BUDIDAYA SAMBILOTO DI ANTARA TEGAKAN TANAMAN TAHUNAN PADA WILAYAH PERKEBUNAN 1
2
Akhmad Jufri, Noorwitri Utami Pusat Teknologi Produksi Pertanian – BPPT Gedung BPPT II, lantai 17, Jl. MH Thamrin no. 8 Jakarta 10340 E-mail:
[email protected] Abstract One of alternatives to extend planted area for creat (Andrographis paniculata Ness) is the cultivation in estate areas. The problems to cultivate the plant in this area are shading and water availability. The objective of the research is to describe and evaluate the cultivation of creat between annual tree crops in the estate area. Lands were cleared and plowed to form plots with 20 m x 1.5 m ridge. The seedlings of creat were transplanted in beded soil at a distance of 40 cm and 40 cm. Plants were harvested before inflorencence. The yiled was 1.650 kg herb and It gave Rp 6182 net income per plot The shading caused by the trees around the plants decreased the content of andrographolide until 50 %. Kata kunci: sambiloto,andrographis paniculata, naungan, perkebunan, kopi, sengon, keuntungan bersih, andrographolida, kediri
I. PENDAHULUAN Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) ialah tumbuhan terna semusim yang banyak dijumpai hampir di seluruh kepulauan Nusantara. Sambiloto
dikenal dengan nama ki oray atau ki peurat di Jawa Barat, bidara, takilo dan sambiloto di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta pepaitan atau ampadu di Sumatera (Yusron et al. 2005). Tanaman ini juga dibudidayakan dan menyebar luas di Asia , seperti India, Cina, Malaysia, dan Filipina (de Padua, 1999). Sambiloto tumbuh secara alami di daerah bertipe iklim A, B dan C menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, dengan curah hujan 2.000 – 3.000 mm per tahun. Persyaratan ketinggian tempat meliputi dataran rendah hingga ketinggian 600 dpl (Yusron et al. 2005). Habitat alamiah sambiloto ialah di tempat terbuka seperti ladang, pinggir jalan, atau di bawah tegakan pohon jati atau bambu. Sambiloto menghendaki banyak sinar matahari selama pertumbuhannya. Namun, naungan 0 – 30 % masih memberi produksi baik (Yusron et al. 2005). Komponen bahan aktif utama sambiloto adalah andrographolida yang berguna sebagai bahan obat. Secara tradisional sambiloto telah dipergunakan
untuk pengobatan, demam, disentri, kolera, diabetes, sakit paru-paru, influensa dan bronchitis, gigitan ular, rematik. Saat ini sambiloto tengah dimanfaatkan sebagai obat HIV dan kanker (Yusron et al. 2005). Salah satu alternatif pengembangan budidaya sambiloto adalah budidaya tumpang sari di bawah tegakan tanaman tahunan di wilayah perkebunan atau kehutanan. Hal ini didukung dengan penelitian Sulistijo dan Pujiasmanto (2007) yang menunjukkan tanaman sambiloto banyak tumbuh secara alamiah di bawah naungan pohon jati (Tectona grandis L.) di hutan Jawa Tengah. Budidaya sambiloto secara tumpang sari di antara barisan tanaman jagung menghasilkan mutu simplisia yang tidak berbeda dengan yang monokultur dan bisa menambah keuntungan usahatani (Pribadi, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang budidaya sambiloto di sela-sela antara tanaman tahunan perkebunan kopi (Coffea arabica) dan sengon (Paraserianthes falcataria), yang meliputi pengaruh naungan terhadap pertumbuhan, adaptasi tanaman, produksi simplesia dan kandungan bahan aktif, serta usahataninya.
__________________________________________________________________________________ Budidaya Sambiloto Di Antara...............(Akhmad Jufri, Noorwitri Utami) Diterima 3 Februari 2012; terima dalam revisi 12 Maret 2012; layak cetak 2 April 2012
1
2. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober 2010. Lokasi penelitian adalah lahan seluas sekitar 0.3 ha di perkebunan Ngrangkah Pawon, PT Perkebunan Nusantara XII di kecamatan Ploso Klaten, Kediri. Lahan perkebunan berada pada ketinggian sekitar 496 m di atas permukaan laut. Jenis tanahnya adalah regosol. Penelitian lapangan ini terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah naungan , yang terdiri atas perlakuan naungan dan kontrol (tanpa naungan). Faktor kedua adalah tanaman penaung, yang terdiri atas tanaman kopi dan sengon. Untuk mengetahui tingkat naungan, dilakukan pengukuran intensitas cahaya mengunakan alat pengukur cahaya (lightmeter). Tingkat naungan adalah (1 – a/b) x 100%, dimana a adalah intensitas cahaya pada titik tertentu dan b adalah intensitas cahaya matahari langsung/ tanpa halangan. Dalam penelitian ini perlakuan naungan sebesar 25 – 50 %. Sampel tanah diambil secara acak pada beberapa lokasi, lalu dikompositkan, dan dianalisis untuk menentukan sifat fisik dan kimia tanah. Data curah hujan diperoleh dari kantor PTPN XII Ngrangkah Pawon. Budidaya sambiloto yang diterapkan mengikuti SOP Budidaya Sambiloto (Yusron et al, 2005). Bedengan dibuat di sela-sela tegakan perkebunan yang memungkinkan, yaitu berjarak minimal 5 m antar tanaman tahunan tersebut. Lahan tanpa naungan adalah lahan yang lebar dan panjangnya minimal 30 m dan dikelilingi oleh sedikit tanaman tahunan, sehingga memungkinkan mendapat sinar matahari langsung sejak pagi sampai sore. Lahan yang ternaungi adalah lahan yang dikelilingi oleh tanaman tahunan berupa kopi atau sengon berjarak sekitar 5 m, serta dikelilingi oleh tanaman tahunan yang rapat (Gambar 1 dan 2). Pembibitan sambiloto dilakukan dengan dua cara. Cara pertama yaitu dengan cara merendam benih selama 24 jam, kemudian benih yang tenggelam ditiriskan/ dikeringkan dan langsung disebarkan pada baki persemaian yang berisi media perkecambahan (Yusron et al, 2005 dan de Padua, 1999). Cara kedua adalah dengan merendam biji sambiloto selama 12 jam, kemudian ditiriskan dan dibungkus/ diperam dalam kain (handuk) yang lembab. Benih-benih yang berkecambah kemudian dipindahkan ke polibag persemaian yang telah berisi media persemaian berupa campuran tanah
dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1, kemudian diaklimatisasi di dalam sungkup plastik yang secara berangsur-angsur disesuaikan dengan kondisi lapang. Setelah pembersihan lahan, dilakukan pembuatan bedengan dan parit. Pembuatan bedengan dilakuan dengan cara menggemburkan dan menimbun tanah atau meninggikan permukaan tanah dari hasil galian parit sebagai batas bedengan. Bedengan berukuran 1.5 m x 10 m, dengan tinggi 20 - 30 cm. Jarak antar bedengan 0.5 m. Jarak antar bedengan ini merupakan parit/ saluran air untuk menghindari terjadinya genangan (drainase kurang baik). Bibit sambiloto yang telah cukup umur (21 hari) dipindahkan dari polibag ke dalam bedengan dengan jarak tanam 40 cm x 40 cm. Tiap bedengan terdiri atas tiga baris tanaman. Pupuk yang digunakan meliputi pupuk kandang, urea, SP36. dan KCl dengan dosis masing-masing 10.000 kg, 200 kg, 150 kg, dan 200 kg per ha (Yusron et al, 2005). Pemeliharaan yang dilakukan antara lain penyiraman dan pengendalian gulma. Pemanenan dilakukan menjelang tanaman berbunga, yaitu saat tanaman berumur sekitar 3 bulan. Panen dilakukan dengan cara memangkas batang utama pada sekitar 10 cm di atas permukaan tanah. Setelah dikeringkan, tanaman dipisahkan antara bagian tajuk/ terna dan akar untuk ditimbang. Sampel simplisia pada masing-masing perlakuan dianalisis kandungan bahan aktifnya di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika Bogor. Data hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan program SAS. Biaya yang dikeluarkan selama kegiatan budidaya dihitung untuk mengetahui biaya usahataninya. Penerimaan dihitung berdasarkan produksi simplesia dan harga jualnya. Selanjutnya, berdasarkan penerimaan dan biayanya bisa ditentukan keuntungan usahataninya. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa lahan yang digunakan didominasi oleh pasir (sekitar 70%), netral (pH = 6.5). Kandungan hara makro rendah, kecuali P yang tergolong sedang. Kandungan unsur hara makro N total, P tersedia, K, Mg, dan Ca secara berurutan adalah 0.16 %, 10 - 15 ppm, 0.13 – 0.18 mg/ 100 g, 0.43 me/ 100 g, dan 3.1 – 5.0 me/ 100 g. Kandungan hara mikro cukup, kecuali Fe yang tergolong rendah. Kandungan unsur hara mikro Cu, Na, Fe, Zn, dan Mn secara berurutan adalah 19.1 – 21.9 ppm, 0.22 – 0.53 me/ 100 g, 0.7 – 1.0 %, 15.5 – 17.5 ppm, dan 137.6 – 155.3 ppm.
___________________________________________________________________________________ 2
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 14, No. 1, April 2012 Hlm.1-5 Diterima 3 Februari 2012; terima dalam revisi 12 Maret 2012; layak cetak 2 April 2012
Pada penelitian di perkebunan Ngrangkah Pawon cara pembibitan kedua lebih efektif dibandingkan dengan cara pertama. Cara pertama menyebabkan biji sambiloto yang berkecambah sebanyak 5 %. Cara kedua ini menyebabkan biji sambiloto yang berkecambah sekitar 50 %. Data curah hujan 10 tahunan menunjukkan bahwa di wilayah perkebunan Ngrangkah Pawon
pada bulan Juni – Oktober jumlah hari hujan kurang dari 5 hari (Tabel 1). Namun, wilayah perkebunan ini memiliki keunikan karena tanahnya bisa menyerap embun pada pagi hari, sehingga tanah cukup lembab pada pagi hari. Curah hujan selama penelitian budidaya ini berlangsung cukup, sehingga hanya memerlukan penyiraman tiga kali. Data curah hujan pada tahun 2010 ditampilkan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 1. Curah hujan di kebun Ngrangkah Pawon rata-rata 10 tahun (2001-2010) Curah hujan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
mm
338
390
410
238
186
80
HH
15
17
16
11
10
4
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
25
7
20
72
210
227
2
1
2
4
11
11
Tabel 2. Curah hujan (mm) dan hari hujan (HH) di perkebunan Ngrangkah Pawon pada 2010 Curah hujan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
mm
384
468
490
408
432
254
108
HH
27
20
23
22
24
14
9
Sep
Okt
Nop
Des
44
492
98
416
315
4
20
6
15
15
Tabel 3. Tinggi, berat terna dan akar tanaman sambiloto pada saat panen pada budidaya di wilayah perkebunan Tinggi (cm) Lokasi Budidaya
Berat kering Terna (gr)
Berat kering akar (gr)
Rasio terna/ akar
Tanpa Naungan
Dengan Naungan
Tanpa Naungan
Dengan Naungan
Tanpa Naungan
Dengan Naungan
Tanpa Naungan
Dengan Naungan
Lokasi: di Sengon
51.6
54.4 (105 %)
21.0
22.5 (107 %)
2.0
2.0 (100 %)
10.5
11.3 (108 %)
Lokasi: di Kopi
54.8
55.8 (102 %)
24.0
33.0 (137 %)
2.0
3.0 (150 %)
12.0
11.0 (92 %)
Selama pertumbuhannya tanaman sambiloto pada penelitian ini tidak terserang hama dan penyakit. Karena itu, biaya pemeliharaan hanya diperlukan untuk penyiangan gulma dan sedikit penyiraman. Pertumbuhan tanaman bisa dilihat pada Tabel 3. Analisis secara statistik menunjukan bahwa naungan tidak berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan sambiloto di wilayah perkebunan. Tinggi tanaman sambiloto dipengaruhi oleh ketinggian tempat Tinggi tanaman sambiloto sesuai dengan Pujiasmanto et al., (2007) yang menunjukkan bahwa sambiloto yang tumbuh pada
ketinggian menengah (400 – 700 m dpl) adalah sekitar 59 cm Tanaman memerlukan hara dan energi untuk pertumbuhannya. Sumber energi berasal dari matahari yang ditangkap tanaman melalui proses fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 1991). Sambiloto yang ditanam pada lokasi yang ternaungi menghasilkan biomassa yang tidak berbeda dengan yang mendapat sinar matahari langsung. Pengaruh naungan juga tidak nyata pada rasio tajuk/ akar. Secara ekologis tanaman yang ternaungi beradaptasi terhadap cekaman kekurangan intensitas cahaya dengan mekanisme penghindaran (Levitt,
__________________________________________________________________________________ Budidaya Sambiloto Di Antara...............(Akhmad Jufri, Noorwitri Utami) Diterima 3 Februari 2011; terima dalam revisi 12 Maret 2012; layak cetak 2 April 2012
3
1980). Secara morfologis, tanaman tersebut meningkatkan pertumbuhan tajuk dan mengurangi akar. untuk mengefisienkan penangkapan cahaya. Data morfologi tanaman yang diperoleh menunjukkan tidak ada perbedaan morfologi yang nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman tidak memerlukan adaptasi morfologis untuk penangkapan cahaya, karena pada tengah hari semua tanaman justru mendapat intensitas cahaya tinggi dari matahari, sama dengan perlakuan tanpa naungan (kontrol). Meskipun berat terna kering yang dihasilkan sama, namun kadar kandungan bahan aktif pada tanaman yang ternaungi lebih rendah sekitar 50 % daripada kontrol. Pada lokasi sengon kandungan andrographolida tanaman kontrol dan yang ternaungi masing-masing adalah 12.85 % dan 5.33 %. Sementara itu pada lokasi kopi kandungan andrographolida tanaman kontrol dan yang ternaungi masing-masing adalah 10.16 % dan 6.39 %. Penurunan kandungan bahan aktif ini karena naungan sudah melebih 30 %. Naungan yang disebabkan oleh tanaman jagung atau naungan yang kurang dari 30 % tidak berpengaruh terhadap kandungan andrographolida (Pribadi, 2007 dan
Gambar 1. Budidaya sambiloto di antara tegakan pohon sengon DAFTAR PUSTAKA de Padua, L.S., N. Bunyapraphatsara, and R.H.M.J. Lemmens. 1999. Plant Resources of South-East Asia N0. 12 (1). Medicinal and Poisonous Plants 1. Prosea Foundation, Bogor. 711pp Levitt, J. 1980. Responses of Plants to Environmental Stresses. Vol II. Water, Radiation, Salt, and Other Stresses. Academic Pr, New York.
Yusron et al, 2004). Bedengan berukuran 10 m x 1.5 m mempunyai 75 tanaman. Tiap bedengan rata-rata menghasilkan 1.65 kg terna kering. Dengan harga Rp 20000/ kg, maka penghasilan kotor tiap bedengan adalah Rp 33000. Biaya yang diperlukan tiap bedengan adalah Rp 26818. Dengan demikian keuntungan bersih tiap bedengan adalah Rp 6182. Keuntungan bersih akan bertambah bila tanaman dipanen lebih dari satu kali sebab biaya yang dikeluarkan hanya untuk pemeliharaan tanaman. 4. KESIMPULAN Naungan yang disebabkan oleh tanaman pohon di sekeliling tanaman sambiloto tidak berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan sambiloto. Budidaya sambiloto di wilayah perkebunan memberi keuntungan bersih tiap bedengan sebesar Rp 6182. Naungan menyebabkan kandungan bahan aktif andrographolida turun sampai 50 %. Sambiloto sebaiknya ditanam pada bulan Januari, sehingga bisa dipanen pada awal musim kemarau untuk mendapatkan kemudahan dalam pengeringan.
Gambar 2. Budidaya sambiloto di antara tegakan pohon kopi
Pribadi, R. P. 2007. Kajian Kelayakan Usahatani Pola Tanam Sambiloto dan Jagung. Jurnal Littri 13 (3): 98 -105 Pujiasmanto, B., J. Moenandir, S. Bahri, dan Kuswanto. 2007. Kajian Agroekologi dan Morfologi Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) pada Berbagai Habitat. Biodiversitas 8 (4):
___________________________________________________________________________________ 4
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 14, No. 1, April 2012 Hlm.1-5 Diterima 3 Februari 2012; terima dalam revisi 12 Maret 2012; layak cetak 2 April 2012
326 - 329 Sulistijo, T. D., dan B. Pujiasmanto. 2007. Identifikasi Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) sebagai Dasar Pemanfaatan dan Pelestarian Plasma Nutfah. Biodiversitas 8 (3): 218 – 222 Taiz, L. and E. Zeiger. 1991. Plant physiology. The Benyamin/Cunmings Publ. Com., Redwood City. pp. 565.
Yusron, M., M. Januwati dan W. Jokopriyambodo. 2004. Keragaman mutu simplisia sambiloto (Andrographis paniculata Ness) pada beberapa kondisi agroekosistem. Pros. Sem. Pokjanas Tan. Obat indonesia (25) : 722 – 727. Yusron M, M. Januwati M, E. R. Pribadi. 2005. Budidaya tanaman sambiloto. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Bogor
__________________________________________________________________________________ Budidaya Sambiloto Di Antara...............(Akhmad Jufri, Noorwitri Utami) Diterima 3 Februari 2012; terima dalam revisi 12 Maret 2012; layak cetak 2 April 2012
5