Warta
Cendana
Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Forestry Research Institute of Kupang (Forist)
Sejarah Konservasi Alam di Indonesia
Pipit Zebra di Lalu Lintas Kota Kupang
Tenun Ikat Tradisional Ende, Budaya Yang Masih Terjaga
ISSN 1979-8636
Edisi VI No.1 April 2013
| FOKUS | Kawasan Konservasi di NTT sebagai Habitat Rusa Timor
SERI I : Mengenal Balai Penelitian Kehutanan Kupang
SEKAPUR SIRIH Neno Noka Leko Neis, Nako Neno I. Ungkapan Dawan (bahasa Timor) yang mengusung semangat perubahan. Dan melecutkan optimisme untuk berubah menjadi lebih baik. Mengawali tahun 2013 ini, Warta cendana mengalami perombakan yang cukup signifikan. Baik dari sisi tampilannya maupun substansinya yang lebih popular dan informatif. Hal tersebut berdasarkan keinginan pembaca yang membutuhkan informasi aktual dan dikemas secara menarik. Pada topik utama, kami menampilkan Sejarah Konservasi Alam di Indonesia, Kawasan Konservasi di NTT sebagai Habitat Rusa Timor, Pipit Zebra di Lalu Lintas Kota Kupang, dan Tenun Ikat Tradisional Ende, Budaya yang Masih Terjaga. Tidak kalah menariknya adalah Rubrik Ragam yang mengupas Profil Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang. Sajian ini sebagai refleksi perjalanan BPK Kupang yang telah 28 tahun berkiprah di Nusa Tenggara Timur (NTT). Semoga sajian informasi tersebut dapat memenuhi rasa keingintahuan pembaca. Tak lupa kami mengundang para pembaca untuk mengirimkan artikelnya. Maupun memberikan masukan, kritik dan sarannya. Sehingga warta cendana yang hadir di tengah-tengah kita dapat semakin eksis dan tampil lebih baik lagi,. Selamat membaca…. (pinusa).
DAFTAR ISI | FOKUS |
| RAGAM |
| KILAS BERITA | Hari Bhakti Rimbawan ke-30
Sejarah Konservasi Alam di Indonesia
Pipit Zebra di Lalu Lintas Kota Kupang
oleh: Grace Serepina Saragih
Oleh : Oki Hidayat
SERI I : Mengenal Balai Penelitian Kehutanan Kupang
h.1
h.10
h.16
h.20 5th IndoGreen Forestry Expo 2013
Kawasan Konservasi di NTT sebagai Habitat Rusa Timor
Tenun Ikat Tradisional Ende, Budaya Yang Masih Terjaga
Oleh : Kayat
h.13
h.4
h.21
Oleh : Dani Pamungkas
Cover Photo by : M. Hidayatullah REDAKSI
PENERBIT
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN KUPANG | FORESTRY RESEARCH INSTITUTE OH KUPANG
Penanggung Jawab Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang merupakan majalah ilmiah poluler Balai Peneleitian Kehutanan Kupang yang diterbitkan 3 kali dalam satu tahun, berisikan tema rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi, sosial ekonomi, ekowisata, lingkungan, HHBK, managemen, hukum kelembagaan, kebijakan publik dan lain-lain.
Dewan Redaksi Ketua merangkap Anggota Sigit B Prabawa, M.Sc. Anggota Rahman Kurniadi, S.Hut, M.Sc. Sumardi, S.Hut, M.Sc
Sekretaris Redaksi Ketua merangkap Anggota M. Azis Rakhman, S.Hut. Anggota Tipuk Purwandari, S.Kom, M.Sc. Rattah Pinnusa H.H, S.Sos.
Redaksi menerima sumbangan artikel sesuai tema terkait, Tim Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mngubah isi materi tulisan, Tulisan dapa dikirim melalui email ke
[email protected]
Balai Penelitian Kehutanan Kupang Jln Untung Suropati No 7 B. Kupang Telp (0380)823357 Fax (0380) 831086 Email :
[email protected] www.foristkupang.org
| FOKUS |
Sejarah Konservasi Alam di
INDONESIA oleh: Grace Serepina Saragih
K
egiatan konservasi di Indonesia sudah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda. Hal ini ini terbukti dari catatan sejarah mengenai perlindungan sebuah kawasan untuk tujuan konservasi pada tahun 1714 di
Depok, Jawa Barat. Seorang anggota Dewan Hindia, C. Chastelein, dengan surat wasiat tertanggal 13 Maret 1714 mewariskan kepada para pekerjanya dua kavling tanah (6 ha), dengan syarat bahwa lahan tersebut tidak boleh
Edisi VI No.1 April 2013
1
dipindahtangankan dan tidak boleh dijadikan lahan pertanian karena keanekaragaman flora yang ada di dalamnya. Pada tanggal 31 Maret 1913, berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No.167 (Staat Blad N o . 1 6 7 ) , p e m a n g ku a n l a h a n i t u diserahkan oleh gemeente (desa) Tanah Depok, kepada perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda (Nederlandsh Indische Vereeniging tot Natuurbescherming) dan dikelola dengan nama Cagar Alam Depok. Pada tahun 1999 cagar alam ini diubah fungsinya menjadi taman hutan raya dengan nama Taman Hutan Raya Pancoran Mas. Inisiatif untuk melestarikan kekayaan flora di Indonesia selanjutnya dicetuskan oleh Reinwardt pada 15 April 1817. Usulnya untuk mendirikan sebuah kebun botani dikabulkan oleh Komisaris Jenderal Hindia Belanda, maka pada 18 Mei 1817 berdirilah 'Slands Plantentiun te Buitenzorg' atau Kebun Botani Bogor. Setelah itu secara berturut-turut didirikan kebun raya lainnya, yaitu: Kebun Raya Cibodas didirikan oleh Teysman tahun 1866, Kebun Raya Purwodadi didirikan oleh Van Sloten tahun 1941 dan Kebun Raya "Eka Karya" Bedugul-Bali didirikan tahun 1959 oleh Prof. Ir. Kusnoto Setyodiwiryo. Seiring dengan tumbuhnya kesadaran tentang pentingnya usaha konservasi terhadap keanekaragaman flora, pemikiran mengenai perlunya kegiatan konservasi fauna juga mulai berkembang. Pada awal abad ke-19 sebuah perkumpulan pemburu satwa liar yang diberi nama Vetoria terbentuk. Organisasi ini tidak hanya melakukan kegiatan perburuan namun mereka juga seringkali memberikan usulan
2
Edisi VI No.1 April 2013
perlindungan sebuah kawasan yang didalamnya terdapat keanekaragaman satwa liar. Pada tahun 1921 perkumpulan ini mengusulkan agar kawasan Ujung Kulon ditetapkan sebagai kawasan suaka alam karena kawasan ini merupakan habitat bagi badak jawa. Kemudian pada tahun 1992 Suaka Alam Ujung Kulon resmi menjadi Taman Nasional Ujung Kulon. Saat ini terdapat 50 taman nasional yang tersebar di seluruh Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, perhatian terhadap konservasi ditandai dengan dibentuknya Lembaga Pengawetan Alam yang merupakan bagian dan Pusat Penyelidikan Alam Kebun Raya Bogor pada tahun 1952. Pada tahun 1971 Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 168/Kpts/Org/4/71 tanggal 23 April 1971. Sejak saat itu Indonesia mulai aktif melakukan kegiatan konservasi dan aktif turut serta dalam gerakan konservasi dalam forum internasional. Bahkan pada beberapa universitas mulai dibentuk bidang studi konservasi sumberdaya alam. Pada tahun 1974 bersama dengan Food and Agriculture Organization (FAO)/United Nations Development Programme (UNDP), Indonesia menyusun rancangan pengembangan kawasan konservasi dan perlindungan terhadap satwa liar. Kemudian pada tahun 1969 untuk pertama kalinya mengikuti pertemuan teknis International Union for The Conservation of Nature and Natural resources (IUCN) di India. Sebagai bentuk p a r t i s i p a s i a k t i f d a l a m ke g i a t a n konservasi secara internasional, pada tahun 1982 pulau Bali menjadi lokasi acara Kongres Taman Nasional Sedunia ke - 3 . S e l a n j u t n y a , D e p a r t e m e n
Kehutanan dibentuk pada tahun 1983 dalam Pembentukan Kabinet Pembangunan IV Periode Tahun 19831988, sehingga Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam statusnya diubah menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA). Seiring dengan meningkatnya perhatian terhadap kegiatan konservasi flora dan fauna, maka semakin banyak pula lembaga konservasi yang didirikan. Beberapa lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang konservasi adalah Conservation International Indonesia, Birdlife, TROPENBOS International-Indonesia (TBI), WetlandsInternational, The Borneo Orangutan Survival Foundation (BOS) , ProFauna, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Greenpeace, Yayasan Gibbon Indonesia dan World Wildlife Fund (WWF). Peningkatan jumlah kawasan dan lembaga konservasi ternyata tidak membuat jumlah tumbuhan dan satwa dilindungi berkurang. Dalam IUCN Red List Ve r s i o n 2 0 1 2 . 2 , tercatat ada 1.154 species satwa dan tumbuhan dari Indonesia dalam berbagai kategori (least concern hingga extinct). Hal ini disebabkan oleh ancaman berupa perubahan penutupan lahan, kebakaran, pemanenan yang tidak lestari, perubahan iklim, invasi spesies asing, serta penjualan satwa dan tumbuhan secara illegal. Perlindungan terhadap kelestarian alam, flora dan fauna sangat memerlukan
dukungan dalam bentuk peraturan dan perundangan. Peraturan mengenai perlindungan alam dan satwa sudah ada sejak jaman Belanda, beberapa diantara peraturan pemerintah (ordonansi) tersebut adalah : Ordonansi Perburuan (Jachtordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer 133); Ordonansi Perlindungan BinatangBinatang Liar (Dierenbeschermingsordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer 134); Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtoddonnantie Java en Madoera 1940 Staatsblad 1939 Nummer 733); Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonnantie 1941 Staatsblad 1941 Nummer 167). Dalam perkembangannya pemerintah menyusun undang-undang baru untuk menggantikan ordonansi tersebut, maka pada tanggal 10 Agustus 1990 disahkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada t a h u n 2 0 1 2 K e m e n t e r i a n Kehutanan kemudian mengumumkan draft revisi UU Konservasi menjadi UndangU n d a n g Ke a n e k a ragaman Hayati dan publik dapat memberi masukan dan saran untuk undang-undang ini. Selain UU Nomor 5 Ta h u n 1 9 9 0 , a d a p u l a Pe r a t u r a n Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dan PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Edisi VI No.1 April 2013
3
| FOKUS |
Kawasan Konservasi di NTT sebagai Habitat Rusa Timor Oleh : Kayat
U
paya konservasi satwa liar dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-situ. Keberadaan kawasan konservasi merupakan upaya konservasi in-situ yang melestarikan satwa dan habitatnya. Saat ini berbagai bentuk gangguan mengancam kawasan konservasi. Rusa timor (Rusa timorensis timorensis Blainville) adalah salah satu spesies yang menjadi perhatian karena
4
Edisi VI No.1 April 2013
statusnya yang dilindungi dan juga potensinya sebagai sumber protein hewani alternatif yang dapat dikembangkan. Ancaman utama pada penurunan populasi adalah akibat kerusakan dan fragmentasi habitat, polusi, pemanfaatan jenis secara berlebihan, introduksi jenis eksotik dan penyebaran penyakit (Primack et al., 1998).
Saat ini kawasan konservasi tidak lepas dari adanya gangguan dari aktivitas masyarakat di sekitarnya. Perladangan, pemukiman, persawahan, penebangan pohon, penggembalaan ternak, dan perburuan liar menjadi masalah yang dihadapi sebuah kawasan konservasi. Akibat dari kegiatan-kegiatan tersebut adalah degradasi dan perusakan habitat satwa yang hidup dalam kawasan konservasi tersebut yang dapat pula menurunkan jumlah populasi satwa tersebut. Populasi Rusa Timor Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdapat 29 kawasan konservasi dan populasi rusa timor tercatat ditemukan pada beberapa kawasan konservasi di Pulau Timor, Rote, dan Semau, yaitu: Suaka Margasatwa (SM) Kateri, SM Harlu, SM Parhatu, Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Menipo, SM Ale Aisio, Taman Buru (TB) Pulau Ndana dan TB Dataran Bena. Sedangkan di deretan Pulau Flores dan Alor, rusa timor tercatat pada 6 kawasan konservasi, yaitu : Cagar Alam (CA) Waewuul, CA Wolo Tadho, CA Riung, TWA Egon Ilimedo, TWA Teluk Maumere, dan TWA Pulau Rusa (BBKSDA NTT, 2008). Namun hasil penelitian inventarisasi populasi rusa timor yang dilakukan tim peneliti Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang dari tahun 2010 sampai dengan 2012 menunjukkan bahwa dari beberapa kawasan konservasi tersebut ada kawasan konservasi yang sudah tidak ditemukan lagi populasi rusa timor seperti di TB Bena. Namun ada juga beberapa kawasan konservasi yang keberadaan rusa timor masih ditemukan, seperti di TWA Pulau Menipo diperoleh temuan rusa timor sebanyak 331 ekor,
dengan komposisi : 103 ekor rusa jantan, 164 ekor rusa betina dan 64 ekor rusa anak. Sedangkan di SM Ale Aisio tidak ada perjumpaan langsung, namun masih ditemui jejak kaki dan faeces (Saragih dkk, 2010). Pada tahun 2011 penelitian populasi di SM Kateri, Kabupaten Belu diperoleh hasil bahwa dugaan populasi rusa timor hanya sebanyak 35 ekor dan terpusat pada kawasan hutan campuran padang rumput yang diperkirakan hanya seluas 58 ha. Populasinya sudah sangat menurun karena habitat yang makin sempit dan sumber pakan di dalam kawasan semakin berkurang akibat adanya kegiatan perambahan di dalam kawasan SM Kateri (Kayat, dkk. 2011).
Gambar 1. Kelompok rusa timor di TWA Pulau Menipo
Berdasarkan Laporan Inventarisasi Populasi Rusa di TWA Pulau Menipo oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTT pada tahun 1994, populasi rusa di TWA Pulau Menipo adalah 354 ekor dengan kerapatan 0,619 ekor/ha. Hasil penelitian Sutrisno (1993) menyatakan kapasitas rusa di TWA Pulau Menipo adalah 6 ekor/ha dengan populasi 0,31–1,11 rusa/ha. Sedangkan populasi
Edisi VI No.1 April 2013
5
rusa timor pada kawasan TB Dataran Bena, saat ini sudah demikian kritis yang ditandai dengan laporan perjumpaan relatif jarang (BBKSDA NTT, 2008). Hasil penelitian di CA Riung menunjukkan nilai rata-rata indeks kelimpahan/Abundance Indices (AI) yang diperoleh dengan metode transect walk adalah sebesar 4, artinya ditemukan 4 ekor rusa timor sepanjang 1 km. Berdasarkan cara penelitian lainnya, dijumpai 17 titik perjumpaan tidak langsung rusa timor di CA Riung. Bentuk tapak yang ditinggalkan berupa jejak, kotoran/feses dan bekas tandukan di batang pohon. Ditemukan pula lokasi bekas istirahat rusa timor. Kotoran rusa timor yang ditemukan diseluruh lokasi penelitian memiliki kepadatan sebesar 1,06 kotoran/ha. Heriyaningtyas (2012) menyatakan hasil inventarisasi rusa timor di TWA Pulau Rusa tercatat ditemukan perjumpaan langsung sebanyak 124 ekor, sedangkan kalau penghitungan dengan metode King diperoleh dugaan populasi sebanyak 653 ekor. Dengan melakukan sensus secara berulang dan teratur, maka perubahan yang terjadi dalam suatu populasi dapat diketahui (Indrawan dkk, 2007). Data dan informasi mengenai populasi serta habitat rusa timor di dalam kawasan konservasi diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merencanakan kegiatan konservasinya dan kebijakan yang menyangkut pemanfaatannya. Habitat Rusa Timor Habitat satwa liar yang ideal adalah harus memenuhi beberapa komponen habitat yang dibutuhkan oleh satwa liar untuk bertahan hidup, yang terdiri dari pakan,
6
Edisi VI No.1 April 2013
air, pelindung/cover dan ruang. Secara alami rusa merupakan satwa yang mendiami daerah hutan, semak atau padang terbuka. Adanya lingkungan yang ternaungi merupakan hal yang paling dibutuhkan oleh rusa karena dua hal. Pertama, sebagai tempat berteduh di saat terik matahari dan penghindaran gangguan insekta, khususnya pada pejantan yang sedang mengelupas kulit velvetnya dan kedua, sebagai daerah persembunyian baik di kala istirahat ataupun melepaskan diri dari pemangsa. Namun dalam penyesuaian hidupnya lebih lanjut, sebagian besar rusa mampu untuk beradaptasi dengan baik pada lingkungan barunya, khususnya pada daerah sub tropis. Bersamaan dengan perubahan lingkungan habitatnya, akan pula berpengaruh terhadap perubahan pola pakannya (de Nahlik 1974 dalam Semiadi, 2006). Whitten et al. (1996) dalam Semiadi (2006) menyatakan bahwa habitat utama untuk rusa timor adalah kawasan savana. Di daerah yang sering terkena kebakaran akan dijumpai banyak rusa timor yang "turun gunung" guna merumput tanaman muda dan menjilati abu sisa pembakaran sebagai sumber mineral. Rusa timor dapat dijumpai dengan mudah di daerah hutan terbuka hingga ketinggian 2.600 m dpl. Beberapa kawasan konservasi di NTT merupakan habitat rusa timor. Kawasan konservasi di NTT tersebut memiliki karakteristik habitat yang berbeda-beda. Seperti di TWA Pulau Menipo terdiri dari beberapa tipe vegetasi yaitu vegetasi pantai, hutan bakau dan padang rumput. Vegetasi pantai di selatan Pulau Menipo didominasi jenis cemara
laut (Casuarina equisetifolia) dan tumbuhan bawahnya didominasi rumput duri (Spinifex littolaris). Sedangkan pada kawasan hutan bakau dapat dijumpai jenis Rhizophora mucronata, Bruguiera parviflora dan Sonneratia alba. Padang rumput di Pulau Menipo cukup luas yaitu diperkirakan mencapai 246 ha yang membentang dari timur ke barat. Dari hasil analisis vegetasi diketahui bahwa jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah rumput manis atau rumput timor (Ischaemum timorensis), sedangkan pada tingkat pancang, tiang dan pohon yang mendominasi adalah lontar (Borassus flabellifer). Vegetasi yang berbeda dimanfaatkan untuk kebutuhan yang berbeda pula, habitat bakau dan cemara digunakan sebagai
1
3
tempat bermain dan beristirahat, habitat padang rumput digunakan sebagai tempat makan dan bermain (Saragih dkk, 2010). Kawasan SM Kateri memiliki 4 tipe struktur dan komposisi vegetasi, yaitu hutan jati, hutan alam sekunder, hutan campuran padang rumput, dan area perambahan. Namun rusa timor terkonsentrasi di hutan campuran padang rumput dimungkinkan karena selain pada area ini semua kebutuhan habitatnya terpenuhi, juga area ini relatif aman dari gangguan manusia (Kayat dkk., 2011). Sebagaimana menurut Alikodra (2002), suatu habitat merupakan hasil interaksi dari komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik terdiri atas: air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang;
2
1. Habitat rusa timor berupa padang rumput savana di TWA Pulau Menipo 2. Habitat rusa timor berupa tipe hutan campuran padang rumput di SM Kateri 3. Habitat rusa timor berupa tipe padang rumput
di
perbukitan
dan
hutan
campuran di Lembah di CA Riung
Gambar 2. Gambaran berbagai tipe habitat pada kawasan konservasi di NTT
Edisi VI No.1 April 2013
7
sedangkan komponen biotik terdiri atas: vegetasi, mikro fauna, makro fauna dan manusia. Habitat rusa timor di CA Riung dapat dibedakan pada 2 tipe vegetasi, yaitu tipe vegetasi padang rumput yang sebagian besar atau hampir seluruhnya berada di punggung bukit dan tipe vegetasi hutan campuran yang berada di lembahlembah. Sedangkan pakan yang disukai secara berturut-turut terdiri dari jenis spot, Sorgum timorense, rengit, kurun, kusu rusa dan kurun pendek. Rusa timor memiliki perbedaan penggunaan habitat di CA Riung. Rusa timor melakukan aktivitas feeding/merumput pada kawasan padang rumput yang hampir seluruhnya berada pada daerah punggung bukit. Hal ini ditandai dengan banyaknya bekas makan rusa yang berada di daerah padang rumput. Sedangkan pada daerah lembah yang berupa hutan sekunder dan semak belukar lebih banyak dimanfaatkan sebagai tempat berteduh dan istirahat. Aktivitas tersebut bisa dilihat dari bekasnya dimana pada daerah lembah banyak bekas/jejak rusa timor baik berupa tempat istirahat maupun bekas tandukan ranggah rusa jantan, khususnya pada jenis kemuning. Schroeder (1976) menyatakan bahwa Rusa timorensis lebih menyukai habitat padang rumput di tanah datar, sedangkan hutan dan semak belukar sebagai tempat berlindung. Aji (2001) juga mengatakan bahwa rusa timor mempunyai kesukaan yang mencolok terhadap tempat-tempat yang terbuka seperti padang rumput. Sebagai tempat berlindung rusa sering menggunakan hutan atau semak belukar.
8
Edisi VI No.1 April 2013
Beberapa Permasalahan Kawasan Konservasi di NTT Secara umum beberapa pemasalahan yang ditemui pada kawasan konservasi di wilayah NTT adalah perladangan, pemukiman, persawahan, penebangan pohon, penggembalaan ternak, dan perburuan liar. Seperti di TB Bena permasalahan yang ada adalah penggembalaan ternak dan adanya alih fungsi menjadi areal persawahan. Sedangkan di SM Ale Aisio adalah penggembalaan ternak dan penebangan pohon. Permasalahan di SM Kateri adalah adanya perambahan kawasan untuk pemukiman dan perladangan oleh warga eks pengungsi Timor Timur. Sedangkan permasalahan di CA Riung adalah penggembalaan ternak dan perburuan. Beberapa solusi yang ditawarkan untuk penyelesaian permasalahan di atas adalah (1) pengelolaan kawasan yang salah satu aspek yang terpenting penting adalah monitoring/pemantauan. Pe m a n t a u a n d i l a ku k a n t e r h a d a p komponen yang berpengaruh terhadap kelestarian keanekaragaman hayati seperti sumber air, jumlah individu, ketersediaan pakan, kepadatan dan keragaman vegetasi serta kegiatan manusia yang dapat mempengaruhi kawasan; (2) pembinaan habitat dan populasi. Pembinaan habitat dan populasi satwa adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh petugas yang berwenang dengan tujuan untuk menjaga keberadaan populasi satwa tertentu dalam keadaan seimbang dengan daya dukungnya melalui kegiatan seperti pembinaan vegetasi, pembinaan populasi satwa, pengadaan sumber air minum,tempat mandi atau berkubang, penjarangan populasi satwa serta
penambahan tumbuhan dan satwa asli dalam upaya pemulihan populasi dan ke r a g a m a n j e n i s n y a ; ( 3 ) p a t ro l i pengaman kawasan secara rutin dan adanya penegakan hukum yang tidak pandang bulu; (4) pembinaan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi; dan (5) penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya melindungi kawasan konservasi dan satwa liar yang ada di dalamnya, salah s a t u n y a a d a l a h r u s a t i m o r. ( 6 ) pengamanan dari kegiatan perburuan dan persaingan dengan ternak sapi milik masyarakat di sekitar kawasan adalah kegiatan yang sangat penting untuk dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Aji, B. S. 2001. Studi Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Rusa Timor (Rusa timorensis) di TN Baluran Jawa Timur. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. 366 hal. BBKSDA NTT. 2008. Statistik BBKSDA NTT Tahun 2008. Kupang. Heriyaningtyas, E. 2012. Melestarikan Rusa Timor di Taman Wissata
Alam Pulau Rusa Kabupaten Alor NTT. Cervus timorensis Wahana Konservasi Nusa Tenggara Timur Edisi II Tahun 2012. Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Nusa Tenggara Timur. Kupang. Indrawan, Mochamad, Richard B. Primack, Jatna Supriatna. Biologi Konservasi. 2007. Edisi Revisi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Kayat, G. S. Saragih, dan O. Hidayat. 2011. Karakterisasi Habitat, Pakan Preferensial dan Populasi Rusa Timor (Rusa timorensis timorensis Blainville) di SM Kateri. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang. Primack, R. B., J. Supriatna, M. Indrawan, dan P. Kramadirata. 1998. Biologi Ko n s e r v a s i . Ya y a s a n O b o r Indonesia. Jakarta. Saragih, G. S. dan Kayat. 2010. Eksplorasi Habitat dan Populasi Rusa Timor (Rusa timorensis timorensis Blainville) di TWA Pulau Menipo dan Taman Buru Dataran Bena, Provinsi NTT. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang Schroeder, T. O. 1976. Deer in Indonesia. Natural Conservation Department. Wegeningen. Semiadi, G. 2006. Biologi Rusa Tropis. Puslit Biologi LIPI. Bogor.
Edisi VI No.1 April 2013
9
| FOKUS |
Pipit Zebra
di Lalu Lintas Kota Kupang Oleh : Oki Hidayat
S
alah satu ciri kota yang baik adalah kota yang memiliki jalur hijau yang memadai. Itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana sebuah kota sebaiknya dibangun dan dikembangkan. Penyediaan jalur hijau merupakan sebuah keharusan untuk sebuah kota, selain menambah nilai estetika dan berfungsi sebagai paru-paru kota jalur hijau juga dapat menjadi penyerap polutan. Namun ada satu hal yang kadang luput dari perhatian yaitu fungsinya sebagai habitat bagi satwaliar khususnya burung. Jalur hijau dengan berbagai macam pohon didalamnya telah
10
Edisi VI No.1 April 2013
membentuk sebuah ekosistem yang unik. Keberadaannya di tengah hiruk pikuknya lalu lintas ternyata dapat memberikan kenyamanan bagi burung. Banyak aktivitas yang dapat dilakukan burung di jalur hijau tersebut mulai dari mencari makan, bersosialisasi dengan kelompoknya hingga melakukan proses perkembangbiakan. Bukan sesuatu yang tidak mungkin bagi burung untuk melakukan proses perkembangbiakan di jalur hijau kota. Selama jalur hijau tersebut menyediakan lokasi bersarang yang nyaman dan aman, maka proses tersebut tetap dapat berlangsung walaupun menjadi sesuatu yang agak
aneh bagi kita hingga timbul pertanyaan, "Kok bisa ya mereka bersarang disana?" aneh memang tapi b e g i t u l a h kenyataannya. Kisah pipit zebra dengan sarangnya Apa yang anda lakukan j i k a s e d a n g mengendarai sepeda m o t o r ? A d a bermacam-macam jawaban tentunya, namun dari sekian banyaknya jawaban yang terpenting dan harus dilakukan adalah fokus, agar selamat sampai tujuan. Lalu m u n c u l l a g i pertanyaan apa yang a n d a l a ku ka n j i ka membonceng sepeda motor? Jawaban pertanyaan kedua ini mungkin akan lebih banyak variasinya, karena bagi yang dibonceng dapat melakukan lebih banyak hal, seperti yang dilakukan oleh salah seorang birder senior asal Australia, Colin Trainor. Di dalam perjalanan pulang setelah pengamatan bersama di bulan Agustus 2012, beliau masih sempat memperhatikan pepohonan di jalur hijau, berharap dapat menemukan sesuatu yang menarik. Saat saya sedang fokus mengendarai motor beliau berkata: "Saya melihat sarang pipit zebra di ranting pohon di atas jalan". Dua hari kemudian berdasarkan informasi yang beliau sampaikan, saya pergi
Gambar 1. Sarang pipit zebra di Jalan Frans Seda (depan Kantor Badan Pertanahan)
mengecek keberadaan sarang. Ya...benar apa yang dikatakan Colin Trainor, saya sempat terheran-heran dengan apa yang saya lihat, ternyata sarang tersebut berada di jalur hijau, tepat di tengahtengah jalan di jalan utama di Kota Kupang. Saya heran mengapa burungburung tersebut membuat sarang di lokasi tersebut, padahal lalu lintas jalan raya sangatlah padat. Selain itu lokasi tersebut juga terdapat di depan gedung perkantoran yang ramai. Ditengah keheranan tersebut saya cukup senang dan bangga karena di Kota Kupang yang terkenal gersang ini masih dapat dijumpai biodiversitas yang luput dari perhatian. Pipit zebra (Taeniopygia guttata) atau yang dikenal pula sebagai zebra
Edisi VI No.1 April 2013
11
finch merupakan burung dari keluarga bondol-bondolan (famili Estrildidae). Secara global jenis ini tersebar di Indonesia Timur dan Australia. Secara lokal khususnya di Nusa Tenggara, tersebar mulai dari Lombok, Sumbawa, Komodo, Flores, Sumba hingga Timor, serta beberapa pulau kecil lainnya seperti Lomblen, Alor, Sabu, Rote, Semau, Wetar dan Kisar. Burung mungil berukuran 10 cm ini terlihat cantik dengan paruh merah jingga. Diberi nama pipit zebra karena warna hitam dan putih pada ekornya yang menyerupai warna zebra. Seperti burung pipit pada umumnya, pipit zebra biasa dijumpai secara berkelompok menghuni padang rumput yang kering dengan pepohonan yang jarang, tepi hutan musim, hingga lahan budidaya. Keberadaannya di jalur hijau Kota Kupang hampir tidak pernah ada yang memperhatikannya, padahal beberapa sarang terlihat kontras di sela-sela ranting pohon flamboyan, apalagi kondisi saat itu sedang musim kemarau sehingga daun dari pohon tersebut meranggas.
Lebih dari sepuluh sarang pipit zebra terdapat di jalur hijau sepanjang Jalan Frans Seda. Beberapa sarang terletak di tengah jalur hijau, beberapa yang lainnya terletak cukup ekstrim tepat di atas jalan raya. Dari sisi ornitologis ini merupakan hal yang cukup menarik, karena biasanya burung mencari daerah yang relatif sepi untuk bersarang seperti di hutan, kebun maupun ladang. Namun dalam kasus ini burung-burung tersebut bersarang di tempat yang tidak lazim yaitu di tengah jalan raya yang memiliki lalu lintas yang ramai. Berdasarkan hal ini timbullah berbagai macam pertanyaan, "Mengapa mereka tidak bersarang dengan jenis pohon yang sama di lokasi yang lebih sepi?" atau "Mengapa mereka lebih memilih di jalur hijau ?". Untuk menjawab pertanyaan tersebut pastilah dibutuhkan pengamatan dan penelitian lebih lanjut mengenai perilaku pipit zebra. Namun keberadaan burung tersebut beserta sarangnya di jalur hijau Kota Kupang paling tidak bagi masyarakat umum telah memberikan warna tersendiri dari sisi ekologis. Ternyata Kota Kupang telah menjadi habitat yang cukup nyaman bagi beberapa jenis burung. Selain itu keberadaan pipit zebra yang bermorfologi indah dapat menambah nilai estetika kota. Yang terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah maki menghimbau untuk bersamasama menjaga dan tidak m e n g g a n g g u ke b e r a d a a n satwa tersebut karena mereka juga memiliki hak untuk hidup Gambar 2. Sepasang pipit zebra dengan sarangnya (kiri: betina, kanan: jantan) dengan bebas dan nyaman.
12
Edisi VI No.1 April 2013
| FOKUS |
Tenun Ikat Tradisional Ende, Budaya Yang Masih Terjaga Oleh : Dani Pamungkas
M
ajunya teknologi dibidang tekstil ternyata tidak menyurutkan semangat penggiat tenun ikat tradisional di Kabupaten Ende untuk tetap menjaga keaslian budaya tenun ikat tradisional. Tenun ikat tradisional adalah sebuah kegiatan dimana benang-benang diikat sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah motif kemudian ditenun menjadi sebuah kain yang ditenun dengan menggunakan alat–alat tradisional,
umumnya alat-alat tenun tersebut terbuat dari kayu. Tidak hanya alatnya saja yang tradisional, namun komponen pendukung seperti bahan baku pewarna menggunakan bahan-bahan alami yang diambil langsung di alam. Saat ini banyak penenun tradisional yang tidak lagi menggunakan pewarna alami, sebagian besar penenun telah banyak yang menggunakan bahan pewarna tekstil seperti naptol karena menginginkan hasil
Edisi VI No.1 April 2013
13
yang cepat dan ekonomis. A d a l a h Ke l u r a h a n O n e l a ko , Kecamatan Ndona merupakan salah satu lokasi yang terletak di Kabupaten Ende, Flores dimana warganya masih menjaga tradisi tenun ikat tradisional secara turun temurun. Terdapat sebuah kelompok tenun ikat tradisional yang memiliki nama “Bou Sama Sama” yang memiliki arti
Kumpul Sama-Sama. Patut mendapatkan sebuah apresiasi bahwa kelompok ini dibentuk untuk mempertahankan budaya tenun ikat tradisional di tengah-tengah gempuran produk tekstil modern. Selain mempertahankan tradisi yang telah diturunkan, tenun ikat tradisional merupakan salah satu sumber pendapatan yang dapat diandalkan. Proses tenun ikat lebih banyak melibatkan kaum perempuan dibandingkan laki-laki, sedangkan keterlibatan untuk laki-laki lebih kepada mencari bahan baku untuk ramuan atau adonan pada proses pewarnaan alami, selain itu untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, para laki-laki juga bekerja bertani. Kegiatan pembuatan tenun ikat tradisional dengan menggunakan proses pewarnaan alami tidak semudah yang dibayangkan, karena membutuhkan proses dan waktu yang panjang, total
14
Edisi VI No.1 April 2013
waktu yang dibutuhkan untuk menjadi s e b u a h ka i n t e n u n i ka t d e n g a n pewarnaan alami dapat memakan waktu hingga 2 bulan. Beberapa rangkaian kegiatan tenun ikat yaitu merangkai benang-benang untuk diikat menjadi satu rangkaian, sehingga akan membentuk sebuah motif tenun khas Ende. Setelah motif terbentuk, kemudian dilanjutkan dengan pewarnaan dengan mencelupkan kain tersebut berkali-kali pada adonan pewarna alami yang telah dipersiapkan sebelumnya. Selain itu alat-alat tradisional yang digunakan beragam, seperti olawoe, alat ini digunakan untuk menggulung benang menjadi bola sebelum digunakan, meka, alat ini digunakan untuk membuat rangkaian benang yang dililitkan pada meka hingga meka tersebut tertutup oleh lilitan benang (meka memiliki ukuran yang bermacammacam), ndao go'a, alat ini dipergunakan untuk menaruh lilitan benang yang telah terbentuk di meka yang kemudian dilakukan pengikatan untuk pembuatan motif. Bahan pewarna yang digunakan dalam proses pewarnaan berasal dari bahan yang diambil dari alam, seperti warna merah alami diambil dari kulit akar mengkudu (Morinda sp), warna biru alami diambil dari daun tarum (Indigofera tinctoria) selain itu untuk memperkuat warna–warna tersebut agar tetap cerah dan tidak mudah luntur (mordant), penenun tradisional biasa menggunakan daun gugur loba manu (Symplocos fasciculata) yang ditumbuk sehingga menjadi serbuk. Masih terdapat bahanbahan alami lainnya yang digunakan dalam proses pewarnaan, seperti minyak kemiri (Aleurites moluccana) yang digunakan dalam proses perminyakan
Gambar 1. Olawoe (kiri) dan Meka (kanan), Sumber: Foto pribadi
yang dicampurkan dengan daun loba, daun pacar dan daun widuri dengan cara pencelupan hingga minyak kemiri tersebut habis, maksud dari perminyakan ini agar warna dapat cepat masuk. Tradisi tenun ikat tradisional perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, karena tradisi ini merupakan sebuah ikon yang dapat ditonjolkan untuk Kabupaten Ende dan bahkan memiliki nilai jual hingga ke mancanegara, menurut penenun tradisional di Onelako bahwa telah banyak wisatawan asing yang datang untuk melihat proses tenun ikat tradisional. Wisatawan dari Jepang, Inggris, dan Amerika pernah datang untuk menyaksikan kegiatan tenun ikat tradisional, dan wisatawan tersebut lebih menyukai tenun ikat tradisional yang menggunakan pewarna alami dibandingkan dengan penggunaan pewarna tekstil seperti naptol meskipun
warna kain tenun dengan pewarna alami tidak secerah kain tenun dengan pewarna tekstil, selain itu, hasil tenun ikat tersebut banyak dibeli untuk dibawa pulang oleh wisatawan asing sebagai buah tangan, ini berarti kain tenun ikat tradisional memberikan tambahan penghasilan bagi penenun. Harga kain tenun ikat tradisional antara Rp. 100.000,- dalam bentuk selendang dengan motif yang beragam,dan harga termahal dapat mencapai Rp. 3.000.000,- dalam bentuk sarung perempuan. Tenun ikat tradisional Ende merupakan salah satu dari sekian banyak budaya tenun ikat yang ada di Indonesia dan masih menggunakan pewarna alami. Hal ini patut mendapatkan perhatian agar budaya ini tidak hilang hanya karena tidak mampu bersaing oleh industri tekstil modern.
Gambar 2. Tenun ikat yang dijemur (kiri) dan proses pengikatan benang untuk membentuk sebuah motif (kanan), Sumber: Foto pribadi
Edisi VI No.1 April 2013
15
| RAGAM |
SERI I :
Mengenal Balai Penelitian Kehutanan Kupang
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ua puluh delapan tahun merupakan usia yang matang bagi suatu instansi. Kurun waktu tersebut menandai kiprah Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang di Nusa Tenggara Timur (NTT). Bermula pada tahun 1985, Proyek Penelitian Kehutanan Kupang dan Maluku dipimpin oleh Ir. Sutarjo Suriamiharja. Kantornya beralamat di Jalan El Tari Nomor. 9, Kupang. Beliau membidani pembangunan stasiun penelitian di beberapa di Sikumana, Oel Sonbai (Kabupaten Kupang); Bu'at (Kabupaten Timor Tengah
D
16
Edisi VI No.1 April 2013
Selatan (TTS)); Banamlaat (Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU)) dan Hambala (Kabupaten Sumba Timur). Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan R.I Nomor 095/Kpts-II/1984 tanggal 12 Mei 1984 jo. No, 241/Kpts-II/1990 tanggal 14 Mei 1990 maka Proyek Penelitian Kehutanan Kupang resmi berubah menjadi Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kantornya pun pindah ke Jalan Untung Suropati nomor 7 PO. BOX 69 Kupang. Seiring perubahan tersebut maka tugas pokok BPK Kupang adalah mengkoordinasikan dan melaksanakan penelitian serta menyajikan hasil penelitian kehutanan.
Selanjutnya pengganti Ir. Sutarjo Suriamiharja secara berturut-turut sebagai berikut: Ir. Marolop Sinaga, M.S (1993-1997); Dr. Ir Slamet Riyadi Gadas, M. For (1997-1998); Dr. Ir Maman Masyur Idris, M.S (1998-2002); Ir. Markus Kudeng Sallata, M.Sc (2002-2004). Pada tahun 2002, BPK Kupang berubah nama menjadi Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara (BP2KBNT). Perubahan nama tersebut memperluas wilayah pelayanan yang mencakup Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), NTT dan Yamdena (Maluku Selatan). Sejalan dengan hal tersebut maka sarana penelitian pun bertambah, yakni: Wanariset Rarung di Lombok dan Stasiun Penelitian di Batur. Kepala Balai pada saat itu dijabat oleh Ir. Tigor Butar-butar, M.Sc (2004-2008). Ditetapkannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.32/Menhut-II/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPK Kupang menandai sebuah babak baru. Berdasar peraturan tersebut maka BPK Kupang melaksanakan penelitian di bidang kehutanan dan konservasi alam, hutan tanaman, hasil hutan, sosial budaya, ekonomi dan lingkungan kehutanan. Kegiatan penelitian diarahkan pada bidang tehnik budidaya jenis tanaman penghasil kayu komersil, jenis tanaman reboisasi, tehnik konservasi tanah dan air, konservasi satwa endemik dan pemberdayaan masyarakat pengembangan kelembagaan. Dan selanjutnya jabatan Kepala Balai dipercayakan kepada Ir. Soenarno, M.Si (2008-2012). Pada tahun 2011, BPK Kupang mengalami penyempurnaan organisasi dan tata kerja. Hal tersebut berdasarkan
peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.38/Menhut-II/2011 tanggal 20 April 2011. Penyesuaian dilakukan terhadap 2 (dua) seksi, yaitu: seksi Pelayanan dan Evaluasi berubah menjadi Data, Informasi dan Sarana Penelitian. Sedangkan fungsi Evaluasi dilebur kedalam seksi Program, Evaluasi dan Kerjasama Penelitian. Peraturan tersebut turut merubah tugas pokok BPK Kupang guna melaksanakan penelitian bidang konservasi dan rehabilitasi, peningkatan produktivitas hutan, keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan iklim dan kebijakan kehutanan. Dan saat ini BPK Kupang dipimpin oleh Ir. Misto, MP (2012 s.d …). KELEMBAGAAN Sebagai institusi penelitian kehutanan yang menangani kawasan semi arida maka Balai Penelitian Kehutanan Kupang memiliki visi dan misi. VISI “Menjadi lembaga penyedia IPTEK Kehutanan wilayah semi arid yang unggul untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan b a g i p e n i n g k a t a n ke s e j a h t e r a a n masyarakat yang berkeadilan.” MISI Guna mewujudkan visi yang telah ditetapkan, BPK Kupang merumuskan misi sebagai berikut: 1) Meningkatkan penguasaan dan kemanfaatan IPTEK Kehutanan; 2) Memantapkan unsur pendukung kelitbangan. Berdasarkan visi dan misi tersebut maka tugas BPK Kupang adalah
Edisi VI No.1 April 2013
17
melaksanakan penelitian dibidang konservasi dan rehabilitasi, peningkatan p r o d u k t i v i t a s h u t a n , ke t e k n i k a n kehutanan dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan iklim dan kebijakan kehutanan. Selain itu, BPK Kupang berfungsi: 1. Penyusunan rencana dan program kerja serta anggaran penelitian dibidang konservasi dan rehabilitasi, peningkatan produktivitas hutan, keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan iklim dan kebijakan kehutanan 2. Pelaksanaan kerjasama penelitian dibidang dibidang konservasi dan rehabilitasi, peningkatan produktivitas hutan, keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan iklim dan kebijakan kehutanan. 3. Pelaksananaan penelitian dibidang dibidang konservasi dan rehabilitasi, peningkatan produktivitas hutan, keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan iklim dan kebijakan kehutanan. 4. Pelaksanaan pelayanan informasi dan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) hasil-hasil penelitian serta pelayanan penelitian dibidang konservasi dan rehabilitasi, peningkatan produktivitas hutan, keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan iklim dan kebijakan kehutanan. 5. Pelaksanaan pengelolaan sarana prasarana penelitian dibidang konservasi dan rehabilitasi, peningkatan produktivitas hutan,
18
Edisi VI No.1 April 2013
keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan iklim dan kebijakan kehutanan. BPK Kupang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kehutanan setingkat eselon III. Struktur organisasinya terdiri dari Kepala Balai (eselon III.a) yang dibantu seksi-seksi (eselon IV.a) meliputi: Program, Evaluasi dan Kerjasama; Data, Informasi dan Sarana Penelitian; Sub Bagian Tata Usaha dan jabatan fungsional peneliti serta teknisi litkayasa. Saat ini jumlah pegawainya sebanyak : 79 (tujuh puluh sembilan) orang. Dengan rincian 1 (satu) orang eselon III, 3 (tiga) orang eselon IV; 36 orang non struktural dan 39 orang fungsional. Dalam struktur organisasi BPK Kupang dikenal istilah Kelompok Peneliti (Kelti). Para peneliti yang memiliki kesamaan kepakaran berhimpun di dalamnya. Terdapat 3 (tiga) Kelti pada BPK Kupang, yakni: Silvikultur; Pelestarian Sumber Daya Alam; Sosial Ekonomi Kehutanan. C A PA I A N B A L A I P E N E L I T I A N KEHUTANAN KUPANG Keberadaan BPK Kupang berdampak positif bagi pemerintah daerah dan masyarakat NTT. BPK Kupang terlibat aktif dalam pembangunan kehutanan di NTT. Wujud nyata kontribusi BPK Kupang terlihat dari capaian sebagai berikut: 1. Terdistribusinya publikasi ilmiah melalui media Savana (1987 s.d 1992); Santalum (1987 s.d 1995) dan Aisuli (1987 s.d 2006). 2. Tersedianya teknik pelestarian endemic lokal seperti : Petunjuk teknik
budidaya cendana (Santalum Album Linn); Petunjuk teknik budidaya gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk), Penangkaran rusa timor (Cervus Timoresis) dan Penangkaran bayan sumba (Eclectus Rotatus). 3. Tersedianya sumber benih berkualitas dalam rangka mendukung program “Provinsi cendana”. Pada tahun 2012 kegiatan pembangunan demplot budidaya dan kebun benih tanaman hutan telah terlaksana dengan baik, yaitu telah berhasil mengoleksi materi genetik sebanyak 70 famili yang berasal dari Pulau Sumba dan Timor, telah terbangun demplot sumber benih melalui uji keturunan generasi pertama yang dilakukan berdasarkan pada materi genetik yang berhasil dikumpulkan dan disemaikan hingga menjadi bibit siap tanam yakni sebanyak 65 famili, 3 treeplot dan 5 blok sebagai ulangan. Disamping itu juga telah dilakukan pelebelan nomor pada APB cendana sebanyak 294 individu pohon. (--, 2013) 4. Te r s e d i a n y a t e k n o l o g i t e r a p a n konservasi dan rehabilitasi yang m e n d u ku n g p ro g r a m p ro v i n s i cendana. Pada tahun 2012, Tim peneliti BPK Kupang menyusun peta kesesuaian lahan cendana. Peta ini merupakan alat bantu dalam perencanaan pengembangan cendana secara terarah sehingga mengurangi resiko kegagalan. Informasi yang disajikan peta ini meliputi: administrasi lokasi, jenis tanah, kawasanm tutupan lahan, curah hujan,
kelerangan, analisa kimia-fisika tanah, persyaratan tumbuh cendana dan kondisi sosial masyarakat. Informasi tersebut disajikan seacar digital dengan pembedaan warna berdasarkan analisis kandungan hara tanah yang dibutuhkan cendana. (---, 2012) 5. Te r s e d i a n y a t e k n o l o g i t e r a p a n pewarnaan alami. Tim peneliti BPK Kupang memformulasikan penguat warna dari ekstrak loba. Ekstrak ini dapat diaplikasikan pada pemberian warna kain dengan bahan pewarna alami. Takaran konsentrasi untuk warna merah dari akar mengkudu (Morinda cirifolia L) dan warna biru daun fermentasi daun taum (Indigovera tinctoria) sebanyak 20% berat/volume. Sedangkan warna kuning dari serbuk kulit nangka (Artocarpus Heterophyllus) sebanyak 50% berat/volume. Hasil pengujian berdasarkan SII nomor SII.0115-75 dan SII.0119-75 menunjukkan nilai 5 (Baik sekali). (---, 2012). Capaian tersebut menjadi pelecut bagi BPK Kupang guna senantiasa berinovasi dan menghasilkan karya yang berguna bagi pembangunan kehutanan di Nusa Tenggara. (pinusa) DAFTAR PUSTAKA ---.2013. Laporan Akuntabilitas Instansi Pe m e r i n t a h B a l a i Pe n e l i t i a n Kehutanan Kupang Tahun 2012. Kupang. --.2012. 20 Seri 3 Iptek Kehutanan. Jakarta, Badan Litbang Kehutanan.
Edisi VI No.1 April 2013
19
| KILAS BERITA |
Hari Bhakti Rimbawan ke-30, 16 Maret 2013 “Memperkokoh Jiwa Korsa Rimbawan dalam Mewujudkan Pelayanan Prima” Peringatan Hari Bhakti Rimbawan ke-30 tahun 2013 diselenggarakan pada tanggal 13 Maret 2013 s/d 10 April 2013 oleh Rimbawan Nusa Tenggara Timur ( N TT ) d e n g a n m e n g a d a ka n p e n a n a m a n , pertandingan olah raga, dan jalan sehat. Tema yang diusung pada peringatan tahun 2013 adalah “Memperkokoh Jiwa Korsa Rimbawan dalam Mewujudkan Pelayanan Prima”. Puncak Peringatan Hari Bhakti Rimbawan kali ini ditandai dengan upacara pada tanggal 18 Maret 2013 di halaman Kantor Dinas Kehutanan NTT, yang dihadiri rimbawan sen-NTT dan dipimpin oleh Gubernur NTT, Frans Lebu Raya. Jadikanlah peringatan ini sebagai wahana kontemplasi untuk mengukur sejauh mana upaya yang telah dilaksanakan dan hasil yang dicapai guna mewujudkan pengelolaan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Demikian sambutan tertulis
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Zulkifli Hasan yang dibacakan Gubernur pada upacara tersebut. Gubernur menegaskan ada satu tekad bersama yang sedang dijalankan oleh Pemerintah Daerah Provinsi NTT saat ini yaitu menjadikan NTT sebagai Provinsi Cendana. “Mari kita tanam cendana, wangikan NTT kembali” ucapnya berharap. Pada kesempatan itu juga dilakukan penyerahan Piagam Purna Karya Wana Bakti oleh Gubernur Frans Lebu Raya kepada Nicodemus B. Blegur, Elisabet Lali Ndaparoka serta Bernard A. Pah dan diakhiri dengan pemberian anakan cendana secara simbolis kepada perwakilan Universitas PGRI NTT, Pramuka dan kelompok masyarakat peduli hutan. Setelah upacara peringatan acara dilanjutkan dengan donor darah dan berbagai perlombaan dan pembagian doorprize.
5th IndoGreen Forestry Expo 2013, 4 - 7 April 2013 Assembly Hall, Jakarta Convention Center, Jakarta ”Sustainable Growth with Equity in Forestry Sector Toward 2020” Untuk kelima kalinya Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang mengikuti ajang pameran ”IndoGreen Forestry Expo”. IndoGreen Forestry Expo adalah pameran kehutanan terbesar di Indonesia yang diselenggarakan setiap tahun sejak tahun 2009. Pameran ini menampilkan potensi yang sangat besar pada sektor kehutanan, pengelolaan, pemanfaatan dan pelestarian hutan, hasil hutan baik kayu maupun non kayu, produk olahannya dan peralatan pemanfaatan hutan. The 5th IndoGreen Forestry Expo yang berlangsung selama 4 hari dari tanggal 4 - 7 April 2013 tersebut, mengambil tema ”Sustainable Growth with Equity in Forestry Sector Toward 2020”
20
Edisi VI No.1 April 2013
dan mendukung upaya merealisasikan Konsep Gaya Hidup yang Hijau Menuju Indonesia Hijau (Green Living Concept Towards Green Indonesia). Pameran yang berlangsung di Assembly Hall JCC Senayan, Jakarta ini dibuka oleh Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan. Peserta pameran sebanyak 225 stand yang terdiri dari kementrian dan lembaga terkait, BUMN dan BUMS, pelaku bisnis sektor pertambangan dan migas, kehutanan, Pemda, LSM serta organisasi pemerhati kehutanan. BPK Kupang menampilkan hasil-hasil penelitian dalam bentuk poster, leaflet dan contoh-contoh produk.
PETUNJUK BAGI
PENULIS BAHASA Naskah artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia, memuat tulisan bersifat popular/semi ilmiah dan bersifat informatif.
FORMAT Naskah diketik diatas kertas kuarto putih pada satu permukaan dengan 2 spasi. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong minimal 3,5 cm.
JUDUL Judul dibuat tidak lebih dari 2 baris dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama penulis dicantum-kan dibawah tulisan.
FOTO Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi judul dan keterangan pada gambar.
GAMBAR GARIS Grafik atau ilustrasi lain yang berupa gambar diberi garis harus kontas dan dibuat dengan tinta hitam. Setiap gambar garsi harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantum-kan tahun penerbitan, sebagai berikut : Allan, J.E. 1961. The Determination of Copper by atomic Absorbstion of spectrophotometry. Spec-tophotometrim Acta (17), 459-466.