CATATAN DISKUSI:
STRATEGI PEMBIAYAAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PEMERINTAHAN SBY-KALLA* Oleh: Piter Abdullah** Pengantar Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan - Bank Indonesia (PPSK-BI) setiap dua bulan (dwibulanan) menyelenggarakan satu forum diskusi yang biasa disebut Roundtable discussion PPSK-BI. Forum diskusi ini ditujukan sebagai sarana bertemunya para ahli di bidang terkait guna mengkaji, mendiskusikan, sekaligus mencari dan menetapkan langkahlangkah proaktif sebagai solusi bagi permasalahan perekonomian nasional. Pada tanggal 2 Mei 2005 yang lalu, PPSK-BI telah menyelenggarakan Roundtable Discussion edisi ke dua tahun 2005 dengan mengambil tema “Strategi Pembiayaan Pembangunan Untuk Mencapai Sasaran Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”. Roundtable Discussion ini menghadirkan pembicara Dr. Raden Pardede yang mewakili Menko Perekonomian Aburizal Bakri, Ir. Bambang Prijambodo dari Bappenas, serta Prof. Dr. Didik. J. Rachbini sebagai pengamat ekonomi. Diskusi dipandu oleh Dr. Tarmiden Sitorus, direktur PPSK-BI dan dihadiri oleh pejabat pemerintahan, pengamat, akademisi, dan praktisi ekonomi Indonesia. Hasil diskusi dicoba dirangkum dalam tulisan singkat ini.
Permasalahan, Target, dan Kebijakan Pembangunan SBY-Kalla Pada Roundtable Discussion PPSK-BI edisi pertama bulan Pebruari yang lalu Menteri Perencanaan Pembangunan / Ketua Bappenas, Dr. Sri Mulyani, secara lugas telah menjelaskan permasalahan utama, target, dan kebijakan pembangunan di bidang ekonomi yang telah disusun oleh pemerintahan SBY-Kalla. Apa yang telah disampaikan oleh Dr. Sri Muljani
kemudian ditegaskan kembali dalam Roundtable Discussion PPSK-BI edisi kedua oleh Dr. Raden Pardede, dan Ir. Bambang Prijambodo. Ketiganya menyatakan bahwa stabilitas ekonomi makro sebagaimana ditunjukkan oleh indicator nilai inflasi yang rendah, nilai tukar yang stabil, dan tingkat suku bunga yang semakin menurun, merupakan modal yang sangat besar bagi pemerintahan SBY-Kalla dalam menetapkan
arah dan target pembangunan
khususnya sampai dengan tahun 2009. Namun demikian, disadari juga bahwa stabilitas ekonomi makro tersebut masih jauh dari cukup untuk mencapai apa yang telah dijanjikan dalam masa-masa kampanye SBY-Kalla di pertengahan tahun 2004. Beberapa hal yang masih dirasakan sebagai permasalahan besar antara lain adalah masih bertumpunya pertumbuhan ekonomi pada konsumsi, tingkat investasi yang masih dapat dikatakan rendah (walaupun ada kecenderungan meningkat), dan sebagai akibat kedua factor tersebut pertumbuhan ekonomi baru dapat tumbuh cukup baik (mencapai 5%) sejak tahun 2004 setelah beberapa tahun mengalami pertumbuhan yang rendah. Lebih lanjut dikemukakan beberapa tantangan di bidang perekonomian yaitu pengangguran, kemiskinan, rendahnya pelayanan umum, dan minimnya investasi. Dalam hal pengangguran, diketahui bahwa rendahnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan kemandekan penciptaan lapangan kerja baru di sector formal, dan pada gilirannya menyebabkan peningkatan tingkat pengangguran terbuka hingga mencapai 9,7% dari total angkatan kerja pada tahun 2004. Sementara itu, tidak tersedianya lapangan kerja di sector formal, menyebabkan tenaga kerja yang bekerja di sector informal semakin tinggi. Dalam hal kemiskinan, jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 mencapai 36,1 juta jiwa atau sekitar 16,6% dari seluruh penduduk Indonesia. Besarnya penduduk miskin ini diperburuk oleh minimnya kapasitas dan kualitas pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Sementara
itu, tingkat investasi yang sangat dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi guna menyelesaikan permasalahan pengangguran dan kemiskinan adalah sangat minim. Rendahnya tingkat investasi antara lain disebabkan oleh buruknya iklim investasi. Dengan menyadari tantangan di bidang perekonomian yang begitu besar pemerintahan SBY-Kalla menetapkan sasaran pokok pembangunan lima tahun 2004-2009 sebagai berikut: •
Menurunkan tingkat pengangguran terbuka dari 9,7% dari angkatan kerja (9,9 juta jiwa) di tahun 2004 menjadi 5,1% (5,7 juta jiwa) pada tahun 2009.
•
Mengurangi tingkat kemiskinan dari 16,6% dari total penduduk (36,1 juta jiwa) menjadi 8,2% (18,8 juta jiwa) di tahun 2009.
•
Untuk menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan tersebut, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi 5,5% pada tahun 2005 hingga 7,6% pada tahun 2009 (rata-rata 6,6 % pertahun selama periode 2004-2009). Pertumbuhan ekonomi ini harus berkualitas, dimana setiap persen pertumbuhannya dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Untuk mewujudkan sasaran pembangunan diatas diperkirakan memerlukan nilai
investasi yang sangat besar yaitu sekitar Rp. 4,1 ribu triliun atau 2,2 kali lipat dibandingkan nilai investasi selama periode 2000 - 2004. Bila dilihat sebagai rasio terhadap pendapatan nasional bruto (PNB), investasi yang dibutuhkan naik dari 21,5% pada tahun 2004 menjadi sekitar 29% pada tahun 2009. Kebutuhan investasi di atas memperlihatkan bahwa sasaran pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintahan SBY-Kalla dapat dikatakan benar-benar ambisius. Tercapai atau tidaknya sasaran pembangunan SBY-Kalla akan sangat bergantung kepada keberhasilan pemerintahan SBY-Kalla untuk membiayai kebutuhan investasi tersebut.
Perlunya Paradigma Baru Pembiayaan Pembangunan Pemerintahan SBY-Kalla nampaknya sangat menyadari keterbatasannya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan yang sangat besar tersebut. Namun demikian disadari pula bahwa meskipun sulit tetapi setidaknya ada harapan untuk mencapainya. Pembiayaan pembangunan sesungguhnya sangat memungkinkan terutama mengingat potensi tabungan dalam negeri meskipun kecil namun pada kenyataannya masih berada di atas tingkat investasi. Selisih antara tabungan dan investasi (saving investment gap) pada tahun 2004 masih bernilai positif sekitar 3,1% dari PNB yang berarti terdapat potensi investasi yang tidak termanfaatkan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa sesungguhnya persoalan bukan pada pendanaan pembangunan tetapi lebih kepada iklim investasi. Meskipun pada tahun 2004 yang lalu masih ada potensi tabungan yang dapat dimanfaatkan, tetapi seiring dengan semakin tingginya kebutuhan investasi selama 5 tahun ke depan, maka saving investment gap diperkirakan akan semakin kecil (negatif) dan untuk mengatasi hal ini diperlukan langkah-langkah terobosan. Untuk itulah pemerintahan SBYKalla kemudian mengembangkan strategi pembiayaan pembangunan yang pada intinya terdiri dari dua pendekatan. Pertama, mengembangkan paradigma baru pembiayaan pembangunan dimana peran swasta lebih ditingkatkan. Pemerintah yang selama ini memerankan fungsi pemilik, pengkontrol atau bahkan pelaksana berbagai proyek pembangunan akan dialihkan fungsinya menjadi
fasilitator proyek. Sebagai contoh, dalam hal pembangunan dan
pengelolaan jalan tol yang selama ini selalu dikontrol atau bahkan dilaksanakan langsung oleh pemerintah pada masa pemerintahan SBY-Kalla ini akan dimungkinkan untuk dilaksanakan oleh pihak swasta.
Peningkatan peran swasta dalam kegiatan investasi hanya dapat diwujudkan dengan penciptaan iklim yang kondusif yang diikuti mobilisasi sumber-sumber dana khususnya dari dalam negeri. Untuk penciptaan iklim yang kondusif bagi kegiatan investasi, pemerintah telah menyusun RUU tentang investasi yang antara lain akan mengatur agar waktu perizinan investasi dapat dikurangi dari 150 hari (kedua paling lama di Asia setelah Laos) menjadi 30 hari (relative sama dengan Malaysia dan Thailand). Pemerintah juga merencanakan untuk memberikan pengurangan tariff pajak (Tax Rate Reduction) atau bahkan pengampunan pajak (tax amnesty). Sementara itu, dalam rangka memobilisasi sumber-sumber dana dari dalam negeri, pemerintahan akan terus mengembangkan pasar modal dan lembaga-lembaga keuangan seperti perbankan, dana pensiun dan asuransi. Strategi pembiayaan kedua yang dikembangkan pemerintahan SBY-Kalla adalah mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan pemerintah dan menggunakannya secara efektif. Optimalisasi sumber-sumber penerimaan pemerintah antara lain dilakukan dengan jalan reformasi perpajakan. Pengurangan tariff pajak yang ditempuh untuk memperbaiki iklim investasi harus diimbangi dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Sangat disadari bahwa potensi penerimaan pajak masih belum termanfaatkan secara baik. Meskipun ada komitmen untuk melanjutkan upaya mengurangi deficit fiscal tetapi dengan menimbang besarnya kebutuhan investasi pemerintahan SBY-Kalla memutuskan untuk menunda target anggaran berimbang dari semula direncanakan dicapai pada tahun 2004 (Propenas 2000-2004) diperpanjang menjadi tahun 2008 (RPJM 2004-2009). Untuk menutup deficit fiscal pemerintahan SBY-Kalla akan terus memanfaatkan pinjaman luar negeri dengan
lebih berorientasi kepada pinjaman lunak dan hibah. Selain itu pemanfaatan pinjaman luar negeri akan benar-benar diarahkan kepada sector-sektor yang produktif. Disisi lainnya, menyadari bahwa kemampuan anggaran pemerintah adalah sangat terbatas pemerintah akan berupaya untuk menggunakan dana pemerintah seefektif mungkin. Dana pemerintah yang minim hanya akan digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan yang tidak dapat dilakukan oleh masyarakat atau swasta serta memberi dampak luas terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam hal pembangunan infrastruktur misalnya, dengan peningkatan peran swasta maka dana pemerintah hanya akan dipergunakan untuk membangun infrastruktur di wilayah-wilayah yang tidak dimungkinkan untuk dibangun oleh swasta seperti pembangunan infrastruktur pedesaan.
The Devils are on the Details Menanggapi strategi pembiayaan pembangunan pemerintah yang dikemukakan oleh Dr. Raden Pardede dan Ir. Bambang Prijambodo, Prof. Didik J. Rachbini menyatakan kekhawatirannya bahwa pembangunan akhirnya hanya dilihat dari satu dimensi. Menurut Prof. Didik. J. Rachbini permasalahan pembangunan termasuk strategi pembiayaannya merupakan permasalahan multidimensi dan berhasil tidaknya pembangunan akan sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah melihat persoalan dan merumuskan kebijakan secara multidimensi pula. Sebagai contoh, pembangunan dan strategi pembiayaan perlu dilihat dari dimensi local dengan melibatkan secara penuh pemerintah daerah yang semakin berpengaruh pasca diterapkannya UU otonomi daerah. Senada dengan Prof. Didik J. Rachbini, beberapa peserta diskusi berpendapat bahwa kebijakan dan strategi pembiayaan pembangunan yang dikembangkan pemerintahan SBY-
Kalla di dalam tataran wacana dapat dikatakan cukup baik. Namun demikian, sebagaimana dinyatakan
oleh
Prof. Dr. M. Sadli,
persoalannya kemudian
adalah
bagaimana
menuangkannya ke dalam tataran praktis. Prof. Dr. M. Sadli mengingatkan bahwa the devils are on the details, yang seringkali mengacaukan suatu rencana yang baik justru ada pada halhal praktis yang seringkali sepele dan diabaikan. Termasuk dalam hal ini adalah potensi masalah yang ada pada upaya peningkatan peran swasta dan optimalisasi sumber-sumber dana dalam negeri. Dr. Sugiarso Safuan dari FE UI mengingatkan pula bahwa keinginan pemerintah untuk terus mengandalkan perbankan tanpa pengembangan lembaga-lembaga keuangan non bank seperti modal ventura dan pasar modal yang berarti membiarkan berlangsungnya ketimpangan di sector keuangan akan dapat meningkatkan risiko terjadinya kembali krisis perbankan atau bahkan krisis ekonomi.
Penutup Dari pemaparan Dr. Sri Muljani, Dr. Raden Pardede, dan Ir. Bambang Prijambodo, pada kesempatan roundtable discussion PPSK-BI edisi pertama dan kedua tahun 2005, dapat disimpulkan bahwa pemerintahan SBY-Kalla benar-benar berupaya untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang saat ini kita hadapi. Identifikasi masalah, penetapan target, penyusunan kebijakan, dan pengembangan strategi pembiayaan telah disusun secara komprehensif, sistematis, dan logis. Keberhasilan pembangunan oleh pemerintahan SBYKalla selanjutnya akan sangat ditentukan oleh penerapan di lapangan dan dalam hal ini katakata bijak menjadi sangat relevan, bukan batu besar yang menyebabkan banyak orang terjatuh melainkan batu-batu kecil. Semoga bermanfaat.
***
* Dirangkum dari hasil Roundtable Discussion PPSK-BI edisi pertama dan kedua ** Penulis adalah peneliti di PPSK BI. Rangkuman merupakan hasil interpretasi pribadi dan tidak harus mencerminkan pendapat Bank Indonesia.
Tabel Permasalahan ekonomi, Target dan Kebijakan, Serta Strategi Pembiayaan Pembangunan Pemerintahan SBY-Kalla Permasalahan dan Tantangan
Target Pembangunan
Kebijakan Pembangunan
• Pengangguran: Pengangguran terbuka (2004) = 9,7% dari total angkatan kerja • Kemiskinan: Jumlah Penduduk miskin (2004) = 36,1 juta jiwa (16,6% dari seluruh penduduk) • Pelayanan Umum (pendidikan dan kesehatan) buruk
• Menurunkan pengangguran dari 9,7% (2004) menjadi 5,1% (2009) • Mengurangi kemiskinan dari 16,6% (2004) menjadi 8,2% (2009) • Meningkatkan Pertumbuhan ekonomi yang efektif membuka lapangan kerja, dari 5,1% (2004) menjadi 7,6% (2009) atau rata-rata 6,6% per tahun
• Meningkatkan nilai investasi dari Rp. 491,3 triliun (2004) menjadi Rp. 1.001 triliun (2009). • Menurunkan ICOR. • Memperbaiki iklim investasi (RUU Investasi, reformasi Pajak, infrastruktur, dll)
Strategi Pembiayaan Pembangunan • Paradigma baru, peningkatan peran swasta atau Public Private Partnership (PPP) 15% pemerintah, 85% swasta. • Optimalisasi penerimaan pemerintah, melalui Intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, pinjaman LN. • Peningkatan Efektivitas Dana Pemerintah, focus kepada proyek yang tidak dapat dibangun swasta
Sumber: Diolah dari bahan presentasi Dr. Sri Muljani, Dr. Raden Pardede, dan Ir. Bambang Prijambodo, pada Roundtable Discussion PPSK-BI edisi pertama (Pebruari) dan edisi kedua (Mei) tahun 2005.