CATATAN-CATATAN TERHADAP HASIL Rumusan AMANDEMEN pertama dan kedua UUD 1945
Maret 2001 KONSORSIUM REFORMASI HUKUM NASIONAL (KRHN)
A. Pengantar
1
Reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi causa prima penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya suksesi kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis sosial-politik, bobroknya managemen negara yang mereproduksi KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum akibat telah dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia 1945. Itu terjadi karena fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian bergantung pada penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959 – 1966) dan orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan UUD yang all size itu akan berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya. Keberadaan UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian menuju kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu bangsa. Realitas yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana cara mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang melakukannya serta dalam situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik dan terpenting dari proses perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan dapat terlihat apakah hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga masyarakat, dan apakah telah menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia kedepan. Wajah Indonesia yang demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan. Dengan melihat kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah mencerminkan kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat berarti bagi perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi menjadi monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan. Catatan-catatan dibawah ini akan mencoba mengupas kelemahan-kelemahan dan beberapa hal yang mungkin diduga dapat menimbulkan persoalan. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa pada akhirnya, dari penilaian hasil tersebut akan memunculkan pertanyaan yang harus dijawab bersama, apakah benar dan tepat cara serta siapa yang melakukan perubahan itu? Atau dengan kata lain
1
2
sampai seberapa besar badan yang diberi otoritas melakukan perubahan memahami tuntutan perubahan mendasar dan mengambil langkah perubahan itu sebagai keputusan politiknya. B. Tinjauan Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan/lembaga politik yang diposisikan “tertinggi” karena dianggap representasi dari kedaulatan rakyat adalah badan yang dianggap memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD. Hal ini didasari pula pada ketetentuan pasal 37 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “untuk melakukan perubahan UUD ditentukan dan disetujui sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang hadir”. Ditambah ketentuan lain yang terdapat dalam pasal 3 UUD 1945 bahwa tugas dari MPR adalah menetapkan UUD, disamping memilih dan menetapkan Presiden dan Wapres serta membuat GBHN. Sepanjang reformasi dalam sidang-sidangnya, MPR telah mengubah UUD 1945 sebanyak dua kali. Pertama dalam Sidang Umum tahun 1999, sedangkan perubahan selanjutnya yang kedua dilakukan dalam Sidang Tahunan 2000. Pada perubahan yang pertama, MPR mengubah 9 pasal UUD 1945 yang berkenaan dengan soal kewenangan eksekutif-legislatif serta pembatasan masa jabatan eksekutif (presiden). Sedangkan pada perubahan yang kedua, MPR tidak hanya mengubah tapi juga menambah muatan materi yang terkandung didalamnya. Perubahan dan penambahan itu menyangkut soal wilayah negara, warga negara dan penduduk, hak asasi manusia, kewenangan DPR, Pemerintahan Daerah (otonomi daerah), Pertahanan dan Keamanan Negara, Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu kebangsaan. Diakui bahwa dalam perubahan UUD 1945 itu ada beberapa kemajuan, terutama dengan dimuatnya soal hak asasi manusia. Sebagaimana hakikat dari konstitusionalisme yang mengharuskan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM diatur dalam konstitusi. Selain itu dengan adanya pembatasan kewenangan dan masa jabatan bagi eksekutif (presiden), telah mengurangi dominasi dari pemerintahan yang eksekutif heavy. Dan sebagai perimbangannya diberikan kewenangan-kewenangan kepada DPR, sebagai upaya untuk memberdayakan legislatif terutama dalam fungsinya melakukan kontrol terhadap eksekutif. Perubahan ini berangkat dari pengalaman pemerintahan yang terjadi selama ini dengan sangat kuatnya eksekutif (presiden) dan lemahnya DPR, sehingga “tidak ada” kontrol sama sekali dari DPR terhadap kinerja pemerintahan. Pengalaman dengan pemerintahan yang didominasi eksekutif dan tiadanya kontrol terhadapnya telah berlangsung lebih dari 32 tahun dan itu menimbulkan akibat-akibat seperti yang dialami saat ini. Dengan penambahan kewenangan kepada DPR, terutama dalam soal fungsi legislasi dan pengawasannya dapat dikatakan telah terjadi pergeseran bandul politik ke arah legislatif. Namun pergeseran itu sendiri, masih belum menampakkan secara jelas sistem pemerintahan yang akan diterapkan. Mengingat hanya ada dua model pemerintahan yang dianut negara-negara demokrasi lainnya, antara sistem pemerintahan presidensiil atau parlementer. Indonesia dikategorikan menganut sistem percampuran (quasi) antara keduanya berdasarkan
2
3
distribusi kekuasaan bukan atas dasar pemisahan kekuasaan. Sistem dengan pencampuran semacam nampaknya akan masih menyisakan persoalan-persoalan, jika dikaitkan dengan kejelasan masing-masing hak dan kewenangan lembaga-lembaga negara serta relasi (check and balances). Perubahan dan penambahan kewenangan kepada DPR itu nampaknya hanya memindah masalah baru dan memperpanjang krisis politik, karena tidak berangkat dari kerangka dasar disertai pemahaman yang jelas. Kesemuanya masih menggantung, apalagi perubahan itu juga tidak dilakukan secara bersamaan, masih menyisakan soal yudikatif (kekuasaan kehakiman yang mandiri) yang belum diubah yang selama ini juga tidak lepas dari dominasi eksekutif. Satu hal mendasar lagi adalah tentang keberadaan MPR yang dalam posisinya sebagai lembaga tertinggi negara membuat rancu sistem pemerintahan yang demokratis, karena perannya juga seperti lembaga legeslatif namun ia bukan lembaga legeslatif. MPR yang dimaknai sebagai representasi kekuasan tertinggi rakyat dan dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan lainnya menjadi super body yang tidak dapat dikontrol. Meskipun telah ada pemikiran dan kehendak dari masyarakat untuk merekontruksi kembali posisi dan peran MPR --terkait dengan keinginan pemilihan presiden secara langsung --- menjadi sistem bikameral atau meniadakannya sama sekali, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 itu belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut MPR. Disamping mengubah dan menambah materi dalam UUD 1945, MPR juga telah memutuskan untuk tidak mengubah Pembukaan, Sistem Pemerintahan Presidensiil dan Konsep Negara Kesatuan. Keputusan untuk tidak mengubah ketiga hal tersebut secara politis memang terkesan telah menjadi kehendak mayoritas bangsa. Namun keputusan itu tidak berangkat dari kenyataan yang ada dan disertai pemahaman dan penerimaan publik yang rasional. MPR terlalu tergesa-gesa menutup ruang publik yang hendak mempertanyakan kembali esensi dari ketiganya dan publik dipaksa untuk menerima sesuatu yang diluar kehendak dan pada kenyataannya adalah berbeda. Ruang publik itu telah dipenjara secara politis oleh MPR. Dalam soal negara kesatuan misalnya, masyarakat telah menggugat konsep negara kesatuan dan ingin menggantikannya dengan negara federal untuk menghindar dari sentralisasi dan eksploitasi yang selama ini terjadi dalam negara kesatuan. Sedangkan penetapan sistem pemerintahan presidensiil, pada kenyataannya masih ada unsur-unsur pemerintahan parlementarian yang dianut dan diterapkan. Bahkan kalau mau jujur saat ini model pemerintahan yang diterapkan sudah condong jauh kearah parlementarian. Terhadap soal pembukaan, MPR tidak memberikan alasan yang tepat dan cukup rasional diterima publik. Alasan yang dikemukakan lebih menekankan pada penghargaan terhadap para pendiri bangsa yang telah merumuskan itu, kekhawatiran bubarnya negara kalau itu diubah dan adanya deologi negara pancasila dalam pembukaan 1 . Sesungguhnya kekhawatiran bubarnya negara jika pembukaan diubah tidaklah beralasan, karena secara historis para founding fathers yang merumuskan pembukaan itu juga telah mengubahnya dalam pembukaan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Dan perubahan pembukaan itu ternyataa tidak menyebabkan bubarnya negara. 1
Hal ini berkaitan dengan adanya keinginan untuk memasukkan kembali 7 kata “…dengan keharusan menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya”, sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta untuk dimasukkan ke dalam Pembukaan. Keinginan ini disampaikan terutama dari kalangan Ormas Islam dan beberapa fraksi di MPR (PPP, PBB dan PDU).
3
4
Dengan “ditutupnya” ruang publik untuk dapat menerima ketiga hal tersebut secara obyektif dan rasional, dikhawatirkan akan tetap menimbulkan persoalan dikemudian hari. Ibaratnya seperti bom waktu yang setiap saat bisa meledak, tuntutan dan gugatan terhadap pembukaan, sistem presidensiil dan negara kesatuan bisa muncul sewaktu-waktu. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa hasil perubahan UUD 1945 baik yang pertama ataupun kedua tidak menunjukkan perubahan yang mendasar bagi bangunan negara Indonesia yang demokratis kedepan. Mengingat peran konstitusi sebagai sumber dari segala sumber hukum dan sebagai kerangka kerja demokrasi yang mengatur dan menentukan posisi serta hubungan lembaga presiden, legeslatif dan yudikatif, juga pemerintahan yang bersifat desentralistik, hasil perubahan-perubahan UUD 1945 belum memberikan jaminan soal itu. Lebih dari itu, hasil perubahan UUD 1945 belum menjadikan identitas nasional baru yang sesuai dengan kebutuhan, aspirasi dan semangat yang berkembang saat ini. C. Catatan- CatatanTerhadap Hasil Perubahan Catatan-catatan ini ditujukan untuk dapat melihat secara komprehensif dan menelaah lebih jauh beberapa kekurangan-kelemahan dari hasil amandement UUD 1945. Guna memudahkan pemahaman, catatan dibawah ini dibuat sistematikanya berdasarkan tema/issue (bab perubahan) yang dilakukan, yakni sebagai berikut;
1. Hak Asasi Manusia (HAM) Dimuatnya materi soal hak asasi manusia dalam perubahan UUD 1945, merupakan satu langkah maju, karena sebelumnya dalam UUD 1945 dapat dikatakan “tidak ada” sama sekali materi atau bab tersendiri soal HAM. Dirumuskannya materi HAM dalam bab tersendiri diharapkan akan memberikan perlindungan dan jaminan bagi pelaksanaan HAM di Indonesia. Rumusan HAM ini dibuat di Sidang Tahunan MPR 2000 dalam Bab XA Pasal 28 Perubahan Ke-II UUD 1945 yang perumusannya terdiri dari 10 pasal (A – J). Beberapa persoalan-kelemahan yang terdapat dalam rumusan HAM ini adalah:
Rumusan-rumusan HAM ini, bila dijabarkan keseluruhan, secara substansial rumusan-rumusan yang dihasilkan tidak mengelaborasi secara rinci seluruh hak asasi manusia, sehingga terkesan bahwa Anggota MPR tidak dilandasi pemahaman yang mendalam tentang esensi HAM yang harus diatur dalam UUD. Hal ini terlihat pula dalam contoh hak yang diberikan untuk warga negara dalam pasal 28 D (3) “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan “ hanya diatur dalam satu pasal. Padahal masih banyak lagi sesungguhnya hak-hak yang hakikatnya diberikan kepada warga negara sebagai konsekuensi kalau UUD adalah hukum dasar yang substansinya antara lain mengenai bagaimana hubungan antara negara dan warga negara. Apabila ditinjau dari tujuan negara sebagaimana diatur dalam Pembukaan UUD maka ada hak-hak yang secara khusus hanya dimiliki dan diberikan
4
5
oleh negara hanya untuk warganegara. Oleh karena itu, ketentuan hak asasi warga negara ini harus diatur serta dalam mengelaborasi ketentuan mengenai hak asasi manusia perlu kiranya dibedakan antara hak yang diberikan kepada setiap orang dengan hak yang diberikan kepada warga negara.
Penyusunan pasal-pasal HAM itu juga kurang sistematis dan tidak didasari pada pembidangan HAM dalam hak politik, hak sipil, hak ekonomi, hak sosial-budaya. Hal ini dapat dilihat, misalnya dipisahkannya hak bekerja dengan hak memilih pekerjaan, begitu pula hak pendidikan dipisahkan dengan hak memilih pendidikan dan pengajaran. Malah perumusannya disatukan atau dicampurbaur antara satu soal dengan soal lain. Bahkan dalam beberapa soal perumusannya disebut disebut dua kali yakni. Misalnya soal penyiksaan dalam pasal 28 G (2) dan 28 I (1), demikian pula soal hak beragama (pasal 28E ayat 1 dan pasal 28I ayat 1) dan hak hidup (pasal 28A dan pasal 28I ayat (1).
Rumusan – rumusan HAM itu juga tidak sesuai dengan Deklarasi Umum HAM atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), masih rancu, menimbulkan ketidakjelasan dan persoalan/kontroversi baru, hal ini dapat dilihat dari rumusanrumusan Rumusan pasal 28D (2) yang berbunyi “setiap orang berhak untuk bekerja…” rumusan semacam itu ada pemikiran berusaha untuk menghilangkan/ menyembunyikan tanggungjawab negara. Berbeda esensinya dengan rumusan yang berbunyi “setiap orang berhak atas pekerjaan…”, seperti yang tertuang dalam pasal 23 ayat 1 DUHAM. Demikian pula dalam rumusan pasal lainnya seperti berhak untuk mendapat pendidikan (pasal 28 C ayat 1) berhak untuk memperoleh informasi (pasal 28 F). Seharusnya adalah kewajiban negara untuk melindungi apa-apa yang telah diakui sebagai hak asasi seseorang bukan malah menyembunyikannya.
Pasal 28I (3) yang berbunyi “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Rumusan ini mengundang pertanyaan apa yang dimaksud dengan “dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban itu”? Penggunaan kata ‘tradisional’ lebih mengarah kepada pengertian yang sempit, yang hanya berkaitan dengan identitas budaya tidak menerjemahkan secara lebih luas mencakup hak ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Dalam perumusan pasal 28 I (1) dimasukkan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (prinsip non retroaktif) yang lengkapnya berbunyi “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Adanya penegasan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut karena belum ada aturan ketentuan sebelumnya atau dikenal dengan asas nonretroaktif telah mengadposi secara mentah Konvensi Hak Sipil dan Politik tanpa mengetahui prinsip dasarnya. Prinsip itu memang merupakan prinsip hukum pidana modern yang oleh sistem hukum internasional ditempatkan sebagai hak yang bersifat sekunder ketika berhadapan dengan asas keadilan dan adanya kejahatan HAM berat, sebagaimana dimaksud Konvensi Geneva 1949.
5
6
Rumusan itu telah memutlakkan prinsip non retroaktif dan tidak membuka peluang bagi digunakannya prinsip-prinsip hukum internasional seperti yang tertuang dalam pasal 11(2) DUHAM dan pasal 15 (1-2) ICCPR (Konvensi Hak Sipil dan Politik). Berarti, rumusan itu tidak menyerap seluruh aspirasi dalam DUHAM dan ICCPR yang mengakui adanya kewenangan untuk mengadili para pelanggaran HAM masa lalu, yang dianggap sebagai kejahatan menurut hukum nasional maupun internasional. Meskipun ada klausul lain dalam pasal 28 J (2) yang menyatakan wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, hal ini bisa berdampak serius mengingat bahwa penempatan pasal ini ada dalam konstitusi yang merupakan hukum tertinggi yang tidak mungkin dikalahkan peraturan perundangan dibawahnya. Oleh karena itu keberadaan pasal itu bukan untuk melindungi para pelanggar HAM melainkan untuk tempat persembunyian para pelaku pelanggaran HAM. 2 Perumusan pasal ini juga dipandang sangat lemah, dan menjadi dilematis apabila diterapkan. Artinya, dengan memasukkan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (non derogable) kedalam UUD, jika dikaitkan dengan ketentuan hak fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana pula dicantumkan dalam UUD akan berakibat pada masalah pelanggaran hak asasi manusia. Sementara di pihak lain, keterbatasan dana pemerintah --yang selalu—menjadi alasan untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar dapat diterima masyarakat. Maka dari itu perlu dipertimbangkan secara serius apakah asas non derogable tetap akan dipertahankan dalam UUD atau dihilangkan, apalagi bila mengingat bahwa PBB sendiri hanya meletakkan non derogable rights dalam kovenan, yang statusnya sama dengan undang-undang. Karena sepertinya kita mengikat tangan sendiri, suatu hal yang kurang disadari oleh para anggota MPR 3
2. System Pemerintahan Yang akan dicermati soal sistem pemerintahan ini adalah rumusan perubahan yang berkenaan dengan pemberian kewenangan/kekuasaan kepada Legeslatif (DPR) dan pengurangan kewenangan presiden serta pembatasan masa jabatannya.
Terhadap pemberian kewenangan/kekuasaan kepada DPR dapat terlihat dalam rumusan-rumusan perubahan pertama UUD 1945. Yakni dalam soal presiden mengangkat duta/konsul dan penerimaan/penempatan duta negara lain (pasal 13), presiden memberi
2
Pasal ini telah menjadi salah satu pasal yang paling kontroversial, berkenaan dengan adanya persoalan pelanggaran HAM pada masa lalu yang dikhawatirkan tidak akan bisa diproses sebagaimana mestinya, karena dimuatnya prinsip non retroaktif dalam pasal tersebut Pandangan ini disampaikan beberapa aktivis hak asasi manusia T Mulya Lubis, Hendardi, dan Munir serta pakar hukum Tata Negara Prof. Dr. Mahfudh MD (Kompas, 18/8/2000), juga Amnesty Internasional (Kompas, 21/8/2000). Sedangkan Jacob Tobing, Ketua PAH I MPR beranggapan adanya pasal ini tidak akan mematahkan peraturan perundang-undangan dibawahnya dan masih terbuka untuk memperbaikinya. Disisi lain Slamet E Yusuf, Wakil Ketua PAH I MPR diktum pasal itu bukan merupakan “barang aneh” karena sudah menjadi asas legalitas yang termuat dalam TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Piagam HAM dan UU No. 39/1999 tentang HAM. (Kompas, 18/8/2000). 3 “Perlukah Non-derogable Rights masuk UUD 1945”, Miriam Budiardjo, hal 413 –416, Analisis CSIS Tahun XXIX/2000 No. 4.
6
7
amnesti dan abolisi (pasal 14 ayat 2), presiden membentuk departemen (pasal 17 ayat 4), harus dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Sedangkan dalam perubahan yang kedua kekuasaan DPR ini ditambah dengan memiliki hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat untuk menjalankan fungsinya (pasal 20A ayat 2). Perubahan-perubahan tersebut menunjukkan adanya upaya pemberdayaan dan meningkatkan peran DPR, yang secara tidak langsung pula menandakan pembatasan kewenangan presiden yang besar, termasuk dalam hal ini ketika presiden memberikan grasi dan rehabilitasi harus dengan pertimbangan MA (pasal 14 ayat 1) dan dalam memberikan gelar serta tanda jasa yang harus diatur dengan undang-undang (pasal 15). Perubahan-perubahan itu menjadikan lembaga DPR “setara” dengan presiden sebagai balance sekaligus kontrol terhadap peranan presiden. Namun konsekwensinya yang terjadi kemudian adalah terhambatnya proses-proses pemulihan yang harus dilakukan oleh presiden karena kesemuanya harus melalui mekanisme atau prosedur DPR. Sebagai contoh, hal ini dapat dilihat dari tertundanya pembebasan Sdr. Budiman Sujatmiko karena harus menunggu proses dari DPR dan pembubaran Departemen Sosial dan Penerangan yang menimbulkan konflik antara Presiden dan DPR. Hal ini menjadi dilematis, satu sisi pemberian kekuasaan itu membuat DPR menjadi “kuat” dan disisi lain membuat presiden menjadi “lemah” tidak berdaya. Kontruksi semacam ini nampaknya juga tidak menguntungkan juga bagi jalannya demokrasi. Perubahan dengan semangat “parlementarian” itu, telah menempatkan DPR pada posisi yang kurang proporsional karena tidak berangkat dari kebutuhan yang paling urgen yang sekarang dibutuhkan. Sama seperti halnya perubahan pada pasal 7 yang telah membatasi masa jabatan presiden dan wapres hanya untuk dua periode. Artinya, meskipun masa jabatan dan kekuasaan presiden tidak dibatasi seperti yang tertuang diatas, diyakini dalam masa transisi tidak akan terjadi lagi penyalahgunaan kekuasaan lagi oleh presiden. Kebebasan berekspresi, berorganisasi dan pers yang telah dijamin dapat menjadi kontrol yang efektif kepada kekuasaan presiden.
Perubahan lainnya yang terjadi adalah dalam soal pengajuan dan pengesahan undang-undang. Berdasarkan perubahan pertama pasal 5 UUD 1945, presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, sedangkan dalam perubahan pasal 20 (1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Kekuasaan ini tidak hanya DPR secara institusional namun juga secara personal anggota DPR mempunyai hak mengajukan usul rancangan undang-undang (pasal 21). Perubahan ini menempatkan DPR pada posisi sebagai pemegang kekuasaan pembuat undang-undang yang sebelumnya dipegang oleh presiden. Namun ada ketentuan lainnya yg mengatur bahwa dalam pembahasan rancangan undang-undang dibahas oleh DPR bersama presiden untuk mendapat persetujuan bersama. (pasal 20 ayat 2). Dan dalam pasal 20 (5) disebutkan “Dalam hal rancangan UU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan”. Dua ketentuan ini membikin rancu dan mengundang kontroversi karena
7
8
menempatkan secara bersama kewenangan presiden dan DPR dapat mengesahkan undang-undang, disatu sisi. Disisi lainnya dari ketentuan ini menimbulkan adanya abuse of power terhadap kewenangan DPR untuk mengusulkan rancangan undang-undang sekaligus untuk memaksa Presiden agar mensahkan RUU yang diajukan DPR tersebut. Karena dari usulan rancangan UU yang diajukan DPR kepada Presiden itu, pada akhirnya Presiden tidak mempunyai hak apakah akan menyetujui ataukah menolak RUU yang diusulkan DPR itu. Selain itu ketentuan ini juga menimbulkan kendala lain apakah memang ketentuan ini berlaku surut terhadap RUU yang belum disahkan Presiden sebelum adanya amandemen kedua UUD. Misalnya dalam kasus RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) dan RUU Serikat Pekerja, yang hingga kini menggantung tidak jelas nasib penentuannya. Rupanya pula pengertian pemegang kekuasaan membentuk undang-undang ini tidak dicermati secara benar, karena dalam amandemen pasal 20 (4) menyatakan bahwa Presiden mengesahkan Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden untuk menjadi undang-undang. Dalam kekuasaan membuat undang-undang, ada 3 hal pokok yang terkandung, yaitu persetujuan yang dilakukan oleh DPR dan Presiden, pernyataan mengesahkan RUU untuk menjadi UU, dan kewenangan mengundang UU. Dalam hal ini, perihal pernyataan mengesahkan RUU oleh Presiden menimbulkan pertanyaan, dan itu termasuk bagian dari kekuasaan proses penerapan kekuasaan membentuk undang-undang. Seharusnya, jika mau konsisten prosedur itu menjadi kewenangan DPR sesuai dengan bunyi pasal 20 (1) Amandemen UUD 1945. Dengan kata lain DPR lah yang harus mengesahkan RUU menjadi UU berdasarkan asas kedaulatan rakyat. 4
Perubahan-perubahan dalam konteks sistem pemerintahan itu nampaknya cenderung memberi penguatan – terutama fungsi kontrolnya -- kepada DPR dengan melakukan pemangkasan terhadap peran dan kewenanangan presiden. Perubahan itu ditambah lagi dengan adanya Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 yang mengaharuskan adanya persetujuan DPR jika Presiden mengangkat Panglima TNI dan Kapolri, yang sebelumnya merupakan hak prerogatif presiden sebagaimana diatur dalam pasal 10 UUD 1945. Rumusan –rumusan ini dapat dikatakan masih menggunakan sebagian sistem presidensiil dan sebagian sistem parlementer, yang amat rentan menimbulkan konflik antara Presiden dan DPR.
Terhadap perubahan yang menyatakan bahwa “presiden ialah warga negara Indonesia asli” (pasal 6) apa yang menjadi ukuran “asli” itu tidaklah jelas. Rumusan ini dapat menimbulkan penafsiran diskriminatif terhadap hak warga negara untuk menduduki jabatan di pemerintahan (presiden).
Terhadap penambahan pasal 9 yang menyatakan “jika MPR/DPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wapres bersumpah /berjanji dihadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan MA”. Rumusan ini nampaknya mengadopsi dari Ketetapan
4
“Tim Kajian Amademen FH Univ. Brawijaya, “Amandemen UUD 1945: Antara Teks dan Konteks Dalam Negara Yang Sedang Berubah”, hal. 34-35, Sinar Grafika, Juli 2000.
8
9
MPR No.VII/MPR/1973 yang dipakai sebagai landasan yuridis pengunduran diri Soeharto sebagai presiden. Rumusan semacam ini dapat menimbulkan penafsiran yang beragam, terutama bagi faktor kepentingan politis baik yang dilakukan untuk kepentingan presiden sendiri maupun fraksi-fraksi politik di MPR. Dikarenakan masih belum jelasnya apa yang dimaksud dengan tidak dapat mengadakan sidang, apa syarat-syaratnya atau dalam kondisi yang bagaimana MPR/DPR itu dikatakan tidak dapat mengadakan sidang.
3. Pemerintahan Daerah
Secara umum perumusan yang terkandung dalam pasal 18 ini tidak mensistematisir apa yang sesungguhnya harus diatur dalam UUD perihal otonomi daerah. Hampir semua obyek yang merupakan proporsi undang-undang diatur dalam pasal ini. Seperti soal, pembagian wilayah (ps 18 ayat 1), pemilihan kepala daerah dan DPRD (ps 18 ayat 3&4), sampai soal pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (ps. 18B ayat 2). Kalaupun itu mau diatur dalam UUD, persoalan kemudian adalah bias apa yang hendak ditekankan karena harus diatur (atribusi) lagi dalam undang-undang, dan apa yang hendak dikonsepsikan dalam konstitusi ini perihal pemerintahan daerah (otonomi daerah). Hal ini berkenaan dengan adanya beragam format pengaturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah/otonomi daerah, yakni di Amandemen Kedua UUD 1945, TAP MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Penggunaan kata “dibagi” dalam perumusan “Negara kesatuan RI dibagi atas daerah provinsi-provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota….” dapat menimbulkan kontradiksi. Karena pengertian “dibagi” ini tergantung dari interprestasi pemerintah pusat yang tidak didasari realitas dan aspirasi masing-masing daerah. Dan seharusnya digunakan kata terdiri yang lebih menunjukan prinsip independensi dan egalitarian dalam mewujudkan otonomi daerah. Dalam kasus lain, meskipun prinsip pemerintahan daerah dengan otonomi daerah itu merupakan hakikat dalam konteks negara kesatuan, namun disisi lain pada kenyataan adanya tuntutan untuk membebaskan daerah (merdeka) seperti Aceh dan Papua, serta kehendak untuk merubah bentuk negara kesatuan menjadi federalisme tidak bisa dinafikkan begitu saja. Sehingga penempatan konsep pemerintahan daerah ini dalam konstitusi masih manjadi kendala, karena bisa jadi itu bukan merupakan rumusan yang final berdasarkan kehendak politis seluruh rakyat Indonesia.
Konsepsi otonomi daerah dalam rumusan pasal 18 (5) yang berbunyi “ Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluasluasnya,…” berbeda maknanya dengan apa yang sebelumnya dirumuskan dalam UU No. 22 tahun 1999 yakni Otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dampak dari perbedaan ini disamping menimbulkan kotradiksi hukum, juga akan menimbulkan interpretasi yang beragam dalam pelaksanaannya.
4. Wilayah Negara
9
10
Masalah wilayah negara dirumuskan dalam Bab IX A pasal 25 E yang menyatakan bahwa “Negara Kesatuan RI adalah sebuah negara kesatuan yang berciri Nusantara dengan wilayah dan hak-haknya ditetapkan dengan UU”. Disini ada ketidakjelasan apa yang dimaksud dengan “yang berciri Nusantara” itu? apa yang kemudian menjadi tolak ukurnya? Bagaimana penentuannya yang meskipun akan diatur kembali lewat UU, namun tetap seharusnya dari penentuan wilayah ini, dengan mengacu hukum internasional, untuk mencegah terulangnya kembali “ekspansi” dalam kasus Timur-Timor.
5. Warga Negara dan Penduduk Dalam pasal 27 (3) bab tentang warga negara disebutkan bahwa, setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Seharusnya hal mengenai pembelaan negara ini cukup menjadi hak dan bukan menjadi kewajiban warga negara. Dengan kewajiban itu akan memudahkan siapapun yang mempunyai kewenangan (dalam hal ini alat negara yang bernama TNI) untuk melakukan mobilisasi secara paksa terhadap warga negara. Upaya ini amat rentan terhadap kemungkinan terjadinya konflik horizontal yang dapat menimbulkan kerusuhan-kekerasan dalam skala yang luas.
6. Pertahanan dan Keamanan Dalam pasal 35 ayat 1 amandemen II UUD 1945 disebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan negara.” Dalam hal usaha pertahanan negara ini seharusnya bukan menjadi kewajiban tetapi menjadi hak dan kehormatan bagi warga negara. Bila hal ini menjadi suatu kewajiban bagi warga negara, maka terlihat adanya paksaan dari negara kepada warga negaranya untuk ikut serta dalam usaha pertahanan negara. Ketentuan pasal 35 amandemen II UUD 1945 (tentang Pertahanan dan Keamanan Negara) ini memperbaharui ketentuan dari pasal 30 UUD 1945 (tentang Pertahanan Negara). Dalam ketentuan pasal 35 Amandemen UUD 1945 ini dipisahkan antara kekuatan pertahanan dan keamanan negara yang semula berada dalam satu sistem (Sistem HANKAMARATA), dimana sistem Pertahanan dipegang oleh kekuatan TNI dan sistem keamanan yang dipegang oleh POLRI. Dari pemisahan kedua sistem ini, yang perlu dicermati kemudian adalah siapa yang berwenang untuk menengahi apabila suatu saat terjadi persinggungan antara kekuatan pertahanan dan keamanan. Dengan adanya ketentuan pasal 35 ini berarti pula harus pula diperhatikan ketentuan peraturan-peraturan dibawah UUD yang berkaitan dengan TNI dan POLRI, (misalnya RUU Kepolisian) agar antara peraturan satu dengan lainnya tidak saling bertentangan. Dari UUD 1945, masih ada ketentuan pasal yang menimbulkan kendala. Misalnya dari ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU. Dengan demikian kewenangan untuk mengangkat Panglima AD, AL, dan AU pun berada di tangan Presiden. Sehingga kedudukan Panglima TNI sejajar atau bahkan diatas kedudukan menteri, bila mengingat pula Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 bahwa untuk penentuan Panglima TNI/Kapolri harus melalui
10
11
persetujuan DPR.. kebijakan itu amat bertentangan dengan kehendak tuntutan dicabutnya dwifungsi TNI dan penempatan kontrol militer dibawah sipil. Nampaknya masih ada upaya konsolidasi militer dan menarik-narik kembali militer kekancah politik. Jadi hanya tinggal dua negara didunia ini yang Panglima TNI berada tidak di bawah Menhankam, yaitu Indonesia dan Myanmar. D. Kesimpulan Atas Catatan Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari catatan-catatan diatas adalah sebagai berikut ;
Rumusan-rumusan perubahan yang telah dibuat oleh MPR tidak banyak mengacu dari perangkat hukum internasional yang telah disepakati terutama dalam soal menempatkan prinsip-prinsip demokrasi dan nilai-nilai hak asasi manusia.
Rumusan-rumusan perubahan itu tidak dikontruksikan dalam paradigma yang jelas dan tersusun secara sistematis. Sehingga terkesan bahwa MPR dalam mengubah UUD ini hanya asal comot saja sesuai selera masing-masing. Rumusan mana yang dirasa cocok, itulah yang dipakai tanpa melihat hakikat dan keterkaitan secara menyeluruh antara satu pasal dengan pasal yang lain.
Meskipun ada penambahan disamping perubahan, rumusan-rumusan yang dibuat ternyata masih terdapat hal-hal yang rancu dan penafsiran beragam yang dapat memunculkan persoalan/kontroversi baru.
Secara menyeluruh perubahan dan penambahan dalam UUD 1945, belum dapat menunjukkan kejelasan dan ketegasan bagi kepentingan transisi demokrasi yang dapat menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi sebagai ciri dari sebuah negara hukum.
Dengan kata lain amandemant UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR belum memperlihatkan hasil yang tidak hanya merepresentasikan kehendak rakyat Indonesia, tapi juga menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia kedepan. Indonesia baru yang lebih demokratis, sejahtera dan pluralis yang didasari nilai keadilan dan kemanusiaan.
E. Penutup Saat ini BP MPR sedang mempersiapkan kelanjutan Amandemen UUD 1945 yang ditargetkan akan diselesaikan pada tahun 2002, sesuai dengan Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000. Dalam melanjutkan Amandemen yang Ketiga itu, BP MPR direncanakan akan membentuk Tim Ahli yang akan membantu dan memberikan masukan kepada BP-MPR sebelum diputuskan dalam Sidang Tahunan yang akan datang.
11
12
Berangkat dari proses yang sudah dilakukan oleh MPR dan rumusan-rumusan yang telah dihasilkan, nampaknya proses perubahan konstitusi UUD 1945 ini tidak bisa lagi diserahkan dan ditentukan sendiri oleh MPR. Proses yang terjadi di MPR lebih banyak diwarnai oleh kepentingan politik dan golongan yang ada dalam MPR dan MPR tidak melibatkan partisipasi penuh masyarakat Indonesia. MPR telah memonopoli wacana perubahan-perubahan itu untuk ditentukannya sendiri yang seluruhnya amat bergantung pada selera kepentingan politik yang sempit dan berjangka pendek. Sehingga hal ini berdampak pada hasilnya yang tidak memiliki paradigma. Paradigma perubahan yang menjadi politik hukum perubahan konstitusi, yang menjadi dasar menentukan arah perubahan sekaligus sebagai parameter terhadap produk perubahan konstitusi. Dengan demikian nampaknya perubahan konstitusi itu harus diserahkan kepada Komisi Konstitusi yakni sebuah badan yang independen dan dapat mereperesentasikan dan melibatkan masyarakat luas untuk berpartisipasi dalam mengubah dan menentukan konstitusi. Mengutip perkataan seorang ahli konstitusi dari Zambia, Prof. Muna Ndulo, yang mengatakan bahwa konstitusi sebuah negara haruslah merupakan catatan kehidupan sebuah bangsa sekaligus mimpi-mimpi yang belum terselesaikan, haruslah menjadi otobiografi nasional yang mencerminkan kemajemukan masyarakatnya, harus menuliskan visi seluruh masyarakat dan bisa meyakinkan bahwa dengan sistem yang diatur dalam konstitusi tersebut maka semua mimpi dan tujuan seluruh masyarakat akan bisa dicapai. Jakarta, 20 Maret 2001
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)
12