i
BUNGA RAMPAI KEPESISIRAN DAN KEMARITIMAN DIY DAN JAWA TENGAH vi. 154 hal, 15,5 x 23,6 cm
ISBN 978-602-9439-83-0 Judul Buku: Bunga Rampai Kepesisiran dan Kemaritiman DIY dan Jawa Tengah
Editor: Priyadi Kardono Perancang Cover: Tri Raharjo Layout: Zheni Setyaningsih, Edwin Maulana, Tri Raharjo
Penerbit: Badan Informasi Geospasial Jl. Raya Jakarta-Bogor Km.46, Cibinong, Bogor, Jawa Barat 16911
ii
KATA PENGANTAR Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi kepesisiran dan kemaritiman yang sangat melimpah. Potensi kepesisiran dan kemaritiman Indonesia dapat dikembangkan ke dalam sektor pariwisata, industri, energi dan masih banyak sektor yang lain. Pengembangan kawasan kepesisiran dan kemaritiman di Indonesia memerlukan perencanaan yang baik untuk pembangunan berkelanjutan dan untuk menghindari dari ancaman bencana. Banjir rob, abrasi, degradasi lingkungan dan tsunami adalah beberapa ancaman bencana yang patut diwaspadai di kawasan kepesisiran. Beberapa daerah di Indonesia saat ini sedang berlomba-lomba untuk mengembangkan kawasan kepesisiran karena hingga sekarang, masyarakat pesisir masih dianggap dalam kategori pra-sejahtera. Realita tersebut dianggap rasional mengingat pemanfaatan kepesisiran dan kemaritiman masih terbatas. Berbagai stimulus telah diberikan pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mengatasi permasalahan di kawasan pesisir. Mengingat Indonesia memiliki wilayah kepesisiran yang sangat luas, upaya untuk mengatasi permasalahan di kawasan kepesisiran membutuhkan waktu yang cukup lama. Salah satu upaya yang dapat disumbangkan akademisi adalah dengan melakukan berbagai penelitian dan kajian di kawasan kepesisiran dan kemaritiman. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh praktisi dan akademisi, dapat diambil terobosan-terobosan untuk membantu pengembangan kawasan kepesisiran dan kemaritiman di Indonesia. Pengembangan kawasan akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Tidak hanya hebat secara teori, namun dapat diaplikasikan dengan mudah. Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan daerah yang memiliki kawasan kepesisiran yang luas. Karakteristik pantai di DIY dan Jawa Tengah berbeda-beda, terutama Provinsi Jawa Tengah yang memiliki karakter pantai yang kontras serta keberagaman budaya pesisir yang majemuk. Jawa Tengah memiliki wilayah Pantai Utara sekaligus Pantai Selatan degan tipologi yang kontras. DIY juga memiliki tiga kabupaten yang berada di pesisir, diantaranya Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul serta kabupaten Gunungkidul. Pantaipantai di tiga kabupaten ini memiliki karakter yang unik seperti wilayah pantai Gunungkidul yang merupakan pantai berbatu dengan morfologi Karst, sedangkan wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulonprogo memiliki tipologi pantai berpasir yang dikontrol oleh Sungai Opak dan Sungai Progo. Pekerjaan rumah untuk mengatasi permasalahan kepesisiran dan kemaritiman pada wilayah ini masih sangat banyak. Salah satu terobosan yang dilakukan di DIY adalah dengan menjadikan pesisir selatan DIY sebagai halaman depan, sehingga perekonomian kawasan kepesisiran DIY dapat iii
terangkat. Berdasarkan riset yang dirangkum dalam “Bungarampai Kepesisiran dan Kemaritiman Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah” diharapkan mampu mengatasi permasalahan-permasalah yang muncul di kawasan kepesisiran dan kemaritiman di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Besar harapan berbagai hasil penelitian ini dapat diaplikasikan di lapangan dan menjadi pembelajaran pada kawasan lain sehingga dapat memberi manfaat secara meluas. 15 November 2016 Editor
iv
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL
i
HALAMAN IDENTITAS BUKU
ii
KATA PENGANTAR
iii-iv
DAFTAR ISI
v-vii
Analisis Data Pasang Surut untuk Menentukan Keakuratan Hasil Identifikasi Tipe Pasang Surut dengan Perangkat Lunak Coastalicious (Studi Kasus di Pesisir Cilacap Jawa Tengah) Tomi Aris, Zulkhair Apriansyah, Theresia Retno Wulan, Anggara Setyabawana Putra, Edwin Maulana
1-13
Pemanfaatan Kearifan Lokal dalam Rangka Peringatan Dini Bencana Masyarakat Pesisir Yogyakarta Kadhung Prayoga
14-23
Sumberdaya Kelautan untuk Menunjang Kegiatan Pariwisata di Pantai Depok Daerah Istimewa Yogyakarta Heny Budi Setyorini, Agustina Setyaningrum
24-32
Analisis Perubahan Morfologi Laguna di Muara Sungai Opak, Kabupaten Bantul Menggunakan Penginderaan Jauh Temporal Vinsensius Bule Owa, Tomi Aris, Widya Lestari Basitah, Th. Retno Wulan, Dwi Sri Wahyuningsih
33-46
Prediksi Pasang Surut Perairan Sadeng Feni Ayuputri Arifin, Farid Ibrahim, Ayu Puji Larasati, Edwin Maulana, Theresia Retno Wulan
47-54
Kajian Objek Wisata Pantai Wediombo Sebagai Daya Tarik Wisata di Kabupaten Gunungkidul Feni Ayuputri Arifin, Theresia Retno Wulan, Faizah Rahmayadi Yusuf, Dwi Sri Wahyuningsih, Edwin Maulana
55-64
v
Kajian Geomorfologi Wilayah Kepesisiran untuk Pengembangan Wisata Pantai (Studi Kasus: Wilayah Kepesisiran Wohkudu dan Kesirat, Girikarto, Panggang, Gunungkidul) Suci Yolanda, Yuli Widyaningsih, Mutiara Ayu M H, Egha Friyansari
65-77
Analisis Pengaruh Perubahan Tutupan Lahan DAS Serang Terhadap Distribusi Total Suspended Solid (TSS) di Perairan Pantai Kabupaten Demak Bambang Sudarsono, Abdi Sukmono, Jiyah
78-91
Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Garis Pantai dan Daerah Terdampak di Sepanjang Wilayah Kepesisiran Kota Semarang Dwiki Apriyana, Alifi Rehanun Nisya, Bagus Septiangga, Rutsasongko Juniar Manuhana
92-100
Prediksi Perkembangan Penggunaan Lahan Permukiman Terdampak Banjir Rob di Pesisir Kota Semarang Trida Ridho Fariz, Muhammad Fuad Hasan, Dwi Fathimah Zahra
101-112
Pemetaan Daerah Rawan Bencana Tsunami di Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta Riska Alfiani, Widya Lestari Basitah, Theresia Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana
113-121
Pemetaan Jalur Evakuasi Terhadap Tsunami di Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Widya Lestari Basitah, Riska Alfiani, Theresia Retno Wulan, Mone Iye Cornelia Marchiavelli, Miati Kusuma Wardani, Farid Ibrahim, Edwin Maulana,
122-132
Monitoring Perubahan Garis Pantai di Pantai Parangtritis dengan Menggunakan Landsat Pada Tahun 1999, 2002 Dan 2015 Riska Alfiani, Miati Kusuma Wardani, Mone Iye Cornelia Marchiavelli, Theresia Retno Wulan, Farid Ibrahim, Edwin Maulana
133-140
Analisis Mitigasi Bencana Abrasi Kawasan Pesisir Pantai Depok Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta
141-147
vi
Ayu Puji Larasati, Miati Kusuma Wardani, Mone Iye Cornelia Marchiavelli, Theresia Retno Wulan Farid Ibrahim, Edwin Maulana, Anggara Setyabawana Putra
Kajian Perikanan Dan Wisata di Pantai Sadeng Kabupaten Gunungkidul DIY Faizah Rahmayadi Yusuf, Feni Ayuputri Arifin, Mone Iye Cornelia Marchiavelli, Theresia Retno Wulan, Dwi Sri Wahyuningsih, Anggara Setyabawana Putra, Edwin Maulana
148-155
vii
ANALISIS DATA PASANG SURUT UNTUK MENENTUKAN KEAKURATAN HASIL IDENTIFIKASI TIPE PASANG SURUT DENGAN PERANGKAT LUNAK COASTALICIOUS (STUDI KASUS DI PESISIR CILACAP JAWA TENGAH) Tomi Aris1, Zulkhair Apriansyah1, Theresia Retno Wulan2 Anggara Setyabawana Putra2, Edwin Maulana2 1Jurusan
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang 2Parangtritis Geomaritime Science Park, Badan Informasi Geospasial, Yogyakarta E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Pasang surut merupakan Parameter Oseanografi yang penting dalam melakukan penelitian di bidang Kelautan. Data pasang surut pada penelitian ini diperoleh dari dua sumber yang berbeda yakni Worldtides dan UHSLC (University of Hawaii Sea Level Center). Adanya dua sumber yang berbeda ini dimungkinkan akan memiliki hasil identifikasi pasang surut yang berbeda juga. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keakuratan/kesesuaian hasil identifikasi tipe pasang surut pada perangkat lunak Coastalicious. Sumber data yang digunakan pada perangkat lunak Coastalicious adalah data pasang surut dari Worldtides. Data pasang surut dari UHSLC adalah sebagai data pembanding. Data dari dua sumber yang berbeda akan dianalisis dengan metode admiralty untuk mendapatkan tipe pasang surutnya. Hasil yang didapatkan menunjukan bahwa tipe pasang surut dari data UHSLC dan data Worldtides adalah sama. Pesisir Cilacap memiliki tipe pasang surut campuran condong ganda (Mixed Tide Prevailing Semi Diurnal) sesuai dengan peta tipe pasang surut Indonesia. Kata kunci: Tipe pasang surut, Identifikasi, Cilacap
1. PENDAHULUAN Pasang surut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala. Pergerakan pasang surut diakibatkan oleh adanya kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik benda-benda astronomi terutama oleh bumi, bulan dan matahari (Musrifin, 2011). Berdasarkan teori kesetimbangan, pasang surut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya rotasi bumi pada porosnya dan revolusi bulan terhadap matahari. Faktor lainya berdasarkan teori dinamis, disebabkan oleh kedalaman dan luas perairan, pengaruh rotasi bumi (Gaya Coriolis) dan gesekan dasar. Berbagai lokasi juga memiliki ciri pasang surut yang berbeda. Perbedaan ciri pasang
1
surut ini disebabkan oleh faktor lokal seperti topografi dasar, lebar selat, dan bentuk teluk. Tipe pasang surut ditentukan oleh frekuensi air pasang dengan surut setiap harinya. Suatu kawasan dikatakan bertipe pasang surut harian tunggal (diurnal tides) jika perairan mengalami satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari, maka tipe pasang surutnya disebut tipe harian ganda (semidiurnal tides). Tipe pasang surut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda disebut dengan tipe campuran (mixed tides). Tipe pasang surut ini digolongkan menjadi dua bagian yaitu tipe campuran dominasi ganda dan tipe campuran dominasi tunggal (Musrifin, 2012).
Gambar 1. Peta Karakteristik Pasang surut Indonesia Sumber: Widyantoro (2014)
Tipe pasang surut ini diperoleh melalui penentuan konstanta pasang surut dan perhitungan bilangan Fomzahl. Salah satu metode penentuan konstanta pasang surut adalah menggunakan metode admiralty. Karakteristik pasang surut di Indonesia didominasi oleh tipe campuran condong harian ganda (Widyantoro, 2014). Perhitungan karakteristik pasang surut perairan laut Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tabel Karakteristik Pasang surut perairan laut Indonesia No 1 2
Nama stasiun Cilacap Surabaya
F 0.426 1.277
Jenis Pasang surut Campuran Condong Semi diurnal Campuran Condong Semi diurnal
2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Bitung Padang Benoa Panjang Malahayati Makassar Mamuju Sibolga Palopo Kupang Tanahbala Biak Lembar Tual Jepara Ambon Balikpapan Jailolo Prigi Ende Lhokseumawe Jayapura Sorong Tarakan Bangka Kabil Sadeng Pelabuhan Ratu P. Baal Kalianget Sekupang Lhokseumawe Pantoloan Ciwandan Tapaktuan Luwuk Pare-pare Celukan bawang Semarang Badas Kendari Waingapu Merauke Kolinlamil
0.719 Campuran Condong Semi diurnal 0.406 Campuran Condong Semi diurnal 0.394 Campuran Condong Semi diurnal 0.465 Campuran Condong Semi diurnal 0.203 Semi diurnal 2.059 Campuran Condong diurnal 0.533 Campuran Condong Semi diurnal 0.389 Campuran Condong Semi diurnal 0.690 Campuran Condong Semi diurnal 0.343 Campuran Condong Semi diurnal 0.437 Campuran Condong Semi diurnal 0.580 Campuran Condong Semi diurnal 1.268 Campuran Condong Semi diurnal 0.559 Campuran Condong Semi diurnal 2.274 Campuran Condong diurnal 0.862 Campuran Condong Semi diurnal 0.394 Campuran Condong Semi diurnal 0.537 Campuran Condong Semi diurnal 0.404 Campuran Condong Semi diurnal 0.270 Campuran Condong Semi diurnal 0.173 Semi diurnal 1.278 Campuran Condong Semi diurnal 0.494 Campuran Condong Semi diurnal 0.253 Campuran Condong Semi diurnal 3.131 Diurnal 0.718 Campuran Condong Semi diurnal 0.718 Campuran Condong Semi diurnal 0.407 Campuran Condong Semi diurnal 0.613 Campuran Condong Semi diurnal 1.233 Campuran Condong Semi diurnal 0.505 Campuran Condong Semi diurnal 0.173 Semi diurnal 0.339 Campuran Condong Semi diurnal 0.501 Campuran Condong Semi diurnal 0.502 Campuran Condong Semi diurnal 0.809 Campuran Condong Semi diurnal 1.323 Campuran Condong Semi diurnal 1.938 Campuran Condong Semi diurnal 0.076 Semi diurnal 1.291 Campuran Condong Semi diurnal 0.612 Campuran Condong Semi diurnal 0.374 Campuran Condong Semi diurnal 0.786 Campuran Condong Semi diurnal 3.447 Diurnal Sumber: Widyantoro (2014)
3
Menurut Handoyo (2015), tipe pasang surut dan nilai muka air pasang tertinggi dan muka air surut terendah diperoleh menggunakan metode admiralty. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini adalah tipe pasang surut di perairan Kabupaten Cilacap campuran condong harian ganda dengan nilai formzahl 0,3. Nilai muka air pasang tertinggi di perairan Kabupaten Cilacap sebesar 2,3m dan surut terendah sebesar 0,05m. Metode admiralty ialah satu dari beberapa metode analisis pasang surut yang banyak digunakan dalam perencanaan bangunan pantai. Hal ini dikarenakan kelebihan yang dimiliki metode ini ialah dapat menganalisis data pendek pasang surut selama 15 hari. Metode ini memberikan konstanta-konstanta pasang surut untuk selanjutnya digunakan dalam penentuan tipe pasang surut serta elevasi muka air laut yang terjadi (Sangkop, 2015). Salah satu variabel pasang surut yang sering dijadikan sebagai referensi tinggi adalah muka laut rata-rata (MLR/Mean Sea Level), muka laut rata-rata (MLR/Mean Sea Level) sering di notasikan dengan S0 (Rampengan, 2013). Muka air laut rerata (mean sea level, MSL) adalah muka air rerata antara muka air tinggi rerata dan muka air rendah rerata. Penentuan tipe pasang surut untuk suatu wilayah dapat dengan mudah diidentifikasi dengan perangkat lunak Coastalicious. Coastalicious merupakan perangkat lunak android untuk mengidentifikasi pasang surut baik tipe, tinggi pasang surut, dan juga pasang dan surut ekstrim. Coastalicious menggunakan sumber data dari Worldtides dalam mengidentifikasi pasang surut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keakuratan perangkat lunak Coastalicious dalam mengidentifikasi tipe pasang surut. Sumber data pasang surut perangkat lunak Coastalicious adalah diambil dari data pasang surut Worldtides. Data dari Worldtides yang dinyatakan akurat dalam mengidentifikasi tipe pasang surut, maka perangkat lunak Coastalicious bisa dinyatakan akurat.
2. KAJIAN PUSTAKA Pasang surut di Indonesia dibagi menjadi 4 tipe yaitu pasang surut harian tunggal, pasang surut harian ganda, pasang surut campuran condong harian tunggal, pasang surut campuran condong harian ganda. Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide) merupakan pasut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari. Pasang surut ini terdapat di Jakarta, Tarempa, Tuban, Bangka dan Malahayati.
4
Gambar 2. Tipe Pasang Surut Diurnal Sumber: Widyantoro (2014)
Pasang surut harian ganda (Semi diurnal tide) merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama dalam satu hari. Pasang surut ini umumnya ada di Lhokseumawe, Semarang, Sabang, dan Dumai.
Gambar 3. Tipe Pasang Surut Semi diurnal Sumber: Widyantoro (2014)
Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing Diurnal) merupakan pasang surut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu. Pasang surut campuran condong harian tunggal terdapat di Celukan bawang, Makassar dan Jepara.
5
Gambar 4. Tipe Pasang Surut Mixed Tides Prevailing Diurnal Sumber: Widyantoro (2014)
Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal) merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari. Pasang surut ini terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang berbeda. Tipe pasang surut ini terdapat di hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Gambar 5. Tipe Pasang Surut Mixed Tides Prevailing Semi Diurnal Sumber: Widyantoro (2014)
Studi Kasus penelitian ini dilakukan di Perairan Pantai Cilacap. Kabupaten Cilacap memiliki luas wilayah 225.360,840 ha terletak di bagian selatan Jawa Tengah, berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Sebanyak 6,6% dari seluruh wilayah pesisir di Jawa Tengah, kabupaten Cilacap memiliki luasan pesisir terbesar dibandingkan daerah dan Kabupaten lain di wilayah Propinsi Jawa Tengah (Mahendra, 2013). Menurut Dartoyo (2004), wilayah pesisir Kabupaten Cilacap yang memiliki panjang garis pantai sepanjang 103.023 km, yang membentang arah timur-barat. Cilacap memiliki karakteristik ekosistem pesisir laguna Segara Anakan seluas ± 388.000 ha yang merupakan kawasan estuari. Estuari ini terbentuk dari pertemuan Sungai Citandui dengan anak-anak 6
Sungai Cibereum, Sungai Tiramsabuk, Sungai Cimeneng, dan Sungai Sapuregel.
Gambar 6. Lokasi Penelitian (Sumber: Analisis, 2016)
3. METODOLOGI PENELITIAN Sumber data yang digunakan pada perangkat lunak Coastalicious adalah data pasang surut dari Worldtides. Data pasang surut dari UHSLC adalah sebagai data pembanding. Panjang data pasang surut yang digunakan adalah data selama 15 Hari mulai tanggal 1 Januari 2015 sampai 15 Januari 2015. Data pasang surut keduanya digunakan untuk mengetahui tipe pasang surut melalui metode admiralty. Metode admiralty ialah satu dari beberapa metode analisis pasang surut yang banyak digunakan dalam perencanaan bangunan pantai maupun dalam hal lain. Metode ini memiliki kelebihan ialah dapat menganalisis data pendek pasang surut selama 15 hari, mampu memberikan konstanta-konstanta pasang surut untuk selanjutnya digunakan dalam penentuan tipe pasang surut serta elevasi muka air laut yang terjadi (Sangkop, 2015). Hasil akhir perhitungan metode admiralty adalah konstanta-konstanta pasang surut. Berdasarkan konstanta-konstant pasang surut yang didapat dari hasil analisis dengan menggunakan metode admiralty maka dapat ditentukan tipe pasang surut yang terjadi adalah dengan menggunakan angka pasang surut “F” (Formzahl). Nilai F ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
𝐹=
𝑂1 + 𝐾1 𝑀2 + 𝑆2 7
dimana, F merupakan bilangan Formzahl, O1 adalah amplitude komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan, K 1 adalah amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari, M2 adalah amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan, S 2 adalah amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari (Fadilah, 2013). Hasil perhitungan Admiralty kemudian didapatkan bilangan konstanta pasang surut yang selanjutnya akan digunakan untuk menghitung nilai Formzahl. Menurut Rampengan (2013), Besarnya nilai F, selanjutnya diklasifikasikan sebagai berikut: Pasang ganda, jika F ≤ ¼, Pasang campuran (dominan harian ganda), jika ¼ < F ≤ 1 ½ Pasang campuran (dominan harian tunggal), jika 1 ½ < F ≤ 3 Pasang tunggal, jika F > 3. Hasil analisis keakuratan identifikasi pasang surut ini nantinya akan digunakan sebagai akurat atau tidaknya perangkat lunak Coastalicious. Data dari Worldtides yang akurat dalam mengidentifikasi pasang surut akan sangat berpengaruh terhadap hasil identifikasi tipe pasang surut perangkat lunak Coastalicious karena perangkat lunak ini menggunakan Database Pasang surut dari Worldtides.
Gambar 7. Tampilan Perangkat Lunak Coastalicious (Sumber: Coastalicious, 2016)
8
4. PEMBAHASAN Tinggi pasang surut dari dua sumber yang berbeda yakni UHSLC dan Worldtides dianalisis dengan metode admiralty. Panjang data pasang surut yang digunakan adalah pasang surut selama 15 hari mulai tanggal 1 Januari 2015 sampai 15 Januari 2015. Lokasi penelitian data pasang surut berada di pesisir pantai cilacap tepatnya pada koordinat (109º BT dan 7.75º LS). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Widyantoro (2015), Hasil yang didapat tipe pasang surut di perairan Kabupaten Cilacap adalah campuran condong ke harian ganda dengan nilai formzahl 0,3. Untuk mempermudah penentuan tipe pasang surut berdasarkan data yang telah diperoleh salah satunya dengan cara dibuat grafik. Data tinggi elevasi pasang surut diplotkan menjadi sebuah grafik dengan Microsoft excel. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.
Gambar 8. Grafik Tipe Pasang surut Worldtides (Sumber: Analisis, 2016)
Gambar 9. Grafik Tipe Pasang Surut UHSLC (Sumber: Analisis, 2016)
9
Secara umum dengan dibuatnya grafik ini, maka akan lebih mudah membaca tipe pasang surutnya dengan menyamakan grafiknya seperti pada gambar (2-5). Hasil perhitungan dua data (Worldtides dan UHSLC) pasang surut di Pesisir Cilacap memiliki kesamaan tipe pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal). Pernyataan ini sesuai dengan peta tipe pasang surut Indonesia (Widyantoro, 2014). Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal) merupakan pasang surut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali. Surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang berbeda, pasang surut ini terdapat di Pantai Selatan Jawa dan Indonesia Bagian Timur.
Gambar 9. Grafik tipe pasang surut kedua data dan Korelasinya (Sumber: Analisis, 2016)
Pada analisis dengan metode Admiralty, data pasang surut yang telah didapatkan dari Worldtides dan data dari University of Hawai Sea Level Center digunakan sebagai data yang akan diolah, selanjutnya dimasukkan data pasang surut yang telah didapatkan ke dalam skema 1 sampai skema 8 untuk mendapatkan konstituen pasang surut dari data yang dimasukkan. Konstituen yang didapat kemudian dihitung nilai formzahl dari konstituen pasang surut yang diperoleh untuk mengetahui tipe pasang surut. Hasil bilangan Formzahl yang didapatkan kemudian digunakan untuk menyimpulkan tipe pasang surut perairan pantai cilacap. Hasil analisis dengan metode admiralty akan mendapatkan nilai konstanta-konstanta pasang surut yang selanjutnya digunakan untuk menghitung bilangan Formzahl. Perhitungan konstanta pasang surut dengan metode Admiralty ditampilkan seperti pada Tabel 2. 10
S0 M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 M4 MS4
S0 M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 M4 MS4
Tabel 2. Hasil Worldtides A cm 0 212 114 105 26 96 54 32 2 0 (Sumber: Analisis, 2016) Tabel 3. Hasil UHSLC A cm 0 21 13 10 3 10 6 3 0 0 (Sumber: Analisis, 2016)
G 71 289 355 289 269 103 269 52 107
G 231 85 154 85 164 6 164 176 71
Perhitungan bilangan Formzahl dari konstanta pasang surut yang didapatkan adalah sebagai berikut; 1. Hasil perhitungan bilangan Formzahl untuk data pasang surut Worldtides; 𝑂1 + 𝐾1 𝐹= 𝑀2 + 𝑆2 𝐹=
54 + 96 212 + 114
𝐹=
150 326
𝐹 = 0.46012269
11
2.
Hasil perhitungan bilangan Formzahl untuk data pasang surut UHSLC; 𝐹=
𝑂1 + 𝐾1 𝑀2 + 𝑆2
𝐹=
6 + 10 21 + 13
𝐹=
16 34
𝐹 = 0.470589 Hasil perhitungan bilangan Formzahl data Worldtides adalah sebesar 0.46012269 dari dan hasil pengolahan data UHSLC adalah 0.4705889. Penentuan tipe pasang surut pesisir cilacap dengan perhitungan bilangan formzahlnya memiliki tipe pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal). Hasil perhitungan kedua data pasang surut ini nilainya mendekati dengan nilai Formzahl perairan di Indonesia berdasarkan Widyantoro (2014) yakni sebesar 0.246. Hasil ini juga tidak berbeda jauh dengan penelitian Handoyo (2015) yang menyatakan bahwa perairan Cilacap memiliki nilai Formzahl 0,3. Data pasang surut dari kedua sumber data (Worldtides dan UHSCL) dapat digunakan untuk menentukan tipe pasang surut di suatu lokasi, karena kedua data dari dua sumber yang berbeda ini menggambarkan tipe pasang surut di pesisir cilacap memiliki tipe pasang surut campuran harian condong ganda. Kesesuain dalam mengidentifikasi tipe pasang surut dari data Worldtides yang digunakan oleh perangkat lunak Coastalicious dapat dinyatakan akurat. Hal ini disebabkan karena sumber data yang digunakan perangkat lunak ini mampu memberikan hasil identifikasi tipe pasang surut yang sesuai dengan peta karakteristik pasang surut Indonesia. Perangkat lunak Coastalicious ini selain dapat mengidentifikasi tipe pasang surut bisa juga dapat memprediksi tinggi pasang surut dan waktu pasang surut ekstrim. Keakuratan perangkat lunak Coastalicious dalam mengidentifikasi prediksi dan waktu pasang surut ekstrim belum dilakukan penelitian. Keakuratan prediksi dan waktu pasang surut ekstrim pada perangkat lunak Coastalicious diharapkan dapat dilakukan pada penelitian selanjutnya. 12
5. KESIMPULAN Data pasang surut dari dua sumber yang berbeda yakni Worldtides dan UHSLC memiliki hasil identifikasi pasang surut yang sama. Hasil identifikasi dari kedua data ini sesuai dengan peta tipe pasang surut Indonesia. Kedua data sama menjelaskan perairan pesisir Cilacap memiliki tipe pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal). Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Hasil identifikasi tipe pasang surut pada perangkat lunak Coastalicious dalam mengidentifikasi tipe pasang surut akurat. Hasil penelitian ini perlu dilakukan survei lapang untuk menguji kedua sumber datanya dalam mengidentifikasi tinggi pasang surut sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Perlu pengukuran tinggi pasang surut dan identifikasi tIpe pasang surut di Pesisir Cilacap Jawa Tengah yang baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA Dartoyo, A.A. 2004. Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Berbasis Digital (Studi Kasus: Kabupaten Cilacap Jawa Tengah). Fadilah, S. Sasongko, D.P. 2013. Menentukan Tipe Pasang Surut dan Muka Air Rencana Perairan Laut. UNDIP. Handoyo, G., Agus, A.D., Suryoputro, I.B. 2015. Konversi Tinggi Pasang Surut di Perairan Cilacap Terhadap Energi yang Dihasilkan. Jurnal Kelautan Tropis. Vol 18, No 2 (2015). Mahendra, W.A., Armono, H.D. Sambodho, K. 2013. Studi Analisa Ketahanan Masyarakat Pesisir Cilacap Terhadap Bencana Tsunami. Jurnal Teknik Pomits Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print). Musrifin. 2011. Analisis Pasang Surut Perairan Muara Sungai Mesjid Dumai. Jurnal Perikanan dan Kelautan 16,1 (2011): 48-55. Musrifin. 2012. Analisis dan Tipe Pasang Surut Perairan Pulau Jemur Riau. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Volume 40:1. Rampengan, R.M. 2013. Amplitudo Konstanta Pasang Surut M2, S2, K1, Dan O1 di Perairan Sekitar Kota Bitung Sulawesi Utara.Jurnal Ilmiah Platax Vol. 1:(3), Mei 2013 ISSN: 2302-3589. Sangkop, N., Mamoto, J.D., Jasin. M.I. 2015. Analisis Pasang Surut di Pantai Bulo Desa Rerer Kecamatan Kombi Kabupaten Minahasa dengan Metode Admiralty. Jurnal Tekno Vol.13/No.63/Agustus 2015. UHSLC. 2016. University Hawai Sea Level Center. http://ilikai.soest.hawaii.edu/uhslc/datai.html. Diakses pada 19 Agustus 2016 pukul 09.00 WIB. Widyantoro, B.T. 2014. Karakteristik Pasang Surut Laut di Indonesia. Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 20 No. 1 Agustus 2014: 65-72. Worldtides. 2016. Worldtides. http://worldtides.info.com. Diakses pada 29 Agustus 2016 pukul 09.00 WIB.
13
PEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL DALAM RANGKA PERINGATAN DINI BENCANA MASYARAKAT PESISIR YOGYAKARTA Kadhung Prayoga1 1Mahasiswa
Pascasarjana Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Universitas Gadjah Mada 1Alumni Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya *E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Ancaman bencana bagi masyarakat pesisir sangatlah besar, terutama bagi mereka yang hidup di kawasan pesisir Yogyakarta. Masyarakat yang hidup di Yogyakarta sudah dibekali oleh nenek moyang mereka terkait tanda alam sebagai peringatan dini akan datangnya berbagai macam bencana, baik itu tsunami, angin puting beliung, maupun tanah longsor. Sehingga, paper ini bertujuan untuk mengetahui kearifan lokal apa yang ada di masyarakat pesisir Yogyakarta terkait pencegahan bencana lewat sebuah studi literatur terhadap sumber data sekunder. Masyarakat pesisir mengenali tanda-tanda tsunami seperti kondisi air laut, suara dentuman dari laut, dan adanya hari yang tidak diperbolehkan melaut. Dalam mengidentifikasi terjadinya angin puting beliung, masyarakat pesisir juga memiliki cara tersendiri untuk melihatnya, yaitu lewat kabut, udara dingin, dan bentuk awan. Sedangkan untuk tanah longsor, masyarakat biasa merasakan akan ada hujan deras berhari-hari dan pergerakan awan yang cepat. Mereka juga memanfaatkan pranata mangsa, rasi bintang, kehadiran kepiting, dan tanda alam lainnya. Berbagai upaya juga sudah dilakukan masyarakat. Jadi, sudah seharusnya pemerintah mengakomodasi berbagai kearifan lokal ini dalam membuat sebuah pedoman terkait kegiatan pencegahan bencana. Kearifan lokal bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan namun tidak menghilangkan esensinya. Sehingga, dengan begitu pedoman pencegahan bencana tersebut akan mudah diterima oleh masyarakat. Kata kunci: Pencegahan, Bencana, Pesisir, Kearifan Lokal, Yogyakarta
1. PENDAHULUAN Indonesia dengan lautnya yang membentang dari Sumatera hingga Papua menyimpan berbagai potensi untuk dikembangkan. Namun, dibalik itu ancaman berbagai bencana alam, seperti tsunami, angin puting beliung, dan longsor sangat erat dalam kehidupan masyarakat pesisir. Berbagai aktivitas manusia yang merusak sumber daya laut juga semakin memperburuk keadaan. Ancaman bencana menjadi semakin besar karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Tentu butuh suatu sistem
14
peringatan dini agar bencana yang terjadi tersebut tidak memakan banyak korban jiwa. Dibutuhkan suatu model pengelolaan dan peringatan dini yang memadukan peran pemerintah dan masyarakat agar berbagai potensi dan ancaman bisa dikembangkan serta diminimalisir. Sistem yang ada saat ini masih cenderung berada di tangan pemerintah atau government based management dimana pemerintah pusat memegang kendali dalam mengelola sumber daya laut, termasuk di dalamnya terkait pencegahan bencana di wilayah pesisir. Banyak kegiatan dan program pemerintah yang sebenarnya mengingatkan masyarakat terkait pencegahan bencana di daerah pesisir. Namun, banyak pula dari program tersebut tidak dihiraukan oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena lemahnya peran masyarakat dalam menyusun program tersebut. Masyarakat dengan kearifan lokal yang mereka miliki tidak mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Padahal masyarakat yang hidup di wilayah pesisir juga memiliki cara mereka tersendiri dalam mengenali bencana yang akan datang dan bagaimana cara mereka menanganinya. Hal ini sebenarnya mendapat dukungan dari UU No 31/2004 bahwa pemerintah yang bertindak sebagai pengambil kebijakan terkait sektor perikanan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat didukung menjadi dasar konstitusi bagi pengelolaan berbasis kearifan lokal. Menurut Solichin (2010), Indonesia memiliki kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Kearifan lokal tersebut merupakan hak-hak kepemilikan (property rights) yang tidak hanya diartikan sebagai penguasaan terhadap suatu kawasan, akan tetapi juga sebagai salah satu bentuk strategi dalam melindungi sumber daya dari kegiatan perikanan yang merusak (destructive fishing) dan berlebihan (over exploited). Di beberapa wilayah di tanah air seperti Yogyakarta dengan wilayah yang mayoritas adalah wilayah pesisir juga memiliki kearifan lokal terkait kegiatan pencegahan bencana. Jadi, perlu dikaji apa saja kearifan lokal yang ada di masyarakat pesisir Yogyakarta dan apa yang harus dilakukan pemerintah agar masyarakat bisa lebih memahami peringatan dini terkait suatu bencana di wilayah pesisir.
15
2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kearifan Lokal Keraf (2006) mengistilahkan kearifan lokal dengan istilah kearifan tradisional, yang diartikan sebagai semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan dan etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Sedangkan menurut Juniarta (2013), kearifan lokal berkaitan erat dengan tata nilai kehidupan yang terwarisi dari generasi ke generasi berikutnya yang berbentuk religi, budaya maupun adat istiadat yang umumnya dalam bentuk lisan dalam suatu bentuk sistem sosial suatu masyarakat. Aulia et. al (2010) berpendapat bahwa kearifan lokal merupakan manifestasi dari suatu kebijaksanaan gagasan-gagasan, ilmu pengetahuan, keyakinan, pemahaman dan adat kebiasaan/etika masyarakat lokal yang dianggap baik untuk dilaksanakan, bersifat tradisional, diwariskan, penuh kearifan dan berkembang dalam jangka waktu tertentu dan merupakan hasil dari timbal balik antara masyarakat dan lingkungannya. 2.2 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran (Brahtz, 1972; Soegiarto, 1976; Beatly, 1994) dalam Direktoral Jendral Pesisir dan Pulau Kecil (2003). Dahuri, dkk. (1996) mendefenisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tertinggi dan batas ke arah laut adalah yurisdiksi wilayah propinsi atau state di suatu negara. Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. 2.3 Bencana Bencana (disaster) merupakan fenomena sosial akibat kolektif atas komponen bahaya (hazard) yang berupa fenomena alam atau buatan di satu pihak, dengan kerentanan (vulnerability) komunitas di pihak lain. Bencana terjadi apabila komunitas mempunyai tingkat kapasitas atau kemampuan
16
yang lebih rendah dibanding dengan tingkat bahaya yang mungkin terjadi padanya (Paripurno, 2006). Sedangkan dalam Undang-Undang No.24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian. Oleh karena itu sebelum terjadinya bencana perlu adanya kegiatan pencegahan.
3. METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah pendekatan kualitatif. Strauss dan Corbin (2003) memandang pendekatan kualitatif adalah jenis penelitian yang temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik dan bentuk hitung-hitungan lainnya. Contohnya adalah penelitian tentang kehidupan, riwayat, perilaku manusia, disamping juga tentang peranan organisasi, pergerakan sosial, atau hubungan timbal balik. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan analisis wacana. Penulisan paper ini berusaha untuk menjelaskan berbagai macam kearifan lokal yang digunakan masyarakat pesisir sebagai peringatan dini jika terjadi suatu bencana. Jadi, metode-metode kualitatif sangat cocok digunakan karena menurut Bogdan dan Tylor (1993), metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk memahami masyarakat secara personal dan memandang mereka sebagaimana mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya. Teknik pengumpulan datanya sendiri menggunakan metode studi pustaka untuk mendapatkan data-data sekunder. Data sekunder dalam penulisan paper ini berupa bahan-bahan tertulis yang berasal dari penelitian terdahulu, jurnal, buku, tesis, disertasi, dan berbagai informasi digital yang ada di internet. Analisis menggunakan interpretasi peneliti dengan mengacu pada berbagai literatur atau referensi yang relevan dengan objek kajian dalam penulisan paper ini.
4. PEMBAHASAN 4.1 Kearifan Lokal dalam Pencegahan Bencana di Yogyakarta Dalam penelitian Hiryanto (2012) masyarakat yang berada di pesisir parangtritis mengenali terjadinya tsunami jika secara tiba-tiba air laut 17
menjadi surut, para nelayan mendapatkan tangkapan ikan yang melimpah dan ikan yang diperoleh memiliki ukuran yang besar, serta kemudian tibatiba air laut naik. Ciri lainnya adalah muncul suara gler dari arah laut yang sangat keras, dan setelah suara itu terdengar air laut akan surut atau mundur ke belakang. Gler ini merupakan bunyi reruntuhan gua atau terowongan di sekeliling atau di dalam laut. Menurut warga Yogyakarta yang hidup di daerah pesisir, mereka akan waspada pada hari Jumat Kliwon karena pada hari itu dipercaya air mulai naik dan rawan terjadi tsunami. Armanto, dkk (2007), menjelaskan bahwa tsunami didahului oleh dentuman. Dan pengetahuan lokal masyarakat Yogyakarta mengenai suara gler bisa saja merupakan bunyi dentuman yang ada di laut. Hal ini disebabkan adanya pergeseran vertikal lempeng bumi di bawah dasar laut. Patahan lempeng bumi menyebabkan perubahan dasar laut secara mendadak. Bencana lain yang lekat dengan masyarakat pesisir adalah angin puting beliung. Penelitian dari Hiryanto (2012) juga menunjukkan pengetahuan lokal yang dimiliki warga Yogyakarta dalam mengenali terjadinya bencana angin puting beliung. Dari hasil penelitian tersebut warga mengaku akan ada kabut sebelum angin datang. Selain itu, awan akan berbentuk menyerupai gelombang, atau dalam bahasa lokal biasa disebut ampak-ampak. Awan tersebut adalah awan CB atau awan comulus nimbus yang memiliki bentuk menyerupai bunga kol. Sesaat sebelum angin puting beliung datang akan terjadi panas yang terik, namun di tengah panas tersebut tiba-tiba langit berubah gelap dan udara menjadi dingin. Tanah longsor juga menjadi ancaman bencana bagi masyarakat pesisir yang ada di Yogyakarta. Hal ini disebabkan topografi wilayah pesisir Yogyakarta yang dekat dengan tebing dan rawan terjadi longsor. Hiryanto, dkk (2012) juga mengungkapkan bahwa masyarakat pesisir akan merasakan hujan deras terlebih dahulu. Longsor akan dimulai dari daerah atas tebing, umumnya terjadi di daerah yang konturnya miring. Sedangkan di bagian bawah tanah akan bergerak dan tiba-tiba muncul mata air di sekitar tebing. Masyarakat juga akan melihat awan putih atau mega yang berjalan di langit sebagai tanda awal sebelum longsor terjadi. Sunarto (2009) juga mendapati adanya suatu kearifan lokal pada masyarakat pesisir Yogyakarta bahwa saat musim penghujan banyak hewan kepiting naik ke teras rumah atau masuk ke rumah penduduk, maka keadaan itu oleh masyarakat dijadikan tanda akan datangnya banjir. 18
Masyarakat pesisir juga mengenal adanya dina renteng. Dina renteng adalah hari-hari yang secara berturut-turut memiliki nilai perhitungan jawa berjumlah 13 dan 14. Pada hari itu akan terjadi hujan lebat secara terus menerus. Hari yang berjumlah 13 adalah jumat pon, sabtu wage, dan minggu kliwon. Sedangkan yang nilainya 14 adalah jumat kliwon, sabtu legi, dan minggu paing (Endraswara, 2003). Dalam penelitian Sunarto (2011), ditemukan sebuah kearifan lokal lain bahwa masyarakat dalam beradaptasi dengan lingkungan kepesisiran dinyatakan dalam bentuk nasihat yang turun-temurun, yaitu “Manawa sira urip anèng gisik, sira kudu nglilakna manawa biyungé njaluk bali manèhyogané”. Nasihat turun-temurun dengan bahasa Jawa tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi: “Seandainya engkau berkehidupan di pantai, engkau harus merelakan seandainya induknya meminta kembali anaknya”. Ungkapan ini bisa dimaknai bahwa masyarakat pesisir harus senantiasa memahami kondisi di sekitarnya karena lingkungan laut yang selalu berubah setiap saat. Masyarakat pesisir juga menggunakan pranata mangsa untuk mengamati keadaan sekitarnya. Baik itu untuk melihat cuaca maupun untuk aktivitas menangkap ikan. Menurut Partosuwiryo (2012) dalam laman Natgeo (2012) menjelaskan bahwa nelayan memanfaatkan jenis dan letak bintang sebagai pemandu arah ketika di laut. Bahkan ketika terjadi badai dan gelombang besar mereka masih memanfaatkan rasi bintanguntuk menyelamatkan diri. Tidak hanya itu, nelayan juga menggunakan tanda-tanda alam seperti udara dingin, musim buah-buahan, angin kencang, serta posisi bulan untuk menentukan kegiatan melautnya. Namun, menurut Jokowinarno (2011), sistem peringatan dini yang memanfaatkan kearifan lokal ternyata harus dikaji ulang karena beberapa alasan, yaitu: 1. Perilaku binatang di sekitar pantai masih belum bisa secara pasti dinterpretasikan oleh manusia. Misal sulit kita membedakan perilaku burung yang mengetahui tsunami, hujan badai, atau bencana alam yang lain. 2. Surutnya air laut tidak reliable sebagai tanda akan datangnya tsunami karena memang setiap hari air laut mengalami pasang-surut dengan amplitudo yang bervariasi sesuai dengan posisi bumi terhadap bendabenda di ruang angkasa terutama bulan dan matahari. 19
Biantoro (2011) juga meneguhkan pernyataan di atas bahwa kearifan lokal memang dapat menjadi bagian dari kekuatan pengetahuan manusia di masa depan, namun disatu sisi menempatkan kearifan lokal pada posisi yang berlebihan mengakibatkan manusia dapat terjebak dalam romantisme masa silam yang tidak relevan, sebuah pemahaman yang akan melupakan masa depan karena terlalu berorientasi pada masa lalu. Meskipun demikian, penggunaan tanda-tanda alam sebagai kearifan lokal masyarakat Yogyakarta ini masih relevan untuk digunakan dalam melengkapi sistem peringatan dini bencana yang dikembangkan oleh pemerintah. Dalam sistem peringatan dini, semua indikator baik yang bersifat ilmiah maupun kearifan lokal harus saling disinergikan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Pemerintah sebagai policy taker juga harus tetap melihat bahwa ada sesuatu yang hidup bersama masyarakats ejak ratusan tahun yang lalu, yaitu kearifan dan pengetahuan lokal. Pemerintah secara scientific harus memahami karakteristik bencana alam dan kerusakan yang ada. Namun, masyarakat juga perlu dilibatkan terkait identifikasi pengetahuan dan kearifan lokal mengenai peringatan dini bencana yang mereka miliki. Pemahaman terkait kondisi sosial budaya ini juga bisa lebih mudah untuk mengajak masyarakat mengikuti kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah, sehingga resiko bencana yang terjadi bisa diminimalisir. Lebih jauh Sunarto (2011) mengembangkan sebuah pemikiran bahwa kekayaan budaya tersebut lebih baik dilembagakan sehingga kearifan lokal yang ada di masyarakat pesisir akan mudah diketahui dan dipelajari oleh masyarakat luas. Hal ini juga dapat menjadi langkah preventif agar kearifan lokal tersebut tidak hilang akibat perubahan zaman. 4.2 Upaya Mewariskan Kearifan Lokal Berbagai upaya telah dilakukan masyarakat pesisir Yogyakarta dalam rangka mewariskan kearifan lokal yang mereka miliki kepada generasi muda agar kearifan lokal tersebut tidak hilang. Terlebih lagi hal itu dilakukan agar mereka senantiasa diberi keselamatan oleh Tuhan. Dalam penelitian Hiryanto, dkk (2012) warga Yogyakarta telah melakukan berbagai cara untuk memperkenalkan warisan budaya tersebut kepada anak cucunya. Langkah yang mereka ambil adalah sebagai berikut: 1. Menyampaikan tanda-tanda yang dipahami tentang hadirnya bencana pada anak cucu. 20
2. Menasehari anak cucu untuk selalu memohon keselamatan pada Tuhan. 3. Dari sisi kebatinan, jika ada bencana membuang galar (tongkat kayu) ke luar rumah agar diberi keselamatan dan bencana tersebut menjauh dari mereka. 4. Membuang garam, selanjutnya diikuti dengan adzan, tujuannya supaya angin puting beliung berhenti. 5. Pada orang hamil perut diberi abu agar tidak keguguran. 6. Sembunyi di dalam ruangan jika ada lesus (angin puting beliung). 7. Memasak sayur keluwih agar diberi keselamatan. 8. Supaya terhindar dari rumah roboh, maka bangunan rumah berbentuk limasan, dan warga akan saling berpegangan sambil berucap kukuh bakoh agar rumah mereka tidak roboh saat ada bencana. Jokowinarno (2011), juga mengungkapkan 6 kebijakan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah guna membuat sebuah sistem peringatan dini bencana yang memanfaatkan kearifan lokal masyarakat, yaitu: 1. Melakukan upaya-upaya perlindungan kepada kehidupan, infrastruktur dan lingkungan pesisir. 2. Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat pesisir terhadap kegiatan pencegahan bencana gelombang pasang, termasuk di dalamnya menggali kearifan lokal masyarakat. 3. Meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat pesisir terhadap bencana. Meliputi pengembangan sistem yang menunjang komunikasi untuk peringatan dini dan keadaan darurat, menyelenggarakan latihan dan simulasi tanggapan terhadap bencana dan kerusakan yang ditimbulkan, serta penyebarluasan informasi tahapan bencana dan tanda-tanda yang mengiringi terjadinya bencana. 4. Meningkatkan koordinasi dan kapasitas kelembagaan pencegahan bencana. 5. Menyusun payung hukum yang efektif dalam upaya mewujudkan upayaupaya pencegahan bencana. 6. Mendorong keberlanjutan aktivitas ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
5. KESIMPULAN Berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya masyarakat pesisir memiliki suatu kearifan lokal dalam menghadapi ancaman sebuah bencana, baik itu tsunami, angin puting beliung, maupun tanah longsor. Masyarakat pesisir mengenali tanda-tanda tsunami seperti 21
kondisi air laut, suara dentuman dari laut, dan adanya hari yang tidak diperbolehkan melaut. Dalam mengidentifikasi terjadinya angin puting beliung, masyarakat pesisir juga memiliki cara tersendiri untuk melihatnya, yaitu lewat kabut, udara dingin, dan bentuk awan. Sedangkan untuk tanah longsor, masyarakat biasa merasakan akan ada hujan deras berhari-hari dan pergerakan awan yang cepat. Tidak hanya itu, masyarakat pesisir juga menjadikan datangnya kepiting sebagai peringatan akan datangnya banjir dari laut. Mereka juga memanfaatkan pranata mangsa, rasi bintang dan tanda alam lainnya. Jadi sudah seharusnya pemerintah mengakomodasi berbagai kearifan lokal ini dalam membuat sebuah pedoman terkait kegiatan pencegahan bencana. Namun, perlu diingat bahwa kearifan lokal ini juga harus dikaji secara ilmiah agar kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan. Kearifan lokal bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan namun tidak menghilangkan esensinya. Sehingga, dengan begitu pedoman pencegahan bencana tersebut akan mudah diterima oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Armanto, D, Marzunita, Saprudin, Sudarja, M, Royan, A, Wijayanti, Didit, Iwan, dan Sarsih. 2007. Bersahabat dengan Ancaman. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Aulia TOS, Dharmawan AH. 2010. Kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air di Kampung Kuta. Sodality. 4(2010):335-346. Biantoro S. 2011. Menjawab Tantangan Global? Strategi Masyarakat Adat dalam Kasus Pembalakan Hutan di Kalimantan Barat. Artikel dalam buku Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. Bogdan, Ribert dan Steven J. Tylor. 1993. Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional. Dahuri, R., 1996, Ekosistem Pesisir, Makalah/Materi Kuliah, IPB, Bogor. Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Perikanan dan Kelautan, 2003, Modul Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Terpadu, Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Jakarta. Endraswara, S. (2003). Falsafat Hidup Jawa, Penerbit Cakrawala, Tangerang. Hiryanto, Sri Iswanti, dan Kartika Nur Fathiyah. 2011. Identifikasi Kearifan Lokal Dalam Memahami Tanda-Tanda Bencana Alam Pada Insan Usia Lanjut di Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Penelitian Kelompok Kajian Tahun Anggaran 2012. Universitas Negeri Yogyakarta. Jokowinarno, Dwi. 2011. pencegahan Bencana Tsunami di Wilayah Psisir Lampung. Jurnal Rekayasa. Vol. 15 No. 1. Juniarta, Hagi Primadaksa. 2013. Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Pulau Gili, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Jurnal ECSOFiM Vol. 1 No. 1. Keraf S. 2006. Etika Lingkungan. Kompas: Jakarta.
22
National Geographic. 2012. Pranata Mangsa, Metode Penangkapan Ikan Lestari. www. nationalgeographic.co.id. Diakses pada tanggal 03 Oktober 2016. Paripurno, EK. 2006. Perencanaan Pembangunan Sensitif Bencana. Disampaikan dalam Pelatihan Orientasi Pengurangan dan Manajemen Risiko Bencana. Magelang. Solikhin, Satria A. 2007. Hak ulayat laut di era otonomi daerah sebagai solusi pengelolaan perikanan berkelanjutan: Kasus awig-awig di Lombok Barat. Sodality. 1(April). Strauss, Anselm & Juliet Corbin, 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Sunarto, Lies Rahayu W.F., D. Mardiatno, M.A. Marfai, dan Daryono. 2009. Strategi Pengurangan Risiko Multibencana melalui pencegahan dan Adaptasi di Wilayah Provinsi DIY dan Jawa Tengah (Studi Kasus Zona Utara Pulau Jawa), Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional, LPPM – UGM, Yogyakarta. Sunarto. 2011. Pemaknaan Filsafati Kearifan Lokal Untuk Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Marin dan Fluvial di Lingkungan Kepesisiran. Jurnal Forum Geografi. Vol. 25 No. 1. p.1-16. Yogyakarta. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
23
SUMBERDAYA KELAUTAN UNTUK MENUNJANG KEGIATAN PARIWISATA DI PANTAI DEPOK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Heny Budi Setyorini1 Agustina Setyaningrum1*, 1Prodi Teknik
Kelautan Institut Teknologi Yogyakarta (ITY-STTL YLH) *E-mail :
[email protected]
ABSTRACT The aim of the research is to understand the marine resources which have processing dan have a role in supporting tourism activity. The data used in tihis research are primary and secondary data. Primary data collect directly from the field throught interview with stakeholders. This field observation using Rapid Rural Appraisal Technique (RRA). Secondary data collect from institution and also from previous research by othe researcher. This research describe marine resource which is supporting tourism activity. There are two kind of marine resource namely biological marine resource and non biological marine resource. Each of the marine resource have different processing and utilization. Keywords: marine, resources, tourism activity
1. PENDAHULUAN Banyaknya aktivitas dan sumber daya alam kelautan yang ada di wilayah pesisir Pantai Depok menjadikan pantai ini menjadi semakin berkembang dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah aktivitas pariwisata. Kegiatan ini semakin berkembang dan dapat dilihat dari semakin banyaknya event yang diselenggarakan di Pantai Depok. Kegiatan pariwisata di wilayah pesisir sangat dipengaruhi oleh sumber daya kelautan yang ada disana. Tingginya aktivitas pariwisata yang ada di Pantai Depok menyebabkan kebutuhan ikan khususnya pada hari libur dan akhir pekan menjadi semakin meningkat (Haryanti et al., 2015). Namun, pada hari-hari biasa, pedagang yang ada di TPI tidak bisa menjual ikan sebanyak saat libur dan akhir pekan. Ikan-ikan yang tidak terjual tersebut apabila sudah basi maka akan dibuang atau dijadikan pakan ikan lele (Haryanti et al., 2015). Sumber daya kelautan di Pantai Depok beragam dan dianggap mampu mendukung kegiatan pariwisata disana. Nilai perekonomian dari hasil laut ini juga sangat besar. Nilai ekonomi sumber daya perikanan dan jasa-jasa lingkungan di Pantai Depok mencapai Rp 58,725 milyar (Sahubawa, 2015). Nilai ini juga termasuk dalam kegiatan pariwisata. Kegiatan pariwisata 24
dengan beragam produk olahan hasil laut telah menjadi buah tangan bagi wisatawan yang berkunjung ke Pantai Depok. Meskipun demikian pengolahan sumber daya kelautan di Pantai Depok belum dilakukan secara optimal. Oleh karena itu perlu adanya optimalisasi untuk pengolahan sumber daya kelautan yang mendukung kegiatan pariwisata. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sumber daya kelautan yang telah mengalami proses pengolahan dan pemanfaatan yang memiliki peran dalam menunjang kegiatan pariwisata.
2. KAJIAN PUSTAKA Indonesia memiiki keanekaragaman jenis organisme wilayah pesisir dan laut yang sangat melimpah. Supriharyono (2009), menjelaskan bahwa secara umum tingkat keanekaragaman jenis organisme di wilayah pesisir laut tropis sangat tinggi yang tersebar ke berbagai ekosistem seperti estuaria, mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Dahuri (2004), juga menjelaskan bahwa sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut Indonesia meliputi sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) seperti sumberdaya perikanan (plankton, benthos, ikan, moluska, krustasea, mamalia laut), rumput laut, padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang; dan sumberdaya yang tidak dapat pulih (unrenewable resources) seperti minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta berbagai jenis bahan tambang yang lain. Christanto (2010), menyebutkan bahwa sumberdaya kelautan memiliki beberapa peranan antara lain sebagai penyedia sumberdaya baik hayati maupun non-hayati, penyedia energi, sebagai salah satu sarana transportasi, wahana berbagai jenis rekreasi dan pariwisata, peranan dalam pengaturan iklim, penampungan berbagai jenis limbah, sebagai salah satu pusat kawasan industri, berperan dalam upaya pertahanan dan keamanan serta dalam berbagai aspek secara internasional Wisata merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara (Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan). Berdasarkan definisi tersebut, maka ketersediaan sumberdaya kelautan baik yang hayati maupun non hayati di Pantai Depok dapat menjadi salah satu daya tarik bagi para wisatawan untuk berwisata ke Pantai Depok. Pengolahan maupun pemanfaatan terhadap sumber daya kelautan di Pantai Depok saat ini belum dilakukan secara optimal. Hal ini ditunjukkan 25
dengan sebagian besar sumber daya kelautan masih dijual secara langsung dan belum dilakukan pengolahan. Apabila sumber daya tersebut diolah dan disinergikan dengan aktivitas yang lain misalnya aktivtas pariwisata, maka produk tersebut akan memiliki nilai tambah dan mampu memberikan peran yang penting bagi pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional.
3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Pantai Depok Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari lapangan baik itu melalui wawancara dengan tokoh/masyarakat setempat serta melakukan observasi secara langsung dilapangan dengan menggunakan teknik Rapid Rural Appraisal (RRA). Data sekunder diperoleh dari pihak/lembaga serta dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh pihak lain. Alat dan bahan yang digunakan dalam survey lapangan penelitian ini antara lain kamera, alat perekam, peta dasar serta alat bantu daftar pertanyaan. Analisis data dilakukan setelah data diperoleh dari lapangan. Analisis data yang dilakukan meliputi analisis deskriptif.
4. PEMBAHASAN 4.1 Sumber Daya Hayati Sumberdaya hayati kelautan di Pantai Depok meliputi tanaman pantai, dan, berbagai jenis ikan dan krustasea. Sebagian besar tanaman pantai yang berada di Pantai Depok antara lain cemara udang (Casuarina equisetifolia) dan ketapang (Terminalia catappa). Tanaman tersebut dapat berfungsi secara ekologis sebagai sabuk hijau pantai (green belt) dan penahan laju abrasi, sedangkan fungsi secara estetika sebagai salah satu pemandangan alam dan tempat berteduh bagi wisatawan. Secara umum, jenis ikan dan krustasea yang terdapat di Pantai Depok meliputi ikan bawal cakalang, tenggiri, undur-undur, rajungan, kepiting dan udang. Hasil penelitian Setyorini et al. (2015), juga menjelaskan bahwa hasil tangkapan nelayan di Pantai Depok meliputi ikan bawal putih, bawal hitam, tenggiri, layur, hiu, teri, pari burung, kakap putih, tongkol abu-abu, udang putih dan udang barong. Selengkapnya tercantum pada Tabel 1.
26
Tabel 1: Hasil Tangkapan Nelayan di Pantai Depok Nama Indonesia Nama Ilmiah Bawal Putih Pampus argenteus Bawal Hitam Parastromateus niger Tenggiri Scomberomorus plumierii Layur Trichiurus lepturus Hiu Carcharhinus longimanus Teri Stolephorus sp. Pari Burung Aetomylaeus nichofii Kakap Putih Lates calcarifer Tongkol Abu-Abu Thunnus tonggol Udang Putih/Jerbung Litopenaeus vannamei Udang Barong/Udang Panulirus sp. Karang Sumber: Data Produksi Tangkap Laut di Pantai Depok-Kabupaten Bantul Tahun 2014 (Dinas Kelautan dan Perikanan Bantul, 2014 tidak dipublikasikan) dalam Setyorini et al., 2015
Hasil penelitian Setyorini et al. (2015), menjelaskan bahwa hasil tangkapan terutama untuk ikan kakap dan teri dijual para nelayan secara langsung kepada para wisatawan Pantai Depok dengan harga yang berkisar Rp 20.000/kg sebagai ikan curah, sedangkan untuk ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti ikan bawal putih, ikan layur dan lobster mutiara dijual ke tengkulak akan tetapi melalui TPI dengan harga yang berkisar Rp 250.000-Rp 400.000. Hasil tangkapan nelayan di Pantai Depok tersebut selain dapat secara langsung dijual ke wisatawan ataupun ke TPI, juga dapat dijual dalam produk olahan seperti undur-undur dan ikan tenggiri yang digoreng kering sebagai buah tangan masing-masing dengan kisaran harga Rp 10.000/kg dan Rp 10.000-Rp 15.000/ekor ataupun dalam bentuk masakan dengan berbagai jenis masakan seperti bakar, asam manis, saus tiram dan lain sebagainya dengan kisaran harga Rp 45.000-Rp 50.000/kg untuk berbagai jenis ikan, sedangkan untuk berbagai jenis udang, kepiting dan cumi berkisar Rp 75.000-Rp 85.000/kg. Pengolahan berbagai jenis ikan dan krustasea juga bertujuan untuk pengawetan produk sumberdaya kelautan dan perikanan di Pantai Depok dan peningkatan nilai ekonomis produk tersebut sehingga memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan bagi penjual produk olahan tersebut.
27
Perkembangan pariwisata di Pantai Depok menyebabkan peningkatan kebutuhan berbagai jenis ikan, krustasea, kekerangan (moluska) dan cumicumi untuk memenuhi permintaan para wisatawan. Berkaitan dengan hasil tangkapan nelayan Pantai Depok hanya meliputi jenis ikan dan krustasea tertentu sehingga untuk memenuhi permintaan para wisatawan terhadap jenis ikan, krustasea kekerangan (moluska) dan cumi-cumi lainnya harus dipasok dari berbagai daerah di luar Pantai Depok. Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian Haryanti et al. (2015), bahwa untuk jenis kerang, ikan bawal, kakap, cucut, rajungan, cakalang, tuna, udang dan cumi-cumi dipasok dari Semarang, sedangkan untuk kepiting dipasok dari Kalimantan, ikan kembung dan cumi-cumi dipasok dari Cilacap dan ikan tuna dan ikan tongkol dipasok dari Pacitan. 4.2 Sumber Daya Non Hayati Sumberdaya non hayati kelautan yang berada di Pantai Depok meliputi pasir, gelombang, angin dan air laut. Pasir di Pantai Depok cenderung berwarna hitam dan berukuran halus. Serupa dengan pantai-pantai selatan Yogyakarta yang terdapat di sebelah barat seperti Pantai Parangtritis, Pantai Parangkusumo, Pantai Samas, Pantai Baru, Pantai Kuwaru dan Pantai Goa Cemara yang dikelilingi oleh ekosistem gumuk pasir (sand dune), maka Pantai Depok juga dikelilingi oleh ekosistem tersebut. Ekosistem gumuk pasir tersebut berasal dari letusan Gunung Merapi kemudian terbawa aliran sungai hingga bermuara ke pantai. Hal ini diperkuat dengan penjelasan Witasari dan Helfinalis (2012), bahwa sedimen pasir yang terdapat di pantai Kabupaten Bantul dan Kulonprogo berukuran halus-medium, berwarna abuabu gelap yang terdiri atas mineral- mineral magnetit, hematit dan kuarsa dikarenakan hasil erupsi dari Gunung Merapi. Adanya pergerakan gelombang turut membawa material-material pasir berada di tepi pantai, kemudian material tersebut yang berukuran halus akan terbawa oleh pergerakan angin dan membentuk gundukan pasir (sand dune). Secara ekologis, gumuk pasir (sand dune) memiliki fungsi sebagai penahan ancaman tsunami dan secara estetika juga berfungsi sebagai arena bermain bagi para wisatawan. Gelombang juga menjadi daya tarik wisata Pantai Depok melalui perubahan pergerakan gelombang di zona gelombang pecah yang diakibatkan oleh perbedaan kedalaman dan kondisi topografi dasar perairan. Tinggi, periode dan arah gelombang yang berada di Pantai Depok masingmasing waktu berbeda dikarenakan tergantung pada musim. Secara umum, 28
tinggi gelombang akan mencapai maksimum pada musim barat dan peralihan yang dapat berdampak pada aktivitas pariwisata dan penangkapan ikan oleh nelayan. Kondisi bentuk Pantai Depok yang berhadapan langsung dengan perairan Samudera Hindia mengakibatkan para wisatawan tidak dapat berenang dan bermain di area tepi pantai secara bebas demi keselamatan para wisatawan, sehingga umumnya para wisatawan cenderung hanya dapat menikmati pergerakan gelombang dari jarak yang cukup aman saat melakukan aktivitas menikmati hidangan wisata kuliner atau sekedar foto bersama. Bentuk Pantai Depok yang berhadapan langsung dengan perairan Samudera Hindia dan tidak adanya penghalang baik secara alami ataupun keberadaan bangunan-bangunan disekitar pantai tersebut, mengakibatkan kecepatan angin yang bertiup di sekitar Pantai Depok cukup kencang. Kecepatan dan arah angin yang bertiup di sekitar Pantai Depok juga sangat tergantung oleh musim. Kecepatan angin tersebut sering dimanfaatkan dalam pagelaran tahunan seperti paralayang atau Jogja Air Show untuk menarik para wisatawan berkunjung ke Pantai Depok. Angin laut disekitar wilayah tersebut juga berpotensi untuk dimanfaatkan dalam Pembangkit Listrik Tenaga Angin, sebagaimana yang telah dilakukan di Pantai Baru. Angin laut juga telah dimanfaatkan setiap hari oleh para nelayan dalam menjalankan aktivitas penangkapan ikan, dimana ketika para nelayan berangkat ke laut memanfaatkan angin darat, sedangkan pada saat para nelayan pulang akan memanfaatkan angin laut. Kondisi sekitar Pantai Depok cenderung bersih dengan air laut berwarna jernih. Pemandangan air laut yang jernih dan pergerakan air akibat pengaruh gelombang menjadi salah satu faktor utama dalam menarik para wisatawan untuk berkunjung ke Pantai Depok. Hal ini ditunjukkan melalui hasil wawancara dengan beberapa pengunjung mengenai alasan berwisata ke Pantai Depok adalah menikmati pemandangan alam dan merasakan angin laut Pantai Depok., selain untuk tujuan wisata kuliner. Berdasarkan penggolongan bentuk pantai, maka Pantai Depok termasuk dalam bentuk pantai berpasir. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan gundukan material pasir yang berukuran halus disepanjang pantai. Secara umum, Pantai Depok memiliki kesamaan bentuk pantai dengan pantaipantai yang berada di bagian barat Yogyakarta seperti Pantai Parangtritis, Pantai Samas dan Pantai Glagah. Sebagaimana hasil penelitian Witasari dan Helfinalis (2012), yang menjelaskan bahwa Pantai Glagah, Congot, Parangtritis dan Samas memiliki ciri khas pantai berpasir dengan relief 29
rendah dan topografi landai serta bergelombang lemah. Selanjutnya Witasari dan Helfinalis (2012), juga menjelaskan bahwa pantai-pantai tersebut umumnya memiliki garis pantai dengan relief lurus, ukuran butiran berupa pasir halus, tebing-tebing batu-batu gamping yang terletak agak jauh dari pantai dan adanya gumuk-gumuk pasir (sand dune), gisik pasir berpenghalang (sand barrier) dan laguna di sekitar pesisir. Berdasarkan penjelasan di atas, maka sumberdaya kelautan di Pantai Depok baik yang hayati maupun non hayati adalah sebagai berikut pda Tabel 2. Tabel 2 Pemanfaatan dan Pengolahan Sumber Daya Hayati Sumber daya Pemanfaatan Pengolahan Sumber daya hayati Tanaman Pantai Fungsi secara ekologis a. Cemara udang sebagai sabuk hijau pantai (Casuarina equisetifolia) (green belt) dan penahan b. Ketapang (Terminalia laju abrasi, sedangkan catappa) fungsi secara estetika sebagai salah satu pemandangan alam dan tempat berteduh bagi wisatawan. Ikan - Wisata kuliner dalam a. Bawal produk olahan goreng b. Cakalang kering sebagai olehc. Tenggiri oleh maupun dalam bentuk berbagai jenis masakan seperti bakar, asam manis, saus tiram dan lain sebagainya yang dapat dinikmati secara langsung di warung-warung yang telah tersedia Krustasea a. Undur-undur b. Rajungan c. Kepiting d. Udang
-
- Wisata kuliner dalam produk olahan goreng kering sebagai oleholeh maupun dalam bentuk berbagai jenis masakan seperti bakar, asam manis, saus tiram dan lain sebagainya yang dapat dinikmati secara langsung di
30
Sumber daya
Sumber daya no hayati Pasir - Berwarna cenderung gelap - Berukuran halus Gelombang Angin Air Laut
Pemanfaatan
- Gundukan pasir di sekitar pantai menjadi ekosistem gumuk pasir (sand dune) - Arena bermain ATV - Pemandangan alam - Paralayang atau Jogja Air Show - Pemandangan alam Sumber: analisis, 2016
Pengolahan warung-warung yang telah tersedia -
-
Sumberdaya kelautan di Pantai Depok masih memerlukan pengelolaan dan pengembangan seiring dengan peningkatan jumlah wisatawan. Sumber daya kelautan tersebut masih bisa dimanfaatkan dan diolah menjadi produk yang bernilai tinggi lainnya. Perlu kerjasama dari berbagai pihak dan proses pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan kegiatan pariwisata disana.
5. KESIMPULAN Sumberdaya kelautan di Pantai Depok baik sumberdaya hayati (tanaman pantai, rumput laut, berbagai jenis ikan dan krustasea) maupun sumberdaya non hayati (pasir, gelombang, angin, air laut) dapat menunjang kegiatan pariwisata di lokasi tersebut. Kedepan pemanfaatannya perlu dioptimalkan seiring dengan perkembangan kegiatan pariwisata di Pantai Depok.
6. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Program Studi Teknik Kelautan, Institut Teknologi Yogyakarta (ITY-STTL YLH) sebagai lembaga peneliti pertama bernaung serta kepada bapak/ibu staf dosen dan teman-teman yang terlibat dalam Kuliah Kerja Lapangan 1 tahun 2016.
DAFTAR PUSTAKA Christanto, J. 2010. Pengantar Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Deepublish, Yogyakarta, 340 hlm. Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta, 305 hlm. Haryanti, S., Setyaningrum, A., Masduqi, E. 2015. Studi Kebutuhan Ikan di Pantai Depok Yogyakarta. Yogyakarta: Institut Teknologi Yogyakarta.
31
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Sahubawa, L. 2015. Kajian Sebaran Potensi Ekonomi Sumber Daya Kelautan di Pantai Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Upaya Percepatan Investasi. Jurnal Tekno Sains. Volume 4 No 2, 22 Juni 2015 Halaman 101-198. Setyorini, H.B., Rahayu, E. Putro, S.T. 2015. Karakteristik Nelayan di Pantai Depok, Bantul, Yogyakarta. Seminar Nasional Tahunan XII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 08 Agustus 2015, pSE-02: 697-704. Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 461 hlm. Witasari, Y., dan Helfinalis. 2012. Morfodinamika Pantai dan Kerentanan Wilayah di Pantai Selatan Yogyakarta. Dalam: Muswerry M., M.H, Azkab., Fahmi, D.W.D. Setiono, H. Thoha dan S.M. Natsir. 2015. Sumber Daya Laut di Perairan Pesisir Gunungkidul, Yogyakarta. LIPI Press, Jakarta, 182 hlm.
32
ANALISIS PERUBAHAN MORFOLOGI LAGUNA di MUARA SUNGAI OPAK, KABUPATEN BANTUL MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH TEMPORAL Vinsensius Bule Owa1, Tomi Aris2, Widya Lestari Basitah2, Th. Retno Wulan3, Dwi Sri Wahyuningsih3 1Jurusan
Teknik Geodesi Geoinformatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Nasional Malang 2Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang 3Parangtritis Geomaritime Science Park, Badan Informasi Geospasial Email :
[email protected]
ABSTRAK Sungai Opak merupakan salah satu sungai yang terdapat di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Muara Sungai Opak yang berada di pantai selatan Kabupaten Bantul memiliki keunikan karena terdapatnya laguna. Setiap periode tertentu laguna mengalami perubahan luasan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan morfologi laguna di muara Sungai Opak. Pengamatan perubahan menggunakan metode penginderaan jauh secara temporal dangan memanfaatkan citra yang didownload pada resolusi tinggi dengan menggunakan Google Earth dan SAS Planet. Analisis spasial temporal yang dilakukan untuk mengetahui perubahan morfologi laguna per periode dua tahun. Tahun yang dipergunakan dalam analisis adalah tahun 2012, 2014, dan 2016. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perubahan morfologi laguna dengan dibuktikan dari luasan yang berbeda-beda pada periode dua tahun. Luas laguna pada tahun 2012, 2014, dan 2016 berturut-turut seluas 477.945 m2, 492.411 m2, dan 515.720 m2. Perubahan morfologi laguna dipengaruhi oleh aktivitas alam dan manusia. Kata kunci: Muara, Sungai, Laguna, spit, sedimen
1. PENDAHULUAN Morfologi adalah struktur luar dari batu-batuan dalam hubungan dengan perkembangan ciri topografis. Morfologi berhubungan dengan bentuk, tampilan, dan ukuran. Morfologi sedimen yang menjadi kajian analisis ini menitikberatkan pada Spit dan Laguna. Menurut Fardiaz, (1992) sedimen adalah endapan bahan-bahan organik dan anorganik yang tersuspensi ke dalam air dan diangkat oleh air sehingga terjadi pengendapan pada suatu tempat, dimana air tidak lagi sanggup membawa partikel tersuspensi. Spit atau bura adalah salah satu keadaan topografis yang dihasilakan dari proses sedimentasi. laguna merupakan badan air dangkal di pesisir pantai 33
yang terpisah dari perairan dikarenakan dibendung oleh tumpukan sedimen dengan posisi paralel dengan garis pantai. Spit adalah tumpukan material pasir hasil pengendapan yang terdapat dimuka teluk atau daerah pantai lainya yang berbentuk memanjang dengan salah satu sisi menyambung ke daratan dan sisi lainya berada ke arah laut seperti yang terlihat di gambar 1 dibawah ini.
Gambar 10 Citra kenampakan Spit dan Laguna di muara Sungai Opak. Sumber: Citra BingMap tahun 2016
Sedimentasi adalah masuknya muatan sedimen ke dalam suatu lingkungan perairan tertentu melalui media air dan diendapkan di dalam lingkungan tersebut (Widayanti, 2013). Spit atau tumpukan sedimen yang ada di muara Sungai Opak ini terbentuk akibat proses alam dan akibat aktivitas manusia yang berlangsung sangat lama. Sedimen yang yang paling dominan di daerah ini berupa pasir berwana hitam. Wilayah pantai yang memiliki pasir berwarna hitam merupakan akibat dari hasil erupsi gunung berapi. Sedimen yang berada di muara Sungai Opak ini sebagian besar berasal dari hasil erupsi Gunung Merapi. Sumber sedimen lainya yaitu di sepanjang aliran Sungai Opak, dan sedimen yang ada dilaut. Sedimen yang berupa pasir yang berwarna hitam tersebut merupakan bukti kuat yang 34
mendukug bahwa sedimen pembentuknya berupa sedimen hasil erupsi Gunung Merapi. Pantai yang memiliki pasir berwarna hitam merupakan hasil dari sedimentasi erupsi gunung berapi. berbeda dengan pantai yang memiliki pasir yang berwarna putih, yang berupa hasil dari karang yang telah rusak dan menjadi bulir-bulir pasir akibat aktivitas alam. Gunung Merapi merupakan penyumbang debit pasir terbesar yang membentuk pasir di kawasan Pesisir Pantai Selatan Yogyakarta. Gunung Merapi adalah gunung api termuda di selatan Pulau Jawa dan terletak di 7o32'30"LS dan 110o26'30" BT (Kiswiranti,2013). Pasir hasil erupsi Gunung Merapi turut menjadi sumber material pembentukan gumuk pasir. Gunung merapi selain menimbulkan dampak lanngsung berupa aliran lava, atau leleran batu pijar, aliran piroklastika atau awan panas juga mengeluarkan jatuhan piroklastika atau hujan abu lebat, lontaran material pijar pada saat erupsi (Puspita dan Sudaryatno,2013). Sungai adalah saluran alamiah di permukaan bumi yang menampung dan menyalurkan air hujan dari daerah yang tinggi ke daerah yang lebih rendah dan akhirnya bermuara di danau atau di laut (Mokonio dkk,2013). Sungai Opak merupakan sungai yang berperan mengantarkan sedimen-sedimen dari daerah hilir yaitu Gunung Merapi. Sungai Opak mempunyai panjang aliran ± 65 km dan luas daerah aliran sungai ± 1.398,18 km2, dan juga memiliki beberapa anak sungai, antara lain Sungai Oyo, Sungai Winongo, Sungai Code, Sungai Gajahwong, dan Sungai Tambak Bayan (Wardhana, 2015). Sungai Opak sendiri memiliki banyak manfaat bagi masyarakat Yogyakarta, seperti menjadi sumber mata pencaharian warga pesisir sebagai sumber ikan, sumber air untuk pertanian, dan penambangan pasir. Penambangan pasir dilakukan di sekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) sungai Opak. DAS merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit atau gunung maupun buatan sepeti jalan atau tangul dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut memberikan konstribusi aliran (Maulana, 2011). Penambangan pasir mengakibatkan Sungai Opak melebar dan sedimennya terkuras sehingga mempengaruhi jumlah sedimen yang diendapkan di muara. Citra Google Earth Pro merupakan citra hasil dari penyedia data citra di seluruh dunia yang kini dikembangkan oleh Google. Pengamatan ini menggunakan citra dari Google Earth Pro dikarenakan kemampuannya yang dapat memberikan data gratis secara periodik sehingga sesuai dengan metode yang digunakan. Google Earth Pro memiliki beberapa kelebihan seperti tinggkat resolusi gambar hingga 4800×2890 sehingga menghasilkan 35
citra yang lebih berkualitas dibandingkan Google Eart. Google Earth Pro juga mampu menampilkan kenampakan alam dengan lebih detail dibanding dengan citra landsat. Google Earth Pro memiliki kekurangan seperti tingkat akurasinya yang masih kurang jika dibandingkan dengan citra hasil dari Quick Bird yang memiliki akurasi tingkat tinggi. Kegiatan pengamatan dan analisa dilakukan di Muara Sungai Opak berada pada koordinat 8° 0'7.70" LS-8° 0'51.09" LS dan 110°16'1.59" BT110°17'30.84" BT dan dilakukan pada tahun 2016. Muara Sungai Opak berada di Kecamatan Kretek dan Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta seperti pada Gambar 2. Muara Sungai Opak dipilih sebagai daerah pengamatan dan analisa karena pada wilayah tersebut terdapat Spit, laguna dan garis pantai yang memiliki perubahan begitu cepat. Pada muara ini terdapat dua unsur utama yaitu spit dan Laguna. Spit tersebut menimbulkan sebuah laguna yang cukup luas dan membentang dimulai dari Desa Sriganding sampai Desa Tirtohargo menurut Ramadani dkk (2013).
Gambar 11. Daerah Penelitian Sumber :Citra BingMap
Keadaan alam di sekitar tumpukan sedimen ini berupa pasir dan air payau karena merupakan tempat bertemunya air laut dan air tawar. Vegetasi yang mendominasi di muara sungai ini berupa pandan laut, eceng gondok, dan cemara udang yang dapat dilihat pada Gambar 3. Sebuah kawasan hutan mangrove juga mendominasi wilayah muara ini. Mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut (Mulyadi, 2010). Biota yang hidup di sekitar muara terdapat kepiting kecil dan burung bangau. 36
Gambar 3. Kenampakan Laguna, Spit, Eceng Gondok di Muara Sungai Opak Sumber : Survey Lapangan, 2016
2. KAJIAN PUSTAKA Freski (2014) mengatakan dinamika morfologi bura (spit) sungai opak berubah secara cepat dalam kurun mingguan pada masa pengamatan (bulan April-Mei 2014). Muara sungai opak yang merupakan wilayah estuari yang berhubungan langsung dengan laut selatan Yogyakarta yang memiliki arus dan gelombang yang sangat kuat tentunya mempengaruhi keadaan morfologi dari muara Sungai Opak. Widianti (2013) mengatakan bahwa pada bulan Oktober dan November diamika morfologi penutupan sungai opak cenderung berebelok ke arah barat laut. Penutup muara sungai opak adalah tumpukan sedimen yang disebut bura atau spit. Perubahan ini mengakibatkan perubahan pada morfologi laguna dan tentunya lingkungan muara sungai opak. Perubahan morfologi muara sungai opak yang begitu fluktuatif ini merupakan sebuah hal perlu diamati dikarenakan muara ini merupakan wilayah yang sangat penting untuk masyarakat sekitarnya. Hasil pengamatan juga berguna untuk kepentinggan akademik maupun sipil dan bergunasebagai acuan dalam pengambilan keputusan terhadap wilayah muara sungai opak ini.
3. METODOLOGI PENELITIAN Sumber data dalam penelitian ini berupa citra yang didownload mengggunakan Google Earth Pro dan SAS Planet pada resolusi tinggi. Citra yang dipersiapkan merupakan citra yang menampilkan Muara Sungai Opak 37
yang berada di Kabupaten Bantul. Citra tersebut diunduh dengan resolusi spasial kurang dari 15 meter. Citra yang digunakan untuk penelitian merupakan hasil perekaman tanggal 20 Oktober 2012, 19 Agustus 2014, dan 21 Januari 2016. Metode digunakan dalam penelitian adalah menggunakan penginderaan jauh. Kelebihan metode penginderaan jauh adalah mampu menjangkau lokasi yang sulit dijangkau saat proses survei lapangan, serta mampu memberikan data multi temporal (beberapa tahun pengambilan data). Melalui penginderaan jauh, kegiatan penelitian lingkungan pantai dapat dilakukan secara berkala dengan mudah, cepat, dan dengan tingkat ketelitian yang dapat dipercaya (Solihuddin,2010). Pengamatan dengan pengideraan jauh secara periodik dipilih karena mampu mengamati perubahan dari tumpukan sedimen dan pesisir di sekitar Muara Sungai Opak. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Google Eart Pro, Global Maper 15, Arc Gis 10.3, SAS Planet, dan Microsoft Exel. Langkah awal dengan mendownload citra dengan Google Eart Pro dengan masa pengamatan tahun 2012, 2014, 2016. Lagkah kedua mendownload citra Bing dengan menggunakan SAS Planet. langkah ketiga merectifikasi citra Google Eart Pro yang belum bergeorefence dengan menggunakan Global Mapper. Langkah keempat mendigitasi tutupan lahan wilayah pengamatan dengan menggunakan Arcgis. Langkah kelima melakukan penghitungan dengan menngunakan Microsoft Exel. Langkah keenam yaitu pengamatan perubahan dengan identifikasi kenampakan tutupan lahan pada peta hasil digitasi.
4. PEMBAHASAN Muara sungai opak memiliki keunikan dari sisi geomorfologinya. Keunikan yang terdapat di Muara Sungai Opak karena terdapat bentuk lahan hasil proses marin berupa laguna dan spit. Keberadaan spit dan laguna berkaitan satu sama lain. Laguna terbentuk karena sungai mengalami pembelokan ke arah barat. Pembelokan sungai disebabkan karena terdapat arus sejajar pantai. Terdapatnya arus sejajar pantai mampu menahan aliran sungai langsung menuju ke laut. Aliran sungai tertahan kemudian dibelokkan. Dampak yang terjadi saat sungai mengalami pembelokan adalah terjadinya sedimentasi yang berada di sepanjang pantai. Secara bertahap endapan yang menutupi aliran sungai akan menjadi penghalang air sungai langsung menuju ke arah laut. 38
Perairan laguna adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas yang tinggi dapat bercampur dengan air tawar, menjadikan wilayah ini unik dengan terbentuknya air payau dengan salinitas yang berfluktusasi (Sukamto dan Dyah, 2012). Perairan laguna yang berupa air payau ini merupakan tempat yang baik untuk berkembangya biota-biota, seperti ikan hingga nyamuk Anopheles yang menyebabkabkan penyakit malaria. Laguna ini terbentuk karena adanya spit yang menjadi pembendung air secara alami. Spit pada muara Sugai Opak membentang dari barat ke timur dari sisi Pantai Samas hingga Pantai Depok. Spit memiliki peran besar terhadap laguna tersebut karena spit menjadi tanggul alami yang membendung air muara Sungai Opak. Air payau dapat terkumpul dan keluar melalui celah terbuka dari spit tersebut. Celah muara sungai memiliki keunikan karena secara periode akan berpindah-pindah. Adapun Muara Sungai Opak dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Muara Sungai Opak, 2011 Sumber: Parangtritis Geomaritime Science Park
Sungai Opak merupakan salah satu sungai yang bermuara di Pesisir Selatan Kabupaten Bantul. Sistem aliran Sungai Opak adalah sistem aliran sungai utama yang mengalir di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sungai tersebut menampung sedimen dari aliran sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi, kemudian mengalirkannya ke Samudra Hindia (Sugiharyanto., et al, 2011). Perubahan kedaan daerah muara Sungai Opak ini begitu dinamis tiap tahunnya. Perubahan lingkungan pantai dapat terjadi secara lambat hingga cepat, tergantung pada imbang daya antara topografi,
39
batuan, dan sifat-sifatnya dengan gelombang, pasang surut, dan angin (Opa, 2012).
Gambar 5. Kenampakan morfologi muara sungai opak pada tahun 2012 Sumber: Analisis, 2016
Gambar 6. Kenampakan morfologi muara sungai opak pada tahun 2012 Sumber: Analisis, 2016
Gambar 7. Kenampakan morfologi muara sungai opak pada tahun 2012 Sumber: Analisis, 2016
Perubahan laguna yang begitu drastis dalam masa pengamatan dari tahun 2012 hingga tahun 2014 yang ditandai dengan berpidahnya celah tempat keluarnya air laguna laut selatan tersebut yang dapat dilihat pada Gambar 5, 6 dan 7. Perubahan laguna otomatis mempengaruhi Spit tersebut. Proses sedimentasi bukan hanya di tentukan oleh pengaruh sungai Opak sebagai penyalur sedimen namun juga efek dari aktivitas air laut. Aktivitas 40
Laut Selatan Yogyakarta yang terkenal akan ombak dan gelombang yang besar turut serta dalam membentuk tumpukan sedimen ini. Kegiatan alam lainya juga mempengaruhi seperti angin yang membantu menghempaskan sedimen sehingga terkumpul dan menumpuk pada muara tersebut. Angin di kawasan muara cukup kencang dikarenakan lokasi muara yang langsung berhadapan dengan Samudra Hindia. Perubahan morfologi muara pada tahun 2016 tidak terlalu besar. Perubahan tersebut juga termasuk dengan terbentuknya pulau kecil di tengah laguna dan perubahan morfologi laguna dan spit itu sendiri. Pengamatan perubahan morfologi muara dibagi dalam tiga tahun yaitu 2012, 2014 dan 2016. Pada tahun 2012 luas spit seluas 221.494 m 2, luas laguna 477.945 m2, dan dengan panjang garis pantai di muara sepanjang 2.727 m. Pada tahun 2014 terdapat perubahan luas dan panjang dari ketiga objek utama muara ini yaitu luas spit menjadi 282.766 m 2, luas laguna menjadi 492.411 m2, dan panjang garis pantai menjadi 2.739 m. Keadaan morfologi muara sungai opak pada tahun berubah menjadi spit seluas 277.220 m2, laguna menjadi seluas 515.720 m2 dan panjang garis pantai menjadi 2.773 m. besar perubahan garsi pantai, laguna dan spit dapat dilihat pada tabel grafik batang di bawah ini.
Gambar 8. Perubahan Garis Pantai, Laguna, dan Spit Sumber: Analisis, 2016
41
Gambar 9. Perubahan Garis Pantai, Laguna, dan Spit Sumber: Analisis, 2016
Gambar 10. Perubahan Garis Pantai, Laguna, dan Spit Sumber: Analisis, 2016
Istiono dan Hariyanto (2010) mengatakan Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan, karena daerah tersebut menjadi tempat bertemunya dua kekuatan, yaitu yang berasal dari daratan dan dari lautan, garis pertemuan antara daratan dan lautan inilah yang disebut dengan garis pantai. Garis pantai mengalami perubahan terus menerus melalui berbagai proses alam di pantai yang meliputi pergerakan sedimen, arus susur pantai (longshore current), ombak dan penggunaan lahan (Arief., et. al, 2011). Perubahan garis pantai tentu akan terjadi karena pantai bersifat dinamis (Hinayah dkk, 2012). Perubahan garis pantai tiap tahunnya dinamis seperti terlihat pada Gambar 7. Perubahan garis pantai ditentukan oleh 42
banyaknya sedimen yang keluar dan masuk tiap ruas pantai (Haryadi, 2011). Perubahan garis pantai terjadi antara semakin maju dan mudur dari daratan namun dari perubahan tahun 2012, 2014, 2016 cenderug mengalami kemunduran semakin tahun seperti yang terlihat pada gambar 6 dibawah ini. Besar kemunduran garis pantai tahun 2012-2014 sebesar 13 m kemudian dari trahun 2014-2016 sebesar 16 m.
Gambar 7. Peta Perubahan Garis Pantai di Muara Sungai Opak. Sumber: Analisis, 2016
Wilayah pesisir laut merupakan wilayah yang rentan akan perubahan dikarenakan oleh beberapa faktor. Muara Sungai Opak yang berada pada daerah pesisir selatan Yogyakarta memiliki perubahan yang fluktuatif tiap tahunya. Perubahan morfologi laguna tidak lepas dari perubahan bentuk spit itu sendiri dikarenakan spit ini lah yang membendung air muara sungai opak sehingga terbentuklah laguna ini. perubahan morfologi dari spit ini langsung berdampak pada bentuk dan ukuran dari laguna ini sedniri. Proses sedimentasi yang terjadi di wilayah pesisir sekitar laguna juga berperan dalam perubahan bentuk morfologi laguna. Faktor-faktor pembentuk laguna dan spit ini terdidiri dari faktor alamiah dan buatan manusia. Faktor alamiah berupa hasil kegiatan alam yaitu aktivitas sedimentasi dari Sungai Opak, aktivitas sedimentasi dari Laut Selatan Yogyakarta dan aktivitas angin dan air laut yang mendukung terbentuknya Spit dan perubahan morfologinya. Dampak dari faktor alam in dapat terlihat jelas dari bentuk Spit dan Laguna yang memiliki bentuk yang khas akibat aktivitas alam. Faktor buatan manusia berupa perubahan akibat aktivitas masyarakat di wilayah sekitar laguna berupa membuat Hutan Mangrove hingga sawah untuk bercocok tanam. Kegiatan ini tentunya 43
menimbulkan dampak yang tidak kecil teerhadap perubahan morfologi laguna tersebut.
5. KESIMPULAN Perubahan terjadi setiap tahunya namun perubahan terbesar terjadi pada tahun 2012-2014, karena aliran air yang keluar dari laguna berpindah dari sisi Pantai Samas di kecamatan sedang ke sisi Dusun Tirtohargo dekat Pantai Depok. Perubahan antara tahun 2012-2016 sedikit namun dapat terlihat perbedaanya. Perubahan daerah pesisir di belakang tumpukan sedimen setiap tahunya semakin maju ke arah laguna, dan sebagian besar wilayahnya berubah menjadi wilayah pertanian, permukiman, ladang dan hutan mangrove. Garis pantai wilayah ini juga setiap tahunnya menjadi semakin panjang Perubahan bentuk sedimen juga mempengaruhi terbentuknya laguna baru dan tumpukan sedimen baru di sekitarnya. Perubahan wilayah muara Sungai Opak disebabkan oleh debit dan derasnya aliran Sungai Opak, angin dan aktivitas air laut Pantai Selatan yang membentuk perubahan sedimen ini, aktivitas manusia seperti penambangan pasir sepanjang Sungai Opak juga mempengaruhi besarnya sedimen yang terbwa ke daerah Muara, kegiatan pembangunan dan aktivitas manusia yang merubah fungsi lahan pesisir. Wilayah Muara merupakan wilayah penting yang langsung berkaitan dengan aktivitas warga masyarakat di sekitarnya. Muara memiliki banyak manfaat seperti menjadi pelindung daerah pesisir terhadap gelombang laut dengan spit, tempat hidup hewan dan tumbuhan seperti mangrove bahkan sedimen yang terdapat di spit dapat dijadikan bahan dasar dalam pembangunan dan dijual karena memiliki nilai ekonomis. Kerugian adanya muara seperti laguna yang memilki air payau dapat menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk, pendangkalan laguna aibat sedimen dapat menyebabkan bajir di wilayah sekitar muara. Muara juga memiliki manfaat sebagai tempat nelayan untuk mendapatkan ikan. Keberadaan spit di Muara Sungai Opak sebaiknya perlu dijaga kelestarainnya. Spit yang berupa tumpukan sedimen dapat dimanfaatkan sebagai penahan gelombang saat terjadi gelombang pasang di sekitar Muara Sungai Opak. Permasalah banjir yang diakibatkan oleh pendangkalan wilayah muara atau laguna tersebut sebaiknya dilalukan pengerukan secara berkala dan sedimen hasil pengerukan tersebut dapat di tempatkan di spit, sehingga spit tersebut menjadi lebih besar dan bermanfaat. 44
2. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Theresia Retno Wulan yang telah memberikan Waktunya untuk saya melakukan Penelitian di Parangtritis Geomaritime Science Park Yogyakarta, serta bimbingannnya selama penelitian. Ucapan terima kasih juga kepada Saudara Edwin Maulana dan Dwi Sri Wahyuningsih yang telah membimbing penelitian serta membantu penyusunan paper ini. Tak lupa penulis ucapkan Terima kasih kepada partner penelitian ini Saudara Tomi Aris, Widya Lestari Basitah dan seluruh Teman – teman Teknik Geodesi Geoinformatika Institut Teknologi Nasional dan teman – teman dari Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya.
DAFTAR PUSTAKA Arief, Muchlisin., Gathot, Winarso., dan Teguh, Prayogo. 2011. Kajian perubahan garis pantai Menggunakan Data Satelit Landsat di Kabupaten Kendal. Jurnal Penginderaan Jauh. Vol. 8. Hal: 71-80 Feri, Istiono dan Teguh, Hariyanto. 2012. Evaluasi Perubahan Garis Pantai dan Tutupan Lahan Kawasan Pesisir Dengan Data Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Kawasan Pesisir Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo). Desertasi. Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS, Surabaya. Hal 1. Hariyadi. 2011. Analisis Perubahan Garis Pantai selama 10 Tahun Menggunakan CEDAS (Coastal Engineering Design and Analisys System) di Perairan Teluk Awur pada Skenario Penambahan Bangunan Pelindung Pantai. Buletin Oseanografi Marina. Oktober 2011.Vol.1. Hal: 82 – 94 Hidayah,RachmatSuntoyo. Haryo, Dwito, Armono. 2012. Analisa Perubahan Garis Pantai Jasri, Kabupaten Karangasem Bali. Jurnal Teknik ITS. Vol. 1, No. 1, Hal: 1-7 Kiswiranti, Desi dan H. Kirbani, S, B. 2013. Analisis Statistik Temporal Erupsi Gunung Merapi. Jurnal Fisika. Vol. 3 No. 1, Mei 2013. Hal 37 Maulana, Edwin. 2011. Prediksi Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) SUB DAS Junggo Bagian Hilir dengan Menggunakan Model Suripin di Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Prosiding. Universitas Negeri Malang. Hal 7. Mokonio, Olviana., et al. 2013. Analisis Sedimentasi di Muara Sungai Saluwangko di Desa Tounelet Kecamatan Kakas Kabupaten Minahasa. Jurnal Sipil Statik. Vol.1. No.6, Mei 2013. Hal: 452-458. ISSN: 2337-6732 452 Mulyadi, Edi dan Nur Fitriani. 2010. Konservasi Hutan Mangrove sebagai Ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. Vol.2 No. 1: Hal 12. Opa, Esry, Tommy. 2011. Perubahan Garis Pantai Desa Bentenan Kecamatan Pusomaen, Minahasa Tenggara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. Vol. VII-3, Desember 2011 109 a. Hal 110.
45
Puspita, Belinda, Duhita dan Sudaryatno 2013. Estimasi Sedimen Lahar Dingin di Sebagian Kali Gendol Gunung Merapi Menggunakan Fufk dan Lidar. Jurnal bumi Indonesia. Vol. 2. No. 3. Hal 92. Ramadani, Aisyah, Hadi., Arini, Wijayanti., Suwarno, Hadisusanto., 2013. Komposisi dan Kemelimpahan Fitoplankton di Laguna Glagah Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Solihuddin, TB. 2010. Morfodinamika Delta Cimanuk, Jawa Barat Berdasarkan Analisis Citra Landsat Jurnal Ilimiah Geomatika. Vol.6. No.1. Hal. 79 Sugiharyanto, Nurul Khotimah, dan Dyah Respati Suryo Sumunar. 2011. Kajian Kelas Air Sungai Opak Pasca Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010. Artikel Ilmiah. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Sukamto dan Dyah. I.P. Pengoperasian Alat Tangkap Jaring Apong di Segaraanakan Cilacap (Jawa Tengah. Buletin Teknik Litkayasa. Vol. 13. No 1 Wardhana, Pradipta Nandi. 2015. Analisis Transpor Sedimen Sungai Opak dengan Menggunakan Program. Jurnal Teknisia. Volume XX, No 1, Mei 2015: Hec-Ras 4.1.0. Hal 22. Widayanti, Ria Dewi. Universitas Gadjah Mada, 2013. Dinamika Harian Penutupan Muara Sungai Opak pada Bulan Oktober-November. Skripsi. Hal 14. Sukamto, Sukamto, Dyah, Ika, Purnamanintya. 2013.: Pengoperasian Alat Tangkap Jaring Apong di Segaraanakan Cilacap (Jawa Tengah). Buletin Teknik Litkayasa. Vol.11 No. 1 Juni 2013. Hal 5.
46
PREDIKSI PASANG SURUT PERAIRAN SADENG Feni Ayuputri Arifin1, Farid Ibrahim2, Ayu Puji Larasati1, Theresia Retno Wulan2, Edwin Maulana2 1Prodi Ilmu
Kelautan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan, Fakultas Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang 2Parangtritis Geomaritime Science Park, Badan Informasi Geospasial, Yogyakarta Email :
[email protected]
ABSTRAK Lokasi penelitian adalah kawasan Perairan Sadeng dengan titik koordinat -8o 50’ 00” LS dan 105o 66’ 70” BT. Perairan Sadeng berada di Desa Song Banyu Pucung, Kecamatan Girisobo, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Perairan Sadeng di bagian tenggara Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal dengan sebutan “Muara Bengawan Solo Purba”. Pasang surut air laut adalah fenomena naik turunnya muka air laut secara perodik. Penyebab utamanya adalah pengaruh gravitasi benda-benda langit. Peristiwa pasang surut ternyata memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar perairan, baik pada pengangkutan air, pembangunan di sekitar wilayah pantai, kegiatan di pelabuhan, maupun biota di sekitar pantai. Penelitian tentang prediksi pasang surut perairan Sadeng dibutuhkan untuk mengetahui karakteristik pasang surut di perairan tersebut. Hasil penelitian diperoleh tipe pasang surut di perairan Sadeng adalah campuran condong harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal) dengan nilai Formzahl sebesar 0.408. Kata kunci: Sadeng, pasut, admiralty Formzahl
1. PENDAHULUAN Pasang surut air laut adalah fenomena naik turunnya muka air laut secara perodik. Penyebab utamanya adalah pengaruh gravitasi benda-benda langit. Benda-benda langit yang terlibat dalam proses pasang surut tersebut adalah daya tarik bulan dan matahari. Pasang surut air laut umumnya juga disebut sebagai pasut laut. Fenomena ini dinamakan sebagai fenomena Ocean Tide (Lanuru,2011). Pasang surut merupakan fenomena naik turunnya muka air laut secara periodik. Fenomena tersebut terjadi di seluruh belahan bumi. Adanya pasang surut terjadi karena gaya pembangkit. Gaya pembangkit ini utamanya berasal dari matahari dan bulan (Ismail,2011). Efek gaya pembangkit tersebut terjadi karena adanya rotasi bumi pada sumbunya, peredaran bulan mengelilingi bumi dan peredaran bulan mengelilingi matahari. Bulan dan matahari memberikan gaya gravitasi (tarikan) pada
47
bumi. Gaya tarik gravitasi tersebut menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan terjadilah pasang surut air laut. Pasang purnama (spring tide) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari berada dalam suatu garis lurus. Pada saat tersebut terjadi pasang tinggi yang sangat tinggi dan pasang rendah yang sangat rendah. Pasang purnama ini terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama. Pasang perbani (neap tide) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari membentuk sudut tegak lurus. Pada saat tersebut terjadi pasang tinggi yang rendah dan pasang rendah yang tinggi. Pasang surut perbani ini terjadi pada saat bulan seperempat dan tiga per empat (Musrifin,2012). Widyantoro (2014) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 4 tipe pasang surut meliputi pasang surut harian tunggal (diurnal tide), pasang surut harian ganda (semi diurnal tide), pasang surut campuran condong harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal) dan pasang surut campuran condong harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal). Pasang surut harian tunggal (diurnal tide) adalah tipe pasut yang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari serta biasanya terjadi di Jakarta, Tarempa, Tuban, Bangka dan Malahayati. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide) adalah tipe pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama dalam satu hari serta biasanya terjadi di Lhokseumawe, Semarang, Sabang, dan Dumai. Pasang surut campuran condong harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal) adalah tipe pasut yang terjadi tiap harinya satu kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu serta biasanya terjadi di Celukan Bawang, Makassar dan Jepara. Pasang surut campuran condong harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal) adalah tipe pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali dengan tinggi dan waktu yang berbeda serta biasanya terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia (lihat Gambar 1).
48
Gambar 12 Tipe pasang surut: a. Diurnal; b. Semi diurnal; c. Mixed Tides PrevailingDiurnal; d. Mixed Tides Prevailing Semi Diurnal (Sumber: Widyantoro,2014)
Tipe pasut juga dapat ditentukan bersadarkan bilangan Formzahl. Pasut memiliki sifat periodik sehingga dapat diramalkan dengan data amplitudo dan beda fase dari masing-masing komponen pembangkit pasut. Komponen ini didasarkan pada bilangan Formzahl (F) sehingga nilai Formzahl yang digunakan menentukan tipe pasut. Apabila F<0,25 maka tipe pasut tergolong semidiurnal, F diantara 0,25 dan 1,5 maka tipe pasut tergolong campuran condong harian ganda, F diantara 1,5 dan 3,0 maka tipe pasut tergolong campuran condong harian tunggal serta F>3 maka tipe pasut tergolong harian tunggal (diurnal) (Musrifin,2012). Peristiwa pasang surut ternyata memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar perairan, baik pada pengangkutan air, pembangunan di sekitar wilayah pantai, kegiatan di pelabuhan, maupun biota di sekitar pantai. Pasang surut sangat berpengaruh pada pengangkutan air. Kapal yang berlayar maupun yang menepi dipantai sangat dipengaruhi oleh adanya pasang surut air laut. Nelayan biasanya merapat ke dermaga ketika air laut yang pasang terjadi, karena pada saat waktu itu akan mudah membawa kapal untuk merapat (Anneahira, 2016). Oleh karena itu, penelitian tentang prediksi pasang surut perairan Sadeng dibutuhkan untuk mengetahui karakteristik pasang surut di perairan tersebut.
2. KAJIAN PUSTAKA Lokasi penelitian adalah kawasan Perairan Sadeng dengan titik koordinat -8 50’ 00” LS dan 105o 66’ 70” BT. Perairan Sadeng berada di Desa Song Banyu Pucung, Kecamatan Girisobo, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Perairan Sadeng merupakan salah satu daerah di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki potensi sumberdaya perikanan cukup besar. Usaha perikanan tangkap di Sadeng relatif baru. Usaha tersebut mulai berkembang pada tahun 2000 o
49
dengan nelayan pendatang dari Cilacap dan Jawa Timur (Wahyuningrum et al, 2012). Proses pengangkatan geologis mengubah pola aliran sungai yang awalnya dari hulu mengalir ke selatan dan aliran tersebut beralih mengalir ke utara. Pantai Sadeng di bagian tenggara Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal dengan sebutan “Muara Bengawan Solo Purba”. Sebutan ini disebabkan dahulu Bengawan Solo tidak bermuara ke Laut Jawa melainkan ke Samudera Hindia. Sisa-sisa muara tersebut masih dapat dilihat di dekat Pantai Sadeng bagian tenggara Kabupaten Gunungkidul (Prasetya,2010).
Gambar 13 Peta Lokasi Pantai Sadeng
3. METODOLOGI PENELITIAN Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pasang surut dari UHSLC (University of Hawaii Sea Level Center) selama 15 hari mulai 1 Januari 2016 sampai 15 Januari 2016. Data pasang surut tersebut digunakan untuk mengetahui tipe pasang surut melalui metode Admiralty. Metode Admiralty ialah satu dari beberapa metode analisis pasang surut yang banyak digunakan dalam pembangunan struktur bangunan pantai, kepentingan navigasi pelabuhan serta perencanaan dan pembangunan wilayah pesisir. Metode ini dipilih karena dapat menganalisis data pendek pasang surut selama 15 hari dan memberikan konstanta-konstanta pasang surut untuk selanjutnya digunakan dalam penentuan tipe pasang surut serta elevasi muka air laut yang terjadi (Sangkop, 2015). 50
Hasil akhir perhitungan metode admiralty adalah konstanta-konstanta pasang surut. Berdasarkan konstanta-konstant Pasang Surut yang didapat dari hasil analisis dengan menggunakan metode Admiralty maka dapat ditentukan tipe pasang surut yang terjadi di pantai Bulo dengan menggunakan angka pasang surut F (Formzahl). Dimana F ditentukan sebagai berikut: 𝑂1 + 𝐾1 𝐹= 𝑀2 + 𝑆2 F merupakan bilangan formzahl, O1 adalah amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan, K1 adalah amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari, M2 adalah amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan, S2 adalah amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari (Fadilah, 2013). Hasil penghitungan konstanta harmonik setiap stasiun pengamatan pasang surut didapat beberapa nilai yaitu O1, K1, M2, dan S2. Penggunaan rumus diatas maka didapat nilai bilangan Formzahl. Hasil perhitungan Admiralty kemudian didapatkan bilangan konstanta pasang surut yang selanjutnya akan digunakan untuk menghitung nilai Formzahl. Tipe pasut juga dapat ditentukan bersadarkan bilangan Formzahl. Pasut memiliki sifat periodik sehingga dapat diramalkan dengan data amplitudo dan beda fase dari masing-masing komponen pembangkit pasut. Komponen ini didasarkan pada bilangan Formzahl (F) sehingga nilai Formzahl yang digunakan menentukan tipe pasut. Apabila F<0,25 maka tipe pasut tergolong semidiurnal, F diantara 0,25 dan 1,5 maka tipe pasut tergolong campuran condong harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal), F diantara 1,5 dan 3,0 maka tipe pasut tergolong campuran condong harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal) serta F>3 maka tipe pasut tergolong harian tunggal (diurnal) (Musrifin,2012).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis metode admiralty menghasilkan 9 komponen utama pasang surut. Komponen utama pasang surut tersebut adalah P1, O1 dan K1 yang termasuk ke dalam kelompok komponen pasang surut diurnal, serta K2, N2, S2, dan M2 yang termasuk ke dalam kelompok komponen pasang
51
surut semi diurnal. Metode admiralty juga menghasilkan komponen pasang surut perairan dangkal yaitu M4 dan MS4 (Nurisman et al, 2011). Berdasarkan hasil analisis data pasang surut Perairan Sadeng dengan metode admiralty didapatkan konstanta – konstanta pasang surut Perairan Sadeng. Konstanta-konstanta tersebut digunakan dalam menghitung bilangan Formzahl. Perhitungan menggunakan rumus Formzahl dapat dilihat seperti dibawah ini:
Tabel 1 Hasil Konstanta Pasang surut dengan Metode Admiralty
Perhitungan bilangan Formzahl dari konstanta pasang surut yang didapatkan adalah sebagai berikut; 𝑂1 + 𝐾1 𝑀2 + 𝑆2 0,064 + 0,105 𝐹= 0,261 + 0,153 0,169 𝐹= 0,414 𝐹 = 0.408 𝐹=
Hasil perhitungan menggunakan rumus Formzahl diperoleh hasil F = 0.408 maka pasang surut pada Perairan Sadeng dengan koordinat Lintang 8o 50’ 00” dan Bujur 105o 66’ 70” tergolong campuran condong harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal). Adapun grafik data pasang surut Perairan Sadeng dapat dilihat gambar dibawah ini:
52
Gambar 14 Grafik Pasut Perairan Sadeng
Pembacaan grafik di atas adalah grafik ke atas dibaca sebagai pasang muka air laut dan grafik ke bawah dibaca sebagai surut muka air laut. Angka yang tertera di bagian bawah grafik merupakan waktu (tanggal-bulan-tahun jam:menit) terjadinya pasang surut air laut. Angka yang tertera di sebelah kiri merupakan nilai kecepatan terjadinya pasang surut dalam satuan m/s. Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui tipe pasang surut Perairan Sadeng adalah campuran condong harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal). Kedua hasil tipe pasang surut yang diperoleh dari perhitungan bilangan Formzahl maupun pembacaan grafik di atas sama yaitu campuran condong harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal). Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa kedalaman dasar laut di perairan selatan Yogyakarta hingga batas 12 mil ke arah laut lepas berkisar antara 5 m hingga 350 meter. Kedalaman dasar laut tersebut dengan kenaikan nilai kontur berangsur meninggi dengan pola sejajar pantai. Perairan selatan Yogyakarta memiliki tipe pasang surut mixed tide predominantly semi diurnal atau pasang surut campuran condong harian ganda. Tipe pasut tersebut terjadi dalam satu hari dengan dua kali pasang dan dua kali surut (Yudhicara et al, 2016). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa Perairan Sadeng memiliki tipe pasang surut campuran condong harian ganda dimana dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang berbeda (Gumelar et al, 2016).
5. KESIMPULAN DAN SARAN Tipe pasang surut di Peraian Sadeng tergolong campuran condong harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal) dengan nilai Formzahl sebesar 0.408. Kedua hasil tipe pasang surut yang diperoleh dari perhitungan bilangan Formzahl maupun pembacaan grafik di atas sama yaitu campuran condong harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal). 53
Saran untuk paper selanjutnya adalah perlu dilakukan pemodelan pasang surut dari nilai komponen pasang surut yang sudah diperoleh sebagai prediksi pasang surut di masa mendatang. Pemodelan tersebut supaya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan atau kelautan seperti transportasi perairan, kegiatan nelayan, navigasi, pembangunan bangunan pantai dan lain-lain.
6. UCAPAN TERIMA KASIH Terimaksih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Ayu Puji Larasati, Farid Ibrahim, Edwin Maulana dan Theresia Retno Wulan yang telah membantu dalam penyusunan paper ini.
DAFTAR PUSTAKA Anneahira. 2016. Fenomena Air Pasang Surut. www.anneahira.com/air-pasang.htm diakses 30 Agustus 2016 pukul 20:34 WIB Gumelar, jaka., Bandi Sasmito dan Fauzi Janu Amarrohman. 2016. Analisis Harmonik dengan Menggunakan Teknik Kuadrat Terkecil untuk Penentuan KomponenKomponen Pasut di Wilayah Laut Selatan Pulau Jawa dari Satelit Altimetri Topex/Poseidon dan Jason-1. Jurnal Geodesi Undip. Semarang Ismail, Mochamad Furqon Aziz. 2011. Model Hidrodinamika Arus Pasang Surut di Perairan Cirebon. ISSN 0125-9830. 37(2):263-275. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Lanuru, M, dan Suwarni, 2011. Pengantar Oseanografi. Bahan Ajar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.117 hal. Musrifin. 2012. Analisis dan Tipe Pasang Surut Perairan Pulau Jemur Riau. Riau. ISSN 0126-4265. 40(1):101-108 Nurisman, Nanda., Fauziyah dan Heron Subakti. 2011. Karakteristik Pasang Surut di Alur Pelayaran Sungai Musi Menggunakan Metode Admiratly. Maspari Journal. 4(1):110-115 Prasetya, Dwi.2010. Visualisasi Kerusakan Lingkungan Sungai Bengawan Solo. Universitas Sebelas Maret. Surakarta Wahyuningrum, Prihatin Ika., Tri Wiji Nurani dan Tiara Anggia Rahmi. 2012. Usaha Perikanan Tangkap Multi Purpose di Sadeng, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Maspari Journal. 4(1):10-22 Widyantoro, Bayu Triyogo. 2014. Karakteristik Pasang Surut Laut di Indonesia. Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 20 No. 1 Agustus 2014: 65-72. Yudhicara, A. Yuningsih., A. Mustafa., N.A. Kristanto dan Y. Noviadi. Potensi Kebencanaan Geologi di Kawasan Pesisir Selatan D.I. Yogyakarta. http://www.mgi.esdm.go.id/content/potensi-kebencanaan-geologi-di-kawasanpesisir-selatan-di-yogyakarta. Puslitbang Geologi Kelautan.
54
KAJIAN OBJEK WISATA PANTAI WEDIOMBO SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL Feni Ayuputri Arifin1, Theresia Retno Wulan2, Faizah Rahmayadi Yusuf1, Dwi Sri Wahyuningsih2, Edwin Maulana2 1Prodi Ilmu
Kelautan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan, Fakultas Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang 2Parangtritis Geomaritime Science Park, Badan Informasi Geospasial, Yogyakarta Email :
[email protected]
ABSTRACT The tourism sector in the current era of globalization is one of the most promising industries. The purpose of this study was to determine the nature condition and appeal of Wediombo beach. The method used in this research is descriptive qualitative method. Based on research carried out showed that the condition of Wediombo beach has a beautiful nature. Wediombo beach have adequate public facilities, such as the availability of parking, rest rooms, a dining area, Pos SAR, and the surf camp. The number of tourists Wediombo beach increasing by the largest amount in 2014 is 71 122 people. Wediombo coast has two tourist attraction that is nature tourism landscape as the scenery and cultural attractions such as Ngalahi. Keywords: Tourism, Karst, Wediombo, Jepitu, Wonosari
1. PENDAHULUAN Menurut Undang-Undang Kepariwisataan No.10 Tahun 2009, pariwisata adalah segala macam kegiatan wisata dengan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh pihak-pihak terkait seperti masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Pariwisata merupakan industri padat karya yang memerlukan orang-orang dengan keterampilan profesional. Sektor ini juga mampu menyerap tenaga kerja yang tidak terdidik dan tidak terlatih. Penyerapan tenaga kerja dianggap sebagai hal yang memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif dapat dilihat dari adanya kesempatan kerja jangka pendek. Dampak negatif dapat dilihat dari keberlanjutan industri dalam jangka panjang dan inisiatif kebijakan terhadap pekerjaan yang layak (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, 2012). Salah satu sektor pariwisata yang banyak diminati saat ini adalah pariwisata alam. Salah satu pariwisata berbasis alam adalah pantai. Pantai 55
yang diminati wisatawan bukan hanya menyajikan keindahan alam saja, namun harus memiliki daya tarik wisata dan fasilitas pendukung. Menurut Undang-Undang Kepariwisataan No.10 Tahun 2009, daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang bernilai unik, indah, terdapatnya keanekaragaman kekayaan alam dan budaya, serta hasil buatan manusia sebagai sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Daya tarik wisata berhubungan dengan daerah tujuan wisata. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul Nomor 5 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan menyebutkan bahwa daerah tujuan wisata atau destinasi pariwisata yaitu kawasan geografis yang berada satu atau lebih wilayah administratif yang didalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Adapun faktor utama di sektor pariwisata adalah pengembangan pariwisata. Pengembangan pariwisata yang optimal mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Optimalisasi tersebut juga harus didasari dengan penanganan dengan baik di sektor pariwisata seperti pengembangan objekobjek wisata. Sektor pariwisata harus mulai meninggalkan tentang perencanaan jangka pendek dan mampu melihat dalam prespektif jangka panjang dengan memperhitungkan segala pengaruh yang mungkin akan timbul dan berpengaruh terhadap dunia pariwisata (Sari dan Indah, 2011). Optimalisasi pengembangan pariwisata sejalan dengan sasaran yang akan dicapai dalam rangka otonomi daerah seperti yang tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat harus dapat menggali potensi-potensi yang ada di daerahberupa potensi-potensi yang berkenaan dengan pariwisata dengan tujuan dapat meningkatkan PAD. Upaya pengembangan objek wisata Pantai Wediombo di Kabupaten Gunungkidul perlu diketahui dan ditinjau lebih dalam. Upaya pengembangan tersebut dapat dilihat dari kondisi dan daya tarik Pantai Wediombo. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi dan daya tarik Pantai Wediombo. Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang pengembangan Pantai Wediombo diperoleh hasil obyek wisata Pantai Wediombo memiliki potensi keadaan pantai yang masih alami dan berkarakteristik hamparan pasir putih berbentuk teluk landai. Pengembangan Pantai Wediombo tetap diupayakan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dengan semaksimal mungkin meskipun dalam pengembangan Obyek Wisata Pantai Wediombo 56
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menjumpai beberapa hambatan. Hambatan tersebut tidak menjadikan kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menjadi menurun. Obyek Wisata Pantai Wediombo tetap akan dikembangkan sebagai daya tarik wisata di Kabupaten Gunungkidul (Kusumaningrum et al,2009).
2. KAJIAN PUSTAKA Wilayah Kabupaten Gunungkidul terletak antara 7o 46’ - 8o 09’ LS dan 110o 21’ - 110o 50’ BT. Kabupaten Gunungkidul berbatasan dengan Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah di sebelah utara. Samudera Hindia di sebelah selatan dan Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah barat. Kabupaten Gunungkidul memiliki banyak destinasi pariwisata alam pantai seperti Pantai Sadeng, Pantai Sadranan, Pantai Siung, Pantai Baron dan Pantai Wediombo. Pantai Wediombo terletak di Desa Jepitu Kecamatan Girisubo Kabupaten Gunungkidul. Pantai Wediombo memiliki pemandangan yang luar biasa tetap menyuguhkan pemandangan pantai yang luar biasa. Akses jalan ke pantai ini sangatlah mudah dijangkau dengan memanfaatkan papan penunjuk arah jalan. Penelitian ini dilakukan di Pantai Wediombo.
Gambar 15 Peta Lokasi Pantai Wediombo
57
3. METODOLOGI PENELITIAN Data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari survei lapangan. Survei lapangan yang dilakukan adalah melakukan pemotretan kawasan wisata menggunakan pesawat UAV (Unmanned Aerial Vehicle), dokumentasi menggunakan kamera digital serta wawancara kepada masyarakat setempat di Pantai Wediombo. Data sekunder diperoleh dari studi literatur untuk mengetahui gambaran umum Pantai Wediombo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian menggunakan metode kualitatif adalah penelitian dengan analisis dan penjelasan tentang fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi seseorang atau kelompok terhadap sesuatu (Hamdi dan Bahrudin,2014). Metode deskriptif kualitatif cenderung memperhatikan data pustaka. Metode tersebut berhubungan dengan karya pikir atau karya cipta manusia. Sumber data pusataka yang digunakan dalam penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif memiliki jangkauan yang lebih luas daripada sumber data lapangan (Wibowo,2011).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Pantai Wediombo Berdasarkan survei lapangan 8 Agustus 2016 diketahui kondisi Pantai Wediombo bersih dan cukup ramai pengunjung. Perjalanan yang ditempuh untuk mencapai pantai ini membutuhkan waktu 45 menit dari arah Kota Wonosari dengan kendaraan. Rute yang dilewati dari arah Wonosari yaitu Wonosari-Mulo-Tepus-Pantai Wediombo. Pantai Wediombo mudah ditemukan karena di pintu masuk pantai terdapat bangunan dengan nama Pantai Wediombo. Akses jalan menuju tempat wisata yang mudah sejalan dengan komponen penyusun pariwisata menurut Yoeti (1997) yaitu aksesibilitas. Aksesibilitas merupakan kemudahan mencapai daerah tujuan wisata baik secara jarak geografis atau kecepatan teknis serta adanya sarana transportasi ke tempat tujuan. Pantai Wediombo memiliki kemudahan akses jalan tersebut, transportasi untuk mencapai pantai dan hal tersebut mempengaruhi jumlah kunjungan wisata menjadi meningkat. Letak Pantai Wediombo tersembunyi ketika turun dari kendaraan. Pantai tersebut harus dicapai dengan menuruni anak tangga yang cukup panjang karena Pantai Wediombo terletak di bagian bawah yaitu diantara tebing yang membuat pantai ini seperti berada di teluk. Kondisi anak tangga untuk 58
mencapai Pantai Wediombo berfungsi dengan baik dan kondisinya bagus (lihat Gambar 2). Menurut Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Istimewa Yogyakarta Pantai Wediombo sebagai kawasan wisata pantai berbasis konservasi dan relaksasi. Pernyataan tersebut sesuai dengan kondisi Pantai Wediombo yang masih bersifat alami, bersih dan memiliki pemandangan indah.
Gambar 16 Anak tangga untuk mencapai Pantai Wediombo
Pantai Wediombo juga dilengkapi fasilitas yang memadai seperti tempat parkir, toilet, tempat makan, pos SAR (SearcH and Rescue) dan surf camp (lihat Gambar 3). Tempat parkir di Pantai Wediombo cukup luas dan terbagi menjadi dua yaitu tempat parkir sepeda motor dengan luasan lahan dapat menampung lebih kurang 20 motor dan tempat parkir mobil dengan luasan lahan dapat menampung lebih kurang 6 mobil. Toilet di Pantai Wediombo kondisinya baik dan terjaga kebersihannya. Toilet di Pantai Wediombo tersedia 24 jam untuk memudahkan wisatawan yang sedang camping disana. Kondisi toilet juga sama baiknya dengan kondisi tempat makan di Pantai Wediombo yang tertata rapi dan terjaga kebersihannya di dekat tempat parkir sepeda motor dan di area dekat pantai. Tempat makan di pantai tersebut menjual berbagai makanan minuman dan olahan hasil tangkapan laut. Pos SAR juga telah tersedia untuk memantau aktivitas pengunjung seperti snorkeling, bermain air di pantai atau berselancar. Pantai Wediombo juga menyediakan surf camp bagi peselancar pemula. Peselancar pemula dapat mengikuti kelassurfing singkat selama 1,5 jam dengan menghubungi Wediombo Surfing Society yang berada di lokasi.
59
Gambar 17 Fasilitas umum di Pantai Wediombo: A. Tempat parkir, B. Toilet, C. Tempat Makan, D. Pos SAR, E. Surf camp
Semakin tahun jumlah kunjungan wisatawan ke wisata di Kabupaten Gunungkidul semakin meningkat baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Peningkatan tersebut dimungkinkan disebabkan oleh pengembangan objek wisata seperti kelengkapan fasilitas umum, akses jalan yang mudah dan daya tarik dari masing-masing tempat wisata. Rincian jumlah wisatawan mancanegara dan domestik di Kabupaten Gunungkidul tahun 2011-2015 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 2 Jumlah Wisatawan Mancanegara dan Domestik di Kabupaten Gunungkidul 2011-2015 Tahun 2011 2012 2013 2014 2015
Wisatawan Mancanegara Domestik 1.299 615.397 1.800 998.587 3.751 1.33.687 3.060 1.952.757 4.125 2.638.634 Sumber: BPS, 2015
Jumlah 616.696 1.000.387 1.337.438 1.955.817 2.642.759
Peningkatan jumlah wisatawan di atas juga sejalan dengan peningkatan jumlah wisatawan di Pantai Wediombo dengan jumlah wisatawan tertinggi tahun 2014 sebesar 71.122 orang. Peningkatan tersebut dapat disebabkan oleh semakin berkembangnya beberapa aspek pendukung tempat wisata seperti kelengkapan fasilitas umum, akses jalan yang mudah dan daya tarik tempat wisata. Rincian jumlah wisatawan di Pantai Wediombo tahun 20112014 dapat dilihat pada Grafik 1.
60
Grafik Jumlah Wisatawan Pantai Wediombo tahun 2011-2014
80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0 2011
2012
2013
2014
Grafik 1 Jumlah Wisatawan di Pantai Wediombo tahun 20111-2014 (Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul)
Amenitas merupakan sarana dan prasarana yang terdapat di tempat wisata. Yoeti (1990) menyatakan bahwa sarana kepariwisataan adalah perusahaan-perusahaan yang memberikan pelayanan kepada wisatawan sedangkan prasarana kepariwisataan adalah semua fasilitas yang memungkinkan agar sarana kepariwisataan dapat hidup dan berkembang serta dapat memberikan pelayanan pada wisatawan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang beragam. Ketersediaan fasilitas yang memadai di Pantai Wediombo juga menjadi faktor pendukung meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan. 4.2 Daya Tarik Pantai Wediombo Pantai Wediombo memiliki daya tarik dari sisi pemandangan bentang alam dan budaya. Daya tarik Pantai Wediombo dari sisi pemandangan bentang alam yaitu Pantai Wediombo dipenuhi dengan pecahan batu dan tebing-tebing berwarna coklat serta pepohonan tinggi berada di sekitar pantai. Biasanya pengunjung memanfaatkan tebing tersebut untuk memancing dari ketinggian. Jalan yang ditempuh untuk mencapai tebing mudah dijangkau karena telah dibuat jalan setapak. Aktivitas yang dapat dilakukan wisatawan di obyek wisata Pantai Wediombo selain memancing dari ketinggian adalah menikmati keindahan alam yang masih alami, berenang di pantai, bermain pasir, menikmati matahari tenggelam dan berselancar. Pasir di Pantai Wediombo berwarna putih kecoklatan. Pasir 61
dengan warna seperti itu berasal dari material pecahan karang. Rata-rata pantai di Kabupaten Gunungkidul memiliki material pasir berasal dari pecahan karang (lihat Gambar 4).
Gambar 18 Pemandangan bentang alam di Pantai Wediombo
Aktivitas masyarakat setempat yaitu mencari ikan, mencari kerang untuk dijadikan cinderamata bagi pengunjung. Aktivitas masyarakat di Pantai Wediombo sependapat dengan seorang ahli Pendit (1990) dalam Soebagyo (2012) bahwa pariwisata merupakan sektor yang kompleks dengan melibatkan industri-industri klasik seperti kerajinan tangan, cinderamata serta usaha-usaha penginapan, restoran dan transportasi. Adapun daya tarik Pantai Wediombo lainnya adalah kegiatan budaya sedekah laut (Ngalahi). Kegiatan tersebut biasanya dilaksanakan pada pertengahan bulan April. Ngalahi merupakan prosesi menangkap ikan dengan cara menggunakan jaring yang dipancangkan dari bukit Kedungwok dan dihalau bersama-sama ke laut. Penjabaran tersebut sejalan dengan keterangan yang dituliskan dalam penelitian sebelumnya bahwa kegiatan budaya yang dilaksanakan oleh masyarakat Pantai Wediombo setiap tahun pada pertengahan bulan April adalah budaya “Ngalahi”. Budaya ini merupakan upacara prosesi menangkap ikan dengan cara menggunakan gawar atau jaring yang dipancangkan dari bukit Kedungwok dan dihalau bersama-sama ke laut oleh masyarakat setempat. Selanjutnya, dilakukan perentangan saat air pasang dengan tujuan menjebak ikan yang terbawa ombak sehingga tidak dapat kembali ke laut. Ikan-ikan yang terperangkap dalam jaring diambil ketika air laut surut. Masyarakat setempat kemudian 62
sibuk membersihkan dan memasak ikan tangkapan. Sebagian kecil ikan dilabuh lagi ke lautan bersama nasi dan sesaji. Sebagian besar lainnya dibagi sesuai dengan jumlah keluarga penduduk setempat dan diantar ke rumahrumah warga. Acara mengantar ikan ke rumah-rumah warga. Acara tersebut disebut kenduri besar. Kenduri besar merupakan wujud kearifan lokal bahwa semua ikan tergolong rezeki bersama (Kusumaningrum et al,2009). Pakar Pariwisata Indonesia, Yoeti (1996) menyatakan bahwa atraksi wisata merupakan semua yang berada di daerah wisata, bersifat menarik wisatawan untuk berkunjung seperti benda-benda yang ada di alam, hasil ciptaan manusia dan adat istiadat yang ada di tempat tersebut. Atraksi dibedakan menjadi dua yaitu site attraction (tempat menarik dengan iklim nyaman dan pemandangan indah) dan event attraction (festival, upacara adat, pameran dan sebagainya). Atraksi yang ada di Pantai Wediombo tergolong dalam event attraction yaitu budaya Ngalahi. Budaya ini tergolong cukup unik karena hanya dilaksanakan pada pertengahan April oleh masyarakat pesisir Kabupaten Gunungkidul. Atraksi tersebut menjadi daya tarik wisata Pantai Wediombo sehingga wisatawan berminat untuk mengetahui prosesi berlangsungnya budaya Ngalahi dan hal ini berdampak pada jumlah kunjungan wisata meningkat tiap tahunnya baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Kondisi wisata alam Pantai Wediombo tergolong baik dan cukup ramai pengunjung dengan jumlah pengunjung pada tahun 2008 sebesar 15.839 orang dan berada di peringkat ketiga sebagai pantai yang diminati wisatawan tahun 2008. Pantai Wediombo juga memiliki fasilitas umum yang memadai seperti tersedianya tempat parkir, toilet, tempat makan, pos SAR dan surf camp. Pantai Wediombo memiliki dua daya tarik wisata yaitu wisata alam seperti pemandangan bentang alam dan wisata budaya seperti Ngalahi.
6. UCAPAN TERIMA KASIH Terimaksih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Faizah Rahmayadi Yusuf, Dwi Sri Wahyuningsih, Edwin Maulana dan Theresia Retno Wulan yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan paper ini.
63
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2012. Gunungkidul dalam Angka 2012. Gunungkidul Badan Pusat Statistik. 2013. Gunungkidul dalam Angka 2012. Gunungkidul Badan Pusat Statistik. 2014. Gunungkidul dalam Angka 2012. Gunungkidul Badan Pusat Statistik. 2015. Gunungkidul dalam Angka 2012. Gunungkidul Badan Pusat Statistik. 2016. Gunungkidul dalam Angka 2012. Gunungkidul Dinas Kependudukan dan Pencacatan Sipil. 2014. Profil Perkembangan Penduduk Tahun 2014 Kabupaten Gunungkidul. Kabupaten Gunungkidul Dinas Pendataan dan Pengelolaan. 2016. Informasi Umum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta Hamdi, Asep Saepul dan E. Bahrudin. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam Pendidikan. Yogyakarta: Deepublish Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. 2012. Rencana Strategis Pariwisata Berkelanjutan dan Green Jobs untuk Indonesia. Jakarta Kusumaningrum, Ambarwati., Tundjung Wahadi Sutirto dan Bambang Ary Wibowo. 2009. Pengembangan Obyek Wisata Pantai Wediombo sebagai Daya Tarik Wisata di Kabupaten Gunungkidul. Surakarta Perda Daerah Istimewa Yogyakarta. 2012. Peraturan daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012-2025. Yogyakarta Perda Kabupaten Gunungkidul. 2013. Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul Nomor 5 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Gunungkidul Sari, Dewi Kusuma dan Indah Susilowati. 2011. Pengembangan Pariwisata Obyek Wisata Pantai Sigandu Kabupaten Batang. Semarang: Universitas Diponegoro Soebagyo.2012. Strategi Pengembangan Pariwisata di Indonesia. Jurnal Liquidity. 1(2):153-158. Jakarta Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia. Undang-Undang No.10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Jakarta Wibowo, Wahyu. 2011. Cara Cerdas Menulis Artikel Ilmiah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Yoeti, Oka A. 1990. Pemasaran Pariwisata. Bandung: Angkasa Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa Yoeti, Oka A. 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita
64
KAJIAN GEOMORFOLOGI WILAYAH KEPESISIRAN UNTUK PENGEMBANGAN WISATA PANTAI (STUDI KASUS: WILAYAH KEPESISIRAN WOHKUDU DAN KESIRAT, GIRIKARTO, PANGGANG, GUNUNGKIDUL) Suci Yolanda1, Yuli Widyaningsih2, Mutiara Ayu M H3, Egha Friyansari4 Fakultas Geografi, UGM1,2,3,4 E-mail :
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT Coastal areas have natural resources that can be managed by people as tourist attraction. The research aims to identify landform in Wohkudu and Kesirat Coastal Area and analyse potential tourism based on landforms. Landform is map unit that is used to determine potensial tourism. Every landform is assessed to analyse the potentials and obstacles that can be used to develop tourism aspect. SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat) method is used to analyse the potensial tourism. The result of this paper shows that there are four landform in Kesirat and Wohkudu’s Coastal Area which are pocket beach, karst cone with rounded peaks, karst valley and cliff. Kesirat and Wohkudu’s Coastal Area have potential attraction with beautiful landscape of white sand in pocket beach and the scene of sunset at the edge of cliff. Tourist attractions also come from bubuh-bubuh culture which is held for every years. However, there are several aspects that challenge the tourism organizer, in this case is government of Girikarto. These aspects are related to accessibility, optimizing of society activities and fasilities. Keywords: (Landform, Coastal, Potential, Tourism)
1. PENDAHULUAN Wilayah pesisir menyimpan sumberdaya alam yang sangat potensial sehingga banyak dimanfaatkan untuk dikelola. Saat ini tercatat sekitar 60 persen penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir. Kay dan Alder (1999) mengatakan “The band of dry land adjancent ocean space (water and submerged land) in which terrestrial processes and land uses directly affect oceanic processes and uses, and vise versa”, hal tersebut diartikan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah yang merupakan batasan wilayah daratan dan wilayah perairan dimana proses kegiatan atau aktivitas di bumi dan penggunaan lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan. Wilayah pesisir merupakan wilayah dengan karakteristik yang unik karena merupakan tempat percampuran antara daratan dan lautan sebagaimana telah disinggung sebelumnya, hal ini berpengaruh terhadap 65
kondisi fisik dimana pada umumnya daerah yang berada di sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar. Garis batas nyata untuk wilayah pesisir sangat sulit untuk ditentukan, hanya berupa garis khayal yang ditentukan oleh kondisi setempat. Ekosistem wilayah pesisir dapat dipandang dari dimensi ekologis yang memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan manusia (life support service), dan penyedia jasa-jasa kenyamanan (amenity services) (Bengen, 2001). Pantai Wohkudu dan Kesirat merupakan salah satu pantai yang terletak di Desa Girikarto, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Pantai ini terletak berdekatan dan hanya dibatasi oleh beberapa barisan bukit yang menjorok ke samudra. Kedua pantai ini masih belum dikenal secara luas sebagai tempat wisata. Pengembangan wisata di pantai ini juga belum terlihat intensif. Namun sudah cukup banyak pengunjung dari luar daerah yang mengunjungi kedua pantai ini untuk tujuan wisata. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa Pantai Wohkudu dan Kesirat memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai tempat wisata pantai. Namun untuk mengembangkan suatu wilayah menjadi tempat wisata perlu beberapa pertimbangan. Salah satu pertimbangan dalam mengembangkan tempat wisata adalah kondisi fisik wilayah tersebut yang dapat dikaji dengan pendekatan geomorfologi. Menurut Panizza (1996), wilayah yang disusun oleh bentuklahan dan memiliki nilai disebut sebagai aset geomorfologi. Pantai Wohkudu dan Kesirat merupakan aset geomorfologi karena memiliki nilai sosioekonomi bagi warga setempat. Oleh karena itu, kajian pengembangan potensi sumberdaya alam dengan pendekatan geomorfologi di Wilayah Kepesisiran Kesirat dan Wohkudu untuk kegiatan wisata perlu dilakukan. Kajian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan wisata di kedua pantai ini. Jika pengembangan wisata dilakukan dapat berdampak positif terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar pantai.
2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Geomorfologi Kepesisiran Kondisi geomorfologi suatu wilayah dapat digunakan sebagai dasar utama dalam pengembangan dan pengelolaan suatu wilayah supaya dapat dipergunakan secara berkelanjutan. Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan secara genesis serta proses-proses yang mempengaruhi bentuklahan serta hubungan timbal balik antara 66
bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam konteks keruangan (Zuidam, 1979). Pada dasarnya geomorfologi mempelajari bentuk bentangalam dan bentuklahan. Sementara itu geomorfologi kepesisiran berkaitan dengan karakteristik bentuk kepesisiran (bentuklahan), proses yang bekerja, dan perubahan yang terjadi pada wilayah tersebut (Bird, 2008). Perkembangan teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk mempermudah dalam menginterpretasikan kenampakan geomorfologi, khususnya dalam hal ini kenampakan geomorfologi di wilayah kepesisiran (Noor, 2011). 2.2 Wilayah Kepesisiran Secara ekologis, wilayah kepesisiran merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan yang memiliki dua macam batas. Batas pertama dapat ditinjau dari garis batas yang sejajar terhadap garis pantai sementara batas kedua merupakan batas yang ditarik tegak lurus terhadap garis pantai. Sementara itu, menurut Beatley, dkk (1994), pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf). Wilayah kepesisiran merupakan ekosistem yang dinamis dan memiliki potensi yang besar. Namun demikian ancaman terhadap wilayah kepesisiran dapat berupa gangguan baik dari darat maupun dari laut (Dahuri dkk, 2001). Oleh karena itu kajian mengenai potensi sumberdaya alam di wilayah kepesisiran sangat penting untuk dilakukan. 2.3 Pengertian Pariwisata Pariwisata di kenal dunia dengan istilah tourism, yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Kepariwisataan”. Menurut McIntosh (1990), pariwisata adalah gabungan gejala atau hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah serta masyarakat tuan rumah dalam proses enarik dan melayani wisatawan serta penunjang lainnya. 2.4 Aspek Kepariwisataan Terdapat 5 aspek pariwisata yaitu: a. Aspek Fisik Aspek Fisik meliputi kondisi Geografi, Geologi, Topografi, Klimatologi, dan Hidrologi. b. Aspek Daya Tarik Wisata 67
Aspek yang mendorong manusia untuk mengunjungi atau melakukan kegiatan di suatu tempat. c. Aspek Aksesibilitas Komponen infrastruktur baik fisik dan non fisik yang mendorong kegiatan pariwisata berjalan. d. Aspek Aktivitas dan Fasilitas Fasilitas yang berfungsi sebagai pelengkap dan untuk memenuhi berbagai kebutuhan wisatawan yang bermacam-macam. Bovy dan Lawson (1977) menyebutkan bahwa fasilitas adalah atraksi buatan manusia yang berbeda dari daya tarik wisata yang lebih cenderung berupa sumberdaya. e. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Aspek sosial ekonomi menjadi tolak ukur posisi pariwisata dalam sektor unggulan atau bukan di suatu daerah. Sedangkan kebudayaan bersifta dinamis yang mudah terpengaruh oleh kegiatan pariwisata.
3. METODOLOGI PENELITIAN Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dibutuhkan adalah Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000 lembar Panggang, citra Google Earth tahun 2015, dan Peta Seri Tanah skala 1:50.000. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah informasi dari warga sekitar yang terlibat langsung dalam pengelolaan Pantai Wohkudu dan Kesirat. Informasi tersebut diperoleh dengan cara melakukan wawancara terbuka kepada warga sekitar. Wawancara juga dilakukan kepada pengunjung pantai maupun yang pernah berkunjung ke pantai. Data sekunder yang diperoleh kemudian diolah untuk mengidentifikasi bentuklahan di wilayah kepisisiran. Hasil interpretasi bentuklahan kemudian divalidasi dengan melakukan pengecekan langsung di lapangan. Hasil peta bentuklahan yang telah divalidasi kemudian dikaitkan dengan hasil wawancara. Pengkaitan kedua informasi tersebut digunakan untuk mengidentifikasi potensi pariwisata di Pantai Wohkudu dan Kesirat. Analisis potensi pariwisata dilakukan menggunakan teknik analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat).
68
4. PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Bentuklahan Bentuklahan yang dijumpai di wilayah kepesisiran Kesirat dan Wohkudu adalah gisik saku (warna biru muda), cliff dan runtuhan batu (warna biru tua), kerucut karst puncak membulat (warna oranye), dan lembah perbukitan karst (warna nila), seperti yang ditunjukkan dalam gambar 1 berikut.
Gambar 1. Bentuklahan di Wilayah Kepesisiran Kesirat dan Wohkudu
Bentuklahan gisik saku hanya dapat dijumpai di pesisir Wohkudu. Gisik di pesisir Wohkudu diapit oleh dua perbukitan karst dengan lereng curam. Gisik ini terbentuk akibat adanya proses pemecahan material batuan hasil runtuhan tebing oleh tenaga alam (gelombang, ombak, dan cuaca) dan pecahan cangkang organisme laut. Tenaga gelombang dan ombak menyebabkan material hasil runtuhan tebing terkikis terus menerus dan kemudian mengalami pengendapan di dataran. Dinamika Pantai Wohkudu yakni berupa akresi pada wilayah gisik sehingga termasuk dalam tipologi marine deposition coast (ditunjukkan pada Gambar 1). Klasifikasi ini didasarkan pada klasifikasi tipologi pesisir sekunder menurut Shepard (1972) dalam Pethick (1984) dalam Marfa’I, dkk (2013). Pesisir sekunder merupakan pesisir yang memiliki konfigurasi yang terbentuk akibat dari adanya control dari proses-proses yang berasal dari aktivitas laut (marine) atau organisme laut, sementara pesisir yang memiliki konfigurasi yang terbentuk akibat dari proses-proses yang bukan berasal dari aktivitas laut atau lebih dikontrol oleh proses yang berasal dari darat (terrestrial) disebut dengan pesisir primer (Marfai, dkk. 2013). 69
Gambar 2. Marin deposition coast (Wohkudu)
Kerucut Karst Puncak Membulat yang termasuk dalam wilayah kepesisiran ini memiliki karakteristik berupa bentuk puncak yang membulat (kubah) sedangkan bagian lerengnya cukup terjal. Ketinggian kubah karst yang teridentifikasi di wilayah kepesisiran Wohkudu dan Kesirat adalah sekitar 50 meter. Kerucut karst ini terletak berasosiasi dengan lembah perbukitan karst di bagian selatan. Kerucut karst ini membentuk kumpulan bukit yang saling menyatu dan membentuk pola lembah dengan bentuk seperti bintang yang disebut kegelkarst (Haryono & Adji, 2004). Namun pola lembah tersebut tidak termasuk dalam wilayah kepesisiran. Lembah perbukitan karst terletak di sepanjang garis kepesisiran dan berasosiasi dengan tebing yang berhadapan langsung dengan laut. Lembah perbukitan karst memiliki morfologi bergelombang. Material dasar yang menyusun adalah batugamping. Hal tersebut menyebabkan adanya proses pelarutan batugamping. Material batuan yang lebih resisten akan membentuk bentuk morfologi positif (perbukitan kerucut karst) dan material yang mudah terlarut membentuk morfologi negatif (lembah perbukitan karst) (Kusumayudha, 2005). Pada bentuklahan ini banyak dijumpai adanya fosil hewan laut di tanah. Hal ini menunjukkan bahwa dahulu wilayah dataran ini berada di bawah permukaan air laut. Adanya proses endogen yang bekerja menyebabkan wilayah ini terangkat ke permukaan hingga menjadi dataran tinggi. Cliff dan runtuhan batu. Cliff (tebing) merupakan lereng kepesisiran terjal hasil pemotongan formasi batuan (Bird, 2008). Lereng ini berhadapan langsung dengan laut dan berasosiasi dengan proses erosi subaerial pada tebing. Hugget (2011) menjelaskan bahwa cliff merupakan lereng vertikal yang terbentuk akibat adanya pengangkatan material batuan dasar ke atas pemukaan air laut. Adanya proses pengikisan material penyusun tebing oleh 70
tenaga gelombang laut yang berlangsung terus menerus menyebabkan batu gamping yang menyusun tebing menjadi semakin terkikis. Hasil kikisan tersebut membentuk cekungan dan dapat menyebabkan runtuhan tebing. Di sepanjang wilayah kepesisiran Kesirat banyak dijumpai material runtuhan batu di sepanjang pantai. Karakteristik berupa adanya cliff dan rockfall di sepanjang garis pantai Kesirat menunjukkan pesisir ini termasuk dalam tipologi subaerial deposition coast. Tipologi ini dicirikan dengan adanya longsoran tebing curam yang ada di pinggir pantai membentuk runtuhan batuan seperti terlihat pada Gambar 3 berikut ini (Marfai, dkk., 2013).
Gambar 3. Subaerial deposistion coast (Kesirat)
4.2 Potensi Wisata Setiap Bentuklahan Gisik Saku. Bentuklahan gisik saku tersusun atas material lepas-lepas hasil dari rombakan karang dan cangkang hewan laut. Identifikasi aspek abiotik dari wilayah ini dapat dijabarkan berdasarkan karakteristik oseanografi dan tutupan lahan. Karakteristik oseanografi dari wilayah ini yakni dipengaruhi oleh beberapa proses, yaitu sedimentasi, erosi oleh angin dan gelombang air laut, serta pasang surut air laut. Sementara itu, tutupan lahan yang mendominasi disekitar beting gisik adalah berupa rumput dan semak belukar (vegetasi alami/nonbudidaya). Aktivitas pariwisata di Pantai Wohkudu sudah mulai dikenal sebagai salah satu destinasi wisata di Desa Girikerto sejak tahun 2015. Seperti yang dijelaskan dalam Tabel 1 nomor 2 terkait potensi dan kendala dalam pengembangan pantai, Pantai Wohkudu memiliki daya tarik wisata berupa panorama yang masih asri, yaitu pasir putih dan deburan ombak yang menghantam gisik, batuan dan tebing di sisi-sisi lainnya. Pada area gisik ini juga telah dibangun gubuk sederhana untuk berteduh dari sengatan matahari dan hujan (Gambar 4). Namun demikian, akses untuk mencapai
71
gisik saku hanya bisa dilalui dengan jalan kaki melewati jalanan yang cukup terjal dan dengan petunjuk jalan yang masih minim.
Gambar 4. Gubuk di Pantai Wohkudu
Keaslian komponen abiotik (panorama alam), biotik (keberadaan monyet ekor panjang dan umang-umang yang ditunjukkan pada gambar 5) serta kultur setempat merupakan daya pikat dari wilayah gisik ini. Oleh karena itu beberapa pengunjung dan pedagang setempat berharap pengembangan wisata Pantai Wohkudu, tidak mengubah rona awal dari wilayah tersebut. Pembangunan yang diharapkan yakni berupa sarana dan prasarana penunjang pariwisata. Selain itu, pembinaan bagi masyarakat Desa Girikarto yang masih kental dengan tradisi untuk dapat terlibat dalam pengembangan wisata Pantai Wohkudu dan Kesirat juga diperlukan agar kapasitas dalam menghadapi ancaman juga meningkat seiring dengan adanya proteksi dari masyarakat.
Gambar 5. Umang-Umang (Kiri) dan Monyet Ekor Panjang (Kanan)
Lembah Perbukitan Karst. Bentuklahan Lembah perbukitan karst dapat ditinjau dari aspek potensi dan kekuatan dengan menggunakan analisis SWOT. Pantai Wohkudu dan Kesirat menjadi tempat tujuan yang cukup dinikmati oleh wisatawan dengan keindahan panorama alam yang masih 72
alami dan asri. Relief lembah perbukitan karst yang cenderung datar memiliki peluang yang cukup baik untuk dibangun beberapa warung sebagai keperluan para wisatawan dan juga tenda-tenda atau pondokan sebagai tempat bersantai. Wilayah ini juga berpotensi untuk dibangun toko sebagai pusat kegiatan ekonomi masyarakat (Gambar 6), namun penempatannya sebaiknya tidak berdekatan dengan tepi tebing untuk meminimalisir risiko terjadinya kecelakan akibat rockfall. Bentuklahan ini juga memiliki daya tarik sebagai tempat perkemahan. Namun kesadaran pengunjung terhadap lingkungan ketika berkemah di lembah perbukitan masih rendah, hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya sampah yang berserakan di area lembah.
Gambar 6. Bangunan Penunjang Wisata Pantai Kesirat dalam Proses Pembangunan dan Camping Ground
Area ini juga dapat digunakan sebagai tempat pemancingan karena lembah perbukitan karst berasosiasi dengan tebing yang menghadap ke laut. Namun pengembangan fasilitas di area ini harus mempertimbangkan keamanan dari wisatawan. Tepi lembah yang berdekatan dengan tebing memiliki tingkat kerawanan runtuhan batuan yang tinggi, sehingga perlu pembangunan pagar pembatas di tepi lembah. Kendala lain yang terdapat di Pantai Wohkudu dan Kesirat ini sebagian besar adalah masalah infrastruktur yang masih belum berkembang dengan baik dan fasilitas penunjang yang kondisinya kurang baik misalnya kondisi toilet pada gambar 7.
73
Gambar 7. Toilet (Kiri) dan Penampungan Air Hujan Sederhana (Kanan)
Kerucut Karst. Pengembangan kawasan pariwisata tidak terlepas dari aspek fisik. Bentuklahan merupakan aspek fisik yang menunjang potensi dan ancaman bahaya kawasan pariwisata. Wilayah kepesisiran Kesirat dan Wohkudu dibatasi oleh bentuklahan Kerucut Karst dengan puncak membulat. Kerucut Karst menjadi penghalang aktivitas laut ke daratan yaitu berupa angin. Kerucut Karst akan memecah angin yang berasal dari laut. Kerucut Karst di wilayah kepesisiran Wohkudu dan Kesirat memiliki ekosistem yang masih asri. Bentuklahan ini juga merupakan habitat monyet ekor panjang di wilayah kepesisiran Wohkudu. Kondisi tersebut menjadikan bentuklahan ini dapat dikembangkan menjadi tempat gardu pandang bagi pengunjung. Pembangunan gardu pandang di Kerucut Karst akan menambah daya tarik pengunjung karena panorama alam dapat terlihat lebih luas dari tempat yang lebih tinggi. Selain itu, pada salah satu area di Kerucut Karst Wilayah Kepesisiran Kesirat terdapat tempat pertapaan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Masyarakat mengeramatkan tempat tersebut, sehingga pada setiap bulan tertentu yakni sekitrar Sasi Rejeb hingga Ruwah (penanggalan Jawa) dilakukan acara Bubuh-Bubuh atau bersih desa yang diikuti dengan kenduri dan pementasan kesenian Jawa. Hal ini dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata di Kesirat dengan menonjolkan aspek budaya masyarakat sekitar. Kendala dalam pengembangan pariwisata pada bentuklahan Kerucut Karst ditunjukkan dari aspek fasilitas dan pemanfaatan lahan yang kurang maksimal oleh masyarakat. Beberapa warga sekitar telah menjual 75% lahan mereka di dekat pantai. Fasilitas seperti toilet dan warung sulit dikembangkan di wilayah ini. Pada bentuklahan ini proses pelarutan
74
batugamping juga intensif sehingga sewaktu-waktu dapat terjadi runtuhan batu, terutama pada lereng terjal yang mengapit gisik dan lembah Wohkudu. Tabel 1. Analisis SWOT untuk Pengembangan Wisata Pantai di Wilayah Kepesisiran Wohkudu dan Kesirat Geomorfologi No
Satuan Bentuklahan
Padanan unit
Potensi Kekuatan
Peluang
1
Kerucut Karst dengan puncak membulat (Pannekoek, 1939)
K2 (Norwadjedi, dkk., 2002)
1. Kondisi asri 2. Dapat dibangun gardu pandang 3. Habitat monyet ekor panjang (Wohkudu) 4. Terdapat tempat pertapaan Sri Sultan HB VIII (Kesirat)
1. Kawasan Perlindungan monyet (Wohkudu) 2. Kawasan wisata alam dan budaya (Kesirat) 3. Kawasan Pemancingan
2
Gisik Saku
M9 (Norwadjedi, dkk., 2002)
1. Peningkatan minat terhadap wisata panorama yang masih asri dan terjaga 2. Peningkatan kepedulian masyarakat, pemerintah dan akademisi terhadap pentingnya pembangunan berkelanjutan di sekitar objek wisata Pantai Wohkudu
3
Lembah Perbukitan Karst
K7 (Norwadjedi, dkk., 2002)
1. Panorama pasir putih yang bersih dan perairan yang masih jernih 2. Potensi sumberdaya manusia sebagai tenaga kerja di bidang pariwisata 3. Kuliner berbakai olahan lobster dan ikan serta makanan tradisional olahan hasil pertanian di sekitar wilayah kepesisiran 1. Pemandangan laut lepas yang berbatasan dengan tebing 2. Wilayah yang cukup luas dan asri.
1. Destinasi wisata alternatif dan alami 2. Pembangunan warung, tenda dan pondok untuk wisatawan. 3. Area memancing 4. Pengembangan pagar pembatas untuk keamanan
Sumber: Hasil Analisis, 2016
75
Tabel 2. Analisis SWOT untuk Pengembangan Wisata Pantai di Wilayah Kepesisiran Wohkudu dan Kesirat Geomorfologi No
Satuan Bentuklahan
Padanan unit
1
Kerucut Karst dengan puncak membulat (Pannekoek, 1939)
K2 (Norwadjedi, dkk., 2002)
2
Gisik Saku
M9 (Norwadjedi, dkk., 2002)
3
Lembah Perbukitan Karst
K7 (Norwadjedi, dkk., 2002)
Kendala Kelemahan 1. Tanah milik warga 75% dijual 2. Miskin sumber air 3. Infrastruktur sulit dikembangkan 4. Sultan Ground dan tanah desa belum termanfaatkan optimal. 1. Promosi wisata yang masih terbatas 2. Tim pengawas terhadap tindak kejahatan, asusila, dan perilaku pengunjung yang merusak keindahan lingkungan belum mencukupi 3. Sarana dan Prasarana kurang mendukung kegiatan wisata (jalan, tempat sampah, papan penunjuk jalan, dll) 4. Belum ada transportasi lokal yang berpotensi untuk dikembangkan sesuai dengan perkembangan aktivitas pariwisata 1. Prasarana belum tersedia dengan baik 2. Penunjuk arah dan rambu-rambu belum tersedia 3. Belum ada pihak yang bertanggung jawab untuk pengawasan dan keselamatan pengunjung 4. Akses menuju lembah hanya melalui jalan setapak
Ancaman 1. Rockfall 2. Kekeringa 3. Proses solusional intensif
1. Ancaman kerusakan lingkungan dan pertumbuhan penduduk 2. Tsunami
1. Kerusakan lingkungan oleh pengunjung yang berkemah tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan 2. Runtuhan tebing dapat mengancam keselamatan
Sumber: Hasil Analisis, 2016
76
5. KESIMPULAN Wilayah Kepesisiran Kesirat dan Wohkudu memiliki potensi pariwisata yang dapat bernilai tinggi apabila dilihat dari aspek daya tarik wisata yakni berupa panorama alam yang masih asri dan terjaga serta aspek budaya yakni ritual bubuh-bubuh dan keberadaan situs pertapaan. Namun demikian di sisi lain, terdapat aspek-aspek lain yang pada dasarnya merupakan tantangan bagi pengelola wisata pantai Kesirat dan Wohkudu, dalam hal ini pemerintah Desa Girikarto. Aspek-aspek tersebut diantaranya adalah aspek fisik yakni terkait dengan bahaya runtuhan batuan pada dinding tebing, gelombang tinggi dan keberadaan air bersih, aspek aksesibilitas serta aspek aktivitas dan fasilitas yang masih kurang memadai.
DAFTAR PUSTAKA Beatley, T., Brower, D. J., & Schwab, A. K. (1994). An Introduction to Coastal Zone Management. Washington DC: Island Press. Bengen. D. G. 2001. Sinopsis. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Bogor: PKSPL-IPB. Bird, E. 2008. Coastal Geomorphology, An Introduction Second Edition. New York: John Wiley & Sons. Bovy, M.B. & Lawson, F., 1977. Tourism and Recreation Development. Massachusetts: CBI Publishing Company. Kay, R. dan J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. London: E&FN Spon. Marfai, M. A., Cahyadi, A., Anggarini, D. F., 2013. Tipologi, Dinamika, Dan Potensi Bencana di Pesisir Kawasan Karst Kabupaten Gunungkidul. Forum Geografi, 27(2), hal: 151 – 162. McIntosh, R. dan Goeldner, C. (1990). Tourism Principles, Practices, Philosophies. New York: John Wiley and Sons Inc. Norwadjedi; Sukmatalya, I. N., Bumi, P. B., Amhar, F., S, Dewayany & Syarifudin. 2002. Struktur Basis Data Spasial Bentuklahan Skala 1: 50.000 / 1: 25.000. Jakarta: BAKOSURTANAL. Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, dan M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Noor, D. 2011. Geologi untuk Perencanaan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Panizza, M. 1996. Environmental Geomorphology. Amsterdam: Elsevier. Zuidam, V. R. A. & Van Zuidam-Cancelado, F.I. 1979. Terrain analysis and classification using aerial photographs. A geomorphological approach. ITC Textbook of Photo-interpretation. Enschede: ITC.
77
ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAS SERANG TERHADAP DISTRIBUSI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DI PERAIRAN PANTAI KABUPATEN DEMAK Bambang Sudarsono1, Abdi Sukmono2 , Jiyah3 Program Studi Teknik Geodesi Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Sudarto, SH, Kampus Undip Tembalang, Semarang, Indonesia 50275 E-mail :
[email protected] ,
[email protected] ,
[email protected]
ABSTRACT Subdistrict Wedung traversed by main rivers of the Serang watershed ie Wulan River which empties into the Northern Coast of Java, precisely in the coastal Subdistrict Wedung. The river estruary sedimentation has increased from year to year. Serang watershed has assigned as a priority watershed in 2016, which means its has no a good condition. So, it is important to do a research of the analysis of the effect of changes in land cover Serang watershed on the distribution of Total Suspended Solid in Demak Coastal especially in District of wedung. The researh was conducted temporally using Landsat imagery acquisition in 2003, 2013 and 2016. the distribution values of each year obtained with a calculation algorithm of the previous research that correlated with TSS insitu. the classification of the land cover of serang watershed obtained by supervised classification method using remote sensing software. Then the effect of changes of the land cover against of the distribution of TSS were analyzed using statistical software to known correlation. The results obtained are classes of land cover changes affect the value of TSS is settlements, forest and watershed Serang plantations. Correlation between the value of settlements land cover and distribution of TSS, forest and TSS, plantations and TSS, are respectively +0.945, -0.788, and -0.805. Keywords: (Total Suspended Solid, Coastal Subdistrict Wedung, Land Cover, Serang Watershed)
1. PENDAHULUAN Kecamatan Wedung dilalui oleh sungai utama dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Serang yaitu Sungai Wulan yang digunakan oleh para nelayan sebagai jalur menuju laut lepas. Sehingga sungai Wulan dan Perairan pesisir Wedung begitu penting agar selalu terjaga fungsinya. Namun berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Tenah Nomor 9 Tahun 2013 disebutkan bahwa Sungai Serang dan Sungai Wulan cenderung mengalami kerusakan dan pencemaran lingkungan. Salah satu indikasi adanya pencemaran pada sungai adalah tingginya sedimenasi atau material padatan tersuspensi dalam perairan.
78
Sungai Wulan sendiri merupakan cabang dari Sungai Serang yang bermuara di pesisir laut utara jawa Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak. Dalam tahun ketahun sedimentasi dari aliran air kedua sungai telah mampu membentuk delta yang kian meluas. Menurut Ruswanto (1996) perkembangan Delta Wulan sejak tahun 1920 telah diamati oleh ahli Belanda antara lain Hollerworgr, Van Bemmelem, dan Niermeyer (Vide Zen, 1970) yang menyebutkan bahwa antara tahun 1920 sampai 1940, perkembangan mencapai panjang 2.000 m dengan luas sekitar 3,8 km 2 (0,19/tahun). Kurun waktu berikutnya, antara tahun 1940 sampai dengan 1946, perkembangan semakin meningkat lagi, mencapai panjang 2.200 m dan luas mejadi 5,3 km2 (0,25 km/tahun). Perkembangan selanjutnya belum diketahui secara pasti, akan tetapi berdasarkan penafsiran citra landsat, menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Material padatan tersuspensi atau Total Suspended Solid (TSS) merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi heterogen, yang berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan (Tarigan dan Edward, 2003). TSS yang tinggi pun dapat menimbulkan dampak lain seperti disebutkan oleh Murphy (2007) dalam Helfinalis dkk. (2012) bahwa nilai konsentrasi padatan tersuspensi total yang tinggi dapat menurunkan aktivitas fotosintesa tumbuhan laut baik yang mikro maupun makro sehingga oksigen yang dilepaskan tumbuhan menjadi berkurang dan mengakibatkan ikan-ikan menjadi mati. Sehingga apabila konsentrasi TSS yang ada pada badan sungai terus bertambah dan mengalir ke lautan lepas dalam jangka waktu yang lama dapat menurunkan kualitas perairan pesisir Wedung pula. Materi padatan tersuspensi di perairan dapat dihasilkan dari outlet sungai yang membawa sedimen hasil erosi daerah atas (up land) atau bahan polusi, aktivitas pengembangan industri, hasil erosi dasar perairan atau makhluk hidup dalam perairan tersebut (Ritchie dkk., 1976 dalam Ratnasari, 2014). Jika materi padatan tersuspensi yang mengakibatkan terbentuknya Delta Wulan pada pesisir Wedung merupakan hasil erosi daerah atasnya, maka kemungkinan yang mempengaruhi akan hal ini adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Serang sebagai DAS yang melingkupi Kecamatan Wedung. Menurut BPDAS Pemali Jratun (2016) DAS Serang merupakan salah satu DAS di wilayah Pemali Jratun yang masuk dalam kategori DAS Prioritas yang berarti telah terjadi pergeseran penggunaan lahan atau perubahan tutupan 79
lahan sehingga DAS tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik seperti sebelumnya. Tutupan lahan DAS Serang dapat dipetakan secara temporal dengan menggunakan penginderaan jauh, sehingga dapat diketahui perubahannya. Distribusi TSS sebagai parameter besarnya sedimentasi pun dapat dipetakan secara temporal. Untuk kemudian dapat dilakukan analisis seberapa besar kontribusi perubahan tutupan lahan DAS Serang terhadap distribusi TSS di perairan pesisir Wedung yang terus meningkat. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka akan dilakukan penelitian dengan judul Analisis Perubahan Tutupan Lahan DAS Serang Terhadap Distribusi TSS di Perairan Pantai Kabupaten Demak. Dari hasil penelitian diharapkan dapat menjadi pertimbangan pengambilan keputusan dalam pengelolaan DAS Serang agar tidak mengganggu kualitas dari perairan pantainya.
2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Total Suspended Solid (TSS) Total Suspended Solid (TSS) atau muatan padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 μm) yang tertahan pada saringan miliopore dengan diameter pori 0.45 μm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik. Penyebab TSS di perairan yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Konsentrasi TSM apabila terlalu tinggi akan menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis (Effendi, 2000). Siswanto (2004) menyebutkan bahwa konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) ditemukan pada daerah muara sungai dan sepanjang pantai yang mengalami sedimentasi yang tinggi. 2.2 Pemetaan TSS secara temporal Pemetaan TSS secara temporal dapat dilakukan dengan melakukan ekstraksi data citra menggunakan algoritma-algoritma dari penelitian sebelumnya yang telah dikorelasikan dengan data lapangan. Algoritma yang sudah ada dan bisa digunakan diantaranya yaitu algoritma dari Sturn, Hasyim, Parwati, dan yang lainnya. Simbolon, dkk., (2015) dalam penelitiannya untuk mengetahui pola sebaran sedimen tersuspensi di perairan muara sungai Banyuasin menggunakan empat algoritma TSS yang berbeda dengan salah satunya adalah algoritma TSS dari Sturn. Berikut rumus dari algoritma Sturn yang 80
digunakan oleh Simbolon, F dkk dan diterapkan pada Landsat 7 ETM+ dalam penelitiannya :TSS (mg/L) =0,4 *(Radian b1 – Radian b2) – 0,88. Simbolon, dkk., (2015) pun mencobakan algoritma yang perhitungannya berdasarkan nilai digital number dari Hasyim. Algoritmanya yaitu: TSS(mg/L)=100,66 +5,01*b3 +0,46*(b3)^2 + 0,92*(b2*b3). 2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS) Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 2.4 Pemetaan tutupan lahan Tutupan lahan dikatakan memiliki nilai kedekatan dengan kenampakan objek-objek, baik yang natural maupun hasil rekayasa manusia, dipermukaan bumi (Campbell. 1983 dalam Lo,1995). Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penutupan lahan diantaranya adalah pertumbuhan penduduk, mata pencaharian, aksesibilitas, dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah. Wijaya (2004). Dengan penginderaan jauh, pemetaan tutupan lahan dapat dilakukan dengan metode klasifikasi supervised. Menurut Ardiansyah (2015), teknik klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) dilakukan dengan prosedur pengambilan sampel beberapa piksel untuk masing-masing kelas / obyek. Region of Interest (ROI) ini digunakan untuk mendapatkan karakteristik nilai piksel di masing-masing obyek / kelas. Keseluruhan piksel yang tidak termasuk nilai piksel sampel akan dikelompokan dengan referensi nilai piksel yang telah diambil dengan menerapkan perhitungan statistik. Secara umum klasifikasi bertujuan untuk mengeneralkan tampilan citra satelit mentah (tampilan RGB) yang terkesan rumit menjadi sebuah informasi spasial yang mudah untuk diinterpretasi dan mudah untuk dipahami.
3. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi penelitian untuk pemetaan distribusi TSS merupakan daerah perairan pesisir di wilayah Kabupaten Demak yang merupakan muara dari Sungai Wulan dan Serang yang merupakan sungai utama dari DAS Serang. 81
Sedangkan lokasi penelitian untuk pemetaan tutupan lahan adalah DAS Serang yang merupakan DAS lintas Kabupaten dengan meliputi wilayah Kabupaten Demak, Kabupaten Jepara, Kabupaten Kudus, Kabupaten Blora, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Sragen, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Secara administratif DAS Serang terletak pada koordinat 6° 35' 58'' - 7° 27' 44'' Lintang Selatan dan 110° 26' 22'' - 111° 34' 17' Bujur Timur. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra Landsat7 dan Landsat 8 dengan akuisisi tahun 2003, 2013, 2013, dan data lainnya seperti Peta Rupa Bumi Skala 1:25.000, serta data hasil surei lapangan yaitu sampel air dan tutupan lahan di lapangan. Dari data yang ada dilakukan ekstraksi data (konversi nilai digital number) hingga didapatkan nilai TSS menggunakan algoritma dari penelitian-penelitian sebelumnya dan perubahan tutupan lahan DAS secara temporal pada tahun 2003, 2013 dan 2016. Pendugaan nilai distribusi TSS pertama kali dilakukan pada citra landsat 8 akuisisi tanggal 29 April 2016 menggunakann beberapa algoritma pendekatan diantaranya algoritma dari Parwati, Hasyim, Indah, dan Sturn. Pemilihan algoritma yang paling cocok untuk merepresentasikan keadan konsentrasi TSS dilapangan dilakukan dengan menggunakan regresi linier antara TSS hasil perhitungan masing-masing algoritma pada citra dan TSS insitu hasil survei lapangan sampel air yang dilakukan pada tanggal akuisisi citra. Model algitma baru akan dihasilkan dari regresi linier dan diterapkan kembali pada citra Landsat akuisisi tahun 2016, 2013, dan 2003 yang digunakan. Sedangkan, klasifikasi tutupan lahan yang digunakan yaitu supervised classification. Adapun diagram alir pelaksanaan penelitian ada pada Gambar 1.
82
Gambar 1. Diagram alir penelitian
4. PEMBAHASAN 4.1 Distribusi TSS secara temporal Pembuatan model persamaan baru dilakukan dengan meregresi hasil perhitungan algoritma TSS dari penelitian sebelumnya dengan TSS hasil uji sampel air yang berjumlah 16 titik sampel. Algoritma yang digunakan yaitu algoritma dari Sturn yang perhitungannya berdasarkan nilai radian citra, Algoritma Parwati berdasarkan nilai reflektansi citra, algoritma Hasyim berdasarkan nilai digital number, dan Indah yang perhitungannya berdasarkan nilai kromatisi band biru. Nilai TSS dari setiap titik sampel 83
berdasarkan hasil perhitungan algoritma maupun pengujian laboratorium disajikan dalam Tabel 1. Pengujian sampel air dilakukan di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Dimana estimasi nilai TSS diperoleh dengan cara menghitung perbedaan antara padatan terlarut total dan padatan total menggunakan rumus (SNI 06-6989.3-2004). Regresi penentuan model persamaan untuk perhitungan TSS di perairan pantai Kecamatan wedung dilakukan antara hasil hitung algoritma pada Landsat 8 akuisisi tanggal 28 April 2016 dan nilai TSS hasil pengujian sampel air dari laboratorium FPIK. Tabel 1: Nilai TSS pada titik sampel air
Berdasarkan hasil regresi seperti pada Gambar 2, maka model persamaan baru yang digunakan yaitu TSS = -140,8x + 913,8 yang merupakan model persamaan baru dari hasil perhitungan algoritma Sturn.
84
Gambar 2. Hasil regresi nilai TSS dan insitu
Distribusi TSS pada tahun 2003, 2013, dan 2016 seperti pada Gambar 3 dan disajikan pula perubahan luasan areanya dalam persentase (%) disetiap rentang kelas pada gambar 4.
(a)
(b)
(c) Gambar 3. TSS tahun 2003 (a), tahun 2013 (b), dan tahun 2016 (c)
85
Gambar 4. Diagram perbandingan luas sebaran TSS tahun 2003, 2013, 2016
Distribusi TSS tahun 2003, 2013, 2016 berdasarkan kelas-kelas konsentrasi TSS yang dibuat mengalami fluktuasi seperti yang disajikan dalam Tabel 2. Pada konsentrasi <0 mg/l luas areanya semakin meningkat dari tahun ke tahun dan tersebar kearah laut lepas. Luas area dengan konsentrai 0 – 50 mg/l mengalami penurunan. Luas area dengan konsentrasi 50 – 100 mg/l mengalami kenaikan pada tahun 2003 ke tahun 2013, namun kemudian naik pada tahun 2013 ke 2016. Luas area pada konsentrasi 100 – 500 mg/l mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Kemudian pada konsentrasi 500 – 1000 mg/l mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Gambaran fluktuasi konsentrasi TSS yang terlihat pada diagram pada gambar4dapat ketahui bahwa secara keseluruhan sebaran konsentrasi TSS di perairan pantai Kecamatan Wedung berturut-turut dari tahun 2003, 2013, dan 2016 telah mengalami penurunan. Diasumsikan bahwa pergerakan konsentrasi TSS dengan rentang konsentrasi rendah meningkat mendekati konsentrasi 100 – 500 mg/l dan konsentrasi yang lebih tinggi yaitu dari konsentrasi 500 -1000 mg/l menurun mendekati konsentrasi 100 – 500 mg/l. Tabel 2: Luas sebaran TSS tahun 2003, 2013, 2016 TSS (mg/l) <0 0 – 50 50 – 100 100 – 250 250 – 500 500 – 750 750 – 1000 >1000
2003 28,30 8,24 6,77 17,52 20,96 11,50 6,38 0,33
Luas (%) 2013 36,614 6,908 5,980 20,445 18,517 10,492 1,043 0,001
2016 37,494 5,900 7,074 23,378 20,116 5,829 0,209 0,000
86
4.2 Tutupan lahan DAS Serang secara Temporal Hasil pemetaan klasifikasi tutupan lahan DAS Serang tahun 2003, 2013, dan 2016 dari citra satelit Landsat disajikan dalam Gambar 5, Gambar 6, dan Gambar 7.
Gambar 5. Peta klasifikasi tutupan lahan 2003
Gambar 6. Peta klasifikasi tutupan lahan 2013
87
Gambar 7. Peta klasifikasi tutupan lahan 2016
Tutupan lahan DAS Serang dari tahun 2003 ke tahun 2013 dan 2016 mengalami perubahan yang cukup signifikan. Terjadi kenaikan luas area tutupan lahan pada kelas tutupan lahan Pemukiman, dan Penurunan pada tutupan lahan hutan, lahan kosong perkebunan. Sedangkan pada kelas perairan, sawah, semak, dan tambak, mengalami fluktuasi. Perubahan luas area pada masing-masing kelas tutupan ada pada Gambar 8.
Gambar 8. Grafik perubahan tutupan lahan tahun 2003, 2013, dan 2016
Luas area yang mengalami kenaikan diikuti dengan berkurangnya tutupan yang lain seperti hutan, lahan kosong, dan perkebunan menunjukkan perubahan dalam penggunaan tutupan lahan. Hutan, lahan kosong, dan perkebunan mulai diubah kegunaannya untuk pemukiman yang kemungkinan besar diakibatkan oleh jumlah masyarakat di daerah DAS Serang meningkat sehingga kebutuhan akan tempat tinggal pun meningkat. 88
4.3 Pengaruh perubahan tutupan lahan DAS terhadap distribusi TSS Untuk melihat pengaruh perubahan tutupan lahan DAS Serang terhadap distribusi TSS perairan Demak, dilakukan uji statistik berupa uji korelasi. Data yang digunakan dalam uji statistik ini yaitu data luas tutupan lahan disetiap kelas tutupan dari 3 tahun penelitian (2003, 2013, dan 2016) dan persentase luas area konsentrasi TSS pada rentang nilai 100 – 500 mg/l. Penggunaan data TSS pada rentang tertentu dalam analisis ini dilakukan dengan pertimbangan kisaran nilai TSS insitu yang didiperoleh dan karena daerah sebaran TSS pada rentang tersebut berada pada lokasi-lokasi yang mendekat daratan atau muara dari sungai yang ada pada DAS sehingga diperkirakan pengaruh dinamika laut terhadap persebarannya dianggap kecil. Tabel 3: Hasil uji korelasi Pearson TSS Pemukiman
Pearson Correlation
.945
Sig. (2-tailed)
.211
N Hutan
-.788
Sig. (2-tailed)
.422
N Sawah
.151
Sig. (2-tailed)
.903
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Perkebunan
3 -.805 .404 3
Pearson Correlation
-.327
Sig. (2-tailed)
.788
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Semak belukar
.673
Sig. (2-tailed)
N Badan Air
3 -.491
Pearson Correlation N
Tambak
3
Pearson Correlation N
Lahan_kosong
3
Pearson Correlation
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
3 -.204 .869 3 -.194 .876 3
89
Hasil uji korelasi yang telah dilakukan tidak terlalu menunjukkan adanya korelasi yang tinggi pada semua data perubahan area tutupan lahan terhadap perubahan nilai TSS. Korelasi yang erat hanya terjadi pada perubahan luas area pemukiman, hutan, dan perkebunan terhadap perubahan nilai TSS. Nilai signifikansi yang didapat dalam setiap uji korelasi yang dilakukan pun tidak ada ang kurang dari 0,05 sehingga korelasi yang ada masih belum bisa dikatakan signifikan. Dalam hal ini berarti perubahan luasan tutupan lahan tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan distribusi di perairan Kecamatan Wedung. Dari hasil korelasi, hanya didapatkan 3 dari 8 kelas tutupan lahan yang berkorelasi dengan perubahan nilai distribusi TSS. Sehingga diduga, pengaruh dari dinamika laut masih dominan mempengaruhi pergerakan TSS di perairan pesisir Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak. Seperti yang dinyatakan oleh Suryono (2006) dalam penelitiannya di perairan Delta Wulan Demak menunjukkan bahwa daerah tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi laut terlihat dari salinitas berkisar antara 26 – 31,5 ppt. Hal ini dapat dimengerti karena aliran air tawar dari Sungai Wulan sebagai pensuplai air tawar utama relatif kecil debitnya bila dibandingkan dengan pengaruh pasang yang berjalan terus, ditambah kemiringan dari pantai atau daratan disekitar delta wulan relatif rendah sehingga pengaruh pasang surut sangat dominan.
5. KESIMPULAN Tutupan lahan DAS Serang dari tahun 2003 ke tahun 2013 dan 2016 mengalami perubahan yang cukup signifikan. Terjadi kenaikan luas area tutupan lahan pada kelas tutupan lahan Pemukiman, dan Penurunan pada tutupan lahan hutan, lahan kosong perkebunan. Sedangkan pada kelas perairan, sawah, semak, dan tambak, mengalami perubahan luas yang fluktuatif. Sebaran TSS di perairan pantai Kecamatan Wedung pada tahun 2003, 2013, 2016 mengalami fluktuasi. Berdasarkan rentang kelas yang telah dibuat luas area untuk konsentrasi TSS <0 mg/l semakin meningkat dari tahun ke tahun tersebar kearah laut lepas. Kemudian luas area dengan konsentrai 0 – 50 mg/l mengalami penurunan, konsentrasi 50 – 100 mg/l mengalami kenaikan pada tahun 2003 ke tahun 2013 kemudian naik pada tahun 2013 ke 2016, konsentrasi 100 – 500 mg/l meningkat dari tahun ke tahun dan yang terakhir konsentrasi 500 – 1000 mg/l dari tahun ke tahun pun mengalami penurunan. Perubahan luasan tutupan lahan DAS tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan distribusi di perairan Kecamatan Wedung. Dari hasil uji korelasi, 90
korelasi yang erat hanya terjadi pada perubahan luas area pemukiman, hutan, dan perkebunan terhadap perubahan nilai TSS. Nilai signifikansi yang didapat dalam setiap uji korelasi yang dilakukan pun tidak ada yang kurang dari 0,05 sehingga korelasi yang ada masih belum bisa dikatakan signifikan.
DAFTAR PUSTAKA Ardiansyah. 2015. Pengolahan Citra Penginderaan Jauh Menggunakan ENVI 5.1 dan ENVI LIDAR. Jakarta : PT. Labsig Inderaja Islim. Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Helfinalis, Sultan dan Rubiman. 2012. Padatan Tersuspensi Total di Perairan Selat Flores Boleng Alor dan Selatan Pulau Adonara Lembata Pantar. Vol.17 (3) 148153pp. Lo, C.P., 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Jakarta: UI-Press. Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2013 tentang Peruntukan Air dan Pengelolaan Kualitas Air Sungai Serang dan Sungai wulan di Provinsi Jawa Tengah. Ratnasari, R.N. 2014. Studi Sebaran Konsentrasi Material Padatan Tersuspensi Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 Di Perairan Teluk Balikpapan Kalimantan Timur. Skripsi. FPIK. UNDIP. Semarang. Simbolon, F., dkk. 2015. Analisis Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh di Perairan Muara Sungai Banyuasin. Maspari Journal, 7(2);1-10. Siswanto, A.D. 2009. Kajian Total Suspended Solid (TSS) di Perairan Pantai Kecamatan Kwanyar Bangkalan. SENTA. ITS. Standar Nasional Indonesia SNI 06-6989.3-2004. Air dan air limbah- Bagian 3: Cara uji padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid, TSS) secara gravimetric. Suryono. 2006. Ekologi Perairan Delta Wulan Demak Jawa Tengah: Distribusi Kepiting (Infra Ordo Brachyura dan Anomura) di Kawasan Mangrove. Jurnal Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro. Semarang. Tarigan, M.S dan Edward. 2003. Kandungan Total Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid) di Perairan Raha Sulawesi Tenggara. Jurnal Makara. Sains, Vol.7, No. 3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Wijaya, C.I. 2004. Analisis Perubahan Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Jawa Barat Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
91
PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN GARIS PANTAI DAN DAERAH TERDAMPAK DI SEPANJANG WILAYAH KEPESISIRAN KOTA SEMARANG Dwiki Apriyana1*, Alifi Rehanun Nisya1, Bagus Septiangga1, Rutsasongko Juniar Manuhana1 1, Departemen
Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada *E-mail :
[email protected]
ABSTRACT Coastal area is a very dynamic region with many geomorphological processes, such as erosion-sedimentation, sea level rise, human activity, and nearshore-circulation. One of the changes that is examined in dynamics of coastal is shoreline changes. One of the region that have the complex dynamics processes of the coastal is Semarang City. The anthropogenic factors and physical factors are the dominant factor that affected the shoreline changes. The development of this big city tend to ignore environmental conditions coastal thus affecting shoreline change in Semarang. This conditions necessarily threaten villages on the coast that will also receive a negative impact from coastal disaster. Shoreline changes in Semarang can be observed by remote sensing technology that able to monitor the spatio-temporal changes of the shoreline. Landsat imagery is able to record and describe the spatial conditions of the susceptibility area that have been changes in the Semarang shoreline. Based on the results of spatiotemporal monitoring since 1992 until 2015, there are 10 villages in Semarang City that have high susceptibility from shoreline change. Terboyo Kulon village was the most affected village which 58.97% (155.48 Ha) of their area was drowned because the erosion processes. Keywords: Coastal Dynamic, Shoreline Changes, Landsat, Susceptibility.
1. PENDAHULUAN Kajian morfodinamika pantai membahas tentang pembentukan dan perkembangan bentanglahan kepesisiran (Bird, 2008). Bentanglahan kepesisiran memiliki dinamika yang tinggi seiring dengan perkembangan wilayahnya. Wilayah kepesisiran sebagai pembatas antara daratan dan lautan dalam perkembangannya banyak dipengaruhi banyak hal, baik secara fisik maupun sosial. Keduanya memberikan pandangan menarik dalam kajian morfodinamika pantai. Kota Semarang merupakan salah satu kota yang berada di wilayah pesisir Utara Jawa dengan dinamika yang tinggi. Tingginya proses erosisedimentasi di pesisir Utara Semarang mengakibatkan terjadinya perubahan garis pantai dari waktu ke waktu. Monitoring perubahan garis pantai menjadi hal yang cukup penting untuk dikaji seiring dengan perkembangan Kota Semarang yang semakin intensif secara sosial dan ekonomi. 92
2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dinamika Wilayah Kepesisiran Sunarto, dkk (2014) menjelaskan bahwa wilayah kepesisiran didefinisikan sebagai daerah peralihan antara darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan yang terbentuk oleh asal proses marin, adapun pada batas wilayah ke arah laut adalah lokasi terbentuknya gelombang pecah. Adapun apabila ditinjau dari sudut pandang kebijakan pengelolaan, definisi wilayah kepesisiran meliputi jarak tertentu dari garis pantai kearah darat dan jarak tertentu kearah lautan. Definisi tersebut bergantung pada isu yang akan dibicarakan dan faktor geografis yang relevan dengan karakteristik bentangalam pantai (Winarto, 2012). Adapun Arnott (2010) menjelaskan bahwa dinamika kepesisiran dikontrol oleh tiga faktor utama yaitu faktor fisik dari darat yang mencakup geologi, geomorfologi dan perubahan muka air laut isostatic; faktor fisik dari laut mencakup gelombang, pasangsurut, efek es (glasial), erosi, dan sedimentasi pantai; faktor biotik mencakup keterdapatan beberapa unsur biota seperti mangrove, terumbu karang, dan tumbuhan pada gumuk pasir. 2.2 Sistem Informasi Geografis dan Citra Landsat Sistem informasi geografi merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk memahami dan menganalisis obyek geografi di permukaan bumi, kunci fundamental dari SIG adalah data SIG tersebut harus memiliki referensi terhadap suatu tempat di permukaan bumi melalui suatu sistem koordinat tertentu (Marfai, 2011). Salah satu perkembangan teknologi di keilmuan geografi juga terdapat pada bidang penginderaan jauh melalui citra foto mapun citra satelit (Soenarmo, 2009). Pengolahan data yang dilakukan dalam SIG mencakup input data, penyimpanan, retrieval dan output (Prahasta, 2002). Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu fasilitas untuk mempersiapkan, mempresentasikan, dan menginterpretasikan fakta-fakta (kenyataan) yang terdapat di permukaan bumi. Salah satu wahana citra satelit yang paling umum digunakan adalah citra Landsat. Citra Landsat mulai dioperasikan mulai tahun 1972 dan telah melakukan regenerasi sebanyak tiga kali yaitu RBV, MSS, dan TM hingga saat ini (Soenarmo, 2009). Sensor yang digunakan pada MSS terdiri atas 4 kanal dan pada TM terdiri atas 7 kanal. Adapun menurut radiometer yang digunakan pada MSS menggunakan radiometer 7 bit atau memiliki 128 tingkat keabuan dan pada 93
TM menggunakan radiometer 8 bit atau memiliki 256 tingkat keabuan. Gradasi keabuan inilah ya ng dapat digunakan salah satunya untuk membedakan antara laut dan daratan.
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kajian Kota Semarang memiliki luas wilayah 373,70 km2. Kota Semarang memiliki posisi absolut di antara garis 6050’ – 7010’ Lintang selatan (LS) dan 109035’ – 110050’ Bujur Timur (BT). Pada tahun 1980, luas genangan banjir rob di Kota Semarang mencapai luas sekitar 762,78 ha, dan umumnya terjadi pada satuan bentuklahan yang lain di sekitarnya. Posisi Kota Semarang yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa membuat Kota Semarang kerap mengalami fenomena banjir rob. Banjir genangan pada tahun 1987 telah meluas ke daerah satuan lahan lain yang sebelumnya tidak pernah terkena banjir. Luas lahan yang terkena banjir genangan pada pusat kota antara Banjir Kanal Barat hingga Banjir Kanal Timur mencapai sekitar 1.211,70 ha (Ongkosono dan Suyarso, 1989). Peta lokasi kajian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Wilayah Kajian Kota Semarang (Sumber: Peta Rupabumi Indonesia lembar Tugu 1409-221 skala 1:25.000)
94
3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian tentang perubahan garis pantai dan desa pesisir tangguh adalah sebagai berikut. 1) Citra landsat 5 dan 8 2) Peta Rupabumi Indonesia lembar Tugu 1409-221 skala 1:25.000 3) Perangkat lunak ENVI 4.5 4) Perangkat lunak ArcMap 10.2 3.3 Metode Pengolahan Data Pemantauan garis pantai di sepanjang wilayah kepesisiran dilakukan dari tahun 1992-2015 menggunakan citra landsat 5 TM untuk tahun 1992 dan citra landsat 8 OLI/TIRS untuk tahun 2015. Metode band ratio dan histogram threshold digunakan untuk pemisahan tubuh air dan darat. Rasio band yang digunakan yaitu 4/2 untuk citra landsat 5 TM dan 5/2 untuk citra landsat 8 OLI/TIRS. Penggunaan band ratio tersebut paling cocok untuk ekstraksi garis pantai. Hasil ekstraksi pada masing-masing tahun 1992 dan 2015 di overlay sehingga akan terlihat perubahan garis pantai yang terjadi. Penampalan garis pantai dengan peta administrasi desa akan menghasilkan luas area desa yang terdampak erosi pantai. Secara sistematis pengolahan data dapat dilihat pada Gambar 2. berikut.
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
95
4. PEMBAHASAN 4.1 Analisa Perubahan Garis Pantai Secara Spasio-Temporal di Wilayah Kepesisiran Semarang Garis pantai merupakan salah satu fenomena yang paling dinamis di wilayah kepesisiran. Letaknya sebagai pembatas bagi darat dan laut menjadikan wilayah ini banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor baik faktor fisik maupun faktor antropogenik. Dinamika yang terjadi pada garis pantai dapat diamati melalui beberapa cara, salah satunya menggunakan pendekatan spasio-temporal. Pemanfaatan citra penginderaan jauh sebagai alat bantu pemantauan perubahan garis pantai mampu menggambarkan kondisi garis pantai menurut ruang dan waktu. Citra yang digunakan dalam penelitian yaitu Citra Landsat 5 TM (Thematic Mapper) tahun 1992 dan Landsat 8 OLI TIRS tahun 2015, dengan memanfaatkan band spektral dari kedua citra tersebut maka penentuan garis pantai dapat ditentukan secara objektif. Band spektral yang digunakan untuk mendelineasi garis pantai pada Citra Landsat 5 TM yaitu dengan menggunakan band ratio 4/1 dan pada Landsat 8 OLI TIRS menggunakan band ratio 5/2. Pemilihan band ini dilakukan berdasarkan kepekaan spektral band dalam membedakan antara kenampakan air dan daratan. Band 4 pada Landsat 5 TM dan band 5 pada Landsat 8 OLI TIRS memiliki kemampuan dalam membedakan antara laut dan daratan sehingga mampu mempertegas dalam penentuan garis pantai. Adapun pada band Band 1 pada Landsat 5 TM dan band 2 pada Landsat 8 OLI TIRS biasa digunakan untuk analisis dan pembuatan peta batimetri. Hasil analisis data pada perubahan garis pantai secara kualitatif menunjukkan terjadinya erosi pantai yang dominan, hal ini dapat dilihat berdasarkan Gambar 3. Peta Perubahan Garis Pantai Kota Semarang Tahun 1992-2015 berikut.
96
Gambar 3. Peta Perubahan Garis Pantai Kota Semarang Tahun 1992-2015 (Sumber: Hasil Analisis Data, 2016)
Berdasarkan Gambar 3. dapat diketahui bahwa secara spasial erosi pantai terjadi pada bagian pantai timur dan barat wilayah kajian. Hal ini salah satunya terjadi akibat munculnya reklamasi yang berada di Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Semarang Barat. Munculnya reklamasi tersebut menyebabkan terjadinya pembelokan arus susur pantai. Bangunan yang terbuat dari pondasi kuat tersebut mampu menahan arus yang datang dan membelokkannya ke arah timur maupun barat sehingga menyebabkan erosi pantai yang sangat cepat dalam waktu yang relatif singkat. Kondisi yang terjadi pada garis pantai Kota Semarang menyebabkan terjadinya pemunduran garis pantai secara intensif. Mundurnya garis pantai tersebut berdampak pada hilangnya daratan yang berubah menjadi perairan laut dangkal. Hal ini tentunya mengancam kehidupan di daratan bahkan hingga dapat mematikan mata pencaharian yang berada di wilayah kepesisiran Kota Semarang. Hasil pemantauan terhadap kondisi penggunaan lahan di wilayah kepesisiran Kota Semarang digambarkan melalui Gambar 4.
97
Gambar 4. Persentase Luas Penggunaan Lahan Terdampak Erosi Pantai (Sumber: Hasil Olah Data, 2016)
Berdasarkan Gambar 4. dapat ditemui bahwa penggunaan lahan yang paling terdampak adalah tambak. Kondisi tersebut terjadi karena tambak merupakan penggunaan lahan yang berbatasan langsung dengan laut. Nilai tambak mencapai 92,8% dari total penggunaan lahan yang terdampak. Hilang ataupun rusaknya tambak tersebut tentunya menyebabkan hilangnya mata pencaharian bagi masyarakat yang bekerja di sektor tambak, untuk mengurangi risiko bencana kepesisiran diperlukan adanya suatu program yang fokus terhadap daerah-daerah dengan kerawanan yang tinggi. 4.2 Analisa Daerah Terdampak Perubahan Garis Pantai Kerawanan bencana kepesisiran di Kota Semarang perlu dikaji secara detail hingga tingkat desa. Peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana kepesisiran sangat diperlukan untuk mengurangi risiko bencana kepesisiran. Inovasi berupa teknik penginderaan jauh mampu membantu dalam menentukan daerah-daerah yang berada di wilayah kerawanan bencana kepesisiran yang tinggi bahkan hingga tingkat desa. Penentuan desa dengan berbagai tingkat kerawanan ditentukan berdasarkan luas wilayah terdampak serta berdasarkan persentase wilayah terdampak terhadap luas tiap desa. Berikut merupakan Gambar 5. yang menggambarkan kondisi daerah terdampak perubahan garis pantai di Kota Semarang.
98
Gambar 5. Peta Daerah Terdampak Perubahan Garis Pantai Kota Semarang Tahun 1992-2015 (Sumber: Hasil Analisis Data, 2016)
Hasil analisis perubahan garis pantai pada di wilayah kajian menunjukkan terjadinya erosi pantai dengan nilai sebesar 1526,05 Ha yang secara keruangan berdampak terhadap 10 desa yang berada di wilayah kepesisiran Kota Semarang. Berikut Tabel 1 yang menunjukkan terjadinya erosi pantai menurut desa di wilayah kepesisiran Kota Semarang. Tabel 1. Tabel Wilayah Terdampak Erosi Pantai Wilayah Kepesisiran Kota Semarang Tahun 1992-2015.
(Sumber: Hasil Olah Data, 2016)
Berdasarkan Tabel 1. dapat diketahui bahwa daerah dengan luas wilayah terdampak paling besar adalah Desa Randu Garut dimana daerah ini mengalami kehilangan luas lahan sebesar 208,80 Ha dan Desa Mangunharjo 99
menjadi desa peringkat kedua yang wilayahnya terdampak erosi pantai dengan nilai sebesar 201,77 Ha. Kondisi lain apabila ditinjau berdasarkan persentase wilayah terdampak erosi pantai pada tiap desa menunjukkan bahwa Desa Terboyo Kulon menjadi desa yang paling rawan terhadap perubahan garis pantai karena 58,97% dari wilayahnya mengalami erosi pantai dan diikuti oleh Desa Terboyo Wetan yang 57,54% dari total wilayahnya mengalami erosi pantai.
5. KESIMPULAN Hasil pengamatan secara spasio-temporal melalui Citra Landsat terhadap perubahan garis pantai Kota Semarang menunjukkan terdapat 10 desa yang memiliki tingkat kerawanan yang tinggi. Desa tersebut antara lain Karanganyar, Mangkang Kulon, Mangkang Wetan, Mangunharjo, Randu Garut, Tanjung Mas, Terboyo Kulon, Terboyo Wetan, Trimulyo, dan Tugurejo. Desa Terboyo Kulon menjadi desa yang paling rawan terhadap perubahan garis pantai karena 58,97% dari wilayahnya tenggelam akibat erosi pantai dan diikuti oleh Desa Terboyo Wetan yang 57,54% dari total wilayahnya mengalami erosi pantai.
DAFTAR PUSTAKA Arnott,R D. (2010). Introduction to Coastal Processes and Geomorphology. New York: Cambridge University Press. Bird, E. C. F (2008). Coastal Geomorphology: An Introduction, 2nd Edition. Melbourne: Wiley Inc. Marfai, M.A. (2011). Pengantar Pemodelan Geografi. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi. Ongkosono, J.S.R dan Suyarso. 1989. Pasang Surut. Jakarta: Puslitbang Oseanografi LIPI. Prahasta, Edi. 2002. Konsep Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung : CV. Informatika. Soenarmo, S. H. (2009). Penginderaan Jauh dan Pengenalan SIstem Informasi Geografis Untuk Bidang Ilmu Kebumian. Bandung: Penerbit ITB Bandung. Sunarto, Marfai, M.A, Setiawan, M.A. (2014). Geomorfologi dan Dinamika Pesisir Jepara. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Winarto, D.A. (2012). Kajian Perubahan Garis Pantai Kota Semarang dan Konsep Penanggulangannya Berdasarkan Analisis Kerentanan. Thesis: Fakultas Geografi UGM
100
PREDIKSI PERKEMBANGAN PENGGUNAAN LAHAN PERMUKIMAN TERDAMPAK BANJIR ROB DI PESISIR KOTA SEMARANG Trida Ridho Fariz1, Muhammad Fuad Hasan2, Dwi Fathimah Zahra3 Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang
1,2,3Jurusan
Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT The on of problem in he lower Semarang City is a tidal flood. The purpose of this research is 1) Predict settlement land change, 2) Predict settlement area affected tidal flood. This research use integration between cellular automata markov and logistic binary regression. The result of this research is landuse predict with cellular automata markov and logistic binary regression show the settlement area in semarang coastal on 2025 amount 1012,85 Ha. Based on 3 orde spatial interpolation analysist on settlement show landuse change into settlement mostly in Genuk Regency, West Semarang Regency, Gayamsari Regency and Pedurungan Regency. It cause more widespread settelement area affected tidl flood. The result of prediction show on 2025, settelement affected tidal flood area is 127,08 Ha. West Semarang Regency is area predicted with large settlement affected tidal flood, it cause directon of settlement land change many are near costal area. Keyword: Cellular Automata Markov, Logistic Binary Regression, Tidal Flood, Settlement, Coastal Area
1. PENDAHULUAN Banjir Pasang Surut atau ROB merupakan fenomena yang selalu terjadi di Kota Semarang bagian utara. Dari tahun ke tahun, frekuensi kejadian ROB semakin meningkat dan cenderung semakin meluas. Hal ini karena adanya penurunan muka tanah yang mencapai 3 sampai 15 cm per tahun, dan perilaku oceanografi dan klimatologi di Semarang dan sekitarnya (Bakti, 2010). Berdasarkan perda kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011 tentang RTRW kota Semarang tahun 2011-2031 sebaran kawasan rawan bencana rob di kota Semarang meliputi kecamatan Semarang Barat, Semarang Tengah, Semarang Utara, Semarang Timur, Genuk, Gayamsari dan Tugu. Genangan banjir pasang surut yang terbesar terjadi di pusat kota yang diapit oleh Kanal Barat dan Kanal Timur. Daerah tersebut didominasi oleh permukiman, kawasan perdagangan, perindustrian, dan obyek-obyek strategis bagi pemerintahan dan perekonomian kota Semarang. 101
Semarang adalah kota yang terus bertransformasi, Dari segi sosial yaitu jumlah penduduk semakin meningkat dan kawasan terbangun terus tumbuh terutama ke arah selatan dan timur. Oleh karena itu kota Semarang perlu menyiapkan diri untuk perubahan dan tantangan yang akan terus menerpa. Upaya ini didorong melalui keikutsertaan Semarang dalam jaringan 100RC pada bulan Desember Tahun 2014 (Pemerintah Kota Semarang, 2016). Semarang adalah kota pertama di Indonesia yang meluncurkan Strategi Ketahanan Kota. Tanpa disadari warga kota Semarang telah membangun ketahanan mereka sendiri dalam menghadapi tekanan dan guncangan. Contohnya, masyarakat yang tinggal di daerah pesisir terbiasa mengalokasikan dana untuk meninggikan rumah mereka untuk menghadapi banjir rob. (Pemerintah Kota Semarang, 2016). Walaupun begitu kerugian sosial dan ekonomi akibat banjir rob ini tidak sedikit. Banjir yang menggenangi permukiman dan pertokoan di kota lama telah mereduksi pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya unit-unit ruko atau bangunan yang ditinggalkan, bangunan konservasi menjadi rusak dan kawasan semakin kehilangan identitasnya. Menurut (Kurniawati dan Djoko, 2015) Kejadian banjir dapat diantisipasi dengan menggunakan sistem peringatan dini banjir yaitu seperti pembangunan waduk, floodway, perbaikan alur sungai, retardasi (waduk alam). Untuk kasus Kota Semarang, upaya yang sudah dilakukan adalah pembuatan polder di Kota Lama, normalisasi sungai Banjir Kanal, Kali Semarang dan DAS lain), pembuatan pompa-pompa banjir, peninggian jalan. Selain itu upaya mengurangi kerugian akibat bencana banjir adalah prediksi terhadap kawasan banjir rob. Hal ini untuk mengetahui wilayah mana saja dimasa datang yang terkena banjir rob sehingga dapat menimalisir kerugian dari banjir rob ini. Untuk dapat mengetahui kondisi spasial masa depan suatu wilayah perencanaan maka perencanaan membutuhkan alat dalam memprediksi dinamika penggunaan lahan termasuk meramalkan perubahan lahan yang terjadi akibat suatu skenario perencanaan spasial. Peramalan perubahan penggunaan lahan (land use forecasting) merupakan hal yang kompleks sehingga membutuhkan bantuan computer untuk melakukannya. (Pratomoatmojo, 2014).
102
2. KAJIAN PUSTAKA Banjir adalah aliran yang melimpas tanggul alam atau tanggul buatan dari suatu sungai (Soewarno, 1996 dalam Shalihat, 2015). Dalam penelitian ini banjir yang dimaksud adalah banjir rob. Banjir rob adalah banjir yang disebabkan oleh air pasang surut laut. Salah satu kesuksesan mitigasi bencana Menurut Anonim, 2011 salah satu kesuksesan mitigasi bencana adalah melaksanakan rencana pembangunan dan pengembangan wilayah (RTRW) yang aman bencana alam. Artinya, kita harus mengantisipasi di mana saja daerah yang padat penduduk dan infrastruktur yang sudah terlanjur berada di daerah rawan bencana. Kemudian untuk selanjutnya tidak lagi mengembangkan suatu daerah tanpa memperhitungkan risiko bencana alam. Dalam aplikasi SIG (Sistem Informasi Geografi), CA (Cellular Automata) diadaptasi menjadi sebuah model dinamis serta digunakan untuk simulasi spasial (geosimulation). Pendapat lain juga menyatakan bahwa pemodelan CA dalam SIG digunakan untuk mengetahui kedinamisan suatu objek/fenomena, dimana kedinamisan banyak diartikan sebagai suatu wujud perubahan (Paramitha, 2011; Liu, 2009; Deliar, 2010 dalam Wijaya dan Umam, 2015). Salah satu pengembangan metode CA dalam prediksi perubahan tutupan lahan adalah dengan mengintegrasikan dengan regresi logistik biner. Wijaya dan Susilo (2012) melakukan integrasi CA dengan regresi logistik biner di wilayah Kota Salatiga. Model yang dihasilkan memiliki nilai akurasi sebesar 78,8% dengan indeks kappa tertinggi sebesar 0,48. Sehingga model CA yang diintegrasikan dengan model regresi logistik biner menghasilkan model prediksi dengan kategori validitas ‘moderate agreement’.
3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini mengambil kajian di Pesisir Kota Semarang dengan obyek penelitiannya adalah perkembangan permukimannya. Permukiman dalam penelitian ini merujuk dari UU No 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman yaitu permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Dalam melakukan prediksi perkembangan permukiman, menggunakan beberapa data sebagai berikut: 1. Peta RBI Digital Kota Semarang Tahun 2000 103
2. Peta Penggunaan Lahan Kota Semarang Tahun 2010 3. Data DEM ASTER GDEM 4. Peta Penurunan Tanah Kota Semarang Tahun 2000 5. Citra satelit ALOS tahun 2010 6. Peta Perencanaan Pola dan Struktur Ruang Kota Semarang Tiap kelas penggunaan lahan dari peta RBI dan penggunaan lahan diklasifikasi ulang. Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi dari Danoedoro (2012) yang dimodifikasi. Dasar modifikasi klasifikasi tersebut adalah melihat tujuan serta karakteristik daerah penelitian, modifikasi dilakukan dengan membagi penutup menjadi 3 kelas, yaitu permukiman, non permukiman bisa dikoversi, dan non permukiman tidak bisa dikonversi. Non permukiman bisa dikoversi meliputi tutupan lahan berupa lahan kosong dan area vegetasi, sedangkan non permukiman tidak bisa dikonversi meliputi tutupan lahan berupa tubuh air ditambah bagian dari tutupan lahan terbangun yaitu industri dan gedung. 1. Faktor penarik dan pendorong perkembangan permukiman Hoyt (Syahar, 2012) menyatakan tentang teori kecendrungan sektorisasi, bahwa daerah-daerah yang berpotensi untuk berkembang cepat (High Quality Areas) ada 10 lokasi yakni: a. Permukiman cendrung berkembang pada jalur transportasi/ke arah pusat perdagangan. b. Permukiman cendrung berkembang pada daerah yang relatif lebih tinggi pada daerah kanan kirinya sehingga bebas banjir, bebas pencemaran dan pemandangannya indah. c. Permukiman cendrung berkembang pada daerah yang terbuka untuk pengembangan selanjutnya “open country” dan tidak terdapat penghalang fisikal yang berarti. d. Permukiman cendrung berkembang ke arah tempat tinggal pemuka masyarakat. e. Permukiman cendrung berkembang ke arah komplek perkantoran, bank, pertokoan yang tertata baik. f. Permukiman cendrung berkembang pada jalur transports yang ada. g. Permukiman cendrungberkembang pada arah yang samaselama periode yang lama. h. Permukiman mewah cendrung berkembang dekat pusat-pusat kegiatan karena adanya gejala yang gentrifikasi. i. Permukiman berkembang sesuai dengan inisiatif pengembang. 104
j. Permukiman berkembang mengikuti jalur-jalur salah satu/beberapa sektor yang berkembang di kota. Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan beberapa variabel sebagai faktor perkembangan permukiman, antara lain: a. Jarak terhadap jalan utama b. Kawasan potensi banjir c. Jarak terhadap pusat ekonomi (CBD) d. Kemiringan lereng e. Jarak terhadap fasilitas berupa rumah sakit dan perguruan tinggi f. Jarak terhadap utilitas berupa bandara, stasiun kereta api dan terminal bus g. Jarak terhadap permukiman eksisting Variabel terkait jarak dalam penelitian ini dibangun dengan menggunakan analisis Euclidean Distance, sedangkan variabel kemiringan lereng dibuat dari data ASTER GDEM. Wilayah berpotensi banjir rob juga dibangun dari DEM, tetapi DEM hasil re-interpolasi data kontur dari ASTER GDEM, garis pantai dari digitasi citra satelit ALOS dan data titik ketinggian dari peta RBI. Penggunaan DEM hasil re-interpolasi untuk pemodelan wilayah banjir rob dinilai bisa menjadi salahsatu solusi keterbatasan data DEM yang detail yang baik digunakan untuk pemodelan wilayah banjir rob. Penggunaan DEM hasil re-interpolasi digunakan dalam pemodelan banjir rob di pesisir Pekalongan. Wilayah tergenang banjir rob pada pemodelan ini sesuai dengan berita dan data yang ada dan hasil uji validasi adalah sebesar 85%. Hal itu menunjukkan bahwa DEM hasil re-interpolasi bisa digunakan dalam pembuatan model banjir rob karena dinilai mampu merepresentasikan fitur di wilayah pesisir pekalongan dengan cukup baik (Fariz dan Zahra, 2015). Selain itu DEM hasil re-interpolasi ini juga mempertimbangkan faktor penurunan muka tanah, oleh karena itu sebelum dilakukan re-interpolasi data pembangun DEM dikurangi dahulu nilai ketinggiannya berdasarkan peta penurunan tanah Kota Semarang. Ada beberapa faktor penyebab banjir rob di Kota Semarang. Bakti (2010) menyatakan bahwa faktor utama perluasan jangkauan rob diduga karena adanya penurunan muka tanah. Dalam penelitian ini, prediksi wilayah banjir rob hanya mempertimbangkan penurunan muka tanah tanpa mempertimbangkan kenaikan muka air laut, hal ini dikarenakan penurunan muka tanah bersifat statis atau selalu bertambah jumlahnya tiap tahun 105
berbeda dengan kenaikan muka air laut. Tinggi muka air laut maksimal di stasiun Tanjung Mas adalah 176 cm pada bulan Juni 2009 (Bakti, 2010). Oleh karena itu dalam penelitian ini wilayah dengan ketinggian dibawah 176 cm adalah wilayah banjir rob. 2. Pembuatan model prediksi perkembangan permukiman Dalam pembuatan model prediksi perkembangn permukiman dalam penelitian ini menggunakan intergrasi regresi logistik biner dengan CA Markov. Model ini digunakan oleh Wijaya dan Susilo (2013) dalam memprediksi perkembangan lahan terbangun di Kota Salatiga dengan mendapatkan overall akurasi 78,20% serta indeks kappa 0,48. Penilitian ini berbeda dengan penelitian Wijaya dan Susilo (2013), dalam penelitian ini tidak mempertimbangkan jumlah sel yang akan diprediksi berubah. Model CA Markov ini menggunakan data berbasis raster, oleh karena itu semua data yang digunakan dalam penelitian ini dikonversi dalam bentuk raster dengan ukuran 25x25m. Data tahun 2000 dan 2010 akan dijadikan dasar prediksi perkembangan lahan permukiman pada tahun 2020
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Prediksi Perubahan Lahan Permukiman
Gambar 1. Peta sebaran permukiman pesisir Kota Semarang Tahun 2000
106
Gambar 1. Peta sebaran permukiman pesisir Kota Semarang Tahun 2010.
Berdasarkan peta penggunaan lahan Kota Semarang tahun 2000, permukiman di pesisir Kota Semarang seluas 7341,55 Ha, sedangkan pada tahun 2010 seluas 8616,52 Ha. Hal tersebut bisa diketahui bahwa dalam kurun waktu 10 tahun telah terjadi penambahan luas lahan permukiman seluas 1274,97 Ha dan pertumbuhan lahan permukiman di pesisir Kota Semarang adalah 127,50 Ha/Tahun. Tabel 1. Penggunaan lahan di pesisir Kota Semarang Tahun 2000 dan 2010 Penggunaan Lahan
2000
2010
Permukiman
7341,55
8616,52
Non Permukiman Bisa Dikonversi
10162,17
6726,57
Non Permukiman Bisa Dikonversi
2818,9
4980,4
Total
20322,62
20323,49
Sumber: Peta penggunaan lahan Kota Semarang tahun 2000 dan 2010
Faktor-faktor yang mempengarahui perkembangan lahan permukiman di pesisir Kota Semarang bisa diketahui dari hasil regresi logistik biner. Analisis faktor pendorong perubahan lahan permukiman menggunakan regresi logistik biner antara perubahan tutupan lahan non–permukiman menjadi lahan permukiman tahun 2000 – 2010 menghasilkan persamaan regresi sebagai berikut: Y = 0.1607 − 0.000162 ∗ X1 − 0.000267 ∗ X2 − 0.000638 ∗ X3 + 107
0.056349 ∗ X4 − 0.000508 ∗ X5 − 0.00091 ∗ X6 − 0.044110 ∗ X7…1 dimana, Y :
Logit perubahan lahan non permukiman ke permukiman
X1
:
Jarak dari CBD
X2
:
Jarak dari Fasilitas
X3
:
Jarak dari Jalan Utama
X4
:
Kemiringan Lereng
X5
:
Banjir Rob
X6
:
Jarak dari Utilitas
X7
:
Jarak dari Permukiman Eksisting
Persamaan di atas menunjukkan koefisien regresi paling besar terdapat pada kemiringan lereng. Nilai positif menunjukkan bahwa semakin besar nilai variabel independen semakin besar kemungkinan terjadi perubahan penutup lahan non permukiman menjadi permukiman pada lokasi tersebut, sedangkan nilai negatif adalah sebaliknya dimana menunjukkan bahwa semakin kecil nilai variabel independen semakin besar kemungkinan terjadi perubahan penutup lahan non permukiman menjadi permukiman. Variabel kemiringan lereng memiliki yang pengaruh yang paling signifikan terhadap perubahan lahan non-permukiman menjadi permukiman memiliki nilai negatif jadi bisa diketahui bahwa semakin landai atau semakin rendah nilai kemiringan lereng maka semakin besar juga kemungkinan lahan tersebut berubah dari non-permukiman menjadi permukiman. Koefesien regresi paling kecil adalah jarak dari utilitas, utilitas dalam penelitian ii meliputi terminal, stasiun kereta api dan bandara. Hal ini bisa diketahui bahwa jarak terhadap utilitas tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan lahan non permukiman ke permukiman. 3.2 Prediksi Permukiman Terdampak Rob Luasan genangan banjir rob di Kota Semarang pada tahun 2010 adalah 4683,23 Ha sedangkan prediksi untuk tahun 2025 adalah seluas 4821,16 Ha. Perluasan luasan genangan sebagian besar pada Kecamatan Genuk, hal ini disebabkan wilayah tersebut berdasarkan Peta Penurunan Muka Tanah adalah wilayah dengan penurunan muka tanah >8cm per tahun. 108
Gambar 2 a. Peta prediksi sebaran permukiman pesisir Kota Semarang Tahun 2025
Gambar 2 b. Peta prediksi sebaran permukiman yang terdampak rob pesisir Kota Semarang Tahun 2025
Sedangkan hasil prediksi lahan menggunakan integrasi Cellular Automata Markov dan Regresi Logistik Biner menunjukkan bahwa luas permukiman di pesisir semarang pada tahun 2025 sebesar 1012,85 Ha. Berdasarkan hasil analisis menggunakan interpolasi spasial polynomial orde 3 terhadap lokasi ekspansi lahan permukiman menunjukkan bahwa perubahan lahan menjadi lahan permukiman banyak terjadi di Kecamatan Genuk, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Gayamsari dan Kecamatan Pedurungan. Hal ini menyebabkan semakin luas permukiman yang terdampak banjir rob. Hasil pediksi menunjukkan bahwa pada tahun 2025, 109
permukiman terdampak rob adalah seluas 127,08 Ha. Kecamatan Semarang Barat adalah wilayah yang diprediksi memiliki permukiman terdampak banjir rob yang besar, hal ini disebabkan ekspansi perubahan lahan permukiman pada wilayah tersebut sebagian besar berada di wilayah dekat pesisir. Tabel 2. Prediksi permukiman pesisir kota semarang yang terdampak rob pada tahun 2025 No Kecamatan Luas (Ha) Gayamsari 7,43 1 2
Genuk
29,52
3
Semarang Barat
64,93
4
Semarang Tengah
0,26
5
Semarang timur
7,3
6
Semarang Utara
17,53
7
Tugu
0,003
Sumber: Hasil Analisis, 2016.
Hasil pemodelan ini dapat menjadi acuan pembangunan untuk kedepannya, bahwa pertumbuhan itu pasti terjadi dengan tambahnya tahun. Pemerintah dapat memperhatikan bencana yang ada di Kota Semarang salah satunya bencara ROB tersebut, perencanaan tata ruang khususnya lebih memperhatikan lagi dalam penentuan lokasi pembangunan. Menurut Bakti (2010) alokasi ruang kota Semarang yang dituangkan dalam RTRW 2000-2010 tidak memberikan arahan yang tepat tentang antisipasi rob. Genangan banjir yang sebagian besar terjadi di kawasan industri justru akan mengakibatkan perlambatan pertumbuhan sektor industri dan pada suatu waktu akan mendorong terjadinya divestasi. Kecenderungan perluasan genangan harus menjadi pertimbangan untuk membangun tanggul yang menahan masuknya air laut ke daratan. Untuk daerah yang diapit oleh Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat, maka disepanjang pantai Semarang harus dibuat tanggul laut yang disandingkan dengan Jalan Lingkar Utara.
4. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian prediksi perkembangan penggunaan lahan permukiman terdampak banjir rob di pesisir Kota Semarang dengan 110
menggunakan integrasi analisis cellular automata markov dengan regresi logistik biner disimpulkan bahwa: 1. Perubahan lahan permukiman di pesisir Kota Semarang pada tahun 2000 - 2010 telah terjadi pertumbuhan lahan permukiman seluas 127,50 Ha/Tahun. Faktor pendorong perubahan lahan permukiman menggunakan regresi logistik biner adalah kemiringan lereng dimana memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap perubahan lahan non-permukiman menjadi permukiman memiliki nilai negatif jadi bisa diketahui bahwa semakin landai atau semakin rendah nilai kemiringan lereng maka semakin besar juga kemungkinan lahan tersebut berubah dari non-permukiman menjadi permukiman. 2. Hasil pediksi menunjukkan bahwa pada tahun 2025, permukiman terdampak rob adalah seluas 127,08 Ha. Kecamatan Semarang Barat adalah wilayah yang diprediksi memiliki permukiman terdampak banjir rob yang besar, hal ini disebabkan ekspansi perubahan lahan permukiman pada wilayah tersebut sebagian besar berada di wilayah dekat pesisir. Selain itu perluasan luasan genangan sebagian besar pada Kecamatan Genuk, hal ini disebabkan wilayah tersebut berdasarkan Peta Penurunan Muka Tanah adalah wilayah dengan penurunan muka tanah >8cm per tahun. 3. Penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan, yaitu hasil prediksi lahan permukiman yang tidak dibatasi luas lahan yang berubah. Untuk hasil yang maksimal lahan yang diprediksi berubah menjadi permukiman dibatasi dengan pertimbangan pertumbuhan jumlah penduduk, selain itu prediksi banjir rob juga mempertimbangkan kenaikan muka air laut.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2011). Antisipasi dan Mitigasi Gempa. GEOMAGZ: MAJALAH GEOLOGI POPULER. Bakti, LM. (2010). Kajian Sebaran Potensi Rob Kota Semarang dan Usulan Penanganannya. Tesis. Semarang. Undip. Danoedoro, Projo. (2012). Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: Penerbit Andi. Fariz, Trida Ridho dan Zahra, Dwi Fathimah. (2015). Pemodelan Spasial Banjir Rob Di Pesisir Pekalongan Dengan Memanfaatkan DEM Dari Algoritma ANUDEM. Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi 2015. Kurniawati, Wakhidah dan Djoko Suwandono. (2015). ‘Pengaruh Bencana Banjir dan Rob Terhadap Ketahanan Ekonomi Kawasan Perdagangan Johar di Kota Semarang’. Jurnal Ruang Perencanaan Wilayah dan Kota.
111
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2011-2031. Pemerintah Kota Semarang. (2016). Strategi Ketahanan Kota Semarang. Pratomoatmojo, Nursakti Adhi. (2014). LanduseSim sebagai aplikasi pemodelan dan simulasi spasial perubahan penggunaan lahan berbasis Sistem Informasi Geografis dalam konteks perencanaan wilayah dan kota. Seminar Nasional CITIES 2014. Shalihat, Annisa’ Kurnia. (2015). Pola Adaptasi Mayarakat Terhadap Banjir Di Perumahan Genuk Indah Kota Semarang. Skripsi. Jurusan Geografi Universitas Negeri Semarang Syahar, Fitriana. (2012). Pengaruh Faktor Artifisial terhadap Perkembangan Kota. Jurnal Skala Vol.2, No.4, April 2012, (pp. 49-63).
112
PEMETAAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI DI KECAMATAN WATES, KABUPATEN KULONPROGO, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Riska Alfiani1, Widya Lestari Basitah1, Theresia Retno Wulan2, Mega Dharma Putra2, Edwin Maulana2, 1Program
Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang 2Parangtritis Geomaritime Science Park, Badan Informasi Geospasial, Yogyakarta
ABSTRAK Tsunami merupakan bencana yang sulit untuk diprediksi kapan datangnya. Indonesia termasuk wilayah yang rawan terhadap bencana tsunami, salah satunya adalah Kecamatan Wates merupakan wilayah yang berada di selatan jawa dan langsung menghadap ke Samudra Hindia. Tujuan dari paper ini untuk mengetahui daerah yang rawan terhadap bencana tsunami di Kecamatan Wates. Data yang digunakan berupa data DEM (Digital Elevation Model), shp Kabupaten Kulonprogo, shp penggunaan lahan Kabupaten Kulonprog. Data tersebut diolah dengan menggunakan ArcMap 10.3, terdapat 2 parameter yang diolah, yaitu slope (kemiringan) dan elevasi (ketinggian) yang nantinya di analisa desa mana saja yang rawan terhadap bencana tsunami di Kecamatan Wates. Hasil dari paper ini yaitu didapatkan desa yang rawan yang terkena dampak tsunami adalah Desa Karangwuni, Sogan, Kulwaru, Ngestiharjo, Wates, Desa yang tidak rentan terhadap tsunami adalah Desa Bendungan dan sebagian Desa Giripeni, sedangkan untuk desa yang kurang rawan terdapat pada desa sebagian Desa Bendungan dan sebagian Desa Giripieni dengan penggunaan lahan yang terkena dampak tsunami adalah pemukiman, Agikultur ladang, Sawah dan pekebunan, diperkirakan luas pemukiman yang terkena dampak tsunami adalah 729, sedangkan untuk luas agrikultur ladang diperkirakan 184, untuk sawah diperkirakan 518 dan perkebunan diperkirakan 1745. Kata kunci: Kabupaten Kulonprogo, Pemetaan, Tsunami
1. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana tsunami, karena dipertemukan oleh tiga lempeng, yaitu lempeng lempeng Eurasi, lempeng Indo – Australia dan lempeng Samudera Pasifik.beberapa wilayah Indonesis yang rawan akan bencana tsunami adalah pantai barat Sumatera, pantai selatan pulau jawa, pantai Utara dan Selatan pulau – pulau Nusa Tenggara, pulau – pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi (Triatmadja, 2010). Gelombang tsunami berubah menjadi gelombang yang besar dan dapat menghantam semua benda dihadapannya. Bencana tsunami sering kali 113
mengancam wilayah yang mempunyai tatanan geologi di sekitar pergerakan lempeng bumi yang masih aktif, alasan lain adalah Indonesia terletak pada jalur Cincin Api Pasifik (Ring of Fire). Tatanan geologi tersebit telah menempatkan geogrfafis Indoneisa sebagai negara kepulauan yang sebahian besar luas wilayahnya berupa lautan, dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia (Pramana, 2015). Tsunami adalah gelombang air laut yang merambat ke segala arah dan terjadi karena adanya gangguan pada dasar laut. Gangguan ini terjadi karena perubahan bentuk dari struktur geologis dasar laut secara vertikal dan terjadi dalam waktu yang singkat. Perubahan tersebut disebabkan oleh tiga sumber yaitu gempa bumi tektonik, letusan gunung api atau longsor yang terjadi di dasar laut. Berdasarkan dari ketiga sumber tersebut, yang paling berpengaruh adalah gempa bumi tektonik. Tidak semua gempa bumi tektonik dapat mengakibatkan tsunami, tetapi sebagian besar tsunami disebabkan oleh gempa bumi. Berikut beberapa kriteria yang dapat memicu tsunami: a. Gempa bumi tektonik terjadi di bawah laut b. Kedalaman (Hiposenter) gempa bumi kurang dari 100 km c. Kekuatan gempa bumi 7 Skala Richter (SR) atau lebih d. Pergerakan lempeng tektonik terjadi secara vertikal, mengakibatkan dasar laut naik/turun dan mengangkat/menurunkan kolom air diatasnya. Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap tsunami, terutama daerah – daerah yang berhadapan langsung dengan pertemuan lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik, antara lain bagian barat Sumatera, Selatan Pulau Jawa, Nusa Tenggara, bagian utara papua, Sulawesi dan Maluku, serta bagian timur Pulau Kalimantan (Gambar 1) (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2012).
114
Gambar 1 Peta Rawan Tsunami Indonesia (Sumber: BMKG, 2012)
Kabupaten Kulonprogo khususnya daerah Wates memiliki luas wilayah 58.627,512 ha (586,28 km2), yang terdiri dari 12 Kecamatan, 88 Desa dan 930 dukuh. Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu dari lima Kabupaten /Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang letaknya paling barat, dengan batas wilayah di sebelah barat Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah, sebelah Timur Kabupaten Sleman dan Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, di sebelah utara Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, di sebelah selatan Samudra Hindia (BPS Kabupaten Kulonprogo, 2011). Pesisir Kabupaten Kulonprogo sebagian besar berada pada ketinggian dibawah 10 meter dengan kepadatan penduduk dan kepadatan infrastruktur bangunan yang semakin bertambah seiring perkembangan jaman, sehingga jika terjadi tsunami yang tinggi dan besar, kemungkinan besar bencana alam pun akan terjadi. Sebelum tsunami datang, yang dapat dilakukan adalah mengurangi atau meminimalkan dampak yang ditimbulkan tsunami melalui mitigasi (Widyawati et al., 2013). Tujuan dari paper ini adalah untuk mengetahui daerah yang rawan akan bencana tsunami di Kecamatan Wates, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga dapat dijadikan acuan jalur evakuasi jika terjadi tsunami dan sebagai langkah pencegahan serta meminimalisir dampak negatif akibat tsunami.
115
2. KAJIAN PUSTAKA Tsunami adalah gelombang laut yang terjadi akibat gempa bumi bawah laut atau letusan gunung berapi (Ointu et al., 2015). Tsunami merupakan gelombang laut dengan ketinggian beberapa puluh sentimeter di tengah laut dalam. Tsunami berasal dari bahasa Jepang “tsu” dan “nami” yang artinya adalah gelombang pelabuhan (Pambudi et al., 2011). Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan kumpulan yang terorganisis dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografi dan personal yang dirancang secara efisien untuk memperolah, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis dan menyajikan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi. Sebagian besar data yang ditangani dalam SIG merupakan data spasial yang memiliki informasi lokal (spasial) dan informasi deskriptif (atribut). Data data spasial ini dapat dibagi menjadi dua format yaitu data raster dan data vektor. Salah satu metode analisa dalam paper ini yaitu tumpang susun atau overlay antara dua atau lebih layer tematik untuk mendapatkan tematik kombinasi baru dengan persamaan yang dipergunakan (Mudin et al., 2015).
3. METODOLOGI PENEITIAN 3.1 Data Data yang digunakan dalam pembuatan paper ini yaitu data DEM (Digital Elevation Model) dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dengan skala 1:250.000, peta penggunaan lahan provinsi D.I. Yogyakarta. Selanjutnya data DEM diolah di Arcmap 10.3. 3.2 Metode Metode yang digunakan dalam paper ini yaitu metode diskriptif kualitatif. Parameter yang digunakan dalam paper ini yaitu slope (kemiringan) dan elevasi (ketinggian). Berikut merupakan langkah dalam pengolahan data: a. Clip Proses pertama yang dilakukan sebelum mengolah ketiga parameter tersebut adalah dengan clip atau crop data DEM dengan shp Kecamatan Wates dengan buka Arc Toolbox - Data Management Tools > Raster > Raster Processing > Clip, tunggu sampai proses selesai, setelah proses selesai, pengolahan dilanjutkan ke slope. b. Slope (Kemiringan) 116
Langkah selanjutnya yaitu slope atau kemiringan. Pengolahan ini menggunakan data DEM yang sudah di clip/crop tadi. Buka arc Toolbox – 3D analysist Tools > Raster Surface > Slope. Tunggu sampai proses selesai, jika proses sudah selesai, langkah selanjutnya yaitu reclassify, Tujuan dari reklasifikasi ini yaitu mengkelaskan masing – masing parameter berdasarkan kriteria yang dibutuhkan terkait dengan kerawanan bencana tsunami (Sinambela et al., 2014), karena pada pengolahan ini menggunakan lima kelas, maka pada saat reclassify menggunakan perbandingan angka yaitu 02, 2-6, 6-13, 13-20 dan > 20. Jika proses ini sudah selesai, maka proses selanjutnya yaitu proses elevasi. c. Elevasi (Ketinggian) Elevasi merupakan ketinggian dari suatu titik tertentu, untuk melakukan proses elevasi, langkah pertama untuk elevasi, reclassifikai data DEM yang telah di clip tadi dengan cara arc Toolbox > Spatial Analysist Tools > Reclass > Reclassify. Proses elevasi menggunakan lima kelas juga dengan menggunakan perbandingan angka 0-5, 5-10, 10-15, 15-20 dan >20. Jika proses ini sudah selesai maka, proses selanjutnya yaitu overlay kedua parameter tersebut. d. Overlay Langkah pertama pada proses overlay yaitu dengan cara klik arc Toolbox > Spatial Analysist Tools > Overlay > Weighted Overlay. Untuk proses overlay ini perbandingan antara slope dan elevasi yaitu slope 40% dan elevasi 60%, diasumsikan nilai elevasi lebih berpengaruh dari nilai slope. Setelah proses overlay selesai, langkah selanjutnya adalah digitasi. e. Digitasi Proses digitasi ini bertujuan untuk memperhalus tampilan citra dan agar lebih mudah dalam hal identifikasi. Langkah pertama yaitu membuat shp baru dengan koordinat WGS 1984. Setelah membuat shp baru, digitasi masing – masing kelas dengan menggunakan cut polygon tools, setelah proses digitasi selesai, langkah selanjutnya adalah attributing peta, dengan cara klik kanan data shp tadi dan klik open attribut table, klik add field dan beri nama “Kelas” dan ganti type menjadi “text”, jika add field tidak muncul, maka stop editing terlebih dahulu dan baru klik add field. Jika kolom kelas ada di attribut table, maka klik star editing dan mulai mengisi masing – masing kolom sesuai kelas kerentanan. Setelah selesai attributing, langkah selanjutnya adalah klik kanan pada data shp dan pilih “symbologi” tambahkan semua nilai, dengan add values. Langkah selanjutnya adalah landuse. 117
f. Landuse Langkah pertama dalam mengola data landuse yaitu buka arctoolbox > analysist tools > Extract > Clip. Pilih landuse yang ada di Kecamatan Wates, data dalam landuse ini menggunakan peta Penutupan Lahan Provinsi Jawa Tengah. Untuk mengetahui jumlah luasan dampak landuse akibat bencana tsunami maka klik kanan pada masing – masing landuse pilih open attribut table dan pilih pada area, klik kanan, pilih statistik kemudian pilih sum. Langkah terakhir yaitu layouting peta.
4. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengolahan slope dan elevasi didapatkan lima kelas rawan terhadap bencana tsunami. Lima kelas tersebut adalah sangat rentan, rentan, cukup retan, kurang rentan dan cukup rentan. Berdasarkan hasil analisis dan pengolahan data didapatkan hasil bahwa Desa dengan ketinggian lereng yaitu terdapat pada Desa Bendungan dan Desa Giripeni, untuk kemiringan lereng terdapat Desa Giripeni. Berdasarkan analisis dan pengolahan data didapatkan peta kerentanan bencana tsunami di Kecamatan Wates, Kabupaten Kulonprogo yang dapat diklasifikasikan dalam 5 kelas, yaitu kelas sangat rentan tsunami, rentan tsunami, cukup rentan tsunami, kurang rentan tsunami dan tidak rentan tsunami. Berdasarkan hasil pengolahan data dari parameter – parameter didapatkan peta kerentanan wilayah di Kecamatan Wates, Kabupaten Kulonprogo. Peta tersebut merupakan hasil dari pengolahan dari kemiringan (slope) dan ketinggian atau elevasi, setelah di overlay, kemudian dilakukan proses digitasi untuk menentukan daerah mana yang terkena dampak tsunami, dampak pada penggunaan lahan dan luasan penggunaan lahan yang terkena dampak tsunami. Daerah rawan yang terkena dampak tsunami adalah Desa Karangwuni, Sogan, Kulwaru, Ngestiharjo, Wates, Desa yang tidak rentan terhadap tsunami adalah Desa Bendungan dan sebagian Desa Giripeni, sedangkan untuk desa yang kurang rawan terdapat pada desa sebagian Desa Bendungan dan sebagian Desa Giripieni dengan penggunaan lahan yang terkena dampak tsunami adalah pemukiman, Agikultur ladang, Sawah dan pekebunan, diperkirakan luas pemukiman yang terkena dampak tsunami adalah 729, sedangkan untuk luas agrikultur ladang diperkirakan 184, untuk sawah diperkirakan 518 dan perkebunan diperkirakan 1745). Terdapat enam langkah yang bisa diupayakan dalam melakukan mitigasi bencana tsunami. Kebijakan pertama, yaitu dengan melakukan upaya 118
perlindungan kepada kehidupan, infrastruktur dan lingkungan pesisir. Pengembangan sistem peringatan dini dan pembuatan bangunan pelindung pantai merupakan contoh upaya perlindungan yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir. Kebijakan yang kedua adalah dengan meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat pesisir terhadap kegiatan mitigasi bencana gelombang pasang. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain, mensosialisasikan dan meningkatkan kesadaran mengenai bencana alam dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, pengembangan informasi bencana dan kerusakan yang ditimbulkannya. Kebijaan yang ketiga adalah meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana. Kebijakan yang keempat adalah meningkatkan koordinasi dan kapasitas kelembagaan mitigasi bencana kebijakan yang kelima adalah menyusun payung hukum yang efektif dalam mewujudkan upaya – upaya mitigasi bencana, yaitu dengan cara pelaksanaan bangunan penahan bencana, pelaksanaan peraturan dan penegakan hukum terkait mitigasi. Kebijakan ke enam adalah mendorong keberlanjutan aktivitas ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui kegiatan mitigasi yang dapat meningkatkan nilai ekonomi kawasan, meningkatkan keamanan dan kenyamanan kawasan pesisir untuk kegiatan perekonomian (Jokowinarno, 2011).
Gambar 2. Tingkat Kerawanan Tsunami di Kecamatan Wates
119
5. KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Indonesia merupakan negara yang rawan akan bencana tsunami, salah satunya adalah Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di selatan Pulau Jawa. Data yang digunakan adalah data DEM (Digital Elevation Model) dengan ketinggian 90 meter. yang selanjutnya data DEM tersebut diolah dengan Arcmap 10.3 dengan menggunakan tiga parameter yaitu slope (Kemiringan), landuse (tutupan lahan) dan Elvasi (Kemiringan). Hasil yang didapatkan adalah desa yang rawan terjadi tsunami adalah Desa Karangwuni dengan penggunaan lahan yang terkena dampak tsunami adalah pemukiman, Agikultur ladang, Sawah dan pekebunan, diperkirakan luas pemukiman yang terkena dampak tsunami adalah 729, sedangkan untuk luas agrikultur ladang diperkirakan 184, untuk sawah diperkirakan 518 dan perkebunan diperkirakan 1745. 5.2 Saran Diharapkan untuk penelitian selanjutnya untuk lebih menghubungkan parameter lain, misalnya secara ekologi, ekonomi, sosial budaya dan lain – lain, dan dalam pengelolahan data untuk lebih bisa ditambahkan, misalnya coastal proximity.
6. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada pegawai Parangtritis Geomaritime Science Park yang telah membantu saya dalam penyusunan paper ini, tidak lupa saya ucapkan kepada pembibing paper Mega Dharma Putra, Edwin Maulana, serta Theresia Retno Wulan, kepada teman – teman magang yang telah membantu saya dalam pembuatan paper ini.
DAFTAR PUSTAKA Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2012. Pedoman Pelayanan Peringatan Dini Tsunami, 2nd ed. Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Kedeputian Bidang Geofisika Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta Pusat. BPS Kabupaten Kulonprogo, 2011. Kabupaten Kulonprogo Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulonprogo. Jokowinarno, D., 2011. Mitigasi Bencana Tsunami di Wilayah Pesisir Lampung. J. Rekayasa 15. Mudin, Y., Pramana, I.W., Sabhan, 2015. Pemetaan Tingkat Risiko Bencana Tsunami Berbasis Spasial di Kota Palu. Gravitasi 14. Ointu, S.N.A., Tarore, R.C., Sembel, A., 2015. Mitigasi Bencana Tsunamidi Kawasan Pesisir Pantai Molibagu. Spasial 2, 90–101.
120
Pambudi, L., Hidayatno, A., Isnanto, R.R., 2011. Identifikasi Luas Bencana Tsunami dengan Menggunakan Segmentasi Citra. Pramana, B.S., 2015. Pemetaan Kerawanan Tsunami di Kecamatan Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Sosio-Didakt. Soc. Sci. Educ. J. 2, 76–91. Sinambela, C., Pratikto, I., Subardjo, P., 2014. Pemetaan Kerentanan Bencana Tsunami di Pesisir Kecamatan Kretek Menggunakan Sistem Informasi Geografi, Kabupaten Bantul DIY. J. Mar. Res. 3, 415–419. Triatmadja, R., 2010. Tsunami: kejadian, penjalaran, daya rusak, dan mitigasinya, Cet.1. ed. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010, Yogyakarta. Widyawati, A., Handoyo, G., Satriadi, A., 2013. Kajian Kerentanan Bencana Tsunami di Pesisir Kabupaten Kulonprogo Provinsi D. I. Yogyakarta. J. Mar. Res. 2, 103– 110.
121
PEMETAAN JALUR EVAKUASI TERHADAP TSUNAMI DI KECAMATAN KRETEK, KABUPATEN BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Widya Lestari Basitah1, Riska Alfiani1, Theresia Retno Wulan2, Mone Iye Cornelia Marschiavelli3, Miati Kusuma Wardani1, Farid Ibrahim2, Edwin Maulana2 1Program
Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang 2Parangtritis Geomaritime Science Park, Badan Informasi Geospasial, Yogyakarta 3Badan Informasi Geospasial *E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Tsunami merupakan gelombang yang memiliki periode panjang akibat gangguan dari dasar laut seperti gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik, atau longsoran. Salah satu cara untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh tsunami adalah dengan dilakukannya pemetaan jalur evakuasi tsunami. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jalur evakuasi tsunami di Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data DEM (Digital Elevation Model), data penggunaan lahan, data administrasi Kecamatan Kretek, dan data jaringan jalan yang diolah menggunakan software pemetaan yaitu ArcGis 10.3. Ketiga data tersebut diolah menggunakan Metode Spatial Analyst dengan Teknik Network Analyst. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah yang paling rentan terhadap bencana tsunami adalah Desa Tirtohargo. Kata kunci: Tsunami, Jalur Evakuasi, SIG, Network Analyst
1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada tiga lempeng tektonik dunia yaitu Lempeng Samudera Hindia-Australia yang terletak di bagian selatan, Lempeng Samudera Pasifik di sebelah timur, dan Lempeng Eurasia di sebelah utara. Keempat lempeng tersebut bergerak saling mendesak satu sama lain (dapat dilihat pada Gambar 1). Lempeng Samudera Hindia-Australia bergerak ke arah utara dan akan bertumbukkan dengan Lempeng Eurasia. Lempeng Pasifik yang berada di sebelah timur bergerak ke arah barat dan akan bertumbukkan dengan Lempeng Eurasia, sedangkan Lempeng Eurasia cenderung tidak bergerak atau diam. Pergerakan lempeng-lempeng ini menyebabkan terjadinya penumpukan tekanan mekanis di daerah pertemuannya. Ketika tekanan ini tidak mampu lagi untuk ditahan oleh elastisitas batuan, maka batuan akan pecah dan melenting 122
menuju keadaan seimbang mendekati kondisi awal sebelum terkena tekanan. Pelentingan ini akan menimbulkan gempa bumi tektonik. Gempa bumi yang terjadi dapat menimbulkan berbagai dampak diantaranya adalah terjadinya tsunami.
Gambar 19. Pergerakan lempeng di wilayah Indonesia (Sumber: BMKG Denpasar, 2015)
Tsunami merupakan gelombang air laut yang terjadi karena adanya gangguan impulsif di dasar laut. Gangguan impulsif dapat terjadi karena adanya perubahan bentuk struktur geologis dasar laut yang terjadi dalam waktu singkat dan bergerak secara vertical. Perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa penyebab, diantaranya adalah gempa bumi tektonik, letusan gunung api, atau longsoran dasar laut (BMKG, 2012). Pada umumnya, peristiwa tsunami yang ada di Indonesia terjadi karena wilayah Indonesia merupakan wilayah yang berada pada lempeng tektonik aktif. Zona subduksi aktif ini mengakibatkan munculnya sumber-sumber gempa di Indonesia sehingga sebagian besar wilayah Indonesia menjadi wilayah yang rawan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Peristiwa tsunami terbilang cukup sering terjadi di Indonesia. Dalam kurun waktu antara tahun 1991 hingga tahun 2010, terhitung sekitar 17 peristiwa gempabumi yang diikuti dengan tsunami terjadi di Indonesia (dapat dilihat pada Gambar 3). Beberapa diantara peristiwa tersebut mengakibatkan rusaknya wilayah yang dilanda, menimbulkan banyak korban jiwa, dan menghilangkan harta benda masyarakat setempat (BMKG, 123
2012). Salah satu peristiwa tsunami yang terjadi di Indonesia dan memiliki dampak yang cukup tinggi baik bagi lingkungan maupun masyarakatnya adalah peristiwa yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2016 di Pantai Selatan Jawa. Peristiwa ini menghancurkan sekitar 600 rumah warga dan menimbulkan korban jiwa sekitar 200 orang. Gelombang tsunami ini memasuki daratan dan menghancurkan semua yang dilewatinya baik di daratan maupun di lautan. Tinggi gelombang akan mempengaruhi distribusi dan jarak genangannya ke arah daratan.
Gambar 2. Sebaran Peristiwa Tsunami yang Terjadi di Indonesia antara tahun 1991 hingga 2010 (Sumber: BMKG, 2012)
Mitigasi terhadap bencana tsunami sangat dibutuhkan mengingat masih tingginya korban jiwa pada peristiwa tsunami yang terjadi di Indonesia khususnya di Pantai Selatan Jawa. Salah satu upaya mitigasi tersebut adalah adanya jalur evakuasi tsunami di wilayah yang rentan terjadi tsunami. Menurut Puturuhu dan Osok (2015), Rambu jalur evakuasi tsunami mempunyai peranan yang sangat penting terhadap masyarakat khususnya yang berada di wilayah pesisir. Rambu jalur evakuasi ini menunjukkan rute penyelamatan diri dan tempat tempat yang aman. Penelitian ini membahas mengenai salah satu aplikasi Sistem Informasi Geografis yaitu untuk menentukan jalur evakuasi tsunami di Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Data citra yang digunakan pada penelitian ini adalah data Digital Elevation Model (DEM) Kecamatan Kretek, data penggunaan lahan Kecamatan Kretek, dan
124
data jaringan jalan. Dengan adanya informasi ini, diharapkan dapat meminimalisasi korban jiwa jika terjadi bencana tsunami.
2. KAJIAN PUSTAKA Secara epistimologi, tsunami berasal dari Bahasa Jepang yaitu “tsu” yang artinya pelabuhan dan “nami” yang artinya gelombang laut. Tsunami merupakan rangkaian dari gelombang laut yang panjang dan menyebar dengan kecepatan yang tinggi dari sumbernya di laut hingga ke pesisir. Penyebaran gelombang dari sumber tsunami dengan kecepatan panjang gelombang didasarkan pada persamaan (1). CG = (g H) ½ …………(1) Keterangan: Cg : Kecepatan panjang, G : percepatan gravitasi H : Kedalaman basin Tsunami dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah gempa bumi dan longsor bawah laut. Tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi dengan episentrum di dasar laut sangat berpotensi untuk menimbulkan tsunami. Peristiwa yang sering disebut sebagai gempabumi tsunami genetis ini memiliki karakteristik energi tinggi dan dengan magnitude >7 Skala Richter (SR). Tsunami yang disebabkan oleh longsoran bawah laut terjadi ketika longsor yang terjadi memiliki kecepatan yang sama dengan kecepatan gelombang panjang di basin ini. Segala pergerakan lemah seperti gempabumi mikro, pergerakan meteorology, pasang surut, dan lain-lain mempunyai peranan penting pada peristiwa longsor. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem dari software, hardware, data, dan lineware yang mampu menghubungkan, menggabungkan, dan menganalisa berbagai data pada suatu titik yang ada di bumi. SIG memiliki 4 komponen utama, yaitu software atau perangkat lunak, hardware atau perangkat keras, data, dan manajemen (Sumber Daya Manusia). Komponen-komponen tersebut mempunyai fungsi sebagai pemasukan, manipulasi, penyimpanan, analisis, dan menampilkan data. Sumber-sumber data yang digunakan adalah peta digital, foto udara, citra satelit, tabel statistik, dan data lain yang berhubungan. SIG dapat diaplikasikan pada berbagai bidang di kehidupan, salah satunya adalah penentuan kerentanan dan jalur evakuasi bencana pada suatu wilayah (Sunaryo, 2015) 125
Pemodelan jaringan dari dunia nyata ke dalam basis peta adalah salah satu bidang SIG. ArcGis Network Analyst merupakan salah satu ekstensi atau perpanjangan yang ada pada ArcGis. Network Analyst mampu menganalisa jaringan sehingga dapat diketahui jalur dengan impedansi terkecil. Beberapa yang termasuk Network analyst adalah jaringan jalan, jaringan kabel listrik, jaringan sungai, dan jaringan pipa. Ekstensi network analyst terdapat pada beberapa aplikasi di ArcGis yaitu ArcCatalog untuk membuat network dataset, ArcMap untuk menganalisa, dan ArcToolbox untuk geoprosesing ( Buana, 2010). Penelitian dilakukan di Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, DIY (Gambar 5). Pemilihan lokasi didasarkan pada letak kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah yang rentan terhadap bencana tsunami. Sehingga, adanya jalur evakuasi sangat dibutuhkan di wilayah ini sebagai upaya untuk meminimalisasi adanya korban jiwa jika terjadi tsunami. Berdasarkan data BPS Kabupaten Bantul (2014), sekitar 96% (2449 km2 dari 2550 km2) wilayah Kecamatan Kretek terletak pada ketinggian <100 mdpl. Wilayah dengan elevasi rendah pada umumnya berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Selain itu, Kabupaten Bantul juga terletak pada zona tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia dengan kecepatan ± 7 cm/tahun. Hal ini mengakibatkan Kabupaten Bantul terutama Kecamatan Kretek berpotensi mengalami gempa bumi yang dapat memicu terjadinya peristiwa tsunami.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
126
3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian mengenai jalur evakuasi terbagi menjadi beberapa tahapan yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan interpretasi. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah data DEM yang dapat diunduh secara gratis melalui laman www.srtm.csi.cgiar.org, data jaringan jalan Kecamatan Kretek, data administrasi Kecamatan Kretek, serta data penggunaan lahan yang diunduh dari secara gratis melelui laman www.tanahair.indonesia.go.id. Data-data tersebut diolah menggunakan software pemetaan yaitu ArcGis 10.3. Pada tahapan pengolahan data, ditentukan beberapa parameter yang akan dijadian sebagai dasar pembuatan peta. Parameter yang digunakan pada penelitian ini adalah elevasi atau ketinggian lahan dan slope atau kemiringan lahan. Kelas kerentanan ditentukan berdasarkan tingkat kerentanan masing-masing parameter dengan presentase seperti pada Tabel 1. Kelas kerentanan bencana tsunami digolongkan menjadi 5 kelas, yaitu sangat rentan, rentan, cukup rentan, kurang rentan, dan tidak rentan. Tabel 3. Kelas Kerentanan Berdasarkan Elevasi dan Kemiringan Lahan
Elevasi (m) <5 5-10 10-15 15-20 >20
Slope (%) 0-2 2-6 6-13 13-20 >20
Kelas Kerentanan Sangat rentan Rentan Cukup rentan Kurang rentan Tidak rentan
Interpretasi peta dilakukan ketika diketahui tingkat kerentanan tsunami dan data penggunaan lahan pada wilayah tersebut. Penggunaan lahan yang digunakan pada penelitian kali ini digunakan sebagai penentuan Zona Evakuasi Sementara. Sedangkan, data jaringan jalan digunakan sebagai penentuan arah atau jalur evakuasi. Jalan yang diprioritaskan sebagai jalur evakuasi adalah jalan kolektor dan jalan lokal. Berdasarkan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2004), jalan kolektor merupakan jalan yang menghubungkan antar pusat kegiatan wilayah atau antar pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. Sedangkan jalan lokal merupakan jalan yang menghubungkan pusat kegiatan nasional, wilayah, maupun lokal dengan persil atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lokal maupun pusat kegiatan di bawahnya. 127
4. PEMBAHASAN 4.1 Kerentanan Bencana Tsunami Kecamatan Kretek Penentuan tingkat kerentanan tsunami pada setiap parameter ditentukan berdasarkan presentase sesuai Tabel 1. Didapatkan hasil masing masing kerentanan tsunami berdasarkan parameter ketinggian lahan (Gambar 4) dan kemiringan lahan (Gambar 5).
Gambar 4. Peta Kerentanan Tsunami Berdasarkan Ketinggian Lahan
Gambar 5. Peta Kerentanan Tsunami Berdasarkan Kemiringan Lahan
Berdasarkan kedua peta tersebut dapat diketahui bahwa pada parameter yang berbeda, maka tingkat kerentanan tsunami pada masing masing wilayah juga berbeda. Berdasarkan parameter ketinggian lahan, wilayah dengan tingkat kerentanan sangat rentan hanya terdapat pada Desa Tirtohargo. Sedangkan pada parameter kemiringan lahan, hampir semua desa pada Kecamatan kretek berada pada wilayah dengan tingkat 128
kerentanan sangat rentan. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata desa di Kecamatan Kretek memiliki kemiringan lahan 0,2 %. Menurut BAPPEDA Kabupaten Bantul (2014), wilayah bagian Selatan Kabupaten Bantul memiliki tingkat kemiringan lahan yang landai hingga datar dan didominasi oleh gisik dan gumuk-gumuk pasir (fluviomarine). Yang terbentuk oleh material lepas dengan ukuran pasir kerakal. Setelah diketahui kerentanan tsunami berdasarkan kemiringan dan ketinggian lahan, maka dilakukan tumpang susun atau overlay dengan menggunakan salah satu program yang terdapat pada ArcGis 10.1 yaitu weighted overlay. Hasil peta kerentanan tsunami berdasarkan ketinggian dan kemiringan lahan (Gambar 6) menunjukkan bahwa pada Desa Tirtohargo tingkat kerentanannya berada pada tingkat yang sangat rentan dan rentan. Pada Desa Tirtosari dan Desa Donotirto berada pada tingkat rentan dan cukup rentan. Sedangkan pada Desa Parangtritis tingkat kerentanannya berada pada hampir semua kelas.
Gambar 6. Peta Kerentanan Tsunami Berdasarkan Ketinggian dan Kemiringan Lahan
1.2 Jalur Evakuasi Bencana Tsunami Kecamatan Kretek Interpretasi peta untuk penentuan Zona Evakuasi Sementara dan arah evakuasi dilakukan setelah diketahui tingkat kerentanan tsunami dan penggunaan lahan di wilayah tersebut. Penggunaan lahan yang dapat digunakan sebagai Zona Evakuasi Sementara adalah penggunaan lahan sebagai ladang dan alang,alang, sabana, dan padang. Berdasarkan peta penggunaan lahan (Gambar 9), diketahui bahwa penggunaan lahan sebagai ladang terdapat pada Desa Parangtritis, Desa Tirtohargo, dan Desa Donotirto. Sedangkan penggunaan lahan sebagai alang-alang, sabana, dan 129
padang terdapat pada Desa Parangtritis. Serta wilayah yang mampu dijadikan sebagai Zona Evakuasi Sementara adalah wilayah dengan tingkat kerentanan tsunami berada pada kelas cukup rentan, kurang rentan, dan tidak rentan.
Gambar 7. Peta Penggunaan Lahan Sebagai Ladang dan Alang-alang,Sabana, dan Padang
Berdasarkan peta jalur evakuasi tsunami (Gambar 8) dapat diketahui bahwa terdapat 4 titik Zona Evakuasi Sementara di Kecamatan Kretek, yaitu 1 titik di Desa Tirtomulyo, 1 titik di Desa Donotirto, dan 2 titik di Desa Parangtritis. Kemudian, jalur evakuasi ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu jarak terdekat dengan Zona Evakuasi Sementara dan jenis jalan. Jalan yang digunakan sebagai jalur evakuasi adalah jalan kolektor dan jalan lokal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dito dan Pamungkas (2016) bahwa ketinggian, kelerengan, hirarki jalan, lebar jalan, dan kondisi perkerasan jalan merupakan beberapa variabel yang dapat berpengaruh terhadap penentuan jalur evakuasi.
130
Gambar 8. Peta Jalur Evakuasi Tsunami Kecamatan Kretek
5. KESIMPULAN Tingkat kerentanan tsunami ditentukan berdasarkan parameter ketinggian dan kemiringan lahan. Tingkat kerentanan dibagi menjadi 5 kelas yaitu sangat rentan, rentan, cukup rentan, kurang rentan, dan tidak rentan. Wilayah dengan tingkat kerentanan sangat rentan terdapat pada Desa Tirtohargo. Pada Desa Tirtosari dan Desa Donotirto memiliki tingkat kerentanan yang rentan dan cukup rentan. Desa Titomulyo memiliki tingkat kerentanan kurang rentan, cukup rentan, dan rentan. Sedangkan Desa Parangtritis hampir berada pada semua tingkat kerentanan. Jalur evakuasi korban bencana tsunami diarahkan menuju Zona Evakuasi Sementara yang terdapat pada Desa Tirtomulyo, Desa Donotirto, dan dua titik pada Desa Parangtritis.
6. DAFTAR PUSTAKA BMKG Denpasar. 2015. http://balai3.denpasar.bmkg.go.id/tentang-gempa diakses pada tanggal 16 Agustus 2016 pukul 9.25 WIB. BAPPEDA Kabupaten Bantul, 2014. RPJMD Kabupaten Bantul Tahun 2011-2015. BAPPEDA Kabupaten Bantul, Bantul, DIY. BPS Kabupaten Bantul, 2014. Bantul dalam Angka. BPS Kabupaten Bantul, Bantul, DIY. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004. Pedoman Konstruksi dan Bangunan: Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Kawasan Perkotaan. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta. Dito, A.H., Pamungkas, A., 2016. Penentuan Variabel dalam Optimasi Jalur Evakuasi Bencana Tsunami di Kecamatan Puger, Kabupaten Jember. J. Tek. ITS 4, Hal: 161–164.
131
Sunaryo, D.K., 2015. Sistem Informasi Geografis dan Aplikasinya. Dream Litera Buana, Malang. Wira Buana, P., 2010. Penemuan Rute Terpendek pada Aplikasi Berbasis Peta. Lontar Komput. Vol1. BNPB.2011.http://geospasial.bnpb.go.id/2011/02/23/peta-zonasi-ancaman-bahayatsunami-di-indonesia/ diakses pada tanggal 16 Agustus 2016 pukul 16.18
WIB.
132
MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI DI PANTAI PARANGTRITIS DENGAN MENGGUNAKAN LANDSAT PADA TAHUN 1999, 2002 DAN 2015 Riska Alfiani1*, Miati Kusuma Wardani1, Mone Iye Cornelia Marschiavelli3, Theresia Retno Wulan2, Farid Ibrahim2, Edwin Maulana2 1Program
Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang 2Parangtritis Geomaritime Science Park, Badan Informasi Geospasial, Yogyakarta 3Badan Informasi Geospasial, Bogor Email:
[email protected]
ABSTRAK Indonesia merupakan negara kepulauan yang letaknya berada di antara benua Benua Australia dan Benua Asia. Sebelah utara Benua Australia merupakan Pulau Jawa dengan Samudra Hindia. Pantai Parangtirtis merupakan pantai yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia, dimana Pantai Parangtritis ini merupakan pantai wisata yang ramai pangunjung. Selain itu Pantai Parangtritis merupakan pantai yang rawan terhadap perubahan garis pantai, karena di Pantai Parangtritis setiap tahun terjadi banjir rob. Tujuan dari paper ini yaitu untuk mengetahui perubahan garis Pantai Parangtritis pada tahun 1999, 2002 dan tahun 2015 dengan menggunakan citra Landsat dan menggunakan software Arcgis 10.3 yang kemudian didigitasi dan ditumpang susun serta dilihat perbedaan antara tahun 1999 sampai 2002 dan 2002 sampai 2015. Data yang digunakan adalah data Satelit Landsat tahun 1999, 2002 dan 2015 yang kemudian dikomposit band dengan menggunakan Envi 4.5 dan kemudian diolah dengan menggunakan Arcmap 10.3 untuk didigitasi dan ditumpang susun, kemudian di amati perbedaan garis pantai dari tahun 1999, 2002 dan 2015. Hasil dari paper ini adalah pada tahun 1999-2002 terjadi abrasi di Pantai Parangtritis dan pada tahun 2002-2015 terjadi akresi. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perubahan garis pantai di Pantai Parangtirits, tidak hanya menggunakan satu satelit tetapi menggunakan beberapa satelit untuk kemudian dianalisis perbedaannya. Kata kunci: Garis Pantai, Landsat, Pantai Parangtritis
1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang letaknya berada di antara Benua Australia dan Benua Asia serta membatasi Samudera Pasifik dan Samudera Hindia (Gambar 1). Negara Kepulauan Indonesia memiliki 17.805 pulau yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, yaitu sepanjang 81.000 km. kepulauan terbentuk dari berbagai proses geologi yang berpengaruh kuat pada pembentukan morfologi pantai. 133
Sementara letaknya berada di kawasan iklim tropis dengan memberikan bentang alam yang banyak dan banyak pula keragaman biotanya (Arief et al., 2011).
Gambar 1. Letak Geografis Indonesia
Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan, karena daerah tersebut menjadi tempat bertemunya daratan dan lautan, garis pertemuan antara daratan dan lautan ini yang disebut dengan garis pantai. Perubahan garis pantai sangatlah bervariasi antara satu tempat dengan tempat yang lainnya, sehingga penelitian tentang garis pantai ini sangatlah diperlukan. Lingkungan pantai perlu dikelola dengan baik, mengingat fungsinya dalam kehidupan manusia sangatlah besar sejak jaman dahulu hingga sekarang bahkan hingga masa yang akan datang (Istiono dan Hariyanto, 2010). Pantai Parangtritis terletak di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sebuah tempat pariwisata yang terletak di pesisir Samudera Hindia di sebelah selatan Kota Yogyakarta . Posisi geografis Pantai Parangtritis dekat dengan jalur subduktif aktif Jawa bagian selatan yaitu zona tumbukan antara lempeng Samudera Hindia – Australia di bawah Lempeng Eurasia (Miftahussalam, 2012). Perubahan garis pantai dari satu pantai dengan pantai lainnya dapat berbeda. Beberapa faktor yang menyebabkan perubahan garis pantai yaitu adanya gelombang, banjir rob, angin dan lain-lain. Perubahan garis pantai dapat menyebabkan perubahan penutupan lahan yang dapat diketahui oleh teknik penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh sangat dibutuhkan mengingat pembangunan kawasan pesisir yang semakin maju dan 134
dikarenakan teknologi ini dapat memberikan informasi daerah yang luas tanpa membutuhkan waktu yang lama (Prameswari et al., 2014). Penginderaan jauh merupakan ilmu untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau gejala dengan cara menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan obyeknya, daerah atau gejala tersebut. Ada banyak data yang digunakan dalam penginderaan jauh salah satunya adalah Landsat, yang sekarang telah mencapai generasi Landsat 8. Satelit Landsat8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11 buah. Kanal-kanal tersebut memiliki 9 kanal (band 1-9) berada pada OLI dan 2 lainnya (band 10 dan 11) pada TIRS. Rata-rata kanal memiliki citra Landsat yang mirip dengan Landsat 7 (Andana, 2015). Tujuan dari paper ini yaitu untuk mengetahui perubahan garis pantai pada tahun 1999, 2002 dan tahun 2015 dengan menggunakan citra Landsat dan menggunakan software Arcgis 10.3 yang kemudian didigitasi dan ditumpang susun serta dilihat perbedaan antara tahun 1999 sampai 2002 dan 2002 sampai 2015.
2. KAJIAN PUSTAKA Pantai merupakan bentuk geografis yang terdiri dari pasir dan terdapat di daerah pesisir. Daerah pantai menjadi batas daratan dan lautan. Panjang garis pantai diukur mengelilingi seluruh pantai yang merupakan daerah teritorial suatu negara. Kawasan pantai merupakan kawasan yang dinamik terhadap perubahan garis pantainya. Perubahan garis pantai merupakan suatu proses tanpa henti melalui berbahai proses alam di pantai yang meliputi pergerakan sedimen, arus susur pantai (longshore current), tindakan ombak dan penggunaan lahan (Arief et al., 2011). Penggunaan teknik penginderaan jauh pada dataset citra Landsat dan teknik Sistem Informasi Geografis (SIG) berperan sangat pentig sebagai sebuah metode yang murah dan mudah dalam penyediaan data liputan kawasan pesisir dan dinamika pesisir. Teknik ini sangat ideal dalam memetakan distribusi perubahan darat dan air yang diperlukan dalam pengekstrasian perubahan garis pantai (Kasim, 2012). Satelit Landsat 4 dan 5 membawa sensor Thematic Mapper (TM) yang mengumpulkan data multispektral 7 kanal: 3 kanal inframerah dan 1 kanal inframerah termal. Semua data Landsat diakuisisi dengan resolusi spasial 30 meter, kecuali kanal inframerah termal, yaitu 120 meter. Satelit Landsat 6 135
hilang saat diluncurkan pada tahun 1993. Satelit Landsat terbaru adalah Landsat 7, yang diluncurkan pada tanggal 15 April 1999, membawa sebuah sensor yang diperbarui, dinamakan Enchanced Thematic Mapper Plus (ETM+), dikembangkan dengan kemampun spektral dan spasial yang mendekati dengan TM. Sebagai tambahan adalah sebuah kanal pankromatik pada resolusi 15 meter dan kanal termal dengan resolusi yang lebih tajam yaitu 60 meter (Sitanggang, 2010).
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Data Data yang digunakan dalam penelitian perubahan garis pantai ini ada dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari citra Landsat tahun 1999, 2002 dan 2015. Masing-masing di tahun 1999 menggunakan citra Landsat 5, tahun 2002 menggunakan Landsat 7, sedangkan tahun 2015 menggunakan Landsat 8. Data sekunder menggunakan garis pantai RBI juga dan Peta Rupabumi Indonesia (RBI). 3.2 Metode Metode yang digunakan dalam perubahan garis pantai ini yaitu menggunakan deskriptif kuantitatif. Pengelolaan garis pantai ini menggunakan software Envi 4.5 dan arcgis Arcgis 10.3. software Envi 4.5 digunakan untuk menentukan komposit band sedangkan arcgis Arcgis 10.3 untuk menentukan perbedaan garis pantai dari tahun 1999, 2002, dan 2015. Selanjutnya data di tumpang susun (Overlay) dan dilihat perbedaan masingmasing garis pantai. Untuk mengolah Landsat terdapat beberapa tahapan menurut Arief et al., (2011) yaitu: a. Pengolahan awal berupa koreksi radiometrik dengan prosedur standar dari penyedia data. b. Pengolahan awal yaitu menyamakan resolusi spasial antara Landsat-4 MSS dengan seri Landsat TM/ETM. Hal ini dilakukan dengan meresampling data Landsat MSS sehingga resolusi spasialnya menjadi 30 meter menggunakan algoritma cubic B-Sline dan kemudian dilakukan koreksi geometrik data Landsat, sehingga arah utara selatan citra sama dengan peta (peta administrasi) dan dapat ditumpang susun. c. Pembuatan komposit RGB untuk masing-masing tanggal akuisisi citra. d. Digitasi keempata citra RGB (Red, Blue, Green) secara analog dengan melakukan digitasi on-screen.
136
e. Analisa dan perhitungan dilakukan dengan melakukan integrasi hasil digitasi setiap tahun sehingga dapat diketahuo diketahui perubahannya baik perubahan akresi dan maupun abrasi. 4. PEMBAHASAN Hasil interpretasi citra menunjukan perubahan garis pantai di Pantai Parangtiris berubah pada tahun 1999, 2002, dan 2015. Berdasarkan perhitungan panjang garis pantai hasil digitasi di Pantai Parangtritis yaitu pada tahun 1999 adalah 38,77 meter, tahun 2002 adalah 38,68 meter dan pada tahun 2015 adalah 38,97 meter. Pada tahun 1999-2002 di sekitar Pantai Parangtritis mengalami abrasi yang disebabkan oleh banjir rob yang setiap tahunnya melanda Pantai Parangtritis (Gambar 2).
Gambar 2. Perubahan garis pantai pada tahun 1999-2002
Banjir Rob ini menyebabkan daerah terkikisnya garis pantai. Selain itu abrasi juga terjadi karena adanya gelombang yang bersifat merusak akumulasi sedimen yang berada di laut dan menyebabkan penumpukan sedimen di sekitar garis pantai. Hal ini disebabkan oleh muara Sungai Opak yang mengalir di pantai Parangtritis dan terjadinya penumpukan sedimen di sekitar wilayah tersebut. Abrasi merupakan peristiwa mundurnya garis pantai (Triatmodjo, 1999) yang rentan terhadap aktivitas yang terjadi di daratan maupun di daratan. Aktivitas seperti penebangan hutan mangrove, penambangan pasir, serta fenomena tingginya gelombang dan pasang surut
137
air laut dapat menyebabkan angkutan sedimen menumpuk dan mengakibatkan terjadinya abrasi pantai (Wahyuningsih et al., 2016). Untuk tahun 2002-2015 perubahan garis pantai di Pantai Parangtritis mengalami akresi (Gambar 3). Akresi merupakan penambahan daratan luasan dari daratan karena garis pantai yang semakin maju menuju ke arah laut (Hastuti, 2012). Akresi yang terjadi di Pantai Parangtritis disebabkan oleh adanya laju penimbunan sedimentasi yang terjadi di muara sungai opak , dimana muara Sungai Opak ini membawa sedimen yang kemudian terbawa sampai ke garis pantai di sekitar Pantai Parangtritis dan menyebabkan akresi. Berikut hasil layouting peta perubahan garis pantai yang terjadi pada tahun 1999, 2002 dan 2015.
Gambar 3. Perubahan Garis Pantai pada Tahun 2002-2015
138
Gambar 4. Hasil Layouting Peta Perubahan Garis Pantai
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pantai merupakan wilayah yang dinamis dan dinamika yang beragam. Data yang digunakan dalam paper ini yaitu data citra Landsat yang kemudian diolah dengan menggunakan software Arcgis 10.3 yang kemudian dilihat perbedaan garis pantai di masing-masing tahun. Perubahan garis pantai di Pantai Parangtritis mengalami perubahan seiring perkembangan jaman. Pada tahun 1999 sampai 2002 Pantai Parangtritis mengalami abrasi yang disebabkan oleh banjir rob sedangakn pada tahun 2002 sampai 2015 terjadi akresi yang disebabkan oleh penambahan sedimen di muara Sungai Opak yang mengalir di sekitar Pantai Parangtitis dan menyebabkan terjadinya akresi. Perlu penelitian lebih lanjut lagi tentang garis pantai dan dengan menggunakan satelit yang berbeda–beda, misalnya satelit IKONOS, SPOT dan lain-lain.
6. UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGMENT) Ucapan terimakasih untuk staf Parangtritis Geomaritime Science Park yang membantu dalam proses pembuatan paper ini. Ucapan terimakasih juga untuk Farid Ibrahim, Edwin Maulana dan Theresia Retno Wulan selaku pembimbing dalam penulisan paper ini, sehingga paper ini dapat selesai, serta selaku teman – teman yang memberi masukan dan saran untuk paper ini. 139
DAFTAR PUSTAKA Andana, E.K., 2015. Pengembangan Data Citra Satelit Landsat-8 Untuk Pemetaan Area Tanaman Hortikultura Dengan Berbagai Metode Algoritma Indeks Vegetasi (Studi Kasus: Kabupaten Malang Dan Sekitarnya), in: Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII. Surabaya. Arief, M., Winarso, G., Prayogo, T., 2011. Kajian Peubahan Garis Pantai Menggunakan Data Satelit Landsat di Kabupaten Kendal. J. Penginderaan Jauh 8, 71–80. Hastuti, A.W., 2012. Analisis Kerentanan Pesisir Terhdapa Ancaman Kenaikan Muka Laut di Selatan Yogyakarta. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Istiono, F., Hariyanto, T., 2010. Evaluasi Perubahan Garis Pantai dan Tutupan Lahan Kawasan Pesisir Dengan Data Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Kawasan Pesisir Pasuruan, Probolinggo dan Situbondo). Kasim, F., 2012. Pendekatan beberapa metode dalam monitoring perubahan garis pantai menggunakan dataset penginderaan jauh Landsat dan SIG. vol 5, 620–635. Miftahussalam, 2012. Kondisi Keairan Sumber Air Panas Parangwedang Di Daerah Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul Dan Arahan Pengembangan Untuk Pariwisata. J. Teknol. Technoscientia 5. Prameswari, S.R., Anugroho, A., Rifai, A., 2014. Kajian Dampak Perubahan Garis Pantai Terhadap Penggunaan Lahan Berdasarkan Analisa Penginderaan Jauh Satelit di Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. J. Oseanografi 3, 267–276. Sitanggang, G., 2010. Kajian Pemanfaatan Satelit Masa Depan: Sistem Penginderaan Jauh Satelit LDCM (Landsat-8). Ber. Dirgant. 11. Triatmodjo, 1999. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta. Wahyuningsih, D.S., Maulana, E., Wulan, T.R., Ambarwulan, W., Putra, M.D., Ibrahim, F., Setyaningsih, Z., Putra, A.S., 2016. Efektivitas Upaya Mitigasi Abrasi Berbasis Ekosistem Di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, in: Seminar Nasional Kelautan 2016. Universitas Trunojoyo Madura.
140
ANALISIS MITIGASI BENCANA ABRASI KAWASAN PESISIR PANTAI DEPOK KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Ayu Puji Larasati1, Miati Kusuma Wardani2, Mone Iye Cornelia Marschiavelli3 Theresia Retno Wulan2, Farid Ibrahim2, Edwin Maulana2, Anggara Setyabawana Putra2 1Ilmu
Kelautan, FPIK, Universitas Brawijaya, Malang Science Park, BIG, Yogyakarta 3Badan Informasi Geospasial
2Parangtritis Geomaritime
[email protected]
ABSTRAK Pantai Depok merupakan kawasan pesisir yang memiliki risiko terhadap bencana abrasi. Bila ditinjau dari segala aspek, maka perlu pencegahan dalam mengatasi permasalahan abrasi mengingat Pantai Depok memiliki pelabuhan yang menjadi sandaran perahu nelayan dan kawasan padat permukiman. Serangkaian mitigasi dibutuhkan di kawasan Pantai Depok sebagai upaya menghadapi maupun mengurangi risiko bencana abrasi. Penelitian ini menggunakan metode analisis diskriptif. Hasil yang didapatkan untuk upaya mitigasi bencana abrasi Pantai Depok yaitu mitigasi secara non struktural. Upaya mitigasi non struktural yaitu dengan memberlakukan penetapan zonasi dan peraturan pemerintah berdasarkan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011. Dalam hal ini peran masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam pengelolaan dan perlindungan kawasan pesisir Pantai Depok. Kata Kunci: Mitigasi, Gelombang, Abrasi, Pantai Depok
1. PENDAHULUAN Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di 7º15’-8º15’ LS dan 110º5’-110º4’ BT. Daerah Istimewa Yogyakarta berbatasan secara langsung dengan Samudera Hindia. Hal ini menyebabkan kawasan pesisir Yogyakarta memiliki gelombang tinggi. Selain itu kawasan pesisir Yogyakarta pada wilayah Kabupaten Bantul memiliki tipologi pantai berpasir yang rentan terhadap abrasi. Abrasi adalah mundurnya garis pantai pada wilayah pesisir sehingga dapat mengancam rusaknya bangunan maupun ekosistem yang berada di belakangnya (Suwarsono, 2011). Hal-hal yang menyebabkan abrasi adalah arus laut, gelombang, kondisi morfologi, tipologi, dan vegetasi yang tumbuh di pantai. Sedangkan faktor yang disebabkan oleh aktivitas manusia adalah adanya bangunan baru di pantai, perusakan terumbu karang, 141
penebangan atau penggunaan wilayah sabuk pantai, seperti ekosistem mangrove dan seawall untuk kepentingan lain seperti lokasi budidaya atau fasilitas lainnya (Suwarsono, 2011). Grafik dari tingginya laju fenomena abrasi di kawasan pesisir DIY dapat dilihat dalam Gambar 1.
Gambar 1. Grafik Perubahan Garis Pantai DI Yogyakarta Akibat Abrasi dan Akresi dengan rumus BILKO Sumber: Cahyani et al., 2012
Grafik diatas menunjukkan bahwa tingkat abrasi lebih besar bila dibandingkan akresi pada rentang tahun 1997-2012 di kawasan pesisir DIY. Salah satu kawasan pesisir DIY yang mengalami kemunduran pantai tiap tahunnya adalah kawasan Pantai Depok yang terletak di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul. Kawasan pesisir Pantai Depok berbentuk teluk-teluk kecil akibat dari aktivitas gelombang. Pantai Depok memiliki kecepatan arus berkisar 1-2 m/dt, sedangkan arus balik berkisar 1,5-2,7 m/dt. Pantai Depok termasuk Pantai dengan tipologi berpasir. Hal tersebut menyebabkan Pantai Depok memiliki tingkat abrasi yang relatif besar (Freski dan Srijono, 2013). Oleh karena itu, perlu adanya upaya mitigasi yang dilakukan di Pantai Depok. Mitigasi dibutuhkan sebagai upaya menghadapi maupun mengurangi risiko bencana abrasi di Pantai Depok. Daerah garis pantai atau kawasan pesisir merupakan tempat yang memiliki potensi sumber daya alam yang menarik untuk dikelola, sehingga sebagian besar wilayah pesisir padat oleh pemukiman penduduk (Aisyah et al., 2015). Pantai Depok merupakan salah satu kawasan pesisir yang menjadi tumpuan hidup warga setempat. Pantai Depok menjadi salah satu pantai sebagai sandaran kapal nelayan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2012, Pantai Depok menjadi salah satu objek wisata pantai unggulan bagi masyarakat Kabupaten Bantul berbasis wisata alam, kuliner, keluarga dan minat khusus. 142
Mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk menghadapi maupun mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun peningkatan kesadaran masyarakat. Secara umum mitigasi terbagi menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural adalah pencegahan dampak terjadinya bencana secara fisik, seperti dengan pembangunan seawall maupun penanaman mangrove pada mitigasi bencana abrasi. Sedangkan mitigasi non struktural dengan membuat kebijakan dan pengembangan pengetahuan maupun membangun komitmen publik. Tujuan dari kajian ini adalah untuk melakukan analisis mitigasi bencana abrasi di Pantai Depok, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. STUDI AREA Aktivitas gelombang laut di Pantai Depok, dalam beberapa bulan terakhir ini menyebabkan kerusakan yang cukup banyak. Pantai Depok memiliki kecepatan arus sekitar 1-2.7 m/s dengan tipologi pantai berpasir. Selain itu, aktivitas gelombang dan arus membentuk teluk-teluk berukuran panjang 50100 meter dengan lebar 20-30 meter (Freski dan Srijono, 2013). Pesisir selatan Pulau Jawa bagian tengah dominan dalam jenis dissipative beach, sedangkan pada pesisir Pantai Depok memiliki tipologi pantai dengan endapan lepas berukuran pasir sedang dan bersortasi baik (Surjono, 2001). Endapan lepas tersebut tersusun oleh litik volkanik (andesit dan batupasir tufaan) (Hendratno, 2000). Peta lokasi penelitian dapat dilihat di Gambar 2.
Gambar 2. Lokasi Penelitian Sumber: Google Maps, 2015
143
3. DATA DAN METODE Penelitian ini menggunakan Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) untuk mendapatkan foto udara kawasan pesisir Pantai Depok dan juga kamera digital biasa, untuk mendapatkan dokumentasi kajian wilayah penelitian. Sumber lainya adalah literatur penelitian-penelitian terdahulu, sebagai tinjauan pustaka maupun referensi metode penelitian. Metode analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis deskriptif. Kegiatan dalam penelitian lainya untuk mendukung analisis adalah wawancara kepada masyarakat sejumlah 10 responden. Menurut BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) (2008), bahwa dalam penanggulangan atau mitigasi bencana secara garis besar terdiri dari beberapa tahap, yakni [1] Pengenalan dan pengkajian bahaya [2] Pengennalan Kerentanan [3] Analisis kemungkinan dampak bencana [4] Pilihan tindakan penanggulangan bencana [5] Mekanisme penanggulangan dampak bencana [6] Alokasi tugas dan peran instansi.
Gambar 3. Foto Udara pesisir Pantai Depok Sumber: PGSP, 2015
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Kawasan pesisir Pantai Depok mengalami abrasi (Gambar 4). Pada garis pantai banyak yang terkikis oleh gelombang, sehingga kawasan pesisir Pantai Depok membentuk teluk-teluk kecil. Berdasarkan hasil wawancara dengan warga, diketahui bahwa tidak sedikit bangunan yang rusak karena gelombang tinggi. Ketika banjir rob, maka genangan air dapat mencapai pemukiman warga. Oleh karena itu upaya mitigasi perlu dilakukan di kawasan pesisir Pantai Depok. Mitigasi dapat dilakukan secara struktural maupun non struktural. Mitigasi Struktural merupakan upaya mitigasi yang bersifat fisik, seperti pembangunan sempadan pantai. Berdasarkan Kepres No. 32 Tahun 1990 Pasal 14 tentang Pengolahan Kawasan Lindung, bahwa bangunan sempadan 144
pantai merupakan daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk fisik pantai (>100 meter) dari daerah pasang tertinggi ke arah darat. Bangunan sempadan pantai dapat memberikan manfaat seperti, terbukanya akses terhadap aktivitas nelayan tradisional, menjaga kelestarian lingkungan, melindungi infrastruktur ainnya dari jangkauan abrasi maupun tsunami, serta menjadi patokan pemerintah dalam menata kawasan pesisir (Sugito dan Sugandi, 2008). Kawasan pesisir Pantai Depok merupakan bantaran satuan garis pantai dari bawah bukit Parangdog Pantai Parangtritis hingga Muara Sungai Opak. Hal ini menyebabkan kegiatan mitigasi struktural tidak dapat diterapkan pada perairan ini, karena menyebabkan akumulasi akibat energi gelombang dan arus, maupun transport sedimen pada kawasan pesisir disekitarnya. Mitigasi non struktural adalah upaya pengurangan maupun penanggulangan dampak risiko bencana dalam bentuk kebijakan maupun peraturan. Berdasarkan kondisi fisik maupun sosioekonomi kawasan pesisir Pantai Depok, upaya penanggulangan yang sesuai yaitu dengan membuat peraturan zonasi dan kebijakan pemerintah. Selain itu dapat dibuat jalur evakuasi tsunami disetiap kawasan pesisir.
Gambar 4. Dampak abrasi Pantai Depok Sumber: Analysis, 2016
Peraturan zonasi dalam hal ini sesuai Perda Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 tentang Rencana Pola Ruang Wilayah Pesisir meliputi kawasan 145
pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis rasional tertentu dan sebagai alur laut. Dalam hal ini menunjukkan bahwa kawasan pesisir memiliki pembagian zonasi atau ruang yang tidak sepenuhnya digunakan sebagai pemukiman ataupun infrastruktur masyarakat yang dapat menyebabkan dampak buruk. Peraturan yang memberlakukan mengenai jarak pemukiman serta kegiatannya terhadap garis pantai. Peran pemerintah dapat diakukan dalam pembuatan kebijakan dan peraturan untuk kawasan pesisir sperti pada Perda Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 mengenai Zona Pemukiman, dimana peningkatan kualitas pemukiman pesisir yang seimbang dengan peningkatan kualitas lingkungannya. Adanya kebijakan zonasi konservasi pesisir untuk perlindungan kawasan pesisir untuk daya tarik yang dapat dikembangan untuk segala aspek, seperti objek wisata, ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan dan peningkatan kesadaran konservasi. Peran masyarakat berdasarkan Perda Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011 untuk kawasan pesisir yaitu dengan ikut serta dalam proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang serta pengendalian pemanfaatan ruang sesuai dengan kebijakan yang telah dibuat dengan memperhatikan lingkungan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Kawasan Pantai Depok terletak di wilayah selatan Pulau Jawa yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia sehingga gelombang di perairan tersebut memiliki pola arah datang menyudut terhadap garis pantai. Pantai Depok merupakan kawasan pesisir yang berisiko terjadi abrasi. Apabila dilihat dari segi sosial ekonomi, Pantai Depok merupakan salah satu kawasan pesisir sebagai sandaran perahu nalayan tradisional juga salah satu objek wisata unggulan di Kabupaten Bantul. Bila ditinjau dari segala aspek, maka perlu pencegahan dalam mengatasi permasalahan abrasi di Pantai Depok. Berdasarkan hasil analisis didapatkan hasil mitigasi bencana abrasi untuk Pantai Depok secara struktural dengan pembangunan sempadan pantai, sedangkan secara non struktural yaitu dengan diberlakukan penetapan zonasi dan peraturan pemerintah sesuai dengan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011. Dalam hal ini peran masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam pengolahan dan perlindungan kawasan pesisir Pantai Depok. 146
6. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih diucapkan untuk Ibu Theresia Retno Wulan, Kepala Parangtritis Geomaritime Science Park beserta staf yang membantu dalam penelitian dan penyusunan paper, serta memberikan fasilitas peralatan, finansial dan tempat belajar.
DAFTAR PUSTAKA Aisyah, Siti, Moh. Gamal Rindarjono dan Chatarina Muryani. 2015. Jurnal GeoEco. Analisis Perubahan Permukiman Dan Karakteristik Permukiman Kumuh Akibat Abrasi Dan Inundasi Di Pesisir Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Tahun 2003 – 2013. Vo. 1 No. 1 Hal. 83-100 Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Perauran Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Jakarta : Badan Nasional Penanggulangan Bencana Cahyani, Septian Dewi., Andri Suprayogi dan M. Awaluddin. 2012. Deteksi Perubahan Garis Pantai dengan Metode BILKO dan AGSO (Studi Kasus Kawasan Pantai Selatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1997 Sampai Tahun 2012). Semarang: Universitas Diponogoro Freski, Yan Restu dan Srijono. 2013. Mekanisme Abrasi Di Kawasan Pantai Depok, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosising Seminar Nasional Kebumian Ke6. Yogyakarta Hendratno, A. 2000. Kondisi Geologi Untuk Pengembangan Lingkungan Fisik Wilayah Pesisir Selatan Yogyakarta Antara Muara Sungai Opak dan Girijati. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. 2011. Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 16 Tahun 2011 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011-2030 Sugito, Nanin Trianawati dan Dede Sugandi. 2008. Urgensi Penentuan Dan Penegakan Hukum Kawasan Sempadan Pantai. Jurnal Pendidikan Geografi Vol. 8 No. 2 Surjono, Sugeng S. 2001. Geodinamika Muara Sungai Serang dan Bogowonto Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Pertimbangan Rencana Pengembangan Wilayah. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada
147
KAJIAN PERIKANAN DAN WISATA DI PANTAI SADENG KABUPATEN GUNUNGKIDUL DIY Faizah Rahmayadi Yusuf1, Feni Ayuputri Arifin1, Mone Iye Cornelia Marchiavella3, Theresia Retno Wulan2, Dwi Sri Wahyuningsih2 Anggara Setyabawana Putra2, Edwin Maulana2 1Jurusan
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang 2Parangtritis Geomaritime Science Park, Badan Informasi Geospasial, Yogyakarta 3Badan Informasi Geospasial
[email protected]
ABSTRAK Pantai Sadeng merupakan salah satu pantai yang berada di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sumber daya kelautan yang dimiliki Pantai Sadeng memiliki peluang di bidang perekonomian yang cukup menjanjikan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui potensi perekonomian yang terdapat di Pantai Sadeng. Lokasi penelitian berada di Pantai Sadeng, Kabupaten Gunungkidul. Data yang digunakan adalah data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara beberapa nelayan di Pantai Sadeng. Data sekunder diperoleh dari studi literatur untuk mengetahui gambaran umum dan potensi perikanan di Pantai Sadeng. Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif. Potensi perekonomian yang terdapat di Pantai Sadeng meliputi potensi perikanan, pariwisata, dan perdagangan komoditas perikanan unggulan di Pantai Sadeng adalah memiliki hasil tangkapan ikan pelagis besar, terutama layur. Kawasan Pantai Sadeng dimanfaatkan sebagai kawasan wisata alam dan pemancingan. Potensi perdagangan berupa perdagangan hasil olahan ikan hasil tangkapan nelayan. Kata Kunci: Perikanan, Sadeng, Gunungkidul, Ekonomi
1. PENDAHULUAN Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki garis pantai sepanjang 113 km, terbentang pada tiga kabupaten yaitu Kabupaten Gunungkidul sepanjang 71 km, Kabupaten Bantul sepanjang 17 km, dan Kabupaten Kulonprogo sepanjang 25 km. Wilayah tersebut memiliki potensi sumber daya perikanan, pariwisata, serta jasa-jasa lingkungan (wisata pantai) yang sangat menarik dan bernilai ekonomis penting. Potensi lestari dan produksi hasil perikanan bernilai ekonomis penting (ikan pelagis besar dan kecil dan lobster) di perairan Pesisir dan Laut Selatan DIY, serta Samudera Hindia
148
cukup besar, tetapi tingkat eksploitasinya baru mencapai 28,04% (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi DIY, 2012). Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kawasan pesisir yang khas. Kabupaten Gunungkidul mempunyai panjang pantai 71km (terpanjang di provinsi DIY). Kabupaten Gunungkidul termasuk ke dalam kawasan inti Karst. Pantai di Gunungkidul memiliki tipe pantai struktural dan tipe pantai erosi gelombang. (Maisyaroh et al., 2014). Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng terletak di Teluk Sadeng, diapit dua desa yakni Desa Song Banyu dan Desa Pucung, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng memiliki fasilitas pelabuhan perikanan yang tergolong lengkap baik fasilitas dasar maupun fungsionalnya. Akan tetapi, beberapa fasilitas dasar dan fungsional tidak dapat digunakan secara optimal, seperti pabrik es, koperasi, serta show case ikan. Beberapa kendala tersebut menyebabkan kegiatan operasional perikanan tangkap di PPP Sadeng belum berjalan maksimal. Perlu adanya analisis optimalisasi untuk mengetahui seberapa besar tingkat pemanfaatan dan upaya yang harus dilakukan untuk mencapai titik optimal suatu pelabuhan perikanan. Diharapkan ke depannya dapat meningkatkan keuntungan, sekaligus dapat meningkatkan kepuasan nelayan terhadap pelayanan pelabuhan perikanan (Riandani et al., 2015).
Gambar 1. Pelabuhan Pantai Sadeng Sumber: Analisis, 2016
Wilayah Pantai Sadeng memiliki potensi sumberdaya kelautan bernilai ekonomi, sepert iperikanan, pariwisata, dan perdagangan. Sumberdaya perikanan di Pantai Sadeng menghasilkan ikan pelagis besar (tuna, baby tuna, layur, dan cakalang), udang, dan lobster. Adapun di bidang pariwisata 149
dan perdagangan dapat menjadi peluang yang strategis dalam kancah lokal, nasional, regional dan internasional. Kecepatan pemanfaatan sumber daya kelautan di wilayah Pantai Sadeng makin meningkat dan beragam, seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan semakin meningkatkan tekanan terhadap kelestarian ekosistem dan sumber daya. Kecenderungan kerusakan sumberdaya pesisir dapat terjadi dengan adanya eksploitasi yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan beracun dalam penangkapan lobster. Kawasan wisata pantai atau laut juga identik dengan kuliner ikan yang berkembang sangat pesat (Sahubawa et al., 2015). Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui peluang ekonomi yang didapatkan di Pantai Sadeng, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. STUDI AREA Lokasi penelitian adalah kawasan Pantai Sadeng. Secara astronomis, Pantai Sadeng berada pada koordinat 110o 52’ 32” BT dan 8o 12’ 30” LS. Secara administratif Pantai Sadeng berada di Desa Song Banyu Pucung, Kecamatan Girisobo, Kabupaten GunungKidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi penelitian merupakan lokasi pariwisata sekaligus sebagai lokasi pelabuhan penangkapan ikan. Kondisi pariwisata yang terdapat di Sadeng berupa wisata alam sekaligus wisata pemancingan. Gambaran umum mengenai lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 2. Lokasi Penelitian Sumber: Google Maps, 2015
150
3. DATA DAN METODE Data yang digunakan dalam penelitian terdapat dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi hasil wawancara beberapa nelayan di Pantai Sadeng. Adapun data sekunder meliputi studi literatur untuk mengetahui gambaran umum dan potensi perikanan di Pantai Sadeng. Metode penelitian yang digunakan merupakan deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif memerlukan data berupa informasi secara deskriptif. Karakteristik penelitian kualitatif merupakan kondisi yang berlaku di masyarakat. Metode ini dilakukan dengan langkah pengamatan, wawancara, dan studi pustaka. Penyajian dan analisis data dilakukan secara naratif (Subandi,2011). Adapun analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis komoditas unggulan. Identifikasi komoditas potensial, unggulan dan andalan (SK. Dirjen Bangda Depdagri No. 672/ 2413/ Bangda, 1998 dalam Sahubawa et al., 2015).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Potensi Perikanan di Pantai Sadeng Pelabuhan perikanan memiliki dua fungsi pusat kegiatan tangkap yaitu pusat kegiatan penangkapan ikan pelagis besar dan pusat penangkapan ikan pelagis kecil. Pusat kegiatan penangkapan ikan pelagis besar menggunakan armada perikanan tangkap kapal motor kapasitas 10-30 GT. Pusat kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil dan lobster menggunakan perahu motor tempel. Kapal motor dengan alat tangkap hand-line dan purse-seine diprioritaskan untuk penangkapan ikan pelagis besar di perairan Laut Samudera Hindia, Selatan DIY. Ikan pelagis besar tersebut meliputi tuna, baby tuna, layur, dan cakalang. Adapun komoditas perikanan unggulan Pantai Sadeng adalah ikan pelagis besar terutama layur dengan harga ± Rp40.000/kg. Aktivitas penangkapan ikan cukup intensif dengan produksi mencapai ± 1.000 ton/ tahun. Aktivitas penangkapan ikan yang cukup intensif memberikan dampak positif terhadap Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng. Dampak positif tersebut denganditetapkan dan dikembangkannya Pantai Sadeng sebagai Kawasan Inti Minapolitan Perikanan Tangkap Kabupaten Gunungkidul. Kawasan pelabuhan perikanan memberikan sumbangan sangat besar sekitar ± 95% terhadap total produksi perikanan DIY. Nelayan kapal motor di Sadeng terdiri dari lima sampai enam orang, terdiri dari juru mudi dan ABK. Nelayan kapal motor memiliki tugas yang berbeda pada setiap operasi penangkapan ikan, tergantung dari 151
pengalaman dan keahlian setiap nelayan. Juru mudi kapal bertugas sebagai pengendali kapal, sedangkan ABK bertugas sebagai pelaksana teknis. Juru mudi juga berperan sebagai pemancing saat pengoperasian alat tangkap (Wahyuningrum et al., 2012).
Gambar 3. Armada perahu motor Sumber: Analysis, 2016
Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY (2012) tentang kajian potensi ekonomi sumber daya kelautan bahwa nilai ekonomi sumberdaya perikanan dan jasa-jasa lingkungan terbesar ditemui di Pantai Sadeng yaitu sejumlah Rp. 43,510 milyar. Perkembangan usaha perikanan tangkap di Sadeng dirasa cukup baik karena nilai produksi hasil tangkapan yang diperoleh setiap tahunnya meningkat. Kapal motor merupakan salah satu unit penangkapan ikan yang banyak digunakan oleh nelayan di Sadeng karena bisa mengoperasikan beberapa alat tangkap dan menghasilkan banyak jenis hasil tangkapan. Menurut Perda DIY (2011) Pantai Sadeng cocok dikembangkan sebagai kawasan wisata pantai berbasis pelabuhan dan perikanan. Penanganan hasil tangkapan tidak dilakukan secara khusus dan belum mampu menjaga kualitas hasil tangkapan dengan baik. Penanganan hasil tangkapan hanya dilakukan di atas kapal dengan menggunakan es balok yang telah dihancurkan. Tempat penyimpanan hasil tangkapan juga tidak memadai karena hanya menggunakan coolbox yang tidak dilengkapi dengan sistem pendingin yang baik. Sistem penyusunan ikan juga mempercepat kerusakan ikan karena tidak diklasifikasikan berdasarkan panjang, berat an 152
jenis ikan. Proses ini akan membuat ikan yang tertangkap terlebih dahulu atau ikan yang berada paling bawah lebih cepat rusak. Penanganan yang berbeda hanya dilakukan pada kapal motor saat menangkap ikan tuna yang memiliki berat diatas 20 kilogram. Penanganan yang dilakukan adalah membuang isi perut dan diisi dengan es yang telah dihancurkan (Wahyuningrum et.al ,2012).Hal ini sesuai dengan penyataan Perda DIY (2011), bahwa Pantai Sadeng sebagai pusat pertumbuhan wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul bagian timur dengan kegiatan utama perikanan tangkap dan kegiatan pendukung wisata dan pertanian. 4.2 Potensi Wisata di Pantai Sadeng Pantai Sadeng juga digunakan sebagai kawasan wisata mancing dan keindahan pantai meskipun tidak seramai pantai lainnya karena keterbatasan akses (jauh dari pusat Kota Wonosari dan Kota Yogyakarta). Potensi yang ada di Pantai Sadeng untuk pariwisata pantai dan pelabuhan serta tempat pelelangan ikan. Pantai Sadeng memiliki fungsi kawasan tersebut karena adanya bangunan pemecah gelombang. Bangunan pemecah gelombang tersebut memudahkan kegiatan nelayan beraktifitas terutama saat nelayan akan mendarat (Gambar 4). Hal ini sesuai dengan penyataan Perda DIY (2011), bahwa mengembangkan pantai Sadeng sebagai kawasan wisata berbasis keanekaragaman pantai karst dan minat khusus.
Gambar 4. Bangunan pemecah ombak di Pantai Sadeng Sumber: Analysis, 2016
153
4.3 Potensi Perdagangan di Pantai Sadeng Perkembangan usaha perikanan tangkap di Sadeng dirasa cukup baik karena nilai produksi hasil tangkapan yang diperoleh setiap tahunnya meningkat. Menurut data laporan tahunan PPP Sadeng, produksi hasil tangkapan tahun 2005-2009 meningkat dari 11,82% - 40,67% tiap tahunnya. Kapal motor merupakan salah satu unit penangkapan ikan yang banyak digunakan oleh nelayan di Sadeng karena bisa mengoperasikan beberapa alat tangkap dan menghasilkan banyak jenis hasil tangkapan (Wahyuningrum et al., 2012). Menurut Wahyuningrum et al., (2012) fluktuasi perkembangan produksi dan nilai produksi di PPP Sadeng dari tahun 2005-2009 yaitu jumlah produksi ikan terendah terjadi pada tahun 2005 sebesar 232.567,30 kg dengan nilai produksi Rp 1.627.969.000,00. Jumlah produksi ikan tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 1.227.465,80 dengan nilai produksi Rp 8.821.400.000,00. Hal ini terjadi karena tahun 2007 jumlah armada penangkapan meningkat baik kapal motor maupun perahu motor tempel dan peningkatan jumlah nelayan, sehingga banyak armada yang melakukan operasi penangkapan ikan dan mendaratkan hasil tangkapan. 4.4 Keterkaitan antara Potensi Perikanan, Pariwisata dan Perdagangan di Pantai Sadeng Potensi perikanan, pariwisata dan perdagangan yang ada di Pantai Sadeng saling berkaitan. Khususnya potensi perikanan dan perdagangan, di Sadeng merupakan pasar ikan terbesar yang ada di pantai di Daerah Istimewa Yogyakarta. desain tata ruang sadeng merupakan kawasan pelabuhan perikanan dan tidak diperuntukan untuk keperluan pariwisata. Potensi pariwisata yang ada disana merupakan nilai lebih yang didapatkan karena ketertarikan wisatawan kepada Pantai Sadeng yang elok dan menawan.
5. KESIMPULAN Komoditas perikanan unggulan Pantai Sadeng adalah ikan pelagis besar terutama layur dengan harga ± Rp40.000/kg. Aktivitas penangkapan ikan yang cukup intensif memberikan dampak positif terhadap Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng yaitu ditetapkan dan dikembangkannya Pantai Sadeng sebagai Kawasan Inti Minapolitan Perikanan Tangkap Kabupaten Gunungkidul. Pantai Sadeng juga digunakan sebagai kawasan wisata pemancingan dan keindahan pantai meskipun tidak seramai pantai lainnya. Potensi wisata yang ada di Pantai Sadeng, dapat dikembangkan ke wisata 154
mina bahari karena kawasan Pantai Sadeng memiliki keterbatasan luas cakupan wilayah, dan sebagian besar sudah diperuntukan menjadi pelabuhan.
6. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih diucapkan kepada Ibu Theresia Retno Wulan sebagai Kepala Parangtritis Geomaritime Science Park beserta staf yang membantu dalam proses penelitian dan kajian, sehingga penelitian dapat dilaksanakan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY. 2012. Data Statistik Perikanan Provinsi DIY. Latif S., Nurul K. Musrowari L. 2015. Kajian Sebaran Potensi Ekonomi Sumber DayaKelautan Di Pantai Selatan Daerah IstimewaYogyakarta Sebagai Upaya Percepatan Investasi. Yogyakarta: UGM Maisyaroh, N., Herry B. I. 2014. Analisis Pemasaran Hasil Tangkapan Lobster (Panulirus Sp) Di Tempat Pelelangan Ikan (Tpi) Se-Kabupaten Gunungkidul: Universitas Diponegoro. Perda DIY. 2011. Peraturan daerah provinsi daerah istimewa yogyakarta nomor 16 tahun 2011 tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil provinsi daerah istimewa yogyakarta tahun 2011-2030.Yogyakarta Riandani, P. A., Azis N.B.I. 2015. Tingkat Pemanfaatan Dan Optimalisasi Fasilitas Dasar Dan Fungsional Di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng Gunungkidul Dalam Menunjang Pengembangan Perikanan Tangkap: Universitas Diponegoro. Subandi. 2011. Deskripsi Kualitatif sebagai Satu Metode dalam Penelitian Pertunjukan. Surakarta: Institut Seni Indonesia Surakarta. Wahyuningrum P.I., Tri W. N., Tiara A. R. 2012. Usaha Perikanan Tangkap Multi Purpose di Sadeng, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bogor: Institut Pertanian Bogor
155
156