Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 98-110 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia:
Sebuah Kritik terhadap Artikel “Chilean Socialism 1: Indonesian Facism 0” CANGGIH GUMANKY FARUNIK Dosen Tidak Tetap Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan di Surya University dan Universitas Multimedia Nusantara Surel:
[email protected] Diterima: 27 Februari 2014 Disetujui: 7 April 2014
ABSTRACT Based on an article, “Chilean Socialism 1: Indonesian Facism 0” by Andre Vltchek in www.counterpunch. org, Indonesia was studied as a bad and uncivilized country during the new order era under Soeharto regime. The people still considered Soeharto as a national hero, contrary with Andre’s perspective where Soeharto was perceived as a dictator. The first thing that comes to mind after reading the article is that Soeharto has had some well-built personage thanks to the media coverage, which was fully controlled by him. Rendering theory from Karl Popper to frame the article in question, one can’t overlook the rich contribution of Popper’s Three World. In his system, every results of human’s mind are contained, i.e. theories, testimonies, arguments, buildings, cultures, technologies, even media. The character of world 3 is autonomous, which means human being couldn’t erase the testimonies that had already been spoken, but it could be developed and completed by the others. That’s the reason why the well-built theories or testimonies couldn’t be erased or replaced so easily, in this case, Soeharto’s personage.The main purpose of this research is to find the correlation between media’s power and its problems upon leadership’s personage, by using Popper’s Three World perspective.
Keywords: media, personage, testimonies, Three World.
Pendahuluan Artikel berjudul “Chilean Socialism 1: Indonesian Facism 0”yang ditulis dan dipublikasikan Andre Vltchek, seorang jurnalis investigasi pada sebuah situs jurnal inves-
tigasi internasional, www.counterpunch. org1, membincang perbandingan dinamika antara pemimpin diktator dengan rakyat di negara Indonesia dan Chili. Vltchek meng ambil perbandingan suasana politik di
1 Bisa diakses di http://www.counterpunch.org/2013/11/22/chilean-socialism-1-indonesian-fascism-0/
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 98
4/24/2014 10:24:51 AM
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
Indonesia, utamanya masyarakat Jakarta, pada masa pemerintahan Soeharto, khususnya pada tahun 1965, dengan suasana politik di Chili pada pemerintahan Pinochet. Vltchek menulis: “Jakarta is not just the capital of the fourth most populous country on earth; it is also the ‘least habitable major city in Asia Pacific’. Jakarta is also a concept, an enormous experiment on human beings, which was quickly turned into a blueprint that has later been implemented by the West all over the developing world. The experiment was about trying to figure out this: What happens to a poor country that is hit by a brutal military coup, then thrown to religious zealots, and forced to live under the heel of extreme capitalism and fascism? And what happens if almost its entire culture gets destroyed, and instead of education, some brainwashing mechanism perfected abroad, gets implemented? What if you kill 2-3 million people, and then you ban entire languages and cultures, theatres, art films, atheism, everything that is to the left of center? And what if you use thugs, paramilitaries, archaic family and religious structures and a ridiculously toothless media, to maintain ‘the new order’?” (Vltchek, 2013)
Lebih lanjut, Vltchek menjawab perta nyaan-pertanyaan di atas sebagai berikut: “The answer is this: You get your Indonesian model! Which means – almost no production, a ruined environment, collapsed infrastructure, endemic corruption, not even one sound intellectual of international caliber, and frankly speaking, a ‘functionally illiterate’ population, ignorant about the world, about its own history, and about its own position in the world” (Vltchek, 2013).
Kalaupun ada perbedaan pendapat dari dalam lingkungan akademisi di Indonesia terkait hal-ihwal yang dikatakan Vltchek tentang keadaan sebenarnya di Indonesia pada masa itu, maka kemungkin an yang terjadi adalah bahwa pandangan Vltchek tersebut benar, dan yang selama ini menjadi cara pandang bangsa Indone2
CANGGIH GUMANKY FARUNIK 99
sia terhadap rezim Soeharto salah. Atau, sebaliknya,yang dikatakan Vltchek merupakan kritik yang subjektif, dan kasar de ngan komparasi yang berat sebelah. Kemungkinan pertama, masyarakat Indonesia yang salah dalam memandang Soeharto, dengan melakukan komparasi dengan situasi yang terjadi di Chili. Rakyat Chili melakukan perlawanan terhadap junta militer, dengan Pinochet sebagai pemimpinnya, melalui sebuah usaha kudeta pada 1973. Jika Soeharto dan Pinochet digambarkan sebagai sosok fasis, dan rakyat sebagai pendukung sosialis, maka yang terjadi di Chili adalah perjuangan rakyat sosialis melawan fasisme. Hal tersebut berbanding terbalik dengan yang terjadi di Indonesia di mana rakyat sosialis dibantai oleh fasisme.Vltchek memandang bahwa yang terjadi di Indonesia merupakan suatu kemunduran dibandingkan dengan rakyat Chili; bahwa rakyat Indonesia terlalu bodoh untuk mendiamkan begitu saja pelanggar an HAM yang nyata terjadi didepan mata mereka, dan usaha rakyat Chili melakukan gerakan bawah tanah untuk menggulingkan kekuasaan junta militer dianggapnya sebagai usaha yang heroik. Sederhananya, rakyat Indonesia bodoh, sedangkan rakyat Chili lebih kritis. Kemungkinan kedua dapat juga dijadikan pertimbangan.Ternyata Vltchek membuat sebuah argumentasi subjektif tanpa mengetahui sama sekali situasi politik yang berkembang di Indonesia pada masa peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Pada masa peralihan tersebut, tercuat ungkapan yang terkenal di kalangan mahasiswa Indonesia ketika itu, “Yang pa ling penting kita sudah menurunkan suatu rezim; jika rezim yang baru tidak cocok, kita tinggal turunkan lagi”2. Artinya, ada
Penulis mencatat ungkapan tersebut dari film ‘Gie’ (2005), sebuah film tentang pejuang muda Indonesia di era 1966, Soe Hok Gie (1942 – 1969). Film yang disutradarai Riri Riza ini diangkat dari buku ‘Catatan Seorang Demonstran’, memoar yang ditulis sendiri oleh Soe Hok Gie.
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 99
4/24/2014 10:24:51 AM
100
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
VOL II, 2014
komitmen dari kalangan mahasiswa untuk terus berjuang melawan rezim yang tidak berpihak kepada rakyat. Satu hal yang menarik dicatat mengenai perjuangan mahasiswa pada zaman Soeharto:ternyata butuh waktu sekitar 31 tahun bagi mahasiswa untuk mewujudkan ungkapan tersebut dalam realita! Mahasiswa kembali berperan secara aktif dalam politik praktis dengan cara mengawal era reformasi yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari jabatan presiden yang dijabatnya sejak tahun 1967. Kenyataan bahwa Soeharto berhasil menjadikan Indonesia swasembada beras pada tahun 1984, menekankan pada pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan, dan seringnya melakukan peninjauan langsung ke pasar-pasar tradisional, serta ikut serta turun ke sawah saat panen raya, merupakan sebuah upaya penciptaan kesan baik pada masyarakat Indonesia yang berhasil diciptakan pribadi Soeharto selama masa kepemimpinannya.
Di antaranya adalah membiarkan terjadi nya pembunuhan massal, pemerkosaan, dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya. Bahkan, secara tersirat, Vltchek me ngatakan bahwa Soeharto adalah panut an (role model) dari gerakan fasisme baru pasca perang dunia kedua. Keberpihakan Vltchek mulai terlihat ketika ia mengambil sikap yang berbeda antara Indonesia dan Chili. Kemenangan sosialisme di Chilioleh Vltchek dianggap sebagai kemajuan dari proses pendewasaan masyarakat, yang dimulai dari menyadari persoalan, mengambil sikap, hingga konsisten terhadap sikap tersebut. Berbeda dengan masyarakat Indonesia yang dalam persepsi Vltchek dianggap menyerah pada fasisme Soeharto, menutup mata, bahkan turut bertanggung jawab atas pembunuhan massal para pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut Vltchek, “kebodohan” rakyat Indonesialah yang dituding menjadi penyebab terhambatnya kemajuan di Indonesia, bahkan rakyat Indonesia juga Analisis atas Persoalan-persoalan di dalam dianggap tidak mampu bereaksi terhadap artikel Andre Vltchek fasisme dan segala bentuk pelanggaran keHal yang paling mendasar dari pemaham manusiaan yang dibuat rezim fasis tersebut. an Vltchek dalam artikel yang ditulisnya Berikut penulis akanmembahas mengenai adalah bahwa ia berusaha membanding- kekeliruan cara pandang Vltchek dalam kan kondisi sosialisme di Indonesia dan memahami persoalan Indonesia dan Chili. Kekeliruan pertama adalah sikap di Chili. Menurut hematnya, fasisme SoeVltchek yang sangat sinis dalam memanharto menang melawan sosialisme/komunisme, sedangkan sosialisme di Chili justru dang Indonesia hanya melalui pemahaman menang melawan fasisme. Masa perali- psikologi massa. Menurut situs Geographia. han kedua negara yang diperbandingkan com3, Chili mendeklarasikan kemerdekaan memang memiliki dua unsur pokok yang pada tahun 1817, tetapi justru bagian yang sama, sehingga perbandingan antara In- paling penting dari sejarah Chiliterjadi pada donesia dengan Chilidapat dijustifikasi. tahun 1973 ketika berlangsung peralihan Vltchek juga mengulas karakter dua tokoh kekuasaan dari Dr. Salvador Allende,yang pemimpin kedua negara tersebut (yaitu baru saja menduduki jabatan presiden seSoeharto dan Pinochet) yang hampir sama. lama tiga tahun sejak 3 November 1970
3
http://www.geographia.com/chile/chilehistory.htm (diakses penulis pada 26 Februari 2014, pukul 15.30 WIB)
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 100
4/24/2014 10:24:51 AM
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
dengan pemerintahan bercorak Sosialisme - Marxisme, yang kemudian dikudeta oleh Jenderal Augusto Pinochet Ugartedari golongan sayap kanan pemerintahan Chili. Sedangkan Indonesia baru saja “dua puluh tahun merdeka” sebelum Soeharto dianggap bertanggung jawab atas peristiwa 1965. Berdasarkan artikel Vltchek, gerakan sosialis di Chili diawali oleh Movimiento de Izquierda Revolucionaria atau MIR, sebuah gerakan revolusi kiri yang dibentuk para mahasiswa pada tahun 1965 diinspirasikan gerakan revolusi Kuba. Menurut situs latinamericanhistory.about.com4, Salvador Allende memiliki hubungan dekat dengan MIR. Keponakan Salvador Allende, yaituAndrés Pascal Allende, merupakan salah satu pemimpin muda MIR. Secara tidak langsung, bisa dikatakan bahwa pemerintahan Salvador Allende yang bercirikan Sosialisme - Marxisme mendapat dukungan kuat dari MIR sebagai organisasi pemuda yang mapan. Perjuangan serupa juga sempat terjadi di Indonesia sebagai efek dari penolakan terhadap pemerintahan demokrasi terpimpin à la Soekarno yang dimulai sejak 1955. Setelah 1955, pemikiran Marxberkembang pesatdi kalangan mahasiswa Indonesia ketika itu dan Partai Komunis juga menjadi partai yang sangat populer di lapisan bawah masyarakat.Hal yang dilupakan Vltchek adalah kenyataan bahwa gerakan mahasiswa juga memiliki peranan yang penting bagi pergerakan sejarah di Indonesia. Salah satu faktor krusial yang membedakan gerakan mahasiswa di Indonesia dengan gerakan MIR di Chili adalah asal-muasal perubahan pemerintahan pasca tergulingnya pemimpin pemerintahan. Setelah Soekarno diturunkan dari jabatan Presiden, sebagian mahasiswa yang 4
CANGGIH GUMANKY FARUNIK 101
tadinya terlibat dalam gerakan menjadi anggota parlemen dan berpandangan bahwa perubahan dapat dilakukan dari dalam wilayah kekuasaan.Hal ini berbeda dengan MIR yang sebagian simpatisannya justru masuk ke wilayah militer dan menjadi bagian dari pertahanan negara sebelum Pinochet melakukan kudeta terhadap pemerintahan Salvador Allende.Berkaitan dengan gerakan mahasiswa di Indonesia, Vltchek sama sekali tidak menyebutkan hal tersebut secara jelas di dalam artikelnya, padahal gerakan mahasiswa Indonesia adalah bagian yang penting ketika membandingkan Indonesia dan Chili. Memang terdapat perlawanan dari kalangan mahasiswa ketika Soeharto menjabat sebagai presiden, namun puncak perjuangan mahasiswa baru terwujud pada tahun 1998, ketika Soeharto akhirnya mundur sebagai presiden dan era reformasi dimulai. Kritik Vltchek terhadap “kebodohan” masyarakat Indonesia diungkapkan sebagai berikut: “Like those guys, who dutifully cut people to pieces, raped 14-year old girls and terrorized those people who were still willing to think and to speak, everything was shown in detail in the award winning film by Joshua Oppenheimer: “The Act of Killing”. And what did the Indonesian viewers and TV hosts do when the thugs confessed to kill hundreds? They laughed, and cheered, and applauded!”(Vltchek, 2013)
Pertanyaan mengenai “mengapa bisa terjadi kondisi yang di dalamnya manusia justru mendukung pembunuhan dan dapat bersikap berlawanan seperti yang seharusnya manusia lakukan ketika terjadi pembunuhan?” sama sekali tidak pernah dibahas oleh Vltchek, karena yang menjadi perhatiannya adalah kenyataan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
http://latinamericanhistory.about.com/od/thehistoryofchile/a/09ChileMIR.htm (diakses penulis pada 26 Februari 2014, pukul 15.45 WIB)
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 101
4/24/2014 10:24:51 AM
102
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
VOL II, 2014
bodoh secara mental, yang dianggap bersikap tidak manusiawi dengan cara me nertawakan dan justru berbangga dengan pengakuan seorang pembunuh. Selain itu, Vltchek juga mengatakan:
yang dilakukan oleh PKI terhadap peme rintahan Soekarno. Malcolm Caldwell dan Ernest Utrecht dalam buku Sejarah Alternatif Indonesia, justru mengatakan bahwa Aidit menerima informasi dari Jenderal Polisi Sutarto bahwa dewan Jenderal akan “In 1965, in Jakarta, there was no struggle. The memecat Soekarno dan mengambil alih victims allowed themselves to be slaughtered. They kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965. were begging for mercy as they were strangled, Karenanya, ada dugaan dari pihak milistabbed, shot to death. They called their tormentors, ter sendiri bahwa Aidit akan mendahului their murderers, their rapists, ‘pak’ and ‘mas’ (rerencana jenderal dengan mengorganisasi spectful form of addressing a man). They cried and begged for mercy” (Vltchek, 2013). suatu pemberontakan bersenjata untuk merebut kekuasaan (Caldwell dan Utrecht, Dalam kutipan tersebut, Vltchek ingin 1979: 255). menegaskan bahwa yang menjadi korban Caldwell dan Utrecht juga mengatakan justru pasrah dan masih menghormati bahwa anggota PKI selain kader di Jaorang yang menyiksa mereka dengan me- karta, tidak mengetahui apa-apa tentang manggilnya “pak” atau “mas”. Vltchek rencana pemberontakan bersenjata tersemelihat fenomena tersebut sebagai sesuatu but (Caldwell dan Utrecht, 1979: 256). yang otonom, sedangkan dirinya hanya Jika Caldwell dan Utrecht mengatakan pengamat, dan dari hasil pengamatannya, demikian, lalu siapakah yang melakukan komunisme di Indonesia tidak sehebat penculikan para Jenderal? Mereka menyesosialisme di Chili. Pertanyaan mengenai butkan bahwa yang melakukan pencu“mengapa bisa begitu?” sama sekali tidak likan para Jenderal TNI Angkatan Darat muncul dalam artikel tersebut. Vltchek adalah Resimen Cakrabirawa (pasukan melakukan generalisasi masyarakat Indo- pengawal presiden), sebagian dari angnesia menjadi sebuah kelompok masyarakat gota TNI Angkatan Udara, dan beberapa yang bodoh, pesimis, dan pasrah. milisi pemuda PKI yang kebetulan sedang Pertanyaan “mengapa bisa begitu?” melakukan latihan di pangkalan udara hanya bisa dijawab jika memahami ke Halim Perdanakusuma. Mereka juga me bingungan situasi ekonomi dan politik negaskan bahwa para serdadu yang teryang terjadi di Indonesia menjelang tahun libat, bukan merupakan bagian dari PKI, 1965.Demokrasi terpimpin yang dilakukan dan belum ada bukti bahwa para jenderal Soekarno menyebabkan kinerja pemerin- disiksa sebelum dibunuh oleh para serdatahan menjadi anti-klimaks.Masyarakat du tersebut (Caldwell dan Utrecht, 1979: Indonesia menaruh kepercayaan penuh 257). Hal tersebut diperkuattestimoni yang bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) dimuat di situs jurnal3.com5 bahwa dokter dapat membuat perubahan di Indonesia. ahli forensik yang mengotopsi jasad para Vltchek melewatkan bagian bahwa peris- jenderal, yaitu dr. Brigadir Jenderal Roebitiwa pembunuhan massal anggota, kader, ono Kertopati, seorang perwira kesehatan dan simpatisan PKI ketika itu berhubung di RSP Angkatan Darat, dan empat dokter an erat dengan dugaan pemberontakan lainnya, menyatakan bahwa “dari hasil vi5
http://www.jurnal3.com/hasil-otopsi-7-jenazah-pahlawan-revolusi-utuh-semua/ (diakses penulis pada 26 Februari 2014, pukul 17.05 WIB)
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 102
4/24/2014 10:24:51 AM
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
sum et repertum atas 7 jenazah, semuanya dalam kondisi utuh, dan tidak ada bekasbekas penganiayaan dan siksaan, seperti yang disaksikan dalam film.” Berdasarkan pemahaman Caldwell dan Utrecht tersebut, propaganda yang mengatakan seluruh anggota dan simpatisan PKI bersalah atas terbunuhnya para Jenderal, pada dasarnya dibangun dari argumen yang tidak jelas, dan cenderung digeneralisasi. Anggota PKI selain yang di Jakarta, sama sekali tidak mengetahui rencana penculikan para jenderal tersebut. Bahkan yang melakukan penculikan pun bukanlah anggota PKI, karena para serdadu TNI Angkatan Darat dan Resimen Cakrabirawa merasa berkepentingan untuk mengamankan para jenderal sebagai reaksi dari dugaan kudeta yang akan dilakukan para anggota Dewan Jenderal terhadap pemerintahan Soekarno. Akibat dari propaganda yang dilancarkan selepas peristiwa pembunuhan para jenderal, rakyat Indonesia seketika itu juga terbagi menjadi dua pihak, pendukung dan penolak PKI. Jika Vltchek menyebutkan film The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer5, tetapi tidak memahami bahwa kondisi Indonesia hampir seperti pembunuhan massal kaum militer, dan sipil non-PKI terhadap sipil PKI, maka Vltchek melakukan suatu generalisasi, bahwa seluruh rakyat Indonesia adalah komunis, dan menganggap fasisme Soeharto melalui tangan militernya saja yang melakukan pembunuhan massal terhadap mereka tanpa perlawanan. Keterlibatan milisi dari rakyat sipil nonPKI untuk mencari, dan ikut serta dalam
5
CANGGIH GUMANKY FARUNIK 103
pembunuhan simpatisan, dan anggota PKI menunjukkan suatu bukti bahwa kondisi yang terjadi di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di Chili. Persoalan selanjutnya “mengapa para milisi dari rakyat non-PKI ini dengan mudahnya membunuh, tanpa ada rasa kasih an? Apa yang menjadikan mereka sangat membenci PKI dan menganggap bahwa PKI layak untuk mati?” Salah satu faktor adalah kuatnya “tuduhan”, dan propaganda dari media. Peristiwa 1965 adalah suatu kebingungan massal yang berujung pada usaha untuk keluar dari kebingung an tersebut dengan menentukan sikap. Harus ada yang disalahkan atas krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada masa itu, dan rakyat Indonesia menganggap bahwa sumber dari segala krisis adalah keberadaan PKI. Selain itu, kepercayaan rakyat terhadap Soekarno semakin menurun, dan posisi ini dimanfaatkan secara efektif oleh Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan. Berbeda dengan Pinochet yang meng ambilalih kekuasaan dengan kudeta terbuka, Soeharto mengambil alih kekuasa an dengan persona seorang penyelamat bangsa. Langkah yang diambil Soeharto juga dianggap memberikan kemajuan bagi bangsa Indonesia, meskipun wacana alternatif yang berkembang adalah kecurigaan bahwa situasi yang terjadi di tahun 1965 sudah direncanakan oleh Soeharto. Soeharto menjadikan tanggal 1 Oktober sebagai hari kesaktian Pancasila, bahwa pembunuh an massal anggota PKI merupakan usaha membela negara yang berlandaskan Pan-
Film tersebut merupakan suatu reka ulang para milisi di Medan, Sumatra ketika mereka membunuh banyak anggota dan simpatisan PKI. Di dalam film tersebut, rasa kemanusiaan mereka tertutupi oleh kebencian dan suatu keyakinan bahwa PKI adalah pihak yang bersalah secara moral, sehingga mereka merasa bahwa PKI ‘layak’ untuk mati. Pada saat ini, kelompok milisi di Medan tersebut berada di bawah naungan Pemuda Pancasila.
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 103
4/24/2014 10:24:51 AM
104
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
VOL II, 2014
problems they solve; and the problems they raise” casila. Pancasila menjadi oposisi biner dari (Popper, 1992: 14). komunisme yang divonis sebagai paham terlarang di Indonesia, sehingga siapapun Meskipun Popper menganggap bahwa yang terbukti mengembangkan paham kodirinya adalah seorang penganut rasiona munisme, dianggap anti Pancasila. lisme kritis, tetapi dirinya tidak menolak dianggap sebagai seorang realis. DasarMedia sebagai Dunia Ketiga dan Implikasi dasar realisme Popper inilah yang menjadi nya awal dari perkembangan pemikiran tiga Pemikiran Three World atau tiga dunia, bu- dunia. kan merupakan pemikiran Popper yang Pemikiran tiga dunia merupakan teori paling terkenal.Teori Popper yang paling alternatif dari pandangan monisme dan dikenal adalah falsifiabilitas, suatu teori dualisme tentang alam semesta.Popper perkembangan ilmiah (scientific progress) membagi sub-universes menjadi tiga bagian yang berisikan ajaran bahwa suatu teori yang saling berinteraksi (Popper, 1978: dapat dikatakan ilmiah apabila dapat di 3). Popper membagi realitas menjadi tiga sangkal dan mampu bertahan dari segala macam ‘dunia’, yaitu: penyangkalan yang menyerangnya. Impli Dunia fisik, yang realitasnya dapat dikasi langsung dari pemikiran ini adalah jangkau oleh indera manusia. Mengenai dibangunnya pengetahuan yang bercorak hal ini, Popper tidak menjelaskan secara problem solving, yang didalamnya berisi detail, apakah realitas ini sangat berganpandangan bahwa sebuah teori yang di tung pada persepsi manusia, seperti yang sangkal, secara tidak langsung juga memi- dikatakan oleh kaum empirisisme, ataukah liki cara untuk keluar dari penyangkalan memang realitas fisik ini otonom dan bebas melalui penyelesaian persoalan. Sisi lain dari persepsi manusia. Meskipun begitu, dari teori perkembangan ilmiah terse- cukuplah jika dikatakan bahwa realitas ini but, Popper mengembangkan persoalan sangat commonsense, karena kebenaran dan keilmiahan suatu teori menuju arah yang konsistensi dari realitas ini, pada dasarnya, sangat metafisis, meskipun Popper tidak berlaku menyeluruh pada setiap persepsi menyadari hal tersebut. Hal yang men- inderawi manusia. Artinya setiap orang jadi persoalan utama Popper sejak dirinya akan mempersepsikan hal yang sama masih sangat muda, bahwa teori yang di- dari suatu objek yang sama pula, sedandasarkan pada pemahaman bahasa yang gkan perbedaan atau relativitas persepsi definitif tidak akan memberikan jawaban baru akan muncul ketika ada usaha untuk yang memadai daripada didasarkan pada menjelaskan objek tersebut. realitas sebenarnya. Membangun pemahaDunia pikiran manusia (mind). Di man filosofis dari perenungan yang defini- dalam bahasa Indonesia, belum ditemukan tif hanya akan menjadi pemahaman yang kata yang benar-benar tepat dalam mengsurreal dan lepas dari konteks asalnya, yai- gambarkan ‘mind’ secara analogis, tetapi tu realitas. Popper mengatakan, pada dasarnya hal ini cukup mudah untuk dipahami bahwa realitas kedua ini berkai“Never let yourself be goaded into taking seriously tan dengan apapun yang sedang dipikirproblems about words and their meanings. What kan manusia. Dalam penelitian lebih lanmust be taken seriously are questions of fact, and jut, amat dimungkinkan apabila realitas ini assertion about facts: theories and hypotheses; the
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 104
4/24/2014 10:24:51 AM
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
akan mencakup segala aktivitas kognitif manusia. Dunia hasil pemikiran manusia. Realitas ketiga ini merupakan hasil dari olah pikir manusia. Pada awalnya, Popper ha nya mengatakan yang termasuk ke dalam dunia ketiga ini adalah tulisan, pengakuan, wacana, teori, dan bentuk lingustik lainnya, namun dalam perkembangannya, Popper juga memasukkan karya manusia yang lain, yang pada dasarnya dapat di sebut sebagai teknologi Berdasarkan ilustrasi dari gambar 1 yang diambil dari knowledgejump.com, ditunjukkan bahwa dunia ketiga adalah pengetahuan virtual yang objektif. Selain itu, hubungan yang sangat penting adalah hubungan dunia ketiga dan dunia pertama. Hubungan diantara keduanya hanya bisa berinteraksi lewat bantuan dunia kedua melalui pengujian dan observasi.
Gambar 1 (http://www.knowledgejump.com/knowledge/popper.html)
Pemikiran tiga dunia ini sangat membantu untuk menjelaskan satu bagian yang hilang, bahwa sebenarnya perlu untuk membedakan objek yang berasal dari manusia dan realitas fisik yang natural, karena campur tangan manusia atas objek-objek artifisial tersebut memiliki pola interaksi
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 105
CANGGIH GUMANKY FARUNIK 105
yang berbeda dengan objek natural. Manusia hanya bisa mengawasi dan mengadakan realitas fisik, sedangkan objek-objek artifisial itu diproduksi dan dikembangkan oleh pikiran manusia. Persoalan lain terkait hubungan antara ‘pikiran manusia’ dengan ‘hasil pemikiran manusia’. Meskipun hasil pemikiran manusia bersifat otonom, tetapi pengembangan dari hasil pemikiran ini sangat bergantung pada subjektivitas pikiran manusia. Beberapa orang yang mengembangkan suatu objek artifisial yang sama, dapat menghasilkan sesuatu yang berbeda juga, sehingga jika ada lima orang yang berpikir untuk mengembangkan televisi, maka akan ada lima jenis televisi yang berbeda. Media, baik elektronik maupun cetak, memiliki realitas yang berbeda dengan alam pikiran manusia, jika dilihat dari pemahaman Karl Popper. Wacana hanya bisa dilengkapi atau direvisi, sehingga amat dimungkin kan bahwa alur wacana dari suatu peristiwa dapat direkam dan setiap orang dapat mengarahkan pandangannya pada salah satu titik dari wacana tersebut. Jika halnya seperti itu, maka tidaklah mengherankan apabila ada suatu teori dalam sains yang sempat dianggap tidak lagi memadai untuk digunakan dalam normal science---se perti teori evolusi Darwin---namun toh tetap saja ada beberapa peneliti yang masih tertarik menggeluti teori tersebut. Satu hal yang sering dilupakan adalah bahwa keterangan berbentuk pernyataan, teori, argumentasi, dan pengakuan harus memiliki hubungan dengan realitas dunia pertama yang diuji dan diobservasi oleh dunia kedua. Artinya seseorang tidak bisa begitu saja membuat keterangan yang terlepas dari realitas fisiknya, sehingga ada faktor yang koresponden dan koheren antara keterangan seseorang dengan realitas fisiknya. Hubungan yang koresponden
4/24/2014 10:24:52 AM
106
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
dan koheren inilah yang menjadi acuan dari kebenaran suatu teori. Jadi, meskipun subjektivitas dari pikiran manusia sebagai dunia kedua dalam mengembangkan hasil pemikiran dalam dunia ketiga amatlah kuat namun ini tidak boleh terlepas dari realitas fisik sebagai dunia pertama. Hal inilah yang menentukan kebenaran dari suatu keterangan, baik berupa teori, argumentasi, pernyataan, atau pengakuan. Peran Media dalam Pembentukan Persona Soeharto sebagai Pemimpin Indonesia Konstelasi seperti diuraikan di ataslah yang akan dijadikan acuan oleh penulis untuk mengkritisi informasi yang beredar di dalam media. Sejak teknologi informasi, seperti televisi, radio, dan media cetak dikembangkan, manusia semakin lemah dalam melakukan pengujian hubungan dari suatu informasi dengan realitas, ka rena arus informasi yang sangat cepat yang berbanding terbalik dengan kemampuan manusia dalam melakukan pengujian informasi. Misalkan ada suatu keterangan yang direkayasa sehingga tidak koresponden dengan realitasnya, atau yang biasa disebut ‘fiktif’, maka akan ada usaha untuk menutupi kebenaran dari keterangan tersebut. Kecenderungan untuk melakukan suatu keterangan yang fiktif pada dasarnya
VOL II, 2014
memiliki tujuan dan kepentingan yang terbalik dengan keterangan ilmiah yang faktual.Keterangan yang fiktif diciptakan untuk membuat suatu konstruksi yang surreal atau melampaui realitas yang sebenarnya, untuk memenuhi tujuan dan kepentingan tertentu dari suatu pihak. Perilaku fiktif ini sebenarnya sangat wajar untuk dilakukan manusia, karena berkaitan dengan imajinasi sebagai bagian dari proses berpikir manusia. Hal inilah yang ditekankan Popper terkait dengan pengertian garis demarkasi antara hal ilmiah dan tidak ilmiah7, yaitu ketika suatu teori sesuai dengan realitasnya, atau memiliki falsifiabilitas8 yang ting gi, maka teori tersebut dapat dikatakan sebagai ilmiah (Popper, 2002). Dalam perkembangan informasi di dunia modern, terutama pada tahun 1965, televisi belum begitu banyak digunakan di Indonesia, sehingga berita yang beredar dianggap benar tanpa perlu pembuktian, meskipun tingkat kebenarannya sebenarnya masih belum jelas.Kondisi tersebut memudahkan sekelompok orang yang memiliki kepentingan tertentu untuk memberikan suatu keterangan yang mungkin saja jauh dari fakta sebenarnya. Selain itu, cara Soeharto menampilkan personanya sebagai penyelamat bangsa, meyakinkan rakyat Indonesia bahwa persona inilah yang dapat dipercayai.
Popper menyebutnya sebagai pseudoscience. Artinya kondisi ketika suatu teori dilandaskan pada suatu pemahaman yang bias dan bersifat ilusi atau khayalan belaka, tetapi dianggap sebagai sesuatu yang ilmiah. Salah satu contoh yang diambil Popper adalah teori psikoanalisis Sigmund Freud yang tidak bisa diuji dan diobservasi, karena paradoks yang dihasilkan dari teori alam bawah sadar.Selain itu, Popper juga menganggap teori Karl Marx mengenai persamaan kelas, juga dilandaskan pada sesuatu yang utopis dan doktriner, sehingga termasuk dalam pseudoscience. 8 Falsifiabilitas adalah sifat dari suatu teori yang terbuka pada suatu penyangkalan.Semakin banyak penyangkalan, maka teori tersebut dianggap falsifiable.Semakin falsifiablesuatu teori dan mampu bertahan dari penyangkalan, maka teori tersebut dianggap lebih mendekati kebenaran. Bagi Popper, perkembangan ilmiah suatu teori hanya dapat diuji melalui penyangkalan yang kritis. Jika suatu teori mampu bertahan, maka teori tersebut dapat dianggap mendekati kebenarannya; tetapi jika tidak mampu bertahan, maka teori yang lama akan digantikan dengan yang baru. 7
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 106
4/24/2014 10:24:52 AM
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
CANGGIH GUMANKY FARUNIK 107
tolak belakang dengan tujuan dan ideologi negara yang cenderung sosialis. Gambar ketiga yang diambil dari store.tempo.com, juga menunjukkan propaganda anti PKI diperkuat dengan film yang menunjukkan kekejaman PKI, yang berisi pesan bahwa Resimen Cakrabirawa dan TNI Angkatan Udara yang melakukan penculikan para Jenderal merupakan bagian dari rencana PKI.Film ini selalu diputar selama masa pemerintahan Soeharto setiap tanggal 30 Sptember sebagai hari peringatan G30S/PKI dan hari kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober. Gambar 2 (http://ceritaindonesia.wordpress.com/tag/soeharto-ordebaru)
Gambar kedua diambil dari website ceritaindonesia.wordpress.com, yang isi nya sebuah poster Soeharto sebagai bapak pembangunan. Persona Soeharto sebagai penyelamat bangsa dan seorang yang berjasa bagi pembangunan Indonesia me negaskan bahwa dirinya bukan seorang fasis, dan hal tersebut dipercayai secara penuh oleh rakyat Indonesia. Sikap kritis dihalangi dan diredam dengan berbagai cara agar propaganda media menjadi kebenaran tunggal. Soeharto juga menggunakan Pancasila sebagai langkah untuk mengantisipasi perlawanan dari simpatisan PKI, kalangan akademisi yang meneliti pemikiran Marx, dan termasuk seniman serta sastrawan yang bercorak Marxisme yang masih tersisa. Siapapun yang menyebarkan ajaran Marxisme akan dianggap sebagai musuh Pancasila dan negara Indonesia. Model dan strategi persona Soeharto ini berbeda dengan persona Pinochet yang berbentuk opresi terbuka, sehingga berita yang beredar adalah berita yang menegaskan bahwa dirinya adalah seorang fasis yang menghambat kebebasan rakyat Chili. Opresi terbuka tersebut akan menimbulkan suatu perlawanan, dan dianggap ber-
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 107
Gambar 3 (http://store.tempo.co/foto/detail/ P0508201100189/poster-film-penumpasan-sisa-sisa-pki-di-blitar-selatan#.UxG9auOSxCA)
Melalui pemahaman tersebut, dapat disimpulkan bahwa bukan masyarakat Indonesia yang bodoh, tetapi kecerdikan dan kemampuan Soeharto dalam memanfaatkan oposisi biner antara Pancasila dan PKI se bagai cara untuk menjatuhkan musuh politiknya. Jika kekuasaan Soeharto, diperkuat oleh suatu paham kenegaraan seperti Pancasila, sedangkan Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang tidak bisa digantikan, maka siapapun yang menyerang Soeharto berarti menyerang Pancasila, begitu juga sebaliknya. Begitu juga apabila ada seseorang atau sekelompokorang yang ber usaha menyebarkan paham komunisme,
4/24/2014 10:24:52 AM
108
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
maka akan dianggap sebagai musuh negara dan Pancasila. Kondisi inilah yang menjadi justifikasi bagi Soeharto untuk menekan lawan-lawan politiknya. Melalui cara seperti itu juga, masyarakat Indonesia merasa dibenarkan dengan pembunuhan massal para anggota dan pendukung dari PKI, sehingga tidak ada perasaan bersalah atas pembunuhan tersebut. Hal tersebut juga digambarkan dengan baik dalam film The Art of Killing. Dalam film ini dituturkan bahwa para pelaku pembunuhan terhadap anggota PKI di Medan sama sekali tidak merasa bersalah, karena mereka menganggap PKI yang salah dan yang mereka lakukan adalah hal yang benar. Para pelaku ini juga dianggap sebagai pahlawan yang berjasa dalam melawan pemberontakan dan menjaga keutuhan negara Indonesia.Tentang hal ini Vltchek mengatakan: ”A few streets away, the newly rich, sit in their luxury SUV’s in epic traffic jams, watching television, going nowhere, but proud that they have moved up the rungs on their class ladder.What a success! What an absolute success of fascist, neocolonial demagogy and the ‘market economy’!This ‘success’ was, of course, studied and analyzed in Washington, Canberra, London and elsewhere. It has been implemented all over the world, in different forms and variations, but with the same essence: strike and murder every thinking being, shock and brainwash… then rob the poor and reward a few criminals… from Chile to Argentina, Yeltsin’s Russia and Rwanda, now again in Egypt.It has worked almost everywhere. “Jakarta was coming”, and it has been spreading its filth, its ignorance, brutality and compassionless way of ‘thinking’ all over the planet” (Vltchek, 2013).
VOL II, 2014
dan ekonomi pasar. Hanya saja kesinisan Vltchek tersebut justru menutupi pandang an yang objektif terhadap Indonesia. Indonesia seperti objek yang diteliti perilakunya dari dalam ruangan berkaca. Cara Vltchek menghakimi bangsa Indonesia dalam artikelnya menunjukkan sikap yang sama dengan masyarakat yang membenci PKI, yaitu sikap yang menganggap bahwa golongan yang berlawanan memiliki cara hidup yang salah, tidak bersifat konstruktif yang progresif, dan tidak mencerminkan orang yang layak untuk hidup sebagai manusia yang beradab. Suatu cara pandang yang menyingkirkan data, dan informasi yang berkaitan dengan kondisi sebenarnya, dan hanya menggunakan informasi, dan data yang mendukung artikelnya tersebut. Dengan kata lain, Vltchek tidak melakukan suatu analisis yang objektif di dalam artikelnya tersebut. Kesimpulan
Artikel Vltchek yang menyebutkan bahwa rakyat Indonesia semata-mata bodoh, dan tidak peduli terhadap kejahatan kemanusiaan tidak sepenuhnya benar, karena kompleksitas persoalan yang terjadi pada masa itu, ditambah kemampuan Soeharto dalam menampilkan persona yang berbeda dari pandangan seorang fasis. Kuatnya persona Soeharto itu juga yang menopang pandangan umum bahwa sistem Soeharto masih tetap bertahan, meskipun Soeharto sudah tidak lagi menjabat sebagai pre siden Indonesia, dan era reformasi sudah menyingsing. Bagi rakyat Indonesia, jasa Argumen tersebut memang menun- Soeharto bagi kemajuan bangsa Indonejukkan suatu kesuksesan yang bias, dan sia sangatlah besar. Jasa Soeharto tersebut Vltchek menganggap bahwa istilah ‘Jakarta mampu menutupi kenyataan bahwa ba was coming’ menunjukkan contoh fasisme nyak rakyat Indonesia yang terbunuh seyang sukses. Sangat mudah dipahami bah- lama periode kekuasaannya. Konteks Soewa sikap sinis Vltchek lebih tertuju pada harto sebagai seorang fasis juga tidak bisa kemenangan fasisme, neo-kolonialisme, dipahami apabila Soeharto dianggap se
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 108
4/24/2014 10:24:52 AM
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
bagai seorang pahlawan bangsa. Ketegasan Soeharto dianggap lebih layak oleh rakyat Indonesia ketika itu daripada seorang yang demokratis dalam memimpin bangsa. Hal inilah yang tidak dipahami Vltchek, bahwa penjajahan panjang, dan umur ne gara Indonesia yang masih sangat muda menyebabkan kondisi Indonesia yang belum stabil, bahkan jika dibandingkan de ngan Chili. Pendidikan yang belum merata bagi setiap penduduk Indonesia, karena ditinggalkan oleh golongan bangsawan terdidik yang membuka akses pengetahuan secara kurang merata, menyebabkan sebagian besar rakyat Indonesia mencari pendidikan alternatif melalui ajaran agama. Melalui ajaran agama juga, rakyat Indonesia mempelajari tentang oposisi biner dari kerangka dan kaidah moralitas, antara baik dengan buruk, kebaikan dan kejahatan, sehingga sikap yang terbentuk adalah dikotomis secara absolut yaitu upaya meyakinkan diri mereka sendiri bahwa yang dilakukannya adalah benar dan perlu secara moral, sekaligus bahwa yang me reka lawan adalah pihak yang salah. Sikap seperti ini sudah tidak digunakan lagi di Eropa dan Amerika, karena kesadaran HAM yang tinggi akibat perang yang terus terjadi di Eropa dan Amerika, sehingga wacana HAM bukan hanya tentang definisi HAM itu sendiri, tetapi juga diiringi kesadaran untuk mencegah sekuat tenaga pelbagai aktivitas yang dikategorikan se bagai pelanggaran HAM. Konteks kesadar an HAM memang belum begitu banyak diwacanakan di Indonesia, karena hal yang penting bagi Indonesia pada saat itu adalah stabilitas di segala bidang kehidupan, sehingga rakyat Indonesia akan membela siapapun yang mampu membawa mereka keluar dari krisis, dan membawa Indonesia pada kondisi yang stabil. Peran media sangat menentukan dalam hal menampilkan citra atau persona dari
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 109
CANGGIH GUMANKY FARUNIK 109
seseorang ataupun kelompok. Berdasarkan teori tiga dunia Popper, keterangan seseorang atau kelompok dapat dikatakan sebagai keterangan yang ilmiah, jika kores ponden dengan realitas faktualnya. Namun, dalam perkembangannya, keterang an yang berbentuk informasi tidak selalu sesuai dengan realitas sebenarnya, karena ada usaha untuk menjaga kepentingan personal, baik untuk menutupi, memanipulasi, atau menciptakan sesuatu yang surreal. Suatu fakta juga dapat digiring pada wacana yang diinginkan kelompok tertentu untuk menghindari terwujudnya realitas yang tidak diinginkan atau justru untuk menciptakan suatu realitas tertentu. Butuh penelitian yang lebih seksama mengenai persepsi kebenaran dalam media, karena kecenderungan persepsi masyarakat Indonesia adalah gampang menyerahkan putusan tentang kebenaran pada media. Bahkan, ketika terjadi dua informasi yang berbeda, dan bertentangan terhadap suatu fakta dan realitasnya, masyarakat cende rung percaya pada keduanya. Keyakinan tersebut berkaitan juga de ngan pemahaman bahwa informasi yang beredar di media tidak ada hubungannya dengan sikap moral dari realitas yang ditampakkan oleh informasi tersebut; ke cuali informasi tersebut berhubungan de ngan idola masyarakat, karena masyarakat akan cenderung membela idola mereka. Idola seperti menjadi bagian dari diri para penggemarnya, seolah-olah idola adalah milik para penggemar, dan mereka akan membelanya sepenuh hati. Selain itu, peran dari informan yang bertugas mencari kebenaran realitasnya, memiliki kecenderungan yang bersifat induktif dengan penyimpulan yang sangat general, dan mudah dipahami dirinya sen diri ataupun orang lain yang akan diinformasikan. Sebagai contoh, seseorang yang
4/24/2014 10:24:52 AM
110
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
berada di dalam bus, melihat pemuda de ngan pakaian kasual secara tidak sengaja menyentuh celana seorang wanita, maka kesimpulan dari orang tersebut akan mengarah pada dugaan bahwa si pemuda berpakaian kasual ini akan melakukan suatu kejahatan terhadap si wanita tersebut. Dugaan tersebut lebih dapat diterima umum daripada sekedar ‘kejadian yang tidak sengaja’, mengingat bahwa setiap tindakan seseorang pasti memiliki maksud dan tujuan, tidak mungkin hanya kebetulan. Maka dapat dibayangkan apabila si orang tersebut akan memberitahukan apa yang ia lihat kepada wanita tersebut se perti apa yang dirinya pikirkan bahwa si pemuda berpakaian kasual akan melakukan suatu perbuatan jahat. DAFTAR PUSTAKA Caldwell, Malcolm dan Utrecht, Ernst. (2011). Sejarah Alternatif Indonesia. Yogyakarta: Djaman Baru. Popper, Karl R. (2002). Unended Quest: An Intellectual Autobiography. London dan New York: Routledge. _____. (1978). Three World. University of Michigan: The Tanner Lecture of Human Value.
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 110
VOL II, 2014
Sumber Artikel dari Internet Minster, C. (2014). Chile’s MIR (The Revolutionary Left Movement): Urban Guerrillas Declare War on the Pinochet Dictatorship. Artikel bisa diakses di http:// latinamericanhistory.about.com/od/ thehistoryofchile/a/09ChileMIR.htm InterKnowledge Corp. (2010). Chile: History and Culture. Artikel bisa diakses di http://www.geographia.com/chile/chilehistory.htm Jurnal3. (2014). Hasil otopsi: 7 jenazah Pahlawan Revolusi utuh semua. Artikel bisa diakses di http://www.jurnal3.com/ hasil-otopsi-7-jenazah-pahlawan-revolusi-utuh-semua/ Vltchek, A. (2013). Chilean Socialism 1: Indonesian Facism 0. Artikel bisa diakses di http://www.counterpunch. org/2013/11/22/chilean-socialism-1-indonesian-fascism-0/ Sumber Gambar Gambar 1 http://www.knowledgejump. com/knowledge/popper.html Gambar 2 http://ceritaindonesia.wordpress. com/tag/soeharto-ordebaru Gambar3 http://store.tempo.co/foto/detail/ P0508201100189/poster-film-penumpasan-sisa-sisa-pki-di-blitar-selatan#. UxG9auOSxCA
4/24/2014 10:24:52 AM