Cendawan Patogen pada Benih Padi Di Indonesia, padi merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan sebagai komoditas politik. Nilai ekonomi padi terletak pada harga jual padi yang masih mendorong petani menanam padi. Sebagai bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia menjadikan padi sebagai tanaman pangan utama yang memiliki sensitivitas politik tinggi. Beras seringkali
dijadikan
alat
tawar-menawar
politik
pemerintah
untuk
mempertahankan kekuasaannya. Nilai strategis padi tersebut mendorong pemerintah
untuk
mengupayakan
ketersediaan
beras
nasional
secara
kesinambungan. Oleh karena itu, padi harus selalu diupayakan dalam stabilitas produksinya. Benih merupakan salah satu komponen utama yang menjadi faktor pembatas dalam sistem produksi pertanian.
Selain mutu genetis dan mutu
fisiologis, kesehatan benih termasuk pula sebagai kriteria kualitas benih. Kesehatan
benih
menggambarkan
potensi
mikroorganisme penyebab penyakit tanaman.
benih
sebagai
pembawa
Dewasa ini telah diketahui
berbagai mikroorganisme yang terbawa benih mampu menimbulkan penyakit ketika benih berkecambah, tanaman muda, dan tanaman dewasa (Soekarno 2003; Hidayat 2006). Kelompok mikroorganisme yang dapat terbawa benih atau ditransmisikan melalui benih diantaranya adalah cendawan. Cendawan yang merusak benih dikelompokkan menjadi cendawan lapang dan cendawan penyimpanan. Cendawan lapang menyerang benih selama perkembangan atau pematangan tetapi sebelum panen, sedangkan cendawan penyimpanan biasanya merusak benih sesudah panen apabila kelembaban udara dan suhu cukup tinggi (Agarwal & Sinclair 1997; Martinus 2003). Cendawan patogen terbawa benih padi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu, (a) Cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada daun padi, (b) Cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada batang, pelepah, dan akar padi, dan (c) Cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada biji dan influorescen (Agarwal et al. 1989; Mew & Gonzales 2002). Penyakit paling penting yang disebabkan oleh cendawan patogen terbawa benih tersebut, menurut Webster & Gunnell (1992), antara lain blas, hawar pelepah, busuk akar, dan penyakit pada pembibitan karena menghancurkan tanaman apabila lingkungan dan kondisi pertanaman sesuai bagi perkembangan penyakit.
Mew & Gonzales (2002) menyebutkan bahwa cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada daun padi adalah Alternaria padwickii (Ganguly) Ellis, Bipolaris oryzae (Breda de Haan) Shoem. sinonim Drechslera oryzae (Breda de Haan) Subram. & Jain, Cercospora janseana (Racib.) Const. sinonim C. oryzae Miyake, Microdochium oryzae (Hasioka & Yokogi) Samuels & Hallet sinonim Gerlachia oryzae (Hasioka & Yokogi) W. Gams., dan Pyricularia oryzae Cav.
Webster & Gunnell (1992) menambahkan cendawan patogen terbawa
benih yang menyebabkan penyakit minor pada daun padi, antara lain Entyloma oryzae Syd. & P. Syd., D. gigantea (Heald & F.A. Wolf), Sclerophthora macrospora (Sacc.) Thirumalachar, C. G. Shaw & Narasimhan, Mycovellosiella oryzae (Deighton & Shaw) Deighton, Ascochyta oryzae Cattaneo, Puccinia graminis f. sp. oryzae, dan Uromyces coronatus Yosh. A. padwickii menyebabkan bercak daun stackburn. Infeksi cendawan ini pada benih menyebabkan perubahan warna biji, menurunkan daya kecambah, dan mengurangi kualitas benih.
Cendawan ini bertahan dalam tanah, pada
benih, dan pada sisa tanaman sakit sebagai sklerotium dan miselium. Infeksi terjadi melalui konidia yang terbawa angin. Infeksi umumnya terjadi melalui luka, tetapi A. padwickii dapat juga mempenetrasi glume secara langsung dan menginfeksi kernel yang belum masak. Infeksi pada benih sering menyebabkan infeksi pada pembibitan yang mengakibatkan hawar bibit (Webster & Gunnell 1992; Mew & Gonzales 2002). P. oryzae (blas) merupakan penyebab kelaparan di Jepang selama tahun 1930-an.
Di Philipina, kerugian akibat blas diperkirakan lebih dari 50%.
Serangan P. oryzae dapat mencapai sekitar 12% dari total luas areal pertanaman padi di Indonesia (Agarwal & Sinclair 1997; Utami et al. 2005). Penyakit blas telah menyebar dan dikenal di semua negara penanam padi, kurang lebih ada 85 negara di dunia. Kemampuan cendawan penyebab penyakit blas menghasilkan konidia yang berjumlah sangat banyak, menyebabkan penularannya ke tanaman di sekitarnya sangat cepat. Sifat cendawan mampu terbawa benih memungkinkan dapat tersebarkan melewati jarak dan waktu yang jauh (Kuyek 2000). Fusarium moniliforme Sheld. dan Sarocladium oryzae (Sawada) W. Gams. & D. Hawks. merupakan cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada batang, pelepah, dan akar padi (Mew & Gonzales 2002).
Selain itu,
Webster & Gunnell (1992) menyebutkan pula Magnaporthe salvinii (Cattaneo)
R. Krause & R. K. Webster, Rhizoctonia solani Kuhn, R. oryzae-sativac (Sawada) Mordue, Cylindrocladium scoparium Morg., Gaeumannomyces graminis (Sacc.) Arx & D. Oliver var. graminis, dan Myrothecium verrucaria (Albertini & Schwein) penyebab penyakit pada pelepah padi. Kehilangan hasil padi akibat F. moniliforme telah dilaporkan sekitar 15% di India, 20% sampai 50% di Jepang, dan 3,7% sampai 14,6% di Thailand (Agarwal & Sinclair 1997). F. moniliforme menyebabkan hawar bibit, busuk kaki, kerdil, dan hipertropi (penyakit bakanae). Penyakit bakanae merupakan penyakit yang paling penting di wilayah Asia (Booth 1971). F. moniliforme berada pada embrio, glume, palea, dan lemma (Agarwal et al. 1989). Hawar pelepah, yang disebabkan oleh R. solani, merupakan penyakit kedua terpenting setelah blas di Jepang, Cina, Taiwan, Sri Lanka, dan Amerika Serikat. Kehilangan hasil akibat infeksi R. solani diperkirakan mencapai 30% sampai 40% di Jepang, 25% sampai 50% di Philipina, dan 50% di Amerika Serikat (Agarwal et al. 1989). Sklerotia R. solani dapat bertahan dalam tanah mulai dari beberapa bulan sampai satu atau dua tahun, tergantung kelembaban dan suhu (Ou 1975). Cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada biji padi dan influorescen antara lain Curvularia sp., Fusarium solani (Mart.) Sacc., Nigrospora sp., Phoma sorghina (Sacc.) Boerema et al., Pinatubo oryzae Manandhar & Mew, dan Tilletia barclayana (Bref.) Sacc. & Syd. (Mew & Gonzales 2002). Agarwal et al. (1989) menambahkan pula Ustilagonoidea virens (Cooke) Tak., Ephelis oryzae Syd., dan F. gramineum Schwabe. Fusarium semitectum Berk. & Rav. dilaporkan menyebabkan busuk kering pada benih padi di Amerika Serikat, dan juga menyebabkan busuk buah pada pisang, mentimum, melon, dan tomat (Nath et al. 1970). Penyakit false smut merupakan salah satu penyakit pada biji padi yang disebabkan oleh U. virens. Cendawan ini menyerang ovari pada fase awal pembungaan, tetapi dapat juga menyerang biji yang masak. U. virens dapat bertahan sebagai sklerotium atau pseudomorph.
Penyakit false smut telah dilaporkan pernah menimbulkan
epidemi di India, Burma, Peru, dan Philipina (Webster & Gunnell 1992). Penyakit udbatta telah dilaporkan merupakan penyakit yang cukup penting di India, Cina, Hong Kong, New Caledonia, dan Afrika Barat.
Penyakit ini
disebabkan oleh E. oryzae. Di India, kehilangan hasil akibat penyakit ini sekitar
10% sampai 11% (Agarwal et al. 1989). Patogen ini terbawa benih secara internal. Infeksi dimulai pada saat panikel mulai muncul (Kato et al. 1998). Berbagai faktor yang mempengaruhi siklus infeksi adalah kondisi cuaca, kultur teknis, ketahanan atau kerentanan varietas tanaman, virulensi patogen, dan jumlah inokulum yang dihasilkan untuk penyebaran sekunder serta efisiensi inokulum (Mew & Gonzales 2002). Menurut Agarwal & Sinclair (1997), apabila suatu patogen itu terbawa benih, maka ia harus menginfeksi atau menginfestasi benih dengan inokulum yang mampu menyebabkan penyakit pada tanaman setelah penanaman. Setelah padi dipanen dan dikeringkan, kelompok cendawan yang berbeda akan berkembang saat penyimpanan atau disebut cendawan penyimpanan. Biji padi jarang sekali terinfeksi cendawan penyimpanan selama di lapangan. Cendawan penyimpanan tumbuh pada kelembaban relatif kurang dari 95%. Bahkan, cendawan penyimpanan ini dapat tumbuh dan berkembang pada kelembaban relatif 70% dimana tidak ada kandungan air bebas dan suhu rendah (Anonim 2003). Beberapa spesies Aspergillus dan Penicillium merupakan cendawan penyimpanan yang umum dijumpai pada benih padi (Tabel 1). Setiap spesies Aspergillus dan Penicillium memerlukan kelembaban relatif yang berbeda, sehingga perkembangan cendawan tersebut menjadi indikator kandungan air dari biji yang disimpan (Anonim 2003). Cendawan penyimpanan tidak berperan dalam perkembangan penyakit benih tetapi
berperan dalam
kerusakan benih.
Cendawan
berkembang pada benih tanpa adanya air bebas.
ini
mampu
Peranan cendawan
penyimpanan terhadap kerusakan benih agak sulit diketahui. Sekitar 4% dari benih yang disimpan hilang setiap tahun. Kehilangan hasil lebih banyak terjadi di daerah tropis karena kelembaban yang tinggi, curah hujan tinggi, dan cara penyimpanan serta suhu yang jelek (Martinus 2003).
Tabel 1 Kandungan air biji padi pada kelembaban relatif 65% sampai 90% dan kecenderungan cendawan yang muncul
Kelembaban relatif
Kandungan air biji
Cendawan
(%)
(%)
70-75 75-80
14.0-15.0 14.5-15.0
A. restrictus, A. glaucus A. candidus, A. restrictus,
80-85
16.0-18.0
A. glaucus A. flavus, A. candidus,
85-90
18.0-20.0
A. restrictus, A. glaucus Penicillium, A. flavus, A. candidus, A. restrictus, A. glaucus
Sumber: Christensen & Sauer 1982 dalam Anonim 2003.
Kerugian
yang
diakibatkan
cendawan
menurunnya perkecambahan dan pemanasan.
penyimpanan
antara
lain
Menurut Anonim (2003),
viabilitas benih akan menurun karena melemahnya atau matinya embrio benih yang diawali dengan perubahan warna. perubahan warna terdeteksi.
Benih tidak berkecambah apabila
Menurunnya viabilitas benih tergantung pada
cendawan penyimpanan. Aspergillus flavus Link. dapat membunuh keseluruhan lot benih yang terinfeksi apabila benih disimpan selama tiga bulan. A. flavus berkembang pada kadar air benih antara 16% sampai 18%.
Cendawan ini
menyebabkan perubahan warna, pemanasan yang cepat, dan mematikan kecambah. Pemanasan pada benih padi yang disimpan terjadi apabila sebagian benih yang disimpan lembab dan kadar air yang tinggi akibat kebocoran tempat penyimpanan atau aktifitas serangga atau peningkatan suhu benih yang disimpan.
Deteksi Cendawan Patogen Soekarno (2003) menyebutkan bahwa metode deteksi dan identifikasi patogen merupakan salah satu komponen yang menentukan tingkat efektifitas atau keberhasilan pengendalian patogen terbawa benih.
Oleh karena itu,
metode deteksi dan identifikasi yang cepat dan akurat merupakan prasyarat tingkat keberhasilan pengendalian suatu patogen. Keberhasilan deteksi patogen terbawa benih tergantung proses ekstraksi dan isolasi patogen.
Sejumlah
patogen terbawa benih mudah dikenali karena menunjukkan gejala dan atau membentuk struktur khusus pada benih, namun kebanyakan patogen sulit dikenali sehingga perlu dilakukan isolasi terlebih dahulu.
Neergaard
(1977)
mengemukakan
tujuan
dan
maksud
pengujian
kesehatan benih sebagai berikut: a. Untuk maksud karantina sebagai usaha mencegah masuknya penyakit baru dari negara lain atau mencegah meluasnya penyakit di dalam negeri atau ke negara lain. b. Untuk sertifikasi benih sebagai usaha menghilangkan atau mengurangi patogen terbawa benih. c. Untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan tanaman di persemaian maupun di lapang. d. Mengevaluasi kualitas biji yang akan disimpan untuk keperluan konsumsi atau untuk penanaman. e. Untuk mengetahui perlu tidaknya dilakukan perawatan benih sebelum diadakan penanaman atau penyimpanan benih. f.
Mengevaluasi efek fungisida untuk keperluan perawatan benih.
g. Usaha mengadakan survei patogen terbawa benih, sehingga dapat diketahui penyebaran terutama yang dapat menginfeksi dan menginfestasi biji. Metode pengujian kesehatan benih yang digunakan tergantung pada jenis benih dan jenis patogen yang terbawa benih tersebut. Penentuan metode yang digunakan bertujuan agar deteksi dan identifikasi patogen terbawa benih dapat dilakukan dengan mudah, sehingga untuk menguji kesehatan suatu contoh benih mungkin hanya digunakan satu metode atau beberapa metode pengujian. Beberapa
metode
pengujian
kesehatan
benih
untuk
pemeriksaan
cendawan patogen terbawa benih antara lain pemeriksaan langsung benih kering, pencucian benih, inkubasi dengan kertas blotter, inkubasi pada media agar, pengujian gejala kecambah, dan penghitungan embrio (Mathur et al. 1989; Agarwal & Sinclair 1997). Masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga cara pengujian kesehatan benih dapat dipilih salah satu atau lebih sesuai tujuan dari pengujian kesehatan benih. Pada pengujian kesehatan benih padi, metode yang sering digunakan adalah metode inkubasi dengan kertas blotter, media agar, pencucian benih, dan pengujian gejala kecambah (Surachmat & Suwanda 1984; Misra & Mew 1994; Mew & Gonzales 2002). Saat ini telah dikembangkan metode deteksi patogen terbawa benih padi dengan pendekatan karakter molekuler berdasarkan sifat protein seperti serologi dan berdasarkan sifat asam nukleat seperti hibridisasi
DNA/RNA dan Polymerase Chain Reaction (PCR)/Reverse Trancription-PCR (RT-PCR). Pemeriksaan langsung benih kering merupakan metode pengujian kesehatan benih yang dapat dilaksanakan untuk mendeteksi cendawan patogen terbawa benih, berdasarkan perubahan karakteristik warna dari benih atau perubahan ukuran dan bentuk benih.
Cara pemeriksaan tersebut dapat
memberikan informasi yang cepat terhadap status kesehatan contoh benih. Tetapi dalam kebanyakan kasus, pemeriksaan langsung benih kering tidak dapat diterima sebagai satu-satunya cara pemeriksaan benih karena ketiadaan gejala atau struktur cendawan pada atau dalam benih tidak langsung menunjukkan bahwa benih bebas dari infeksi patogen, sedangkan adanya gejala tidak selalu menunjukkan keberadaan inokulum patogen yang aktif (Mathur et al. 1989). Metode
pencucian
benih
merupakan
prosedur
yang
cepat
untuk
mendeteksi spora spesifik dari cendawan patogen yang terbawa di permukaan benih, seperti P. oryzae, D. oryzae dan Trichoconis padwickii (A. padwickii) pada benih padi. Identifikasi dengan metode ini hanya berdasarkan karakteristik spora dimana pada beberapa kasus sulit karena parameter lain, seperti lokasi dan karakteristik massa spora, gejala pada tanaman inang, penting pula untuk identifikasi spesies cendawan (Surachmat & Suwanda 1984; Mathur et al 1989). Metode kertas hisap (blotter test) dan metode agar digunakan secara luas untuk mendeteksi cendawan, karena prinsip metode tersebut memberikan kondisi optimal untuk struktur perkembangbiakan lain dari cendawan patogen terbawa benih. Kelemahan metode kertas hisap adalah tingkat perkecambahan benih yang tinggi dan pertumbuhan saprofit yang cepat. Sedangkan metode agar, menurut Mathur et al. (1989), membutuhkan waktu dan biaya dalam menyiapkan media agar sehingga hanya digunakan untuk pengujian kesehatan benih yang sulit dideteksi dengan metode kertas hisap. Prinsip metode pengujian gejala kecambah adalah menumbuhkan benih uji pada media tumbuh tertentu kemudian diamati gejala penyakit yang timbul pada kecambah.
Pada beberapa kasus, kecambah bahkan mungkin mati akibat
inokulum patogen terbawa benih. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi patogen penyebab penyakit pada fase kecambah seperti Alternaria, Fusarium, Drechslera, Pyricularia (Surachmat & Suwanda 1984; Mathur et al. 1989). Metode
deteksi
cendawan
melalui
pendekatan
merupakan kemajuan dalam pengujian kesehatan benih.
karakter
molekuler
Metode ini mampu
memberikan hasil pengujian yang cepat dan akurat.
Namun, metode ini
memerlukan bahan yang mahal. Upaya untuk mengembangkan metode deteksi dan identifikasi cendawan patogen yang cepat, mudah, murah, dan akurat perlu dilakukan.
Cendawan
patogen diketahui menghasilkan metabolit tertentu. Metabolit yang dihasilkan cendawan tersebut akan menghasilkan emisi fluorescen sangat spesifik apabila dikenai cahaya near ultraviolet atau ultraviolet.
Oleh karena itu, teknologi
spektroskopi fluorescen sangat potensial untuk dikembangkan sebagai alternatif metode pengujian kesehatan benih. De Champrode (2007) menyatakan bahwa pengujian dengan fluorescen dapat dilakukan tanpa biaya mahal tiap sampel, selektif, sensitif, dan akurat.
Spektroskopi Fluorescen Spektroskopi fluorescen merupakan salah satu teknik spektroskopi yang telah digunakan secara luas dalam bidang biokimia dan biofisika molekuler saat ini.
Spektroskopi fluorescen cukup terkenal karena sensitivitasnya terhadap
perubahan dinamika dan struktural biokimia dan biofisika, meskipun pengukuran fluorescen tidak memberikan informasi struktural yang terinci (Royer 1995). Menurut Royer (1995), terdapat empat persyaratan dasar yang harus dipenuhi dalam spektroskopi fluorescen yaitu: 1. Prinsip Frank-Condon: inti tidak berubah selama transisi elektronik, dan juga eksitasi terjadi sampai tingkat keadaan elektronik tereksitasi secara vibrasi. 2. Emisi terjadi dari tingkat vibrasi terendah pada keadaan singlet tereksitasi terendah karena relaksasi dari tingkat vibrasi tereksitasi lebih cepat dibandingkan emisi. 3. The
Stokes
shift:
emisi
selalu
merupakan
energi
yang
lebih
rendah daripada absorbsi karena relaksasi inti pada keadaan tereksitasi. 4. The mirror image rule: emisi spectrum merupakan bayangan cermin dari pita absorbsi energi terendah. Molekul memiliki berbagai keadaan yang menunjukkan beberapa tingkat energi. Spektroskopi fluorescen pada dasarnya berhubungan dengan keadaan elektronik dan vibrasi. Secara umum, spesies yang diuji akan memiliki keadaan elektronik dasar (suatu keadaan berenergi rendah) dan keadaan elektronik tereksitasi pada tingkat energi lebih tinggi. Di dalam setiap keadaan elektronik tersebut terdapat berbagai keadaan vibrasi (Anonim 2008).
Pada spektroskopi fluorescen (Gambar 1), suatu molekul terlebih dahulu dieksitasi oleh adanya absorbsi cahaya dari suatu sinar dari keadaan elektronik dasar ke salah satu dari berbagai keadaan vibrasi pada keadaan elektronik tereksitasi. Molekul akan kehilangan sisa energi vibrasi dengan cepat melalui tabrakan dan jatuh pada salah satu dari berbagai tingkat vibrasi pada keadaan elektronik dasar sambil memancarkan cahaya dalam bentuk fluorescen. Hal ini disebabkan energi telah diabsorbsi dan mencapai salah satu tingkat vibrasi tertinggi pada keadaan tereksitasi.
Cahaya yang dipancarkan akan memiliki
frekuensi dan energi yang berbeda dengan cahaya yang diserap.
Struktur
tingkat vibrasi yang berbeda, termasuk intensitas relatifnya, dapat ditentukan melalui analisis frekuensi cahaya yang berbeda dipancarkan pada spektroskopi fluorescen (Bass 2000; Anonim 2008).
Keadaaan elektronik tereksitasi
Energi (eV)
Absorbsi
Keadaan elektronik dasar
Relaksasi vibrasi
Fluorescen
Gambar 1 Skema Proses Fluorescen
Kebanyakan molekul menempati tingkat vibrasi terendah dari keadaan dasar elektronik pada suhu kamar, dan pada absorbsi cahaya molekul-molekul tersebut diangkat untuk mencapai keadaan tereksitasi. mengakibatkan
molekul
mencapai
berbagai
berhubungan dengan setiap keadaan elektronik.
sub-tingkat
Eksitasi dapat vibrasi
yang
Oleh karena energi yang
diabsorbsi memiliki kuanta tersendiri, maka proses tersebut menghasilkan rangkaian pita absorbsi yang berbeda (Bass 2000).
Fluorescen telah menyediakan banyak informasi terkait biomolekul dan dinamikanya.
Fluorescen telah banyak digunakan untuk memonitor proses
polimerasi, mendeteksi basa nitrogen pada DNA, mengukur koefisien difusi, dan menginvestigasi daerah pengikat antibodi. Spektroskopi fluorescen telah banyak pula digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa organik dan inorganik. Teknik spektroskopi fluorescen ini memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai dasar metode deteksi dan identifikasi cendawan patogen tumbuhan. Bergkvist (1989) menyatakan bahwa pemanfaatan fluorescen dengan cahaya near ultraviolet untuk deteksi cendawan patogen tidak cukup untuk digunakan sendiri, namun fluorescen dapat menjadi bagian dari metode pengujian kesehatan benih untuk memfasilitasi deteksi cendawan patogen. Metode deteksi cendawan patogen dengan memanfaatkan fluorescen memiliki kelebihan, antara lain cepat, mudah, dan murah.
BAHAN DAN METODE