nerajang ning umaeh mang bongsang, sing kulon dermaga wiwitan ngrubuhi umahe mang bongsang wiwitan kersem kaya di bopong kuwen kuh sing dijaluki banyu ora olihkuh sih, mulane gah mayak mah ngupaih bae ana wong ngemis kuh, dadi sekienekuh ana bae rezeki kuh Sajen go wong mati kuh ya jabur werna pitu bae kunuh nang kaya dene jaburan pasung, kupat, lepet, apem, ana artine kabeh kunuh nang, baka pasung sing dipangan dingin kunuh ning kananekuh, bantal karo ketan tumpeng, tradisi dari mana sih, dari bapa tua buyut jabur werna pitu, Baka ana wong mati amberan padang di kurungane melambangkan payung amber adem, lamonanu mah kurungan kuh ayom-ayaome sakie gah masih melaku kuh lamon anumah udan di payungi ning kanane kuh, embuh bengen mah kayakonon bae si damare Wong bengen bae gah anake mayak, adine mas iwan matikuh ana tepake nang ning pinggiran kurungan ayam, ceritane kuh di paih „awu kurungan ayame kuh, terus jare bapa tua kidemekuh, jage nok di tawuri awu ning esore pinggiran kurungan ayame kuh, aria nu kuh ana tepeke sikile nang ning pinggiran kurungan ayame kuh, berati kan masih ana ning kono wonge matie kuh, urung melakumelaku adoh, dadi ari masih rong dina mah ana tepak sikile kuh, baka wis mitung
dina mah laka tepake kuh ning pinggire bkurungan kuh nang, tapi kan padang melaku-melaku kuh ning kanane ari di paih dammar mah indagah ning kananekuh peteng, makane peniting ana wong mati dipaih damarekuh kamberan padang. Makna duwit receh dalam tradisi adat bokat ning kanane nggo sangu, ari perjalanan kan muduh ana sangune nang, mulane gah baka ana wong mati kuh diomongaken ning kuping sangune kuh semene, semindanekah sira kuh laka, bapane kuh nyugui terus sangueku diomongaken ning kupinge terus ditaroh ning sore bantal.