Buku Panduan
Pelaksanaan AssessmentKondisi Tata Kelola Sektor Kehutanan di Tingkat Pemerintahan Kabupaten/Kota Dengan Menggunakan Instrumen LGI (LULUCF Sector Governance Index)
[Indonesian Center for Environmental Law] [Seknas FITRA] [The Asia Foundation] 2013
Daftar Isi Penjelasan Singkat Instrumen LGI a. Apa itu Isntrumen LGI ? b. Kenapa Instrumen LGI menjadi penting ? c. Waktu Pelaksanaan Penelitian d. Dimana Pelaksanaan Penelitian e. Bagaimana menggunakan Instrumen LGI Panduan Penggunaan Instrumen Bagian I a. Pengantar b. Metodologi c. Teknik Pengisian Instrumen Bagian I Panduan Penggunaan Instrumen Bagian II a. Pengantar b. Metodologi c. Prinsip dan Indikator Penyusun Index d. Ruang Lingkup Penelitian e. Teknik Pengisian Instrumen Bagian II
2 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
4 4 6 9 9 9 11 11 11 12 16 16 16 16 19 21
Daftar Gambar Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6
Peta Konsep Instrumen LGI Deforestasi Berdasarkan Fungsi Kawasan Periode 2000-2009 Alur Uji Akses Informasi TKHL Prinsip dan Indikator Penyusun Index Ruang Lingkup Tata Kelola Sektor Hutan dan Lahan Yang Menjadi Objek Penelitian Penjelasan Komponen Pertanyaan dalam Istrumen Bagian II
5 8 15 17 21 22
Daftar Tabel Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4
Rekapitulasi Tutupan Lahan di dalam Kawasan Hutan dan APL Angka Deforestasi di dalam Kawasan dan APL Alat Verifikasi Instrumen Definisi Operasional
3 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
7 8 13 18
Penjelasan Singkat Instrumen LGI
Apa itu Instumen LGI ? Instrumen LULUCF Sector Governance Sector (selanjutnya disingkat LGII) adalah instrumen untuk mengukur kondisi tata kelola pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan di sektor kehutanan dan lahan dari sudut pandang masyarakat sipil. LULUCF sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada aktivitas penggunaan lahan, perubahan peruntukan lahan, dan kehutanan yang berkontribusi pada peningkatan dan penyerapan emisi gas rumah kaca.1 Instrumen LGI terdiri dari seperangkat pertanyaanyang ditujukan untuk aktor penyelenggara urusan pemerintah di sektor kehutanan di tingkat kabupaten/kotayang dapat diperoleh melalui serangkaian wawancara, penelusuran bahan pustaka, dan diskusi terfokus dengan aktor-aktor kunci. , Pertanyaan-pertanyaan yang terangkum dalam instrumen LGI merupakan penjabaran dari prinsip-prinsip good governancebeserta indikator pelaksananya yang disepakati sebagai prinsip yang penting dan krusial untuk diterapkan guna mewujudkan pembaharuan dan perbaikan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan di sektor kehutanan. Empat prinsip good governance yang digunakan dalam instrument ini adalah: Transparansi, Partisipasi, Akuntabilitas, Koordinasi. Instrumen ini akan digunakan untuk mengukur bagaimana keempat prinsip ini diterapkan dalam aktivitas tata kelola dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di sektor kehutanandi tingkat Kabupaten/Kota yang dibagi berdasarkan tahapan : Perencanaan; Pengelolaan; Pengawasan dan Penegakan Hukum. Pengelompokan aktivitas tata kelola ini merujuk pada peraturan perundang-undangan, khususnya UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pusat dan Daerah, serta peraturan pelaksana perundang-undangan yang terkait.2 Selengkapnya struktur instrumen LGI dapat dilihat dalam peta konsep berikut :
1
Untuk memahami definisi dan ruang lingkup terminologi LULUCF dapat melihat Kerangka Acuan dan Studi Pelingkupan LGI (ICEL, November 2012). 2 Daftar peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dijadikan rujukan dalam menyusun dan mengelompokan aktivitas tata kelola penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat kabupaten dapat dilihat di “Matriks Dasar Hukum dan Analisis Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sektor Kehutanan” di dokumen Studi Pelingkupan LGI.
4 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
Kenapa Instrumen LGI menjadi penting? Berbagai studi menunjukan bahwa buruknya tata kelola berkontribusi besar terhadap terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia3. Buruknya tata kelola terjadi di semua level pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat daerah, kondisi ini menjadi semakin kompleks sebagai akibat dari penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Sebagai mandat reformasi politik, otonomi daerah bertujuan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, sehingga keberadaan pemerintahan jelas terasa manfaatnya bagi masyarakat di daerah. Untuk itu melalui UU No. 32 Tahun 2004 jo.PP No. 38 Tahun 2007, dilakukan pembagian dan pelimpahan kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk 3
Giorgio Budi Indarto et.al, The Context of REDD+ in Indonesia: Driver, Agents, and Institution, (Bogor: ICEL and CIFOR, 2012),
5 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
didalamnya pembagian kewenangan dalam pemberian perizinan yang berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan hutan / lahan.4 Pelimpahan kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di sektor hutan dan lahan, khususnya dalam pemberian perizinan di satu sisi dapat membantu mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah. Namun hal ini juga dapat menjadi bumerang bagi kelestarian lingkungan hidup, sebab pelimpahan kewenangan pemberian perizinan cenderung mendorong daerah untuk mengobral izin tanpa memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam beberapa kasus, kewenangan ini juga mendorong praktek korupsi berkenaan dengan penerbitan perizinan di areal yang tidak sesuai dengan peruntukannya.5 Dengan memperhatikan hal tersebut, maka perbaikan tata kelola dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat kabupaten/kota juga menjadi penting. Berdasarkan peraturan perundang-undangan kehutanan yang berlaku, kewenangan pengelolaan kawasan hutan dimiliki oleh Pemerintah Pusat Cq. Kementerian Kehutanan. Sementara itu areal berhutan yang bukan kawasan hutan, yakni yang berada dalam Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2012 menunjukan bahwa areal berhutan Indonesia mencapai 99.587,3 Juta Ha dimana 8.632,1 Juta Ha-nya berada di APL (bukan kawasan hutan).6
Tabel 1 Rekapitulasi Tutupan Lahan di Dalam Kawasan Hutan dan di Luar Kawasan Hutan (dalam juta Ha), Statistik Kehutanan Indonesia 2012 No 1
2 3
Jenis Tutupan Hutan a. Hutan Primer b. Hutan Sekunder c. Hutan Tanaman Non-Hutan Tidak ada data
4
Kawasan Hutan 90.955,2 45.516,0 42.460,8 2.987,4 42.507,1 51,5
APL
Total
8.632,1 928,4 6.229,5 1.474,2 45.664,5 30,6
99.587,3 46.444,4 48.690 4.452,6 88.171,5 82,1
Lihat “Matriks Analisis Pembagian Kewenangan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Pusat dan Daerah Untuk Sektor Hutan dan Lahan dalam Instrumen LGI” di Lampiran Studi Pelingkungan LGI (ICEL, 2012). 5 Lihat misalnya kasus suap kepada mantan Bupati Buol, Amran Batalipu untuk penerbitan Izin Usaha Perkebunan (IUP) di areal yang masih berstatus kawasan hutan. 6 Kementerian Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia 2012, berdasarkan hasil penafsiran citra Landsat 7 ETM liputan tahun 2009/2010.
6 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
Total
133.513,8
54.327,2
187.840,9
Oleh karena kewenangan pengelolaan APL berada di tangan pemerintah kabupaten/kota, terdapat kecenderungan untuk melakukan perubahan peruntukan lahan di APL, khususnya untuk kebutuhan ekspansi perkebunan berskala besar.7 Berdasarkan laporan pemerintah kepada UNFCCC dalam 2nd National Communication tahun 2010 disebutkan bahwa laju defroestasi mencapai 1,1 juta Ha per tahun, dimana deforestasi di APL menempati urutan kedua dengan kontribusi sebesar 24% dan areal Hutan Produksi di urutan pertama sebesar 54%. Sementara itu berdasarkan catatan Forest Watch Indonesia (FWI) pada periode 20002009deforestasi paling banyak justru terjadi di APL yaitu sebesar 7,31 Juta Ha atau sekitar 57,64% dari luas areal berhutan disusul Hutan Produksi Tetap sebesar 5,87 Juta Ha atau sekitar 25,55% dari luas areal berhutan.8
Tabel 2 Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan (APL) Periode 2009/201 (Ha/Tahun), Statistik Kehutanan Indonesia, 20129 NO JENIS TUTUPAN 1 2 3
Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Lainnya
7
KAWASAN HUTAN 17.907,4 526.370,1 66.098,4 610.375,9
APL
TOTAL
2.598,6 205.685,2 13.467,1 221.751,0
20.506,0 732.055,3 79.565,6 832.126,9
Sebagai konsekuensi pendefinisian hutan berdasarkan aspek legal sebagaimana diadopsi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dimungkinkan adanya areal berhutan yang bukan kawasan hutan dan karenanya pengelolaannya bukan menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan. Oleh karena itu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan pengelolaan dan pemanfaatan APL menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Dalam konteks pemberian izin peruntukan di APL (misalnya untuk perkebunan), Permenhut No. P 11/Menhut-II/2011 jo. Permenhut No. P.20/Menhut-II/2013 mempertegas kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota dengan memberikan kewenangan untuk menerbitkan IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) di APL. 8 Forest Watch Indonesia, Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009, (Bogor: Forest Watch Indonesia), Hal. 20-21 9 Kementerian Kehutanan, Op. Cit. Data diolah dari pencitraan per Desember 2011.
7 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
Dengan fakta tersebut, maka pembaruan tata kelola penyelenggaraan urusan pemerintahan di sektor kehutanan dan lahan untuk tingkap Kabupaten /Kota menjadi penting. Dalam konteks inilah instrumen LGI mengisi kekosongan instrumen pengukuran tata kelola hutan dan lahan di tingkat kabupaten/kota. Dengan instrumen ini dapat diperoleh capaian angka indeks tata kelola yang mencakup transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan koordinasi. Dengan adanya angka indeks ini diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dalam menentukan prioritas pembenahan tata kelola agar menjadi lebih baik.
Gambar 2 Deforestasi Berdasarkan Fungsi Kawasan Periode 2000-2009 (FWI, 2010)
Kapan pelaksanaannnya? Pengukuran kondisi tata kelola hutan dan lahan menggunakan instrumen LGI dilakukan dalam kerangka program SETAPAK dengan dukungan dari The Asia Foundation dan UKClimate Change Unit (UKCCU). Dalam kerangka SETAPAK, pengukuran indeks LGI menjadi indikator untuk melihat sejauhmana intervensi programberkontribusi terhadap pembaruan tata kelola kehutanan di tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu pelaksanaan pengukuran tata kelola menggunakan instrumen tata kelola akan dilaksanakan dalam 2 tahapan. Tahapan pertama mengukur kondisi existing praktek tata kelola sebelum berlangsungnya inisiatif proyek SETAPAK (2012), sementara tahap kedua dilakukan menjelang proyek
8 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
SETAPAK berakhir (2015). Dengan demikian diharapkan dapat terlihat sejauhmana kontribusi program terhadap perbaikan tata kelola di tingkat kabupaten/kota. Selain itu hasil assessmentpada tahapan pertama juga akan menjadi baseline yang menjadi pijakan bagi masyarakat untuk mendorong pembaruan tata kelola di daerah masingmasing, sehingga intervensi yang dilakukan lebih terarah dan signifikan. Dimana Dilaksanakan Pengukuran Menggunakan Instrumen LGI ? Dengan memperhatikan keragaman karakteristik ekoregion Indonesia, diharapkan pengukuran tata kelola di sektor hutan dan lahan tingkat Kabupaten/Kota dapat dilakukan di seluruh wilayah yang merepresentasikan setiap ekoregion. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran utuh kondisi tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia dalam pengelolaan hutan dan lahan. Saat ini pelaksanaannya dilakukan di areal yang menjadi lokasi proyek Setapak yakni : Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Sumatra Selatan. Bagaimana Penggunaan Instrumen LGI ? Instrumen LGI terdiri dari 2 (dua) bagian: a. Bagian I, berisi perangkat instrumen uji akses dokumen-dokumen berkaitan dengan pengelolaan hutan dan lahan di tingkat kabupaten/kota. Bagian I berisi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan sektor hutan dan lahan di tingkat daerah (dokumen RTRW, perizinan, amdal, dsb) yang harus didapatkan oleh peneliti melalui mekanisme uji akses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 14 Tahun 2008).Penjelasan lebih lanjut lihat halaman 10
b. Bagian II, berisi perangkat instrumen pengukuran penerapan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dalam pengelolaan hutan dan lahan yang mencakup : pengukuran prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan koordinasi. Bagian II berisi pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan untuk menguji sejauhmana pemerintah daerah telah menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dalam pengelolaan hutan dan lahan. Pertanyaan dalam Bagian II diturunkan dari indikator penyusun prinsip yang sesuai dengan definisi operasional yang disepakati. Penjelasan lebih lanjut lihat halaman 15
9 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
Panduan Penggunaan Instrumen LGI Bagian I (Uji Akses Informasi Berkaitan Dengan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Sektor Hutan dan Lahan Untuk Tingkat Pemerintahan Kabupaten/Kota )
A. Pengantar Manual yang berada di tangan pembaca adalah panduan untuk mengisi instrumen uji akses informasi Tata Kelola Hutan Dan Lahan (TKHL). Sebuah study yang bertujuan untuk mengukur tingkat transparansi tata kelola hutan dan lahan, dimana di dalamnya juga termasuk tata kelola anggaran daerah. Instrumen saat ini diadopsi dari instrumen Local Budget Index (LBI) yang telah dilakukan Seknas FITRA pada tahun 2009 sampai 2011. Dalam hal pengukuran aksesibilitas dokumen anggaran, studi ini tetap mengacu pada UU 10 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang telah diberlakukan sejak tahun 2010. Uji akses informasi TKHL pada prinsipnya hampir sama dengan uji transparansi dalam LBI. Perbedaan yang paling nampak adalah pada jenis dokumen yang akan diuji akses. Studi saat ini memasukan informasi-informasi tata kelola hutan dan lahan sebagai informasi yang juga akan diuji akses, selain informasi-informasi pengelolaan anggaran. Transparansi dalam studi ini didefinisikan sebagai tingkat keterbukaan pemerintah dalam menyediakan dan membuka akses informasi pada setiap tahapan perencanaan penganggaran secara sistematis, serta melembagakan pejabat khusus untuk keterbukaan informasi. Definisi ini dioperasionalisasikan menjadi : a. Ketersediaan informasi pengelolaan anggaran daerah dan TKHL b. Aksesibilitasinformasi pengelolaan anggaran daerah dan TKHL c. Keterbukaan proses pengelolaan anggaran daerah dan TKHL
B. Metodologi Uji akses informasi TKHL merupakan evidence based study dengan pendekatan kuantitatif. Oleh karenanya, hasil studi ini akan menggambarkan tingkat transparansi daerah studi berupa skor dengan interval 0 (nol) sampai 100 (seratus). Secara umum, metodologi yang digunakan dalam studi ini mengacu pada uji transparansi yang dilakukan pada studi LBI sebelumnya. Pengisian instrumen ini hanya bisa dilakukan dengan didukung oleh alat verifikasiyang dapat dipertang-gungjawabkan secara objektif. Untuk itu, hanya dokumendokumen yang terkait penganggaran, penataan ruang dan perijinan (perkebunan dan pertambangan) yang dapat dijadikan sebagai alat verivikasi.
Dalam uji akses informasi TKHL tidak diperkenankan menggunakan alat verifikasi berupa hasil wawancara maupun hasil FGD. Keduanya hanya menjadi informasi data kualitatif yang tidak digunakan dalam penghitungan skor akhir studi uji akses informasi TKHL.
C. Teknik Pengisian Instrumen Bagian I Terdapat 39 dokumen yang akan diuji. Masing-masing pertanyaan pada instrumen ini memberikan 4 alternatif jawaban bagi assessor. Namun demikian, setiap pilihan jawaban memiliki jenis alat verifikasi masing-masing. Dengan demikian, assessor hanya bisa mengisi instrumen sesuai alat verifikaksi yang dimiliki. Mekanisme akses dokumen anggaran ini merujuk ke UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik.
Berikut langkah-langkah untuk mengisi instrumen: 11 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
Langkah 1; Buka situs resmi pemerintah daerah dan/atau cari media massa / media cetak (seperti; pamflet) yang mempublikasikan dokumen yang diuji dalam penelitian ini. yang dimaksud dengan “dokumen yang dipublikasikan” dalam instrumen ini adalah dokumen lengkap yang memuat informasi dan penjabarannya, atau berupa ringkasan substantif dokumen tersebut. Ringkasan substantif dapat masuk kategori status dipublikasikan jika ada keterangan bahwa “masyarakat bisa memperoleh informasi lengkap dengan menghubungi pejabat tertentu” atau semisalnya. Dokumen yang dimuat dalam media cetak yang dipublikaksikan oleh pemerintah daerah dan untuk kalangan terbatas, tidak dapat dijadikan sebagai alat verifikasi. Karena media publikasi yang digunakan terbatas. Seperti “Buletin Legislatif” yang hanya dibagikan kepada anggota legislatif saja.
Langkah 2; Jika tidak menemukan dokumen anggaran yang diuji dalam website atau media massa lainnya, buatlah surat resmi lembaga anda perihal permintaan dokumen yang diuji di dalam instrumen ini. Tujukan Surat kepada Sekretaris Daerah (Sebagai Pelaksana pemerintahan daerah) dengan melampirkan seluruh dokumen yang akan diuji sebagaimana tabel dibawah. Asesor juga perlumenyampaikan surat tersebut kepada SKPD/OPD yang memiliki dan menguasai dokumen tersebut (selain Pejabat tertinggi di SKPD/OPD yang dituju, Assesor perlu mengidentifikasi bagian atau unit dalam SKPD/OPD yang menguasai informasi tersebut). Jika SKPD/OPD memberikan respon dan/atau dokumen yang diminta, hal itu menunjukan bahwa status dokumen tersebut tersedia dan dapat diminta dengan permintaan. Silahkan centang jawaban “B” (tersedia dan dapat diminta dengan permintaan). Centang pada kolom “B.i” jika assessor memperoleh respon dan/atau dokumen yang diminta antara 1-10 hari kerja setelah surat dikirim. Centang pada kolom “B.ii.” jika assessor memperoleh surat pemberitahuan dan/atau dokumen yang diminta antara 11-17 hari kerja setelah surat dikirim. Centang pada kolom “B.iii” jika assesor memperoleh surat pemberitahuan dan/ atau dokumen yang diminta antara 18-45 hari kerja setelah surat dikirim. Langkah 3; Centang kolom “C” (tersedia tetapi tidak bisa diminta) jika SKPD/OPD terkait mengirim surat penjelasan bahwa dokumen yang diminta tidak bisa diberikan berikut dengan alasannya.
Langkah 4; 12 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
Centang kolom “D” (Tidak tersedia) jika assessor tidak mendapat keterangan atau respon dari SKPD/OPD terkait, sehungan dengan surat permintaan dokumen yang telah dikirimkan.
Alat verifikasi Instrumen
Alternatif jawaban A) Tersedia dan Dipublikasikan
Alat Verivikasi yang Harus Ada Link website/ media massa/ pamplet/ leaflet atau foto yang menjelaskan bahwa dokumen dipublikasikan.
B) Tersedia dan Dapat diminta dengan permintaan B.i. antara 1-10 hari kerja
1. Surat permintaan assessor kepada pemerintah daerah, dan 2. Surat pemberitahuan dari pemerintah daerah untuk memberikan dokumen yang diminta 3. Dokumen yang diperoleh
B.ii. antara 11-17 hari kerja
1. Surat permintaan assessor kepada pemerintah daerah, dan 2. Surat pemberitahuan pemerintah daerah untuk memperpanjang masa pemberitahuannya 3. Dokumen yang diperoleh
B.iii. antara 18-45 hari kerja
1. Surat permintaan assessor kepada pemerintah daerah, dan 2. Surat pemberitahuan pemerintah daerah untuk memperpanjang masa pemberitahuannya 3. Surat keberatan permohonan informasi 4. Dokumen yang diperoleh
C) Tersedia tetapi tidak bisa diperoleh
1. Surat permintaan assessor kepada pemerintah daerah, dan 2. Surat keterangan pemberitahuan dari badan publik bahwa dokumen yang diminta tidak bisa diakses
D) Dokumen tidak dibuat atau tidak Tersedia
1. Surat permintaan assessor kepada pemerintah daerah, dan 2. Tidak ada keterangan dari pemerintah daerah
13 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
Penting …! Tidak termasuk kategori status “dipublikasikan” : Informasi yang dipublikasikan di media yang terbatas. Seperti majalah yang hanya khusus bagi anggota DPRD saja. Informasi yang dimuat dalam penggalan berita atau artikel di media cetak atau elektronik.
14 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
Alur Uji Akses Informasi TKHL Uji Akses InformasiTKHL
Cek website resmi pemerintah daerah/ SKPD/ OPD/ Bappeda atau media masa (koran, majalah yang bukan berita/ artikel) / poster/ brosur
Tersedia dan bisa diunduh
Tidak tersedia
Jika berbentuk ringkasan
Buat dan kirim surat permintaan dokumen ke SKPD/ OPD terkait
Dokumen dapat diperoleh
Centang “A”
Dokumen tidak dapat diperoleh
Dokumen Tidak Diperoleh
Direspon/ diperoleh dokumen
Centang “B” Dengan surat pemberitahuan dan alasan tidak bisa diakses
Centang “C”
15 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
tanpa surat pemberitahuan dan alasan tidak bisa diakses
Centang “D”
Panduan Penggunaan Instrumen LGI Bagian II (Pengukuran Penerapan Prinsip Transparansi, Partisipasi, Akuntabilitas, dan Koordinasi dalam Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Sektor Hutan dan Lahan Tingkat Kabupaten/Kota)
A. Pengantar Persoalan good governance merupakan persoalan yang kompleks, sehingga untuk menumbuhkan kesadaran publik sekaligus meningkatkan perhatian pembuat kebijakan terhadap urgensi perbaikan tata kelola pemerintahannya perlu upaya-upaya yang kreatif. Inisiatif pengukuran kondisi tata kelola pemerintahan berbasis index seperti yang dilakukan oleh Transparency International dengan Corruption Perception Index (CPI) merupakan salah satu contoh sukses yang dapat direplikasi di sektor lain, dalam hal ini di sektor kehutanan. CPI atau Index persepsi korupsi (IPK) yang disajikan dalam bentuk angka dan rangking tentu akan lebih mudah dipahami oleh publik bila dibandingkan dengan laporan assessmentyang rumit dan tekadang menggunakan bahasa teknis yang tidak familiar bagi masyarakat umum. Oleh karena penyajiannya yang mudah dipahami, nilai IPK yang dipublikasikan setiap tahun tidak hanya menjadi perbincangan publik melainkan juga menjadi pertimbangan bagi pembuat kebijakan dalam melaksanakan inisiatif pembaharuan tata kelola pemerintahan. Di Indonesia, perbaikan nilai IPK bahkan menjadi target reformasi birokrasi yang dicanangkan setiap tahunnya. Berkaca dari kesuksesan pengukuran tata kelola pemerintahan yang baik berbasis index, ICEL, FITRA, dengan dukungan The Asia Foundation menyusun instrumen pengukuran kondisi tata kelola pemerintahan yang baik di sektor kehutanan dan lahan untuk tingkat kabupaten/kota, yang kami beri nama Instrumen LULUCF Sector Governance Index (selanjutnya disingkat Instrumen LGI). Panduan ini merupakan panduan untuk penggunaan Instrumen LGI bagian II yang berisi 41 pertanyaan untuk mengukur tingkat transparansi, 38 pertanyaan mengukur tingkat partisipasi, 12 pertanyaan mengukur tingkat koordinasi, dan 39 pertanyaan mengukur tingkat akuntabilitas dalam pengelolaan hutan dan lahan untuk tingkat pemerintahan kabupaten/kota.
B. Metodologi Yang Digunakan Studi ini merupakan evidence based study dengan pendekatan kuantitatif. Oleh karenanya, hasil studi ini akan menggambarkan tingkat transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan koordinasi di daerah studi berupa skor dengan interval 0 (nol) sampai 100 (seratus).
16 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
Pengisian instrumen ini hanya bisa dilakukan dengan didukung oleh alat verifikasiyang dapat dipertang-gungjawabkan secara objektif. Terdapat tiga jenis alat verifikasi yang digunakan dalam studi ini yaitu10: a. Dokumen; b. hasil interview/ wawancara; c. Hasil Focus Group Discussion (FGD); Instrumen ini diisi oleh seorang assesor untuk satu daerah kabupaten/ kota yang menjadi lokasi study. Instrumen yang sudah diisi selanjutnya akan diverifikasi oleh seorang verifikator. Verifikator akan mengecek kembali apakah instrumen sudah diisi secara konsisten dan didukung alat verifikasi yang memadai. Jika alat verifikasi dianggap kurang, maka assesor akan diminta untuk melengkapinya. C. Prinsip dan Indikator Penyusun Index Pertanyaan dalam instrumen Bagian II diturunkan dari prinsip good governance dan penjabarannya ke dalam beberapa indikator. Pemilihan prinsip dan indikator didasarkan pada definisi operasional dari berbagai sumber dengan mempertimbangkan karakteristik permasalahan kehutanan dan lahan di Indonesia. Penjelasan lebih lengkap mengenai pemilihan prinsip dan indikator ini dapat dilihat di Studi Pelingkungan Instrumen LGI. Cakupan prinsip dan indikator instrumen LGI dapat dilihat dalam Gambar .... Gambar 3 Prinsip dan Indikator Penyusun Index
10
Selengkapnya alat verifikasi yang dapat digunakan silahkan melihat Buku saku Instrumen LGI.
17 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
Tabel 4 Definisi Operasional Prinsip Good Governance No 1
Prinsip Transparansi
2
Partisipasi
Definisi Operasional Upaya pemerintah dalam menyediakan dan menyampaikan informasi kebijakan dan proses pengambilan kebijakan kepada masyarakat Tata pemerintahan yang mengedepankan keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan (Bappenas, 2002) Participation in governance involves the range of formal and informal ways in which menbers of a political community make their values, interest, and policy preferences known (Encylopedia of Governance, Mark Bevir (ed.), 2007)
3
Koordinasi
4
Akuntabilitas
All men and women should have a voice in decision-making, either directly or through legitimate intermediate institution that represent their intention. Such broad of particiation is built on freedom of association and speech, as well as capacities to participate constructively. (UNDP, Governance and Sustainable Human Development, 1997) Coordination between individuals, organizations, and institutions is an essential element of governance…..coordination refer to the process of interaction among more or less diverse stakeholder in the interest of common goal. (Encyclopedia of Governance, Mark Bevir (ed), 2007) Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dituntut di semua tahap mulai dari penyusunan program kegiatan dalam rangka pelayanan publik, pembiayaan, pelaksanaan, dan evaluasinya, maupun hasil dan dampaknya. Akuntabilitas juga dituntut dalam hubungannya dengan masyarakat/publik, dengan instansi atau aparat di atas. Secara substansi, penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan pada sistem dan prosedur tertentu, memenuhi kriteria perundang-undangan, dapat diterima secara politis, berdasarkan pada metode dan teknik tertentu maupun nilai-nilai etika tertentu, serta dapat menerima konsekuensi apabila keputusan yang diambil tidak tepat. (Bappenas 2002) Accountability means that someone ( X ), who has been put in a position of responsibility ( r ) in relation to the interest of
18 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
someone else ( Y ), is required to give an account to ( Y ) of how he has discharged his duties, and that, concomitantly, ( Y ) is in a position to either punish or reward ( X )’s conduct in relation to ( r ) (Encyclopiedia of Governance, Mark Bevir (ed), 2007) D. Ruang Lingkup Pengelolaan Hutan dan Lahan Sebagai Objek Studi Yang menjadi objek studi dalam kegiatan penelitian ini adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan di sektor hutan dan lahan untuk tingkat pemerintahan daerah kabupaten/kota. Yang menjadi dasar untuk mengidentifikasi ragam aktivitas penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota di sektor hutan dan lahan adalah11 : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.
UU N0. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UU N0. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Pusat dan Daerah PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan PP No. 45 Tahun 2004 jo. PP No. 60 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hutan PP No. 75 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Rehabilitasi Hutan PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang PP No. 68 Tahun 2010 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang PP No. 60 Tahun 2012 jo. PP No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan m. PP No. 61 Tahun 2012 jo. PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan n. PP No. 12 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan o. Peraturan-peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut dapat diketahui ruang lingkup kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan hutan dan lahan yang menjadi objek studi penelitian ini. Skema ruang lingkup yang menjadi objek penelitian dalam instrumen LGI dapat dilihat dalam gambar berikut ini:
11
Identifikasi perundang-undangan yang memberikan kewenangan daerah dalam pengelolaan hutan dan lahan pada saat instrumen ini dibuat dilakukan pada tahun 2012. Dalam kurun setahun sejak disusun, tidak ada perubahan signifikan dari peraturan perundang-undangan tersebut. Daftar lengkap peraturan perundangundangan yang digunakan serta analisisnya dapat dilihat di lampiran Kerangka Acuan dan Studi Pelingkupan LGI (ICEL, 2012).
19 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
E. Tata Cara Pengisian Instrumen Pada dasarnya pertanyaandalam instrumen Bagian II merupakan alat bantu untuk pelaksanaan penelitian. Untuk menjawab pertanyaan yang disediakan peneliti dapat melakukan penelusuran data dan informasi dengan melakukan rangkaian aktivitas berikut ini : a.
Studi pustaka (penelusuran data dan informasi dari bahan tertulis, informasi hukum/kebijakan dsb). b. Wawancara mendalam dengan narasumber yang sudah diidentifikasi c. Pengamatan di lapangan untuk melihat kondisi aktual. Ketiga rangkaian tersebut idealnya dilakukan untuk menjawab pertanyaan sehingga jawaban yang didapat memliliki validitas yang tinggi. Berikut ini beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam memperoleh data dan informasi untuk menjawab pertanyaan Instrumen Bagian II : 20 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
1.
Interview narasumber
Narasumber yang dimaksud dalam study ini adalah aparatur pemerintahan daerah yang bertugas dan bertanggungjawab atas pengelolaan hutan dan lahan. Untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di bagian II instrumen ini, maka assesor diharapkan dapat menentukan narasumber dan melakukan interview secara mendalam. Assesor diperkenankan membuat kesimpulan atas pernyataan yang dikatakan oleh narasumber. Dan kesimpulan itu yang menjadi dasar untuk memberikan tanda “✓” pada kolom jawaban. 2.
Konfirmasi keterangan narasumber
Perlu dicatat, bahwa keterangan seorang narasumber yang berlatarbelakang aparatur pemerintahan dianggap tidak cukup. Keterangan tersebut hanya dianggap sebagai informasi awal. Oleh karenanya, perlu dilakukan konfirmasi kepada pihak yang disebut objek tujuan informasi disampaikan. Misalnya, kepala dinas perkebunan menyatakan bahwa pembahasan Amdal perusahaan xx sudah disampaikan kepada masyarakat yang berpotensi terkena dampak. Berdasarkan keterangan tersebut, maka assesor perlu mengkonfirmasi pernyataan kepala dinas tersebut kepada masyarakat yang dimaksud oleh kepala dinas. 3.
Verifikasi jawaban
Setelah mendapatkan informasi yang cukup untuk menjawab pertanyaan, maka assesor diharapkan dapat melengkapi kolom alat verifikasi dengan menuliskan pernyataan narasumber. Informasi narasumber yang perlu ditulis sebagai alat verifikasi pada bagian II ini adalah nama, jabatan, no. Telepon, waktu dan tempat interview.
21 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI
22 | Panduan Penggunaan Instrumen LGI