BUPATI BOALEMO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2011 – 2031
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BOALEMO,
Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Boalemo dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan, perlu disusun rencana tata ruang wilayah; b. bahwa dalam rangka
mewujudkan keterpaduan pembangunan
antar sektor, daerah, dan masyarakat maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat, dan/atau dunia usaha; c. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan pasal 78 ayat (4) huruf b Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka perlu penjabaran ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boalemo Tahun 2011-2031; 1
Mengingat :
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478); 4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 5. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Boalemo di Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun
1999
Nomor
178,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3899) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Boalemo (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3965); 6. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 4060); 2
7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor
4169); 8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411); 10. Undang-Undang
Nomor
25
Tahun
2004
tentang
Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 11. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4433)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073); 12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2008
tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3
13. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 14. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444); 15. Undang-Undang
Nomor 17
Tahun 2007
tentang
Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); 16. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722); 17. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723); 18. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor
4724); 19. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Reublik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725; 20. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739); 21. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746); 4
22. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851); 23. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956); 24. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 25. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); 26. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015); 27. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); 28. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052); 29. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
5
30. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian
Pangan
Berkelanjutan
(Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068); 31. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168); 32. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188); 33. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 34. Peraturan
Pemerintah
Nomor
19
Tahun
1999
tentang
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816); 35. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 36. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934); 37. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan
di
Kawasan
Pengembangan
Ekonomi
Terpadu
(Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2000 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3949) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6
147 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 264, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4065); 38. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242); 39. Peraturan
Pemerintah
Nomor
45
Tahun
2004
tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah
Nomor
45
Tahun
2004
tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor
133,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 5052); 40. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624); 41. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655); 42. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
7
43. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4779); 44. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 45. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987); 46. Peraturan
Pemerintah
Nomor
15
Tahun
2010
tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103); 47. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110); 48. Peraturan
Pemerintah
Nomor
23
Tahun
2010
tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111); 49. Peraturan Penggunaan
Pemerintah Kawasan
Nomor Hutan
24
Tahun
(Lembaran
2010
tentang
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112); 50. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan
Pengawasan
Penyelenggaraan
Pengelolaan
Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik
8
Indonesia Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5142); 51. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 109,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5154); 52. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160); 53. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5230); 54. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5217); 55. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; 56. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri; 57. Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo Tahun 2010-2030 (Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 2 Tahun 2011).
9
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BOALEMO dan BUPATI BOALEMO MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2011 – 2031.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan 1. Daerah adalah Kabupaten Boalemo. 2. Kepala Daerah adalah Bupati Boalemo. 3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten Boalemo. 4. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Boalemo. 5. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan kehidupannya. 7. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 8. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. 9. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
10
10. Pusat kegiatan nasional yang selanjutnya disingkat PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi. 11. Pusat kegiatan wilayah yang selanjutnya disingkat PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten. 12. Pusat kegiatan lokal yang selanjutnya disingkat PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa kecamatan. 13. Pusat kegiatan lokal promosi yang selanjutnya disingkat PKLp adalah kawasan perkotaan yang dipromosikan untuk menjadi PKL. 14. Pusat kegiatan strategis nasional yang selanjutnya disingkat PKSN adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara. 15. Pusat pelayanan kawasan yang selanjutnya disingkat PPK adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. 16. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional. 17. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. 18. Penataanruang
adalah
suatu
sistem
proses
perencanaan
tata
ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 19. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. 20. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. 21. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. 22. Kawasanadalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. 11
23. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. 24. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. 25. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun
perdesaan
yang
berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. 26. Kawasan Minapolitan adalah suatu bagian wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa dan/atau kegiatan pendukung lainnya. 27. Kawasan pertahanan negara adalah wilayah yang ditetapkan secara
nasional
yang digunakan untuk kepentingan pertahanan. 28. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 29. Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu
memberikan
perlindungan
kepada
kawasan
sekitarnya
maupun
bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. 30. Kawasan peruntukkan pertambangan adalah wilayah yang memiliki sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair atau gas berdasarkan peta /data geologi dan merupakan tempat dilakukannya seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi : penyelidikan umum, eksplorasi, operasi produksi dan pasca tambang, baik di wilayah darat maupun perairan, serta tidak dibatasi oleh penggunaan lahan, baik di kawasan budidaya maupun kawasan lindung. 31. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. 32. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.
12
33. Kawasan Resapan Air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air. 34. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. 35. Daerah aliran sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 36. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. 37. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk
setiap
blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. 38. Zonasi adalah blok tertentu yang ditetapkan penataan ruangnya untuk fungsi tertentu. 39. Sumber Daya Air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. 40. Daerah Irigasi selanjutnya disebut DI adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu jaringan irigasi. 41. Daerah Rawa selanjutnya disebut DR adalah kesatuan lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara phisik, kimiawi, dan biologis. 42. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 13
43. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. 44. Kawasan
strategis
nasional
adalah
wilayah
yang
penataan
ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara,ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. 45. Kawasan
strategis
provinsi
adalah
wilayah
yang
penataan
ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. 46. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. 47. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi. 48. Masyarakat adalah orang, perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang. 49. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 50. Badan koordinasi penataan ruang daerah, yang selanjutnya disingkat BKPRD adalah badan yang bersifat ad-hoc
yang dibentuk untuk mendukung
pelaksanaan Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang di Kabupaten Boalemo dan mempunyai fungsi membantu tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah.
BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG Bagian Kesatu Tujuan Penataan Ruang Pasal 2 Tujuan penataan ruang wilayah adalah mewujudkan ruang wilayah Kabupaten Boalemo yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sebagai daerah pusat 14
agribisnis, industri, pariwisata, dan jasa melalui sinergisasi pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berhirarki.
Bagian Kedua Kebijakan Penataan Ruang Pasal 3 Kebijakan penataan ruang wilayah untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah, terdiri atas: a. pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan; b. pengembangan prasarana wilayah; c. peningkatan fungsi kawasan lindung; d. peningkatan sumber daya hutan produksi; e. peningkatan sumber daya lahan pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan; f. pengembangan potensi pariwisata; g. pengembangan potensi pertambangan; h. pengembangan potensi industri; i. pengembangan potensi perdagangan; j. pengembangan potensi pendidikan; k. pengembangan potensi permukiman; dan l. peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Bagian Ketiga Strategi Penataan Ruang Paragraf 1 Pengembangan Sistem Pusat-Pusat Kegiatan Pasal 4 Strategi pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, terdiri atas: a. meningkatkan interkoneksi antar kawasan perkotaan yang meliputi PKW, PKL eksisting, PKLp, dan PPK antar kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan, serta antar kawasan perkotaan dengan wilayah sekitarnya; b. mempromosikan PKLp berupa kota-kota satelit penyangga;
15
c. mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru di kawasan yang potensil dan belum terlayani oleh pusat pertumbuhan eksisting; d. mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah rawan longsor di perbukitan dan rawan banjir di tepi sungai dan pantai; e. mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam mendorong pengembangan wilayah sekitarnya; f. meningkatkan sinergitas, sistem transportasi dan komunikasi antar kawasan perkotaan, antar pusat-pusat kegiatan seperti PKW, PKL, PKLp, dan PPK; g. mengendalikan
perkembangan
kawasan
perkotaan,
khususnya
daerah
perbukitan, bantaran sungai dan sempadan pantai; dan h. mendorong kawasan perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan agar lebih produktif, kompetitif dan lebih kondusif untuk hidup dan berkehidupan secara berkelanjutan, serta lebih efektif dalam mendorong pengembangan wilayah sekitarnya.
Paragraf 2 Pengembangan Prasarana Wilayah Pasal 5 Strategi pengembangan prasarana wilayah sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3 huruf b, terdiri atas: a. mengembangkan dan meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, informasi, telekomunikasi, energi dan sumber daya air yang hierarkis, sinergis, terpadu dan merata PKW, PKL, PKLp, dan PPKdi seluruh wilayah kabupaten; b. meningkatnya kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi secara terpadu; c. mendorong pengembangan prasarana informasi dan telekomunikasi terutama di kawasan yang masih terisolir; d. meningkatkan
jaringan
energi
dengan
lebih
menumbuhkembangkan
pemanfaatan sumber daya terbarukan yang ramah lingkungan dalam sistem kemandirian energi area mikro, dibanding pemanfaatan sumber daya yang tak terbarukan, serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik; e. meningkatkan jaringan distribusi bbm dan gas kabupaten yang terpadu dengan jaringan dalam tataran nasional secara optimal; 16
f. meningkatkan kualitas jaringan prasarana serta mewujudkan keterpaduan sistem jaringan sumber daya air; g. meningkatkan kualitas jaringan prasarana persampahan secara terpadu dengan penerapan konsep 4R(rethinking, reduce, reuse dan recycling) dengan paradigma sampah sebagai bahan baku industri menggunakan teknik pengolahan modern di perkotaan berbentuk tempat pengolahan akhir (TPA), dan teknik pengolahan konvensional di perdesaan yang menghasilkan kompos maupun bahan baku setengah jadi; h. mengarahkan sistem pengelolaan akhir sampah dengan metode controlle landfill dan sanitary landfill; dan i. meningkatkan kualitas jaringan prasarana sanitasi melalui pengelolaan limbah terpadu melalui instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT).
Paragraf 3 Peningkatan Fungsi Kawasan Lindung Pasal 6 Strategi peningkatan fungsi kawasan lindung sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3 huruf c, terdiri atas: a. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah, khususnya das kritis dan pesisir pantai; b. menyelenggarakan upaya terpadu pelestarian fungsi sistem ekologi wilayah; c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah kabupaten; d. melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya; e. melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya; dan f. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. 17
Paragraf 4 Peningkatan Sumber Daya Hutan Produksi Pasal 7 Strategi peningkatan sumber daya hutan produksi sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3 huruf d, terdiri atas: a. mengembangkan areal lahan hutan produksi secara selektif; dan b. mengembangkan agro forestry (hutan perkebunan) di areal sekitar hutan lindung sebagai zona penyangga yang memisahkan hutan lindung dengan kawasan budidaya terbangun.
Paragraf 5 Peningkatan Sumber Daya Lahan Pertanian, Perkebunan, Peternakan danPerikanan Pasal 8 Strategi peningkatan sumber daya lahan pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan, sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3 huruf e, terdiri atas: a. mempertahankan areal sentra produksi pertanian lahan basah di perdesaan; b. meningkatkan kualitas lahan pertanian; c. mengembangkan areal lahan komoditas perkebunan khususnya di daerah perdesaan seluruh kabupaten secara selektif; d. meningkatkan intensitas budidaya peternakan; e. meningkatkan kemampuan dan teknologi budidaya perikanan air tawar; f. mengembangkan budidaya perikanan air tawar, air payau dan laut; g. mengembangkan komoditas perikanan dilakukan secara luas oleh masyarakat maupun badan usaha yang diberi izin di wilayah yang telah ditetapkan oleh perintah setempat; dan h. mengembangkan sektor perikanan yang terpadu dengan kegiatan wisata serta memenuhi kebutuhan kawasan lain di luar wilayah.
Paragraf 6 Pengembangan Potensi Pariwisata Pasal 9 Strategi pengembangan potensi pariwisata sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3 huruf f, terdiri atas: 18
a. pengembangan industri pariwisata budaya dan alam yang ramah lingkungan; b. mengembangkan penerapan ragam nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat; c. melestarikan situs warisan budaya komunitas lokal masyarakat kabupaten Boalemo; d. mengembangkan objek wisata sebagai pendukung daerah tujuan wisata yang ada; dan e. mengembangkan promosi dan jaringan industri pariwisata secara global.
Paragraf 7 Pengembangan Potensi Pertambangan Pasal 10 Strategi pengembangan potensi pertambangan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3 huruf g, terdiri atas: a. mengendalikan penambangan batuan di sungai maupun di gunung agar tidak berdampak pada kerusakan lingkungan dan bahaya banjir, abrasi maupun longsor; b. mengembangkan budidaya pertambangan yang berwawasan lingkungan; dan c. mengembangkan sumber daya baru pengganti bahan tambang yang akan habis.
Paragraf 8 Pengembangan Potensi Industri Pasal 11 Strategi pengembangan potensi industri sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3 huruf h, terdiri atas: a. mengembangkan agro industri terutama yang berbasis hasil komoditi sektorsektor kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan; b. mengembangkan kawasan agro industri skala sedang di PKW, PKL dan PKLp; dan c. mengembangkan usaha industri kecil dan industri rumah tangga yang tidak mengganggu kehidupan di kawasan permukiman.
19
Paragraf 9 Pengembangan Potensi Perdagangan Pasal 12 Strategi pengembangan potensi perdagangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf i, terdiri atas: a. mengembangkan kawasan potensi ekonomi di PKW, PKL dan PKLp; b. mengembangkan pasar hasil industri pertanian; dan c. meningkatkan akses koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah terhadap modal, perlengkapan produksi, informasi, teknologi dan pasar.
Paragraf 10 Pengembangan Potensi Pendidikan Pasal 13 Strategi pengembangan potensi pendidikan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3 huruf j, terdiri atas: a. menyelenggarakan pendidikan sebagai pusat ilmu pengetahuan terutama guna mendukung
pengembangan
sektor
kehutanan,
pertanian,
perkebunan,
peternakan, perikanan dan kelautan, industri kerajinan, perdagangan, dan pariwisata; dan b. memenuhi kapasitas dan mendistribusi secara proporsional pendidikan di PKW, PKL, PKLp, dan PPK.
Paragraf 11 Pengembangan Potensi Permukiman Pasal 14 Strategi pengembangan potensi permukiman sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3 huruf k, terdiri atas: a. mencegah tumbuh berkembangnya perumahan di kawasan lindung termasuk kawasan lindung setempat, seperti hutan lindung, lahan dengan kemiringan di atas 30%, bantaran sungai, dan sempadan pantai; b. mencegah pembangunan perumahan di daerah rawan bencana seperti longsor, banjir, dan gempa;
20
c. bangunan permukiman di tengah kota terutama di PKW dan PKL yang padat penduduknya
diarahkan
pembangunan
perumahannya
vertikal
dengan
ketinggian sedang; dan d. mengembangan permukiman perdesaan berlandaskan kearifan nilai budaya lokal seperti pola rumah kebun dengan bangunan berlantai panggung.
Paragraf 12 Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Pasal 15 Strategi peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3 huruf l, terdiri atas: a. membangun kompetensi dan kapasitas baik melalui pendidikan formal maupun non formal bagi angkatan kerja di sektor-sektor kehutanan, pertanian, perkebunan,
peternakan,
perikanan,
pariwisata,
industri,
perdagangan,
permukiman, sarana, prasarana, dan pemerintahan; dan b. mengembangkan sistem konsultasi, pendampingan, monitoring, evaluasi dan penghargaan berbasis kinerja bagi pelaku kegiatan sektor.
BAB III RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH Bagian Kesatu Umum Pasal 16 (1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Boalemo, meliputi: a. pusat-pusat kegiatan; b. sistem jaringan prasarana utama; dan c. sistem jaringan prasarana lainnya. (2) Rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
21
Bagian Kedua Pusat-pusat Kegiatan Pasal 17 (1) Pusat-pusat kegiatan yang ada di Kabupaten Boalemo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. PKW; b. PKL; c. PKLp; dan d. PPK. (2) PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu Kecamatan Tilamuta. (3) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu Kecamatan Paguyaman. (4) PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Kecamatan Wonosari Kecamatan Mananggu, dan Kecamatan Dulupi. (5) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, yaitu Kecamatan Botumoito, dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
Pasal 18 PKW, PKL, PPKsebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 diatur lebih lanjut dalam Rencana Rinci Tata Ruang berdasarkan dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga Sistem Jaringan Prasarana Utama Paragraf 1 Umum Pasal 19 Sistem jaringan prasarana utama yang ada di Kabupaten Boalemo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. sistem jaringan transportasi darat; b. sistem jaringan transportasi perkeretaapian; dan c. sistem jaringan transportasi laut.
22
Paragraf 2 Sistem Jaringan Transportasi Darat Pasal 20 (1) Rencana pengembangan sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a, yaitu Jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, yang meliputi: a. jaringan jalan; b. jaringan prasarana lalu lintas; dan c. jaringan layanan lalu lintas. (2) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. jaringan jalan arteri primer, terdiri atas: 1. ruas jalan batas Kabupaten Pohuwato – Tilamuta; 2. ruas jalan Tilamuta – Batas Kabupaten Gorontalo; dan 3. ruas jalan Paguyaman – Anggrek. b. jaringan jalan kolektor primer, yaituruas jalan Tangkobu
– Pentadu –
Tilamuta – Mananggu; c. jaringan jalan lokal primer, terdiri atas : 1. ruas jalan Lahumbo – Piloliyanga – Limbato – Pelabuhan Tilamuta; 2. ruas jalan Wonggahu – Saritani; 3. ruas jalan Molombulahe – Bubaa; 4. ruas jalan Molombulahe – Gandasari; 5. ruas jalan Saripi - Limbatihu; 6. ruas jalan Kotaraja – Dulupi; 7. ruas jalan Bongo Nol – Bongo I; 8. ruas jalan Bongo Nol – Dimito; 9. ruas jalan Bolihutuo – Pontolo; 10. ruas jalan Tabulo – Bendungan – Buti; dan 11. ruas jalan Dimito – Moliliulo – Tangga Jaya - Pangi d. jaringan jalan lokal sekunder tersebar di setiap kecamatan. (3) Jaringan prasarana lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. terminal penumpang tipe B di Tilamuta, Mananggu dan Wonosari; b. terminal penumpang tipe C di Paguyaman, Dulupi, Botumoito, dan Paguyaman Pantai; dan 23
c. terminal barang di Tilamuta. (4) Jaringan layanan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas: a. jaringan lintas angkutan barang yaitu PelabuhanTilamuta; b. trayek angkutan penumpang, terdiri atas: 1. terminal Tilamuta – Popayato; 2. terminal Tilamuta – Lemito; 3. terminal Tilamuta – Randangan; 4. terminal Tilamuta – Marisa; 5. terminal Tilamuta – Isimu; 6. terminal Tilamuta – Wonosari; 7. terminal Tilamuta – Dulupi; 8. terminal Tilamuta – Paguyaman Pantai; 9. terminal Mananggu – Popayato; 10. terminal Mananggu – Randangan; 11. terminal Mananggu – Paguyaman; 12. terminal Wonosari – Isimu; dan 13. terminal Wonosari – Kota Gorontalo.
Paragraf 3 Sistem Jaringan Transportasi Perkeretaapian Pasal 21 Jaringan transportasi perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, terdiri atas: a. jaringan jalur kereta api umum, meliputi jalur kereta api yang menghubungkan Sulawesi Tengah – Kota Marisa – Kota Tilamuta – Kota Isimu – Kota Kwandang – perbatasan Provinsi Sulawesi Utara; dan b. stasiun kereta api, terdapat di Kecamatan Tilamuta.
Paragraf 4 Sistem Jaringan Transportasi Laut Pasal 22 (1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c, meliputi: 24
a. tatanan kepelabuhanan; dan b. alur pelayaran. (2) Tatanan kepelabuhanan di Kabupaten Boalemo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu: a. pelabuhan pengumpan Tilamuta; dan b. pelabuhan ikan di Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Mananggu dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. alur pelayaran nasional, terdiri atas: 1. Tilamuta – Dolong – Wakai – Ampana – Pagimana – Gorontalo; 2. Tilamuta – Dolong/Wakai – Ampana – Pagimana – Banggai – Kolonadale – Makassar; dan 3. Tilamuta – Gorontalo – Kotabunan – Bitung –Ternate. b. alur pelayaran provinsi, terdiri atas: 1. Tilamuta – Marisa; dan 2. Tilamuta – Kota Gorontalo.
Bagian Keempat Sistem Jaringan Prasarana Lainnya Paragraf 1 Umum Pasal 23 Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c, terdiri atas: a. sistem jaringan energi; b. sistem jaringan telekomunikasi; c. sistem jaringan sumber daya air; dan d. sistem prasarana pengelolaan lingkungan.
Paragraf 2 Sistem Jaringan Energi Pasal 24 (1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, meliputi: 25
a. pembangkit tenaga listrik; b. jaringan prasarana energi; dan c. jaringan transmisi. (2) Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di Kecamatan Tilamuta; b. pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang akandibangun di Kecamatan Tilamuta dan Kecamatan Wonosari c. pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) di kecamatan yang berpotensi sumber daya air tinggi; dan d. pembangkit listrik tenaga surya untuk daerah perdesaan. (3) Jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah depo bahan bakar minyak (BBM) dan jaringan transmisi tenaga listrik. (4) Depo BBM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah depo BBM kawasan pelabuhan Tilamuta. (5) Jaringan transmisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas: a. gardu induk di Kecamatan Tilamuta; b. jaringan minyak SPBU di Kota Tilamuta, Mananggu, Paguyaman dan Wonosari; dan c. jaringan transmisi tenaga listrik 275 Kv (SUTET) dan 150 Kv (SUTT) terdiri atas jaringan Batas Sulawesi tengah – Molosipat – Popayato – Lemito – Motolohu – Marisa – Bumbulan – Tilamuta – Pentadu – Tangkobu - Isimu – Limboto - Gorontalo – Suwawa – Tulabolu.
Paragraf 3 Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 25 (1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b, terdiri atas: a. sistem jaringan kabel; dan b. sistem jaringan nirkabel. (2) Sistem jaringan kabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu stasiun telepon otomat (STO) di Kecamatan yang berpotensi.
26
(3) Untuk mendukung sistem interkoneksitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diarahkan rencana pengembangan jaringan kabel telepon mengikuti pola jalan. (4) Sistem jaringan nirkabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa lokasi menara base transceiver station (BTS) di Kecamatan yang berpotensi yang dapat dikembangkan penggunaannya secara bersama dan tidak mengganggu aktifitas disekitarnya.
Paragraf 4 Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 26 (1) (Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c, terdiri atas: a. Wilayah Sungai (WS); b. Cekungan Air Tanah (CAT); c. jaringan irigasi; d. jaringan air baku untuk air minum; e. jaringan air bersih ke kelompok pengguna; dan f. sistem pengendali banjir; (2) Wilayah Sungai (WS) yang berada pada Kabupaten Boalemo sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, meliputi: a. WS Paguyaman yang merupakan WS strategis nasional; dan b. WS lainnya meliputi aliran sungai Dimito, Limbatihu, Olibuu, Tumba, Bubaa, Tabongo, Dulupi, Sambati, Tilamuta, Lamu, Botumoito, Tapadaa, Salilama, dan Tabulo; (3) CAT yang terdapat di Kabupaten Boalemo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu CAT lintas kabupaten yang meliputi CAT Molombulahe, CAT Mahinoto dan CAT Soginti; (4) Jaringan irigasi yang berada pada Kabupaten Boalemo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi daerah irigasi (D.I): a. D.I nasional yaitu D.I Paguyaman kanan seluas kurang lebih 4.176 Ha; b. D.I provinsi yaitu pengembangan D.I Bendung Karya Agung/Bongo III seluas kurang lebih 1.045 Ha; c. D.I kabupaten, terdiri atas: 27
1. D.I Bongo Tua seluas kurang lebih 263 Ha; 2. D.I Mekar Jaya seluas kurang lebih 100 Ha; 3. D.I Tutulo seluas kurang lebih 75 Ha; 4. D.I Tabulo Latulaseluas kurang lebih 586 Ha; 5. D.I Saritaniseluas kurang lebih 850 Ha; dan 6. D.I TanggaBarito seluas kurang lebih 650 Ha. (5) Pengembangan jaringan irigasi meliputi rehabilitasi, pemeliharaan, dan peningkatan jaringan irigasi; (6) Pendayagunaan potensi jaringan sumber daya air antar daerah aliran sungai untuk mendukung ketersediaan air baku untuk jaringan irigasi; (7) Pengembangan jaringan irigasi yang ditujukan untuk mendukung ketahanan pangan dan pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan; (8) Jaringan air baku untuk air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas: a. air permukaan, terdiri atas: 1. air permukaan DAS Tilamuta; dan 2. air permukaan DAS Paguyaman. b. embung, meliputi: 1. embung Desa Botumoito di Kecamatan Botumoito; 2. embung Dulangea di Kecamatan Botumoito; 3. embung Tutulo di Kecamatan Botumoito; 4. embung Taman Polohungo di Kecamatan Dulupi; 5. embung kebun tebu Desa Tangga Jaya di Kecamatan Dulupi; 6. embung Desa Huwongo di Kecamatan Paguyaman; 7. embung kebun tebu Desa Huwongo di Kecamatan Paguyaman; 8. embung kebun tebu Desa Saripi di Kecamatan Paguyaman; 9. embung Desa Harapan di Kecamatan Wonosari; 10. embung Pangea di Kecamatan Wonosari; 11. embung kebun tebu Mekar Jaya di Kecamatan Wonosari; 12. embung Trirukun di Kecamatan Wonosari; 13. embung Raharja di Kecamatan Wonosari; dan 14. embung Piloliyanga di Kecamatan Tilamuta. (9) Jaringan air bersih ke kelompok pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yaitu pengembangan jaringan perpipaan di Kecamatan Mananggu, 28
Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari, dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (10) Sistem pengendali banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan dengan pembangunan, rehabilitasi, operasional serta pemeliharaan sarana dan prasarana pengendalian termasuk embung di daerah hulu dan hilir berbasis DAS yang mengalir di wilayah Kabupaten Boalemo.
Paragraf 5 Sistem Prasarana Pengelolaan Lingkungan Pasal 27 (1) Sistem prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d, terdiri atas: a. tempat pemrosesan akhir (TPA); b. tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST); c. pola pengelolaan sampah; d. instalasi pengolahanair limbah (IPAL); e. sistem jaringan air minum; f. sistem jaringan drainase; dan g. jalur evakuasi bencana. (2) Tempat pemrosesan akhir (TPA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu di Kecamatan Dulupi dan Kecamatan Wonosari. (3) Tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu berada di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari, dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (4) Pola pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dengan menggunakan metode sanitary landfill dan controlled landfill. (5) Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal yaitu di Kecamatan
Mananggu,
Kecamatan
Botumoito,
Kecamatan
Tilamuta,
Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (6) Sistem jaringan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yaitu berupa instalasi pengolahan air minum (IPA), jaringan perpipaan, serta 29
sambungan rumah yaitu SPAM Mananggu, SPAM Botumoito, SPAM Tilamuta, SPAM Dulupi, SPAM Wonosari, SPAM Paguyaman dan SPAM Paguyaman Pantai, serta pengembangan sistem air bersih perdesaan (PSAB). (7) Sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas: a. drainase primer diprioritaskan pada daerah-daerah yang mempunyai sumber air yang cukup besar pada Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito,
Kecamatan
Tilamuta,
Kecamatan
Dulupi,
Kecamatan
Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai; b. drainase sekunder Botumoito,
tersebar di Kecamatan Mananggu, Kecamatan
Kecamatan
Tilamuta,
Kecamatan
Dulupi,
Kecamatan
Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai; dan c. drainase tersier di daerah pemukiman yang rawan genangan air tersebar di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (8) Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g yaitu diarahkan mengikuti jaringan jalan menuju daerah dataran tinggi, perbukitan, dan pegunungan terdekat. (9) Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur lebih lanjut dalam peraturan bupati.
BAB IV RENCANA POLA RUANG WILAYAH Bagian Kesatu Umum Pasal 28 (1) Rencana pola ruang wilayah meliputi rencana kawasan lindung dan kawasan budidaya. (2) Rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
30
Bagian Kedua Kawasan Lindung Pasal 29 Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), terdiri atas: a. kawasan hutan lindung; b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; c. kawasan perlindungan setempat; d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; e. kawasan rawan bencana alam; dan f. kawasan lindung geologi.
Paragraf 1 Kawasan Hutan Lindung Pasal 30 Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a, yaitu : a. kawasan lindung nasional yang terkait dengan wilayah provinsi adalah Taman Nasional Promosi (TNp) Nantu Boliohuto di Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Boalemo; b. kawasan lindung provinsi meliputi: 1. kawasan hutan lindung (HL) di kabupaten-kabupaten Gorontalo, Gorontalo Utara, Bone Bolango, Boalemo, Pohuwato dan Kota Gorontalo; 2. kawasan konservasi laut daerah (KKLD) Pulau Monduli di Kabupaten Boalemo. c. Kawasan lindung kabupaten yaitu hutan lindung di kecamatan Mananggu, kecamatan Tilamuta, kecamatan Paguyaman, kecamatan Paguyaman Pantai, kecamatan Dulupi, kecamatan Wonosari, dan kecamatan Botumoito dengan luas kurang lebih 28.650 Ha.
Paragraf 2 Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya Pasal 31 (1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b, terdiri atas: a. kawasan resapan air; dan 31
b. kawasan hutan mangrove. (2) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat di Kecamatan
Mananggu,
Kecamatan
Botumoito,
Kecamatan
Tilamuta,
Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari, dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (3) Kawasan hutan mangrove sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat
di
Kecamatan
Kecamatan Dulupi,
Paguyaman,
Kecamatan
Kecamatan
Tilamuta,
Paguyaman
Kecamatan
Pantai,
Botumoito
dan
Kecamatan Mananggu.
Paragraf 3 Kawasan Perlindungan Setempat Pasal 32 (1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf c, terdiri atas: a. kawasan sempadan pantai; b. kawasan sempadan sungai; c. kawasan sekitar danau/waduk; dan d. ruang terbuka hijau. (2) Kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai dengan ketentuan a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal selisih 130 kali dari titik pasang air laut tertinggi dan titik pasang air laut terendah; atau b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai. (3) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di Kecamatan Mananggu, KecamatanBotumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai dengan ketentuan a. sepanjang sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan, ditetapkan sekurang-kurangnya 5 (lima) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul; 32
b. sepanjang sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan, ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) meter; c. sepanjang sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan, yaitu 1. sepanjang sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas 500 km2. pada sungai besar dilakukan ruas per ruas dengan mempertimbangkan luas daerah pengaliran sungai pada ruas yang bersangkutan dan ditetapkan sekurang-kurangnya 100 meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan; 2. sepanjang sungai kecil yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas kurang dari 500 km2, ditetapkan sekurangkurangnya 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai pada waktu ditetapkan. d. sepanjang sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan, yaitu: 1. sepanjang sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 (tiga) meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan; 2. sepanjang sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 (tiga) meter sampai dengan 20 (dua puluh) meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 (limabelas) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan; 3. sepanjang sungai yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20 (dua puluh) meter, garis sempadan sungai sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan. e. sepanjang sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter dari tepi sungai dan berfungsi sebagai jalur hijau; dan f. garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan dengan ketentuan konstruksi dan penggunaan jalan harus menjamin bagi kelestarian dan keamanan sungai serta bangunan sungai. (4) Kawasan sekitar danau/waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di Kecamatan Mananggu dengan ketentuan sempadan danau sepanjang tepian danau lebarnya antara 50 – 100 m dari titik pasang.
33
(5) Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d harus disediakan dengan ketentuan paling sedikit 30% dari setiap luas wilayah perkotaan.
Paragraf 4 Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam, dan Cagar Budaya Pasal 33 (1) Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf d, terdiri atas: a. kawasan suaka alam; dan b. kawasan pantai berhutan mangrove. (2) Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu Kawasan suaka alam Nantu Boliyohuto terdapat di Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Dulupi dengan luas kurang lebih 11.006 Ha. (3) Kawasan pantai berhutan mangrove sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai dengan luas kurang lebih 1.960 Ha.
Paragraf 5 Kawasan Rawan Bencana Alam Pasal 34 (1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf e, terdiri atas: a. kawasan rawan tanah longsor; b. kawasan rawan gelombang pasang; dan c. kawasan rawan banjir. (2) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (3) Kawasan rawan gelombang pasang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan
34
Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (4) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, dan Kecamatan Wonosari.
Paragraf 6 Kawasan Lindung Geologi Pasal 35 (1) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf f, terdiri atas: a. kawasan rawan bencana alam geologi; dan b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah. (2) Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. kawasan rawan gempa bumi, terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan
Botumoito,
Kecamatan
Kecamatan
Paguyaman,
Tilamuta,
Kecamatan
Kecamatan
Wonosari
dan
Dulupi,
Kecamatan
Paguyaman Pantai; b. kawasan rawan gerakan tanah, terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan
Botumoito,
Kecamatan
Kecamatan
Paguyaman,
Tilamuta,
Kecamatan
Kecamatan
Wonosari
dan
Dulupi,
Kecamatan
Paguyaman Pantai; c. kawasan yang terletak di zona patahan aktif, terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai; d. kawasan rawan tsunami, terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito,
Kecamatan
Tilamuta,
Kecamatan
Dulupi,
Kecamatan
Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai; dan e. kawasan rawan abrasi Botumoito,
Kecamatan
terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Tilamuta,
Kecamatan
Dulupi,
Kecamatan
Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (3) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu berupa kawasan sempadan mata air 35
dengan radius kurang lebih 200 meter di sekitar mata air terdapat di Kecamatan Mananggu, Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
Bagian Ketiga Kawasan Budidaya Pasal 36 Rencana kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), terdiri atas: a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan hutan rakyat; c. kawasan peruntukan pertanian; d. kawasan peruntukan perikanan; e. kawasan peruntukan pertambangan; f. kawasan peruntukan industri; g. kawasan peruntukan pariwisata; h. kawasan peruntukan permukiman; dan i. kawasan peruntukan lainnya.
Paragraf 1 Kawasan Peruntukan Hutan Produksi Pasal 37 (1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a, terdiri atas: a. kawasan hutan produksi terbatas; b. kawasan hutan produksi tetap; dan c. kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. (2) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai dengan luasan kurang lebih 44.089 Ha. (3) Kawasan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di
kecamatan Mananggu, Kecamatan 36
Botumoito, Kecamatan
Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, dan Kecamatan Paguyaman Pantai dengan luasan kurang lebih 14.498Ha. (4) Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Dulupi dengan luasan kurang lebih 4.812Ha.
Paragraf 2 Kawasan Peruntukan Hutan Rakyat Pasal 38 Kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
Paragraf 3 Kawasan Peruntukan Pertanian Pasal 39 (1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c, terdiri atas: a. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan; b. kawasan peruntukan pertanian hortikultura; c. kawasan peruntukan perkebunan; dan d. kawasan peruntukan peternakan. (2) Kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan padi terdapat di Kecamatan
Mananggu,
Kecamatan
Botumoito,
Kecamatan
Dulupi,
Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman; b. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan jagung dan palawija lainnya terdapat di Kecamatan
Tilamuta,
Kecamatan
Mananggu,
Kecamatan
Dulupi,
Kecamatan
Botumoito,
Kecamatan
Wonosari,
Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai; dan
37
c. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan lainnya terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (3) Kawasan peruntukan pertanian hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat di Kecamatan Mananggu, KecamatanBotumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (4) Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas: a. kawasan peruntukan perkebunan cengkeh, terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai; b. kawasan
peruntukan
Mananggu,
perkebunan
Kecamatan
Botumoito,
kakao,
terdapat
di
Kecamatan
KecamatanTilamuta,
Kecamatan
Dulupi, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai; c. kawasan
peruntukan
perkebunan
kelapa,
terdapat
di
Kecamatan
Mananggu, Kecamatan Botumoito,KecamatanTilamuta, KecamatanDulupi, KecamatanWonosari, Kecamatan Paguyaman dan KecamatanPaguyaman Pantai; d. kawasan peruntukan perkebunan kelapa sawit, terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito,KecamatanTilamuta, KecamatanDulupi, KecamatanWonosari, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai; e. kawasan peruntukan perkebunan tebu, terdapat di Kecamatan Dulupi, KecamatanWonosari dan KecamatanPaguyaman; dan f. kawasan
peruntukan
perkebunan
lainnya,
terdapat
di
Kecamatan
Mananggu, Kecamatan Botumoito,KecamatanTilamuta, KecamatanDulupi, KecamatanWonosari, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai (5) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan
38
Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (6) Kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
selanjutya
ditetapkan
sebagai
kawasan
tanaman
pangan
berkelanjutan.
Paragraf 4 Kawasan Peruntukan Perikanan Pasal 40 (1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf d, terdiri atas: a. kawasan peruntukan perikanan tangkap; b. kawasan peruntukan budidaya perikanan; dan c. kawasan pengolahanhasil perikanan. (2) Kawasan peruntukan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di pesisir dan laut yaitu di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, KecamatanPaguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (3) Kawasan peruntukan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu: a. kawasan peruntukan budidaya perikanan laut dan perikanan air payau terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi dan Kecamatan Paguyaman Pantai; dan b. kawasan peruntukan budidaya perikanan air tawar terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Wonosari. (4) kawasan pengolahan hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yaitu pengembangan minapolitan di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai didukung oleh pembangunan infrastruktur dasar yang dapat menunjang kegiatan usaha perikanan.
39
Paragraf 5 Kawasan Peruntukan Pertambangan Pasal 41 (1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf e terdiri atas: a. kawasan peruntukan pertambangan mineral logam; dan b. kawasan peruntukan pertambangan mineral batuan. (2) Kawasan peruntukan pertambangan mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu berupa kawasan peruntukan pertambangan emas, perak dan tembaga terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan
Tilamuta,
Kecamatan
Dulupi,
Kecamatan
Wonosari
dan
Kecamatan Paguyaman. (3) Kawasan pertambangan mineral batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. kawasan
peruntukan
pertambangan
granit
granodiorit
terdapat
di
Kecamatan Mananggu, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai; b. kawasan
peruntukan
pertambangan
basal
terdapat
di
Kecamatan
dasit
terdapat
di
Kecamatan
Botumoito dan Kecamatan Tilamuta; c. kawasan
peruntukan
pertambangan
Mananggu, Kecamatan Tilamuta, dan Kecamatan Dulupi; d. kawasan peruntukan pertambangan batu gamping terdapat di Kecamatan Paguyaman Pantai; e. kawasan peruntukan pertambangan sirtu terdapat di Kecamatan Wonosari; dan f. kawasan peruntukan pertambangan tanah liat terdapat di Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Wonosari.
Paragraf 6 Kawasan Peruntukan Industri Pasal 42 (1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf f, terdiri atas: 40
a. kawasan peruntukan industri besar; b. kawasan peruntukan industri sedang; dan c. kawasanperuntukan industri rumah tangga. (2) kawasanperuntukan
industri
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dikembangkan untuk menunjang komoditi unggulan di bidang pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, pertambangan dan pariwisata. (3) kawasan peruntukan industri besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman. (4) kawasan peruntukan industri sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (5) kawasan peruntukan industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
Paragraf 7 Kawasan Peruntukan Pariwisata Pasal 43 (1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf g, terdiri atas: a. kawasan peruntukan pariwisata budaya; b. kawasan peruntukan pariwisata alam; dan c. kawasanperuntukan pariwisata buatan. (2) Kawasan peruntukan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. tarian etnis Minahasa, Tarianetnis Sangihe Talaud, Hadra etnis Jawa Tondano di Kecamatan Mananggu; b. perkampungan suku Bajo, Tariansuku Bajo, Tarian di atas bara api, Tarian etnis Arab, Tarian Pakarena di Kecamatan Tilamuta; c. wisata Ngaben di Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Wonosari; dan
41
d. Reog Ponorogo, Tarian Kuda Lumping, Tari Kecak Bali, Pencak silat NTB di Kecamatan Wonosari. (3) Kawasan peruntukan pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. Pulau Bitila, wisata pantai Kramat, danau teratai, di Kecamatan Mananggu; b. Pantai Boalemo Indah, pemandian air panas Dulangea, Taman Laut Pulau Monduli di Kecamatan Botumoito; c. Pulau pasir putih, pulau Mohupomba, wisata alam air terjun Ayuhulalo, air terjun Dulamayo dan air terjun Tenilo di Kecamatan Tilamuta; d. Taman Polohungo, air terjun Tangga Barito di Kecamatan Dulupi; e. Taman laut Pulau Limba, teluk Bubaa di Kecamatan Paguyaman Pantai; dan f. Ekowisata Sungai Paguyaman, Sungai Moliliulo, dan Hutan Nantu di Kecamatan Wonosari. (4) Kawasan peruntukan pariwisata buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yaitu kolam renang di Kecamatan Tilamuta.
Paragraf 8 Kawasan Peruntukan Permukiman Pasal 44 (1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf h terdiri atas: a. kawasan peruntukan permukiman perkotaan; dan b. kawasanperuntukan permukiman perdesaan. (2) Kawasan peruntukan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikembangkan di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (3) Kawasan peruntukan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Botumoito, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Paguyaman Pantai.
42
(4) Pengembangan kawasan permukiman baik perkotaan maupun perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) harus memperhatikan kawasan rawan bencana.
Paragraf 9 Kawasan Peruntukan Lainnya Pasal 45 (1) Rencana kawasan peruntukan lainnya dimaksud dalam Pasal 36 huruf i, merupakan kawasan olahraga, kawasan perdagangan, serta pertahanan dan keamanan; (2) Kawasan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan olahraga kabupaten yang dikembangkan secara berhirarki pada masingmasing pusat dan sub pusat kegiatan secara proporsional. (3) Kawasan perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan yang potensil dimanfaatkan untuk kegiatan perdagangan yang meliputi: a. kawasan perdagangan skala kabupaten di PKW, PKL, PKLp; dan b. kawasanperdagangan skala kecamatan yang terdistribusi di seluruh Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) yang merupakan ibukota-ibukota kecamatan. (4) Kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas: a. komando distrik militer di Kecamatan Tilamuta; b. komando rayon militer tersebar di seluruh kecamatan; c. polisi resort di Kecamatan Tilamuta; dan d. polisi sektor tersebar di seluruh kecamatan.
Pasal 46 (1) Kawasan peruntukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 45 dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu fungsi kawasan
yang
bersangkutan dan tidak melanggar Ketentuan Umum Peraturan Zonasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini. (2) Pemanfaatan
kawasan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dapat
dilaksanakan setelah adanya kajian komprehensif dan setelah mendapat 43
rekomendasi dari badan atau pejabat yang tugasnya mengkoordinasikan penataan ruang di Kabupaten Boalemo.
BAB V PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS Pasal 47 (1) Kawasan strategis yang ada di Kabupaten Boalemo, terdiri atas: a. kawasan strategis nasional; b. kawasan strategis provinsi; dan c. kawasan strategis kabupaten. (2) Rencana kawasan strategis digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 48 Kawasan strategis nasional yang ada di Kabupaten Boalemo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf a, yaitu: a. Taman Nasional Nantu Boliyohuto; dan b. Kawasan Andalan Teluk Tomini dan sekitarnya.
Pasal 49 Kawasan Strategis Provinsi yang ada di Kabupaten Boalemo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. Penetapan kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi meliputi: 1. kawasan
pertanian
berkelanjutan
yang
dipaduselaraskan
dengan
pengembangan irigasi teknis di Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Wonosari; 2. kawasan
pengembangan
dengan
sektor
unggulan
agrobisnis
dan
agroindustri di Kecamatan Paguyaman; dan 3. kawasan minapolitan di Kecamatan Mananggu. b. Penetapan kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi berupa blok pertambangan emas Pohuwato-Boalemo dan Kabupaten Gorontalo-Paguyaman. 44
Pasal 50 (1) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf c, terdiri atas: a. kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi; b. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya; c. kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; dan d. kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumberdaya alam dan/atau teknologi tinggi. (2) Kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. kawasan pelabuhan di Kecamatan Tilamuta; b. kawasan perdagangan barang dan jasa di KecamatanTilamuta; c. kota terpadu mandiri Paguyaman – Wonosari (KTM Pawonsari) di Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Wonosari; dan d. kawasan minapolitan di Kecamatan Mananggu, Kecamatan Tilamuta, Kecamatan Dulupi, Kecamatan Botumoito, dan Kecamatan Paguyaman Pantai. (3) Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah pusat pemerintahan dan kota pendidikan Tilamuta. (4) Kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah kawasan konservasi laut daerah (KKLP) Pulau Monduli di Kecamatan Botumoito. (5) Kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas: a. blok tambang emas, perak dan tembaga Pohuwato-Boalemo dan Kabupaten Gorontalo-Paguyaman; dan b. kawasan wisata bahari Bolihutuo, Kecamatan Botumoito.
45
Pasal 51 (1) Pengaturan RTRW Kabupaten Boalemo secara operasional, disusun dalam Rencana Rinci Tata Ruang berupa Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten. (2) Rencana tata ruang strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
BAB VI ARAHAN PEMANFAATAN RUANG Pasal 52 (1) Arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten berpedoman pada rencana struktur ruang, pola ruang serta kawasan strategis. (2) Pemanfaatn ruang wilayah kabupaten dilaksanakan melalui penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan ruangnya, yang anggaran biayanya akan diperhitungkan pada rencana yang lebih rinci.
Pasal 53 (1) Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) disusun berdasarkan indikasi program utama lima tahunan. (2) Pendanaan
program
pemanfaatan
ruang
bersumber
dari
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, investasi swasta dan/atau kerja sama pendanaan. (3) Kerja sama pendanaan investasi swasta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Indikasi program utama lima tahunan sebagaimana pada ayat (1) terdapat pada Lampiran IV Indikasi Program Lima Tahunan dalam Peraturan Daerah ini.
46
BAB VII KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG Bagian Kesatu Umum Pasal 54 (1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten. (2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi; b. ketentuan perizinan; c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan d. arahan sanksi.
Bagian Kedua Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pasal 55 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf a digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun peraturan zonasi oleh pemerintah kabupaten. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi terdiri atas : a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung; b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya; c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem perkotaan; d. ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem transportasi; dan e. ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan prasarana.
Paragraf 1 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Lindung Pasal 56 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a, terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi hutan lindung; b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air; 47
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan pantai; d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai; e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar mata air; f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan suaka alam; g. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar alam; h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan taman wisata alam; i. ketentuan
umum peraturan
zonasi
kawasan
cagar
budaya
dan
ilmu
pengetahuan; j. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana tanah longsor; k. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana banjir; dan l. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gempa bumi.
Pasal 57 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam; b. ketentuan pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi; c. ketentuan pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi, dan penurunan keanekaragaman hayati spesifik lokal; d. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan budidaya hanya diizinkan bagi penduduk sekitar kawasan hutan dengan luasan tetap, tidak mengurangi fungsi lindung kawasan, dan di bawah pengawasan ketat; e. dalam kawasan hutan lindung masih diperkenankan dilakukan kegiatan lain yang bersifat komplementer terhadap fungsi hutan lindung; f. pembangunan prasarana wilayah yang harus melintasi hutan lindung dapat diperkenankan dengan ketentuan : 1. tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut; 2. mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh menteri kehutanan; dan 3. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam. g. kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung masih diperkenankan sepanjang tidak dilakukan secara terbuka (open peat), dengan syarat harus 48
dilakukan reklamasi areal bekas penambangan sehingga kembali berfungsi sebagai kawasan lindung; h. kawasan hutan lindung dapat dialihfungsikan sepanjang mengikuti prosedur dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan disetujui oleh Menteri Kehutanan; dan i.
perllindungan terhadap kekayaan genetis.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b ditetapkan sebagai berikut: a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan; b. dalam kawasan resapan air tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya; c. permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan resapan air sebelum ditetapkan sebagai kawasan lindung masih diperkenankan namun harus memenuhi syarat : 1. tingkat kerapatan bangunan rendah (KDB maksimum 20 %, dan KLB maksimum 40 %); 2. perkerasan permukaan menggunakan bahan yang memiliki daya serap air tinggi; dan 3. dalam kawasan resapan air wajib dibangun sumur-sumur resapan sesuai ketentuan yang berlaku. d. penerapan prinsip keseimbangan debit air pada sistem saluran drainase dan sistem aliran sungai; e. pengendalian
pemanfaatan
ruang
secara
terbatas
untuk
kegiatan
budidaya, yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan sesuai daya dukung lingkungan; f. pemanfaatan ruang wajib memelihara fungsi resapan air; g. kegiatan penghijauan dan penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; h. menjaga fungsi hidrogeologis kawasan karst, dengan memperhatikan pelarangan kegiatan penambangan di kawasan tersebut;
49
i.
penerapan prinsip kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan (zero delta Q policy) terhadap setiap kegiatan budidaya terbangun yang diajukan izinnya;
j.
ketentuan
pelarangan
kegiatan
pemanfaatan
ruang
yang
dapat
mengganggu bentang alam, kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta fungsi lingkungan hidup; dan k. ketentuan pelarangan kegiatan yang merusak kualitas dan kuantitas air, kondisi fisik kawasan, dan daerah tangkapan air. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf c, ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; b. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi, akresi dan intrusi air laut; c. ketentuan pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan. d. penetapan lebar sempadan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; e. ketentuan tanah timbul sebagai lahan milik negara dan merupakan lahan bebas, diperuntukkan bagi perluasan kawasan lindung; f. pelarangan membuang secara langsung limbah padat, limbah cair, limbah gas dan limbah B3; g. estetika kawasan dengan mengubah dan/atau merusak bentang alam, kelestarian fungsi pantai dan akses terhadap kawasan sempadan pantai; h. pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan usaha perikanan yang bukan merupakan bangunan permanen; i.
pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai secara terbatas dengan tetap memperhatikan aspek pelestarian area pantai;
j.
dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk dalam zona inti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya kecuali kegiatan penelitian, bangunan pengendali air dan sistem peringatan dini;
k. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona pemanfaatan terbatas dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan 50
dilakukan kegiatan budidaya pesisir, ekowisata dan perikanan tradisional; dan l.
dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona lain dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya sesuai peruntukan kawasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf d, ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air; c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi; d. penetapan
lebar
sempadan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan; e. dalam kawasan sempadan sungai tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan terganggunya fungsi sungai; f. dalam kawasan sempadan sungai masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah dan utilitas lainnya dengan ketentuan : 1. tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut; dan 2. dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku; g. ketentuan perizinan bangunan hanya untuk pengelolaan badan air atau pemanfaatan air; h. ketentuan tanah timbul sebagai lahan milik negara dan merupakan lahan bebas, diperuntukkan bagi perluasan kawasan lindung; i.
ketentuan pelarangan membuang secara langsung limbah padat, limbah cair, limbah gas dan limbah B3;
j.
ketentuan pengendalian budidaya perikanan air tawar sesuai daya dukung dan daya tampung sungai dan waduk/situ;
k. ketentuan
pelarangan
kegiatan
pemanfaatan
ruang
yang
dapat
mengganggu kelestarian sumberdaya air, keseimbangan fungsi lindung, kelestarian flora dan fauna, serta pemanfaatan hasil tegakan;
51
l.
pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang aktivitas rekreasi dan penetapan lebar sempadan ditetapkan dengan peraturan perundangundangan;
m. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi secara terbatas dengan tetap memperhatikan aspek pelestarian alur sungai; n. pemanfaatan untuk pemasangan reklame dan papan pengumuman; o. pemanfaatan untuk pemasangan bentangan kabel listrik, kabel telepon, dan pipa air minum; p. pemanfaatan untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan dan jembatan; q. menyediakan taman minimal 10% (sepuluh persen) dari lebar sempadan; dan r. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan pembuangan air. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf e, ditetapkan sebagai berikut : a. dalam kawasan sempadan mata air tidak diperkenankan melakukan kegiatan budidaya yang dapat merusak mata air; b. dalam kawasan sempadan mata air masih diperkenankan melakukan kegiatan penunjang pariwisata alam sesuai ketentuan yang berlaku; c. pemanfaatan ruang terbuka hijau; d. penetapan lebar sempadan
mata air sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan; e. pelarangan membuang secara langsung limbah padat, limbah cair, limbah gas dan limbah B3; f. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat menurunkan fungsi ekologis dan estetika kawasan dengan mengubah dan/atau merusak bentang alam serta kelestarian fungsi mata air termasuk akses terhadap kawasan mata air; g. ketentuan pelarangan kegiatan pemanfaatan di sempadan mata air dalam radius 200 meter dari lokasi pemunculan mata air; h. ketentuan pelarangan kegiatan yang mengubah dan/atau merusak kondisi fisik kawasan mata air serta kelestarian mata air; dan 52
i.
pengamanan daerah hulu.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf f, ditetapkan sebagai berikut : a. dalam kawasan suaka alam dilarang melakukan kegiatan budi daya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya dan tidak mengubah bentang alam, kondisi penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada; b. pembatasan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam; c. ketentuan pelarangan pemanfaatan biota yang dilindungi peraturan perundang-undangan; d. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengurangi daya dukung dan daya tampung lingkungan; e. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat merubah bentang alam dan ekosistem; f. pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata alam secara terbatas dengan tetap memperhatikan aspek peresapan air; g. dalam kawasan suaka alam masih diperkenankan dilakukan kegiatan penelitian, wisata alam, dan kegiatan berburu yang tidak mengakibatkan penurunan fungsi kawasan; h. dalam
kawasan
suaka
alam
masih
diperkenankan
pembangunan
prasarana wilayah, bangunan penunjang fungsi kawasan, dan bangunan pencegah bencana alam sesuai ketentuan yang berlaku; dan i.
perlindungan terhadap kekayaan genetis.
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf g, ditetapkan sebagai berikut : a. pembatasan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam; b. pelarangan pemanfaatan biota yang dilindungi peraturan perundangundangan; c. pelarangan kegiatan yang dapat mengurangi daya dukung dan daya tampung lingkungan; d. pelarangan kegiatan yang dapat mengubah bentang alam dan ekosistem; dan e. perlindungan terhadap kekayaan genetis;
53
(8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan taman wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf h, ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. pendirian bangunan dibatasi untuk menunjang kegiatan wisata alam, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; c. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain ketentuan pada point b; d. pengembangan zonasi kawasan menjadi zona inti dan zona pemanfaatan; e. pelarangan pendirian bangunan pada zona pemanfaatan; f. tidak
diperkenankan
dilakukan
budidaya
yang
merusak
dan/atau
menurunkan fungsi kawasan taman wisata; g. dalam kawasan taman wisata alam masih diperbolehkan dilakukan pembangunan prasarana wilayah bawah laut sesuai ketentuan yang berlaku. (9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf I, ditetapkan sebagai berikut : a. dalam kawasan cagar budaya dilarang melakukan kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya dan tidak mengubah bentang alam, kondisi penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada; b. pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan dan pariwisata; c. ketentuan pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan; d. hak akses masyarakat terhadap kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; e. pengendalian pemanfaatan ruang untuk pendidikan, penelitian, dan pariwisata; f. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat merusak cagar budaya; g. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengubah bentukan geologi tertentu
yang
mempunyai
manfaat
untuk
pengembangan
ilmu
pengetahuan; h. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang yang mengganggu kelestarian lingkungan di sekitar cagar budaya dan ilmu pengetahuan, meliputi
54
peninggalan sejarah, bangunan arkeologi, monumen nasional, serta wilayah dengan bentukan geologi tertentu; i.
lingkungan fisik dan non-fisik disekitar cagar budaya harus ditata agar sesuai dengan keberadaan cagar budaya sebagai landmark kawasan;
j.
kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan diperkenankan untuk difungsikan sebagai objek wisata;
k. kawasan cagar budaya dilindungi dengan sempadan sekurang-kurangnya memiliki radius 100 m, dan pada radius sekurang-kurangnya 500 m tidak diperkenankan adanya bangunan lebih dari 1 (satu) lantai; l.
tidak diperkenankan adanya bangunan lain kecuali bangunan pendukung cagar budaya dan ilmu pengetahuan; dan
m. perllindungan terhadap kekayaan genetis. (10) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana tanah longsor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf j, ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis dan ancaman bencana; b. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum; c. pelarangan melakukan kegiatan budidaya terbangun pada kawasan rawan tanah longsor; d. prioritas kegiatan penanaman vegetasi yang berfungsi untuk perlindungan kawasan; e. pengendalian pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan tipologi dan tingkat kerawanan atau risiko bencana; f. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk serta penentuan relokasi untuk kawasan rawan longsor dengan kerentanan tinggi, baik sebelum dan setelah bencana; g. arahan zonasi untuk kawasan rawan longsor dengan tingkat kerawanan tinggi; h. arahan zonasi untuk kawasan rawan longsor dengan tingkat kerawanan sedang; i.
ketentuan pelarangan membangun industri/pabrik;
55
j.
izin pengembangan hunian terbatas dan budidaya lainnya, dengan ketentuan tidak mengganggu kestabilan lereng sehingga melebihi batas amannya; dan
k. kegiatan pertambangan diperbolehkan dengan memperhatikan kestabilan lereng dan didukung upaya reklamasi lereng. (11) Ketentuan
umum
peraturan
zonasi
kawasan
rawan
bencana
banjir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf k, ditetapkan sebagai berikut : a. penetapan batas dataran banjir; b. pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah; dan c. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas umum penting lainnya. (12) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf l terdiri atas kawasan dengan tingkat kerentanan rendah, sedang dan tinggi, ditetapkan dengan memperhatikan persyaratan pengembangan kegiatan budidaya dan infrastruktur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, terdiri atas: a. penerapan sistem peringatan dini bencana gempa bumi; b. penerapan standar konstruksi bangunan tahan gempa; dan c. rehabilitasi dan konservasi lahan dengan melakukan mitigasi atas bencana gempa bumi.
Paragraf 2 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya Pasal 58 Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b, terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi; b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan; c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan; d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan; e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata; f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman; g. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertahanan dan keamanan; dan 56
h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan industri.
Pasal 59 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a, ditetapkan sebagai berikut : a. pembatasan
pemanfaatanhasil
hutan
untuk
menjaga
kelestarian
sumberdaya hutan; b. kemampuan untuk melakukan pemulihan kondisi sumberdaya alam; c. mengutamakan pemanfaatan hasil hutan melalui pembangunan hutan tanaman industri; d. larangan pendirian bangunan pada hutan produksi kecuali hanya untuk menunjang kegiatan pemanfaatanhasil hutan; e. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pengamanan kawasan dan pemanfaatan hasil hutan; f. pengembangan fungsi hutan produksi menjadi hutan berfungsi lindung; g. ketentuan jarak penebangan pohon yang diperbolehkan di kawasan hutan produksi lebih besar dari 500 meter dari tepi waduk, lebih besar dari 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa, lebih besar dari 100 meter dari tepi kiri kanan sungai, 50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai, lebih besar dari 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang, lebih besar dari 130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai; h. dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya kecuali kegiatan kehutanan dan pembangunan sistem jaringan prasarana wilayah dan bangunan terkait dengan pengelolaan budidaya hutan produksi; i.
kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dapat dialih fungsikan untuk kegiatan
lain
di
luar
kehutanan
setelah
potensi
hutan
tersebut
dimanfaatkan dan sesuai peraturan perundangan yang berlaku; j.
kegiatan kehutanan dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan menimbulkan gangguan lingkungan seperti bencana alam;
k. kawasan hutan produksi tidak dapat dialih fungsikan untuk kegiatan lain di luar kehutanan;
57
l.
sebelum kegiatan pengelolaan hutan produksi dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan dan studi amdal yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang;
m. ketentuan konversi hutan produksi dengan skor lebih kecil dari 124 di luar hutan suaka alam dan hutan konservasi, serta secara ruang dicadangkan untuk pengembangan infrastruktur, pertanian dan perkebunan; n. ketentuan luas kawasan hutan dalam setiap DAS atau pulau, paling rendah 30% dari luas daratan; dan o. ketentuan luas hutan lebih kecil dari 30 % perlu menambah luas hutan, dan luas hutan lebih besar dari 30 % tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutan di kabupaten. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b, ditetapkan sebagai berikut : a. dalam kawasan perkebunan dan perkebunan rakyat tidak diperkenankan penanaman jenis tanaman perkebunan yang bersifat menyerap air dalam jumlah banyak, terutama kawasan perkebunan yang berlokasi di daerah hulu/kawasan resapan air; b. bagi kawasan perkebunan besar tidak diperkenankan merubah jenis tanaman perkebunan yang tidak sesuai dengan perizinan yang diberikan; c. dalam kawasan perkebunan besar dan perkebunan rakyat diperkenankan adanya bangunan yang bersifat mendukung kegiatan perkebunan dan jaringan prasarana wilayah; d. alih fungsi kawasan perkebunan menjadi fungsi lainnya dapat dilakukan sepanjang
sesuai
dan
mengikuti
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan; e. sebelum kegiatan perkebunan besar dilakukan diwajibkan untuk dilakukan studi kelayakan dan studi amdal yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang; f. kegiatan perkebunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung; g. ketentuan kemiringan lahan 0-8% untuk pola monokultur, tumpangsari, interkultur atau campuran melalui konservasi vegetatif mencakup tanaman penutup tanah, penggunaan mulsa dan pengelolaan tanah minimum;
58
h. ketentuan kemiringan lahan 8-15% untuk pola tanam monokultur, tumpangsari, interkultur atau campuran, tindakan konservasi vegetatif dan tindakan konservasi sipil teknis; i.
ketentuan kemiringan lahan 15-40% untuk pola tanam monokultur, interkultur atau campuran, melalui tindakan konservasi vegetatif dan tindakan konservasi sipil teknis, serta menggunakan tanaman tahunan perkebunan yang bersifat konservasi; dan
j.
ketentuan komoditas berdasarkan kesesuaian lahan, serta luas minimum dan maksimum penggunaan lahan untuk perkebunan dan pemberian hak atas areal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf c, ditetapkan sebagai berikut : a. kawasan budidaya perikanan tidak diperkenankan berdekatan dengan kawasan yang bersifat polutif; b. kegiatan budidaya perikanan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung; c. dalam kawasan perikanan masih diperkenankan adanya kegiatan lain yang bersifat mendukung kegiatan perikanan dan pembangunan sistem jaringan prasarana sesuai ketentuan yang berlaku; d. kawasan perikanan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. dalam kawasan perikanan masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan; f. kegiatan perikanan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung; g. pengembangan komoditas budidaya perikanan disesuaikan dengan kebutuhan pasar; h. perlindungan kawasan pemijahan; i.
pengembangan sarana dan prasarana perikanan;
j.
pemanfaatan sumber daya perikanan setinggi-tingginya tidak melampaui potensi lestari;
k. penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan pelarangan pemanfaatan zat beracun dan bom;
59
l.
penerapan sanksi
administrasi
dan sanksi
adat
terhadap
pelaku
penangkapan ikan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam point f; m. pengendalian pemanfaatan ruang untuk pembudidayaan ikan air tawar dan jaring apung; n. pengendalian pemanfaatan ruang untuk kawasan penangkapan ikan di perairan umum; o. pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan memperhatikan kelestariannya; dan p. pengendalian kawasan budidaya ikan di kolam air tenang, kolam air deras, kolam jaring apung, sawah dan tambak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf d, ditetapkan sebagai berikut : a. pengaturan kawasan tambang dengan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta keseimbangan antara risiko dan manfaat; b. pengaturan bangunan lain disekitar instalasi dan peralatan kegiatan pertambangan
yang
berpotensi
menimbulkan
bahaya
dengan
memperhatikan kepentingan daerah; c. kegiatan usaha pertambangan sepenuhnya harus mengikuti ketentuan yang berlaku di bidang pertambangan; d. kegiatan usaha pertambangan
dilarang dilakukan tanpa
izin dari
instansi/pejabat yang berwenang; e. kawasan pasca tambang wajib dilakukan rehabilitasi (reklamasi dan/atau revitalisasi) sehingga dapat digunakan kembali untuk kegiatan lain, seperti pertanian, kehutanan, dan pariwisata; f. pada kawasan pertambangan diperkenankan adanya kegiatan lain yang bersifat mendukung kegiatan pertambangan; g. kegiatan permukiman diperkenankan secara terbatas untuk menunjang kegiatan
pertambangan
dengan
tetap memperhatikan
aspek-aspek
keselamatan; h. sebelum kegiatan pertambangan dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan dan studi amdal yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang; 60
i.
keseimbangan biaya dan manfaat serta keseimbangan risiko dan manfaat;
j.
pengendalian bangunan di sekitar instalasi dan peralatan kegiatan pertambangan
yang
berpotensi
menimbulkan
bahaya
dengan
memperhatikan kepentingan wilayah sekitarnya; k. ketentuan pelarangan kegiatan penambangan terbuka di dalam kawasan lindung; l.
ketentuan pelarangan kegiatan penambangan di kawasan rawan bencana dengan tingkat kerentanan tinggi;
m. ketentuan
pelarangan
kegiatan
penambangan
yang
menimbulkan
kerusakan lingkungan; n. ketentuan pelarangan lokasi pertambangan pada kawasan perkotaan; o. penetapan lokasi pertambangan yang berada pada kawasan perdesaan harus
mematuhi
ketentuan
mengenai
radius
minimum
terhadap
permukiman dan tidak terletak di daerah resapan air untuk menjaga kelestarian sumber air dan kelengkapan lainnya, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan p. ketentuan pelarangan lokasi penggalian pada lereng curam lebih besar dari 40% dan kemantapan lerengnya kurang stabil, untuk menghindari bahaya erosi dan longsor. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf e, ditetapkan sebagai berikut : a. pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan; b. perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau; c. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pariwisata; d. pengembangan budaya masyarakat; e. pengendalian pemanfaatan potensi alam; f. penentuan lokasi wisata alam dan wisata minat khusus yang tidak mengganggu fungsi kawasan lindung; g. pengendalian pertumbuhan sarana dan prasarana penunjang wisata yang mengganggu fungsi kawasan lindung, terutama resapan air; h. perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau dan peninggalan sejarah; 61
i.
ketentuan pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam untuk kegiatan wisata dilaksanakan sesuai asas konservasi sumberdaya alam hayati
dan
ekosistem serta luas
lahan untuk
pembangunan sarana dan prasarana paling luas 10% dari luas zona pemanfaatan dan penerapan; j.
ketentuan pelarangan mengubah dan/atau merusak bentuk arsitektur setempat, bentang alam dan pemandangan visual;
k. persyaratan amdal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; l.
pelestarian lingkungan hidup dan cagar budaya yang dijadikan kawasan pariwisata sesuai prinsip-prinsip pemugaran; dan
m. ketentuan pengembangan kawasan pariwisata sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf f, ditetapkan sebagai berikut : a. penetapan amplop bangunan; b. penetapan tema arsitektur bangunan; c. penetapan kelengkapan bangunan dan lingkungan; d. penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan; e. peruntukan kawasan permukiman diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. pada kawasan permukiman diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung fasilitas permukiman sesuai dengan petunjuk teknis dan peraturan yang berlaku; g. dalam kawasan permukiman masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku; h. kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas sosial termasuk ruang terbuka hijauperkotaan; i.
dalam kawasan permukiman masih diperkenankan adanya kegiatan industri skala rumah tangga dan fasilitas sosial ekonomi lainnya dengan skala pelayanan lingkungan;
j.
kawasan permukiman tidak diperkenankan dibangun di dalam kawasan lindung/konservasi dan lahan pertanian dengan irigasi teknis;
62
k. dalam kawasan permukiman tidak diperkenankan dikembangkan kegiatan yang mengganggu fungsi permukiman dan kelangsungan kehidupan sosial masyarakat; l.
pengembangan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku di bidang perumahan dan permukiman;
m. pembangunan hunian dan kegiatan lainnya di kawasan permukiman harus sesuai dengan peraturan teknis dan peraturan lainnya yang berlaku (KDB, KLB, sempadan bangunan, dan lain sebagainya); n. ketentuan penggunaan lahan permukiman baru disesuaikan dengan karakteristik serta daya dukung lingkungan untuk kawasan perkotaan; o. ketentuan tingkat kepadatan bangunan pada kawasan permukiman horizontal paling banyak 50 bangunan per hektar dengan dilengkapi utilitas yang memadai; p. ketentuan pemanfaatan ruang di kawasan permukiman perdesaan yang sehat dan aman dari bencana alam serta kelestarian lingkungan hidup; q. penyediaan sarana pendidikan dan kesehatan sesuai kriteria yang ditentukan; r. penyediaan kebutuhan sarana ruang terbuka, taman dan lapangan olahraga; s. penyediaan kebutuhan sarana perdagangan dan niaga; dan t. peremajaan kawasan permukiman kumuh di perkotaan. (7) Ketentuan umum peraturan zonasikawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf g ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf h, ditetapkan sebagai berikut : a. kegiatan industri harus mengikuti ketentuan yang berlaku di bidang industri; b. pengembangan industri harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang industri; c. ketentuan kawasan industri harus memperhatikan kelestarian lingkungan hidup; d. penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan; e. ketentuan
penggunaan
lahan
untuk
industridisesuaikan
dengan
karakteristik serta daya dukung lingkungan untuk kawasan industri; dan 63
f. dalam kawasan industri tidak diperkenankan dikembangkan kegiatan yang mengganggu fungsi lingkungan dan kelangsungan kehidupan sosial masyarakat.
Paragraf 3 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Perkotaan Pasal 60 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf c, terdiri atas: a. peraturan
zonasi
untuk
pusat
kegiatan
lokal
(PKL)
disusun
dengan
memperhatikan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala kabupaten yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya. b. peraturan zonasi untuk pusat pelayanan kawasan (PPK) harus disusun dengan mematuhi ketentuan mengenai pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala distrik/kecamatan yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya.
Paragraf 4 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi SistemTransportasi Pasal 61 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf d, terdiri atas: a. arahanperaturan zonasi untuk jaringan jalan kabupaten, meliputi : 1. pengendalian pemanfaatan ruang di sepanjang jalan kabupaten dengan tingkat
intensitas
rendah
hingga
menengah,
yang
kecenderungan
pengembangan ruangnya dibatasi; 2. perlindungan terhadap fungsi kawasan lindung; 3. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan provinsi; 4. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan kabupaten yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan;
64
5. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan kabupaten dengan tingkat intensitas rendah hingga menengah yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; 6. pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan kabupaten; 7. penetapan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, ruang pengawasan jalan dan garis sempadan bangunan di sisi jalan; 8. pengaturan persimpangan tidak sebidang pada kawasan padat lalu lintas, setelah melalui kajian teknis dan budaya; 9. pembatasan pemanfatan ruang selain ruang lalu lintas di ruang milik jalan pada jalan kolektor primer; 10. kewajiban
melakukan
analisis
dampak
lalu
lintas
(andall)
sebagai
persyaratan izin mendirikan bangunan bagi pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan yang berpotensi mengganggu arus lalu lintas; 11. di sepanjang sistem jaringan jalan kabupaten tidak diperkenankan adanya kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan lalu lintas regional; 12. di sepanjang sistem jaringan jalan kabupaten tidak diperkenankan adanya akses langsung dari bangunan ke jalan; dan 13. bangunan di sepanjang sistem jaringan jalan kabupaten harus memilki sempadan bangunan yang sesuai dengan ketentuan setengah rumija +1. b. arahan peraturan zonasi untuk terminal. Ketentuan umum peraturan zonasi terkait dengan terminal ditetapkan pada jenjang RTRW Kabupaten, dengan memperhatikan hal tentang lokasi terminal tipe B dan C diarahkan untuk berada di luar batas kota dan memiliki akses ke jalan Kolektor primer sesuai peraturan perundangan yang berlaku. c. arahan peraturan zonasi untuk jaringan jalur kereta api dan stasiun, meliputi : 1. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur kereta api dilakukan dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; 2. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api yang dapat mengganggu kepentingan operasi dan keselamatan transportasi perkeretaapian; 3. pembatasan pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan akibat lalu lintas kereta api di sepanjang jalur kereta api; 65
4. pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur kereta api dan jalan; 5. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur kereta api dengan memperhatikan dampak lingkungan dan kebutuhan pengembangan jaringan jalur kereta api; 6. perlintasan rel kereta api dengan jalan yang memiliki volume lalu lintas yang tinggi diusahakan agar tidak berada dalam satu bidang; dan 7. bangunan di sepanjang lintasan rel kereta apiharus berada di luar garis sempadan rel sesuai dengan undang-undang perkeretaapian nasional. d. arahan peraturan zonasi untuk pelabuhandisusun dengan memperhatikan : 1. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional dan pengembangan kawasan pelabuhan; 2. ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas badan air yang berdampak pada keberadaan jalur transportasi laut; dan 3. pembatasan pemanfaatan ruang didaerah lingkungan kerja pelabuhan dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 5 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Jaringan Prasarana Pasal 62 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf e, terdiri atas: a. arahan peraturan zonasi jaringan kelistrikan, meliputi: 1. peraturan
zonasi
untuk pembangkit
tenaga
listrik
disusun
dengan
memperhatikan pemanfaatan ruang di sekitar pembangkit listrik harus memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain; dan 2. peraturan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik disusun dengan memperhatikan ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bebas
di
sepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. b. arahan peraturan zonasi jaringan telekomunikasi, meliputi: 1. peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk penempatan stasiun bumi dan 66
menara pemancar telekomunikasi yang memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan di sekitarnya; 2. penempatan menara pemancar telekomunikasi memperhatikan keserasian dengan lingkungan sekitarnya; 3. pembangunan menara di kawasan yang sifat dan peruntukannya memiliki karakteristik tertentu wajib memenuhi ketentuan perundang-undangan untuk kawasan tertentu; 4. diarahkan untuk menggunakan menara telekomunikasi secara bersamasama diantara para penyedia layanan telekomunikasi (provider). Untuk itu pemerintah kabupaten menyusun masterplan pemancar telekomunikasi daerah; dan 5. penyedia menara atau pengelola menara wajib memperhatikan ketentuan mengenai larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. c. arahan peraturan zonasi sumberdaya air, meliputi: 1. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan; 2. tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan; 3. pemanfaatan ruang daerah aliran sungai lintas kabupaten, termasuk daerah hulunya, yang dilakukan oleh kabupaten yang berbatasan harus selaras dengan arahan pola ruang wilayah; 4. pemanfaatan ruang pada sumber air dengan mempertimbangkan prinsip kelestarian lingkungan dan keadilan; 5. jaringan distribusi air dikembangkan dengan memperhatikan tingkat kebutuhan dan ketersediaan air; 6. setiap kawasan memiliki sistem drainase terpadu dan efektif; 7. pelarangan pembuangan limbah padat/sampah ke saluran drainase; dan 8. pelarangan terhadap gangguan/pemotongan terhadap saluran drainase. d. arahan peraturan zonasi pengelolaan limbah, meliputi: 1. pemanfaatan ruang untuk pengelolaan air limbah diprioritaskan pada kawasan pariwisata dan/atau kawasan permukiman padat penduduk; 2. pembangunan unit pengolahan limbah berada di luar radius kawasan tempat suci; 3. pengembangan jaringan tidak melewati dan/atau memotong kawasan tempat suci; dan 67
4. pembuangan efluen air limbah ke media lingkungan hidup tidak melampaui standar baku mutu air limbah. e. arahan peraturan zonasi pengelolaan persampahan, meliputi: 1. lokasi TPA mendapat persetujuan masyarakat setempat; 2. TPA untuk ukuran kota besar dan kota metropolitan menggunakan metode sistem lahan urug saniter (sanitary landfill); 3. TPA untuk ukuran kota sedang dan kota kecil menggunakan metode lahan urug terkendali (controlled landfill atau sanitary landfill); 4. TPA wajib melakukan pengelolaan air lindi/licit dan pembuangan air lindi ke media lingkungan hidup tidak melampaui standar baku mutu lingkungan; 5. pelarangan membuang sampah di luar tempat yang telah ditentukan; 6. pelarangan membuang sampah sebelum di pilah; dan 7. pelarangan pembakaran sampah pada volume tertentu.
Bagian Ketiga Ketentuan Perizinan Pasal 63 (1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf b merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang berdasarkan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang yang diatur dalam Peraturan Daerah ini. (2) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya. (3) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 64 (1) Jenis perizinan terkait pemanfaatan ruang yang ada di Kabupaten Boalemo, terdiri atas: a. perizinan kegiatan/lisensi; b. perizinan pemanfaatan ruang dan bangunan (izin lokasi, Izin Peruntukan pengunaan Tanah/IPPT, Sertifikat Laik Fungsi/SLF); c. perizinan konstruksi; dan d. perizinan lingkungan. 68
(2) Mekanisme perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat Ketentuan Insentif dan Disinsentif Pasal 65 (1) Ketentuan insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf c merupakan acuan bagi pemerintah daerah dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif. (2) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan ketentuan umum peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini. (3) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi
keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam
Peraturan Daerah ini.
Pasal 66 (1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah kabupaten dilakukan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. (2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi berwenang sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 67 (1) Insentif yang diberikan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1), terdiri atas: a. keringanan pajak; b. pemberian kompensasi; c. subsidi silang; d. imbalan; e. sewa ruang; f. pembangunan dan pengadaan infrastruktur; g. kemudahan prosedur perizinan; dan h. pemberian penghargaan.
69
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 68 (1) Disinsentif yang dikenakan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1), terdiri atas: a. pengenaan pajak yang tinggi; b. pembatasan penyediaan infrastruktur; c. pengenaan kompensasi; dan d. pinalti. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan disinsentif diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kelima Arahan Sanksi Pasal 69 (1) Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf d merupakan acuan bagi pemerintah daerah
dalam pengenaan sanksi
administratif kepada pelanggar pemanfaatan ruang. (2) Pengenaan sanksi dilakukan terhadap : a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang; b. pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi; c. pemanfaatan ruang tanpa izin terhadap pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW kabupaten; d. pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW kabupaten; e. pelanggaran
ketentuan
yang
ditetapkan
dalam
persyaratan
izin
pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW kabupaten; f. pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau g. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar.
70
Pasal 70 (1) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pencabutan izin; f. pembatalan izin; g. pembongkaran bangunan; h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau i.
denda administratif.
(2) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pembongkaran bangunan; f. pemulihan fungsi ruang; dan/atau g. denda administratif.
Pasal 71 Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII KELEMBAGAAN Pasal 72 (1) Dalam rangka koordinasi penataan ruang dan kerjasama antar wilayah, dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
71
(2) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
BAB IX HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG Bagian Kesatu Hak Masyarakat Pasal 73 Dalam kegiatan mewujudkan pemanfaatan ruang wilayah, masyarakat berhak: a. berperan dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang; b. mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah; c. menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang; d. memperoleh pergantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; e. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya; f. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; g. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang menimbulkan kerugian; h. mendapat perlindungan dari kegiatan-kegiatan yang merugikan sebagai akibat kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; dan i. mengawasi pihak-pihak yang melakukan penyelenggaraan tata ruang.
Bagian Kedua Kewajiban Masyarakat Pasal 74 Kewajiban masyarakat dalam penataan ruang wilayah adalah: a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; 72
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan d. memberikan
akses
terhadap
kawasan
yang
oleh
ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Pasal 75 (1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada Pasal 74 dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu, dan aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilakukan masyarakat secara turun temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung dan daya tampung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi, dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.
Bagian Ketiga Peran Masyarakat Pasal 76 Peran masyarakat dalam penataan ruang di daerah dilakukan antara lain melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
Pasal 77 Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76huruf a, dapat berupa: a. memberikan masukan mengenai 1. persiapan penyusunan rencana tata ruang; 2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan; 3. pengindentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan; 73
4. perumusan rencana tata ruang; dan 5. penetapan rencana tata ruang. b. melakukan kerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sesama unsur masyarakat.
Pasal 78 Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf b, dapat berupa: a. melakukan kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. menyampaikan masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang; c. memberikan dukungan bantuan teknik, keahlian, dan/atau dana dalam pengelolaan pemanfaatan ruang; d. meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. melakukan kerjasama pengelolaan ruang dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau dan pihak lainnya secara bertanggung jawab
untuk
pencapaian tujuan penataan ruang; f. menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan dan sumber daya alam; dan g. melakukanusaha investasi dan/atau jasa keahlian dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 79 Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf c, dapat berupa: a. memberikan masukan mengenai arahan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi; b. turut serta memantau dan mengawasi pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang, rencana tata ruang yang telah ditetapkan, dan pemenuhan standar pelayanan minimal di bidang penataan ruang; c. melaporkan kepada instansi/pejabat yang berwenang dalam hal menemukan kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah 74
ditetapkan dan adanya indikasi kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan, tidak memenuhi standar pelayanan minimal dan/atau masalah yang terjadi di masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang; d. mengajukan keberatan terhadap keputusan pejabat publik yang dipandang tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan e. mengajukan gugatan pembatalan izin dan/atau penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada instansi/pejabat yang berwenang.
Pasal 80 (1) Peran masyarakat dalam penataan ruang dapat disampaikan secara langsung dan/atau tertulis. (2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada kepala daerah. (3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat disampaikan melalui unit kerja terkait yang ditunjuk oleh kepala daerah.
Pasal 81 Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah membangun sistem informasi dan dokumentasi penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Pasal 82 Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 83 (1) Jangka waktu RTRW Kabupaten Boalemo adalah 20 (dua puluh) tahun sejak tanggal ditetapkan dan ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar, perubahan batas teritorial negara, dan/atau perubahan batas
75
wilayah yang ditetapkan dengan Undang-Undang, RTRW Kabupaten Boalemo dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) Tahun. (3) Peraturan Daerah ini dilengkapi dengan lampiran berupa buku RTRW Kabupaten Boalemo Tahun 2011 – 2031 dan album peta. (4) Buku RTRW Kabupaten Boalemo dan album peta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 84 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten menjadi pedoman untuk: a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah; b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah; c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten; d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor; e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; f. penataan ruang kawasan strategis kabupaten; dan g. penyusunan kajian lingkungan hidup strategis.
BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 85 (1) PAda saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka semua Peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang Daerah yang telah ada, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini. (2) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka: a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, berlaku ketentuan: 1. terhadap izin yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini; 2. terhadap
izin
yang
sudah
dilaksanakan
pembangunannya,
pemanfaatan ruang dilakukan sampai izin terkait habis masa 76
berlakunya dan dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan 3. terhadap izin yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan peraturan daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak; c. pemanfaatan ruang yang izinnya sudah habis dan tidak sesuai dengan peraturan daerah ini dilakukan penyesuaian berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan d. pemanfaatan ruang di daerah yang diselenggarakan tanpa izin ditentukan sebagai berikut: 1. yang
bertentangan
dengan
ketentuan
peraturan
daerah
ini,
pemanfaatan ruang yang bersangkutan ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini; dan 2. yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan.
77
BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 86 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan
Daerah inidengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Boalemo
Ditetapkan di Tilamuta pada tanggal 11 September 2Q12 $lu,i*,
TI BO
'feqpSs
Diundangkan di Tilamuta pada tanggal 11 September 2012
KABUPATEN BOALEMO,
DUL HAMID LEM
RAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2012 NOMOR
3
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2011 - 2031
I.
UMUM Kabupaten Boalemo terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1999 yang di resmikan pada tanggal 12 Oktober 1999. Luas wilayah Kabupaten Boalemo yang tercantum dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1999 yaitu 6.606,89 km2. Selanjutnya dalam kurun waktu 3 Tahun 4 Bulan yaitu pada Tahun 2003 Kabupaten Boalemo dimekarkan menjadi dua Kabupaten yakni Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Pohuwato, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2003, sehingga luas wilayah Kabupaten Boalemo menjadi 2.2362,58 km2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar di dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya yang tersedia di wilayahnya, tentunya dengan tetap memelihara dan menjaga keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk penataan ruang. Wewenang pemerintah daerah dalam hal penataan ruang
daerahnya
meliputi
kegiatan
perencanaan,
pemanfaatan
dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota diwajibkan mempunyai Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Peraturan Daerah tersebut dijadikan sebagai prosedur penataan dan pengendalian pembangunan serta dijadikan pegangan dan pedoman bagi pemerintah daerah dalam kegiatan pembangunan. Dengan demikian diharapkan, perkembangan wilayah
akan
mengalami
perkembangan
yang
lebih
terarah
dan
berkesinambungan melalui program-program yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Mengingat pentingnya suatu produk rencana sebagai alat pengendali pembangunan maka diupayakan agar muatan dalam rencana tata 79
ruang tetap valid untuk digunakan. Dinamika perkembangan dan pertumbuhan wilayah akan memerlukan upaya untuk tetap menjaga kesinambungan pembangunan, sehingga diperlukan proses evaluasi terhadap produk rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu produk rencana tata ruang adalah suatu usaha untuk mengefektifkan kembali rencana sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan dan perangkat monitoring terhadap hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Berdasarkan pada hal tersebut di atas, dengan tersusunnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Boalemo diharapkan akan terwujud arahan pembangunan yang lebih harmonis, serasi, selaras dan seimbang dan terkoordinir antara sektor, antar wilayah, maupun antar pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan yang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan diharapkan akan semakin mendorong kualitas ruang dan kualitas kehidupan masyarakat Kabupaten Boalemo secara berkelanjutan. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Boalemo akan menjadi alat penyusunan program dan pengendalian pemanfaatan ruang serta menjadi perangkat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan berwawasan tata ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Boalemo juga dapat menjadi pedoman bagi perencanaan yang lebih rinci yakni Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perdesaan dan Rencana Kawasan Strategis Kabupaten. Rencana-rencana ini merupakan perangkat operasional dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Boalemo. Atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) akan menjadi pedoman bagi dokumen perencanaan pembangunan lain. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas
80
Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas
81
Pasal 20 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) a. Jalan Arteri Primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam (km/h), Lebar Daerah Manfaat Jalan minimal 11 (sebelas) meter dan mempunyai 4 lajur lalu lintas atau lebih dan seharusnya dilengkapi dengan median (sesuai dengan ketentuan geometrik). b. Jalan Kolektor Primer adalah jalan yang dikembangkan untuk melayani dan menghubungkan kota-kota antar pusat kegiatan wilayah dan pusat kegiatan lokal dan atau kawasan-kawasan berskala kecil dan atau pelabuhan pengumpan regional dan pelabuhan pengumpan lokal dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 (empat puluh) km per jam dan lebar badan jalan kolektor primer tidak kurang dari 7 (tujuh) meter. c. Jalan Lokal Primer adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi. d. Jalan Lokal Sekunder adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan jarak pendek. Ayat 3 a. Terminal penumpang tipe B adalah terminal penumpang yang berfungsi untuk melayani kendaraan umum angkutan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP), angkutan kota dan/ angkutan pedesaan. Syarat terminal tipe ini harus terletak di jalan arteri atau kolektor dengan kelas jalan sekurangkurangnya kelas III B. b. Terminal penumpang tipe C adalah terminal penumpang yang melayani kendaraan umum untuk angkutan pedesaan. Syarat lokasi terminal ini terletak di dalam wilayah Kabupaten dan dalam jaringan trayek angkutan pedesaan. Selain itu, terminal ini harus terletak di jalan kolektor atau lokal dengan kelas jalan paling tinggi III A. Ayat (3) Cukup jelas 82
Ayat (4) Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Alur pelayaran adalah jalur lalu lintas laut yang telah ditetapkan oleh syahbandar setempat. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Depo BBM adalah tempat untuk melayani pembelian bahan bakar minyak di pelabuhan Tilamuta khususnya pembelian bensin dan solar yang dipergunakan nelayan untuk kapal. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1a) Jaringan kabel adalah jaringan telekomunikasi yang menggunakan jaringan kabel telepon yang mengikuti pola jalan
83
Ayat (1b) Jaringan Nirkabel adalah jaringan yang tidak menggunakan kabel tetapi menggunakan
frekwensi
tertentu
yang
dipancarkan
dari
menara
pemancar. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Base Transceiver (BTS) adalah menara pemancar yang memancarkan gelombang radio pada frekwensi tertentu yang bisa dipergunakan untuk jaringan telekomunikasi. Pasal 26 Cukup Jelas Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Sanitary Landfill adalah sarana pengurugan sampah yang bersifat antara sebelum mampu melaksanakan operasi pengurugan berlapis bersih tempat sampah yang telah diurug dan dipadatkan di area pengurugan yang ditutup dengan tanah, sedikitnya satu kali setiap tujuh hari. Controlled Landfill adalah sarana pengurugan sampah ke lingkungan yang disiapkan dan dioperasikan secara sistematik dengan penyebaran dan pemadatan sampah pada area pengurugan serta penutupan sampah setiap hari. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas 84
Ayat (7) a. Drainase primer adalah saluran yang memanfaatkan sungai dan anak sungai. b. Drainase sekunder adalah saluran yang menghubungkan saluran tersier dengan saluran primer (dibangun dengan beton/plesteran semen) c. Drainase tersier adalah saluran untuk mengalirkan limbah rumah tangga ke saluran sekunder, berupa plesteran, pipa dan tanah Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas 85
Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas 86
Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas 87
Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Cukup jelas Pasal 76 Cukup jelas Pasal 77 Cukup jelas Pasal 78 Cukup jelas Pasal 79 Cukup jelas Pasal 80 Cukup jelas Pasal 81 Cukup jelas Pasal 82 Cukup jelas Pasal 83 Cukup jelas Pasal 84 Cukup jelas Pasal 85 Cukup jelas Pasal 86 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO NOMOR 283
88
LAMPIRAN I
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO NOMOR : 3 TAHUN 2012 TANGGAL : SEPTEMBER 2012 TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2011 - 2031
LAMPIRAN II
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO NOMOR : 3 TAHUN 2012 TANGGAL : 11 SEPTEMBER 2012 TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2011 - 2031
LAMPIRAN III
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO NOMOR : 3 TAHUN 2012 TANGGAL : 11 SEPTEMBER 2012 TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2011 - 2031
LAMPIRAN IV PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO NOMOR : 3 TAHUN 2012 TANGGAL : 11 SEPTEMBER 2012 TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2011 - 2031 I.
RENCANA STRUKTUR RUANG Rencana Pentahapan Pemanfaatan Struktur Ruang sesuai RTRW
No (1) I. I.1.
I.2.
Rencana Struktur Ruang (2) Rencana Pusat Kegiatan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW)
Pusat Kegiatan Lokal (PKL)
Arah pemanfaatan Ruang/ Indikasi Program
Lokasi
Sumber Dana
Instansi Pelaksana
(3)
(4)
(5)
(6)
Pembangunan Fasilitas Pelayanan Pemerintahan Peningkatan Rumah Sakit Umum ke Tipe B Peningkatan Bangunan Terminal Tilamuta (Tipe B) Peningkatan Bangunan Pasar Umum Tilamuta Peningkatan Kapasitas Fasilitas Jasa Komersial Penyusunan Revisi Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Perkotaan Tilamuta Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Perdagangan dan Jasa Komersial di Pusat Kota Tilamuta Penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Perkotaan Peningkatan /Pembangunan Pasar Umum Peningkatan Fasilitas Pendidikan Menengah Pengadaan Bank (Cabang)
I.3.
Pusat Peningkatan Kawasan (PPK)
Peningkatan Kapasitas Pelayanan Puskesmas (Rawat Inap) Penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Perkotaan Peningkatan /Pembangunan Pasar Umum Peningkatan Fasilitas Pendidikan Menengah Pembangunan Terminal Pembantu Pengadaan Bank (Ranting) dan Koperasi Peningkatan Kapasitas Pelayanan Puskesmas
Kec. Tilamuta
APBN, APBD Prov., APBD Kab.
Pemda Boalemo, Provinsi, Pemerintah Pusat
Kec. Tilamuta
APBN, APBD Prov., APBD Kab.
Dinas Kesehatan
Kec. Tilamuta
APBN, APBD Prov., APBD Kab.
Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kab
Kec. Tilamuta
APBN, APBD Kab.
Dinas Perin DagKop. Kab.
Kec. Tilamuta
BUMN, Swasta
BUMN, Swasta, Masyarakat
Kec. Tilamuta
APBD Kab.
Bappeda Kab.
Kec. Tilamuta
APBD Kab.
Dinas PU Kab.
APBD Kab.
Bappeda Kab.
APBD Kab.
Dinas PerinDagKop Kab.
Kec. Paguyaman
APBD Kab.
Dinas Pendidikan Kab.
Kec. Paguyaman, Kec. Wonosari Kec. Paguyaman, Kec. Wonosari
BUMN, Swasta
BUMN, Swasta
APBD Prov. APBD Kab.
Dinas Kesehatan Kab.
Kec. Mananggu
APBD Kab.
Bappeda Kab.
Kec. Mananggu
APBD Kab.
Dinas PerinDagKop Kab.
Kec. Mananggu
APBD Kab.
Dinas Pendidikan Kab.
Kec. Mananggu
APBD Kab.
Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kab.
Kec. Mananggu
BUMN, Swasta
BUMN, Swasta.
Kec. Mananggu
APBD Kab.
Dinas Kesehatan Kab.
Kec. Paguyaman, Kec. Wonosari Kec. Paguyaman, Kec. Wonosari
Waktu pelaksanaan Lima tahun ke-I
Lima tahun ke-II
Lima tahun ke-III
Lima tahun ke-IV
(7)
(8)
(9)
(10)
I.4.
Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL)
Penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Perkotaan Peningkatan /Pembangunan Pasar Umum Peningkatan Fasilitas Pendidikan Menengah Pembangunan Terminal Pembantu
II.
II.1.
Pengadaan Bank (Unit Ranting) dan KUD Peningkatan Kapasitas Pelayanan Puskesmas Rencana Jaringan Transportasi
Sistem Jaringan Transportasi Darat
Peningkatan Jalan Arteri Primer
Pengembangan dan Peningkatan Jalan Kolektor Primer Peningkatan Jalan Lokal Primer
II.2.
Sistem Jaringan Transportasi Perkeretaapian
II.3.
Sistem Jaringan Transportasi Laut
III.
Rencana Jaringan Energi
III.1
Pembangkit Tenaga Listrik
Pembangunan Jalur Kereta Api
Pembangunan Stasiun Kereta Api Pemantapan Kawasan Pelabuhan Tilamuta. Pengembangan Prasarana dan Sarana Pelabuhan Tilamuta. Peningkatan Jaringan Jalan Akses dari/ dan Ke Pelabuhan.
Dulupi, Botumoito, Paguyaman Pantai Dulupi, Botumoito, Paguyaman Pantai Dulupi, Botumoito, Paguyaman Pantai Dulupi, Botumoito, Paguyaman Pantai Dulupi, Botumoito, Paguyaman Pantai Dulupi, Botumoito, Paguyaman Pantai
APBD Kab.
Bappeda Kab.
APBD Kab.
Dinas PerinDagKop Kab.
APBD Kab.
Dinas Pendidikan Kab.
APBD Kab.
Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kab.
BUMN, Swasta
BUMN, Swasta
APBD Kab.
Dinas Kesehatan Kab.
Kec. Mananggu, Kec. Botumoito, Kec. Tilamuta, Kec. Dulupi, Kec. Paguyaman
APBN, APBD Prov.
Dinas PU Prov.
Semua Kecamatan
APBD Prov., APBD Kab.
Dinas PU Prov.
Semua Kecamatan
APBD Kab.
Dinas PU Kab.
Kec. Mananggu, Kec. Botumoito, Kec. Tilamuta, Kec. Dulupi, Kec. Paguyaman Kec. Tilamuta
BUMN dan APBN
PJKAI
APBD Kab.
Dinas HubPar Kab.
APBN, APBD Prov.
Dinas HubPar Kab.
APBD Kab.
Dinas PU Kab.
BUMN dan APBN
Perusahaan Listrik Negara
BUMN dan APBN
Perusahaan Listrik Negara
APBD Prov, APBD Kab., Mayarakat
Dinas PU Kab., Masyarakat
Kec. Tilamuta Kec. Tilamuta Kec. Tilamuta
IV.
Pengembangan dan Peningkatan Jaringan Listrik Transmisi Tegangan 150 KV dan 275 KV Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Pelayanan Jaringan Listrik Pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) beserta Jaringannya. Rencana jaringan telekomunikasi
IV.1
Sistem Jaringan Kabel
Pengembangan Kapasitas dan Jaringan Stasiun Telepon Otomat (STO)
Kec. Tilamuta, Kec. Paguyaman
BUMN
PT. Telkom Tbk.
IV.2.
Sistem Jaringan Nirkabel
Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Pelayanan Jaringan Telepon Selular
Semua Kecamatan
Swasta
Swasta
V.
Rencana Sistem Jaringan Sumber Daya Air
Semua Kecamatan Semua Kecamatan
Semua Kecamatan
V.1.
Wilayah Sungai
V.2.
Cekungan Air Tanah
V.3. V.4.
V.5.
VI.
Konservasi, Pendayagunaan, dan Pengendalian Daya Rusak Wilayah Sungai
Konservasi, Pendayagunaan, dan Pengendalian Daya Rusak Sumber Air Tanah Pengembangan dan Peningkatan Jaringan Irigasi Kapasitas Jaringan Irigasi Pengembangan dan Peningkatan Jaringan air baku untuk Kapasitas Pelayanan Jaringan Air air minum Bersih Pengembangan dan Peningkatan Sistem Pengendali Kapasitas Pelayanan Jaringan Banjir Drainase Perkotaan Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Pelayanan Jaringan Drainase Perdesaan Rencana Sistem Prasarana Pengelolaan Lingkungan
VI.1.
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)
VI.2.
Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST)
Pemantapan Kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Kecamatan Dulupi Pengembangan dan Peningkatan Prasarana dan Sarana Persampahan.
Kec. Paguyaman, Kec. Paguyaman Pantai, Kec. Dulupi, Kec. Tilamuta, Kec. Botumoito, Kec. Mananggu.
APBN
Balai Wilayah Sungai I
Kec. Paguyaman, Kec. Wonosari
APBN
Balai Wilayah Sungai I
Semua Kecamatan
APBD Prov. APBD Kab.
Dinas PU Prov. Dinas PU Kab.
APBD Kab.
PDAM
APBD Kab.
Dinas PU Kab.
APBD Kab.
Dinas PU Kab.
APBD Kab.
Dinas PU Kab.
APBN, APBD Prov. , APBD Kab.
Dinas PU Kab.
Semua Kecamatan
Semua Kecamatan
Semua Kecamatan
Kec. Dulupi
Semua Kecamatan
II. RENCANA POLA RUANG Rencana Pentahapan Pemanfaatan Pola Ruang sesuai RTRW No
(1) I. I.1.
Rencana Pola Ruang
(2) Rencana Kawasan Lindung Kawasan Hutan Lindung
Lokasi
Sumber Dana
Instansi Pelaksana
(3)
(4)
(5)
(6)
Pemantapan Kawasan Cagar Alam Pemantapan Kawasan Hutan Lindung
I.3.
Kawasan yang Memberikan Perlindungan terhadap Kawasan Bawahannya
Kawasan Perlindungan Setempat
Kec. Wonosari, Kec. Dulupi
Rehabilitasi Lahan Kritis dalam Kawasan Hutan Lindung
Semua Kecamatan Kec. Mananggu, Kec. Paguyaman Pantai Kec. Mananggu, Kec. Botumoito, Kec. Tilamuta, Kec. Dulupi, Kec. Paguyaman, Kec. Paguyaman Pantai Semua Kecamatan
Rehabilitasi DAS Sungai Besar
Kec. Paguyaman
Pemantapan Kawasan Suaka Alam Laut
I.2.
Waktu pelaksanaan
Arah pemanfaatan Ruang/ Indikasi Program
Pemantapan Pantai Berhutan Bakau Pesisir Laut Teluk Tomini
APBN APBN
Dinas Kehutanan Prov. BPKH Dinas Kehutanan Prov BPKH
APBN, APBD Prov.
Balai KSDA Prov.
APBD Prov. APBD Kab.
Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kab.
APBN
Dinas Kehutanan Prov.
APBN, APBD Prov.
Balai Wilayah Sungai
Lima tahun ke-I
Lima tahun ke-II
Lima tahun ke-III
(7)
(8)
(9)
Lima tahun keIV (10)
Pemantapan Sempadan Sungai
Pemantapan Sempadan Pantai
I.4. II. II.1.
Pengendalian dan Penanganan Kawasan Rawan Bencana Alam (Banjir dan Tsunami) Rencana Kawasan Budidaya Kawasan Rawan Bencana Alam
Kawasan Hutan Produksi
Pemantapan areal, Pendayagunaan, Rehabilitasi Lahan Kritis dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas. Pemantapan areal, Pendayagunaan, Rehabilitasi Lahan Kritis dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap.
II.2.
Kawasan Hutan Rakyat
II.3.
Kawasan Pertanian dan Perkebunan
II.4.
Kawasan Perikanan
II.5.
Kawasan Pertambangan
II.6.
Kawasan Industri
Pemantapan areal, Pendayagunaan, Rehabilitasi Lahan Kritis dalam Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi Pemantapan Areal dan Pendayagunaan Hutan Rakyat Peningkatan Intensifikasi Kegiatan Pertanian Lahan Basah dan Lahan Kering Ekstensifikasi dan Intensifikasi Tanaman Tahunan Unggulan Diversifikasi Tanaman Tahunan yang prospektif Pengembangan kawasan peternakan hewan Peningkatan Intensifikasi dan Ekstensifikasi perikanan budidaya laut dan darat. Pemantapan dan Pendayagunaan Kawasan pertambangan Mineral Logam Pemantapan dan Pendayagunaan Kawasan pertambangan Mineral Batuan Penyusunan studi kelayakan dan Amdal lokasi kawasan peruntukan industri Pemantapan kawasan peruntukan industri
Kec. Paguyaman, Kec. Paguyaman Pantai, Kec. Dulupi, Kec. Tilamuta, Kec. Botumoito, Kec. Mananggu. Kec. Mananggu, Kec. Botumoito, Kec. Tilamuta, Kec. Dulupi, Kec. Paguyaman, Kec. Paguyaman Pantai
APBN, APBD Prov., APBD Kab.
Dinas Kehutanan Prov., Dinas HutBun Kab. Boalemo
APBN
Dinas PU Kab.
Semua Kecamatan
APBN, APBD Prov., APBD Kab.
Dinas PU Prov., Dinas PU Kab.
Semua Kecamatan
APBN
Din. Kehutanan Prov. BPKH
APBN
Dinas Kehutanan Prov.
APBN
Dinas Kehutanan Prov.
APBN
Dinas Kehutanan Prov.
APBD Kab, APBD Prov.
Dinas Pertanian & Hut. Kab.
APBD Kab. APBD Prov.
Dinas Pertanian & Hut. Kab.
Swasta
Dinas Pertanian & Hut Kab.
Swasta, APBD Kab.
Dinas Peternakan Kab.
Semua Kecamatan
Masyarakat
DKP Kab.
Kec. Mananggu, Kec. Tilamuta, Kec. Dulupi, Kec. Paguyaman, Kec. Wonosari
Swasta
Din. Kehutanan & Pertamb. Kab.
Semua Kecamatan
Masyarakat
Masyarakat
Semua Kecamatan
APBD Kab.
Bappeda Kab.
Semua Kecamatan
APBD Kab.
Bappeda Kab.
Kec. Mananggu, Kec. Botumoito, Kec. Tilamuta, Kec. Dulupi, Kec. Paguyaman, Kec. Paguyaman Pantai Kec. Mananggu, Kec. Botumoito, Kec. Wonosari, Kec. Dulupi Semua Kecamatan Semua Kecamatan Semua Kecamatan Semua Kecamatan Semua Kecamatan
II.7.
Penyusunan rencana detail kawasan peruntukan industri Promosi pemanfaatan kawasan peruntukan industri Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Inventarisasi objek-objek wisata andalan Penataan kawasan obyek-obyek Wisata
Kawasan Pariwisata
Semua Kecamatan Semua Kecamatan Semua Kecamatan Semua Kecamatan Semua Kecamatan Semua Kecamatan
Promosi pariwisata daerah II.8.
Kawasan Permukiman
II.8
Kawasan Permukiman
Penyusunan Studi Identifikasi & Rencana Pengembangan Permukiman Perkotaan Penyusunan Studi Identifikasi dan Rencana Pengemb. Permukiman Perdesaan Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Perkotaan Peningkatan Prasarana dan Sarana Permukiman Perdesaan
APBD Kab.
Bappeda Kab.
APBD Kab.
Dinas Perindag Kab.
APBD Kab.
Bappeda Kab.
APBD Kab.
Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kab.. Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kab.
APBD Kab.
Din. Perhub. & Pariwisata Kab.
APBD Kab.
Dinas PU Kab.
APBN, APBD Kab.
Dinas PU Kab.
APBN, APBD Kab.
Dinas PU Kab.
Semua Kecamatan Semua Kecamatan Semua Kecamatan Semua Kecamatan
III. RENCANA KAWASAN STRATEGIS Rencana Pentahapan Pemanfaatan Kawasan Strategis sesuai RTRW No
(1)
Rencana Kawasan Strategis
Arah pemanfaatan Ruang/ Indikasi Program
Lokasi
Sumber Dana
Instansi Pelaksana
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
I.
Kawasan Strategis Provinsi di Kabupaten Boalemo
I.1.
Dari Sudut Kepentingan Pertumbuhan Ekonomi
II. II.1.
Pengembangan Kawasan Cepat Tumbuh
Pengembangan Kawasan Minapolitan Kaw. blok pertambangan emas, tembaga dan perak Pohuwato-Boalemo dan Kab. Gorontalo-Paguyaman Kawasan Strategis Kabupaten Boalemo Dari Sudut Kepentingan Ekonomi
Pemantapan dan Pengembangan Kawasan Pelabuhan Tilamuta Pengembangan/Peningkatan Kawasan Perdagangan Barang dan Jasa Pengembangan/Peningkatan Kawasan Minapolitan
APBD Prov.
Dinas PU Kab.
Kec. Mananggu
APBD Prov., APBD Kab.
DKP Kab.
Kec. Mananggu, Kec. Dulupi, Kec. Paguyaman
APBD Prov.
Dinas Pertambangan Prov..
Kec. Tilamuta
APBN, APBD Prov., APBD Kab.
Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kab.
Kec. Tilamuta
APBD Prov., APBD Kab.
Dinas PerinDagKop Kab.
Kec. Tilamuta, Kec. Dulupi, Kec. Botumoito, Kec. Paguyaman, Kec. Paguyaman Pantai
APBD Prov., APBD Kab.
DKP Kab.
Kec. Paguyaman, Kec. Wonosari
Lima tahun ke-I (7)
Waktu pelaksanaan Lima tahun keLima tahun keII III (8) (9)
Lima tahun keIV (10)
II.2.
Dari Sudut Kepentingan Sosial Budaya
II.3.
Dari Sudut Kepentingan Pendayagunaan Sumberdaya
Pengembangan/Peningkatan Kawasan Pusat pemerintahan dan kota pendidikan Pengembangan/Peningkatan Kawasan pelestarian dan pengembangan adat istiadat atau budaya Studi Blok pertambangan emas, tembaga, perak Pohuwato-Boalemo dan Gorontalo-Paguyaman Pengembangan/Peningkatan Kawasan wisata bahari Bolihutuo
Kec. Tilamuta
APBD Prov., APBD Kab.
Pemda Kab.
Kec. Mananggu, Kec. Tilamuta, Kec. Paguyaman, Kec. Wonosari
APBD Prov., APBD Kab./swasta
Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kab..
Kec. Mananggu, Kec. Dulupi, Kec. Paguyaman
APBD Prov., APBD Kab./swasta
Dinas PerinDagKop Kab.
Kec. Botumoito
APBD Prov., APBD Kab./swasta
Dinas Perhub. & Pariwisata Kab..