APLIKASI TANGGUNG JAWAB NAFKAH KELUARGA PASCAPERCERAIAN: KOMPARASI JANDA MATI DENGAN JANDA CERAI DITUNJAU DARI HUKUM ISLAM (Study Kasus Di Desa Margolelo Kec. Kandangan Kab.Temanggung)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh : ARI SUSANTI NIM 21110006
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015
i
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : PengajuanNaskahSkripsi Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga Di Salatiga Assalamu’alaikum Wr. Wb Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa: Nama
: Ari Susanti
Nim
: 21110006
Jurusan
: Syari‟ah
Program Studi
: Ahwal Al-Syakhsiyyah
Judul
: APLIKASI TANGGUNG JAWAB NAFKAH KELUARGA PASCAPERCERAIAN: KOMPARASI JANDA MATI DENGAN JANDA CERAI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa Margolelo Kec. Kandangan Kab.Temanggung)
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqasyah. Demikian persetujuan pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Salatiga, 24 Februari 2015 Pembimbing
Dra.Siti Zumrotun, M.Ag NIP. 19670115 199803 2 002
ii
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH Jl. NakulaSadewa 5 No. 9 Telp. (0298) 3419400 Faks. 323433 Salatiga 50722 http://www.iainsalatiga.ac.id e-mail: administrasi@iainsalatiga .ac.id
PENGESAHAN
APLIKASI TANGGUNG JAWAB NAFKAH KELUARGA PASCAPERCERAIAN: KOMPARASI JANDA MATI DENGAN JANDA CERAI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Study Kasus di Desa Margolelo Kec. Kandangan Kab. Temanggung) OLEH ARI SUSANTI NIM :21110006 Telah dipertahankan di depan Sidang Munaqosyah Skripsi Fakultas Syari‟ah, Institut Agama Islam Negeri(IAIN) Salatiga, pada hari Rabu tanggal 25 Maret 2015 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam
Dewan Sidang Munaqasyah Ketua Penguji
: Badwan, M. Ag
______________
Sekretaris Penguji
: Dra. Siti Zumrotun, M. Ag
______________
Penguji I
: Tri Wahyu Hidayati, M. Ag
______________
Penguji II
: Dr. Adang Kuswaya, M. Ag
______________
Salatiga, 02 April 2015 Dekan Fakultas Syari‟ah
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. NIP. 19670115 199803 2 002
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Yang bertandatangan dibawah ini; Nama
: Ari Susanti
Nim
: 21110006
Jurusan
: Ahwal Al- Syakhsiyyah
Fakultas
: Syari‟ah
Judul Skripsi
:APLIKASI
TANGGUNG
JAWAB
NAFKAH
KELUARGA PASCAPERCERAIAN: KOMPARASI JANDA MATI DENGAN JANDA CERAI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa Margolelo Kec. Kandangan Kab.Temanggung)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah Salatiga, 25 Maret 2015 Yang menyatakan
Ari Susanti
iv
MOTO
Introspeksi Adalah Caraku berdamai dengan Nurani
“Tak adil menilai seseorang hanya dari satu sisi saja, karena pada hakekatnya semua manusia itu sama dan Hanya Allah Aza Wajalla yang berhak Menilainya”
v
PERSEMBAHAN Penulismempersembahkanskripsiinikepada: 1. Kepada Ibu Dra.Siti Zumrotun, M.Ag yang dengan sabar dan tak pernah lelah membimbing, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini 2. Keluargabesar, terutamaibu Munarsihdan bapak Muhri yang
takhenti-
hentinyamemberikandukungansertaDo’anya. 3. Calon imamku Puput Wido Purnomo yang selalu memberi semangat 4. Dan kepada Teman teman yang selalu memberi motivasi seperti Leni, Rita, Vya, Ita, Ulin, Ulya, Palupi, Dek Roro, dan Rissa 5. Dan segenap pembaca
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم Alkhamdulillah Wa Syukurillah Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang Maha Rahmandan Maha Rahim yang telah mengangkat manusia dengan berbagai keistimewaan. Dan hanya petunjuk dan tuntunan-Nya, penulis mempunyai kemampuan dan kemauan sehingga penulisan skripsi ini bisa terselesaikan Sebagai insan yang lemah dan penuh dengan keterbatasan, penulis menyadari bahwa tugas penulisan ini bukanlah tugas yang ringan, tetapi merupakan tugas yang berat. Akhirnya dengan berbekal kekuatan dan kemauan dan bantuan semua pihak, maka penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Dengan terbentuknya skripsi ini, penulis haturkan banyak terimakasih yang tiadataranya kepada: 1. Bapak Dr. RahmatHariyadi, M.PdSelakuRektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga 2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga sekaligus pembimbing yang telah mencurahkan bantuan dan dengan sabar membimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Sukron Makmun, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal alSyakhshiyyah.
vii
4. Bapak Illya Muhsin,S.H, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah sabar dan banyak memberikan bimbingan dan arahan agar penulismenjadipribadi yang lebihbaik. 5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan perpustakaan dan bagian administrasi yang telah membantu proses penyusunan skripsi. 6. Bapak Muhri dan Ibu Munarsih tercinta, terimakasih atas segala doa dan yang tiada henti terlantun untuk keberhasilan putra-putrinya. 7. Calon imamku Puput Wido Purnomo yang selalu memberi semangat dan dukungan. 8. Keluarga besar dari Bapak Sahid di Temanggung dan Keluarga dari Mb. Sum di Salatiga, terimakasih atas Do‟a dan dukungannya. 9. Kak Mercy yang selalu menemani penulis menyelesaikan tulisan ini 10. Teman-teman seperjuangan AS angkatan 2010, terutama Ulin, Leni, Rita, Vya, Ita, terimakasih atas segala kebersamaannya selama ini. 11. Sahabat-sahabatku seangkatan 2010 yang dari Temanggung, Fatul, Khorifah, Chotim, Ndunk, Hanan, Mizin. 12. Sahabat-sahabatku KKN terutama Upiel dan Dek Roro yang selalu memotifasi dan mendukung 13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu yang telah memberikan bantuan dan dorongan hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Dengan segenap kesadaran penulis mengakui bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Besar harapan penulis atas segala respon, saran dan kritik dari pembaca yang budiman. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan semoga apa yang
viii
tertulis dalam Skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya. Amin yarobbal „Alamin.
Salatiga, 25 Maret 2015 Penulis
Ari Susanti Nim 21110006
ix
ABSTRAK
Susanti, Ari. 2015. Aplikasi Tanggung Jawab Nafkah Keluarga Pasca Perceraian: Komparasi Janda Mati dan Janda Cerai Ditinjau Dari Hukum Islam(Studi Kasus di Desa Margolelo Kecamatan Kandangan Kabupaten Temanggung). Skripsi.FakultasSyari‟ah. JurusanAhwal ALSyakhshiyyah. Institut Agama Islam NegeriSalatiga. PembimbingDra. SitiZumrotun, M. Ag Kata Kunci :TanggungJawabNafkahKomparasiJandamatidanJandaCerai Penelitian dilakukan dengan dasarmengetahui bagaimana pemberian nafkah yang dilakukan oleh janda terhadap keluarganya yang berada di Desa Margolelo,Kec. Kandangan, Kab. Temanggung. Rumusan masalah yang akan penulis jawab adalah (1) Bagaimana cara pemberian nafkah yang diberikan oleh janda mati dan janda cerai terhadap keluarganya (2) bagaimana perbedaan tanggung jawab antara janda mati dan janda cerai dalam pemberian nafkah terhadap keluarganya (3) Untuk menjawab pertanyaan tersebut pengumpulan data dilakukan melaluiobservasi dan wawancara terhadap informan yaitu satu orang janda mati dan satu orang janda cerai, dan dengan membaca buku-buku yang mendukung penelitian ini Berdasarkan penelitian ini diperoleh bahwa objek yang di teliti bahwa tanggung jawab yang harus ditanggung oleh janda mati dan janda cerai terahap keluarganya tidak hanya merawat dan mendidik anak-anaknya, namun, di sini seorang janda harus memenuhi kebutuhan sehari-harinya bersama anak-anaknya dan keluarganya. Hal itu di sebabkan karena, bagi janda mati walaupun ia memperoleh warisan dari suaminya, namun belum bisa mencukupi kebutuhan sehingga ia harus mencari penghasilan tambahan untuk mencukupi kebutuhannnya bersama anak-anaknya. Sedangkan dengan janda ceari ia sebagai tulang punggung keluarga karena mantan suaminya taupun keluarganya tidak memberi antuan kepadanya dalam pemeliharaan anaknya. Dapat disimpulkan bahwa kehidupan janda mati dan janda cerai terhadap keluarganya yang terjadi di Margolelo dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: Sesuai hukum islam, kehidupan seorang janda mati sudah sesuai dengan hukm islam karena ia bekerja sebagai buruh pembuat emping melinjodan sebagai petani. Begitu puladengan bu Desi karena yang pada mulanya ia bekerja sebagai TKW di Malaysia seanjutnya ia bekerja sebagi peayan restoran di Semarang.
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... ii PENGESAHAN KELULUSAN ......................................................................iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... iv MOTTO ............................................................................................................. v HALAMAN PERSEMBAHAN...................................................................... vii KATA PENGANTAR ....................................................................................viii ABSTRAK ......................................................................................................... x DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Fokus Penelitian ................................................................................ 4 C. Rumusan Masalah ............................................................................. 4 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...................................................... 5 E. Telaah Pustaka .................................................................................. 6 F. Penegasan Istilah ............................................................................... 9 G. Metode Penelitian.............................................................................. 9 H. Metode Analisis Data ...................................................................... 12 I. Sistematika Penulisan...................................................................... 12 BAB II: KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Nafkah ................................................................................ 14 1. Pengertian Nafkah Dalam Fiqh ................................................. 14 a. Dasar Hukum Nafkah .......................................................... 14 b. Syarat-syarat Wajib Nafkah ................................................ 15 c. Nafkah Menurut Para Mazhab ............................................ 18 d. Nafkah Mantan Istri Dalam Fiqh ........................................ 20 e. Nafkah Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 .......... 26 f. Nafkah Menurut KHI .......................................................... 27
xi
B. Bagian Janda ................................................................................... 29 1. Pengertian dan Dasar Hukum Janda ......................................... 29 2. Pengertian dan Dasar Hukum Janda Cerai ................................ 30 3. Nafkah Bagi Janda .................................................................... 33 4. Nafkah Bagi Janda Cerai ........................................................... 41 5. Nafkah Bagi Janda Mati ............................................................ 45 C. Pemeliharaan Anak ......................................................................... 49 D. Saksi-sanksi ..................................................................................... 52 BAB III: PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Gambaran Umum Desa Margolelo ................................................. 54 1. Kondisi Geografis ..................................................................... 54 2. Demografi ................................................................................. 55 3. Keadaan Sosial .......................................................................... 56 4. Keadaan Ekonomi ..................................................................... 63 B. Profil Janda...................................................................................... 65 1. Hasil Wawancara Dengan Janda Mati ...................................... 65 2. Hasil Wawancara Dengan Janda Cerai ..................................... 70 BAB IV: PEMBAHASAN A. Pencarian dan Pemberian Nafkah Janda Terhadap Keluarganya di Desa Margolelo ........................................................................................ 76 1. Khulu‟ ....................................................................................... 77 2. Cerai Mati.................................................................................. 77 B. Pencarian Nafkah oleh Janda di Desa Margolelelo akibat Cerai Mati dan Cerai hidup ............................................................................... 78 1. Buruh ......................................................................................... 79
xii
2. Petani ......................................................................................... 79 3. TKW.......................................................................................... 80 C. Cara Pemberian Nafkah Oleh Janda Terhadap Keluarganya .......... 80 1. Langsung ................................................................................... 81 2. Tidak Langsung......................................................................... 81 D. Pemberian Nafkah Janda Dalam Perspektif Hukum Islam ............. 82 1. Hak Mantan Istri Menurut KHI dan UU no 1 Tahun 1974 ....... 87 a. Janda Mati ........................................................................... 89 b. Janda Cerai .......................................................................... 89 1) Sesuai Hukum Islam ..................................................... 90 2) Tidak Sesuai Hukum Islam ........................................... 91 BAB V: PENUTUP ......................................................................................... 93 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang yang sakinah, mawadah,warohmah. Sedangkan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1 disebutkan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” . Dengan demikian semua orang seharusnya mempunyai tujuan yang sama dalam pernikahan, tapi tidak semua pernikan berakhir bahagia dan bisa kekal. Karna di samping hal di atas ada hal yang tidak bisa dihindari yaitu kematian, yang merupakan takdir dari Allah SWT. Selain kematian ada satu hal lagi yang merupakan tidak kekalnya suatu pernikahan, yaitu perceraian. Walaupun perceraian pada hakekatnya adalah salah satu hal yang paling dibenci oleh Allah, tapi manusia tidak bisa menolak takdir jika orang yang dinikahi memang belum baik bagi dirinya dan keluarganya. Adapun akibat dari putusnya perkawinan diatas adalah putus juga tanggung jawab diantara keduanya, termasuk dalam hal nafkah. Keberadaan nafkah sebagai konsekuensi hubungan keluarga. Nafkah tidak sekadar dan sesederhana bagaimana menghadirkan sesuap nasi, tetapi bagaimana
1
memberi nafkah sandang, pangan, papan dan kebutuahan lainnya terhadap keluarga mereka. Yang pada umumnya semua kebutuhan di atas adalah kewajiban seorang kepala rumah tangga yaitu suami. Seperti yang diungkapkan oleh Sabig (1981:80) “ Agama
mewajibkan suami
membelanjai istrinya, oleh karena adanya ikatan perkawinan yang sah itu seorang istri menjadi terikat semata-mata kepada suaminya, dan tertahan sebagai miliknya, karena ia berhak menikmatinya secara terus-menerus. Istri wajib taat kepada suami, tinggal dirumahnya, mengatur rumah tangganya, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Sebaliknya bagi suami ia berkewajiban memenuhi kebutuhannya, dan memberi belanja kepadanya, selama ikatan suami masih berjalan, dan istri tidak durhaka atau karena ada hal-hal yang menghalangi penerimaan belanja. Tapi jika dalam keluarga tersebut sudah tidak ada suami, di mana suami sudah tidak berperan lagi sebagai kepala rumah tangga dan sudah berpisah dengan istrinya, karna sebab meninggal dunia ataupun karena perceraian. Maka sebuah keluarga tersebut harus dipimpin oleh perempuan. Sehingga ia harus memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya dengan jerih payahnya sendiri. Ash-shabuni(1995:49)Adapun seorang istri yang ditinggal mati suaminya, seharusnya ia mendapat bagian ¼ dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apa bila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun lahir dari rahim istri lain. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:
2
“Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu miiki jika kamu tidak mempunyai anak...”(An-Nisa:12) Tapi istri juga bisa memperoleh bagian 1/8. Istri, baik seorang maupun lebih, tetap mendapatkan seperdelapan dari harta peniggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
“...Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperileh seperdelapan dari harta yang kamu tingalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau(dan) sesudah dibayar utang-utangnmu...”(An-Nisa:12)
Adapun yang diungkapkan oleh (Wasman, Wardah, 2011:270) bagi wanita yang dicerai suaminya, biaya pengasuhan anak dibebankan pada ayah si anak. Segala sesuatu yang diperlukan anak diwajibkan kepada ayah untuk mencukupinya. Apa bila ibu yang mengasuh tidak punya tempat tinggal, maka ayah harus menyediakannya, agar ibu dapat mengasuh anak dengan sebaik-baiknya. Adapun untuk keperluan asuhan yang baik diperlukan pembantu rumah tangga. Jika anak masih dalam menyusu, dan untuk dapat menyusui anak dengan baik ibu memerlukan makanan yang sehat, obat-obat vitamin dan sebagainya, maka semua menjadi beban ayah.
3
Apabila anak sudah waktunya masuk sekolah, maka biaya pendidikan itu menjadi tanggung jawab ayah juga. Tapi bagaimana jika sosok ayah dalam suatu keluarga sudah meninggal ataupun sudah tidak serumah lagi dengan anak atau keluarganya. Apakah sosok ayah di sini masih tetap berperan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Dan jika suami meniggal siapakah yang akan menanggung semua beban tersebut. Apakah semua tanggungjawab itu diserahkan kepada Istri (ibu). Permasalahan yang menarik diteliti apakah ada perbedaan bentuk aplikasi tanggungjawab antara janda mati dengan janda cerai. Maka dari itu penulis akan mengkaji lebih lanjut tentang hal tersebut. B.
Fokus Peneitian Dalam peneitian ini penulis akan berusaha ntuk mencari, meneliti dan mengkaji tentang perbedaan tanggng jawab antara janda mati dan janda cerai dalam pemberian nafkah terhadap keluarganya, baik dalam kenyataan dan menurut hukum Islam yang berlaku. Ingin mengetahui bagaimana seorang janda menghidupi keluarganya, apakah dengan bekerja sendiri ataupun menggunakan harta warisan bagi janda yang ditinggal mati suaminya. Dan janda yang dicerai apakah ia mencukupi kebutuhan keluarganya termasuk anaknya dengan jerih payahnya sendiri atau tetap mendapat bantuan dari manntan suaminya.
C.
Rumusan Masalah Untuk itu, tulisan ini akan menjawab beberapa rumusan masalah, sebagai berikut:
4
1.
Bagaimana
cara
pemberian
nafkah
yang
diakulakukan oleh janda mati dan janda cerai terhadap keluarganya di Desa Margolelo? 2.
Bagaimana
perbedaan
tanggung
jawab
yang
dilakukan oleh janda mati dan janda cerai dalam pemberian nafkah terhadap keluarganya? 3.
Apakah cara pemberian nafkah yang dilakukan oleh janda mati dan janda cerai terhadap keluarganya sudah sesuai dengan hukum Islam?
D.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan dari penelitian ini adalah : a.
Mengetahui
cara
pemberian
nafkah
yang
diberikan oleh janda mati dan janda cerai terhadap keluarganya di Desa Margolelo b.
Mengetahui perbedaan tanggung jawab antara janda mati dan janda cerai dalam pemberian nafkah terhadap keluarganya
c.
Mengetahui
cara
pemberian
nafkah
yang
dilakukan oleh janda mati dan janda cerai terhadap keluarganya sudah sesuai dengan hukum Islam atau belum. 2. Sedangkan kegunaanya antara lain :
5
a.
Dengan
penelitian
ini
diharapkan
dapat
dijadikan sebagai tambahan dan kontribusi kepada
peneliti
pengetahuan
khususnya
yang
dalam
berkaitan
ilmu dengan
tanggungjawab janda mati maupun janda cerai terhadap nafkah keluarganya. b.
Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Strata 1 (S-1) dalam bidang hukum Islam (syari‟ah)
c. E.
Sebagai wacana bagi para pembaca.
Telaah Pustaka Untuk mendukung betapa pentingnya penelitian yang akan dilakukan, penulis memaparkan sedikit tentang penelitian yang perna dilakukan oleh, yang pertama yaitu:
Penelitian yang pertama dilakukan oleh Risal Muhammad yang berjudul peniadaan nafkah dalam iddah dalam perkara cerai gugat. Yang pada intinya penelitian tersebut berisi bahwa dalam Fiqhdan perundangundangan dijelaskan bahwa isrti yang telah dicerai suaminya berhak mendapatkan nafkah iddah, selama istri tersebut tidak Nuzyuz. Namun dalam perkara ba‟in, para ulama berbeda pendapat tentang hak nafkah iddah bagi istri yang telah dicerai. Imam Syafi‟i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa dalam talak ba‟in, istri yang telah dicerai tidak
6
mempunyai hak atas nafkah iddah. Sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa istri yang telah dicerai ba‟in tetap mendapat nafkah iddah.
Penelitian yang kedua dilakukan oleh Faris Ahmad Jundhi yang berjudul Pemberian Nafkah Iddah Pada Cerai Gugat (Studi Putusan PA Pati No.1925/pdt.G/2010/PA.PT). Yang pada intinya tersebut berdasarkan Mazhab Imam Hanafi yang menyimpulkan bahwa wanita yang dicerai suaminya berhak nafkah dan tempat tinggal secara bersama kecuali jika wanita tersebut beriddah karena perpisahan disebabkan pelanggara istri, seperti murtad setelah bercampur, atau tindakan istri menodai kehormatan mertua atau saudara-saudaranya. Istri tidak berhak tempat tinggal, hanya berhak nafkah.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Khurul Aini yang berjudul Kewajiban Nafkah Iddah Suami Kepada Istri Yang Telah Dicerai(Studi Putusan PA Salatiga No.394/pdt.G/2005/PA.SAL.yang pada intinya memuat konsep iddah dalam islam dan menurut perundang-undangan. Adapun menurut Hukum Islam adalah dalam QS.At-Thalak ayat 7, antara lain:
Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
7
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(Qs.At-Thalak:7) Dan menurut Undang-undang adalah termuat dalam UUPernikahan pasal 34 antara lain,
1.
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2.
Isteri wajib mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya.
3.
Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Semua penelitian diatas pada intinya adalah nafkah iddah bagi istri yang
telah dicerai. Yaitu istri yang telah dicerai masih tetap mendapatkan nafkah selama masa iddah dalam hal selama istri tidak nuzyuz dan tidak murtad. Sedangkan penelitian yang akan saya teliti adalah ingin mengetahui bagaimana tanggungjawab janda yang telah dicerai apakah masih ada bantuan dari mantan suaminya uuntuk menghidupi anak-anaknya atau tidak. Dan bagi janda yang ditinggala mati suaminya apakah ia mendapat kan warisan dari suaminya atau tiak. F.
Penegasan Istilah 1.
Tanggung Jawab Menurut kamus besar Bahasa Indonesia tanggung jawab adalah 1)
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb): pemogokan itu menjadi --
8
pemimpin serikat buruh; 2) Huk fungsi menerima pembebanan, sbg akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain; Sedangkan yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah bagaimana tangggung jawab seorang janda dam pemberian nafkah terhadap keluarganya. 2. Janda Definisi janda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Chulsum dan Novia (2006) memberikan pengertian janda yaitu seorang wanita yang diceraikan atau ditinggal mati suaminya. Masa menjanda ini merupakan masa yang umumnya dialami oleh wanita. Dan saya akan jelaskan yang macam-macam janda. Yang pertama adalah janda mati, yaitu janda yang ditinggal suaminya meniggal dunia. Yang kedua adalah janda cerai, yang mana bisa dibagi dalam dua golongan yaitu cerai talak yang berarti pihak yang mengajukan kepengadilan adalah dari pihak suami, sedangkan cerai gugat adalah cerai yang mana pihak istri yang mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan. 3. Nafkah Yang dimaksud dengan nafkah adalah semua hajat dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan kebutuhan lainnya. G.
Metodologi Penelitian 1. Jenis penelitian
9
Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan pendekatan yang yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dll.(Moleong, 2009: 6) 2. Lokasi penelitian Penelitian ini pengambil lokasi di Desa Margolelo Kec. Kandangan Kab. Temanggung. Adapun alasan pemilihan tempat adalah berkaitan dengan upaya peningatan dan pemahaman pengetahuan mengenai Hukum Islam khususnya mengenai tanggungjawab janda mati dan janda cerai terhadap keluarganya. 3. Sumber data Data merupakan suatu fakta atau keterangan dari objek yang diteliti. Menurut Lofland (1984:47) dalam Moeleong, (2007:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen( sumber data tertulis, foto-foto dll) a. Data primer Data primer adalah data atu informasi yang diperoleh langsung dari orang-orang yang terlibat atu mengetahui seluk beluk persoalan. Perolehan data ini penulis berusaha memperoleh data melalui janda yang dicerai dan ditingggal mati oleh suaminya yang tinggal di Desa Margolelo. Sedangkan pengambilan data dilakukan dengan bantuan catatan lapangan, foto dan rekaman.
10
b. Data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain dari data primer. Diantanya Al-Qur‟an, buku-buku literatur, internet, jurnal ilmiah, dan dokumen yang terkait dengan penelitian ini. Data-data tersebut dsebut referensi. Menurut Mestika Zed (2004:10) buku referensi adalah koleksi buku yang memuat iinformasi yang spesisifik, paling umum, serta paling banyak dirujuk untu keperluan cepat. 4. Subjek penelitian Untuk memperoleh gambaran yang jelas dari proses penelitian, maka berikut penulis mengemukakan terlebih dahulu tentang penelitian yang menyangkut: a. Responden / Informan Sumber informasinya yaitu dari subjek dari penelilian tersebut, yaitu para ibu yang sudah tidak hidup dengan suami, yaitu janda. Baik janda mati maupun janda cerai yang bertempat tinggal di Desa Margolelo Kecamatan Kandangan Kabupaten Temanggung b. Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian ini, maka penulis menggunakan beberapa metode antara lain: 1) Wawancara/Interview Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percaapan itu dilakukan oleh dua piha yaitu pewawancara (interviewer)yang mengajukan
11
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberian jawaban atas pertanyaan itu.(Moleong, 2009:186) 2) Observasi Metode observasi adalah metode pengumpulan data dengan jalan pengamtan dan pencatatan secara langsung dan sistematis terhadap fenomena-fenomena yang akan diteliti. Sedangkan teknik observasi yang digunakan peneliti adalah terjun langsung ke lapangan yang hendak diteliti. 3) Dokumentasi Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara membaca dan mengutip dokumen-dokumen yang ada yang berkaitan. Dalam pelaksanaan metode ini,peneliti meneliti benda-benda tertulis seperti buku dll(Arikunto, 1989:131) 4) Studi Pustaka Studi pustaka yaitu membaca buku-buku literature danmengkajinya sesuai dengan pembahasan yang ada hubungan denganpembahasan yang dibahas. H.
Metode Analisis Data Setelah seluruh data-data terkumpul maka barulah langkahselanjutnya penyusun menentukan bentuk pengolahan terhadap data-datatersebut yaitu menggunakan metode komparatif yaitu membangun suatu pendapat atau data lain dan diambil kesimpulan.
I.
Sistematika Pembahasan
12
Untuk dapat memudahkan pemahaman dan pengertian penelitian , maka penulis membagi kedalam sistematika penulisan. Diantaranya: Pada bab I Pendahuluan, ini dimuat tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab II Kajian Pustaka : berisi tentang: Konsep Nafkah, Bagian janda, Nafkah bagi janda, pemeliharaan anak, Sanksi-sanksi Bab III Gambaran umum Desa Margolelo, profil janda mati dan janda cerai. Bab IV berisi tentang analisis penelitian, Pemenuhan Nafkah Keluarga Janda di Desa Margolelo, Kategori Pemberian Nafkah janda Terhadap Keluarganya, Pemberian Nafkah Janda Dalam Perspektif Hukum Islam, Bab V berisi tentang kesimpulan dan saran
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Nafkah 1. Pengertian Nafkah dalam fiqh Kata nafkah berasal dari kata ()انفق, dalam bahasa arab secara etimologi
mengandung
“berkurang”(Syaifuddin,
arti
:
(
قل
2007:165).Yang
و
)نقص
diungkapkan
yang
berarti
oleh
Sabiq,
(1981:77) bahwa yang dimaksud dengan nafkah adalah terpenuhinya kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, pengobatan istri, jika ia kaya.
Nafkah adalah sejumlah uang atau barang yang diberikan oleh seseorang untuk keperluan hidup dirinya sendiri ataupun orang lain. Nafkah di sini juga berupa memberi makan, sandang dan papan serta kebutuhan rumah tangga lainnya. Salah satunya yang mengakibatkan adanya tanggungjawab nafkah adalah adanya hubungan perkawinan.
a.
Dasar Hukum Nafkah
Dalam hubungan ini QS Al-Baqarah:233 mengajarkan bahwa ayah (suami yang telah menjadi ayah) berkewajiban men memberi nafah kepada ibu anak-anak (istri yang telah menjadi ibu) dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani kewajiban kecuali menurut 14
kadar kemampuannya. Seorang ibu jangan sampai menderita kesengsaraan karena ankanya. Demikian pula seorang ayah jangan sampai menderita kesengsaraan karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.(Basyir, 2000:108)Firman Allah:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”(Al-Baqarah:233) Firman Allah
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka;dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu perempuan yang sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan”(At-Thalak:6) b.
Syarat-syarat Wajib Nafkah Basyir (2000:109) mengungkapkan bahwa nafkah keluarga menjadi wajib apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
15
1) Adanya hubungan kerabat yang mewajibkan adanya hubunngan waris-mewaris antara kerabat antara kerabat yang membutuhan dan kerabat yang mampu. 2) Adanya kerabat yang menuntut nafkah. Apabila kerabat yang bersangkutan tidak membutuhkan nafkah dari kerabat lain, tidal berhak nafkah, meskipun masih kanak-kanak. Dengan adanya syarat ini, anak kecil mempunyai harta sendiri dicukupkan keperluan hidupnya dengan hartanya sendiri. Apabila tidak mempunyai harta sendiri, baru diwajibkan kepada ayahnya; apabila ayah tidak mampu maka kemudian diwajibkan kepada erabat lainnya. 3) Kerabat yang tidak mampu berusaha sendiri. Dengan demikian, apabila kerabat bersangkutan mampu bekerja dan memang mendapatkan pekerjaan, tidak berhak nafkah, kecuali nafkah anak untuk orang tua. Kewajiban nafkah bagi orang tua tidak memerlukan syarat ini sebab anak berkewajiban berbuat kebajikan kepada orang tua yang antara lain berupa mencukupkan nafkah hidupnya, meskipun orang tua mampu bekerja, tetapi hasilnya tidak mencukupi kebutuhan. 4) Orang yang dibebani kewajiban nafkah cukup mampu, kecuali kewajiban nafkah untuk anak atau orang tua. Wajib nafah untu ank atau orang tua hanya disyaratkan mampu bekerja, tida harus mampu harta. Dengan demikian, ayah yang mampu bekerja untuk
16
memenuhi kewajiban nafkah bagi anak-anaknya. Apabila kewajiban
ayah
memberi
nafkah
kepada
anak-anaknya
dicukupkan oleh kerabat lain, nafkah itu dapat diperhitungkan sebagai utang ayah kepada kerabat yang bersangkutan, yang pada saat mampu dapat ditagih. Demikian pula halnya kewajiban anak untuk memberi nafkah kepada orang tuanya; anak yang mampu bekerja wajib bekerja untuk memenuhi kewajiban nafkah untuk orang tua. Apabila kewajiban ini dipenuhi kerabat lain, dapat diperhitungkan sebagai utang yang dapat ditagihkan kepada anak pada saat beremampuan. 5) Bersamaan agama, kecuali nafkah anak dan orang tua. Penunjukan Alquran bahwa orang yang mempunyai hubungan waris yang antara lain diperlukan adanya syarat bersamaan agama. Syarat ini tidak diperlukan dalam kewajiban memberi nafkah dar orang tua kepada anak, demikian pula dari anak kepada orang tua. Salah satunya
sebab wajibnya nafkah dalah hubungan
perkawinan. Sebagaimana uyang diungkapkan oleh (Sabiq, 1981:80) Agama mewajibkan suami memberi nafkah istrinya, karena adanya ikatan perkawinan yang sah seorang istri mnjadi terikat semata-mata keapada suaminya. istri wajib taat kepada suami, tinggal di ruamahnya, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Sebaliknya bagi suami ia berkewajiban memenuhi kebutuhannya, dan memberi
17
nafkah kepadanya, selama ikatan suami istri masih berjalan, dan istri tidak durhaka atau karena hal-hal yang menyebabkan terhalanginya penerimaan nafkah. Diungkapkannya pula bahwa perempuan yang berhak menerima nafkah dari suami adalah sebagai berikut: a) Ikatan perkawinan yang sah. b) Menyerahkan dirinya kepada suaminya. c) Suaminya dapat menikmati dirinya. d) Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang dikehendaki suaminya. e) Kedua-duanya saling menikmati
Dan jika seorang isrti bisa memenuhi 5 (lima) hal diatas, tidak patuh lagi terhadap suaminya, maka dalam hal seperti ini ia tidak wajib diberi nafkah. Karena seorang istri diibaratkan sebagai barang dan ia harus menyerahkan semuanya kepada suami. Tapi seorang istri bisa menolak ajakan suami jika suami tersebut kafir dan murtad.
c.
Nafkah menurut para Mazhab Sabiq, 1981:84 mengatakan bahwa, golongan
Dhahiri
berpendapat bahwa adanya ikatan suami istri sendirilah yang menjadi sebab diperolehnya hak nafkah. Pendapat ini berdasarkan kepada hak nafkah bagi istri yang masih di bawah umur atau istri yan berbuat “nusyuz”tanpa melihat syarat-syarat sebagaimana dikatakan oleh Mazhab-mazhab lain. Hampir sama seperti yang dikatakan ibn Hazm
18
bahwa suami berhak menafkahi istrinya sejak terjalinnya akad nikah, baik suami mrmgajaknya hidup serumah maupun tidak, baik istri masih dalam buaian atau berbuat “nusyuz” atau tidak. Kaya atau fakir, masih mempunya orang tua atau sudah yatim, gadis atau janda, merdeka atau budak, semuanya itu disesuaikan dengan keadaan suami. Jumlah nafkah yang harus dipenuhi menurut golongan hanfi adalah meliputi makanan dan segala kebutuhan yang diperlukan sehari-hari dan sesuai dengan keadaan umum, dan sesuai dengan kemapuan suami. Seperti dalam firman Allah:
Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(Qs. At-Thalak:7) Sedangkan menurut golongan Syafi‟i jumlah nafkah bukan diukur dengan jumlah kebutuhan, tetapi berdasarkan Syara‟. Dan golongan ini lebih dikhususkan lagi yaitu bagi suami yang kaya ia ditetapkan
kewajiban
nafkah
setiap
hari
dua
mud(6
ons
gandum/beras). Sedangkan bagi yang miskin satu mud sehari dan yang sedang satu setengah mud.
19
d.
Nafkah Mantan Istri Menurut Fiqh Perbekalan maximum telah diberikan al-Qur‟an bagi mantan isteri
yang diceraikan sehingga mereka tidak menderita sedapat mungkin, secaraemosional berusaha dikurangi dan menganjurkan laki-laki agar melepaskan mereka dengan cara yang baik. Sangat disayangkan ada kesenjangan yang jauh antara ajaran idealnya dan prakteknya yang terjadi. Yang diperlukan adalah menanamkan pendidikan al-Qur‟an dengan skala yang jauh lebih luas bagi perempuan muslim. Sehingga mereka menjadi sadar atas hak-hak yang diberikan al-Qur‟an dan berjuang untuk mencapainya, bukanlah sebuah pekerjaan gampang, walaupun sesuatu yang sangat berguna. Komitmen Asghar terhadap penegakan kesetaraan gender dan perjuangannya untuk menciptakan relasi gender yang berkeadilan, bisa dilihat dari responnya terhadap kasus Shah Bano pada tahun 1985 di India, kasus
ini berkaitan dengan keputusan Mahkamah Agung yang
membenarkan keputusan Pengadilan Tinggi personal muslim yang mewajibkan kepada Mohammad Ahmad Khan (mantan suami Shah Bano) untuk memberikan nafkah kepadaShah Bano, keputusan ini berdasarkan Code of Criminal Prosedure (Cr. Pc)125:“Seseorang yang kekayaannya cukup mengabaikan atau berkeberatan untuk memelihara istrinya yang tidak mampu untuk memelihara dirinya sendiri, dapat dimintakan oleh pengadilan untuk membayar suatu pemeliharaan bulanan kepadanya pada suatu tingkat tarif tidakmelebihi 500 mata uang India….”
20
Inti dari ketentuan di atas adalah mewajibkan kepada para suami untuk memberikan nafkah kepada para isteri yang diceraikan oleh mereka tidak memiliki nafkah hingga mereka kawin lagi atau sampai mati.Keputusan ini diambil setelah berkonsultasi dengan hukum personal muslim (the muslem personal law) dan teks kitab suci al-Qur‟an. Akan tetapi, majelis hukum personal muslim keberatan dengan penilaian Mahkamah Agung dan menganggapnya sebagai bentuk intervensi terhadap mereka. Menurut majelis hukum personal muslim, Mahkamah Agung tidak mempunyai hak untuk menafsirkan al-Qur‟an. Keputusan Mahkamah Agung di atas juga menimbulkan reaksi yang sangat keras, tidak hanya dari majelis hukum personal muslim akan tetapi juga dari beberapa pemimpin
muslim.
Mereka
mengumandangkan
agitasi
melawan
pengadilan dan menuntut Code of Criminal Prosedure (Cr. Pc)125 tidak diberlakukan kepada umat Islam. Menurut Engineer beberapa pemimpin Islam ini menganggap ini bahwa hukum Islam itu suci dan tidak bisa dirubah. Para pemimpin ini mempropagandakan bahwa dalam Islam isteri yang diceraikan itu hanya dapat jatah nafkah pada periode iddah (3 bulan menunggu sebelum dia dapat menikah). Bahkan ada beberapa di antara pemimpin ini ada yang berpandangan bahwa memberikan nafkah di luar masa tersebut adalah dosa. Para pemimpin konservatif ini mengajak umat Islam untuk melawan Mahkamah Agung. Hasilnya, ribuan umat Islam baik laki-laki maupun
21
perempuan berpartisipasi dalam demonstrasi memprotes keputusan Mahkamah Agung
tersebut.
Akhirnya
pemerintah
Rajiv Gandhi
membatalkan keputusan Mahkamah Agung dengan memperkenalkan sebuah rancangan Undang-undang di Parlemen untuk mengecualikan umat Islam dari peraturan Code of Criminal Prosedure (Cr. Pc)125. Dalam hal ini Engineer mengkritikpedas para pemimpin konservatif yang melakukan propaganda untuk melawan Mahkamah Agung. Menurutnya, adalah jauh dari rasa keadilan bila isteri yang dicerai harus dipelihara oleh orang tua atau kerabatnya setelah periode iddah,seperti yang diklaim oleh kalangan konservatif sebagai hukum islam. Menurut Engineer, al-Quran tidak menyatakan baik secara implisit ataueksplisit bahwa isteri yang diceraikan harus dirawat oleh orang tua atau keluarganya. Sebaliknya, adalah kewajiban para suami untuk merawat isteri-isteri mereka. Landasan yang dijadikan pegangan Asghar dalam menanggapi masalah pemberian nafkah bagi mantan isteri adalah bahwa surat alBaqarah ayat 241. Jika dilihat secara cermat, tidak ada yang membatasi masalah pemberian nafkah bagi mantan isteri. Ayat tersebut tidak menetapkan periode tertentu dan tidak juga menegaskan jumlah tertentu. Penafsiran diserahkan kepada pemahaman manusia dan tuntutan zaman yang senantiasa berubah,dan semuanya diserahkan kepada hukum untuk memutuskan sesudah segalanya dipertimbangkan. Asghar juga beranggapan ada dua kata kunci dalam surat al-Baqarah ayat 241, yang berkenan dengan pemberian nafkah, mata‟ah dan ma‟ruf. Al-Qur‟an mengatakan bahwa mereka tidak hanya harus dilepaskan dengan cara yang
22
baik (ma‟ruf) akan tetapi perbekalan (mata‟ah) juga disediakan dengan cara yang baik pula. Dan juga belum ada ketetapan dalam hukum mengenai pemberian nafkah melebih masa iddah. Namun dengan adanya perubahan kondisi sosial, maka penerapan hukum dapat berubah juga,AlQur‟an sendiri tidak menyatakan bahwa secara implisit maupun eksplisit bahwa isteri yang diceraikan harus dirawat oleh orang tuanya atau kerabatnya, sebaiknya adalah kewajiban para suami untuk merawat isteriisteri mereka. Asghar mengutip pendapat „Allamah Yusuf Ali beliau menerjemahkan surat al-Baqarah ayat 241, mata‟ah sebagai nafkah sedangkan ma‟ruf sebagai kadar yang layak. Asghar juga mengutip pendapatnya Maulana Muhammad Ali, dalam menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan; “Ingatlah bahwa perbekalan ini (mata‟ah) adalah tambahan atas mas kawin) yang harus diberikan kepada mereka. Sebagaimana pada surat al-Baqarah ayat 240, ayat sebelumnya mengenai janda cerai mati yang diberi keuntungan tambahan bagai perempuan yang dicerai suami.Setelah suami meninggal, isteri tidak boleh dikeluarkan dari rumahnya, dia harus diperbolehkan menetap di sana paling tidak selama satu tahun. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 240; “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) meninggalkan mereka berbuat yang ma‟ruf terhadap diri mereka.
23
Seseorang laki-laki dapat berbicara dengan janda cerai mati pada masa iddahnya tentang maksudnya untuk mengawininya. Hal ini menunjukkan bahwa janda tersebut dilamar pada masa iddahnya. Dengan demikian, sangatlah mungkin bahwa kerabat suaminya setelah iddahnya habis dan mencerai suami yang baru. Inilah sebab alQur‟an mendesak seorang suami untuk membuat wasiat khusus sebelum meninggal dunia untuk mempertahankan istrinya di dalam rumahnya paling tidak selama satu tahun dan untuk nafkah hidupnya dan segala keuntungan lainnya (sebagai tambahan atas hak warisnya yang biasa bagi isteri dari harta suaminya, seperdelapan). Dengan demikian, jika ayat ini dibaca dalam perspektif sosial yang berlaku pada saat itu, maka akan terlihat bahwa perlindungan khusus diambil untuk melindungi hak-hak perempuan (al-Baqarah: 240). Asghar lebih lanjut juga mengutip pendapat „Allamah Yusuf Ali, bahwa perempuan yang dicerai berhak atas nafkah yang layak dan pemberian tersebut diwajibkan bagi suami yang menceraikannya. (Khusus banding Shah Bano untuk mendapatkan nafkah dari suaminya, dan akhirnya dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi India). Sebagian ulama masa awal Islam juga berpendapat bahwa mata‟ah tidak mengisyaratkan waktu tertentu. Asghar mengutip pendapatnya Hasan al-Basri. Seorang tabi‟in yang juga ulama besar, berpendapat bahwa tidak ada pembatasan waktu mengenai pemberian nafkah, ini harus diberikan menurut kemampuan seseorang, demikian juga dalam lisan al-Arab, leksikon Arab klasik dan
24
diakui secara luas, mengatakan, “Ia (mata‟ah) tidak mempunyai batas waktu. Karena Allah tidak menetapkan batas waktu pemberian nafkah, hanya saja menyuruh memberikan nafkah.Asghar juga mengutip pendapat seorang ulama Pakistan Prof. Rafi‟ullah Syihab, mengatakan dalam artikelnya yang dipublikasikan oleh Pakistan Times bahwa menurut prinsip yang ditetapkan fuqaha Hanafi, “Jika seorang suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya dengan cara yang benar. Isteri bisa mendapatkan pemberian nafkah yang besarnya ditetapkan pengadilan, pemberian tersebut tidak hanya diberikan sewaktu menjadi istrinya akan tetapi juga setelah ia diceraikan. Hal senada juga diungkapkan Imam Ibn Rujaim, “dia berpandangan bahwa argumen yang mengatakan berhentinya kewajiban pemberian nafkah selayaknya oleh suami dapat mengetuk pintu pengadilan dan mendapatkan nafkah yang besarnya ditetapkan pengadilan tersebut. Suami harus membayar dan memberikan nafkah yang sudah ditetapkan itu kepada istrinya, dia tentu akan melakukan yang demikian. Tetapi hukum Islam tidak membolehkannya berlaku demikian, dia tetap harus memberikan nafkah tersebut setelah menceraikannya. Asghar Ali Engineer berpendapat bahwa kriteria-kriteria bagi seorang wanita yang berhak mendapatkan nafkah dari mantan isterinya adalah; a)seorang wanita yang telah dicerai dan tidak mampu untuk memelihara dirinya sendiri (miskin), b) seorang wanita yang sudah sangat tua usianya, dan c) wanita tersebut sudah tidak mempunyai sanak famili.
25
Seorang wanita itu berhak mendapatkan nafkah sampai dia menikah lagi atau sampai mati, karena jauh dari rasa keadilan jika seorang wanita yang telah diceraikan kembali kepada orang tuanya atau kepada kerabatnya. Menurut Asghar Ali Engineer ada dua kata kunci surat al-Baqarah ayat 241 yang berkenaan dengan pemberian nafkah bagi mantan isteri; mata‟ah dan ma‟ruf. Al-Qur‟an mengatakan bahwa mereka tidak hanya harus
dilepaskan dengan cara
yang baik
(ma‟ruf) akan tetapi
perbekalan(mata‟ah) juga disediakan dengan cara yang baik pula. pemikiran Asghar Ali Engineer tersebut memiliki relevansi dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 41 c. Hal ini tentunya juga berimplikasi terhadap KHI yang hanya memberikan nafkah bagi mantan isteri hanya sampai masa iddah, yang mana hal itu memerlukan peninjauan kembali.http://wordskripsi.blogspot.com, akses Februari 2010.
e. Nafkah menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Dalam Undang-undang ini nafkah termuat dalam hak dalam kewajiban suami istri yang termuat dalam :
Dalam Pasal 32 disebutkan bahwa
1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. 2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.
26
Pasal 33 Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 2) Isteri wajib mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya. 3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Menurut hukum positif yang berlaku di Pengadilan termuat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang perkawinan pasal 41 c, yang berbunyi: Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban kepada mantan isteri. Berdasarkan undang-undang tersebut pengadilan dapat menentukan suatu kewajiban kepada mantan suami yang yang harus dilakukannya setelah perceraian
f.
Nafkah dalam KHI Kompilasi hukum islam merupakan himpunan ketentuan hukum islam yang dituliskan dan disusun secara teratur. Kompilasi hukum islam bukan merupakan peraturan perundang-undangan, bukan hukum tertulis meskipun dituliskan, dan bukan undanng-undang. Kompilasi hukum
27
islam merupakan hukum yang tidak tertulis yang hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun Kompilasi hukum islam dijadikan pedoman bagi seluruh warga negara yang beragama islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam nafkah termuat dalam Kewajiban Suami, antara lain: Pasal 80 1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-halurusan rumah tangga yang pentingpenting diputuskan oleh sumai isteri bersama. 2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya 3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. 4) Sesuai dengan penghasislannya suami menanggung : a) nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c) biaya pendididkan bagi anak. 5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulaiberlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
28
6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. 7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz. B. Bagian Janda 1. Pengertian dan Dasar Hukum Janda Mati Menurut Saleh, (2008:330) Janda mati adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Dengan meninggalnya suami, maka perkawinan antara keduanya terputus dengan sendirinya. Bagi yang ditinggalkan, ia bebas untuk menikah lagi dengan ketentuan sebagai berikut: istri yang ditinggal mati suaminya boleh menikah lagi dengan pria lain setelah mengalami masa „iddah selama empata bulam sepuluh hari. Dengan dasar hukum QS AlBaqarah:234, tetapi jika ia dalam keadaan hamil, ia harus menunggu („iddah), hingga melahirkan yang tercantum dalam QS At-Thalaq:4
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi(monopous) diantara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu(tentang masa iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula)perempuan-
29
perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya”(At-Thalak:4) Sedangkan menurut Basyir, (1995:63) kematian suami mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadi kematian. Apabila tidak terdapat halangan-halangan syara‟, istri yang ditinggal mati berhak waris atas harta peninggalan simati. Yang dimaksud harta peninggalan ailah sisa harta setelah diambil untuk mencukupkan keperluan penyelenggaraan jenazah, sejak dari memandikan sampai memakamkan, kemudian ia melunasi hutang-hutangnya. Kemudian untuk melaksanakan wasiatnya, dalam batas sebanyak-banyaknya sepertiga
dari
sisa
harta
setelah
diambil
untuk
biaya
penyelnggaraan jenazah dan melunasi hutang-hutangnya.
2. Pengertian dan Dasar Hukum Janda Cerai
Janda cerai adalah janda yang terjadi karena masalah yang tidak dapat didamaikan atau karena suami atau istri murtad (keluar dari agama Islam).
Dalam Saleh (2008:321) cerai hidup ini ada beberapa macam dilihat dari beberapa keadaan. Pertama, dilihat dari sah tidaknya suatu perceraian, terbagi kepada thalaq sunni dan thalaq bid‟i. Kedua, dilihat dari kemungkinan boleh tidaknya suami
30
kembali (rujuk) kepada istrinya, terbagi kepada thalaq raj‟i dan thalaq ba‟in.
a.
Dilihat dari Sah Tidaknya Suatu perceraian 1) Thalaq sunni, yaitu talak yang dinyataka suami ketika istri tidak dalam keadaan haid. Talak ini sah, dibenarkan, dan tidak melanggar sunnah Nabi, karena tidak berpengaruh pada perhitungan masa „iddah, melainkan langsung memasuku masa „iddah. 2) Thalaq bid‟i, yaitu talak yang dinyatakan suami ketika istri dalam keadaan haid. Talak ini bertentangn dengan sunnah Nabi dan haram. Dengan cara ini, hitungan masa „iddah memanjang, karena setelah jatuh talak tidak langsung dapat dihitung masa „iddahnya.
b.
Dilihat dari boleh tidanya suami kembali (rujuk) pada istrinya. 1) Thalaq raj‟i ialah talak yang memberi peluang kepada suami untuk kemabali (rujuk) kepada istrinya, selama istri masih dalam masa „iddah, tanpa melalui pernikahan baru. Thalak raj‟i adalah talak satu atau talak dua tanpa didahului tebusan („iwadh) dari pihak istri. 2) Thalaq Bainialah talak yang tidak memberi peluang kepada suami untuk kembali (ruju‟) lagi kepada istrinya, karena ia telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, sehingga jika ia ingin kembali kepada istrinya ia harus melalui pernikahan
31
baru. Rujuk hanyalah melanjutkan perkawainan yang telah terputus dan bukan melalui perkawinan baru. c.
Khulu‟ Bentuk perceraian lain adalah khul‟, yaitu perceraian yang dikehendaki istri karena ia melihat suami melakukan suatu perbuatan yang tidak diridhai Allah, sedangkan suami sendiri merasa tidak perlu menceraikan istrinya, oleh karenanya istri dapat meminta cerai kepada suaminya dengan kompensasi ganti rugi. Jika suami menyetujuinya, maka putuslah perkawinan antara keduanya.
d.
Fasakh Fasakh berarti pembatalan perkawinan. Hal itu terjadi akibat pertengkaran antara suami istri yang tidak mungkin didamaikan lagi. Fasakh ini bisa terjad ketika: (a) akad nikah diketahui bahwa diantara calon suami istri punya hubungan nafkah atau sepersusuan, atau (b) ketika merka nikah, keduanya masih kecil, dan (c) walaupun kad nikah berlangsung wajar, tetapi pada suatu saat diketahui adanya penipuan, baik dari segi maskawin maupun dari pihak yang melangsungkan perkawinan. Dan setelah nikah terjadi hal-hal berikut: (a) salah satu pihak murtad dan tidak mau kembali kepada islam, (b) salah satu pihak mengalami cacat fisik, yang tidak mungkin untuk melakukan hubungan suami istri, atau (c)
32
kehidupan ekonomi keluarga krisis, sedangkan istri tidak sabar menunggu pulihnya kembali. Demikianlah, fasakh pada dasarnya merupakan bentuk perceraian yang dilakukan oleh Hakim atas permintaan suami atau istri. Namun, ada juga fasakh yang terjadi secara otomatis, yaitu jika kemudian diketahui di antara suami istri itu punya hubungan nasab atau sepersusuan. 3.
Nafkah Bagi Janda Sebelum membahas tentang nafkah bagi janda, maka harus diketahui akaibat putusnya perkawinan dengan suaminya karena cerai talak, cerai gugat, atau karena ditinggal mati suaminya, mempunyai akibat hukum yaitu melaksanakan iddah. Keharusan menjalankan iddah merupakan perintah Allah yang dibebankan oleh bekas istri yang telah dicerai. Untuk memudahkan pembahasan kita mengenai iddah, maka akan di paparkan sebagai berikut: a. Pengertian Iddah. 1. Secara Etimologi Jika dikaji secara etimologi, kata iddah berasal dari kata kerja „adda-ya‟uddu yang artinya menghitung sesuatu ( ihsha‟u asy-syay‟i). Adapun kata iddah memiliki arti seperti kata al„adad yaitu ukuran sesuatu yang dihitung atau jumlahnya. Jika kata
iddah
tersebut
dihubungkan
dengan
kata
al-mar‟ah
(perempuan) maka artinya hari-hari haid/ sucinya, atau hari-hari
33
ihdadnya terhadap pasangannya atau hari-hari menahan diri dari memakai perhiasan baik berdasarkan bulan, haid/ suci, atau melahirkan. Wahbah Zuhaili mengemukakan :
ِ ِ اخ ْو َذ ةُ ِم َن ا لْ َع َد ِد ِْل ْشتِ َما ِِلَا َعلَي َع َد ُ َم,ُصا ء َ اَْْل ْح:ًَوى َي لُغَة ِْ ِد اْلقْ َر ِاءاَْواْلَ ْش ُه ِر َغالِبًا
Artinya: “ iddah secara bahasa adalah menahan, terambil dari kata Adad (bilangan) karena mencakup atas bilangan dari beberapa quru‟ dan beberapa bulan menurut kebiasaan. Sayyid sabiq (1987: 150) memaparkan
ِ ماخو َذةُِمن:ُالعِد ة ِ اَت ص ِيو الْ َم ْراَةُ َوتَ َعدهِ ِم َن َْ اَي َم:صاء َ الع َدداْلَ ْح َ َ ُْ َ ْاْلَي ِام َواْلَ قْ َر ِاء
Artinya: “ iddah terambil dari kata Addad, artinya menghitung, maksudnya perempuan yang menghitung hari-harinya dan masa bersihnya”.
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fiqih tersebut dapat dipahami bahwa pengertian iddah dari segi bahasa berasal dari kata „adda yang artinya bilangan, menghitung, dan menahan. Maksudnya perempuan menghitung hari-harinya dan masa bersihnya setelah cerai dari suaminya. 2. Secara Terminologi Dari sisi terminologi, para ahli fiqh telah merumuskan definisi iddah dengan berbagai ungkapan.Meskipun dalam redaksinya yang berbeda, berbagai ungkapan tersebut memiliki kesamaan secara
34
garis besarnya. Menurut al-Jaziri, „iddah secara Syar‟i memiliki makna yang lebih luas daripada makna bahasa, yaitu masa tunggu perempuan yang tidak hanya didasarkan pada bulan atau ditandai dengan melahirkan, dan selama masa tersebut seorang perempuan dilarang untuk menikah dengan laki-laki lain ( Wahyudi, 2009: 74). Sabiq mendefinisikan tentang iddah yakni sebagai berikut:
ِِىي اِسم العِدةٌ ا ل ِِت تَنْت ِظر فِها ا لْمراَةُومتتنع عن الت زويج ب ع َدو فَاة َْ َ ُ َ َ ْ َ ََ ْ َ ٌْ َ َزْوِج َهااَْوفَِر ِاق َِلَا
Artinya: “ iddah adalah nama dari suatu masa, dimana seorang perempuan dalam masa itu menunggu dan menahan diri dari melangsungkan pernikahan setelah suaminya wafat atau dicerai oleh suaminya.
Sabiq menjelaskan bahwaiddah merupakan sebuah nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah berpisah dengan suaminya( Sabiq, 1987: 150). Ismail al- Shan‟ani menjelaskan pengertian iddah adalah
(تتر بص فيها المر اةmasa
مد ة
tunggu) yang dilalui oleh seorang
perempuan. Definisi ini masih perlu penjelasan mengenai apa yang ditunggu, dan untuk apa menungu. Adapun definisi Ismail al-Sha‟ani yang menjawab apa yang ditunggu dan kenapa menunggu sebagai berikut:
ِ اِسم لِعدةُ تَت ربص الزويْج بَ ْع َد َوفَاةِ َزْوِج َه َاوفَ َراقَوُ َِلَا ن ع ة ا ر م ل اا ِب ْ ُ َ َ ّ ْ ْ َ َ ُ ََ َ ُ ْ 35
Artinya: nama bagi suatu masa yang seorang perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena wafatnya suaminya atau bercerai dengan suaminya.
Abi Yahya Zakaria al Anshari mengemukakan pengertian iddah menurut istilah yaitu:
ِْ مد ةُ تَتَر بص فِي هاالْمراَةُلِمع ِرفَةُ براءةِر ْح َهااَْوللِتَ َعبُّ ِد ُ َ َ َ ْ َ َْ َ ْ ُ َ
Artinya: masa tunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan itu atau untuk beribadah (syarifudin, 2006: 304).
Definisi di atas lebih mengutamakan tujuan iddah. Adapun tujuan ini adalah untuk mengetahui kebersihan rahim seorang perempuan, untuk melaksanakan ibadah, dan untuk menghilangkan rasa duka bagi seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya. Menurut Sayuti Thalib, pengertian kata iddah dapat dilihat dari dua sudut pandang: Pertama, dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah ada, suami dapat rujuk kepada istri. Dengan demikian, kata iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuah talak, dalam waktu mana pihak suami dapat rujuk kepada istrinya. Kedua, masa iddah itu adalah suatu tenggang waktu dalam waktu mana istri belum dapat melangsungkan perkawinan dengan pihak laki-laki lain (Nurudin, 2004: 241).
36
Menurut ulama Hanafiah, iddah diwajibkan karena putusnya suatu perkawinan secara sah atau subhat dengan syarat telah terjadi hubungan suami istri (dukhul). Dari beberapa definisi iddah yang dipaparkan oleh para ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa iddah menurut syariat Islam ialah masa tunggu bagi seorang perempuan yang pada masa tersebut dilarang kawin dengan laki-laki lain. Masa tunggu ini dijalani karena ada sebab, yaitu istri yang ditalak oleh suaminya dan telah digauli atau istri yang ditinggal mati suaminya. 3. Dasar hukum Iddah Kewajiban menjalankan Iddah bagi seorang perempuan setelah berpisah dengan suaminya baik karena talak ataupun kematian suaminya, didasarkan pada Al-Quran, hadis, maupun ijma‟. Ayat-ayat Al-Quran yang menjadi dasar hukum Iddah adalah sebagai berikut: a) iddah perempuan karena talak QS. Al- baqoroh (2): 228
“wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri ( menunggu) tiga kali quru‟.(Qs. Al-Baqarah:228) b) iddah wanita yang ditinggal mati suaminya Para ulama mazhab sepakat bahwaiddah wanita yang ditinggal mati suaminya, sedangkan dia tidak hamil,iddah nya 37
empat bulan sepuluh hari, baik wanita tersebut sudah dewasa maupun masih anak-anak, dalam usia menopaus atau tidak. Didasarkan atas firman Allah (QS. Al-baqoroh (2): 234).
“ Orang –orang yang yang meninggal dunia di antaramu yang meninggalka istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian jika habis iddahnya tiada dosa bgimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patutAllah mengetahui apa yang kamu perbuat.(Qs. Al-Baqarah:234) Ayat ini secara tegas dan umum mengatakan keharusan istri yang ditinggal mati suaminya atau cerai karena mati wajib menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari. c) Iddah wanita yang belum dicampuri suaminya. Bila suami belum bergaul dengan istrinya, maka istri tidak memenuhi syarat untuk dikenai kewajiban ber iddah. Dasar hukum iddah, perempuan yang belum dicampuri oleh suaminya QS. Al- Ahzab (33): 49
38
“ Hai orang orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali kali tidak wajib bagi mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‟ah dan lepaskan mereka itu dengan cara sebaik –baiknya”.(Qs. AlAhzab:49) d) Iddah wanita hamil Iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan bayinya, sekalipun hanya beberapa saat sesudah ditinggal mati oleh suaminya itu, dimana wanita tersebut sudah boleh kawin lagi sesudah melahirkan. Berdasarkan firman Allah (QS. atTalaq:4)
Artinya: dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(Qs. AtThalak:4) e) Iddah wanita khulu‟ Dalam sunnah dijelaskan bahwa iddah wanita ter-khulu‟ adalah satu kali haidh. Dalam kisah Tsabit bahwa Nabi bersabda kepadanya “ ambilah sesuatu yang ada bagi wanita atasmu dan lepaskan jalannya.” Ia menjawab: “ ya.” Kemudian Rasulullah perintahkan kepadanya untuk ber iddah
39
sekali haidh dan kembali kepada ahlinya ( HR. An-nasa‟I dengan isnad yang shahih). (Azzam dan Aziz, 2009: 314). Ibnu umar berkata: “ Ustman telah memilihkan dan memberitahu kepada kita”. Dan dinukil dari Abi Ja‟far Annuhas dalam kitab An-Nasikh wa Al-Mansukh bahwa ini adalah Ijma dari sahabat. Sedangkan iddahi wanita khulu‟
masa
iddahnya adalah tiga kali haidh jika ia masih haidh. Adapun diantara hadis Nabi Muhammad Saw. Yang menjadi dasar hukum iddah adalah sebai berikut:
ٍ أَ ْن َُِتد على مي,ْلَ ََِي ُّل ِْلمرأَةٍ تُ ْؤ ِمنُبِالل ِهوالْي وِم اْْلَ ِخ ِر َت فَ ْو َق ثَل َ َ َ َْ َ َْ ِ ِ ِ ِ ُّعلَْي ِو اَْر بَ َعةَ اَ ْش ُه ٍر َو َع ْشًرا َ فَِإن َه ُاَتد, أَي ٍام اْل َعلَى َزْوج َها,ثَة Artinya: “ Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, masa berkabungnya selama empat bulan sepuluh hari”.(HR. Hafsah. Ra) Hadist lain yang berkaitan dengan iddah ini dapat dilihat dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang suaminya mauquf, yaitu:
ِعن عمرِِف اِمراَةِالْم ْف ُقو ِِ ْي ُُث تَ ْعتَ ٌداَْربَ َعةَاَ ْش ُه ٍرَو َع ْشًرا ب ر ت د َ َ ْ ص اَْربَ َع سن ُ َ ْ َ َْ ََ ُ ْ َ Artinya: dari umar ra berkat: bagi perempuan yang kehilangan suaminya dan tidak mengetahui dimana suaminya berada, sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun, kemudian hendaklah ia beridah empat bulan sepuluh hari. (HR. Malik)
40
Hadist diatas mengisahkan seorang istri yang kehilangan suaminya. Dalam kisah tersebut dinyatakan bahwa suamiya hilang disembunyikan jin selama empat tahun. Setelah siistri mengetahui suamiya hilang, dia pergi menghadap Umar bin Khattab dan Umar menyuruh perempuan itu menunggu selama empat tahun, sesudah berlalu empat tahun, umar memanggil wali si suami dan memerintahkan untuk menceraikan perempuan itu sebagai wali dari suaminya. Kepada perempuan itu Umar memerintahkan agar beriddah empat bulan sepuluh hari. Para fuqoha sepakat bahwa perempuan muslim yang bercerai dengan suaminya
baik
cerai mati maupun cerai talak wajib
menjalankan iddah. Dengan landasan hukum dari Firman Allah dan dari Hadis Nabi Muhammad SAW. Kewajiban iddah ini tidak berlaku bagi laki-laki berdasarkan makna iddah menurut istilah, sehingga dibolehkan bagi laki laki untuk menikah secar langsung dengan perempuan lain setelah perceraian selama tidak ada larangan syara‟( wahyudi, 2009: 81). 4. Nafkah Bagi Janda Cerai Sabiq, (1980:172) mengemukakan bahwa, perempuan yang telah dicerai oleh suaminya tetap mendapatkan haknya. Para ahli fiqih sepakat bahwa perempuan yang ditalak raj‟i masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Seperti dalam firman Allah:
41
“tempatkanlah mereka (para istri) di
mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuan mu”.(Qs. At-Thalak:6) Dan Allah berfirman mengenai nafkah perempuan hamil yang telah di cerai:
“dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka;dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu perempuan yang sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan”(Qs. At-Thalak:6) Sedangkan bagi istri yang telah ditalak tiga oleh suaminya, Sabiq, (1980:172) mengatakan bahwa ada beberapa pendapat para imam yaitu sebagai berikut: Menurut imam Abu Hanifah bahwa perempuan yang ber‟iddah karean talak tiga mempunyai hak nafkah dan tempat tinggal. Karena ia wajib menghabiskan masa iddah di rumah suaminya. Sedangkan imam Ahmad berpendapat bahwa perempuan yang ditalak tiga tidak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Lain lagi dengan pendapat imam Syafi‟i dan imam Malik, mereka berpendapat bahwa perempuan yang ditalak tiga oleh suaminya maka ia masih mendapatkan tempat tinggal tapi tidak mendapatkan nafkah.
42
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 149, jika perkawinan putus kareana suami yang mencerai talak istrinya maka ia wajib:
a. Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut Qabla ad dukhul; b. Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama masa „iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. c. Melunasi mahar yang masih tehutang seluruhnya, atau separo bila qabla ad dukhul d. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Dan jika putusnya perkawinan karena Cerai Gugat, KHI mengatur dalam Pasal 156 Sebagai berikut: a. Anak yang belum mumayyis berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali jikaib telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh: 1) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2) Ayah 3) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah 4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutn 5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu 6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping ayah
43
b. Anak yang sudah mumayyis berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atu ibunya. c. Apabila
pemegang
hadanah
tidak
mampu
mememegang
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunya hak hadanah pula. d. Semua biaya hadaanah dan nafkah menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya,
sekurang-kurangnya
sampai
anak
tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) e. Bila terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d) f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut kepadanya. Sedangkan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam :
Pasal 41
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata
44
berdasarkan
kepentingan
anak;
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. 5. Nafkah Bagi Janda Mati Janda adalah seorang istri yang suaminya meninggaldunia. Hubungan kewarisa terjadi jika perkawinan masih utuh ketiak suami meninggal dunia. Jika hubungan perkawian sudah putus, maka hubungan kewarisan tersebut juga hilang. (Budiono, 1998:56) Waris adalah harta peninggalan dari orang yang sudah meniggal kepada orang yang masih hidup yang masih ada hubungan nasab. Waris berasal dari kata Al-miirats, dalam bahasa arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dar kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah “berpindahnya suatu dari seseorang kepada orang lain”, atau dari suatu kaum kepada kaum lainnya. Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan
45
nonharta benda. Ayat-ayat Al-Qur‟an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rosulullah saw.. Diantaranya Allah berfirman:
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.....(an-Naml:16) Ash-shabuni(1995:49)Adapun seorang istri yang ditinggal mati suaminya, seharusnya ia mendapat bagian ¼ dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apa bila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun lahir dari rahim istri lain. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:
“...Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak....”(an-Nisa:12) Tapi istri juga bisa memperoleh bagian 1/8. Istri, baik seorang maupun lebih, tetap mendapatkan seperdelapan dari harta peniggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
“...Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperileh seperdelapan dari harta yang kamu tingalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau(dan) sesudah dibayar utangutangnmu...”(an-Nisa:12)
46
Pendapat Soekanto (1985 : 117) mengenai kedudukan janda . Beliau menyatakan bahwa janda tidak mendapat bagian dari harta peninggalan suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik penghasilan dari harta tersebut, jika perlu seumur hidup. Untuk nafkahnya janda itu dapat pula diberi bagian sekaligus dari harta peninggalan suaminya. Untuk nafkah ini terutama disediakan barang gono-gini. Jika barang-barang ini mencukupi untuk nafkah, maka waris dapat menuntut supaya barang-barang asal dari peninggal harta diterimakan kepada mereka. Jika barang gono gini tidak mencukupi untuk nafkah, maka asal dari suami dapat dipakai untuk keperluan itu. Harta peninggalan boleh dibagi-bagi adal saja janda terpelihara dalam hidupnya, misalnya janda sudah dapat pewarisan (pada masa masih hidup suaminya) atau nafkah dijamin oleh beberapa waris. Jika janda nikah lagi, ia keluar dari rumah tangga suami pertama dan ia masuk dalam rumah tangga baru, dalam hal demikian barang-barang gono-gini dapat dibagi-bagi anatara janda yang kawin lagi dengan ahli waris suami yang telah meninggal dunia. Menurut Ter Haar dalam (R. Soepomo, 1996 : 95) menyatakan bahwa pangkal pikiran hukum adat ialah bahwa isteri sebagai “orang luar” tidak mempunyai hak sebagai waris, akan tetapi sebagai isteri, ia berhak mendapat nafkah dari harta peninggalan,
selama
ia
47
memerlukannya.
Di
Minangkabau
misalnya, yang sistem familinya berdasar turunan dari pihak ibu (moederrechtelijk), isteri tidak memerlukan nafkah dari harta peninggalan suaminya. Dari kedua pendapat tersebut di atas jika ditarik garis hukumnya tiadalah bedanya, karena garis hukumnya menyatakan bahwa janda bukan ahli waris (almarhum) suaminya. Sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut : a) Janda berhak akan jaminan nafkah seumur hidupnya, baik dari barang gono gini mapun dari hasil barang asal suami, jangan sampai terlantar selanjutnya sesudah suaminya meninggal dunia; b) Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya, untuk menarik penghasilan dari barang-barang itu, lebih-lebih jika mempunyai anak. Harta itu tetap merupakan kesatuan di bawah asuhan yang tidak dibagi-bagi ; c) Janda berhak menahan barang asal suaminya, jikalau dan sekedar harta selama barang asal itu sungguh-sungguh diperlukan olehnya, untuk keperluan nafkahnya ; d) Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar bagian anak di dalam keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan anak, misalnya janda kawin lagi. Anak minta sebagian untuk modal berusaha dan sebagainya. (Bushar Muhammad dalam Soerjono, Yusuf Usman, 1985 : 21).
48
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam: Pasal 96 a. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebihlama,. b. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutangharus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukumatas dasar putusan Pengadilan Agama. Dan disebutkan pula dalam pasal 180 bahwa bagi istri yang ditinggal mati suamiya, jika pewaris tidak meninggalkan anak maka mendapatkan seperempat jika meninggalkan anak maka bagiaannya seperdelapan. C. Pemeliharaan Anak (Hadanah)
Hubungan perkawinan pengakibatkan terlahirnya seorang anak, di mana mengasuh anak ini hukumnya wajib karena anak yang masih kecil belum bisa menjaga daririnya sendiri dari bahaya. Dan hubungan antara orang tua dngan anak tidak akan pernah putus walaupun sudah tidak ada hubungan perkawinan antara kedua orang tua si anak. Para ahli fiqh mendefinisikan “Hadhanah” ialah melakukan pemeliharaan
anak-anak
yang masih
kecil
laki-laki
ataupun
perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyis, menyediakan kebutuhannya, menjaga dan mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu hidup mandiri(Sabiq, 1980:173)
49
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, Hadanah ini dirumuskan garis hukumnya dalam pasal 41 Undang-undang perkawinan sebagai berikut: Pasal 41 UUP b. Baik ibu atau yah tetapa berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana adaperselisihan
mengenai
penguasaaan
anak-anak
pengadilan
memberi keputusannya; c. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan ank itu;bila mana dalam kenyatan bapak tidak bisa memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; d. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberika biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum iSlam dijelaskan dalam pasal 105 a.
Pemeliharaan anak sebelum mumayyis atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b.
Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan;
c.
Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
50
Tapi jika orang tua lalai dalam melaksanakan tanggung jawab, baik dalam merawat atau mengembangkan harta anaknya. Orang tua tersebut dapat dicabut dan dialihkan kekuasaanya jika ada alasanalasan yang disebutkan dalam Undang-undang perkawinan pasal 49 sebagai berikut: a. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaanya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejbat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal: b. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; c. Ia berkelakuan buruk sekali d. Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. D. Sanksi-sanksi Telah banyak disebutkan dia atas bahwa seorang ayah wajib memberi nafkah bagi istri dan anak-anaknnya. Karena ia adalah pemimpin dan dalam rumah tangganya, maka ia bertanggung jawab atas semua kebutuhan istri dan anak-anaknya. Seperti yang diungkapkan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 pasal 34 ayat 1”Suami wajib melindungi istrinya dan
51
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Disebutkan pula dalam KHI pasal 80 bahwa sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung: a. Nafkah, kiswah dan yempat tinggal bagi istri b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak c. Biaya pendidikan bagi anak Dan menurut Undang-undang perlindungan Anak Pasal 26 menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban: a. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : b. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; c. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. d. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan jika seorang ayah meninggalkan kewajiban-kewajiban dalam pasal-pasal diatas, maka ia dapat dijerat dengan UU No. 23
52
Tahun 2004 yang menyatakan bahwa”Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, parawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut”. Orang yang melanggar pasal Pasal di atas di jerat oleh pasal 49 yaitu diipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a.
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b.
Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
53
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Gambaran Umum Desa Margolelo 1. Kondisi Geografis Desa Margolelo merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Kandangan dengan batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara
: Desa Kedungboto Kecamatan Limbangan Kabupaten Kendal
b. Sebelah Timur
: Desa Kedawung
c. Sebelah Selatan
: Desa Ngemplak
d. Sebelah Barat
: Desa Blimbing
Luas Wilayah Desa Margolelo berdasarkan data yang diperoleh dari peta adalah 520 Ha dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1 Penggunaan Tanah
No 1 2 3 4 5 6 7
Penggunaan Luas Ha Pemukiman 49 Sawah 39 Perkebunan 196,85 Tegalan 200 Perkantoran 0,15 Kuburan 4 Lain-lain 32 Jumlah 520 Sumber: data monografi desa margolelo tahun 2014
54
Desa Margolelo
berada pada ketinggian 600 meter dari
permukaan laut.Secara administrasi Desa Margolelo terbagi menjadi 5 (lima) Dusun yang terbagi menjadi 4 (empat) Rukun Warga (RW) dan 15 (lima belas) Rukun Tangga (RT), pemabagian wilayah Administrasi Desa Margolelo berdasarkan data yang ditempel di depan kelurahan adalah seperti dalam tabel berikut:
Tabel 2 Pembagian Wilayah Administratif No 1 2 3 4 5
Nama Dusun Nama RW Sumenggoh RW 01 Bleder RW 04 Sabrang RW 02 Margolelo RW 02 Rowo RW 03 Jumlah 04 sumber: Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014
Jumlah RT 2 RT 2RT 2RT 2RT 7RT 15
2. Demografi Jumlah penduduk Desa Margolelo 2013 sebanyak 1590 jiwa, yang terdiri dari: a. Penduduk laki – laki sebanyak
790 jiwa
b. Penduduk perempuan sebanyak 800 jiwa Sedangkan Kepala Keluarga sebanyak 505 KK. Adapun jumlah penduduk di Desa Margolelo berdasarkan sumber dari data kependudukan menurut usia dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
55
Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut Usia No
Umur (Tahun)
Jumlah Jiwa
1
0-5
101
2
6-10
101
3
11-15
120
4
16-20
125
5
21-25
132
6
26-30
130
7
31-35
137
8
36-40
115
9
41-45
153
10
46-50
105
11
51-55
136
12
56-60
54
13
61-65
62
14
66-70
32
15
71-75
40
16
75
47
Jumlah
1590
Sumber: Data Monografi Desa Margolelo tahun 2014 Dari jumlah penduduk desa Margolelo menurut usia seperti tersebut diatas yang paling produktif antara usia 26 -65 tahun sebagai pendukung kegiatan pembangunan di desa Margolelo. 3. Keadaan Sosial Kondisi sosial masyarakat Desa Margolelo ditunjukkan masih rendahnya kualitas dari sebagian besar SDM masyarakat serta
56
cenderung masih kuatnya budaya paternalistik. Meskipun demikian pola budaya seperti ini dapat dikembangkan sebagai kekuatan dalam pembangunan yang bersifat mobilitas masa . Disamping itu masyarakat Desa Margolelo yang cenderung memiliki sifat ekspresif, agamis dan terbuka dapat dimanfaatkan sebagai pendorong budaya transparansi
dalam
setiap
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan. Munculnya masalah kemiskinan, ketenagakerjaan dan perburuhan menyangkut pendapatan, status pemanfaatan lahan pada fasilitas umum menunjukkan masih adanya kelemahan pemahaman masyarakat terhadap hukum yang ada saat ini . Hal tersebut sebagai akibat dari tidak meratanya tingkat pendidikan yang diperoleh masyarakat. Adapun tingkat pendidikan masyarakat Desa Margolelo dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Belum Sekolah 110 Tidak Tamat SD 581 Belum Tamat SD 162 Tamat SD 521 Tamat SMP 154 Tamat SLTA 54 Tamat D I/II 4 Diploma III 1 SI 2 Jumlah 1590 Sumber:Data Monografi Desa Margolelo tahun 2014
57
Dari tabel tingkat pendidikan Penduduk di desa Margolelo yang paling banyak adalah penduduk berpendidikan tamat SD/Sederajad.
Sedangkan Sarana pendidikan formal cukup memadai dalam rangka meningkatkan kualitas peserta didik, Pemerintah Desa beserta warga masyarakat sedang melakukan peningkatan sarana pendidikan berupa rehabilitasi sarana pendidikan seperti terlihat dalam tabel 5 berikut:
Tabel 5 Jumlah Sarana Pendidikan No 1 2
Sarana Pendidikan Jumlah (Buah) Taman Kanak-Kanak 1 SD 1 Jumlah 2 Sumber:Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014 Dilihat dari tingkat ketagwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan sarana tempat ibadah, masyarakat Desa Margolelo sangat majemuk seperti terlihat pada tabel 6 berikut: Tabel 6 Jumlah Penduduk Menurut Agama No 1 2
Agama Jumlah jiwa Islam 1588 Katolik 2 Jumlah 1590 Sumber: Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014
58
Dari Data pemeluk agama di Desa Margolelo yang paling banyak adalah beragama Islam dengan jumlah Sarana Peribadahan terdiri dari:
1. Masjid : 5 unit 2. Mushola : 3 unit Sedangkan Pemeluk agama Katolik sejumlah 2 jiwa dengan sarana peribadahan di Gereja Katholik Rawaseneng.
Disamping
itu
Pemerintah
Desa
Margolelo
berupaya
menyediakan sarana kesehatan agar kesejahteraan masyarakat terjamin. Adapun sarana kesehatan dan tingkat kesejahteraan dapat dilihat pada tabel 7 dan 8 berikut: Tabel 7 Sarana Kesehatan No 1 2
Sarana Kesehatan Poliklinik Desa Posyandu
Jumlah (Buah) 1 5 Sumber:
Data
Monografi Desa Margolelo tahun 2014 Dari tabel kesehatan tersebut diatas di desa Margolelo dengan tenaga medis Bidan Desa I (satu) orang yang di tempatkan di Polindes di dekat Kelurahan Desa Margolelo yang tempatnya strategis dan berada di tangah antar dusun-dusun yang bersebelahan.
Adapun tingkat kesejahteraan di desa Margolelo dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
59
Tabel 8 Jumlah Pendidikan Menurut Tingkat Kesejahteraan No Tingkat Kesejahteraan
Jumlah (KK)
1
Prasejahtera
120
2
Sejahtera 1
150
3
Sejahtera 2
63
4
Sejahtera 3
0
Sumber: Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014 Organisasi Pemuda, Olah Raga, dan Kesenian juga banyak terdapat di Desa Margolelo. Adapun jenis dan jumlahnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 9 Organisasi Pemuda danOlah Raga No Nama Organisasi Jumlah (Kel/Unit) 1 Karang Taruna 5 2 Remaja Masjid 5 3 Bola Voly 4 Sumber: Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014
Selain karang taruna, di Desa Margolelo juga mempunyai kelompok kesenian yang dimiliki oleh setiap dusun yang setiap dusunnya tidak hanya mempunyai satu kesenian saja. Macam kesenian tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
60
Tabel 10 Data Keseniandan Adat Istiadat Desa No Nama Kesenian Jumlah Keterangan 1 Ayun-ayun 1 2 Rebana 4 3 Kuda Lumping 3 4 Wayang Kulit 1 5 Sadranan 5 Sumber: Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014 Di masyarakat Margolelo juga masih sangat erat dalam kegiatan kerja bakti dan gotong royong. Kerja bakti dilakukan sertiap seminggu dua kali dengan pembagian antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki diadakan setiap hari minggu dan perempuan dilakukan di hari jum‟at yang biasanya disebut dengan jum‟at bersih. Gotong royong dalam pembangunan rumah, kegiatan ini berjalantan pa diperintah, pada setiap warga yang sedang membangun, maka warga lain bisa dikatakan wajib membantu dari mulai hingga selesai walaupun tidak setiap hari, tapi kegiatan tersebut masih berlaku hingga sekarang.
Ronda adalah kegiata kampung yang diadakan disetiap malam guna keamanan. Di mana ronda ini wajib bagi masyarakat Margolelo bagi yang sedang mendapat tugas, yang setiap malamnya ada 3 sampai 6 orang dan jika tidak berangkat, maka wajib di kenakakan denda sebesar Rp.25.000,-. Selain menjaga keamanan kampung petugas ronda juga wajib membangunkan warga ketika bulan Ramadhan.
61
Walaupun sebagian besar masyarakat Margolelo pemeluk agama islam, namun budaya-budaya jawa masih dilestarikan dengan baik dan masih sangat berjalan dengan lancar. Kegiatan tersebut antara lain adalah Nyadran, genduren, dan peringatan hari kematian.
Nyadran diadakan setahun sekali yang diperingati di bulan Ruwah dan tepatnya pada hari jum‟at kliwon. Di mana semua warga masyarakat Desa Margolelo berkumpul di pelataran Balai desa yang kebetulan dekat dengan makam dengan membawa bekal makanan, lauk pauk beserta minuman. Yang acaranya tersebut diawali dengan sambutan-sambutan dari pimpinan desa, dilanjutkan dengan berdo‟a membaca tahlil dan yang terakhir adalah makan bersama.
Genduren adalah salah satu budaya masyarakat yang bisa dikatakan paling sering dan tidak ada batasan waktu, karena disetiap ada sesuatu yang penting pasti diadakan genduren. Diantaranya adalah pada kelahiran bayi, orang yang keluar dari rumah sakit, jika membeli kendaraan atau membeli hewan peliharaan seperti sapi, dan ketika pembangunan rumah. Maka semua itu harus diadakan genduren.
Peringatan hari kematian, budaya ini juga masih sangat kental dilakukan oleh Masyarakat Margolelo, mulai dari hari pertama kematian hingga 7 hari maka semua bapak-bapak di seluruh dusun harus mengikuti tahlilan di rumah orang yang meniggal. Selain itu
62
peringatan juga dilakukan ketika 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun dan yang terakhir adalah 3 tahun setelah kematian.
4. Keadaan Ekonomi Perekonomian Desa Margolelo secara umum didominasi pada sektor pertanian yang sistem pengelolaannya masih sangat tradisional (pengolahan lahan, pola tanam maupun pemilihan komoditas produk pertaniannya). Lahan pertanian yang ada di Desa Margolelo sebagian besar lahan perkebunan dan tegalan sedangkan untuk lahan basah sawah berpengairan irigasi sederhana dan sawah tadah hujan. Cara bertanam masih monoton pada unggulan tanaman padi dan sedikit tanaman jagung, hortikultura, palawija, serta tanaman tahunan (sengon, kopi dan empon-empon). Disamping itu warga masyarakat ada yang menekuni sektor peternakan dan Home industry .
Tabel 11 Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Pekerjaan Jumlah(Jiwa) Belum dan Tidak Bekerja 346 Petani dan Buruh Tani 898 Pegawai Negeri Sipil 3 Guru Swasta 3 Karyawan Swasta 31 Pedagang dan Wiraswasta 52 Buruh Harian Lepas 28 Pelajar dan Mahasiwa 200 Kepala Desa 1 Perangkat Desa 10 Jumlah 1590 Sumber: Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014
63
Dari tabel tersebut diatas penduduk Desa Margolelo yang belum /tidak bekerja sejumlah 364 yang terdiri dari Balita 101 jiwa dan sisanya usia jompo dan bekerja musiman.
Lembaga Perekonomian yang terdapat di Desa Margolelo dapat dilihat pada table berikut
Tabel 12 Lembaga Perekonomian No Jenis Jumlah (Kel/Unit) 1 Simpan Pinjam 8 2 Kelompok Tani 12 3 Gapoktan 1 4 LKM PUAP 1 Sumber:Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014 Disamping lembaga perekonomian tersebut di Desa Margolelo juga ada industry makanan ringan sejumlah 5 kelompok, dan industry gula aren sejumlah 39 unit.
Sebagai daerah yang penduduknya sebagian besar petani, Desa Margolelo memiliki berbagai potensi di sektor pertanian yaitu Padi, Jagung,
Kopi dan petani hortikultura,peternakan sapi perah,sapi
potong,domba dan Kambing PE Dari potensi tersebut masih dalam berbagai keterbatasan, maka perlu perhatian, pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan para petani. Disamping itu peningkatan peran serta tanggung jawabnya perlu perhatian khusus agar para petani
64
dapat menambah ilmu pengetahuan, keahlian, keterampilan serta kerja keras dalam memperjuangkan kepentingan sendiri dan secara mandiri.
B. Profil janda Dalam sub bab ini peneliti hanya akan mendiskripsikan satu keluarga janda mati dan satu keluarga janda cerai. 1.
Hasil Wawancara dengan Janda Mati Ibu Sari dan pak Sardi menikah pada tahun 1988. Pak Sardi berusia 28 tahun dan bu Sari 18 tahun. Menurut tradisi orang jawa mereka menikah karena dijodohkan oleh orang tuanya. Di awal pernikahn mereka tinggal satu rumah dengan keluarga pak Sardi, yang saat itu pak sardi berprofesi sebagai petani. Sedangkan bu Sari sendiri murni sebai ibu rumah tangga. Karena mereka masih hidup bersama orang tua pak Sardi dan masih ada dua kakak pak Sardi yang belum menikah dan tinggal bersama mereka. Orang tua pak Sardipun masih bertani seperti pak sardi. Dan mereka mencukupi kebutuhan hidupnya dengan hasil panennya. Mereka punya sekitar 30m2 kebun yang ditanami kopi yang dipanen setiap tahun sekali yang kurang lebih tiap tahunnya menghasilkan 50kg kopi beras diwaktu itu harga kopi hanya Rp.5000/kg dan 20m2 lagi ditanami jagung, singkong dan ada juga pisang, jagung panen setiap 4bulan sekali jika musim normal dan hasil panen jagungpun tidak pasti karena kadang diserang babi hutan, kadang diserang tikus juga, tapi minimal hasil panen jagung ini bisa digunakan dalam satu bulan. Sedangkan singkong bisa dipanen setelah
65
3x panen jagung, dan singkong hanya digunakan sebagai makanan tambahan bagi keluarga ini. Pak Sardi dan bu Sari dikaruniai anak yang bernama Ayu pada tahun 1990. Selama masih bersama orang tua dari pak sardi penhasilan stiap tahunnya diperkirakan sekitar 10rbuX50kg= 500.000. Satu kali panen jagung hanya bisa mencukupi kebutuhan selama satu bulan,jadi hasil panen setahun hanya bisa mencukupi kebutuhan selama 3bulan saja. Sedangkan singkong, setiap panennya menghasilkan 50kg dan digunakan sebagai makanan tambahan. Sehingga semua hasil panen selama satu tahun tidak bisa mencukupi kebutuhan pak sardi dan keluarganya. Sehingga pak sardi harus mencari tambahan lain dengan cara buruh kepada tetangga yang membutuhkan
tenaganya,
yang
diperkirakan
pada
waktu
itu
penghasilan pak sardi Rp.5000/hari dan itupun tidak tiap hari. Selain kebutuhan makanan, masih banyak kebutuhan lain yang harus ditanggung seperti,kondangan, memberi uang saku jika ada orang yang sunatan, menjenguk orang sakit, dan masih bayak lagi kebutuhan yang harus dicukupi. Begitulah awal mula gambaran dari keluarga bu Sari. Pada tahun 1990 pak sardi dan bu Sari memiliki putri yang bernama Ayu, karena masih di desa dan belum ada bidan, kelahiran Ayu dibantu oleh dukun, dan kebutuhan pak sardi makin lama makin bertambah. Dan kehidupan pak sardi dan keluarganya berjalan seperti itu selama bertahun-tahun. Tahun 1997 Ayu sudah waktunya bersekolah Dasar. Waktupun berlalu, dan pada tahun 2000 pak Sardi
66
berkenginan untuk punya rumah sendiri bersama istrinya bu Sari yang jaraknya sangat dekat dengan ruamah orang tua pak sardi. Bu Sari mendapat bagian warisan dari orang tuanya yaitu tanah yang luasnya 9x7m dan didirikan sebuah rumah sederhana. Dan setelah punya rumah sendiri pak sardi juga menapat bagian tanah dari orang tuanya seluas 20m2 yang ditanami kopi, dan 10m2 yang di tanami jagung dan juga singkong. Karena kopinya sudah dirawat dan dipupuk dengan baik maka setiap tahunnya mencapai 70kg yang perkilonya Rp.15.000 maka penghasilan kopi pak Sardi dan bu Sari setiap tahunnya adalah Rp.1.050.000,- dan penghasilan jagung 30kg/panen dan hanya bisa mencukupi kebutuhan selama 1bulan saja. Pak sardipun masih mencari penghasilan tambahan seperti dulu dan kini upahnya sudah Rp.7000/hari. Tahun 2001 pak sardi dan bu Sari dikaruniai seorang anak perempuan lagi yang bernama Endah. Namun sejak awal 2002 pak Sardi mulai sakit-sakitan dan bu Sari harus membantu mencari nafkah ntuk memenuhi kebutuhan Rumah tangganya. Setiap sepulang sekolah Ayu harus menunggu adiknya dan bu Sari bekerja dengan cara buruh membuat emping melinjo yang perkilonya dihargai Rp.2000,dan setiap harinya bu sari hanya mampu mengerjakan 3kg/hari. Tapi itu hanya berjalan beberapa bulan saja, karena keadaan pak Sardi semakin melemah, karena ternyata pak Sardi mengidap penyakit komplikasi dan keluar masuk Rumah sakit berkali-kali dan sehingga menghabiskan biaya yang tidak sedikit, dan diwaktu itu pak sardi
67
dibawa kerumah orang tuanya bersama istri dan anak-anaknya lagi. Tapi semua barang-barang tetap dirumahnya, hanya saja bu Sari ikut merawat suaminya di rumah mertuanya. Dan pada akhir tahun 2002 pak Sardi di panggil oleh Sang Maha Kuasa. Semua keluarga pak Sardi sangat merasa kehilangan, apalagi istri dana anak-anaknya, sedangkan Endah baru berumur satu tahun, ia belum mengenal sosok ayahnya. Sepeninggal pak Sardi, bu Sari dan anak-anaknya kembali menghuni rumah mereka, keluarga pak sardipun merelakan semua tanah bagian pak sardi diberikan pada istrinya bu Sari untuk memenuhi kebutuhan bu sari dan anak-ankanya. Bu Sari mencukupi kebutuhan sehariharinya bersama kedua putrinya denga hasil panen kopi Rp.1.050.000,dan panen jagung 20kg/panen karena pearawatan tidak maksimal, dan bu sari menanggung semuanya sendiri. Bahkan kadang dibantu oleh kedua kakak iaparnya untuk merawat kopi dan kebunnya. Karena Endah masih kecil, dan bu sari bisa bekerja ketika sepulang sekolah ayu dan ketika ayu libur saja. Ia masih berprofesi sebagia pembuat emping melinjo yang per kgnya dihargai Rp.2500,- dan bu Sari mampu menyelesaikan sekitar 3kg/harinya, walaupun tidak setiap hari dan hanya pada musim melinjo saja, jika tidak musim maka bu sari hanya pergi ke kebun saja. Dan semua itu berjalan bertahun-tahun. hingga akhirnya ayu selesai menempuh pendidikan Dasarnya, ia berkeinginan melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama, namun bu Sari tak mampu membiayai sekolah Ayu dan keluarga pak sardipun tidak
68
mampu membantu mewujudkan keinginan Ayu, sehingga ayu akhirnya di Rumah saja membantu ibunya bekerja dan mengurus adeknya Endah. Setelah setahun Ayu tidak sekolah, kebetulan ada kerabat yang mengajaknya untuk bekerja di jogja sebagai pembantu Rumah tangga dan ayupun pergi karena ia kasian dengan ibunya dan ingin sekali membantu ibunya karena sudah saatnya Endah bersekolah di Taman Kanak-kanak,
dan
Sebulan
Ayu
mendapat
upah
sebesar
Rp.400.000/bulannya, ia pulang setiap tiga bulan sekali dan membawa gaji bersihnya Rp.900.000,-/3bulannnya. Namun bu sari hanya bisa mengerjakan emping 1kg saja setiap harinya karena ia harus mengantar dan menunggui Endah sekolah di Taman Kanak-kanak. Dan sepulang dari sekolah bu Sari menitipkan Endah di tempat saudara iparnya sehingga bu sari bisa pergi ke kebun untuk merawat tanamantanamannya sekaligus mencari kayu bakar yang digunakan untuk memasak dan untuk membuat emping melinjo. Tapi setelah beberapa bulan ternyata ayu merasa tidah betah bekerja di jogja, ia lebih memilih di rumah dan membantu membuat emping melinjo dari pada bekerja sebagia pembantu rumah tangga di jogja tersebut. Karna Ayu di rumah lagi, bu sari mampu menghasilka 3-4kg/harinya karena ia bisa fokus bekerja dan merawat kebun-kebunnya walaupun tidak maksimal. Ayu bertugas mengantar dan menunggui selama endah bersekolah di Taman Kanak-kanak. Dan pada tahun 2007 Endah sudah selesai di taman kanak-kanak dan melanjutkan ke pendidikan dasar.
69
Karena Ayu sudah mahir dalam membuat emping melinjo, maka ia bersedia menggatikan ibunya sebagai buruh pembuat emping melinjo, walaupun ayu hanya bisa menghasilkan 3kg/harinya namun setidaknya ia mampu mengurangi beban bu Sari. Sementara bu Sari fokus dengan tanaman-tanamnnya di kebun serta mencari kayu bakar. Itupun berlangsung selama beberapa tahun, hingga pada tahun 2012 Ayu dipaksa menikah oleh keluarga dari bu Sari, yang pada awal Ayu tidak mau menikah dengan orang pilihan keluarganya karena ia sudah punya pilihan hatinya. Namun karena keluarganya memaksa dengan alasan agar bisa mengurangi beban bu sari, maka akhirnya Ayu mau menikah dengan didik orang yang lebih 10 tahun lebih tua dari ayu, dan karena didik orang berpunya maka keluarga bu sari langsung menerima pinangan dari didik tanpa sepengetahuan Ayu. Ayu akhirnya menikah dengan Didik pada awal tahun 2013 dan mereka tinggal serumah dengan bu Sari. Walaupun Ayu menikah dengan orang kaya, namun bu sari tetap bekerja sendiri karena masih punya beban yaitu menyekolahkan Endah, dan kebutuhan sehari-hari masih ditanggung oleh bu Sari dengan bekerja masih sebagi buruh pembuat emping melinjo yang sekarang dihargai Rp.6.000/kg, dan mampu mengerjakan 3-4kg/hari. 2. Wawancara Dengan Janda Cerai Bu Desi menikah di usia 19 tahun sedangkan pak Ahmad 28 tahun. Mereka menikah pada tahun 1999 dengan cara dijodohkan oleh
70
orang tua pak Ahmad, karena pada waktu itu bu Desi masih berada dalam pendidikan di suatu pondok Pesantren dan Ayah dari pak Ahmad merupakan salah satu pengurus dari pon Pesantren tersebut. Sehingga pak Kyai dan Orang tua pak Ahmad sepakat menjodohkan anaknya dengan bu Desi. Dan keluarga bu Desi tidak berani menolak atas permintaan pak Kyai dan Ayah dari pak Ahmad. Akhirnya pernikahanpun berlangsung dengan bahagia, dan setelah menikah mereka tinggal di bersama orang tua bu Desi. Padawaktu itu pak Ahmad berprofesi sebagai penjual berbagai peralatan Rumah Tangga dan usahanya dibilang sukses karena tiap minggunya bisa mendapatka hasil sekitar Rp.250.000 dan bu Desi berfrofesi sebagai buruh pembuat emping melinjo yang tiap harinya kika-kira mendapatkan upah sebesar Rp.10.000,-. Penghasilan merekapun sangat mencukupi kebutuhan Rumah tangga mereka, kareana selain itu orang tua dari bu Desi masih bisa mendapatkan penghasilan juga dari hasil kebun mereka diantaranya
adalah
kopi
yang
setiap
tahunnya
mencapai
Rp.1.000.000,-, jagung 50kg/panen dan padi 100kg/panen. Dan pada tahun 2000 mereka dikaruniai anak perempuan yang bernama Ratna dan ia kini hanya bertugas menjaga anaknya tersebut. Kebahagiaan mereka hanya berlangsung selama 3 tahun. pada tahun ke 4 usia pernikahan mereka, pak Ahmad mengalami kebangkrutan karean mempunyai hutang dimana-mana, sehingga sawah dan kebun mereka dijual nntuk melunasi semua hutang-hutang pak Ahmad. Kemudian
71
keluarga mereka jadi berantakan dan pak Ahad pulang kepada orang tuanya, dan pada pertengahan 2014 bu Desi memutuskan untuk menjadi TKW di Malaysia dan menitipkan anaknya kepada Orang tua bu Desi dengan tujuan mencukupi kebutuhan Rumah tangganya, tapi ia tidak langsung mendapat pekerjaan tapi malah dijual orang selama kurang lebih satu tahun dan tidak menghasilkan apa-apa. Pada akhirnya bu Desi kembali ke penampungan, setelah kurang lebih 2 bulan ia mendapat pekerjaan yaitu sebagai pengasuh orang jompo di Malaysia yang berasal dari India. Sebulan kemudian ia mendapat gaji dan langsung memberitahu orangtua dan anaknya di kampung bahwa ia sudah menpat pekerjaan dan menceritakan semua yang yang dialaminya selama setahun kepergiannya. Setiap bulan ia selalu mengirim surat dan gajinya untuk memenuhi kebutuhan orang tua dan anaknya. Dan sebagian yang lain bu Desi tabung. Setahun kemudian uang tabungannnya sudah terkumpul dan akhirnya ia pulang untuk membangun rumahnya. Kepulangannya juga bermaksud untuk meminta kejelasan dari pak Ahmad dan keluarganya karena selama bu Desi di Malaysia pak Ahmad jarang menengok Ratna, dan ternyata pak Ahmad
menghilang
dan
orang
tuanyapun
tidak
mengetahui
keberadaanya. Sehingga bu Desi memutuskan untuk menggugat cerai karena pak Ahmad Ghoib. Setelah proses perceraiannya selesai, bu Desi berkeinginan kembali ke Malaysia untuk mencari uang lagi guna menyempurnakan pembangunan rumahnya. Dan seperti sebelumnya,
72
bu Desi selalu mengirimkan sebagian gajinya untuk orang tua dan anaknya dan sisanya ia tabung. Setelah 3 tahun di Malaysia ia memutuskan untuk pulang dan tiak ingin kebali ke Malaysia lagi. Sepulang dari malaysia bu Desi memtuskan untuk bekerja di rumah yaitu sebagia buruh pembuat emping lagi seperti dahulu, tapi hasinya tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sehingga ia bekerja di semarang sbagia juru masak para pekerja bangunan yang gajinya Rp.500.000,-/bulan. Setelah beberapa bulan ia bekerja ia di suai oleh salah satu buruh bangunan tersebut, yang bernama Bowo dan berstatus duda tapi umurnya 3 tahun lebih muda dari bu Desi. Tidak lama kemudian mereka melansungkan pernikahan. Namun pernikahan mereka tidak berlangsung lama karena sering terjadi percekcoakan antara keluarga bu Desi denga pak Bowo,walaupun sebenarnya bu Desi masi mencintai pak Bowo, namun bu Desi tidak tahan dengan keluarganya yang selalu menyalahkan pak Bowo, demikian juga pak Bowo yang sangat mencintai bu Desi. Karena bu Desi sudah mngandung anak Bowo. Namun pak bowo di usir oleh keluarga bu Desi lalu ia kembali ke rumah orang tuanya. Setelah 7 bulan kehamilan bu Desi, pak Bowo ingin bertangungjawab untuk memberi nafkah kepada bu Desi dan calon anaknya, namun di tolak oleh keluarga bu Desi. Dua bulan kemudian bu Desi melahirkan seorang putra yang bernama Bayu dan pak Bowopun ingin membantu biaya persalinan bu Desi namun tetap saja di tolak oeh keluarga bu Desi. Dan setelah Bayu
73
berumur satu tahun, pak Bowo membelika beberapa pakaia untuk anaknya, tapi maih saja di tolak oleh keluarga bu Desi. Sikap keluarga bu Desi tersebut sudah sangat membuat pak Bowo dan keluaranya sakit hati. Kemidian pak Bowo meminta kejelasan hubunganya dengan bu Desi dan mengajaknya rujuk, namun keluarga bu Desi masih tidak mengijinkan mereka bersatu, sehingga pak bowo akhirnya menalak bu Desi. Akhirya bu Desi menjanda lagi dan memulai kehidupannya dari nol. Semua kebutuhan sehari-harinya dicukupi oleh orang tua bu desi yang bekerja sebagai buruh tani yang mendapat upah Rp.15.000,/harinya. Dan hasil dari orang tuanya tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan rumah tanggannya, sehingga bu desi juga harus mencari nafkah tambahan yaitu sebagai buruh pembuat emping melinjo lagi yang mendapat upah Rp. 10.000,-/harinya. Walaupun mereka tidak setiap hari bekerja, karena tidak setiap hari juga ada orang yang meminta tenaga orang tua bu Desi. Setelah bayu berumur 2 tahun dan orang tua bu Desipun semakin tua, bu Desi memutuskan bekerja di Semarang sebagai juru masak di sebuah Rumah makan yang bulan pertamnya ia mendapatkan gaji Rp.700.000,-/bulannya. Ia kini sebagai tulang punggung keluarga, ia harus menangung semua biaya hidup dari kedua anak-anaknya, sementara Ratna sudah kelas 3smp dan Bayu sudah besekolah di Play Group dan masih bayak lagi beban yang harus ditanggung bu Desi, untuk pndidikan kedua anaknya dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena kedua mantan suaminya tidak pernah
74
memberi biaya apapun untuk anaknya. Yang teryata bapak Ratna sudah meninggal di Kalimantan dan sudah mempunyai istri dan anak di sana. Begitupun dengan ayah Bayu ia sudah punya istri yang sekarang sedang hamil tua. Dan hingga kini bu Desi masih bekerja di Semarang dan gajinya sekarang sudah naik menjadi Rp.900.000,/bulannya. Namun bagi bu Desi gajinya tersebut masih pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Karena di Semarang ia juga mempunyai teman yang kadang ada yang sakit, menikah, dan kebutuhan sehari-harinya di Semarang dan juga kebutuhan sehariharinya termasuk biaya sekolah kedua anaknya.
75
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pencarian dan Pemberian Nafkah janda Terhadap Keluarganya di Desa Margolelo Keluarga adalah Unit terkecil dari suatu Masyarakat. Keluarga pada umumnya terdiri dari Ayah (suami), Ibu (istri), dan anak-anak. Atau dengan kata lain keluarga
terdiri dari Orang tua dan anak. Di mana
seorang suami (ayah) lah yang berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Ada juga keluarga yang terdiri dari satu orang tua (single parent). Salah satunya adalah kehidupan keluarga seorang duda (lelaki yang ditinggal mati/digugat cerai oleh istrinya, dan janda (perempuan yang ditinggal mati/dicerai oleh suaminya). Sebagai orang tua tunggal yang harus memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri, dan yang akan penulis bahas adalah janda, baik janda yang ditinggal meninggal ataupun janda karena akibat perceraian. Maka di sinilah seorang istri (ibu) berperan mencari nafkah dan menaggung semua kebutuhan yang diperlukan pleh keluarga dan anak-anaknya. Banyak alasan yang membuat seseorang istri dicerai ataupun menceraikan suaminya, entah karena suaminya tidak tanggung jawab, karena suaminya meninggalkan istri dan anak-anaknya, dan masih banyak lagi penyebab terjadinya perceraian.
76
Jika ditinjau dari jenis perceraian para janda di Desa Margolelo dogolongkan menjadi beberapa jenis percerain yang disebabkan karena: 1. Khulu‟ Khulu‟
adalah perceraian yang dikekendaki oleh istri.
Khulu‟ ini terjadi pada Bu Desi, ia berpisah dengan suaminya yang pertama dengan alasan suaminya tidak menafkahinya dirinya dan anaknya. Bahkan menurut kedua orang tua bu Desi, pak Ahmad suaminya jarang bahkan nyaris tidak pernah menjenguk Ratna anaknya selama kepergian bu Desi menjadi TKW di Malaysia. Bahkan orang tua dari pak Ahmadpun tidak mengetahui keberadaan pak Ahmad waktu itu di mana. Sehingga bu Desi akhirnya menggugat cerai pak Ahmad. Sedangkan dengan percearian yang ke dua bu Desi dicerai talak oleh pak Bowo karena pak bowo tidak tahan dengan sikap orang tua bu Desi yang bahkan telah mengusirnya dari rumah bu Desi. 2. Cerai Mati Cerai mati adalah jika seseorang ditinggal mati oleh suami/istrinya. Ini terjadi pada bu Sari, ditinggal mati suaminya karena suaminya yang bernama pak Sardi karena menderita penyakit komplikasi yang akhirnya meninggal. Sehingga bu Sari harus menafkahi dan bertanggung jawab untuk memenuhi kehidupan hidupnya sendiri bersama kedua orang putrinya.
77
B. Pencarian Nafkah oleh Janda di Desa Margolelelo akibat Cerai Mati dan Cerai hidup Seorang janda harus memimpin dan bertanggung jawab atas semua yang diperlukan oleh keluarga terutama oleh anak-anaknya. Selain sebagai sosok ibu, seorang jandayang ditinggal mati suaminya harus mampu menjadi ayah juga untuk anak-anaknya. Ia juga harus bisa memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan oleh anak-anaknya dan keluarganya. Sehingga ia harus bekerja membanting tulang karena ia menjadi tulang punggung bagi anak-anak dan keluarganya.Bagi janda cerai, hal ini disebabkan karena sang ayah dari anak-anak atau mantan suami tidak bertanggungjawab memberikan nafkah terhadap anak-anaknya tersebut, bahkan keluarga dari merekapun sudah tidak mau tau keadaan anak-anak dari bu Desi tersebut. sedangkan dari keluarga bu Sari, ia menjadi tulang punggung keluarga karena hasil panen dari tanh warisan suaminya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bu Sari bersama anak-anaknya, keluarga dari Almarhum suaminyapun keadaannya pas-pasan sehingga mereka tidak mampu membantu bu Sari. Tapi paling tidak kakak ipar dari bu Sari yang kadang bisa membantu merawat kebunnya ataupun membantu merawat Endah waktu Endah masih kecil. Peneliti menemukan 3 kategori pencarian nafkah terhadap keluarganya. Diantaranya; 1. Buruh
78
bagi janda
Buruh adalah seseorang yang bekerja pada pengusaha atau individu yang mampu mempekekerjakan seseorang dengan memberi upah padanya. Bu Sari bekerja sebagai buruh pembuat emping melinjo jika musim melinjo tiba. Dengan upah yang awal mulanya Rp.2000,-/kg hingga sekarang naik menjadi Rp.6000,-/kgnya. Yang pendapatan setiap harinya tidak menentu bisa 3kg, bisa 4kg/harinya, karena tergantung dari kekuatan dan kefokusan bu Sari dalam bekerja. 2. Bertani Bertani
adalah kegiatan menanam, merawat
serta
memanen hasil tanaman yang sudah ia tanam dan ia rawat hingga membuahkan hasil. Selain sebagai buruh, bu Sari juga berprofesi sebagai petani. Ia bertani di kebun tinggalan suaminya, yang luas kebunnya antara lain adalah 20m2 kebun kopi dan 10m2 kebun yang ditanami jagung dan singkong. Yang setiap tahunnya hasilnyapun
tidak
menentu
tergantung
perawatan
dan
pemupukan yang dilakukan oleh bu Sari, karna perawatan kebun tersebut tidak maksimal maka, rata-rata setiap tahunnya kebun kopinya menghasilkan sekitar Rp.1.050.000,-/tahunnya dan hasil panen jagung sekitar 20kg/panennya.
79
3. TKW TKW adalah tenaga kerja Wanita yang berasal dari Indonesia dan bekerja di Luar Negeri baik dengan alasan untuk mencukupi kebutuhan kelarganya ataupun dengan alasan lain. Seperti bu Desi, ia menjadi TKW di Malaysia yang sehari-harinya di Malaysia bu Desi bertugas merawat orang jompo asal india. Ia bekerja di Luar Negeri demi tercukupinya kebutuhan Rumah tangganya yang berada di kampung, karena ia harus menghidupi anaknya dan kedua orang tuanya. C. Cara Pemberian Nafkah Oleh Janda Terhadap Keluarganya Janda yang mempunyai anak seharusnya masih mendapatkan biaya Hadhanah untuk anak-anaknya. Namun jika
mantan suami tidak
bertanggung jawab Seorang janda harus mampu memenuhi kebutuhan dirinya, anak-anaknya, bahkan keluarganya. Seorang janda disini harus mampu menggantikan ayah bagi anak-anaknya, mampu menjadi pemimpin dalam keluarganya. Ini bisa terjadi jika ibu atau janda tersebut bekerja di rumah atau berada dekat dekat dengan keluarganya, tapi jika seorang janda bekerja jauh dari rumah ataupu Luar Negeri, maka Orang lain pula yang harus menggantikan posisinya sebagaipemimpin dan sebagai ayah dalam keluarganya tersebut. maka dari itu, penulis menemukan 2 jenis cara pemberian nafkah oleh janda terhadap keluarganta, antara lain:
80
1.
Langsung Pemberian nafkah langsung terjadi pada keluarga bu Sari, bu Sari memberi nafkah pada kedua anaknya secara langsung karena ia tinggal serumah bersama anak-anaknya, karena bu Sari juga bekerja di rumah dan di kebun yang dekat rumah saja. Selain itu karena pada awal mula bu Sari ditinggal mati suaminya Endah putri ke duanya masi berusia satu tahun sehingga masih sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari ibunya. Dan sepeninggal suaminya ia harus menanggung semua kebutuhan yang dibutuhkan oleh dirinya dan kedua putrinya. Yaitu ia harus menyediakan tempat tinggal yang layak untuk mereka, dan harus menyediakan makanan setiap harinya, dan juga menyediakan pakaian. Selain ketiga kebutuhan primer tersebut, ada kebutuhan lain yang harus ditanggung oleh bu Sari yaitu harus menanggung biaya sekolah untuk kedua putrinya dan juga kebutuhan-kebutuhan lain yang harus ditanggung pula oleh bu Sari.
2. Tidak Langsung Pemberian Nafkah tidak langsung terjadi pada keluarga bu Desi, karena bu Desi bekerja menjadi TKW di Malaysia, sehingga ia menitipkan anaknya kepada kedua orang tuanya. Yang setiap bagian gajinya untuk memenuhi kebutuhan anaknya dan kedua orang tuanya di kampung. Ia mengirimkan uangnya lawat Kantor Pos Kecamatan Kandangan. Dan setiap bulan pula ibu dari bu Desi mengambil uang
81
kiriman dari bu Desi di Kantor pos dengan jalan kaki 5km dan naik angkot sekitar 7km untuk mencapai kantor pos tersebut. Dan orang tua bu Desilah yang sepenuhnya merawat dan mengurus Ratna anaknya, terutama ibunya. Selain merawat dan mengurus Ratna ibu dari bu Desi ini juga bertuga mengelola semua kebutuhan cucu dan suaminya, mulai dari membelanjakan uang kiriman, memasak, dan mencuci semua pakaian dan alat-alat dapur serta perabotan rumahnya sendiri, sedangkan
suaminya
bertugas
membersihkan
dan
merapikan
rumahnya. D. Pemberian Nafkah Janda Dalam Perspektif Hukum Islam Pada dasarnya menafkahi adalah kewajiban suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga, sementara istri bertugas mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak. Tapi jika seorang suami sudah berpisah dengan alasan karena cerai mati ataupun cerai hidup, maka seorang istri harus mampu memimpin bahkan harus bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya sendiri.
Allah SWT Berfirman:
“Dan kewajiban ayah ayah adalah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf”(QS.2:233) Para mazhab sepakat tentang wajibnya pemberian nafkah kepada istri dengan syarat-syarat yang akan dikemukakan. Maliki dan
82
Syafi‟i berpendapat bahwa, wanita yang ditinggal mati suaminya berhak memperoleh nafkah berupa tempat tinggal semata. Selanjutnya Syafi‟i mengatakan bahwa, apa bila seorang wanita ditalak ba‟in, sedang ia dalam keadaaan hamil, kemudian suaminya meniggal dunia(ketika si istri masih dalam keadaan „iddah), maka nafkah si istri tidak terputus. Hanafi mengatakan: bahwa wanita yang ber-„iddah tersebut dalam keadaan talak raj‟i dan suami yang menceraikan itu meninggal dunia ketika dia menjalani „iddahnya, maka „iddahnya beralih ke „iddah wafat, dan kewajiban atas nafkah menjadi putus, kecuali jika si wanita itu diminta untuk menjadikan nafkahnya sebagai hutang
(atas suami)yang betul-betul dilaksanakannya.(Muhgniyah,
:118)
Sedangkan bagi istri yang ditinggal mati suaminya, Ashshabuni(1995:49) menyatakan bahwa seharusnya ia mendapat bagian ¼ dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apa bila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun lahir dari rahim istri lain. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:
“...Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak....”(an-Nisa:12)
83
Tapi istri juga bisa memperoleh bagian 1/8. Istri, baik seorang maupun lebih, tetap mendapatkan seperdelapan dari harta peniggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
“...Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperileh seperdelapan dari harta yang kamu tingalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau(dan) sesudah dibayar utangutangnmu...”(an-Nisa:12) Walaupun ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa mantan istri masih berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya, apalagi jika masih meninggalkan anak, maka anak tersebut masih dalam tanggungan ayahnya/mantan suaminya tersebut. Seperti dalam firman Allah SWT
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya)mut'ah menurut yang mampu sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yangtaqwa. (QS. Al-Baqarah: 241). Dapat disimpulkan dalam penggalan ayat tersebut bahwa sesungguhnya mantan suami masih berkewajiban untuk menafkahi istrinya. Bahkan berdasarkan Skripsi yang ditulis oleh (Hasanah, 2008) menurut Asghar, mantan suami berkewajiban menafkahi
84
mantan istrinya hingga ia menikah lagi atau dia meninggal, yang pendapat tersebut bertujuan pemberian nafkah sendiri dimaksudkan untuk memberikanbantuan dan penghormatan kepada isteri serta menghindarkan dari kekejamantalak yang diberikan oleh suaminya. Dapat dipahami juga bahwa tujuanpemberian nafkah dalam rangkaian menghindarkan
kemungkinankemadlaratan
setelah
terjadinya
perceraian, dan diharapkan dengan adanyapemberian nafkah bagi mantan isteri maka akan menimbulkan kemaslahatanbagi mantan isteri tersebut jika tidak dapat mencari nafkah sendiri dan jugamendapatkan kemudahan kepada mantan isteri tersebut, terkadang seorangisteri yang ditalak itu miskin dan tidak ada seorangpun yang menanggungnya,maka dari itu suami yang menceraikan wajib untuk memberikan nafkahselama masa iddah serta persiapannya untuk kawin dengan suami yang lain. Walaupun seperti itu, seorang janda dibolehkan untuk bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, walaupun pada hakekatnya ibu tidak diwajibkan untuk membiayai kebutuhan anak-anaknya sendiri, namun bila sebagai ibu ia memberikan nafkah dan mampu memenuhi kebutuhan anak-anaknya maka ia mendapatkan pahala sunnah. Seperti dalam hadist dibawah ini.
ِ ِ َ َع َشْيئًااِت َقاءَاللّ ِو َعزَو َجل اِْلاَ ْعط َ ان َ ك لَ ْن تَ َد ُاك اللّوُ َخْي ًرامْنو
85
“Sungguh kamu tidak meninggalkan karena taqwamu kepada Allah azza wajalla, melainkan Allah pasti akan memberimu ganti tang lebih baik darinya”(HR.Ahmad, dan di-shahihkan oleh albani)
Seorang wanita atau istri hendaknya hanya bertugas mengurus rumah tangga dan mengurus serta mendidik anak-anaknya di rumah. Tapi jika seorang suami belum mampu memenuhi kebutuhan rumah tangganya, maka seorang istri dibolehkan untuk membantu suaminya memperoleh penghasilan denga cara yang baik. Apalagi seorang janda yang sudah tidak ada sudah tidak ada suami dalam rumah tangganya, ia harus menggantikan posisinya sebagai kepala ruamh tangga atau pemimpin, maka ia dibolehkan unruk bekerja. Seperti dalam firman Allah SWT Qs. At-Taubah:105 adalah sebagai berikut:
“Katakanlah(wahai Muhammad), bekerjalah kalian! Maka Allah dan Rosul-Nya dan orang-orang mukmin”(QS.At-Taubah:105) Ayat tersebut tidak hanya ditujukan kepada para lelaki tapi ditujukan pula pada para wanita atau istri yang dibolehkan untuk bekerja, Allah juga mensyari‟atkan bagi pria dan wanita disyari‟atkan untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja.(Mustofa:1987, 26) Seperti dalam firman Allah SWT sebagai berikut:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian saling berdagang atas dasar saling rela diantara kalian.”(QS.An-Nisa:29)
86
Dari uraian di atas pencarian nafkah yang dilakukan oleh bu Sari dan bu Desi tidak melanggar hukum islam, bahkan mereka mampu menghidupi anak-anaknya bahkan orang tuaya dengan jerih payahnya sendiri tanpa menyalahi hukum yang sudah berlaku, dan mereka memperoleh penghasilan dengan cara yang diperbolehkan dalam Islam, karena pekerjaan mereka tidak dilarang dalam Islam. Yang diantaranya adalah sebagai buruh, petani dan TKW di Malaysia. Bu Sari memanfaatkan tanah peninggalan Almarhum suaminya dengan cara bercocok tanam, namun hasil dari bercocok tanampun belum bisa memenuhi kebutuhan yang harus ditanggung oleh bu Sari untuk mencukupi kebutuhan hidupnya bersama anak-anaknya, sehingga bu Sari juga harus mencari pnghasilan tambahan yaitu dengan uruh membuat emping melinjo pada saat musim melinjo tiba. Dan terjadi kepada bu Desi karena kedua mantan suaminya ataupun keluarganya tidak memberinya nafkah untuknya dan anak-anaknya, sehingga bu Desi harus bekerja menjadi TKW di Malaysia demi tercukupi kebutuhannya bersama anak-anaknya dak kedua orang tuanya. 1. Hak Mantan Istri Menurut KHI dan UU no 1 Tahun 1974 Berkaitan dengan hak-hak mantan isteri, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 149 menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena talak, maka suaminya wajib:
87
a.
Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut Qabla ad dukhul;
b.
Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama masa „iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c.
Melunasi mahar yang masih tehutang seluruhnya, atau separo bila qabla ad dukhul
d.
Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Sedangkan dalam Pasal 180 dijelaskan bahwa bagi istri yang
ditinggal mati suamiya, jika pewaris tidak meninggalkan anak maka mendapatkan seperempat dari harta peninggalan suaminya jika meninggalkan anak maka bagiaannya seperdelapan dari harta peninggalan suaminya. Sedangkan dalam UU N0 1 Tahun 1974 dalam pasal 41 c dijelaskan”Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istrinya”. Dari uraian diatas mengenai hak mantan istri, penulis menyimpulkan bahwa:
88
a.
Janda Mati Jika ditinjau dari KHI dan UU no 1 Tahun 1974 maka kehidupan bu Sari sudah sesuai apa yang telah di tetapkan dalam peraturan tersebut, ia sudah mendapatkan haknya, ia mendapatkan sebuah rumah yang ditinggali bu Sari beserta anak-anaknya, dan mendapatkan kebun dari Almarhum suaminya yang digunakan untuk bercocok tanam guna memenuhi kebutuhan dirinya dan anak-anaknya, walaupun belum bisa mencukupi kehidupa mereka tapi setidaknya penghasilan dari hasil bercocok tanam tersebut bisa mengurangi beban yang harus ditanggung bu Desi sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas semua kebutuhan keluarganya.
b.
Janda cerai Sedangkan dari kehidupan bu Desi, dari mantan suamiya yang pertama ia tidak sama sekali mendapatkan nafkah baik sebelum ataupun sesudah dalam masa iddah karena sebelum resmi berceraipun bu Desi dan anaknya sudah tidak dinafkahi oleh pak Ahmad karena pak Ahmad pergi dari rumah dan tidak diketahui keberadaanya sehingga bu Desi menggugat cerai pak Ahmad. Yang pada akhirnya terdengar bahwa pak Ahmad telah meninggal dunia. Sedangkan dari mantan suaminya yang kedua ini bu Desi juga tidak mendapatkan nafkah sebelum ataupun setelah masa iddah karena pada awalnya bu Desi takut terhadap keluarganya jika
89
menerima uang pemberian dari pak Bowo semasa masih dalam ikatan pernikahan, maka hinga sekarangpun pak Bowo ataupun keluarganya sudah tidak memberikan nafkah lagi untuk bu Desi dan bayu anaknya. Selain itu karena pak Bowo kini sudah menikah lagi. Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa pemberian nafkah terhadap keluarganya oleh janda mati dan janda cerai di Desa Margolelo jika ditinjau dari Hukum Islam, antara lain: 1) Sesuai Dengan Hukum Islam Dalam Hukum Islam seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya mendapatkan ¼ harta yang dimiliki suaminya jika ia tidak mempunyai anak, dan mendapatkan 1/8 jika janda tersebut mempunyai anak. Di sini bu Sari mendapatkan sebuah rumah yang ditinggali bersama anak-anaknya dan sepetak tanah yang merupakan warisan dari orang tua pak Sardi yang kini diserahkan sepenuhnya oleh keluarga pak Sardi kepada bu Sari untuk bekal hidupnya bersama kedua anaknya. Karena kedua anaknya belum mampu mengolah atau memanfaatkan tanah tersebut, sehingga bu Sari menggunakan tanah peninggalan almarhum suaminya untuk bercocok tanam yang hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhannya dan kedua anaknya.
90
Meskipun ia mendapatkan seluruh harta yang dimiliki suaminya, namun hasil bercocok tanam tersebut belum bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya bersama kedua anaknya. Sehingga bu Sari harus mencari penghasilan tambahan yaitu sebagai buruh pembuat emping melinjo, buruh ini dilaksanakan di rumah bu Sari sendiri, dan para pemanen melinjo mengantarkan melinjonya dan mengambilnya ketika sudah menjadi emping. 2) Tidak Sesuai Dengan Hukum Islam Menurut Hukum Islam yang ditulis dalam Skripsi (Hasanah:2008) Asghar mengungkapkan bahwa kewajiban mantan suami menafkahi mantan istrinya sampai ia menikah lagi adan jika ia tidak mnikah maka sampai mantan istrinya tersebut meninggal dunia. Dan menurut KHI istri masih mendapatkan nafkah, maskan dan kiswah dari mantan suaminya selama masa Iddah, dan dalam UU no 1 Tahun 1974 Pasal 41 huruf c menerangkan bahwa”Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untukmemberikan penghidupan atau menentukan suatu kewajiban bagi mantan istrinya”. Sedangkan mengenai pemeliharaan anak, dalam KHI seorang ayah wajib memberikan nafkah bagi
anaknya
sampaiusianya 21 tahun, dan dalam hukum Islam pemeliharaan anak ialah selama anak tersebut belum Mumayyis.
91
Dalam kehidupan yang dialami oleh bu Desi , ia sama sekali tidak mendapatkan nafkah, dari mantan suaminya yang pertama sebelum ataupun sesudah masa iddah telah habis. Karena sebelum mereka berceraipun pak Ahmad mantan suaminya yang pertama sudah tidak memberiakan nafkah terhadap bu Desi dan anaknya Ratna, dikarenakan pak Ahmad tidak diketahui keberadaanya sehingga bu Desi menggugat cerai pak Ahmad. Begitu juga pernikahan yang ke dua, bu Desi tidak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya, karena sejak masih dalam status perkawinannya bu Desi sudah tidak berani menerima
nafkah
dari
suaminya
karena
dilarang
oleh
kelurganya. Sehingga sampai sekarangpun pak Bowo sudah tidak lagi memberikan nafkah terhadap bu Desi dan anaknya bayu. Mengenai
biaya
hadanah
yang
seharusnya
adalah
kewajiban ayah. Tapi ini tidak berlaku dalam kehidupan bu Desi anak-anaknya. Karena
kedua mantan suaminya
ataupun
keluarganya tidak memberikan nafkah terhadapnya. Sehingga bu Desi harus menanggungnya sendiri. Bahkan ia rela bekerja menjadi TKW demi tercukupinya keluarganya.
92
kehidupanya bersama
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan Simpulan dalam penelitian ini, minimal akan menjawab semua pertanyaan yang ada pada rumusan masalah. Adapun simpulan yang dimaksud, adalah sebagai berikut :
1.
Cara pemberian nafkah oleh janda mati dan janda cerai terhadap kelurganya
yaitu
dilakukan
secara
langsung
dan
tidak
langsung.Langsung karena janda mati tersebut tinggal serumah bersama anak-anaknya, dan juga bekerja di rumah dan di kebun yang dekat rumah saja. Selain itu karena pada awal mula janda tersebut ketika ditinggal mati suaminya, anak keduannya masih berusia satu tahun sehingga masih sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari ibunya. Tidak langsung terjadi karenajanda cerai tersebutpada awalnya bekerja menjadi TKW di Malaysia dan sekarang bekerja sebagai pelayan Restoran di Semarang, sehingga ia menitipkan anaknya kepada kedua orang tuanya. 2.
Perbedaan tanggung jawab antara janda mati dan janda cerai dalam pemberian nafkah terhadap keluarganya antara janda mati dengan janda cerai. Di sini janda mati bekerja sebagai petani dengan mengolah dan memanfaatkan tanah peninggalan suaminya tersebut untukemenuhi kebutuhannnya dengan kedua anaknya. Selain itu janda mati ini bekerja 93
sebagai buruh pembuat emping melinjo untuk memenuhi kebutuhannya bersama kedua anaknya.Sedangkan janda cerai, ia harus bekerja mencari nafkah sendirian untuk memenuhi kebutuhan dirinya, anakanaknya dan kedua orang tuanya. Pada mulanya Ia bekerja sebagai TKW di Malaysia selama 5 tahun dan pada akhirya ia bekerja di Semarang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya tersebut. 3.
Cara pemberian nafkah yang dilakukan oleh janda mati dan janda cerai terhadap keluarganya sudah sesuai dengan hukum Islam karena di sini janda mati dalam menafkahi keluarganya bekerja sebagai buruh dan sebagai petani dan sebagai buruh pembuat emping melinjo. Sedangkan dengan janda cerai yang pada mulanya sebagai TKW di Malaysia dan sekarang sebagai pelayan di sebuah Restoran di Semarang.Namun jika dipandang dari segi tanggung jawab ayah kepada anaknya yang dialami oleh janda cerai, ini tidak sesuai dengan hukum Islam karena janda cerai tidak mendapatkan biaya hadanah dan ia menjadi tulang punggung keluarganya, membesarkan anak-anaknya sendiri tanpa mendapatkan bantuan dari mantan suaminya maupun keluarga dari suaminya tersebut.
B.
Saran Berbagai masalah akan timbul dari akibat dari terjadinya perceraian yang dialami oleh janda mati dan janda cerai yang terjadi di Desa Margolelo. Maka penulis mencoba memberikan saran kepada semua pihak
94
yang terkait dengan Tanggung jawab janda mati dan janda cerai terhadap keluarganya, antara lain: 2.
Agar dapat tercapai tujuan hukum, yaitu adanya kepastian, ketertiban dan manfaat di dalam masyarakat, maka hendaknya Lembaga Agama Islam(KUA) seharusnya memberikan pengarahan kepada para pihak yang akan melangsungkan pernikahan tentang tangggungjawab setelah terjadinya pernikahan, perceraian dan akibat yang terjadi setelah perceraian dan akibatnta jika peraturan atau Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut tidak dipatuhi.
3.
Kepada para Bapak yang seharusnya bertanggungjawab terhadap anakanaknya, sekalipun ia telah berpisah dengan ibunya. Tapi anak tetaplah anak.
4.
Para ibu (janda) yang berperan sebagai tulang punggung keluarganya, dan menafkahi anaknya tanpa bantuan mantan suaminya ataupun keluarganya, tetap semangat demi masa depan anak-ankya.
5.
Dan harapan saya, Fakultas Syari‟ah memberikan kesempatan seluasluasnya kepada mahasiswa untuk melakukan penelitian khususnya berkenaan dengan JurusanAl-ahwal al-syaksiyyah, baik berupa sarana dan prasarana.
95
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo Aini, Khurul.2007. Kewajiban Nafkah Iddah Suami Kepada Istri Yang Telah Dicerai(Studi Putusan PA Salatiga No.394/pdt.G/2005/PA.SAL Ali Ash-Shabuni. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta: Gema Insani Ash-shiddieqi, Hasbi.1970. Hukum-hukum Fiqh Islam. Jakarta: Bulan Bintang Arikunto, Suharsini.1998. Prosedur Penelitian. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia Basyir, Azhar ahmad.2000. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta:UII Pers Budiono, Rachmad. 1998. Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Bandung : Citra Aditya Hasanah, Uswatun.2008. Nafkah Untuk Mantan Istri (Studi Analisis Pandangan Asghar Ali Engineer). Skripsi tidak di terbitkan. Semarang: Jurusan Syariah IAIN Walisongo Semarang Hazairin, 1982, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur‟an dan Sunnah, Tintamas, Jakarta. Jundhi, Faris Ahmad.2013. Pemberian Nafkah Iddah Pada Gugat(Studi Putusan PA Pati No.1925/pdt.G/2010/PA.SAL Mohammad Daud Ali, 1996, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Moleong, Lexi j.2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mughniyah, Muhammad jawad.Fiqh Lima Mazhab. tth, tp, tkp Muhammad, Risal.2008.Peniadaan Nafkah Iddah Dalam Perkara Cerai Gugat(Studi Komparasi Antara Putusan PA No.286/pdt.G/1998/PA.SAL Dengan Ptusan MA No.241 K/AG/2000).Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga.
Ningrat,Koencoro 1994.Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama. Poerwadarminta, W.J.S.2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka R. Soepomo, 1994, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta Saleh, H.E Hasan.2008. Kajian FIQH Nabawi dan FIQH Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Sabiq, Sayyid. 1981. Fikih sunnah 7. Jakarta: PT Al- Ma‟arif Sabiq, Sayyid. 1981. Fikih sunnah 8. Jakarta: PT Al- Ma‟arif Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di indonesia (Antara Fikih Munakahat dan UU Perkawinan). Jakarta: Kencana Soerjono Soekanto, Yusuf Usman, 1985, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Ghalia Indonesia, Jakarta. Soekanto, 1985, Meninjau Hukum Adat di Indonesia, Rajawali, Jakarta. Sudarsono, 1990, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Rineka Cipta, Jakarta. Suryabrata,Sumardi1987. Metodologi Penelitian. Jakarta:CV Rajawali. Thalib, Sajuti. 1981. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika Yunus, As‟ad. 1992. Pokok-Pokok Kewarisan Islam. Jakarta: Qushwa Zed, Mestika.2004. Metode Penelitian Pustakaan. Jakarta: Rineka Cipta http://wordskripsi.blogspot.com/2010/02/pemberian-nafkah-mantan-isterimenurut.html http://nurzavikran.blogspot.com/2011/05/kedudukan-janda-dalam-hukum-warisadat.html