Artikel: Guru Klasikal Versus Guru Canggih GURU KLASIKAL VERSUS GURU CANGGIH Oleh: Alamsyah Said
Satu tahun sebelum gelombang orde reformasi meletus, saya sudah mulai menjalani kegiatan mengajar. Saat itu Maret 1997, sebagai mahasiswa IKIP Manado ─sekarang bermatamorfosis menjadi Universitas Negeri Manado─, saya wajib melaksanakan tugas Praktek Kerja Lapangan atau PPL di Sekolah Katolik Rex Mundi Manado. Jika dihitung sampai tahun sekarang (red: 2009), berarti kurang lebih 12 tahun sudah saya menjalani profesi guru. Saat kali pertama mengajar, kata guru pembimbing Sekolah Rex Mundi; saya mengajar seperti seorang dosen yang juga baru pertama kali mengajar mahasiswa. Jujur saja, guru pembimbing itu menyindir saya dengan sangat halus. Bagaiamana tidak, saya benar-benar memonopoli kelas dan selama 80 menit (2 jam pelajaran) yang terdengar hanyalah suara ceramah sang guru pemula. Tidak ada interaksi interaktif kelas yang dinamis, selamanya hanyalah monotonisasi pengajaran satu arah. Sungguh sangat tidak kreatif. Dan selama mengajar pula, ilmu-ilmu paedagogi yang saya dapati dibangku kuliah hanya mampu menyumbang 10% teori dan nilai pengajaran, sementara sisanya 90% adalah mengajar cara dosen. Hanya karena intuisi dan bakat keguruan, saya tetap eksis menjalani profesi luar biasa ini. Tujuh tahun kemudian Maret 2003 di Bogor, saya merasa baru mengalami perubahan fase dalam metodologi pengajaran. Perubahan ini meliputi suatu cara pandang dalam mengajar dan bagaimana seharusnya guru mengajar dikelas. Waktu itu, saya mulai mengalami disorientasi paradigma tentang cara mengajar. Dari model mengajar klasikal (ceramah-monologis) dipaksa berubah menjadi mengajar cara modern (kreatif-multidialog) dengan bantuan games-games. Pada momen ini, saya merasa telah mengalami lompatan pandangan dan paradigma dalam bergelut di dunia pendidikan manusia. Diantara waktu itu, saya dan murid-murid menikmati sekali dengan gaya mengajar menggunakan games kreatif. Dan hampir ditiap momen pengajaran, murid selalu aktif untuk memainkan games-gemes. Seperti contoh berikut ini; sewaktu membahas materi kecepatan untuk pelajaran fisika, saya mengawali dengan menceritakan sebuah kisah heroik yang berakhir tragis, yaitu dalam final lomba sprint 100 meter pada olimpiade Seoul. Adalah Ben Jhonson asal Kanada dan Carl Lewis asal negeri Paman Sam, keduanya berlomba untuk menjadi manusia tercepat di planet bumi. Difinal, keluar sebagai jawaranya adalah Ben Jhonson sekaligus memecahkan rekor sebelumnya menjadi 9.88 detik. Saat itu, rekor fantastis yang dibuat Jhonson adalah hal yang hampir tidak mungkin. Seolah-olah Ben Jhonson berlari sederas Kijang saat dikejar Cheetah. Singkat cerita... olimpiade pun berakhir dan bersamaan itu pula hasil investigasi Komite Olimpiade Internasioanal (IOC) yang dipimpin Juan Antonio Samarans menyatakan bahwa peraih medali emas 100 meter, Ben Jhonson positif menggunakan doping jenis anabolik steroid, yaitu suatu
Artikel: Guru Klasikal Versus Guru Canggih jenis perangsang yang akan memberikan efek lari seperti dikejar setan bagi pemakainya. Kejadian ini membuat karir Ben Jhonson berantakan dan berakhir dengan tragis. Dimomen ini, saya memberikan dan menstimulasi siswa dengan integrasi dan penguatan nilai, berupa kejujuran dan sportifitas akan mendatangkan kemenangan sejati sedangkan kecurangan dan tidak sportif akan berakhir kekalahan, rasa malu dan kehancuran. Cerita diatas menjadi semacam intro atau pengantar sebelum mempelajari materi kecepatan. Istilah lain dari kondisi intro adalah scene setting, yaitu sebuah strategi mengajar untuk membangkitkan minat siswa dan menimbulkan rasa kepenasaranan serta memberikan pengalaman belajar sebelum masuk ke materi inti. Sebab, 99% pembelajaran akan berhasil tergantung pada menitmenit pertama yang membuat penasaran siswa. Intro atau scene setting ini dilanjutkan dengan aktifitas mengikuti kompetisi “lari cara fisika” untuk memperebutkan gelar manusia tercepat di kelas. Diantara siswa ada yang bertindak sebagai pencatat waktu, juri lomba dan sisanya adalah siswa suporter. Aktifitas kreatif menjadi kagiatan inti selama siswa mempelajari “kecepatan”, tentu selain pelaporan hasil menghitung kecepatan lari setiap siswa. Setiap anak antusias melaporkan atau mempresentasikan hasil perhitungan lombanya. Lima tahun berselang, peristiwa diatas mengagetkan penulis ketika membaca artikel yang ditulis Thomas Amstrong, PhD. Amstrong penulis buku “multiple intelligences in the classroom”, menyebutkan bahwa “aplikasi multiple intelligences dikelas dapat dilakukan dengan menyediakan delapan jalur potensi yang berbeda untuk belajar”. Pendapat Thomas Amstrong: “Saat anda mengajar atau belajar, anda dapat menghubungkannya dengan: 1. Kata (Kecerdasan linguistik) 2. Angka (Kecerdasan logis-matematika) 3. Gambar (Kecerdasan spasial) 4. Musik (Kecerdasan musik) 5. Refleksi diri (Kecerdasan intrapersonal) 6. Pengalaman fisik (Kecerdasan kinestetik-jasmani) 7. Pengalaman sosial (Kecerdasan interpersonal) dan/atau 8. Sebuah pengalaman di dunia alami (Kecerdasan naturalis) Sebagai contoh, sebagaimana dikutip dari Thomas Amstrong: Jika Anda mengajar atau belajar tentang hukum penawaran dan permintaan dalam ilmu ekonomi, Anda dapat membaca tentang hal ini (linguistik), belajar matematika rumus yang menyatakan itu (logis-matematis), memeriksa grafis bagan yang menggambarkan prinsip (spasial), mengamati hukum dalam dunia alam (naturalis) atau dalam perdagangan dunia manusia (interpersonal); mengkaji hukum dalam tubuh Anda sendiri [misalnya ketika Anda memasok tubuh Anda dengan banyak makanan, rasa lapar, tuntutan perut
Artikel: Guru Klasikal Versus Guru Canggih untuk makanan] (tubuh-kinestetik dan intrapersonal), dan/atau menulis lagu, atau menemukan lagu yang sudah ada (musik)”. Mengajar pada kelas akselerasi dengan kelas sistem paket memiliki metodologi, teknik dan strategi berbeda. Kelas akselerasi umumnya diisi oleh siswa-siswa yang mumpuni logismatematikanya, sehingga menggunakan sistem satuan kredit semester (SKS). Momentum sistem satuan kredit semester sangat memungkinkan siswa selesai lebih cepat dari waktu yang ditetapkan. sementara siswa yang berada pada kelas sistem paket berbeda kondisinya. Siswa kelas paket menyelesaikan waktu belajarnya sesuai waktu yang ditetapkan. Tidak tepat jika sekolah-sekolah di Indonesia yang menerapkan paket lalu mencampuradukkan dengan sistem akselerasi. Jika kenyataannya terdapat Sekolah menggunakan sistem paket dan diujungnya menerapkan sistem akselerasi, maka sebuah patologi telah terjadi. Paket atau akselerasi hanyalah sebuah implementasi dari penerapan kurikulum, disekolah umum, full day atau boarding school. Fakta ini menjawab perbedaan antara gaya belajar siswa kelas paket dengan gaya belajar siswa kelas akselerasi, yang tentunya gaya mengajar guru pada kedua sistem sangat berbeda. Sistem pendidikan Indonesia yang menerapkan paket sangat membutuhkan kreatifitas guru dalam menghasilkan proses pembelajaran terbaik atau the best process.
Guru Klasik dan Guru Profesional dimanakah Perbedaannya? Tidak sulit menemukan guru berkategori klasik. Tentu, karena memang tipe ini adalah mayoritas yang konsisten. Juga, tidak banyak dan tidak mudah mendapati guru yang ber-indikasi profesional, sebab biasanya mereka adalah orang muda mungkin saja masih fresh graduate-karena itulah ia mudah dibentuk yang bukan guru pegawai negeri, tipikal idealis dan selalu mencari bentuk model mengajarnya. Guru yang seperti ini, biasanya senang ketika siswanya menemukan spesial momennya atau mendapati siswanya yang tiba-tiba mengatakan, “wow... sekarang saya mengerti…” bahwa ternyata pelajaran matematika sangat mudah, setelah sang siswa berhasil memecahkan problem matematika. Tiba-tiba saja, matematika yang selalu menjadi momok menjadi tidak lagi menakutkan. Ketahuilah bahwa mencari bentuk model mengajar adalah sesuatu yang “gampang-gampang, sulit”. Oleh sebab itulah, orang-orang yang sudah merasa “mapan”, status kepegawaiannya dan status personalnya akan berusaha sekuat tenaga untuk konsisten mempertahankan model mengajar klasiknya. Baginya, masa bodoh dengan penemuan gaya mengajar, masa bodoh dengan gaya belajar siswa, masa bodoh dengan pembelajaran kreatif, masa bodoh dengan quantum learning, yang penting siswa mampu menjawab soal-soal ujian nasional yang rumit itu. Guru seperti ini, mengingkari hakekatnya sebagai “agent of change” dan mengkhianati prinsip “the best process learning”. Ciri
Artikel: Guru Klasikal Versus Guru Canggih umum dari guru klasikal adalah anti perubahan. Banyak ciri yang dapat diindikasikan untuk merujuk kepada guru tipe klasik diantaranya: 1. Meyakini bahwa ketika guru mengajar maka murid akan belajar. 2. Perencanaan mengajar terletak pada bagaimana guru mengajar kemudian murid mengerti. 3. Sebaiknya proses kegiatan belajar mengajar yang ideal adalah murid harus duduk diam mendengarkan penjelasan guru (proses ceramah-monologis). 4. Karena sudah lama mengajar, maka tidak lagi membuat lesson plan. Selama mengajar lebih mengandalkan pengalaman mengajar. (Ketika ditanya lesson plan sewaktu mengajar, jawabannya telah ada dikepala. Semuanya dalam bentuk imajinasi yang tersimpan dikepala berdasarkan pengalaman-pengalaman mengajar selama bertahun-tahun. Kalaupun ada lesson plan, sebuah lesson plan yang sudah usang yang dibuat kali pertama menjalani profesi guru. 5. Kegiatan belajar mengajar terbaik adalah ketika kelas dalam keadaan sunyi, memerhatikan guru menerangkan dan hening saat mengerjakan soal ujian closing test. 6. Suasana kegiatan belajar mengajar kelas lebih dominan menggunakan otak kiri. 7. Umumnya, interaksi guru - murid kaku, hanya sebatas ceramah monolog dan hampir tidak ada program pendampingan siswa, kalaupun ada program pendampingan hanya menjadi kewenangan guru BP. Sumber belajar terbatas hanya pada buku ajar dan ruang kelas yang sunyi, diam dan sepi. Semakin diam kelas maka semakin berhasil KBM di kelas itu.
Lesson Plan, Bukti Profesionalitas Guru Rencana pengajaran atau biasa disebut lesson plan merupakan siklus pertama dari sebuah pembelajaran yang profesional. Lesson plan adalah perencanaan yang dibuat guru sebelum mengajar. Sebagai perbandingan, seorang karyawan perusahaan Honda memiliki prosedur perencanaan tetap ketika bekerja. Ini dimungkinkan karena objek kerja yang dihadapai adalah benda mati alias motor. Berbeda dengan mereka yang bekerja dengan “mesin bernyawa” alias manusia. Keunikan dan sifatnya yang paradoks menjadikan pekerjaan mengajar menjadi lebih rumit, sehingga pada setiap proses kerjanya diperlukan rencana pengajaran agar mampu memenuhi tangki-tangki kecerdasan. Karena banyak sekali guru pada saat mengajar tidak membuat terlebih dahulu rencana pengajaran (lesson plan). Maka tidak diperoleh hasil yang maksimal dalam proses pengajaran. Ini dibuktikan dengan peringkat kualitas pendidikan di Indonesia menempati urutan 102 dari 106 negara didunia. Belum lagi data yang dirilis oleh OECD Programme for Interntional Student Assessment (PISA) pada tahun 2007 peringkat kualitas matematika, reading, sains dan problem solving menempati peringkat kedua dari bawah setelah Tunisia. Sehingga pada satu kesempatan, Pemerintah mengumumkan bahwa pekerjaan guru telah berhak untuk disejajarkan dengan pekerjaan profesi lainnya (baca; sertifikasi profesi), seperti loyer,
Artikel: Guru Klasikal Versus Guru Canggih dokter dan pilot. Bahkan para guru dalam waktu dekat ini akan disertifikasi demi mendapatkan legalisasi keprofesiaan. Pengumuman ini disambut dengan sukacita oleh para guru diseluruh penjuru negeri, tak terkecuali guru sekolah swasta. Para ahli termasuk para pemerhati pendidikan optimis dengan komitmen pemerintah itu. Bak gayung bersambut, Badan Sertifikasi Profesi (BSP) melakukan semacam uji kelayakan dan kepatutan terhadap para guru untuk dikonformasi keterangannya tentang kesiapan menerima status sebagai pekerjaan profesi. Maka dilakukanlah fit and proper test antara profesi pilot, dokter dan profesi guru sebagai berikut: Tanya - BSP
: Kalian para dokter, pilot dan guru adalah para profesional yang bekerja dengan standar kualitas terbaik dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dokter, pilot dan guru tolong tunjukkan kartu pekerjaan profesi yang kalian banggakan itu?
Jawab Serentak para pilot, dokter dan guru menjawab : Ini ID Card kami berikut dengan nomor registrasi dan barcodenya. Tanya - BSP
: Sungguh kami belum yakin dengan ID Card yang kalian tunjukkan itu, bisa saja apa yang kalian tunjukkan adalah ID Card aspal (asli tapi palsu).
Jawab Lalu sang pilot, dokter dan guru memperlihatkan selembar kertas bermatrei 6000. : Baiklah. Mungkin surat perjanjian/kontrak kerja ini dapat menjadi bukti legal akan keprofesian kami.. Tanya - BSP
: Oke.. kami percaya, kami percaya akan keprofesian bidang kalian masing-masing. Tapi bisakah kalian menunjukkan bukti dokumen otentik selama kalian berkerja dibidangnya masing-masing?
Jawab Lalu sang pilot dan dokter memperlihatkan berlembar-lembar dokumen SOP dan fortopolio kerja. - Pilot
: Ini saya serahkan dokumen Standar Operasional Prosedur kerja, berikut dokumendokumen portofolio saya selama 10 tahun bekerja sebagai pilot. Saya telah memiliki 15.000 jam terbang, tahun pertama menerbangkan pesawat Airbus A-380 mengalami turbulensi, yaitu gerakan udara yang umumnya tidak dapat dilihat, dapat terjadi dilangit cerah dan secara tiba-tiba tanpa diprediksi sebelumnya. Turbulensi menyebabkan pesawat mengalami guncangan hebat pada saat melewati kolom udara dimana dalam kolom udara terjadi benturan massa udara yang datang dengan kecepatan cukup tinggi dan berasal dari berbagai arah yang tidak beraturan. Langkah
Artikel: Guru Klasikal Versus Guru Canggih pertama
yang
kami
(pilot)
lakukan
adalah;
menyusun
rencana
terbang,
mempertimbangkan keadaan cuaca rute yang akan dilalui, melaksanakan fasten safety belt, melakukan chek list normal prosedur penerbangan. Didalam dokumen portofolio itu, jejak rekam terdata dengan baik, mulai dari tahun pertama penerbangan sampai tahun terakhir menerbangkan pesawat. - Dokter
: Ini saya serahkan dokumen Standar Operasional Prosedur kerja, berikut dokumendokumen selama praktek. Pada dokumen itu tercatat jumlah pasien yang telah ditangani, jenis-jenis penyakit yang sering kami dapati, metode diagnosa dan tindakan kedokteran yang kami berikan, kami memiliki etika dan sanksi profesi. Selama bertugas menjadi dokter kami mengikuti dengan ketat Standar Operasional Prosedur kerja dan kami menjaga kerahasiaan data dan riwayat penyakit pasien.
Lalu BSP memberikan atensi dan aplaus luar biasa kepada profesi pilot dan dokter. - BSP
: Sekarang kami lebih yakin dan percaya, bahwa anda, pilot dan dokter adalah para profesional sejati.
Tanya - BSP
: Anda para guru, mana bukti-bukti otentik anda selama menjadi menjadi guru?
Jawab - Guru
: Jangankan Standar Operasional Prosedur kerja, dokumen-dokumen portofolio kami tidak ada dan kalaupun ada hanya beberapa lembar saja. Sebab selama mengajar, hanya membuat lesson plan satu kali, yakni ditahun pertama kami mengajar. Juga kami jarang dan hampir tidak pernah sama sekali merekam jejak proses dan hasil pengajaran, kami tidak punya penilaian otentik. Tapi kami masih punya bukti yaitu; rapor dan lihatlah para murid-murid kami, telah banyak yang menjadi menteri, pengacara, dokter spesialis, tentara, desainer, artis, koki, dan juga menjadi ulama, teroris, bandar judi, penjahat makelar kasus pengadilan dan segala macam jenis pekerjaan.
Tanya - BSP
: Kami ingin melihat dokumen-dokumen lesson plan selama anda mengajar? Bukankah guru menjadikan lesson plan sebagai standar operasional kerja ketika mengajar? Bagi kami, output hanyalah akibat dari sebuah proses. Mana bukti dokumen lesson plan anda selama mengajar? Baiklah, jika anda (para guru) belum menjadikan budaya kelengkapan dokumen portofolio berisi lesson plan, maka dengan berat hati BSP menyatakan pekerjaan guru belum menjadi sebuah pekerjaan profesi.
Artikel: Guru Klasikal Versus Guru Canggih Sejalan dengan dialog diatas, sering kita menemui rekan-rekan guru yang sudah menjalani proses sertifikasi profesi kembali menjadi klasikal dan bahkan tidak nampak sama sekali aura kecanggihannya dalam mengajar. Perlu diingat bahwa, analogi pesawat terbang seperti sosok manusia yang akan diajak terbang dan ketika dalam penerbangannya mengalami gangguan berarti ada yang salah dalam “prosedur proses pengajarannya”. Oleh karena itulah, lesson plan menjadi syarat maha utama untuk mengawal proses belajar mengajar serta mengontrol kualitas guru sehingga kelas memiliki sistem Management Quality Control. Dengan lesson plan, akan dapat terukur kualitas pembelajaran di kelas yang berhubungan dengan hasil prestasi akademik siswa. Dan guru akan mempunyai waktu perencanaan sebuah topik pembelajaran tentang bagaimana sebuah topik disampaikan dengan baik dan menarik. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Bobbi De Porter ketika memberikan ceramah umum Quantum Learning for Indonesian Teacher di gedung Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, bahwa “proses belajar mengajar adalah sebuah pekerjaan seni yang profesional dan mempunyai Management Quality Control dalam pembelajaran. Setidaknya, pernyataan Bobbi De Poter tentang proses belajar mengajar kreatif dan guru yang menerapkan teknik mengajar dengan pendekatan strategi multiple intelligences akan mampu memantik dan memunculkan poin-poin kecerdasan siswa. Yang demikian itu adalah cara tercepat untuk menanggalkan predikat guru klasik. Semoga. Penulis, alumni Universitas Indonesia. Bekerja sebagai konsultan lesson plan di Sekolah Alam dan Sains Al-Jannah, Jakarta.