Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 22 No. 1 April 2012 : 19 – 34
KORELASI ANTARA FENOMENA ENSO, DISTRIBUSI HUJAN, DAN TUTUPAN LAHAN DENGAN AIR LARIAN: STUDI KASUS CEKUNGAN BANDUNG (CORRELATION AMONG ENSO PHENOMENA, DISTRIBUTION OF RAINFALL, AND LAND COVER WITH RUNOFF: A CASE STUDY OF BASIN BANDUNG) Ida Narulita dan M. Djuwansah Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kompleks LIPI, Jl Sangkuriang Bandung Pos-el:
[email protected] (Diterima 24 Januari 2012, Disetujui 20 April 2012) SARI Studi ini bertujuan untuk melihat korelasi fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO), curah hujan, dan tutupan lahan pada variabilitas air larian di Cekungan Bandung. Pengorelasian antara fenomena ENSO, curah hujan dan tutupan lahan pada fluktuasi air larian dilakukan untuk mengetahui pengaruh fenomena ENSO, curah hujan dan perubahan tutupan lahan pada fluktuasi air larian di Cekungan Bandung. Data dasar yang digunakan adalah data curah hujan rata rata bulanan dari sembilan belas stasiun yang tersebar di wilayah Cekungan Bandung pada periode 1986 – 2010, citra Landsat MSS tahun 1976, Citra Landsat ETM+7 tahun 2001, peta tutupan lahan tahun 1994, 1999, 2001, 2004, dan 2008, data pengukuran debit harian periode 1980 – 2009 di stasiun Nanjung (outlet Cekungan Bandung), dan data indeks ENSO (Reynold drr, 2002). Data curah hujan diperoleh dari PT. Indonesia Power, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang. Data pengukuran debit diperoleh dari Dinas Pengelolaan Sumber daya Air (PSDA) Provinsi Jawa Barat. Dalam penelitian ini distribusi hujan dan analisis perubahan tutupan lahan diolah menggunakan metode analisis spasial berbasis Sistem Informasi Geografi. Fluktuasi air larian dihitung menggunakan metode aliran rendah pada data pengukuran debit. Korelasi indeks ENSO, curah hujan, dan indeks tutupan lahan terhadap fluktuasi air larian menggunakan pendekatan analisis statistik dan koherensi yaitu, analisis statistik fungsi waktu. Perangkat lunak Climate Explorer (Oldenborgh and Burgers, 2005) digunakan untuk membantu proses analisis data.Hasil studi menunjukkan bahwa fenomena ENSO berkorelasi negatif terhadap air larian dengan r sebesar 0,63 yang terjadi pada bulan “OND (Oktober-November-Desember)”. Sementara curah hujan berkorelasi positif terhadap air larian dengan r sebesar 0,84 pada bulan “OND (Oktober-November-Desember)”. Nilai korelasi air larian dengan indeks ENSO sebesar -0.63 dan curah hujan sebesar 0,84 menunjukkan nilai korelasi yang sangat tinggi. Fluktuasi air larian sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan curah hujan. Perubahan tutupan lahan di Cekungan Bandung berkorelasi positif terhadap air larian dengan r sebesar 0,43. Ini menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan berperan juga dalam menentukan fluktuasi air larian selain faktor fenomena iklim dan curah hujan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fenomena iklim (ENSO), curah hujan, dan tutupan lahan merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan sumber daya air di Cekungan Bandung. Kata kunci : korelasi, ENSO, curah hujan, tutupan lahan, variabilitas air larian ABSTRACT This study aims to correlate ENSO phenomena, rainfall and land use on the variability of surface run off in Bandung Basin. Correlating among ENSO phenomena, rainfall, and land cover on the variability of surface run off have done to determine the effect of ENSO phenomena, rainfall and land cover changes on the variability of surface runoff in Bandung Basin. The data used in the study are the rainfall data, Landsat MSS imagery in 1976, Landsat ETM satellite images +7 2001, vector data of land cover cover map of Bandung Basin in 1994, 1999, 2001, 2004 and 2008, discharge measurement data of Nanjung station (outlet of Bandung Basin), and ENSO index data (Reynolds drr., 2002). The rainfall data were obtained from PT. Indonesia Power, Badan Meteorology, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), and Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang for the period of 1986 - 2010. Discharge data were obtained from PSDA West Java Province. This study have used the spatial analysis method using geographic information systems, low-flow method, statistical analysis and coherence using time series statistical analysis among ENSO indices, rainfall distribution, and land cover density index on the variability of surface runoff. The Climate Explorer software (Oldenborgh and Burgers., 2005) has been used to assist the process of data analysis. The study results show that the ENSO phenomenon is negatively correlated with the surface runoff at 0.63
19
Korelasi Antara Fenomena Enso, Distribusi Hujan, Dan Tutupan Lahan Dengan Air Larian: Studi Kasus Cekungan Bandung (Ida Narulita dan M. Djuwansah) in OND (Oktober-November-Desember). While rainfall is positively correlated with the the surface runoff at 0.84 in OND (Oktober-November-Desember). Correlation value of the surface runoff with the ENSO index of -0.64 and rainfall of 0.84 indicates a very high correlation values. This means that the fluctuation of the surface runoff is strongly influenced by ENSO and rainfall. Land cover changes in Bandung Basin are positively correlated with the surface runoff at 0.43. This shows that the land use changes play an important role in determining the fluctuations of surface runoff besides climate and rainfall. These results indicate that the climate phenomenon (ENSO), rainfall and land cover are important factors to consider in water resource management in Bandung Basin. Land cover factor seem to be more important than rainfall. Keywords: correlation, ENSO, rainfall, land cover, surface runoff variability
PENDAHULUAN Dalam beberapa dekade ini Cekungan Bandung selalu mengalami bencana Sumber daya air di setiap tahun yaitu banjir dan kekeringan. Keadaan ini diduga sebagai akibat dari terjadinya perubahan rezim hidrologi di Cekungan Bandung. Perubahan rezim hidrologi ini kemungkinan besar diakibatkan oleh dua faktor yaitu perubahan pola hujan dan perubahan tutupan lahan. Perubahan rezim hidrologi di Cekungan Bandung bisa diketahui dengan mengamati fluktuasi aliran. Fluktuasi aliran diperoleh dari data pencatatan debit harian di stasiun Nanjung periode 1980 – 2009 yang merupakan “outlet” Cekungan Bandung. Fluktuasi aliran di DAS Citarum terutama bersumber dari air hujan yang digerakkan oleh aktivitas angin monsun yang terjadi selama bulan November – April (D’Arrigo. drr, 2011) . Hujan yang turun selain digerakkan oleh aktivitas monsun juga mendapat pengaruh kuat dari fenomena sirkulasi laut dan atmosfer yang dikenal sebagai ENSO (El Nino Southern Oscillation selama bulan September – November (Aldrian drr, 2003). Hubungan antara fluktuasi aliran dengan fenomena ENSO terkadang tampak tidak jelas, tidak seperti pada variabilitas hujan. Akan tetapi hasil penelitian D’ Arigo (2011) di DAS Citarum menunjukkan bahwa fenomena ENSO dan IOD berpengaruh pada fluktuasi aliran dengan melihat fluktuasinya
pada periode puluhan tahun berdasarkan data proksi lingkaran kambium pada pohon (D’Arrigo. drr. 2011). Selain diakibatkan oleh pola hujan, fluktuasi aliran dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) juga diakibatkan oleh faktor morfologi dan faktor “anthropogenic”, dan perubahan tutupan lahan termasuk di dalamnya (Sahu. drr., 2011). Perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi daerah pertanian, perkebunan, dan berlanjut ke pemukiman sangat berpengaruh terhadap neraca air wilayah dan rezim hidrologi di DAS yang bersangkutan (Pawitan, 2004), Perubahan neraca air wilayah dan rezim hidrologi akan mengakibatkan bertambahnya jumlah kejadian dan volume banjir dalam suatu DAS. Penelitian fluktuasi air larian dan korelasinya dengan ENSO, curah hujan, dan perubahan tutupan lahan ini bertujuan untuk memahami pengaruh fenomena ENSO, curah hujan, dan perubahan tutupan lahan yang diduga sebagai penyebab perubahan rezim hidrologi di Cekungan Bandung.
LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian adalah di Cekungan Bandung yang merupakan wilayah bagian hulu Daerah Aliran Sungai Citarum dengan luas daerah tangkapan sekitar 2330 km2. Posisi Cekungan Bandung terletak antara 6 o 44’ 53” s/d 7o 14’ 16” LS dan
U Daerah Studi Gambar 1. Lokasi penelitian di wilayah Cekungan Bandung.
20
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 22 No. 1 April 2012 : 19 – 34
107o 22’ 50” s/d 107o 57’ 03” BT, pada ketinggian antara 650 sampai dengan 2500 m dpl. Penduduk yang menempati Cekungan Bandung berdasarkan data BPS tahun 2005 lebih dari 6,5 juta jiwa. Temperatur udara di Cekungan Bandung berkisar antara 22o C – 25o C. Cekungan Bandung saat ini telah mengalami pembudidayaan lahan secara intensif. Wilayah Cekungan Bandung lebih dari 39 % merupakan daerah pertanian lahan kering, luasan hutan sekitar 6 % , luasan perkebunan sekitar 20 % , luasan pemukiman sekitar 17 %. Setiap tahun permasalahan sumber daya air selalu terjadi, yaitu berupa banjir dan kekurangan air dengan frekuensi yang semakin bertambah. DATA DAN METODOLOGI Penelitian ini menggunakan data pengukuran debit harian di stasiun Nanjung untuk periode 1980 – 2009. Data pengukuran debit ini diperoleh dari Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Provinsi Jawa Barat. Kondisi data tidak seluruhnya lengkap, khususnya data tahun 1989 dan 2005. Data ini diolah dengan menggunakan metode aliran rendah untuk mendapatkan fluktuasi air larian periode 1980 – 2009. Aliran rendah dipisahkan dari total aliran dengan metode pemisahan kontinyu (Nathan dan Mc Mahon, 1990; Smakhtin, 2001) untuk hidrograf tahunan. Jumlah aliran rendah bisa diperkirakan dari jumlah total aliran dengan berbagai teknik analisis hidrograf. Umumnya analisis dilakukan untuk suatu kejadian banjir dengan metode klasik seperti telah diuraikan pada bagian pendahuluan. Sebuah teknik pemisahan aliran rendah yang didesain untuk periode waktu yang panjang dikenal dengan istilah continuous separation techniques (Hughes drr., 2003) menggunakan prosedur penapisan matematis yang memungkinkan suatu seri aliran rendah pada kurun tertentu dipisahkan dari aliran tinggi (highflow) pada sejumlah total aliran (stream flow). Algoritma penapisan matematis yang dipergunakan dikenal dengan nama recursive digital filter (Nathan dan Mc Mahon, 1990), biasa ditulis dengan rumus: dan
q1 = αqi-1+ β (1 + α) (Qi –Qi-1) qB1 = Q1 – q1
di sini : Q1 q1 QB1 i α, β,
= Seri luah total TF = Seri komponen aliran tinggi (High Flow) HF = Seri komponen aliran rendah (base flow) BF = indeks waktu ke = parameter pemisah (α = 0,95; β = 0,5)
Penerapan rumus di atas terhadap data (total flow) hidrograf yang didapat dari stasiun pengamatan dapat dilakukan menggunakan perangkat lunak spreadsheet (misalnya : Excel). Dari hasil penapisan dihitung perkiraan jumlah tahunan aliran rendah dan total aliran, dan rasio BF/TF dapat ditetapkan. Dalam memanfaatkan hasil pemisahan Aliran tinggi dan aliran rendah sebagai respons hujan, diperlukan perlakuan yang berbeda antara keduanya. Data aliran tinggi dapat dipakai sebagai responss curah hujan untuk selang waktu pendek (beberapa jam sampai beberapa hari). Sementara aliran rendah hanya dipakai sebagai sebagai responss curah hujan untuk selang waktu jangka yang lebih panjang (mingguan, bulanan atau tahunan), bergantung pada ukuran luas DAS. Data yang di gunakan selanjutnya adalah data curah hujan bulanan dari stasiun hujan yang tersebar di Cekungan Bandung untuk periode 1986 – 2010 yang di peroleh dari PT. Indonesia Power, Balai Penelitian Tanaman Sayuran dan Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Distribusi hujan spasial disusun dengan metode isohyet karena Cekungan Bandung merupakan daerah dengan topografi berbukit (Asdak, 2002 dan Shaw, 1985). Hubungan antara curah hujan dengan ketinggian dapat dihitung dengan mengunakan kurva regresi linier. Dari kurva regresi linier diperoleh fungsi antara curah hujan dengan ketinggian di setiap bulan pada stasiun hujan yang mewakili daerah penelitian. Peta isohyet bulanan disusun dengan mengaplikasikan persamaan regresi (fungsi antara curah hujan dengan ketinggian) pada peta topografi daerah Cekungan Bandung dengan skala 1: 25.000 yang diterbitkan oleh Bakosurtanal. Peta topografi digital ini diekstrak terlebih dahulu untuk mendapatkan titik titik ketinggian. Distribusi spasial hujan bulanan disusun dengan menggunakan metode “inverse distance”. Distribusi curah hujan temporal disusun dengan menghitung nilai curah hujan rata rata di setiap bulan selama periode penelitian pada distribusi curah hujan spasial bulanan. Data selanjutnya yang di gunakan adalah citra satelit Landsat MSS tahun 1976, Citra Landsat ETM+7 tahun 2001, peta tutupan lahan tutupan lahan tahun 1994, 1999, 2001, 2004, dan 2008 yang diturunkan dari data Landsat dan ETM +7. Data citra satelit dan peta tutupan lahan ini digunakan untuk menentukan kecenderungan (trend) perubahan tutupan lahan. Trend perubahan tutupan lahan diperoleh dengan menghitung luas tutupan lahan berdasarkan data citra satelit Landsat MSS tahun 1976, Citra Landsat ETM+7 tahun 2001, serta peta tutupan lahan tahun 1994, 1999, 2001, 2004, dan 2008.
21
Korelasi Antara Fenomena Enso, Distribusi Hujan, Dan Tutupan Lahan Dengan Air Larian: Studi Kasus Cekungan Bandung (Ida Narulita dan M. Djuwansah) Berdasarkan trend perubahan tutupan lahan, kemudian ditentukan prediksi perubahan tutupan lahannya setiap bulan selama periode 1976 - 2008. Indeks tutupan lahan (“Landcover density Index”) terhadap air larian dan curah hujan diperoleh dengan mengalikan factor atau koefisien yang diperoleh dari hubungan antara rainfall dan run off yang dihitung dengan menggunakan metode CN. Indeks tutupan lahan ini yang akan dikorelasikan dengan fluktuasi air larian. Penentukan korelasi indeks ENSO dengan fluktuasi air larian, curah hujan dan respons tutupan lahan menggunakan data indeks iklim Nino 3.4, yaitu indeks ENSO pada area 120°W-170°W dan 5°S5°N. Indeks Nino 3.4 diperoleh dari publikasi Reynold drr., (2002). Analisis statistik didukung perangkat lunak Climate Explorer (Oldenborgh and Burgers, 2005) yang dibuat oleh KNMI (Koninklijk Nederlands Meteorologisch Instituut). Pada penelitian ini akan dilakukan analisis statistik fungsi waktu (korelasi dan koherensi) yang meliputi: 1. Korelasi antara indeks fenomena iklim dan distribusi curah hujan dilakukan untuk 107,24 -6,71
o
mengetahui hubungan antara fenomena iklim dan distribusi hujan di Cekungan Bandung. 2.
Korelasi antara indeks fenomena iklim dan kuantitas air larian (High Flow (HF)): dilakukan untuk mengetahui hubungan antara fenomena iklim dan kuantitas air larian di Cekungan Bandung.
3. Korelasi respons tutupan lahan terhadap kuantitas air larian HF : dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perubahan tutupan dan kuantitas air larian di cekungan Bandung.
HASIL PENELITIAN Distibusi spasial dan temporal curah hujan ratarata bulanan daerah Cekungan Bandung Data curah hujan harian dari stasiun yang tersebar di Cekungan Bandung dikumpulkan dari tahun 1986 – 2010. Pada gambar di bawah dapat dilihat distribusi stasiun pencatat hujan dan debit di Cekungan Bandung. 107,97
o
oo
o
-6,71
o
LEGENDA
Posisi Legenda St. Bandung
Legend Drainase
garis Batas DAS
-7,25
o
107,24
o
107,97
o
-7,25
o
Gambar 2. Lokasi stasiun pencatat hujan dan debit di lokasi penelitian (Cekungan Bandung).
Distribusi curah hujan spasial, dapat dihitung menggunakan persamaan regresi antara hujan dan ketinggian stasiun pencatat hujan terpilih, yaitu ketinggiannya cukup mewakili dan ketersediaan datanya kontinu serta kesalahan pencatatan sekecil mungkin.
22
Data hujan dari stasiun terpilih ini akan dikoreksi menggunakan “kurva massa”. Tujuan koreksi ini adalah untuk menghindari kesalahan pencatatan data karena kesalahan pencatatan maupun kesalahan peletakan alat.
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 22 No. 1 April 2012 : 19 – 34
Tabel 1. Stasiun Terpilih Untuk Mendapatkan Persamaan Hujan dan Ketinggian
Stasiun terpilih untuk persamaan hujan Cekungan Bandung Bagian Utara Nama Stasiun
Ketinggian(m)
Bujur Timur
Lintang Selatan
Ujung Berung
675
107,72
6,96
Bandung_(DAGO)
833,6
107,61
6,87
Lembang
1175
107,62
6,83
Balitsa
1218,75
107,65
6,80
Stasiun terpilih untuk persamaan hujan Cekungan Bandung Bagian Utara Nama Stasiun
Ketinggian(m)
Bujur Timur
Lintang Selatan
Ciparay
675
107,71
7,04
Cisondari
1045,8
107,48
7,09
Chinchona
1402
107,57
7,18
Santosa
1612,5
107,65
7,26
Hasil perhitungan persamaan regresi antara curah hujan bulanan dan ketinggian stasiun di Cekungan Bandung tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat antara curah hujan dengan ketinggian stasiun yang ditunjukkan oleh nilai R2 0,93. Persamaan regresi yang diperoleh diproses menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk menentukan nilai y (curah hujan) masing-masing kelompok pada peta kontur yang telah diekstrak.
Hasil proses ini adalah peta kontur curah hujan 12 bulanan selama 24 tahun. Peta kontur curah hujan tiap bulan per tahun diintepolasi dengan metode IDW (Inverse Distance Weighting) dengan memanfaatkan analisis spasial dalam Sistem Informasi Geografi. Hasil analisis berupa peta spasial curah hujan bulanan selama 24 tahun. Contoh hasil proses yang berupa curah hujan spasial bulanan dapat dilihat pada Gambar 3 ini.
Distribusi hujan spasial bulan Februari 2010
Distribusi hujan spasial bulan Mei 2010
23
Korelasi Antara Fenomena Enso, Distribusi Hujan, Dan Tutupan Lahan Dengan Air Larian: Studi Kasus Cekungan Bandung (Ida Narulita dan M. Djuwansah) Distribusi hujan spasial bulan Juli 2010
Distribusi hujan spasial bulan Agustus 2010
Distribusi hujan spasial bulan Oktober 2010
Distribusi hujan spasial bulan November 2010
LEGENDA: Curah Hujan Bulanan dalam mm
Gambar 3. Distribusi curah hujan spasial tahun 2010 di Cekungan Bandung
Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa bulan kering di Cekungan Bandung terjadi pada Juni – Agustus, dan bulan basah dimulai pada September – Mei. Daerah yang berada pada daerah yang lebih tinggi menerima curah hujan lebih banyak daripada daerah yang lebih rendah. Hal ini diakibatkan oleh hujan yang terjadi di Cekungan Bandung yang dominan hujan dengan tipe orografik. Berdasarkan distribusi curah hujan spasial bulanan (Gambar 3) disusun distribusi temporalnya selama periode 1986 – 2010. Perangkat lunak Climate
24
Explorer (Oldenborgh and Burgerss., 2005) yang dibuat oleh KNMI (Koninklijk Nederlands Meteorologisch Instituut) digunakan untuk menghitung nilai anomali curah hujannya. Hasil analisis dapat dlihat pada Gambar 4. Nilai anomali curah hujan inilah yang akan dikorelasikan dengan indeks iklim dan anomali kuantitas air larian. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa di Cekungan Bandung setelah tahun 2004 terjadi variabilitas curah hujan yang sangat fluktuatif dibandingkan sebelum tahun 2004. Hal ini masih dalam studi mengapa demikian.
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 22 No. 1 April 2012 : 19 – 34
Gambar 4. Anomali curah hujan bulanan 1986 – 2010 di Cekungan Bandung
Indeks Iklim (ENSO Indeks) Indeks iklim (ENSO Indeks) diperoleh dari Reynold drr. Nilai indeks ENSO dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 5. Indeks Iklim Nino 3.4 yang ditampilkan dari proses yang dilakukan menggunakan Climate Explorer selama periode tahun 1986 – 2010
Pemisahan data debit menjadi data surface runoff (High Flow) dan air imbuhan (Base Flow) dengan Data total aliran stasiun Nanjung diperoleh dari Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat yang berada pada daerah paling hilir (outlet) dari Cekungan Bandung.
Data total aliran yang diolah adalah data pada tahun 1980 – 2010, dengan adanya data yang tidak lengkap di tahun 1989 dan 2005. Hasil pemisahan dengan menggunakan metode aliran rendah atau yang lebih dikenal dengan recursive digital filter [Nathan dan Mc Mahon, 1990], dapat dilihat pada Gambar 6 dan gambar 10 di bawah ini:
Total Flow, High Flow, Base Flow Cekungan Bandung 1980 - 2009 Total Flow HIgh Flow Linear (Total Flow) Linear (High Flow
Gambar 6. Grafik Total Flow, High Flow dan Base Flow di stasiun Nanjung tahunan tahun 1980 – 2010. Hasil pemisahan dengan menggunakan recursive digital filter (Nathan dan Mc Mahon, 1990).
25
Korelasi Antara Fenomena Enso, Distribusi Hujan, Dan Tutupan Lahan Dengan Air Larian: Studi Kasus Cekungan Bandung (Ida Narulita dan M. Djuwansah) Grafik Air Larian (High Flow) Tahun 1980-2009 di Cekungan Bandung
Gambar 7. Grafik air larian bulanan, hasil pemisahan dengan menggunakan recursive digital filter (Nathan dan Mc Mahon, 1990)
Pada Gambar 6 di atas dapat dilihat grafik Total Flow (TF) tahunan yang merupakan grafik data yang diperoleh dari hasil pengukuran debit harian di stasiun Nanjung periode 1980 - 2009. Sementara hasil pemisahan TF dengan metode recursive digital filter (metode aliran rendah) adalah High Flow (HF) yang merupakan air larian tahunan dan Base Flow (BF) yang merupakan air imbuhan tahunan. Pada tulisan ini akan dibahas hanya fluktuasi HF. Pada Gambar 6 dapat dilihat adanya lonjakan kurva yang sangat tajam dari TF dan HF pada tahun 1997 dan 1998. Lonjakan ini berhubungan dengan fenomena iklim ekstrim yang terjadi pada tahun tersebut, yaitu terjadinya anomali positif dari indeks Nino 3.4 (anomali positif dari SST) dan anomali curah hujan negatif. Diduga hal ini berkaitan dengan terjadinya El Nino pada tahun 1997/1998.
Pada Gambar 7 dapat dilihat kecenderungan kurva air larian yang sangat fluktuatif. Hal ini berhubungan dengan fungsi hidrologi DAS yang tidak bekerja dengan baik (normal). Korelasi antara air larian dan nilai air larian pada Gambar 9 dan Gambar 10 diolah menggunakan perangkat lunak Climate Explorer (Oldenborgh and Burgers, 2005) untuk mendapatkan nilai anomali air larian (Gambar 12.) Prediksi Perubahan Tutupan Lahan dan Estimasi Respons Tutupan Lahan Terhadap Air Larian dan Curah Hujan Prediksi perubahan luas tutupan lahan di Cekungan Bandung dihitung dengan cara menentukan perubahan rata-rata pertahun dari data citra Landsat MSS tahun 1976, Citra Landsat ETM+7 tahun 2001, dan peta tutupan lahan tahun 1994, 1999, 2001, 2004 dan 2008. Perubahan rata rata setiap tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Pada Gambar 6 dapat dilihat juga garis ”trend” pada grafik TF dan HF menunjukkan nilai positif, yang artinya Total Flow dan High Flow di Cekungan Bandung berdasarkan data debit tahun 1980 – 2010 menunjukkan kecenderungan naik. Fenomena ini menunjukkan bahwa Total Flow dan air larian (High Flow) cenderung semakin bertambah seiring dengan waktu (tahun).
Tabel 2. Perubahan Luas Setiap Satuan Tutupan Lahan Rata-rata Per Tahun (dalam km2) di Cekungan Bandung Tahun 19762008
26
No
Tutupan Lahan
1994-1976
1999-1994
2001-1999
2008-2001
RataRata
1
Hutan
-10,9
-12,7
-31,2
-10,7
-16,36
2
Perkebunan
-8,9
31,8
-58,0
2,5
-8,12
3
Lahan Kering
33,9
-5,2
31,8
8,0
17,13
4
Lahan Basah
-20,0
-27,5
-7,5
0,0
-13,76
5
Pemukiman+Air
5,9
13,6
64,8
7,1
22,85
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 22 No. 1 April 2012 : 19 – 34
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa untuk periode 1976 – 2008 di Cekungan Bandung telah terjadi perubahan tutupan lahan dari lahan yang bervegetasi menjadi lahan terbuka. Perubahan tutupan lahan rata-rata untuk periode tersebut adalah berupa berkurangnya lahan hutan sekitar 16 %, lahan perkebunan berkurang 8 %, pertanian lahan kering bertambah 17 %, dan pemukiman bertambah 22, 85 %.
faktor (koefisien air larian). Nilai koefisien air larian setiap satuan lahan dapat dilihat pada Tabel 3. Indeks tutupan lahan dihitung dengan mengalikan besarnya luas tiap kelas tutupan lahan dengan nilai faktor (koefisien air larian (Tabel 3.). Hasil perhitungan nilai faktor (koefisien air larian) menunjukkan bahwa semakin terbukanya lahan, maka nilai faktornya akan semakin besar. Artinya persentase air hujan yang melimpas di atas permukaan pada satuan tutupan lahan tersebut semakin besar. Indeks tutupan lahan adalah nilai respons total dari luas semua tutupan lahan dikalikan dengan faktor (koefisien air larian) pada Tabel 3. Angka indeks tutupan lahan inilah yang akan dikorelasikan dengan kuantitas air larian.
Pengaruh tutupan lahan terhadap fluktuasi luah aliran permukaan ditentukan melalui nilai CN yang dipakai pada metode SCS (Cuen, 1982). Nilai CN untuk setiap jenis tutupan lahan langsung dikonversikan berdasarkan diagram hubungan curah hujan dan produksi larian (rainfall-run off) menjadi Tabel 3. Nilai Koefisien Air Larian Setiap Jenis Satuan Lahan
Tutupan Lahan
CN
%
RO/RF
Koefisien Air Larian
Hutan
60,5
0,6
0,14
0,28
Perkebunan
69
0,67
0,19
0,38
Lahan Kering
78,5
0,78
0,27
0,34
Lahan Basah
70
0,72
0,22
0,44
Pemukiman+Air
93
0,93
0,425
0,85
Gambar 8. Indeks tutupan lahan (km2) tahun 1976 – 2008 di Cekungan Bandung
Nilai indeks tutupan lahan total adalah penjumlahan indeks setiap tutupan lahan dalam setiap tahun. Gambar 8 menunjukkan indeks tutupan lahan total setiap tahun terhadap air larian dan air hujan di Cekungan Bandung periode 1976 – 2008 berdasarkan prediksi luas perubahan tutupan lahan di Cekungan Bandung pada Tabel 2.
Grafik di atas menunjukkan semakin bertambahnya tahun nilai Indeks tutupan lahan semakin tinggi. Artinya tutupan lahan yang terjadi di Cekungan Bandung adalah tutupan lahan yang semakin terbuka (perubahan tutupan lahan hutan dan perkebunan menjadi pertanian lahan kering dan pemukiman).
27
Korelasi Antara Fenomena Enso, Distribusi Hujan, Dan Tutupan Lahan Dengan Air Larian: Studi Kasus Cekungan Bandung (Ida Narulita dan M. Djuwansah) Terjadi gradien perubahan yang cukup besar antara tahun 1993 – 1998 dan 1998 – 2008. Fenomena ini menunjukkan pada tahun 1993 -1998 dan 1998 – 2008 telah terjadi perubahan lahan yang sangat signifikan dari lahan bervegetasi menjadi lahan yang terbuka. Analisis statistik korelasi dan koherensi antara fenomena iklim, curah hujan, variabilitas kuantitas air larian, dan indeks perubahan tutupan lahan (respons tutupan lahan terhadap air hujan).
Hasil analisis statitik korelasi dan koherensi antara faktor fenomen iklim, curah hujan, dan respons tutupan lahan dengan air larian (HF) dan air imbuhan dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Korelasi antara indeks fenomena iklim dengan air larian (HF) : Hubungan antara fenomena iklim dengan variabilitas kuantitas air larian di Cekungan Bandung dilakukan dengan melakukan korelasi antara fenomena iklim (Indeks Nino 3.4) dengan anomali variablitas kuantitas air larian. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Climate Explorer, hasilnya dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10 di bawah ini:
Gambar 9. Grafik Indeks Nino 3.4 dan anomali variabilitas air larian di Cekungan Bandung tahun 1986 – 2010
Pada Gambar 9 menunjukkan dua parameter yang akan dikorelasikan (Indeks Iklim dan anomali kuantitas air larian). Pada grafik yang diarsir menunjukkan kondisi indeks iklim dan anomali air larian pada saat kondisi ekstrim (El Nino dan La Nina tahun1997/1998).
Gambar 10. Korelasi antara indeks iklim Nino 3.4 dengan anomali air larian (High Flow) bulanan tahun 1986 – 2010 di Cekungan Bandung
28
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 22 No. 1 April 2012 : 19 – 34
Pada Gambar 10. menunjukkan bahwa korelasi antara indeks Nino 3.4 dengan anomali kuantitas air larian (High Flow) bulanan tahun 1986 – 2010. Kuantitas air larian (High Flow) di Cekungan Bandung berkorelasi negatif dengan indeks nino sebesar 0, 63. Garis merah menunjukkan korelasi, sedangkan garis hijau menunjukkan tingkat confidencial 95%. Korelasi air larian dengan indeks Nino 3.4 ini diolah dalam rata-rata 3 bulanan, Lag 0 (artinya fenomena iklim dan respons (air larian) terjadi secara bersamaan). Pada Gambar 10. menunjukkan bahwa korelasi tinggi antara air larian di Cekungan Bandung dengan Indeks Nino 3,4 terjadi pada rata-rata bulan OND (October November December). Artinya adalah apabila terjadi naiknya suhu permukaan laut diatas nilai normalnya (anomali positif) di wilayah bagian timur lautan Pacifik (terjadi El Nino) maka akan terjadi respons
yaitu berkurangnya air larian di Cekungan Bandung. Atau sebaliknya apabila terjadi penurunan suhu permukaan laut di atas nilai normalnya (anomali negatif) di wilayah bagian timur lautan Pacifik (terjadi La Nina) maka akan berpotensi terjadi respons yaitu bertambahnya air larian di Cekungan Bandung. Korelasi sebesar 0,63 dengan tingkat keyakinan sebesar 95% merupakan nilai yang cukup signifikan. Korelasi antara curah hujan dengan air larian (HF) Korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara curah hujan dan fluktuasi air larian di Cekungan Bandung. Korelasi dilakukan antara anomali fluktuasi air larian dengan anomali curah hujan dengan menggunakan perangkat lunak Climate Explorer, yang hasilnya seperti yang dapat dilihat pada Gambar 11. dan Gambar 12. di bawah ini.
Grafik Anomali Curah Hujan dan Air larian (HF) di Cekungan Bandung (1986 – 2010)
Gambar 11. Grafik antara anomali curah hujan dengan anomali air larian (1980 – 2009)
Grafik pada Gambar 11 menunjukkan kurva fluktuasi curah hujan tahunan yang konstan dengan amplitudo 6 – 10 tahun. Sementara kurva curah hujan bulanan menunjukkan penambahan amplitudo yang sangat signifikan setelah tahun 2004.
Grafik anomali air larian pada tahun 1980 – 2003 menunjukkan kurva dengan amplitudo yang fluktuatif seiring dengan fluktuasi curah hujan (lihat garis trend air larian). Setelah tahun 2003 kurva anomali air larian menunjukkan kecenderungan yang naik terus seiring dengan waktu.
Gambar 12. Korelasi curah hujan bulanan tahun 1986 – 2010 dan fluktuasi air larian di Cekungan Bandung
29
Korelasi Antara Fenomena Enso, Distribusi Hujan, Dan Tutupan Lahan Dengan Air Larian: Studi Kasus Cekungan Bandung (Ida Narulita dan M. Djuwansah) Korelasi antara curah hujan (1986 – 2010) dengan air larian sebesar 0, 84 yang terjadi pada bulan OND (Oktober-November-Desember) dapat dilihat pada Gambar 12. Garis merah menunjukkan korelasi, sedangkan garis hijau menunjukkan tingkat konfidensial 95%. Korelasi curah hujan dengan air larian yang dibuat dalam rata-rata 3 bulanan, Lag 1 . Artinya apabila terjadi kenaikan curah hujan, maka sekitar satu bulan setelah itu akan berpotensi menambah air larian sebesar 84 %. Korelasi sebesar 0,84 dengan tingkat keyakinan sebesar 95% merupakan nilai yang cukup signifikan. Korelasi tertinggi terjadi pada saat awal musim hujan, yaitu bulan Oktober, November dan Desember. Artinya curah hujan yang terjadi pada awal musim hujan, sangat berpotensi menjadi air larian.
Korelasi tertinggi terjadi pada awal musim hujan, yaitu bulan Oktober, November dan Desember. Artinya curah hujan yang terjadi pada awal musim hujan, sangat berpotensi menjadi air larian. Korelasi antara respons tutupan lahan terhadap kuantitas air larian (HF) : Hubungan antara perubahan tutupan lahan dengan fluktuasi kuantitas air larian diketahui dengan melakukan korelasi antara anomali respons tutupan lahan dengan anomali kuantitas air larian. Korelasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Climate Explorer. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14 di bawah ini:
Anomali Air Larian (HF) Stasiun Nanjung periode 1980 – 2009
Gambar 13. Grafik anomali kuantitas air larian stasiun Nanjung periode 1980 – 2009
Gambar 13 di atas menunjukkan mulai tahun 2003 kurva anomali air larian menunjukkan fluktuasi anomali air larian yang sangat tinggi dibandingkan sebelum tahun 2003. Apabila dilihat anomali indeks iklim ENSO (Gambar 9) pada tahun 2003 dan setelah
tahun 2003, nilai indeksnya lebih kecil dari 2. Artinya tidak terjadi fenomena El Nino maupun La Nina. Hal ini menunjukkan fluktuatifnya nilai anomali kuantitas air larian (high flow) bukan diakibatkan oleh fenomena iklim, tapi oleh penyebab lainnya.
Gambar 14. Anomali respons tutupan lahan di Cekungan Bandung tahun 1976 – 2009.
30
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 22 No. 1 April 2012 : 19 – 34
Gambar 14 adalah grafik respons tutupan lahan yang dihitung dengan memanfaatkan perangkat lunak Climate Explorer (Oldenborgh and Burgers., 2005). Gambar 14 menunjukkan kecenderungan (trend) indeks tutupan lahan ( ITL ) terhadap air hujan dan air larian semakin besar seiring dengan waktu. Artinya seiring dengan waktu semakin banyak air hujan yang melimpas menjadi air larian. Pada tahun 1997 - 2000 terjadi gradien perubahan indeks tutupan lahan yang cukup tajam.
Fenomena ini menunjukkan pada tahun 1997 – 2000 telah terjadi perubahan tutupan lahan yang sangat signifikan dari lahan bervegetasi menjadi lahan yang terbuka (Gambar 8.). Gradien perubahan indeks tutupan lahan yang tajam ini diduga terkait kuat dengan kecenderungan kurva air larian di Cekungan Bandung yang semakin naik. Hasil korelasi antara parameter anomali kuantitas air larian (high flow) dengan anomali indeks tutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 15. di bawah ini.
Gambar 15. Korelasi antara indeks tutupan lahan dan kuantitas air larian (HF) di Cekungan Bandung tahun 1980 - 2009
Berdasarkan nilai kuantitas air larian (HF) tahun 1980 – 2009 dan indeks tutupan lahan tahun 1976 – 2009, nilai korelasi antara dua faktor di atas adalah 0,433. Garis hijau menunjukkan korelasi. Korelasi antara kuantitas air larian dan respons tutupan lahan ini dibuat dalam rata-rata 3 bulanan, Lag 0 dan menggunakan High Pass Filter (hanya meloloskan nilai nilai yang tinggi). Arti dari nilai korelasi tersebut adalah apabila terjadi kenaikkan Indeks tutupan lahan (ada penambahan tutupan lahan yang semakin terbuka), maka akan berpotensi menambah air larian di Cekungan Bandung sebesar 43 %. Korelasi kedua faktor ini menunjukkan nilai yang cukup besar. Nilai ini menunjukkan bahwa tutupan lahan juga sangat menentukan kurva kuantitas air larian.
DISKUSI DAN PEMBAHASAN Bencana banjir selalu terjadi setiap tahun di Cekungan Bandung, dengan frekuensi dan volume yang semakin bertambah. Bertambahnya frekuensi
dan volume bencana banjir ini merupakan salah satu indikator bahwa daerah ini sedang mengalami perubahan rezim hidrologi. Faktor yang diduga menjadi penyebab perubahan rezim hidrologi di Cekungan Bandung adalah perubahan pola curah hujan dan pola tutupan lahan. Pola curah hujan di Jawa sangat dipengaruhi oleh fenomena sirkulasi atmosfer laut yang dikenal dengan El Nino Southern Oscillation (ENSO) (Haylock dan McBride, 2001; Boer dan Faqih, 2004). Sehingga curah hujan yang turun di Cekungan Bandung sangat dipengaruhi oleh fenomena iklim tersebut. Korelasi antara curah hujan dengan fenomena ENSO di Cekungan Bandung adalah – 0,67 (Narulita, 2010). Pada setiap kali hujan yang jatuh di atas suatu DAS, aliran sungai akan memberikan tanggapan dalam bentuk lonjakan luah/debit. Pada DAS yang memiliki fungsi hidrologi yang baik, tanggapan akan lebih lemah dan menghasilkan hidrograf yang konstan dengan lengkungan kurva yang halus dan relatif datar. Sementara pada DAS yang buruk akanmeghasilkan hidrograf yang fluktuatif. Salah
31
Korelasi Antara Fenomena Enso, Distribusi Hujan, Dan Tutupan Lahan Dengan Air Larian: Studi Kasus Cekungan Bandung (Ida Narulita dan M. Djuwansah) aktor yang menentukan fungsi hidrologi suatu DAS adalah pola tutupan lahan. Salah satu parameter hidrologi yang paling rentan terhadap perubahan pola tutupan lahan adalah air larian (high flow) (Fohrer drr., 2001). Semakin baik fungsi hidrologi suatu DAS, maka kurva air larian akan membentuk kurva yang halus dan relatif datar. Sementara DAS yang mempunyai fungsi hidrologi yang buruk kurva air lariannya akan fluktuatif. Hasil penelitian menunjukkan korelasi antara air larian dengan fenomena ENSO nilainya adalah – 0,63, sedangkan korelasi air larian dengan curah hujan adalah 0,84. Hal ini menunjukkan kurva air larian sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan pola curah hujan. Apabila terjadi anomali positif dari ENSO (El Nino) maka berpotensi menurunkan air larian. Hal ini disebabkan karena anomali positif ENSO berkaitan dengan terjadinya kekeringan di banyak wilayah di Indonesia (Boer drr, 2004 ; Haylock dan McBride, 2001). Dari dua faktor (ENSO dan curah hujan), pola curah hujanlah yang lebih menentukan kurva air larian, yang ditunjukkan dengan nilai korelasi yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini bisa dipahami karena sumber utama air larian adalah curah hujan yang artinya hubungan antara fluktuasi kuantitas air larian dengan pola curah hujan adalah hubungan langsung. Yang perlu dicermati adalah korelasi tertinggi antara air larian dan curah hujan terjadi pada bulan Oktober, November, dan Desember, yaitu pada awal musim hujan. Curah hujan yang terjadi di awal musim hujan mendapatkan tanggapan yang cepat dan kuat dari DAS. Karakter hujan pada bulan Oktober, November dan Desember di Cekungan Bandung pada umumnya terjadi hujan dengan intensitas kecil dengan waktu yang lama (Narulita dan Djuwansah, 2006). Hujan dengan karakter seperti ini, pada saat tanah sudah jenuh oleh air hujan akan berpotensi menjadi banjir yang akan meningkatkan jumlah air larian. Keadaan ini diperparah dengan fungsi hidrologi Cekungan Bandung yang tidak berfungsi baik sehingga berpotensi menambah volume air larian dan jumlah kejadian banjir. Fungsi hidrologi di Cekungan Bandung sudah tidak baik lagi yang diindikasikan oleh hujan yang turun di Cekungan Bandung, langsung direspons dengan cepat dan kuat oleh DAS dalam bentuk lonjakan kurva air larian. Dalam kurun waktu 1976 – 2008 di Cekungan Bandung telah terjadi perubahan pola tutupan lahan yaitu berkurangnya lahan hutan sekitar 16 %, lahan perkebunan berkurang 8 %, pertanian lahan kering bertambah 17 % dan pemukiman bertambah 22.85 %. Artinya perubahan tutupan lahan yang terjadi di Cekungan Bandung adalah lahan yang semakin terbuka. Perubahan pola tutupan lahan ini mengakibatkan respons tutupan lahan terhadap air
32
larian dan curah hujan menunjukkan kecenderungan (trend) semakin meningkat. Korelasi antara air larian dan respons tutupan lahan menunjukkan nilai positif 0,433. Artinya perubahan tutupan lahan berpotensi memengaruhi kuantitas air larian sebesar 43 %. Semakin besar respons tutupan lahan semakin terbukanya lahan maka akan berpotensi menyebabkan persentaseair hujan yang melimpas semakin besar, sehingga semakin menambah lonjakan atau fluktuasi air larian. Tampaknya perubahan pola tutupan lahan ini lebih penting peranannya dalam fluktuasi air larian dibandingkan perubahan pola hujan, karena pola perubahan tutupan lahan salah satu yang paling mungkin bisa dikontrol, sedangkan pola curah hujan tidak.
SIMPULAN •
Air larian yang sangat fluktuatif menunjukkan bahwa fungsi hidrologi di Cekungan Bandung tidak berjalan dengan baik atau dalam kondisi terganggu dan ini yang diduga menjadi penyebab bertambahnya jumlah kejadian dan volume banjir di Cekungan Bandung.
•
Fluktuasi air larian di Cekungan Bandung dipengaruhi oleh perubahan pola curah hujan dan pola tutupan lahan. Perubahan pola curah hujan salah satunya dipengaruhi oleh fenomena iklim global. Sehingga fluktuasi air larian di Cekungan Bandung dipengaruhi oleh fenomena iklim global, perubahan pola curah hujan, dan perubahan pola tutupan lahan.
•
Pengaruh fenomena iklim global dengan fluktuasi air larian ditunjukkan dengan korelasi antara keduanya sebesar – 0,63, artinya anomali positif/negatif suhu permukaan laut di wilayah Pasifik akan berhubungan dengan penurunan/kenaikkan kuantitas air larian sebesar 63 %. Korelasi yang paling kuat terjadi pada bulan Oktober, November dan Desember pada awal musim hujan.
•
Pengaruh curah hujan pada fluktuasi air larian ditunjukkan dengan nilai korelasi sebesar 0,84. Artinya fluktuasi air larian sangat dipengaruhi oleh curah hujan karena sumber utama air larian adalah curah hujan. Korelasi tertinggi terjadi pada bulan Oktober November dan Desember, yaitu pada awal dari musim hujan. Sementara fluktuasi air larian berkorelasi dengan indeks tutupan lahan sebesar 0,433. Artinya fluktuasi air larian sangat dipengaruhi juga oleh pola perubahan tutupan lahan.
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 22 No. 1 April 2012 : 19 – 34
•
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola penggunaan lahan tampaknya memegang peranan sangat penting dalam menentukan fluktuasi air larian. Perubahan pola penggunaan lahan yang semakin terbuka di Cekungan Bandung telah mengakibatkan naiknya nilai indeks tutupan lahan, dan kondisi ini menyebabkan penambahan fluktuasi kurva air larian. Tampaknya pengendalian pola tutupan lahan adalah salah satu upaya yang paling mungkin dilakukan untuk meredam fluktuatifnya air larian.
•
Diperlukan upaya peningkatan kewaspadaan bagi pelaku kebijakan pembangunan dalam pengelolaan Sumber daya air di Cekungan Bandung. Dengan hasil penelitian di atas diharapkan menjadi suatu infomasi yang penting dalam rangka pengelolaan sumber daya air di Cekungan Bandung.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kementerian Ristek dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah memberikan dana dalam penelitian ini. Terima kasih disampaikan juga kepada Ir. Yeyeh Setiadi, Sp. (Kepala Balai Data dan Informasi Sumber daya Air, PSDA Provinsi Jawa Barat), Ir. Suyatno dan Bapak Ir. Bambang (PT. Indonesia Power, Unit Bisnis Pembangkitan Waduk Saguling), Ibu Ida dan Drs. Subardjo (BMKG, Balai Besar Wilayah 2 Ciputat) yang telah menyediakan data debit dan curah hujan. Terima kasih juga untuk Hilda Lestiana dan Rizka Maria atas bantuan teknis yang telah diberikan selama penelitian.
ACUAN Aldrian E., Gates, L.D and Widodo, F.H. Variability of Indonesian Rainfall and the influence of ENSO and Resolution in ECHAM 4 Simulations and in the Reanalyses. MaxPlanck Institute fur Meteorologie, Hamburg. 30pp. (2002). Asdak, Chay , 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press. Boer, R., and Faqih, M., 2004. Global Climate Forcing factors and rainfall variability in West Java. Jornal of Agriculture Meteorology 18: 1-12. Cuen, Mc., R.H., 1982. A guide to Hydrologic Analysis using SCS Methode. Prentice Hall Inc. Englewood. Cliffs, NJ.07632.
D’ Arrigo, R., Abram, N., Ummenhofer, C., Palmer, J., Mudelsee, M., 2011. Reconstructed streamflow for Citarum River, Java, Indonesia: linkages to tropical climate dynamics, Climate Dynamic, 36: 451-462. Fohrer, N., Haverkamp, S., Eckhardt, K., Frede, G., 2001. Hidrologic Responsse to Landuse Changes on the Catchment Scale, Physical Chemical Earth (B), Vol. 26, No. 7-8, pp.577-582. Haylock, M. and McBride, J., 2001 Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall. Journal of Climate, 14, 3882-3887. Hughes Da And Hannart P (2003) A desktop model used to provide an initial estimate of the ecological instream flow requirements of rivers in South Africa. J. Hydrol. (In press). Meyerhof, G.G.: Bearing capacity and settelment of file fondation, Journal Of The Geotechnical Engginering Division, ASCE, Vol . 102, No. Gt3, pp. 197-228, 1976 Nathan, R.J., dan Mc Mahon, T.A. 1990. Evaluation of automated techniques for base flow and recession analyses. Water Resources research,Vol. 26. pp. 1465-1473. Narulita, I. dan Djuwansah, M., 2006. Some Rainfall Characteristics in Bandung Basin. Proceedings International Symposium on Geotechnical Hazards: Prevention, Mitigation and Engineering Responsse, Yogyakarta, Indonesia, April 24th - 27th. Narulita, I., Yudawati, S., Djuwansah, M., 2010.Korelasi Antara Fenomena ENSO dan Dipole Mode Dengan Distribusi Curah Hujan di Cekungan Bandung, Buletin Geologi dan Tata Lingkungan Vol. 20 N0.2. (2010). Oldenborgh, G.J. dan Burgers, G. 2005. Searching for decadal variatios in ENSO precipitation teleconnections, Geophysical Research Letters, 32, 15, L15701, doi:10.1029/ 2005GL023110. Pawitan, H., 2004 Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap Hidrologi daerah Aliran Sungai, Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumber daya Lahan, 65 – 80. Reynolds, R. W., N. A. Rayner, T. M. Smith, D. C. Stokes, dan W. Wang, 2002. An improved in situ and satellite SST analysis for climate. Journal of Climate, 15, 1609-1625.
33
Korelasi Antara Fenomena Enso, Distribusi Hujan, Dan Tutupan Lahan Dengan Air Larian: Studi Kasus Cekungan Bandung (Ida Narulita dan M. Djuwansah) Sahu, N, K.Behera, S.,Yamanshiki, Y., Takara K., Yamagata, T., 2011 IOD and ENSO impact on the extreme streamflows of Citarum river in Indonesia, Climate Dynamic. Shaw,E.M., 1985. Hydrology in Practice. Van Nonstrand Reinhold Company, Hongkong. P. 569 Smakhtin V.U., 2001. Estimating continuous monthly base flow time series and their possible application in the context of the ecological reserve. Water S.A. vol. 27.pp.213 218.
34