DAFTAR ISI JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2, No.1, Mei 2013 ISSN: 2252-570X Pengantar Redaksi iii
Budaya Gotong Royong Masyarakat Dalam Perubahan Sosial Saat Ini 1 Tadjuddin Noer Effendi u
Kultur Sekolah 19
Ariefa Efianingrum u
Trayektori Pendidikan, antara Praksis-Teoretis dan Dikotomi Low Science- 31 High Science Telaah Sosio-Filosofis Nilai Guna Ilmu Pengetahuan di Era Kapitalisme-lanjut Wahyu Budi Nugroho u
Membaca Ulang Kultur Kepolisian Negara Republik Indonesia 43 (Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam) Barito Mulyo Ratmono u
Kurikulum Dan Pendidikan Di Indonesia Proses Mencari Arah Pendidikan 63 Yang Ideal Di Indonesia atau Hegemoni Kepentingan Penguasa Semata? Dedi Ilham Perdana u
Pengembangan Aspek Nilai dalam Pendidikan Pesantren 75 di PP Nurul Ummah Ahmad Fadli Azami u
Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas 87 Umi Latiefah u
Transformasi Habitus Pada Komunitas Penerima Zakat 97 Dewi Cahyani Puspitasari
u
Biodata Penulis 113 Formulir Berlangganan 115
PENGANTAR REDAKSI
Indonesia sebagai bangsa yang besar menghadapi tantangan besar pula dalam mendidik bangsa. Upaya mendidik bangsa dari masa ke masa mengalami pasang surut, meluasnya konflik sosial, meningkatnya korupsi, dan kemiskinan dianggap menjadi musuh besar bangsa ini. Beragam cara telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri untuk mendidik bangsa. Namun, permasalahan di atas tak kunjung mendapatkan solusinya. Merespon kondisi tersebut, masih terbersit keinginan untuk menciptakan Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan sejahtera. Meskipun upaya yang diciptakan masih mempertarungkan konsep rekayasa (by design) versus alamiah (by nature) secara bersamaan, sehingga dampak sosial, budaya dan politik yang diakibatkan kontestasi kedua konsep tersebut belum dapat teratasi. Jurnal Pemikiran Sosiologi (JPS) volume 2 No.1 Mei 2013, merupakan edisi ketiga yang diharapkan dapat mengayakan wacana mendidik bangsa, berbagai perspektif dilontarkan oleh penulis untuk memahami dan mengajak pembaca melihat kondisi nyata perjalanan kehidupan bangsa ini. Dalam penyajiaannya para penulis mengangkat konsep dan menjelaskan praktik mendidik bangsa Indonesia dalam berbagai ranah. Pertama, Tadjudin Noer Effendi menyatakan bahwa, gotong royong mengandung beberapa unsur modal sosial yang mempengaruhi kondisi masyarakat kontemporer berada dalam situasi kekacauan sosial. Hal tersebut disebabkan oleh lemahnya penerapan nilai-nilai gotong royong dalam interaksi sosial. Begitu pula perubahan sosial yang cepat serta kuatnya tekanan dari luar, terutama ideologi liberal yang berdasarkan individualisme menjadi penyebab kekacauan sosial tersebut. Kedua, Ariefa Efianingrum menyatakan dalam tulisannya bahwa, sejumlah pemikiran dan konsep yang meyakini pentingnya faktor kultural dalam mendorong dinamika perubahan institusional, khususnya dalam konteks persekolahan (schooling). Perlu tilikan secara seksama bahwa budaya/kultur merupakan kekuatan konstitutif untuk inovasi dan perubahan sosial, sekaligus memiliki kekuatan reflektif dalam melakukan peran legitimasi sosial. Ketiga, Wahyu Budi Nugroho menyatakan kemunculan trayektori pendidikan ditengarai oleh perceraian antara teori dengan praksis yang kemudian memunculkan klasifikasi ilmu ke dalam dikotomi low science dan high science. Persoalan menjadi kian pelik manakala dihadapkan pada tatanan kapitalisme-lanjut yang begitu mensakralkan ukuran-ukuran ekonomi sehingga beberapa ilmu pengetahuan (disiplin) dirasa tak lagi relevan keberadaannya. Keempat, Barito Mulyo Ratmono menyatakan belum membaiknya kultur Polri hingga saat ini dikarenakan adanya proses produksi yang iii
cacat di pabrik aktor Polri, dampaknya penyalahgunaan jabatan dan kewenangan melalui proses hegemoni serta pertarungan kepentingan antar aktor Polri. Merespon hal tersebut perlu perubahan kultur Polri yang dimulai dari lembaga pendidikan dan satuan kewilayahan secara bersamaan melalui proses hegemoni untuk menanamkan gagasan dan tindakan yang sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif kultur Polri sesungguhnya. Kelima, Dedi Ilham Perdana menganggap perubahan kurikulum dan pendidikan yang terjadi di Indonesia dari masa ke masa serta pengaruhnya pada masyarakat menjadi titik tolak berbagai isu terkait kurikulum baru 2013 serta dampaknya bagi dunia pendidikan saat ini. Keenam, Ahmad Fadli Azami menyatakan pesantren telah berhasil menunjukkan model pendidikannya yang cukup kokoh dalam menghadapi berbagai guncangan. Tak heran jika model pendidikan itu masih tetap diakui oleh masyarakat islam pada umumnya. Dalam konteks kekinian di mana dunia pendidikan lebih menonjolkan kecerdasan intelektual, pesantren hadir dengan warna yang berbeda. Ketujuh, Umi Latiefah menyatakan terdapat konstruksi identitas ketika waria memandang dirinya melalui masyarakat dan sebaliknya masyarakat memandang identitas waria. Pada realitanya waria masih mendapatkan perlakuan diskriminatif karena identitasnya dipandang sebagai suatu penyimpangan. Kedelapan, Dewi Cahyani Puspitasari menyatakan dalam prakteknya pengelolaan zakat yang dilakukan oleh organisasi pengelola zakat (OPZ) mengalami transformasi sejak pengelolaan zakat tahun 1990-an. Kondisi ini berupa pola distribusi zakat beralih dari ranah amal sosial keagamaan menuju ranah pemberdayaan pengembangan ekonomi. Redaksi.
iv
Budaya Gotong Royong Masyarakat Dalam Perubahan Sosial Saat Ini1
Tadjuddin Noer Effendi
Abstrak Artikel ini menguraikan tiga isu pokok: gotong royong sebagai perasan dari Panca Sila dan penerapannya dalam interaksi sosial kehidupan sehari-hari, gotong royong mengandung beberapa unsur-unsur modal sosial serta kondisi masyarakat kontemporer yang berada dalam situasi kekacauan sosial karena lemahnya penerapan nilai-nilai gotong royong dalam interaksi sosial. Di duga perubahan sosial yang cepat serta kuatnya tekanan dari luar, terutama ideologi liberal yang berdasarkan individualis memenjadi penyebab kekacauan sosial. Agenda ke depan untuk menguatkan kembali budaya gotong royong juga dibahas dalam tulisan ini. Kata Kunci: Gotong Royong, Panca Sila, Modal Sosial, Perubahan Sosial Abstract This article examines three main issues: gotong royong as a derivation of Panca Sila, its application in social interaction of daily life, gotong royong comprises some elements of social capital and later the chaotic conditions of contemporary society partly due tolack of the practices of gotong royongvalues in social interaction. It is argued that rapid social change and the strong influence of external pressure, especially liberal ideology based on individualism is determinedthe chaotic situation. Further agendas to vitality the culture of gotong royong arealso discussed in this article. Keywords: Gotong Royong, Panca Sila, Social Capital, Social Change A. Pendahuluan
muncul dalam masyarakat bagaimana Artikel ini berusaha menguraikan tiga menerapkan Panca Sila dalam interaksi pokok bahasan. Pertama, membahas sosial kehidupan sehari-hari. Salah satu gotong royong sebagai perasan praksis Panca Sila dalam relasi sosial Panca Sila. Bahasan bertujuan untuk kehidupan masyarakat adalah gotong menjawab pertanyaan yang sering royong. Kedua, diuraikan gotong royong dan nilai-nilai modal sosial.Uraian ini 1. Draft awal artikel ini dipersiapkan untuk bertujuan menunjukkan bahwa budaya seminar “Peringatan Bulan Bakti Gotong Royong Masyarakat”dilaksanakan oleh Kementerian Dalam gotong royong sebagai sebuah nilai Negeri RI, Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, 29 Mei 2013 di Banjarmasin.
1
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
moral (values) mempunyai akar filosofis dalam kajian akademis. Ditunjukkan bahwa dalam budaya gotong royong melekat nilai-nilai modal sosial yang diperlukan untuk kemajuan dan mensejahterakan masyarakat. Ketiga, ditelaah secara singkat situasi interaksi sosial masyarakat kontemporer. Fokus bahasan diarahkan bahwa akhir-akhir ini masyarakat terindikasi mengalami kekacauan sosial karena dalam relasi sosial meninggalkan semangat dan nilai-nilai gotong royong. Terakhir didiskusikan yang perlu dilakukan untuk menguatkan kembali budaya gotong royong sebagai modal sosial dalam meraih kesejahteraan bersama.
pertama, ketua BPUPK Dr. Rajiman mengajukan pertanyaan kepada seluruh anggota peserta sidang: “Apa dasar Negara Indonesia merdeka?” Pertanyaan ini menjadi inti pidato yang diminta untuk disiapkan dan disampaikan oleh seluruh peserta dalam sidang selama 29 Mei -1 Juni 1945. Sejak hari pertama satu per satu anggota BPUPK menyampaikan gagasan, ide dan pandangan secara terbuka tentang dasar Indonesia merdeka. Tetapi tidak semua peserta sidang menyampaikan pidato.Dari yang menyampaikan ada beberapa yang naskah asli belum ditemukan.Dari naskah pidato para peserta sidang, gagasan, ide dan pandangan dasar Indonesia merdeka dapat dikelompok ke dalam tiga besar23, yakni dasar Kebangsaan, dasar Agama Islam dan dasar Jiwa Asia Timur Raya. Selain itu, ada seorang anggota Supomo, dalam pidato mengajukan gagasan integralistik34. Supomo menyampaikan bahwa: ”Menurut faham integralistik negara tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam negara yang berdasar aliran pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada sesuatu golongan yang paling kuat, atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat, akan tetapi
B. Gotong Royong Sebagai Perasan Panca Sila Catatan sejarah saat detik-detik kemerdekaan Indonesia ketika para pemimpin bangsa sedang merumuskan dasar Indonesia merdeka, ada pembelajaran penting yang perlu dicatat bahwa Panca Sila lahir melalui proses demokrasi partisipatif bersifat musyawarah dan mufakat. Menelusuri catatan notulen sidang anggota Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang anggotanya terdiri dari 67 orang dapat kita jadikan rujukan bagaimana demokrasi partisipatif berlangsung. BPUPK resmi dibentuk tanggal 29 April 194512. Masa sidang pertama berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 dan sidang kedua berlangsung dari tanggal 10-17 Juli 1945. Dalam pidato pembukaan sidang 1. A.B.Kusuma, 2004, Lahirnya Undang-undang 2. Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan, Jakarta, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal.10.
23.. Ibid, hal. 175 . 4. Op cit, Kusuma, hal. 124-125. 3.
2
Tadjuddin Noer Effendi: Budaya Gotong Royong Masyarakat Dalam Perubahan Sosial Saat Ini
negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan”45 . Dalam menyampaikan gagasan dasar Indonesia merdeka itu, ada 2 orang anggota BPUPK, Susanto Tirtodirodjo dan Supomo, secara tegas dalam pidatonya menyampaikan menolak faham Liberalisme dan sistem Demokrasi Barat56, alasan penolakan adalah:
Indonesia merdeka. Tiba saat sidang pada tanggal 1 Juni 1945 Sukarno mendapat giliran terakhir untuk menyampaikan gagasannya. Sukarno mengemukakan dalam pidatonya secara jelas memberikan jawaban atas pertanyaan apa dasar Indonesia merdeka. Pada awal pidatonya Sukarno mengatakan bahwa pidato sebelum tanggal 1 Juni belum ada anggota secara sistematis dan argumentatif menjawab pertanyaan yang diajukan Ketua BPUPK: Apa dasar Indonesia merdeka? Sukarno selain menjawab dan mengkritisi pidato yang telah disampaikan peserta sidang juga mengajukan konsep dan gagasan dasar Indonesia merdeka yakni lima sila atau Panca Sila. Pidato ini kemudian disepakati sebagai lahirnya Panca Sila. Menurut Mohamad Hatta67, pidato Sukarno itu dikatakan sebagai bersifat kompromis, dapat menghilangkan pertentangan yang mulai menajam antara gagasan yang mengusulkan Negara Islam dan para peserta sidang yang menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama. Dalam pidatonya, pertama kali Sukarno menyampaikan bahwa pidato yang telah disampaikan oleh para anggota BPUPK bukan gagasan dasar Indonesia merdeka. Menurut pandangan Sukarno yang diminta oleh Ketua BPUPK ialah dalam bahasa Belanda Philosofische Grondslag (Dasar falsafah) Indonesia Merdeka. Philosofische Grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Selanjutnya Sukarno mengatakan
“Liberalisme seperti yang diterapkan di Eropa Barat bersifat perseorangan. Sifat individual ini mengenai segala lapangan hidup (sistem undangundang, ekonomi dll) memisahmisahkan manusia sebagai seseorang dari masyarakatnya, mengasingkan diri dari segala pergaulan yang lain. Seseorang manusia dan negara dianggap sebagai seseorang pula, selalu mencari jalan untuk merebut kekuasaan dan kekayaan bendabenda segala-galanya menimbulkan imperialisme dan sistem yang memeras membikin kacau balaunya dunia lahir dan batin. Sifat demikian harus kita jauhkan dari pembangunan negara Indonesia.” Meskipun para anggota BPUPK telah menyampaikan pidato dan mengajukan beberapa gagasan dasar Indonesia merdeka tetapi belum ada yang secara sistematis mengajukan ide dan memberikan jawaban apa dasar 4. Menurut catatan Kusuma (2004, 16-17) Supo5. mo telah meninggalkan ide intergralistik sejak tanggal 11 Juli 1945 saat mulai menyusun UUD 1945. Tetapi ide ini intergralistik ini muncul kembali pada masa Orde Baru ketika berusaha membudayakan Panca Sila dan UUD 1945 dengan menyatakan bahwa UUD 1945 disusun berdasar ide negara integralistik. Dalam Kusuma (2004, l.23) yang menjiwai UUD 1945 adalah Piagam Jakarta. 5. Opcit, Kusuma, hal 112 dan 125 6.
7. 6. Mohammad Hatta, 1977, Pengertian Pancasila, Idayu Press, Jakarta, hlm. 9.
3
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
bahwa tentang Philosofische Grondlag akan dikemukakan kemudian. Juga dikemukakan Merdeka sebagai Jembatan Emas dan Syarat Negara Merdeka. Pada bagian awal pidatonya Sukarno lebih menekankan dan mementingkan membicarakan dan memberitahukan kepada seluruh anggota sidang, apakah yang diartikan dengan perkataan “merdeka”. Merdeka menurut Sukarno adalah “political independence”, politieke onafhanhanke lijkheid. Kemudian Sukarno menjelaskan satu per satu isi Panca Sila. Sukarno menegaskan78: “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma ini tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indra. Apalagi yang lima bilangannya? (seorang yang hadir: Pendawa Lima). Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme,mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma; tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada
saya, apakah perasan yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah dahulu yang saya namakan socionationalisme. Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tapi politiekeconomische democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ke –Tuhanan. Kalau tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Tri Sila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoema buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia! – semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong.
7. Opcit, Kusuma, hal. 164 - 165. 8.
4
Tadjuddin Noer Effendi: Budaya Gotong Royong Masyarakat Dalam Perubahan Sosial Saat Ini
“Gotong-royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo: satu karyo, satu gawe! Gotong-royong adalah membanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantubinantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagian semua. Holupiskuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong”
9 terkandung dalam istilah Gotong10 . Di dalam membagi hasil karyanya, masing-masing anggota mendapat dan menerima bagian-bagiannya sendirisendiri sesuai dengan tempat dan sifat sumbangan karyanya masingmasing, seperti tersimpul dalam istilah Royong. Maka setiap individu yang memegang prinsip dan memahami roh gotong royong secara sadar bersedia melepaskan sifat egois. Gotong royong harus dilandasi dengan semangat keihklasan, kerelaan, kebersamaan, toleransi dan kepercayaan. Singkatnya, gotong royong lebih bersifat intrinsik, yakni interaksi sosial dengan latar belakang kepentingan atau imbalan non-ekonomi. Gotong-royong adalah suatu faham yang dinamis, yang menggambarkan usaha bersama, suatu amal, suatu pekerjaan atau suatu karya bersama, suatu perjuangan bantu-membantu. Gotong-royong adalah amal dari semua untuk kepentingan semua atau jerih payah dari semua untuk kebahagian bersama. Dalam azas gotong-royong sudah tersimpul kesadaran bekerja rohaniah maupun kerja jasmaniah dalam usaha atau karya bersama yang mengandung didalamnya keinsyafan, kesadaran dan sikap jiwa untuk menempatkan serta menghormati kerja sebagai kelengkapan dan perhiasan kehidupan. Dengan berkembangnya tata-tata kehidupan dan penghidupan Indonesia menurut zaman, gotongroyong yang pada dasarnya adalah suatu azas tata-kehidupan dan penghidupan Indonesia asli dalam lingkungan masyarakat yang serba sederhana mekar menjadi Panca Sila.
C. Gotong Royong Sebagai Modal Sosial Gotong royong merupakan budaya yang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia sebagai warisan budaya yang telah eksis secara turun-temurun 89 . Gotong royong adalah bentuk kerja sama kelompok masyarakat untuk mencapai suatu hasil positif dari tujuan yang ingin dicapai secara mufakat dan musyawarah bersama. Gotong royong muncul atas dorongan keinsyafan, kesadaran dan semangat untuk mengerjakan serta menanggung akibat dari suatu karya, terutama yang benarbenar, secara bersama-sama, serentak dan beramai-ramai, tanpa memikirkan dan mengutamakan keuntungan bagi dirinya sendiri, melainkan selalu untuk kebahagian bersama, seperti 9. 8. Lihat bahasan Sartono Kartodijo, 1987, “Gotong Ro-yong: Saling Menolong Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, dalam Callette, Nat.J dan Kayam, Umar (ed), Kebudayaan dan Pembangunan: Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia, Jakarta, Yaysan Obor.
10. 9. TUBAPI hal. 139-154 dengan beberapa perubahan.
5
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013 11 (dalam konteks Prusak tahun 191610 peningkatan kondisi hidup masyarakat melalui keterlibatan masyarakat, niat baik serta atribut-atribut sosial lain dalam bertetangga). Dalam karya tersebut, dijelaskan ciri utama modal sosial, yakni membawa manfaat internal dan eksternal bagi relasi sosial masyarakat. Kemudian istilah modal sosial tidak muncul dalam literatur ilmiah selama beberapa dekade. Pada tahun 1956, sekelompok ahli sosiologi perkotaan Kanada menggunakannya dan diperkuat dengan kemunculan teori pertukaran Homans pada tahun 1961. Pada era ini, istilah modal sosial muncul pada pembahasan mengenai ikatan-ikatan sosial komunitas. Penelitian yang dilakukan Coleman1112 di bidang pendidikan dan Putnam1213 mengenai partisipasi, pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan peran penting modal sosial di Italia, telah menginspirasi banyak kajian mengenai modal sosial saat ini. Berbagai aspek dari konsep modal sosial telah dibahas oleh semua bidang ilmu sosial dan sebagian mulai menggunakannya pada era modern kini. Namun, dalam pembahasan tidak secara eksplisit menjelaskan istilah modal sosial. Sering kali menggunakannya dalam kaitan dengan nilai jaringan sosial. Uraian mendalam ikhwal modal sosial yang pertama kali dikemukakan
Prinsip gotong royong melekat subtansi nilai-nilai ketuhanan, musyawarah dan mufakat, kekeluargaan, keadilan dan toleransi (peri kemanusiaan) yang merupakan basis pandangan hidup atau sebagai landasan filsafat Bangsa Indonesia. Mencermati prinsip yang terkandung dalam gotong-royong jelas melekat aspek-aspek yang terkandung dalam modal sosial. Modal sosial secara konsepsional bercirikan adanya kerelaan individu untuk mengutamakan kepentingan bersama. Dorongan kerelaan (keinsyafan dan kesadaran) yang dapat menumbuhkan energi kumulatif yang menghasilkan kinerja yang mengandung nilai-nilai modal sosial. Apa itu modal sosial? Modal sosial adalah suatu konsep yang terdiri dari beberapa batasan dan definisi sesuai perkembangan wacana akademik. Namun, dalam batasan dan definisi unsur yang melekat dalamnya mengandung nilai jaringan sosial. Sejak diterima sebagai konsep akademis, modal sosial telah dimanfaatkan sebagai konsep penting dalam memahami persoalan dan masalah pembangunan yang dihadapi masyarakat dan komunitas kotemporer. Konsep yang mendasari modal sosial sudah lama dibahas dalam kalangan para akademisi. Awalnya konsep modal sosial menjadi wacana dalam kalangan para filsuf ilmu sosial terutama mereka yang berusaha menjelaskan hubungan antara kehidupan masyarakat pluralistik dan demokrasi, terutama ini berkembang di Amerika Serikat. Istilah modal sosial pertama kali muncul dalam tulisan Cohen dan
11. 10. Cohen dan Prusak, 2001 dikutip dalam Ancok, 2009, “Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat”, dalam Bulaksumur Mengagas Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, hal. 334. 12. 11. Coleman, J, 1988, “Social Capital in The Creation of Human Capital”, American Journal of Sociology, 94, hal. 95-120. 13. 12. Putnam, Robert.D, 1993, “The Properius Community: Social Capital and Public Life”, The American Prospect, 13, hal.35-43.
6
Tadjuddin Noer Effendi: Budaya Gotong Royong Masyarakat Dalam Perubahan Sosial Saat Ini
oleh Bourdieu1314, selanjutnya, 14 15 Coleman merupakan ilmuwan yang mengembangkan dan mempopulerkan konsep ini. Pada akhir 1990-an, konsep ini menjadi sangat populer, khususnya ketika Bank Dunia mendukung sebuah program penelitian tentang hal ini, dan konsepnya mendapat perhatian publik melalui buku Putnam1516. Dari berbagai pengertian dapat diartikan modal sosial adalah bagianbagian dari institusi sosial seperti kepercayaan, norma (etika) dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan bersama yang terkoordinasi. Modal sosial juga didefinisikan sebagai kemampuan dan kapasitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat tersebut. Selain itu, konsep ini juga diartikan sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama dan saling tanggung jawab. 17 Penggagas modal sosial Fukuyama16 mengilustrasikan modal sosial melekat pada nilai-nilai trust dan believe. Artinya dalam modal sosial mengandung nilai-nilai kepercayaan (saling percaya) yang mengakar dalam faktor kultural, seperti etika dan moral. Ketika trust menjadi pegangan dalam
interaksi sosial maka komunitas telah menanamkan nilai-nilai moral, sebagai jalan menuju berkembangnya nilai-nilai kejujuran. Disamping itu, Fukuyama juga menjelaskan bahwa asosiasi dan jaringan sosial lokal mempunyai dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan pada aras lokal serta memainkan peran penting dalam manajemen lingkungan. Sejalan dengan pandangan itu, Coleman1718secara tegas menekankan bahwa modal sosial sebagai alat untuk memahami aksi sosial secara teoritis mengandung perspektif ekonomi dan sosial. Pengertian ini 19 dipertegas oleh Serageldin18 bahwa modal sosial senantiasa melibatkan masyarakat dan menjadikan masyarakat muncul bukan sebagai akibat dari interaksi pasar dan memiliki nilai ekonomis tetapi juga sebagai bagian dari interaksi sosial. Atas dasar itu Serageldin membedakan modal sosial dalam bentuk interaksi sosial yang tahan lama tetapi hubungannya searah, seperti pengajaran dan perdagangan serta interaksi sosial yang hubungannya resiprokal (timbal balik) seperti jaringan dan asosiasi sosial. Modal sosial dalam bentuk jaringan dan asosiasi sosial lebih tahan lama dalam hubungan timbal balik seperti kepercayaan dan rasa hormat. Pola relasi sosial tahan lama ini telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan komunitas lokal di Indonesia. Dalam pandangan ilmu ekonomi, modal adalah segala sesuatu yang dapat menguntungkan atau menghasilkan.
14. 13. Bourdieu, P, 1986, “The form of Capital”, in Richardson (ed), pertama kali diterbitkan di Jerman tahun 1983. 15. 14. Coleman, J, 1990, Foundation of Social Theory, Cambridge, Harvard University Press. 16. 15. Putnam, Robert, D, 2000, Bowling Alone: The Collapse and Revival of America Community, New York, Simon and Schuster. 17. 16. Fukuyama, Y, 1995, Trush: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, London, Hamish Hamilton.
18. 17. Coleman, J, 1988, “Social Capital in The Creation of Human Capital”, American Journal of Sociology, 94, hal. 95-120.. 19. 18. Serageldin, Ismail, 1996, “Sustainability as Opportunity and The Problem of Social Capital”, Brown Journal of World Affairs, 3, hal. 187-203.
7
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Modal itu sendiri dapat dibedakan atas (1) modal finansial yang berbentuk uang; (2) modal fisik berbentuk gedung atau barang (bahan mentah); dan (3) modal manusia dalam bentuk kualitas pendidikan, kualitas hidup (kesehatan), keterampilan profesionalime. Modal itu sebagai asset melalui tindakan kolektif menghasil suatu produk yang mempunyai nilai tambah. Namun, dalam proses pembangunan terjadi tuntutan perubahan karena dalam kenyataan daerah yang tidak memiliki sumberdaya alam dapat memacu pertumbuhan ekonomi karena dukungan modal sosial 20. Putnam19 21 menjelaskan modal sosial Coleman20 nilai yang melekat dalam struktur relasi antarindividu. Struktur relasi membentuk jaringan sosial yang menciptakan berbagai ragam kualitas sosial berupa saling percaya, terbuka, kesatuan norma, dan menetapkan berbagai jenis sangsi bagi anggotanya. Putnam2122 berpendapat bahwa modal sosial dapat berwujud organisasi sosial seperti jejaring (network), norma/ etika (norms) dan kepercayaan (trust) yang mempermudah koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Itu mengandung makna bahwa modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jejaring, sehingga terjadi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara bersama-sama. Bagi Putnam modal sosial juga bisa dipahami
sebagai pengetahuan, kesadaran dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh komunitas yang membentuk pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan untuk kepentingan bersama. 23 Bank Dunia22 menekankan modal sosial lebih diartikan kepada dimensi institusional, hubungan yang tercipta, norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial tidak diartikan hanya sejumlah institusi dan kelompok sosial yang mendukungnya, tapi juga perekat kohesi sosial yang menjaga kesatuan anggota kelompok sebagai suatu kesatuan. 24, modal sosial ini Menurut Fine23 sangat penting bagi kehidupan sosial masyarakat dan komunitas. Setidaknya modal sosial dapat (1) memudahkan untuk mengakses informasi bagi anggota komunitas; (2) dapat berperan sebagai media saling mendistribusikan kekuasaan atau pembagian kekuasaan dalam komunitas; (3) memupuk dan mengembangkan solidaritas; (4) mempermudah dalam mobilisasi sumber daya komunitas; (5) membuka kemungkinan untuk pencapaian tujuan bersama; dan (6) menuntun dan dijadikan rujukan dalam perilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas. Dari sisi manfaat itu, modal sosial merupakan suatu komitmen bagi setiap individu dalam masyarakat untuk saling terbuka, saling percaya, saling memahami serta rela memberikan kewenangan bagi setiap
20. 19. Putnam, Robert.D, 1993, “The Properius Community: Social Capital and Public Life”, The American Prospect, 13, hal.35-43. 21. 20. Coleman, J, 1990, Foundation of Social Theory, Cambridge, Harvard University Press. 22. Putnam, Robert, D, Op cit, hal. 35-43 21.
23. 22. Worl Bank, 1998, “The Local Institution Study: Overview and Program Description”, Local Level Institution, Working Paper, No.1 24. 23. Fine, Ben, 2001, Social Capital versus Social Theory: Political Economy and Social Science at The Turn of the Mellenium, London, Routledge, hal. 178-185
8
Tadjuddin Noer Effendi: Budaya Gotong Royong Masyarakat Dalam Perubahan Sosial Saat Ini
kepercayaan tinggi (high trust societies) 27, menurut Fukuyama26 cenderung memiliki keberhasilan ekonomi yang mengagumkan. Sebaliknya, masyarakat dengan tingkat kepercayaan rendah (lowtrust societies) cenderung memiliki kemajuan dan perilaku ekonomi yang lebih lamban dan inferior. Menurut Fukuyama modal sosial sebagai seperangkat norma atau nilai informal yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Kunci dari modal sosial adalah trust atau saling percaya. Dengan trust, menurut Fukuyama, semua pihak bisa bekerjasama dengan baik. Karena ada kesediaan diantara mereka untuk menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Trust dapat berfungsi sebagai energi sosial yang dapat membuat kelompok masyarakat atau organisasi mampu bertahan dari kemungkinan berbagai masalah yang dihadapi. Bila trust tidak menjadi pegangan dalam berinteraksi dapat mengakibatkan banyak energi terbuang sia-sia karena hanya dipergunakan untuk mengatasi saling curiga dan konflik yang berkepanjangan. Masyarakat memiliki persediaan modal sosial berbeda-beda tergantung seberapa jauh jangkauan moral kerjasama, seperti kejujuran, solidaritas, pemenuhan kewajiban dan rasa keadilan. Perbedaan itu yang menyebabkan ada perbedaan dalam perkembangan masyarakat.
orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan tanggung jawab masingmasing. Ketika nilai-nilai modal sosial menjadi dasar dalam relasi sosial maka muncul rasa kebersamaan, kesetiakawanan, solidaritas, toleransi, dan sekaligus tanggungjawab untuk mencapai kemajuan bersama. Oleh karena itu, hilangnya modal sosial dalam tata kehidupan masyarakat bisa jadi kesatuan masyarakat, bangsa dan negara akan terancam, atau paling tidak masalah-masalah kolektif akan sulit untuk diselesaikan. Kebersamaan dapat meringankan beban, berbagi pemikiran, sehingga dapat dipastikan semakin kuat modal sosial, semakin tinggi daya tahan, daya juang, dan kualitas kehidupan suatu masyarakat. Tanpa adanya modal sosial, masyarakat sangat mudah diintervensi bahkan dihancurkan oleh pengaruh budaya atau nilai-nilai yang datang dari luar (asing). Pembangunan tidak hanya berkaitan dengan modal ekonomi (finansial, fisikal, keterampilan). Telah banyak 25 yang studi (lihat misalnya Fukuyama )24 menunjukkan bahwa pembangunan tidak saja didorong oleh faktor ketersediaan sumberdaya alam, besarnya modal finansial atau tingginya investasi ekonomi dan industrialisasi tetapi juga bertautan dengan matra sosial, khususnya modal sosial. 25 26 Fukuyama berhasil meyakinkan bahwa modal sosial memiliki kekuatan untuk mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan sosial suatu negara. Negara-negara yang dikategorikan sebagai masyarakat dengan tingkat
D. Situasi Masyarakat Kontemporer dan Budaya Gotong Royong
25. 24 Fukuyama, Y, 1995, Trush: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, London, Hamish Hamilton. 25. Fukuyama, Y, ibid 26.
Belakangan
ini
27.. Fukuyama, Y, ibid 26
9
interaksi
sosial
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
masyarakat Indonesia dapat digambarkan sedang mengalami situasi kekacauan sosial. Kekacauan sosial ini mirip dengan konsep anomie 28 yang digunakan oleh Durkheim27 untuk menggambarkan kondisi relasi masyarakat atau individu dimana konsensus melemah, nilai-nilai dan tujuan (goal) bersama meluntur, kehilangan pegangan nilai-nilai norma dan kerangka moral, baik secara kolektif maupun individu. Ini terjadi karena perubahan sosial berlangsung begitu cepat sehingga 29 terjadi disorientasi nilai-nilai28 . Dalam konteks Indonesia perubahan sosial seiring dengan reformasi yang terjadi tanpa terencana (dalam waktu singkat) telah menyebabkan nilai-nilai lama yang selama ini menjadi pegangan dan acuan dalam relasi sosial berbasis pada semangat dan nilai-nilai gotong royong mulai melemah. Sementara itu, nilainilai baru yang berkembang selama era reformasi masih lemah dan belum dapat dijadikan acuan dan pegangan. Belakangan ini justru muncul nilai-nilai baru dalam relasi sosial masyarakat yang mengarah pada mengutamakan kebebasan. Ada kecenderungan relasi sosial lebih bersifat individualis bercampur dengan sifat materialistik. Juga ada indikasi bahwa dalam relasi sosial mengesampingkan nilainilai kebersamaan, moral, etika dan
toleransi. Relasi sosial yang selama 30 yakni hubungan ini bersifat intrinsic29 yang ganjarannya tidak bermotif ekonomi, berubah menuju bersifat extrinsic yang ganjarannya sering bermotif kepentingan ekonomi (nilai materialistik). Mengapa terjadi disorientasi nilai? Sebagai sebuah perubahan sosial, tentu banyak faktor berpengaruh pada proses disorientasi nilai-nilai itu. Modernisasi yang telah berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan selama beberapa dekade tentu mempunyai kontribusi. Namun, banyak pengamat menduga disorientasi nilai itu berlangsung akibat pengaruh 31 yang masuk bersamaan ideologi asing30 dengan globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Dalam beberapa dekade belakangan ini perlahan tetapi pasti sebagian besar tatanan kehidupan ekonomi, sosial-budaya dan politik dirasuki gaya hidup konsumerisme (komsumsi yang 32) dan kebebasan hampir mengada-ada31 tanpa kendali. Fenomena itu juga ditandai dengan meningkatnya hasrat menghamba pada kekuasaan dan materi. Watak hedonisme, individualisme, budaya anarkis (kekerasan), konflik dan saling menyakiti (saling bunuh) merebak dalam tata interaksi sosial kehidupan. Norma-norma sosial dan etika sebagai perekat kehidupan berbangsa diabaikan. Tidak dapat dielakkan norma-norma lama satu per satu diganti dengan
28. 27. Jary, David dan Jary, Yulia, 1991, Dictionary of Sosiology, Glasgow, Harper Collin Publisher, hal.22-23 28 29.. Dalam Veeger.K.J (1985: 7-8) dijelaskan bahwa pada abad 19 setelah revolusi Perancis dicirikhaskan oleh pergolakan di segala bidang keganasan, persengketaan, dan krisis akhlak. Struktur-struktur feudal beserta nilai-nilai dasarnya menghilang, sedang struktur-struktur baru masih bersifat lemah atau berada dalam taraf eksprimen dan belum memperoleh doa restu dari tradisi, sehingga kekacauan sosial-politik melanda Eropa
30. 29. Lihat bahasan Arrow, Kenneth.J, 2000, “Observation on Social Capital”, dalam Dasgupta, Parta dan Serageldin, Ismail, Social Capital: Multifaceted Perspective, Wasington.D.C, The Worl Bank 31. Kompas, 2013, Pengaruh Asing Makin Meluas, 30. Minggu 19 Mei 2013, hal. 1 32. Herry-Priyono di kutip dalam Tumenggung, 31. Adeline May, 2005, “Kebudayaan (para) Konsumen”, dalam Muji Sutrisno dan Hendar Putranto (penyunting), 2005, Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, hal. 257-270
10
Tadjuddin Noer Effendi: Budaya Gotong Royong Masyarakat Dalam Perubahan Sosial Saat Ini
norma-norma baru yang berbasis pada nilai-nilai individualis. Konsensus moral yang menjadi kerangka dasar dalam interaksi sosial bertumpu pada nilai-nilai gotong royong yang cukup penting dalam memproduksi tatanan kehidupan, cenderung diabaikan dan dikesampingkan. Gotong royong tampaknya hanya berfungsi sebagai simbol belaka. Sering didiskusikan tetapi kurang dipraktekkan dalam relasi sosial kehidupan masyarakat. Bahkan ada upaya untuk menyingkirkannya karena dianggap tidak pas lagi dengan tuntutan kehidupan masa kini. Untuk menyesuaikan dengan perubahan sesuai arahan nilai-nilai baru maka diperlukan konstitusi dan norma-norma baru. Banyak perubahan yang dilakukan dengan penuh kesadaran tetapi cukup banyak perubahan yang dilakukan di luar kesadaran karena ada desakan kepentingan politik-ekonomi dari pihak-pihak tertentu (agen-agen) lewat berbagai macam institusi ekonomi, 33. sosial, budaya dan politik 32 Dalam bidang ekonomi, azas demokrasi ekonomi yang bertumpu pada sistem gotong royong kekeluargaan (koperasi) secara perlahan dirubah menuju pada sistem pasar terbuka dan bebas. Untuk mendukung perubahan itu diciptakan lembaga-lembaga baru, seperti pasar modal dan lembaga lain. Badan usaha yang selama ini dibawah pengawasan negara karena menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak satu persatu di privatisasi (dijual ke swasta sesuai tuntutan sistem pasar bebas). Tidak hanya itu, eksplorasi
sumberdaya alam yang seharusnya dikuasai negara dan sepenuhnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat juga dilego ke pasar yang kemudian banyak dikuasai perusahaan asing yang dimiliki oleh negara-negara maju penggagas sistem neoliberal. Perubahan juga terjadi dalam sistem politik. Sistem politik telah berubah ke arah sistem demokrasi liberal. Setiap jenjang aparat eksekutif pemerintah, bupati, gubenur dan presiden serta anggota legistatif dipilih dengan sistem demokrasi liberal (one head one vote). Memang dengan sistem itu kedaulatan rakyat dapat dipenuhi dan dijalankan dengan baik karena dipandang sesuai tuntutan hak azasi manusia. Namun, karena masyarakat belum siap untuk menjalankan sistem itu maka dalam pelaksanaan banyak terjadi anomali yang cukup menganggu relasi sosial dalam kehidupan masyarakat. Media sering mewartakan peristiwa konflik antar kelompok masyarakat yang terjadi di berbagai daerah, baik karena pilkada (pilihan bupati dan gubernur) maupun pileg (pilihan anggota legistatif). Tawuran antar warga. Pertikaian antar oknum penegak hukum. Adaptasi terhadap perubahan sistem politik itu telah menimbulkan berbagai macam implikasi bagi relasi sosial masyarakat, baik di aras 34. nasional maupun lokal33 Proses politik kenegaraan di tingkat nasional dan lokal diwarnai dengan hasut33 Dalam kaitan dengan akibat sistem liberal 34. ini, beberapa anggota BPUPKI dalam pidatonya memperingatkan bahwa sistem liberal cenderung bersifat individualisme dan kurang sesuai dengan sifat-sifat dasar (karakter ) bangsa Indonesia, lihat RM A.B. Kusuma, 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha Persiapan Kemerdekaan, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal 112, 125 dan 131
33. 32 Lihat Tulisan Peranan Pihak Asing Dalam Proses Amandemen dan Konstitusi disebutkan keterlibatan Multi National Corporartion, NDI ( tidak dipublikasikan)
11
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
hasut menghasut, politik uang, saling menjatuhkan, fitnah melalui selebaran gelap. Eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan tidak dapat menjalankan fungsinya secara penuh karena demi “demokrasi”, legislatif senantiasa melakukan kontrol terhadap hal-hal yang sebenarnya bukan jadi wewenangnya. Elit politik di legislatif dengan dalih menjalankan prinsip demokrasi diberbagai kesempatan menunjukkan kekuasaannya tanpa mengindahkan kepentingan bersama untuk kemajuan bangsa. Suara rakyat sebagai konstituen yang memilih mereka kurang diperhatikan dan cenderung diabaikan. Perubahan politik di tingkat nasional dan lokal dalam upaya menerapkan demokrasi telah berlangsung. Sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat telah berubah dengan dikeluarkan Undang-Undang 35. Otonomi daerah Otonomi daerah34 telah memungkinkan pembagian kekuasaan dan pendistribusian dana pembangunan antara pusat dan daerah lebih proporsional. Kepala daerah memiliki kekuasaan untuk menerapkan berbagai kebijakan sesuai kebutuhan daerah. Namun, sejauh ini otonomi daerah nampaknya cenderung dimaknai sebagai peluang ekonomi dan politik untuk memenuhi hasrat kepentingan merengkuh kepuasan materi dan kekuasaan para elit dan para petualang politik yang haus kekuasaan dan materi. Tidak mengherankan kemudian beberapa kepala daerah (bupati), gubernur, anggota DPR/DPRD dan para elit politik terlibat dalam kasus penyalahgunaan wewenang dan
terlibat korupsi. Cukup banyak para koruptor itu menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan. Tampaknya tidak ada kata jera atau mengatakan tidak pada korupsi. Justru belakangan ini perilaku korupsi kian meningkat dan merajalela. Media hampir setiap hari menayangkan dan melaporkan kasus korupsi para petinggi partai dan pejabat negara. Tidak sedikit para koruptor itu menjadi tersangka dan yang telah dijebloskan ke penjara oleh Komite Pemberantasan Korupsi (KPK). Hancurnya nilai-nilai moral dan kesadaran kebersamaan ini bisa jadi mendorong para koruptor tanpa merasa bersalah menilep dana APBN yang dikumpulkan dari tetesan keringat rakyat. Dana APBN sering di salah gunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Meskipun masih banyak rakyat yang hidup dililit kemiskinan tetapi para koruptor mempertontonkan gaya hidup bermewah-mewah. Para koruptor membeli beberapa rumah mewah, mobil dengan harga fantastis milyaran rupiah dan perilaku memperbanyak isteri (siri). Kesadaran bahwa tindakan korupsi adalah perilaku yang merugikan dan dapat memiskinkan rakyat sirna ditelan syahwat serakah. Bersamaan dengan itu, nilainilai demokrasi liberal yang menjadi acuan selama 15 tahun ini tidak hanya memperlemah sistem politik nasional dan lokal dan fungsi negara tetapi juga telah mempengaruhi perilaku aktor politik dalam interaksi sosial. Ada kecenderungan interaksi sosial para elit politik tidak lagi didasarkan pada nilai-nilai sosial (moral/etika) tetapi lebih menonjolkan nilai materi (uang). Hasrat memenuhi tuntutan materi (uang) telah mengesampingkan nilainilai moral (etika) yang terkandung
34 Lihat Undang-Undang Otonomi Daerah 2000, 35. Jakarta, Restu Agung
12
Tadjuddin Noer Effendi: Budaya Gotong Royong Masyarakat Dalam Perubahan Sosial Saat Ini
dalam gotong royong. Tanpa disadari pembusukan moral (korupsi, teror, intimidasi, prasangka dsbnya) merebak dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial maupun politik. Nilai-nilai sosial dan moral dalam kehidupan sosialpolitik telah melonggar kalau tidak boleh dikatakan hancur berantakan karena dorongan hasrat mengejar rente ekonomi (keuntungan ekonomi) sesaat. Money Politics (politik uang) atau suap menyuap, korupsi adalah menjadi kenyataan dalam berbagai tingkatan kehidupan politik. Elit politik mulai dari tingkat nasional sampai lokal terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan praktek korupsi dan politik uang. Memang permainan uang dalam sistem politik liberal dapat dibenarkan tetapi ada koridor etika yang mengontrol dan tidak bebas sesuka hati dan seenaknya. Transparansi dan akuntabilitas pada publik adalah salah satu alat kontrol yang penting dilakukan dalam sistem demokrasi. Tetapi hal itu belum berjalan dan diterapkan karena pemahaman demokrasi tampaknya baru sebatas pada kebebasan atau sekadar euforia kebebasan. Saat ini ada yang berpendapat bahwa demokrasi masih dalam masa transisi yang dipenuhi dengan kontradiksikontradiksi di sana-sini. Keadaan ini lah yang menimbulkan kekecauan sosial karena perubahan seakan tanpa arah. Tidak hanya itu kehidupan pun mulai bersifat individualis disertai dengan merebaknya gejala aleniasi dan kekerasan, baik verbal maupun simbolik, sehingga kehidupan terasa 36. hampa tanpa makna35 Insting-insting paling mendasar
bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang berpegang teguh pada normanorma dan etika moral dalam tata kehidupan lenyap atau sirna. Instinginsting manusia sebagai makhluk ekonomi lebih menonjol. Rasionalitas sosial yang memungkinkan manusia untuk saling bekerja sama dengan sesama atau orang lain tidak menjadi pegangan. Yang muncul ke permukaan adalah dorongan hasrat untuk berkuasa dalam rangka mereguk keuntungan ekonomi. Akibatnya, permusuhan antar sesama karena saling berkompetisi, saling mencurigai dan prasangkaprasangka senantiasa mewarnai kehidupan masyarakat. Semua ini mendorong pada situasi kekacauan sosial yang kemudian menyebabkan menurunnya sistem kekeluargaan, kebersamaan dan kepercayaan sebagai penguat kohesi sosial. Perasaan kebersamaan meluntur dan semangat saling menjatuhkan dan bermusuhan muncul ke permukaan. Ancaman disintegrasi sosial tampaknya akibat yang mungkin tidak dapat terelakkan. Saling tidak percaya dan curiga senantiasa menyertai kehidupan. Trust sebagai nilai penting dalam mendorong kebersamaan, seperti yang dijelaskan oleh Fukuyama, sangat rendah. Pemimpin tidak mempercayai rakyat dan rakyat tidak mempercayai pemimpin, elit politik tidak percaya pada masyarakat dan masyarakat tidak percaya lagi pada elit politik dan seterusnya. Krisis kepercayaan ini tidak hanya melanda tatanan kehidupan politik nasional tetapi juga lokal. Hujat menghujat, saling mencerca ditingkahi dengan kekerasan adalah bagian dari tata kehidupan sosial masyarakat. Saat ini, sadar atau tidak, secara
36. 35. Budi Hardiman, 1980, “Kritik Atas Patologi Modernitas dan Post Modernisme”, Drikarya, No 2, Tahun XIX, hal. 42-63
13
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
praksis masyarakat Indonesia hanyut ke dalam situasi terombang ambing ibarat sabut di tengah hempasan gelombang laut. Hanyut tidak menentu ke sana kemari tanpa arah. Kehilangan orientasi nilai-nilai (ideologi) cita-cita luhur kehidupan berbangsa (idealisme). Nilai-nilai budaya yang tidak berakar pada budaya lokal secara perlahan tetapi pasti telah mengerosi kesadaran kolektif sebagai suatu bangsa. Kesadaran moral berlandaskan budaya gotong royong yang menjadi pegangan dalam tata pergaulan berbangsa ikut tercuci dan secara perlahan memudar. Dalam situasi seperti itu interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat diwarnai dengan tingkah yang mengarah pada demoralisasi dan dehumanisasi. Kehampaan dan kegalauan menyelimuti masyarakat. Jiwa dan raga bangsa ini terasa semakin rapuh. Agar tidak terpuruk ke dalam jurang kehancuran atau disintegrasi bangsa maka kita perlu menumbuhkan kembali kesadaran kolektif dengan kembali pada nilai-nilai modal sosial yang terkandung dalam budaya gotong royong. Tanpa upaya itu jalan mencapai kemajuan dan kejayaan bangsa tampaknya sulit diraih.
maupun politik semakin melemah. Akibatnya, tatanan politik nasional dan lokal seakan tidak berdaya menghadapi tekanan-tekanan masyarakat yang senantiasa berubah secara tidak terduga serta seakan tanpa arah sejak paham liberal menyeruak memasuki kehidupan politik.Kepentingan-kepentingan yang beragam dari masyarakat dalam menuntut persamaan hak, keadilan, dan partisipasi secara aktif dalam berbagai aspek kehidupan belum tersalurkan. Institusi (partai) sebagai wadah masyarakat menyalurkan aspirasi dan memperjuangkan perbaikan nasib serta kesetaraan masih belum berfungsi seperti yang diharapkan. Dalam banyak hal para elit sering menggunakan kekuasaan sebagai instrumen untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi pribadi atau kelompok daripada untuk menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat mencapai perbaikan kesejahteraan. Dalam situasi seperti itu, gotong royong untuk membangun kebersamaan nyaris tidak terdengar dalam khasanah kehidupan. Bahkan para pemimpin dan elit terasa enggan mengucapkan gotong royong dan Panca Sila sebagai dasar kehidupan berbangsa. Menyadari hal itu maka mau tidak mau dibutuhkan gerakan untuk menggerakkan kekuatan (energi sosial) baru bila menginginkan ada perbaikan dalam tatanan kehidupan. Lembagalembaga politik (termasuk partai) dirasa perlu menyesuaikan dan menyelaraskan dengan tuntutan masyarakat kalau tidak mau terjadi disintegrasi sosial. Hal yang tidak bisa dihindarkan adalah tatanan sosial dan moral harus mengikuti tuntutan masyarakat. Masyarakat sangat membutuhkan konsensus etika
E. Apa yang Perlu Dilakukan Ke Depan? Perubahan bisa terjadi secara tibatiba dan tidak terduga. Memang ada sebagian orang terus berharap bahwa pemerintah (penguasa) atau negara dan elit politik dapat melakukan perbaikan untuk masa depan kehidupan bangsa. Namun, negara akhir-akhir ini kian tidak berdaya (lumpuh) dalam cengkeraman pengaruh kekuatan asing. Kontrol kekuasaan negara, baik ekonomi
14
Tadjuddin Noer Effendi: Budaya Gotong Royong Masyarakat Dalam Perubahan Sosial Saat Ini
dan moral dalam kehidupan politik. Tuntutan moral dari masyarakat adalah persatuan, kejujuran, toleransi, saling menghormati, saling menghargai, saling percaya dan saling bekerja sama. Untuk itu diperlukan tindakan kolektif yang bisa menjadi pengikat kohesi sosial. Menghadapi gelombang perubahan kehidupan akibat gerusan arus pengaruh budaya asing perlu ada kekuatan (enerji sosial) yang dapat mengarahkan pada terbentuknya komitmen moral dengan memunculkan gerakan yang berusaha membebaskan diri dari 37 budaya asing kungkungan hegemoni36 yang telah memporak porandakan modal sosial gotong royong. Nilai-nilai yang memunculkan kesadaran palsu perlu dikounter dengan memunculkan kembali kesadaran kolektif yang bersandar pada nilai-nilai modal sosial gotong royong yang meletakkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan aturan-aturan moral (norma-etika), kerjasama, saling percaya, dan jejaring. Atas dasar itu perlu dikembangkan nilai-nilai atau norma-norma yang mengandung nilainilai moral (ketuhanan) yang dapat dijadikan pijakan perilaku bertindak dalam tata pergaulan politik keseharian seperti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (perikemanusiaan) dengan tidak saling menyakiti (dengan melakukan tindakan kekerasan) pada sesama, mengutamakan dialog/ komunikasi dan musyawarah dengan menghindari sifat mau menang 36. Menurut Gramsci dikutip dalam Cavallaro, 37. Dani., 2004, Teori Kritis dan Teori Budaya, Yogyakarta, Penerbit Niagara, hal 141. Hegemoni berkembang pesat pada kelompok-kelompok sosial yang subordinat agar menerima sistem kultural dan nilai-nilai etik yang dihargai oleh kelompok yang berkuasa seolah-seolah sistem dan nilai tersebut benar secara universal dan melekat dalam kehidupan manusia.
sendiri, menjaga persatuan atas prinsip kemajemukan (bhineka) atas dasar kesediaan untuk bekerjasama (gotong royong) dan saling menghargai, berlaku adil pada sesama dengan menghindari kesewenang-wenangan. Kesadaran untuk menerapkan prinsipprinsip itu dalam relasi sosial adalah penting dilakukan dalam rangka membangun kesadaran moral kolektif yang bersumber pada nilai-nilai modal sosial yang melekat pada budaya gotong royong. Apakah dukungan kultural (tradisional) masih dapat dipertahankan untuk masa depan? Dalam masyarakat yang terimbas ideologi asing (liberal) basis kultural cenderung melemah. Kepentingan sesaat kadang-kadang lebih menonjol ketimbang nilai-nilai idealisme dalam mencapai tujuan bersama. Kemampuan bawaan nilai-nilai kultural mungkin masih bisa diharapkan menjadi sarana menunculkan kesadaran kolektif. Sisasisa nilai-nilai berbasis kearifan lokal dan gotong royong masih ditemui dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, ketika Bantul diporak porandakan hempasan gempa pada tanggal 26 Mei 2006, dalam waktu kurang dari satu tahun masyarakat dapat bangkit karena 38. didorong semangat gotong royong37 Eksistensi institusi lokal berbasis nilainilai gotong royong juga masih eksis dalam kehidupan masyarakat lokal. Institusi-institusi itu dapat dimanfaat kan sebagai pintu masuk untuk menggerakkan kesadaran kolektif. Ada banyak institusi lokal yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat 37. Lihat IRP (International Recovery Platform), 38. 2009, The Yogyakarta and Centarl Java Earthqquake 2006, Yogyakarta, Departement Architecture and Planning Gadjah Mada University
15
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
budaya gotong royong, seperti lembaga Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Dukuh, Desa, rembug desa, hingga Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lembaga lembaga lokal lainnya. Institusi formal lokal ini seyogyanya diperkuat perannya dalam proses pengembangan komunitas lokal. Melalui institusi-isntitusi lokal itulah modal sosial nilai-nilai gotong royong dapat tumbuh dan berkembang menjadi enerji sosial gerakan dalam memperkuat kohesi sosial. Selain intitusi formal lokal itu, institusi informal juga dapat dijadikan untuk memperkuat budaya gotong royong yang sudah eksis dalam komunitas lokal. Misalnya, di Jawa eksis institusi sambatan, arisan, jimpitan; di Maluku ada tradisi pela gadong; di Tapanuli ada adat Dalihan Na Tolu; di Minasaha eksis Mapalus; di Bali ada seka, banjar dan tiap etnis di nusantara ini ditemui institusi sosial informal yang selama ini telah menerapkan nilainilai gotong royong dan demokrasi berdasarkan mufakat dan musyawarah. Untuk mencapai itu, perlu menciptakan suasana sosial yang membuka peluang menguatnya kembali budaya gotong royong. Salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah meningkatkan kemampuan (capacity building) menekankan pada otonomi (kemandirian) komunitas lokal dalam pengambilan keputusan, keswadayaan lokal (local self-reliance) yang bersifat partipatoris (demokrasi), melalui pemberdayaan dan adanya proses pembelajaran sosial. Ini dapat diartikan sebagai upaya sistematis terencana untuk meningkatkan kemampuan serta memberikan kewenangan dan otoritas pada masyarakat (komunitas) lokal sehingga mereka dapat memutuskan
secara demokrasi partisipatif dengan mengutamakan mufakat dan musyawarah apa yang dibutuhkan untuk memperbaiki kehidupan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Campur tangan kekuatan eksternal perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Penutup Bahasan di atas mengarahkan pada pemahaman bahwa gotong royong telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kita sejak lama. Dalam budaya gotong royong melekat nilainilai substansi modal sosial. Sebagai modal sosial, gotong royong dapat dijadikan rujukan dan pegangan dalam mencapai kemajuan suatu bangsa. Itu artinya bila masyarakat masih memegang teguh prinsip gotong royong sebagai modal sosial maka lebih mudah dalam mencapai kemajuan bersama. Sebaliknya, bila nilai-nilai gotong royong yang terkandung dalam modal sosial tidak lagi menjadi pegangan dan rujukan dalam masyarakat dan komunitas bisa jadi akan mengalami kesulitan karena enerji sosial bisa terbuang sia-sia dan berpotensi menghalangi mencapai tujuan kemajuan bersama. Bahkan bisa memicu munculnya kekacauan sosial. Maka sudah saatnya budaya gotong royong kembali diperkuat dan dijadikan rujukan dan acuan dalam kehidupan berbangsa. Salah satu upaya yang dapat dipikirkan adalah memperkuat institusi sosial lokal yang selama ini masih bertumpu pada nilai-nilai kebersamaan, menjunjung tinggi moral/etika, kejujuran, saling percaya sebagai pintu masuk menuju penguatan kembali (revitalisasi) budaya gotong royong.
16
Tadjuddin Noer Effendi: Budaya Gotong Royong Masyarakat Dalam Perubahan Sosial Saat Ini
Fukuyama, Y, 1995, Trush: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, London: Hamish Hamilton Affairs, 3, 187-203
Daftar Pustaka A.B.Kusuma, 2004.Lahirnya Undangundang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan, Jakarta: Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Tumenggung, Adeline May, 2005, “Kebudayaan (para) Konsumen”, dalam Muji Sutrisno dan Hendar Putranto (penyunting), 2005,TeoriTeori Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 257-270
Arrow, Kenneth.J, 2000, “Observation on Social Capital”, dalam Dasgupta, Parta dan Serageldin, Ismail, Social Capital: Multifaceted Perspective, Washington DC: The World Bank
Undang-Undang Otonomi 2000, Jakarta: Restu Agung
Daerah,
Bourdieu, P, 1986, “The form of Capital”, in Richardson (Ed) Handbook of Theory and Research for Sociology of Education. New York: Greenwood.
Veeger, K.J, 1985, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Jakarta, Gramedia
Budi Hardiman, 1980, “Kritik Atas Patologi Modernitas dan Post Modernisme”, Drikarya, No 2, Tahun XIX, hal. 42-63
World Bank, 1998, “The Local Institution Study: Overview and Program Description”, Local Level Institution, Working Paper, No.1
Cavallaro, Dani. 2004, Teori Kritis dan Teori Budaya, Yogyakarta, Penerbit Niagara, hal 141. Cohen dan Prusak, 2001 dikutip dalam Ancok, 2009, “Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat”, dalam Bulaksumur Mengagas Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Coleman, J, 1988. “Social Capital in The Creation of Human Capital”, American Journal of Sociology, 94, 95-120 Coleman, J, 1990.Foundation of Social Theory, Cambridge: Harvard University Press
17
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
18
Kultur Sekolah
Ariefa Efianingrum Abstrak Tulisan ini hendak mengelaborasi sejumlah pemikiran dan konsep yang meyakini
pentingnya faktor kultural dalam mendorong dinamika perubahan institusional, khususnya dalam konteks persekolahan (schooling). Perlu tilikan secara seksama bahwa budaya/kultur merupakan kekuatan konstitutif untuk inovasi dan perubahan sosial, sekaligus memiliki kekuatan reflektif dalam melakukan peran legitimasi sosial.Kultur meliputi faktor material yang tangible dan nonmaterial yang intangible. Realitas menunjukkan bahwa kunci keberhasilan pendidikan seringkali justru terletak pada faktor yang tak terlihat. Karenanya, menekankan perbaikan pendidikan di sekolah pada proses restrukturisasi semata, tidak lagi memadai. Namun demikian, restrukturisasi yang bersifat struktural dan rekonstruksi yang bersifat kultural tidak perlu saling menegasikan dalam praktiknya. Dalam pengembangan kultur sekolah, terdapat aneka pilihan alternatif yang dapat disesuaikan dengan visi-misi dan kondisi sekolah, serta profil siswa dalam aneka kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Betapapun intervensi kebijakan pendidikan telah dilakukan, tidak akan memberikan efek bermakna, tanpa perubahan yang sifatnya kultural dari dalam institusi pendidikan itu sendiri. Dalam konteks sekolah yang berada dalam masyarakat paternalistik, pimpinan sekolah menjadi ikon yang memiliki peran utama dalam pengembangan kultur sekolah. Kata kunci: pendidikan, budaya, kultur sekolah. ABSTRACT This paper would like to elaborate some thoughts and concepts that consider the significances of cultural factors in promoting the dynamics of institutional changes, especially in schooling context. It is necessary to realize that a culture is a constitutional power for innovations and social changes as well as a reflective power for conducting social legitimation role. A culture involves tangible and intangible factors. In fact, intangible factors frequently become the keys for educational success. Therefore, it is not sufficient to emphasize the school improvements only in the structural processes. However, practically, restructuring and cultural reconstruction cannot negate each other. There are several alternatives in developing school culture, which can be adapted to the school visions-missions and the students multiple intellegences profiles. In giving meaningful impact, the educational policies are meaningless without cultural changes in the institution it self. Furthermore, in the context of paternalistic society, school principal as a leader becomes a main icon in developing school cutures. Keywords: education, culture, school culture. 19
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
A. Pendahuluan
Sedangkan wacana yang kedua adalah Proses dan aliran perubahan sosial wacana kultural yang lebih menekankan dalam masyarakat membawa implikasi pada aspek rekonstruksi (terkait dengan: besar pada dunia pendidikan. Hal ini redefinisi, rekulturasi, dan pergeseran karena keberhasilan pengembangan mind-sents).” (Suyata, 2000) sektor pendidikan diyakini sebagai Pernyataan tersebut bermakna menekankan perbaikan salah satu penentu kemajuan suatu bahwa bangsa. Pendidikan juga membawa pendidikan hanya pada proses misi kebajikan dan mencerdaskan restrukturisasi, tidak lagi memadai, kehidupan bangsa. Sebagaimana mengingat adanya keyakinan bahwa konsep pendidikan Tamansiswa yang sistem sosial dan sistem budaya digagas Ki oleh Hadjar Dewantara, menjadi medan dan kunci keberhasilan bahwa pendidikan merupakan pendidikan. Kunci keberhasilan sarana perjuangan kebudayaan dan pendidikan seringkali justru terletak pembangunan masyarakat. Pendidikan pada faktor-faktor yang tidak teramati yang tidak disadari oleh kebudayaan akan (intangible) seperti nilai-nilai budaya menghasilkan generasi yang tercerabut dan keyakinan. Namun, faktor kultur dari kehidupan masyarakatnya (HB X, tersebut seringkali terabaikan dalam 2012). upaya perbaikan pendidikan. Berkaitan Dalam konteks persekolahan dengan pendapat tersebut, pendapat mengemukakan adanya (schooling), sekolah memiliki yang lain konsekuensi dan tantangan yang dua pendekatan dalam perubahan semakin berat, terkait dengan tuntutan pendidikan di sekolah: masyarakat terhadap kualitas dan layanan pendidikan yang seharusnya diberikan. Sekolah dipercaya sebagai institusi yang menjadi arena pengembangan aneka potensi dan kecerdasan majemuk siswa (multiple intelligences). Oleh karena itu, upaya perbaikan sekolah perlu didorong menjadi aktivitas yang melekat (embedded) dalam setiap gerak perubahan sekolah. Dalam membangun pendidikan di sekolah terdapat dua wacana besar:
“Yang pertama adalah pendekatan struktural yang memusatkan perhatian pada pengubahan aspekaspek struktural-birokratik, seperti job descriptions, tatanan birokrasi, pengaturan hubungan antar unit organisasi, gaya kepemimpinan, dan aspek struktur sekolah lainnya. Sedangkan yang kedua adalah pendekatan budaya dengan pusat perhatian pada budaya keunggulan (culture of excellence), yang menekankan pengubahan pada pikiran, kata-kata, sikap, perbuatan, dan hati setiap warga sekolah. Pendekatan budaya untuk mengembangkan atau meningkatkan kinerja sekolah akan lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan struktural.” (Sastrapratedja, 2001)
“Wacana pertama adalah academic achievement discourses (wacana pengembangan prestasi akademik), sebagai wacana dominan yang lebih menekankan pada proses restrukturisasi (meliputi: deregulasi, desentralisasi, perubahan kurikulum, dan pelatihan). 20
Ariefa Efianingrum, Kultur Sekolah
Kedua pendapat di atas, mengingatkan pada sejumlah konsep pokok dalam literatur berjudul “Culture Matters: How Values Shape Human Progress” (Harrison & Huntington, 2000) dimana dalam perkembangannya para ahli ilmu sosial mulai memberikan perhatian pada faktor kultural dalam menjelaskan berbagai realitas di masyarakat yang terkait dengan isu pembangunan, modernisasi, demokratisasi, dan lainlain. Kemajuan ataupun ketertinggalan tidak disebabkan oleh faktor yang berasal dari luar masyarakat, melainkan oleh karena faktor internal dari dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat sendirilah yang memilih untuk maju atau tertinggal.
seringkali dipahami semata-mata sebagai rekayasa sosial untuk mendorong pembangunan ekonomi. Belum banyak yang mempersoalkan kebudayaan dalam konteks dinamika budaya yang terkait dengan kebudayaan itu secara leluasa. Kebudayaan memiliki kekuatan konstitutif dan dapat memainkan peran untuk transformasi. Kebudayaan juga memiliki kekuatan reflektif yang berperan dalam melakukan legitimasi sosial (Kleden, 1988). Hal yang sama terjadi dan berlaku dalam konteks persekolahan (schooling). Dalam konteks sekolah, Deal & Peterson (2011) juga mengungkapkan tentang pentingnya kultur, seperti tersaji dalam literatur “shaping school culture” berikut:
Faktor internal tersebut tidak lain adalah budaya. Tidak ada definisi tunggal mengenai kebudayaan. Clifford Geertz mendefinisikan kebudayaan sebagai:
“While policymakers and reformers are pressing for new structures and more rational assessments, it is important to remember that these changes cannot be successful without cultural support. School culture, in short, are key to school achievement and student learning.” (Deal & Peterson, 2011)
“Deskripsi mendalam (thick description) dalam menjelaskan jalan hidup masyarakat (the way of life of a society) yang meliputi: nilai, praktik, simbol, institusi, dan relasi sosial. Kebudayaan juga diartikan sebagai referensi bersama yang memungkinkan bahwa tingkah laku anggota suatu kelompok sosial dapat dipahami, diramalkan, dan diterima oleh anggota lainnya.” (Harrison & Huntington, 2000).
Maknanya bahwa kultur sekolah dan pimpinan sekolah memiliki peran simbolik dalam membentuk pola kultural dalam praktik kehidupan di sekolah. Ketika para pengambil kebijakan dan reformis pendidikan lebih menekankan pada pentingnya struktur dan asesmen Pendapat lain menyatakan bahwa rasional, justru mengingatkan kepada kebudayaan dapat mengubah suatu kita bahwa perubahan pada aspek keadaan chaos menjadi kosmos, tersebut tidak sepenuhnya berhasil mengubah suatu keadaan penuh tanpa dukungan faktor kultural. Kultur kekacauan menjadi keteraturan, dan sekolah merupakan faktor kunci yang mengubah suatu keadaan tanpa makna menentukan pencapaian prestasi menjadi jaring-jaring makna yang akademik maupun non akademik, dan penuh arti (Kleden, 1988). Kebudayaan keterlaksanaan proses pembelajaran 21
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
bagi siswa.
menjadi shared values, dimana seluruh siswa dapat belajar. Kini menjadi jelas bahwa isu tentang kultur sekolah adalah penting dan bahkan menjadi nilai inti (the core values) dalam pendidikan saat ini.
Dalam realitas dan praktik pendidikan, upaya perbaikan pendidikan senantiasa dilakukan dalam mewujudkan sekolah yang berkualitas, namun hasilnya seringkali belum sesuai dengan harapan. Seperti dikemukakan oleh Deal & Peterson (2011) dalam pernyataanberikut ini:
B. Kultur Sekolah
Terdapat sejumlah pengertian ”Too much emphasis has been given tentang kultur sekolah, antara lain yang in reforming schools from the outside, dikemukakan oleh Deal & Peterson through policy and mandate. Too (2011) berikut ini: little attention has been paid to how ”School culture is the set of norms, schools can be shape from within, values and beliefs, rituals and as Roland Barth demonstrates. ceremonies, symbols and stories that Teaching staff and administrators make up the persona of the school. can lead the way to successful These unwritten expectation build up cultures where all students learn. over time as teachers, administrators, It’s clearly time to reconsider and parents, and students work together, rethink the issue and importance of solve problems, deal with challenges school culture in today’s educational and, at times, cope with failures. environment.”(Deal & Peterson, For examples, every school has 2011) a set of expectations about what Pernyataan di atas mengandung can be discussed at staff meetings, arti bahwa upaya perbaikan what constitutes good teaching pendidikan di sekolah selama ini lebih techniques, how willing the staff is to menitikberatkan pada perbaikan faktor change, and the importance of staff eksternal, antara lain melalui aneka development. School culture is also perubahan kebijakan pendidikan dan the way they think their schools and mandat, yang lebih bersifat top-down. deal with the culture in which they Namun belum banyak upaya internal work.” (Deal & Peterson, 2011) yang dilakukan untuk memperbaiki Budaya sekolah merupakan kualitas pendidikan di sekolah, apalagi yang bersifat kultural (bottom-up), himpunan norma-norma, nilai-nilai menyangkut perubahan mind-set warga dan keyakinan, ritual dan upacara, sekolah. Sekolah memiliki tanggung simbol dan cerita yang membentuk jawab untuk meningkatkan kualitas persona sekolah. Di sini tertulis harapan dan memberikan layanan yang terbaik untuk membangun dari waktu ke waktu bagi siswa. Para siswa memiliki hak sebagai guru, administrator, orangtua, untuk mendapat layanan terbaik yang dan siswa bekerja sama, memecahkan dapat diberikan oleh sekolah. Para masalah, menghadapi tantangan dan pendidik dapat menjadi pelopor dalam mengatasi kegagalan. Setiap sekolah mewujudkan budaya sukses yang memiliki seperangkat harapan tentang 22
Ariefa Efianingrum, Kultur Sekolah
apa yang dapat dibahas pada rapat staf, bagaimana teknik mengajar yang baik, dan pentingnya pengembangan staf. Budaya sekolah juga merupakan cara berpikir tentang sekolah dan berurusan dengan budaya dimana mereka bekerja. Sedangkan menurut Schein (Peterson, 2002), budaya sekolah dimaknai sebagai:
proses pembelajaran, komitmen, dan motivasi, karena menjamin para anggota konsisten dengan visi sekolah. Menurut Peterson (2002), suatu budaya sekolah mempengaruhi cara orang berpikir, merasa, dan bertindak. Mampu memahami dan membentuk budaya adalah kunci keberhasilan sekolah dalam mempromosikan staf dan belajar siswa. Sedangkan menurut Willard Waller (Deal & Peterson, 2011), sekolah memiliki budaya yang pasti tentang diri mereka sendiri. Di sekolah, ada ritual yang kompleks dalam hubungan interpersonal, satu set kebiasaan, adat istiadat, dan sanksi irasional, kode moral yang berlaku di antara mereka. Orangtua, guru, kepala sekolah, dan siswa selalu merasakan sesuatu yang istimewa, namun seringkali tak terdefinisikan, tentang sekolah mereka, tentang sesuatu yang sangat kuat namun sulit untuk dijelaskan. Kenyataan ini, merupakan aspek sekolah yang sering diabaikan dan akibatnya seringkali tidak hadir dalam diskusi-diskusi tentang upaya perbaikan sekolah.
”School cultures are complex webs of traditions and rituals that have been built up over time as teachers, students, parents, and administrators work together and deal with crises and accomplishments. Cultural patterns are highly enduring, have a powerful impact on performance, and shape the essays people think, act, and fee.” (Schein, Deal & Peterson, 2002) Budaya sekolah merupakan jaringan kompleks tradisi dan ritual yang telah dibangun dari waktu ke waktu oleh guru, siswa, orangtua, dan administrator yang bekerja sama dalam menangani krisis dan prestasi. Pola budaya sangat abadi, memiliki dampak yang kuat pada kinerja, dan membentuk bagaimana orang berpikir, bertindak, dan merasa.
Dalam literatur sosiologi pendidikan, kebudayaan sekolah dimaknai sebagai: a complex set of beliefs, values and traditions, ways of thinking and behaving, yaitu seperangkat keyakinan, nilai, dan tradisi, cara berpikir dan berperilaku yang membedakannya dari institusi-institusi lainnya (Vembriarto, 1993). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kebudayaan sekolah memiliki unsurunsur penting, mulai dari yang abstrak/ non-material hingga yang konkrit/ material, yaitu: 1. Nilai-nilai moral, sistem peraturan, dan iklim kehidupan sekolah.
Dalam perjalanannya, sekolah juga memiliki kebiasaan dan upacara-komunal untuk merayakan keberhasilan, untuk memberikan kesempatan selama transisi kolektif, dan untuk mengakui kontribusi masyarakat terhadap sekolah. Budaya sekolah juga meliputi simbol dan cerita yang mengkomunikasikan nilai-nilai inti, memperkuat misi, membangun komitmen, dan rasa kebersamaan. Simbol adalah tanda lahiriah nilai. Cerita merupakan representasi sejarah dan makna kelompok. Dalam budaya positif, fitur tersebut memperkuat 23
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
2. Pribadi-pribadi yang merupakan warga sekolah yang terdiri atas siswa, guru, non teaching specialist, dan tenaga administrasi. 3. Kurikulum sekolah yang memuat. gagasan-gagasan maupun fakta-fakta yang menjadi keseluruhan program pendidikan. 4. Letak, lingkungan, dan prasarana fisik sekolah gedung sekolah, mebelair, dan perlengkapan lainnya.
C. Implikasi Kultur Sekolah dalam Perbaikan Sekolah.
Sekolah berperan dalam menyampaikan kebudayaan dari generasi ke generasi dan oleh karena itu harus selalu memperhatikan kondisi masyarakat dan kebudayaan umum. Namun demikian, di sekolah itu sendiri timbul pola kelakuan tertentu. Kebudayaan sekolah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat luas, namun mempunyai ciri-ciri yang khas/ unik sebagai suatu sub-kebudayaan/ sub-culture (Nasution, 1999). Timbulnya sub-kebudayaan sekolah juga terjadi karena sebagian besar dari waktu siswa terpisah dari kehidupan orang dewasa. Dalam kondisi demikian, dapat berkembang pola perilaku yang khas bagi siswa yang tampak dari pakaian, bahasa, kebiasaan, kegiatankegiatan, serta upacara-upacara. Sebab lain timbulnya kebudayaan sekolah adalah tugas sekolah yang khas yakni mendidik anak melalui penyampaian sejumlah pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), ketrampilan (psikomotorik) yang sesuai dengan kurikulum dengan metode dan teknik kontrol tertentu yang berlaku di sekolah itu. Sebagai sub-kultur, kultur sekolah hadir dalam berbagai variasi dalam praktiknya.
Kouzes dan Posner (Locke, et.al. 1991) mendefinisikan visi sebagai berikut: “Vision as an ideal and unique image of the future”.Sedangkan Hickman & Silva mendeskripsikannya sebagai “A mental journey from the known to the unknown, creating the future from a montage of current facts, hopes, dreams, dangers, and opportunities”.
Deal & Peterson (1999) memperluas kajian yang menunjukkan betapa kultur berpengaruh terhadap berjalannya fungsi sekolah. Berikut ini deskripsi mengenai aspek-aspek kultur sekolah yang berpengaruh terhadap fungsi sekolah: 1. Visi dan Nilai (Vision and Values).
Berdasarkan pengertian tersebut, visi merupakan citra ideal dan unik tentang masa depan atau orientasi masa depan terhadap kondisi ideal yang dicita-citakan.Nilai, secara sosiologis/antropologis, dapat didefinisikan sebagai berikut: “A value is a conception, explicit or implicit, distinctive of an individual or characteristic of a group, of a desirable which influence the selection from available modes, means, and ends of action.” (Kluckhohn dalam Enz, 1986) Nilai bukan sekedar sebuah preferensi, melainkan merupakan persenyawaan dari pemikiran, perasaan, dan preferensi. Menurut Parsons & Shils (Enz, 1986), komponen nilai meliputi: kognitif, emosional, dan evaluatif. Sedangkan menurut Harrison & Huntington 24
Ariefa Efianingrum, Kultur Sekolah
(2000), terdapat dua kategori 4. Arsitektur dan Artefak (Architecture nilai, yaitu nilai intrinsik dan nilai and Artifacts). instrumental. Nilai instrinsik Sekolah biasanya memiliki merupakan nilai yang ditegakkan simbol-simbol seperti: arsitektur, tanpa memperhatikan untung/ motto, kata-kata, dan tindakan. rugi, misalnya: nilai patriotisme. Setiap sekolah memiliki lambang/ Sedangkan nilai instrumental logo sekolah, motto, lagu (mars/ merupakan nilai yang didukung hymne), dan seragam sekolah yang karena menguntungkan, misalnya mencerminkan visi dan misi sekolah. produktivitas. Visi, misi, tujuan, dan Pemanfaatan lahan pada area nilai-nilai dalam budaya merupakan sekolah seperti: dinding kelas, selasar unsur yang penting. Pentingnya sekolah, dan lorong sekolah untuk tujuan yang bermakna, norma-norma memampangkan artefak fisik, efektif yang positif, dan nilai-nilai yang dalam menumbuhkan nilai dan spirit dipegang teguh untuk menambahkan utama sekolah, misalnya melalui semangat dan vitalitas untuk poster, majalah dinding, spanduk, perbaikan sekolah. dan pesan inspiratif lainnya. 2. Upacara dan Perayaan (Ritual and Selanjutnya disajikan sejumlah Ceremony) fakta yang menunjukkan bahwa kultur Upacara, tradisi, dan perayaan sekolah, bermanfaat dalam membangun jaringan informal yang relevan dengan budaya. Momentum-momentum penting di sekolah dapat dirayakan secara sederhana untuk me-recharge esprit de corps yang dimiliki sekolah untuk menggelorakan visi dan spirit sekolah.
sekolah memiliki implikasi terhadap upaya perbaikan sekolah, seperti dikemukakan Deal & Peterson (2011). Namun demikian, dalam praktiknya kultur sekolah seringkali justru terlewatkan dalam upaya perbaikan sekolah antara lain:
Sejarah dan cerita masa lalu penting dalam mengalirkan dan memancarkan energi budaya. Fokus pada setiap budaya sekolah adalah aliran sejarah dan peristiwa masa lalu yang turut membentuk budaya yang berkembang pada masa kini. Dengan kata lain, romantisme masa lalu dapat membangkitkan semangat untuk mewujudkan kejayaan masa depan.
memfokuskan budaya pada produktivitas, kinerja, dan upaya perbaikan. Budaya membantu para guru dalam mengatasi ketidakpastian pekerjaan mereka dengan memberikan fokus pada kolegialitas. Hal ini penting untuk memberikan motivasi sosial dalam suatu pekerjaan yang menuntut mereka siap mengajar tiga puluh anak di ruang kelas. Budaya mendorong, memberi sanksi, dan memberi
1. Culture fosters school effectiveness and productivity (Budaya mendorong terwujudnya efektivitas dan 3. Sejarah dan Cerita (History and produktivitas sekolah). Stories). Guru dapat berhasil dalam
25
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
penghargaan pada tugas profesional 4. Culture builds commitment and untuk meningkatkan keterampilan identification of staff, students, and mereka. administrators (Budaya membangun 2. Culture improves collegial and komitmen dan identifikasi dari para collaborative activities that foster better staf, siswa, dan tenaga administrasi). communication and problem solving practices (Budaya meningkatkan kegiatan kolegial dan kolaboratif yang mendorong perbaikan komunikasi dan praktik pemecahan masalah).
Orang-orang termotivasi dan merasa berkomitmen pada suatu organisasi yang memiliki makna, nilai-nilai, sebuah tujuan yang memuliakan. Komitmen tumbuh dengan kuat dan memelihara kultur sosial. Identifikasi diperkuat dengan misi inspiratif yang jelas dan mengkristal yang dipegang teguh. Motivasi diperkuat melalui ritual yang memelihara identitas, tradisi yang mengintensifkan koneksi ke sekolah, dan upacara yang membangun komunitas.
Di sekolah, budaya menghargai kolegialitas dan kolaborasi. Terdapat iklim yang lebih baik untuk mempertukarkan ide-ide sosial dan profesional, peningkatan dan penyebaran praktik-praktik yang efektif, dan meluas pada pemecahan masalah profesional.
5. Culture amplifies the energy, motivation, and vitality of a school staff, students, and community (Budaya menguatkan energi, motivasi, dan vitalitas dari staf sekolah, siswa, dan komunitas/masyarakat).
3. Culture fosters successful change and improvement efforts (Budaya mendorong upaya keberhasilan perubahan dan perbaikan). Budaya beracun (toxic culture) mendukung mediokritas dan sikap apatis, yang tidak mungkin mendorong inovasi. Sebaliknya, di sekolahsekolah yang menganut normanorma kinerja perubahan, para staf dengan senang hati bereksperimen dengan menggunakan pendekatan baru, menemukan praktik-praktik inovatif untuk memecahkan masalah, dan memperkuat visi pembelajaran yang berfokus pada perbaikan sekolah. Budaya sekolah mendorong pembelajaran dan kemajuan dengan mengembangkan iklim yang kondusif untuk perubahan tujuan, dukungan untuk mengambil resiko dan eksperimentasi, serta semangat masyarakat menilai kemajuan tujuan.
Iklim sosial budaya berpengaruh terhadap orientasi emosional dan psikologis para staf. Dalam sejumlah kasus, sekolah yang memiliki spirit optimis memiliki iklim yang positif, bersemangat, menghargai, dan mendorong. Sebaliknya, dalam sekolah yang pesimis, yang berkembang adalah kultur negatif dan lingkungan sosial yang negatif dan tidak produktif. 6. Culture increases the focus of daily behavior and attention on what is important and valued (Budaya meningkatkan fokus pada perilaku keseharian dan perhatian pada apa yang penting dan bernilai/berharga). Meskipun aturan, job-description,
26
Ariefa Efianingrum, Kultur Sekolah
dan kebijakan dapat membentuk dan mempengaruhi perilaku seseorang, namun dalam aturan yang tidak tertulis maupun kebiasaan dan tradisi dalam kehidupan sehari-hari, seringkali justru lebih bermakna dalam mendorong aktivitas dan kemajuan yang berkelanjutan di sekolah. Asumsi-asumsi tersembunyi yang melekat dalam pola budaya lebih intensif. Dengan nilai yang kuat dan bermakna, pekerjaan seharihari menjadi lebih berfokus pada isu-isu penting seperti: kualitas pembelajaran, pengajaran yang kontinyu, dan akselerasi belajar bagi seluruh siswa.
disesuaikan dengan aspek-aspek yang dianggap penting oleh masing-masing sekolah, seperti: visi-misi, kondisi, dan potensi sekolah. Sejumlah sekolah lebih menekankan kultur sekolah yang fokus untuk mendorong pencapaian prestasi akademik. Namun sejumlah sekolah yang lain lebih fokus pada aspek non akademik. Hal tersebut sangat dimungkinkan, mengingkat para siswa yang mendapatkan layanan pendidikan memiliki kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang bervariasi. Adapun kultur sekolah yang dapat dikembangkan antara lain yang kondusif bagi pengembangan:
1. Prestasi Akademik Dengan demikian, budaya sekolah Di sekolah yang menghargai prestasi memiliki pengaruh terhadap prestasi akademik, terjadi proses penciptaan sekolah, perubahan dan perbaikan iklim akademik (academic sekolah, serta berpengaruh pada atmosphere) yang bertujuan untuk pembelajaran siswa. Suatu sekolah dapat mencapai prestasi akademik. Prestasi bertransformasi dengan membangun akademik ini biasanya terkait dengan kekuatan, tujuan, dan budaya belajar sejumlah mata pelajaran pokok positif, dengan meninggalkan kebiasaan yang dipelajari di sekolah. Sebagian yang negatif dan kontra produktif. besar orangtua siswa cenderung Pimpinan sekolah yang senantiasa menghargai prestasi akademik dari mengkomunikasikan tujuan bersama pada prestasi lainnya. dan membangun makna simbolis merupakan kunci untuk membentuk 2. Non-Akademik budaya sukses di sekolahnya. Prestasi non-akademik juga dapat dikembangkan melalui kultur D. Aneka Praktik Pengembangan sekolah yang menghargai prestasi Kultur Sekolah olah raga, seni, dan ketrampilan Kultur sekolah bukan sekedar kultur lainnya. Nilai-nilai kreativitas dan di sekolah. Kultur sekolah dimiliki demokrasi juga dapat dikembangkan oleh tiap-tiap sekolah. Masing-masing melalui kultur sekolah yang memberi sekolah dapat mengembangkan ruang (space) yang memadai, keunikan dan ciri khas sekolah melalui sehingga siswa memiliki keleluasaan kultur sekolah. Oleh karenanya, untuk berpartisipasi, berkreasi, terdapat variasi kultur di sejumlah berpikir secara kritis, berperilaku sekolah. Pengembangan kultur humanis. Selama ini, kebanyakan di masing-masing sekolah dapat sekolah menganggap penting prestasi
27
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
akademik siswa. Profil kecerdasan majemuk siswa yang bervariasi seringkali terabaikan. Padahal dalam realitasnya, kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh prestasi akademik yang telah dimiliki, melainkan juga disebabkan oleh prestasi non-akademiknya.
kultur sekolah ramah lingkungan. Sejumlah sekolah yang fokus dalam pengembangan sekolah hijau (green school) memiliki visi-misi yang berorientasi pada kehidupan dan kondisi lingkungan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan (sustainability). Untuk mewujudkannya, memerlukan komitmen bersama seluruh warga sekolah dalam pengembangan kultur sekolah yang ramah lingkungan.
3. Karakter Karakter berkaitan dengan moral dan berkonotasi positif. Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong, dan memudahkan seseorang mengembangkan kebiasaan yang baik. Karakter bersifat inside-out, maksudnya bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik ini terjadi karena adanya dorongan dari dalam, bukan karena paksaan dari luar (HB X, 2012). Adapun variasi nilai karakter yang dapat dikembangkan melalui kultur sekolah antara lain: yang kondusif bagi pengembangan nilai-nilai religius, nilai demokrasi, kedisiplinan, kejujuran, ramah anak, anti kekerasan, dan lain-lain.
Demikian tadi sejumlah contoh kultur sekolah yang dapat dikembangkan oleh tiap-tiap sekolah. Masih terbuka bagi sejumlah alternatif lain sesuai karakteristik dan kreativitas masingmasing sekolah. Program sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan dan mengembangkan kultur sekolah dapat bervariasi karena tidakada model tunggal. Setiap sekolah memiliki tujuan umum pendidikan yang relatifsama (universal), namun sebagai sub-kultur, setiap sekolah dapat mengembangkan kultur sekolah yang khas (relatif) sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh institusi sekolah. Sub-kultur tersebut biasanya identik dengan kultur di masyarakat yang lebih luas. Dengan adanya variasi tersebut, setiap sekolah memiliki peluang untuk menjadi sekolah unggul, dengan keunggulan masingmasing yang khas.Setiap sekolah bahkan dapat saling mengisi secara kolaboratif, bukannya bersaing secara kompetitif. Semua kembali kepada bagaimana dan kemana pimpinan sekolah akan membawa dan mengarahkan sekolahnya. Bukankah pimpinan sekolah memiliki peran sentral dalam membagikan nilai (shared values) dan mengkomunikasikan visi-misi sekolah kepada seluruh warga sekolah?
4. Kelestarian Lingkungan Hidup Sejumlah sekolah di berbagai level (SD, SMP, SMA) mendapatkan penghargaan dan predikat sebagai sekolah adiwiyata, yaitu sekolah menjaga kelestarian lingkungan hidup. Penghargaan tersebut perlu diapresiasi dalam menstimulasi terwujudnya sekolah berwawasan lingkungan. Namun demikian, predikat sekolah adiwiyata tidak muncul dengan sendirinya tanpa diupayakan melalui pengembangan 28
Ariefa Efianingrum, Kultur Sekolah
E. Penutup Daftar Pustaka
Kultur sekolah memiliki peran simbolik dalam membentuk pola kultural dalam praktik kehidupan di sekolah. Kultur sekolah merupakan faktor kunci yang menentukan pencapaian prestasi akademik maupun non akademik, dan keterlaksanaan proses pembelajaran bagi siswa. Kultur sekolah meliputi faktor material yang tangible dan nonmaterial yang intangible. Realitas menunjukkan bahwa kunci keberhasilan pendidikan seringkali justru terletak pada faktor yang tak terlihat. Karenanya, menekankan perbaikan pendidikan di sekolah pada proses restrukturisasi semata, tidak lagi memadai. Namun demikian, restrukturisasi yang bersifat struktural dan rekonstruksi yang bersifat kultural tidak perlu saling menegasikan dalam praktiknya.
Deal, Terrence E. & Peterson, Kent D. 1998. How Leaders Influence the Culture of Schools?. Educational Leadership, Sept. 1998, Vol. 56, Number 1, Pages 28-30. ------------------. 1999. Shaping School Culture: The Heart of Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. ------------------. 2011. Shaping School Culture: Pitfals, Paradoxes, & Promises. San Fransisco: Jossey-Bass. Enz, Cathy A. 1986. Power and Shared Values in the Corporate Culture. Michigan: UMI Research Press.
Harrison, Lawrence E. & Huntington, Samuel P. 2000.Culture Matters: How Dalam pengembangan kultur sekolah, Values Shape Human Progress?. New terdapat aneka pilihan alternatif yang York: Basic Books. dapat disesuaikan dengan visi-misi dan HB X. 2012. Menggagas Renaisans kondisi sekolah, serta profil siswa dalam Pendidikan Berbasis Kebudayaan. aneka kecerdasan majemuk (multiple Makalah Keynote Speech Kongres intelligences). Sebagai sub-kultur, Pendidikan, Pengajaran, dan setiap sekolah dapat mengembangkan Kebudayaan. Balai senat UGM, 7 Mei. kultur sekolah yang khas sesuai dengan potensi yang dimiliki, yang Kleden, Ignas. 1988. Sikap Ilmiah bisa jadi identik dengan kultur dan Kritik Kebudayaan. Yogyakarta: masyakarat yang lebih luas. Dengan LP3ES. adanya variasi tersebut, setiap sekolah Locke, Edwin A. et.al. 1991. The memiliki peluang yang sama untuk Essence of Leadership: The Four Keys membanggakan keunggulan sekolah to Leading Successfully. New York: masing-masing yang khas. Semua Maxwell Macmilan Publishing. ini tergantung pada peran pimpinan Peterson, Kent. D. 2002. Positive or sekolah yang dapat menggerakkan dan Negative?National Staff Development mengkomunikasikan visi-misi sekolah Council. kepada seluruh warga sekolah. Sastrapratedja. 2001. Budaya Sekolah. Majalah Ilmiah Dinamika Pendidikan, No. 2/Th. VIII, November, Hal. 1-17.
29
Suyata. 2000. Refleksi Sistem Pendidikan Nasional dan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Paper dalam Pertemuan Pokja Sistem Pendidikan Nasional untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.
30
Trayektori Pendidikan, Antara Praksis-Teoretis dan Dikotomi Low Science-High Science Telaah Sosio-Filosofis Nilai Guna Ilmu Pengetahuan di Era Kapitalisme-lanjut Wahyu Budi Nugroho ABSTRAK Tulisan ini berupaya memaparkan problem trayektori pendidikan dan implikasi domino yang ditimbulkannya. Secara ringkas, “trayektori pendidikan” menunjuk pada ketidakjelasan arah atau ketidakterhubungan antara dunia pendidikan dengan realitas konkret kontemporer. Timbulnya trayektori pendidikan ditengarai oleh perceraian antara teori dengan praksis yang kemudian memunculkan klasifikasi ilmu ke dalam dikotomi low science dan high science. Persoalan menjadi kian pelik manakala dihadapkan pada tatanan kapitalisme-lanjut yang begitu mensakralkan ukuran-ukuran ekonomi sehingga beberapa ilmu pengetahuan (disiplin) dirasa tak lagi relevan keberadaannya. Hal inilah yang nantinya memunculkan problem “alienasi nilai guna ilmu pengetahuan”. Di sisi lain, posmodernitas yang memayungi tatanan kapitalisme-lanjut turut memicu kontestasi antara legitimasi dengan otodidaktisme yang berujung pada diskursus seputar kepakaran formal dan nonformal. Singkat kata, tulisan ini berupaya mewacanakan kembali kedudukan ilmu pengetahuan sebagai sarana emansipasi manusia, terutama berkenaan dengan aktualisasi diri individu maupun kolektif beserta segenap potensi yang dimilikinya. Kata kunci; trayektori pendidikan, alienasi, kapitalisme-lanjut. ABSTRACT This paper tries to elaborate the problem of education trajectory and its domino effect implications. Briefly, education trajectory refers to uncertain path or disconnection between formal education and contemporary concrete reality. Education trajectory is caused by the separation between the world of theory and praxis, as the results it produces classification of knowledge into dichotomy of low sicence and high science. The problem of it turns to be more complicated when it is vis-à-vis with the late-capitalist system which magnifies economical values, so that some disciplines seem to be irrelevant of their existences. This matter will create another problem so called “utility alienation of science”. On the other hand, postmodernity which shelters the late-capitalist system also triggers competiton between legitimacy and autodidactism creating discourse around formal and nonformal masteries. Shortly, this paper tries to put this issue into a proper discussion related to the existence of science as a tool to achieve humanitarian emancipation, mainly concerning with self-actualisation of individuals and their whole potencies. Keywords; education trajectory, alienation, late-capitalism 31
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
“An intellectual is someone whose mind watches itself…” [Albert Camus, Notebooks 1935-1942]
Pendahuluan
pengetahuan praksis dan teoretis pada individu maupun kolektif dalam merespon era division of labour berikut spat-kapitalismus ‘kapitalisme-lanjut’ dewasa ini. Bagaimanapun juga, trayektori pendidikan ini nantinya bakal menentukan berguna-tidaknya suatu pengetahuan yang telah diakumulasi individu ataupun kolektif bagi kehidupannya, pun sebagai penentu sejauh mana “manusia-manusia berpengetahuan” ditempatkan pada bidang-bidang kehidupan yang sesuai dengan kompetensinya.
Rekam-jejak format pendidikan terprimitif dapat kita temui dalam era masyarakat berburu dan meramu. Pada periode-periode pasca berburu dan menikmati hasil tangkapan, tetua adat menempatkan diri di tengahtengah masyarakatnya dan mulai “mendongeng”. Dongengan tersebut umumnya berkisah mengenai roh dan kehidupan para leluhur di masa lampau, berikut pengetahuan praktis bagi kehidupan sehari-hari. Dalam era ini, pengetahuan (baca: teori) tak dipisahkan dari praksis, petuah tetua adat menjiwai setiap sendi kehidupan masyarakat kala itu. Bentuk-bentuk praktek pendidikan yang demikian berlanjut hingga memasuki peradaban yang telah maju: India Kuno, Mesir Kuno, dan terutama Yunani Kuno sebagai momentum perceraian antara keduannya—teori dengan praksis (McLean & Hurd, 2008: 50-53). Disadari atau tidak, hal tersebut menjadi momentum “trayektori pendidikan” yang pertama, yakni pergeseran arah dan orientasi pendidikan pada keluaran yang masih tersamarkan.
Lebih jauh, serangkaian hal di atas berkenaan dengan persoalan legitimasi individu dalam struktur sosial, dikotomi antara low science dengan high science, kelimpahruahan pengetahuan yang berakhir dengan kemanfaatan ataukah kemubaziran, berikut aktualisasi kedirian individu yang tertuju pada emansipasi ataukah alienasi. Kiranya, berbagai persoalan terkait begitu penting dikupas dalam rangka memberikan pemahaman-lebih atas relasi dunia pendidikan dengan konstelasi sosial di era kontemporer.
Trayektori Pendidikan, Pendulum Pergulatan dominasi-dormansi yang Mengayun tanpa Arah antara pengetahuan praksis maupun Istilah “trayektori” umum digunakan teoretis dalam dunia pendidikan pun dalam dunia teknik, terutama dalam ajeg berlanjut setelahnya, bahkan ranah keilmuan fisika—teknik fisika. hingga detik ini. Setidaknya, trayektori Istilah tersebut menunjuk pada pendidikan termanifestasikan dalam rute gerak suatu obyek yang telah dua hal; Pertama, perceraian antara diprediksikan sebelumnya, namun pengetahuan praksis dengan teoretis gerak akhir dari obyek tersebut tetap yang menjadi ambiguitas tersendiri. tak menutup kemungkinan berubah Kedua, “kebingungan” akumulasi atau tak sebagaimana dengan yang 32
Wahyu Budi Nugroho, Trayektori Pendidikan, antara Praksis-Teoretisdan Dikotomi Low Science-High Science Telaah Sosio-Filosofis Nilai GunaIlmu Pengetahuan di Era Kapitalisme-lanjut
diprediksikan sebelumnya (Hollerbach, 2012: 1; Bhavsar & Kumar, 2012: 31). Dengan demikian, trayektori mengisyaratkan posisi “di antara ketepatan dan ketidaktepatan”, serta “berubah dan tidak berubah”. Secara konkret, trayektori dapat dimisalkan dengan rute (pola) ayunan sebuah pendulum yang terkadang tetap dan terkadang berubah. Perubahan ayunan tersebut sering kali begitu samar (tak kasat mata) apabila kita menilik pola gerak benang yang mengikatnya, namun apabila ditempatkan bidang datar semisal pasir, maka perubahan gerak pendulum tersebut akan begitu tampak.
yang bergerak (baca: bermain) dengan polanya masing-masing, akan tetapi pada akhirnya menghasilkan perihal yang sama, yakni sebuah citra (gambar). Dalam konteks ini, trayektori pendidikan dimaknai sebagai tersamarkannya orientasi pendidikan yang kerap kali tercerai dalam oposisi biner: praksis, ataukah teoretis. Perceraian tersebut tak sekedar berada pada tataran keilmuan an-Sich, melainkan pula bersentuhan langsung dengan realitas konkret dimana homo cognitiva ‘manusia berpikir’ merespon eksistensinya, kedirian orang lain, berikut lingkup sosial-budaya yang lebih luas dan kompleks melalui “legitimasi pengetahuan” yang dimilikinya. Persoalan menjadi kian pelik ketika kita dihadapkan pada kenyataan konstruksi superstrukstur kapitalisme-lanjut yang ditandai dengan membludaknya arus informasi, titik fokus kehidupan manusia pada aktivitas konsumsi, serta rentetan simulakra yang hampir menyebabkan segala sesuatunya tak tampak sebagaimana adanya—it is what it is not. Di sini, fungsi manifes pendidikan kembali dipertanyakan: Menjadi bagian dari solusi, ataukah justru permasalahan?.
Dalam ranah ilmu sosial-humaniora, istilah trayektori dipopulerkan oleh Pierre Bourdieu melalui konsepnya mengenai distinction guna menjelaskan pergeseran “orang-orang kaya baru” (parvenus) terhadap mereka yang kehilangan posisi kelas (declasse). Baginya, hal tersebut disebabkan oleh permainan serangkaian “modal”1 yang menghantarkan individu pada klasifikasi kelas-kelas sosial tertentu. Terkait hal tersebut, terdapat suatu “modal utama” yang berimplikasi pada pewarisan habitus yang begitu kentara sehingga mengantarkan individu pada posisi sosial tertentu. Namun, modal tersebut tak ditempatkan sebagai perihal satusatunya guna meraih posisi sosial yang diharapkan, terdapat berbagai modal lain yang dapat “dimainkan” sedemikian rupa sehingga individu dapat mencapai posisi yang sama (Harker [et.al], 2009: 25-26). Secara sederhana, berbagai modal yang dimiliki antara individu satu dengan yang lainnya ibarat pendulum
Arkeologi Praktek-Teori Praktek dan teori telah menjadi artefak. Hal serupa sebagaimana ungkap Foucault dalam The Archeology of Knowledge (2002: 82-85) mengenai diakui dan digunakannya sistem taksonomi pengetahuan saat ini yang terintegrasi dengan total set relasi pengetahuan kekinian dan menafikkan sistem pengetahuan sebelumnya, atau dengan kata lain, telah menjadi artefaknya taksonomi pengetahuan non-
1. “Modal” dalam perspektif Bourdieu setidaknya terbagi dalam empat bentuk; modal sosial, modal ekonomi, modal kultur (budaya), dan modal simbol..
33
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Barat saat ini. Secara ringkas, subbab ini berupaya memaparkan riwayat perceraian antara teori dengan praktek melalui perspektif semi-Genealogi pengetahuan.
dari pengetahuan syarat berdaya-guna secara praksis? Bagaimana dengan pengetahuan kontemplatif yang nirpraksis dan sekedar menambah pengetahuan an-Sich dari manusia Adalah Jurgen Habermas, selaku itu sendiri? Pantaskah ia disebut pula sosok yang mengingatkan kembali akan sebagai pengetahuan?. tercerainya pengetahuan dalam “kotak” Tak dapat dipungkiri, usaha guna praksis dan teoretis. Menurutnya, merujuk perceraian antara teori hadirnya para filsuf-alam layaknya dengan praksis telah diupayakan oleh Thales dan Heraclitus menandai banyak pihak (pemikir), beberapa di momen tercerainya antara teori dengan antaranya seperti; Immanuel Kant, praktek. Hal tersebut sekaligus menjadi Karl Marx, Nietzsche, Frankfurt Schule, tonggak peralihan antara tradisi bios- Ali Syariati, dan Pierre Bourdieu. theoretikos pada tradisi theoretikos. Namun pada akhirnya, perceraian Istilah bios-theoretikos yang ditemui tersebut ajeg terjadi jua. Memang, dalam era filsafat Yunani-prafilsuf persoalan terkait bukan disebabkan klasik dapat diterjemahkan sebagai oleh kurang matang, sistematis, dan aktivitas “menengadah dan berdoa”— “meyakinkannya” berbagai pemikiran bios ‘menengadah’, theoretikos ‘berdoa’. serangkaian tokoh di atas, melainkan Dalam hal ini, bios dapat diartikan lebih pada fakta kehidupan artifisial sebagai “berpraktek”, sedangkan yang diciptakan oleh aparatus-aparatus theoretikos “berteori” (Hardiman, 1990: spat-kapitalismus dalam payung (pos) 19). Pengetahuan ungkap para filsuf modernitas. Hal inilah yang kemudian seperti Thales atau Heraclitus yang turut menyebabkan terjadinya dikotomi menyatakan bahwa dunia tercipta dari antara low science dengan high science air atau api, faktual sekedar menemui dalam dunia pendidikan. bentuknya sebagai “penjelasan Trayektori Low Science dan High semata”, tak ditemui dimensi praksis di Science dalamnya. Apabila khalayak—bisa jadi termasuk Kenyataannya, tradisi keilmuan di diri kita—diminta menyebutkan atas ajeg dilanjutkan oleh filsuf-filsuf beberapa departemen (baca: jurusan) setelahnya—pasca-Socrates hingga yang dianggap “baik”, maka seketika Skolastik, setidaknya hingga Francis tercetus beberapa fakultas/departemen Bacon mengungkap pentingnya layaknya kedokteran, manajemen, pengetahuan guna menundukkan alam: dan hukum. Faktual, hal serupa telah “Pengetahuan adalah kekuasaan” menjadi nalar awam masyarakat (Hardiman, 2004: 27-28). Di sini, dunia dan menjadi fenomena ceteris dimensi praksis pengetahuan demikian paribus tersendiri. Jika kita menilik tampak, perihal yang kemudian universitas kenamaan seperti Hardvard dicemooh Heidegger sebagai “pola dan Princeton, maka fakultas-fakultas pikir teknologi” (Lemay & Pitts, 2005: yang paling banyak menuai minat 72). Pertanyaannya, benarkah hakekat publik adalah Ekonomi dan Hukum 34
Wahyu Budi Nugroho, Trayektori Pendidikan, antara Praksis-Teoretisdan Dikotomi Low Science-High Science Telaah Sosio-Filosofis Nilai GunaIlmu Pengetahuan di Era Kapitalisme-lanjut
(Ormerod, 1998: 18). Mengapa? Sering kali tak disadari bahwa pasca-Perang Dunia II hampir seluruh masyarakat dunia hidup dalam tatanan kapitalisme, terlebih pasca keruntuhan KomunismeSoviet. Artinya, modal (baca: uang) ditempatkan sebagai infrastruktur yang menopang superstruktur. Dengan demikian, tak mengherankan jika berbagai fakultas atau departemen yang dianggap baik oleh khalayak adalah fakultas atau departemen yang nantinya bakal menghasilkan banyak uang bagi lulusannya. Di sinilah dikotomi antara low science ‘ilmu pengetahuan rendah’ dengan high science ‘ilmu pengetahuan tinggi’ terjadi. “Ilmu pengetahuan tinggi” adalah berbagai ilmu usungan departemen-departemen yang nantinya besar kemungkinan bakal memberikan jaminan hidup ke depan bagi penuntutnya. Sebaliknya, “ilmu pengetahuan rendah” adalah berbagai departemen yang dianggap tak memberikan kejelasan karier berikut jaminan masa depan—kecil kemungkinan memberikan penghasilan besar bagi lulusannya.
pertanyaan tersebut kiranya bakal muncul tatkala pernyataan di atas tercetus—menjadi seorang filsuf. Dan memang, profesi sebagai filsuf tak lagi diakui masyarakat di era sekarang, jikapun ada profesi tersebut merupakan achieved status, artinya memerlukan berbagai “kualifikasi formal” guna menyandangnya, ambilah misal Romo Magnis, S. T. Sunardi, dan Yasraf Amir Piliang yang telah diakui sebagai para filsuf tanah air, kesemuanya lahir dari rahim pendidikan formal, menyandang gelar doktor atau profesor, memiliki karya-karya yang terjamin secara ilmiah-akademis, dan berbagai kualifikasi formal-akademis lainnya. Singkat kata, menjadi filsuf di era sekarang jauh berbeda dengan era dahulu. Di awal kemunculannya, seorang filsuf tidaklah harus terlahir melalui jenjang pendidikan formal, tepatnya sebelum Plato (427-347 SM) mengikuti jejak kaum sofis dengan mendirikan Akademia di Athena. Dari sini, kita dapat melihat relevansi Jacques Lacan (1901-1981) membubarkan sekolah psikoanalisisnya dikarenakan keinsyafannya akan ambiguitas birokratisasi pengetahuan yang ajeg mencetak para pakar diantara dua relasi: budak-tuan, serta terbebaskan-tak terbebaskan (Hill, 2006: 8). Ambiguitas terkait dapat kita tilik pula pada tokohtokoh kenamaan pendidikan layaknya Paulo Freire, Everett Reimer, dan Ivan Illich yang begitu menentang eksistensi birokratisasi pengetahuan—sekolah, namun kenyataannya mereka semua terlahir melaluinya. Dengan kata lain, guna mencapai pemikirannya saat ini, kesemua dari mereka tetap melampaui tahap-tahap birokratisasi pengetahuan di atas.
“Hendak menjadi apa?”, itulah pertanyaan yang kerap menyeruak kala seseorang tengah berjibaku dengan ilmu-ilmu yang terklasifikasi dalam low science. Dalam pengkajian ini, dapatlah dimisalkan beberapa di antara low science seperti filsafat, antropologi, dan sosiologi. Lebih jauh, mari kita mulai dengan satu pernyataan: “Menjadi seorang filsuf”, agaknya pernyataan tersebut begitu abstrak. Menjadi filsuf, untuk apa? Seberapa besar kemungkinan profesi tersebut akan memberikan penghasilan berlimpah? Atau jangan-jangan, tak ada lagi profesi filsuf di era sekarang? Serangkaian 35
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Dengan demikian, perihal yang dapat kita tekankan di sini adalah, dikotomi antara low science dengan high science berkelindan erat dengan dimensi praksis-teoretis suatu suatu ilmu pengetahuan. Semakin jelas praksis suatu disiplin, maka semakin tinggi kedudukannya di mata masyarakat. Sebaliknya, semakin teoretis, abstrak, dan “tak jelas” praksis dari suatu disiplin, maka semakin tersingkirkan pula eksistensinya. Tak pelak, proposisi tersebut memunculkan satu pertanyaan yang mengusik: “Mungkinkah berbagai displin yang dipertanyakan nilai gunanya dewasa ini tengah menuju pada kepunahannya?”2. Hal serupa kiranya turut kita jumpai lewat gulung tikarnya beberapa departemen dikarenakan sepi peminat dan dianggap tak relevan lagi keberadaannya. Apabila benar demikian, maka dapatlah dipostulatkan bahwa ilmu pengetahuan mengikuti suatu tata peradaban, dan bukan sebaliknya. Hal ini menghantarkan pada suatu premis bahwa kenyataannya ilmu pengetahuan tak ubahnya seperti budaya pop, timbul-tenggelam mengikuti kepentingan pasar (baca: masyarakat)3. Dengan demikian, baikburuk berikut bagus-tidaknya suatu pengetahuan pun merupakan sebentuk konstruksi. Anggapan ini sudah tentu bertolak belakang dengan kedudukan ilmu pengetahuan sebagai pencerah
manusia mengingat kenyataannya ilmu pengetahuan justru tunduk pada kepentingan manusia4. Pada titik ini, ilmu pengetahuan menjadi mitos. Begitu pula, tak ubahnya dengan filsafat, problem yang dihadapi para pembelajar disiplin antropologi dan sosiologi agaknya berkutat pada persoalan profesi serta upaya guna mempraksiskan ilmu mereka. Apakah pasca merampungkan studinya seorang pembelajar antropologi atau sosiologi lantas menjadi seorang antropolog atau sosiolog? Kenyataannya tidak, tetap dibutuhkan kualifikasi-kualifikasi akademis guna memperolehnya. Di sini, para pembelajar ilmu-ilmu yang terklasifikasi dalam low science memikul dua beban: Pertama, “kebingungan” dalam mempraktekkan ilmunya; dan Kedua, terbatasnya akses/kesempatan dalam dunia kerja guna mengaktualisasikan ilmu yang digelutinya. Trayektori pendidikan dalam ranah terkait sudah tentu menghasilkan luaran yang tak jelas arahnya. Bisa jadi, persoalan ini turut menjawab kegamangan para pembelajar low science di tengah-tengah proses studinya, partisipasi mereka dalam kegiatan belajar-mengajar sekedar menemui bentuknya sebagai ritualisme5 belaka. Sementara, bagi mereka yang mengambil pekerjaan tak sesuai dengan bidang keilmuan yang digelutinya, maka hal tersebut dapat diistilahkan dengan “alienasi nilai guna ilmu pengetahuan”, fenomena massal di era
2. Layaknya argumen perspektif struktural-fungsional: segala yang dibutuhkan masyarakat akan eksis dengan sendirinya, dan sebaliknya dengan yang tidak—akan hilang dengan sendirinya. 3. Sebagai misal, pada era kekhalifahan Islam dan Abad Pertengahan, filsafat menjadi disiplin yang sangat digemari. Kegandrungan masyarakat pada filsafat kala itu berkelindan dengan corak peradaban spiritualis di mana disiplin tersebut dinilai mampu memperkuat berikut membuktikan kebenaran doktrin-doktrin agama. Sebagaimana ungkap Russel, “Filsafat ibarat lahan kosong yang diperebutkan oleh ilmu pengetahuan dan agama”.
4. Jika ia—ilmu pengetahuan—ditempatkan sebagai pencerah dan penuntun manusia, maka seyogyanya ia berada di atas (melampaui) manusia. 5. Ritualisme merupakan sikap di mana individu/ kolektif sesungguhnya menolak suatu konstruksi namun tak dapat menghindarinya, mereka sekedar bertindak namun hal tersebut sama sekali tak bermakna baginya.
36
Wahyu Budi Nugroho, Trayektori Pendidikan, antara Praksis-Teoretisdan Dikotomi Low Science-High Science Telaah Sosio-Filosofis Nilai GunaIlmu Pengetahuan di Era Kapitalisme-lanjut
kapitalisme lanjut yang kerap kali luput dari perhatian kita.
permintaan-penawaran tenaga kerja tak pernah tercipta sehingga sekedar menjadikan jenjang pendidikan sarjana (S1) sebagai prasyarat guna memperoleh kerja. Di sisi lain, menjadi persoalan yang berbeda apabila seorang pembelajar telah menyadari jauh-jauh hari jika dirinya takkan mudah memperoleh pekerjaan yang diminatinya, pun keinsyafan bahwa studinya hanyalah sebentuk prasyarat guna memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Namun, menjadi persoalan apabila seorang pembelajar telah menjiwai disiplin yang digelutinya, bertekad kuat menerapkan ilmu yang selama ini telah diakumulasinya, kemudian menghadapi kenyataan bahwa hal tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan dikarenakan ketiadaan akses dan kesempatan. Jika telah demikian, maka ilmu tak lagi memanifestasikan dirinya sebagai sarana emansipasi, melainkan alienasi diri.
Menyoal “Alienasi Nilai Guna” Ilmu Pengetahuan Terminus “alienasi nilai guna” dipopulerkan oleh Karl Marx untuk merepresentasikan kegunaan suatu komoditas yang harus terbuang siasia dikarenakan kapitalisme lebih mementingkan profit. Sebagai misal, pada tahun 1930-an di mana terjadi ekses panen tomat sehingga membuat harga komoditas tersebut jatuh di pasaran, tanpa segan para kapitalis menghancurkan berton-ton tomat untuk membuatnya langka dan harganya naik kembali di pasaran. Begitu pula, para pengusaha kopi robusta takkan segan membuang berton-ton robusta ke laut jika harga komoditas tersebut anjlok di pasaran (Smith & Evans, 2004: 42). Dapatlah ditilik, komoditas yang sesungguhnya bernilai guna, syarat terbuang percuma dikarenakan kapitalis lebih mengutamakan keuntungan.
Sebagaimana sempat disinggung sebelumnya, setiap peradaban memiliki keunikannya sendiri, kini seseorang tak dapat menjadi seorang filsuf sekedar dengan “menyusun pertanyaanpertanyaan yang baik” kemudian menyuarakannya di kerumunan6. Begitu pun, seorang tak dapat ujugujug mendapati gelar antropolog atau sosiolog pasca merampungkan studinya, tak peduli seberapa besar pengorbanan yang telah dilakukannya. Di satu sisi, kita musykil kembali pada peradaban yang telah lalu, sebagaimana ungkap Erich Fromm (1995: 25),
Istilah “alienasi nilai guna ilmu pengetahuan” dalam pengkajian ini tak jauh berbeda dengan pengertian di atas, hanya saja dalam konteks berlainan, yakni ilmu pengetahuan. Dapat kita bayangkan, individu yang telah bertahun-tahun lamanya menghabiskan masa studi di bangku kuliah, kemudian memasuki lapangan pekerjaan yang tak sesuai dengan bidangnya, tidakkah semua itu menyiratkan pembuangan waktu yang sia-sia, berikut ketiadaan nilai guna (ilmu) pengetahuan yang dimilikinya?. Memang, akses dan kemampuan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja menjadi persoalan urgen di sini, namun kenyataannya hukum equilibrium
6 Orientasi awal filsafat bukanlah untuk memberikan jawaban yang baik, melainkan menyusun pertanyaan yang baik. “Filsafat” berasal dari kata philos ‘mencari’, dan sophein ‘cinta/kebenaran/kebijaksanaan’. Dengan demikian, filsuf adalah seorang yang tengah mencari cinta, kebenaran, atau kebijaksanaan.
37
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
manusia adalah makhluk yang unik, meninggalkan alam dan tak mungkin kembali padanya, selalu bergerak maju. Pernyataan Fromm barusan agaknya turut menjawab kegagalan Revolusi Kebudayaan cetusan Mao Tse Tung pada dekade 1960-an. Tak dapat dipungkiri, persoalan di atas dapat ditarik pada seputar isu modus “memiliki” ataukah “menjadi”. Era menjadi telah usai, berganti era memiliki di mana struktur sosial kita dibangun berdasarkan legitimasi, mereka yang tak memiliki legitimasi, takkan memperoleh pengakuan masyarakat.
memperoleh ketrampilannya secara otodidak melalui internet, begitu pula dengan sejarawan, jurnalis, antropolog, ataupun sosiolog, bahkan fenomena “kepakaran nonformal” telah cukup banyak terjadi sebelumnya. Fenomena Lionel Logue dan Frank Abagnale Jr., Tamparan bagi Dunia Pendidikan Formal? Bisa jadi, fenomena Lionel Logue, seorang terapis-bicara Raja George VI, menjadi contoh konkret bagaimana legitimasi pendidikan berhadapan dengan autodidactism ‘otodidaktisme’. George VI, Raja Britania Raya yang memiliki ketakutan berbicara di hadapan publik karena menderita “gagap akut” telah mencoba berbagai pengobatan dan terapi para pakar kenamaan—juga berlegitimasi kuat— tetapi tak satupun dari mereka mampu menyembuhkannya. Hingga muncul Lionel Logue dengan metode terapinya yang terbilang inkonvensial (tak lazim) namun terbukti ampuh mengatasi problem yang mendera George VI. Di tengah proses terapinya, Logue mendapati tuduhan “penipu” oleh penasehat kerajaan karena senyatanya ia bukanlah doktor dalam terapi bicara, dengan enteng, Logue pun menjawab, “Kalianlah yang sejak awal memanggilku ‘doktor’. Aku sendiri tak pernah”. Logue memperoleh keahlian dalam terapi bicara lewat pengalamannya membantu para veteran Perang Dunia I yang mengalami traumatis berat dan kesulitan bicara (Hooper, 2010; Dialogue, 2011: 5).
Namun demikian, “rezim legitimasi” pun dipertanyakan kembali kala dihadapkan pada tatanan posmodernitas di mana arus informasi mengalir dengan demikian derasnya (Giddens, 2009: 2). Ini artinya, katup informasi (baca: [ilmu] pengetahuan) tak lagi menjadi monopoli lembaga-lembaga pendidikan formal, meskipun memang, problem mendasar yang ditemui dalam era ini adalah sulitnya membedakan antara “pengetahuan benar dengan salah”, berikut “pengetahuan asli dengan palsu” sebagaimana ungkap Kieron O’hara (2002: 4)7. Singkat kata, untuk menjadi seorang pakar di era sekarang, pendidikan formal tak lagi menjadi satu-satunya jalur. Internet yang membawa kita pada gerbang posmodernitas memungkinkan setiap individu mengakses besaran informasi yang tak terbatas, kapanpun dan dimanapun. Seorang ahli teknologi informasi tak lagi harus terlahir dari bangku pendidikan formal, ia dapat 7. Sesungguhnya hal ini telah dipecahkan dengan pengetatan layak-tidaknya suatu website bagi referensi akademik. Sebagai misal, wikipedia dan blog tak layak menjadi referensi karena setiap orang dapat membuatnya.
Di samping misal di atas, vis-àvis antara pendidikan formal dengan
38
Wahyu Budi Nugroho, Trayektori Pendidikan, antara Praksis-Teoretisdan Dikotomi Low Science-High Science Telaah Sosio-Filosofis Nilai GunaIlmu Pengetahuan di Era Kapitalisme-lanjut
otodidaktisme turut ditunjukkan oleh fenomena Frank Abagnale Junior. Meskipun menjadi seorang kriminal kakap di usianya yang masih sangat muda, Frank sukses menyamar menjadi seorang pilot dan melakukan tak kurang dari 250 penerbangan, menjadi seorang dokter pengawas dan dokter anak selama hampir setahun tanpa malpraktek, menjadi pengacara dan memenangkan kasus, bahkan menyamar menjadi dosen sosiologi di Brigham Young University. Ajaibnya, ia melakoni serangkaian profesi di atas hanya dengan membaca buku dan mengamati televisi/film (Spielberg, 2002; Wilson, 2010: 98-100).
melalui apa yang telah dilakukan para figur otodidak dunia. Terdapat tiga poin penting yang tersirat di dalamnya, antara lain; pemaknaan, manipulasi, dan pendayagunaan modus menjadi. Pemaknaan dan manipulasi menyangkut eksistensi diri mereka sendiri, sebagaimana tokoh-tokoh yang telah dicontohkan sebelumnya, legitimasi mereka terletak pada dirinya sendiri. Lionel Logue takkan mungkin membuka praktek terapi bicara untuk membantu para veteran perang tanpa berpikir (baca: memanipulasi) dirinya sendiri sebagai seorang terapis, terlebih Frank Abagnale Jr. yang menjadi seorang pilot, dokter, pengacara, juga seorang dosen. Apa yang mereka lakukan menunjukkan sisi kodrati manusia sebagai homo ludens, yakni “makhluk yang suka bermain-main” (Huizinga, 1980: ix). Mereka menyadari sepenuhnya bahwa bidang-bidang sosial adalah permainan peran semata, dan seseorang yang memikul suatu peran belum tentu menjalankannya dengan baik, sebagaimana kegalauan Fritjof Capra (1983: 3),
Ditilik melalui karakter disiplin sosiologi yang bersifat nonetis, bagaimanapun juga fenomena Lionel Logue berikut Frank Abagnale Jr. di atas menunjukkan pada kita betapa keahlian maupun kepakaran tidaklah harus lahir melalui bangku pendidikan formal. Meskipun memang, berbagai pihak dapat menuduh fenomena-fenomena terkait sebagai perihal yang bersifat kasuistis, dan tak melibatkan variabelvariabel lain seperti tingkat kecerdasan, namun kiranya optimisme kita akan besar dan tak terhingganya potensi setiap manusia menjadi alternatif pemecahan yang lebih solutif terhadap problem kemanusiaan itu sendiri, utamanya menyangkut alienasi potensi diri manusia. Pemaknaan, Manipulasi, Modus “Menjadi”.
“It is a striking sign of our time that the people who are supposed to be experts in various fields can no longer deal with the urgent problems that have arisen in their areas of expertise. Economists are unable to understand inflation, oncologists are totally confused about the causes of cancer, psychiatrists are mystified by schizophrenia, police are helpless in the face of rising crime, and the list goes on.”
dan
Trayektori pendidikan yang tak jelas serta keterbatasan akses yang nantinya dapat melahirkan alinenasi nilai guna pengetahuan kiranya dapat dipecahkan atau setidaknya direduksi
[“Ada tanda-tanda zaman yang mengejutkan di mana orangorang yang seharusnya ahli dalam
39
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
bidang mereka tak lagi mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang muncul di sekitar bidang keahlian mereka. Ekonom tak mampu memahami inflasi. Onkolog kebingungan mengatasi penyebab kanker. Psikiater dikacaukan oleh skizoprenia. Polisi tak berdaya menghadapi kejahatan yang terus meningkat, dan lain sebagainya.”]
resmi) harusnya mampu bertindak lebih atau setidaknya menyamainya. Bisa jadi, pertanyaan yang kembali menyerua adalah ada-tidaknya akses guna mengaktualisasikan diri. Lagi-lagi, apabila disadari, posmodernitas yang memayungi tatanan spat-kapitalismus dapat mengatasi kebuntuan tersebut. Posmodernitas yang ditandai dengan derasnya arus informasi berikut pesatnya perkembangan industri media, termasuk penerbit dan percetakan, memberi peluang yang lebih besar bagi kita untuk turut berpartisipasi di dalamnya, entah sebagai penulis (pemberi wacana), komentator, bahkan pengkonstruksi arus informasi berikut (ilmu) pengetahuan itu sendiri. Hal ini dimungkinkan dengan berbagai aplikasi dunia maya layaknya facebook, youtube, blog, wordpress, bahkan website buatan sendiri.
Melalui pemaknaan dan manipulasi di ataslah kemudian platform modus (pola pikir) “memiliki” individu tergerus dan berubah pada modus “menjadi”—I am what I am thinking. Guna menjadi seorang terapis handal, individu meyakini bahwa hal tersebut dapat dicapai tanpa memiliki sertifikat atau ijazah resmi, melainkan mempelajarinya secara otodidak melalui pengalaman, buku-buku, film dokumenter, dan terutama world-wide-web—internet. Begitu pula ketika individu hendak menjadi pilot, dokter—dalam batasbatas tertentu8, antropolog, atau sosiolog, ia dapat mencapainya tanpa pendidikan formal asalkan meyakini segenap potensi dan kemampuan dalam dirinya, berikut tak kalah tekun belajar dibanding mereka yang duduk di bangku pendidikan formal.
Sering kali, upaya-upaya di atas terhambat oleh ketakutan berlebih yang belum terjadi, terlebih ketakutan apabila berbuat salah, baik andilnya dalam diskursus yang tengah berlangsung ataupun posisinya sebagai pengkonstruksi informasi. Namun jika kita kembali menilik kegalauan Capra, ketakutan tersebut sesungguhnya sama sekali tak beralasan. Kualitas seorang profesor belum tentu lebih baik daripada seorang doktor, begitu pun: seorang dosen belum tentu lebih pintar ketimbang mahasiswanya. Perihal ter-Rasional guna berhadapan dengan dunia yang serba membatasi aktualisasi diri manusia adalah dengan beraktualisasi seketika itu juga. Menyitir ungkapan Camus: “The only way to deal with an unfree world is to become so absolutely free…” [“Satu-satunya cara untuk berhadapan dengan dunia yang
Lalu, yang menjadi pertanyaannya, apabila secara kodrati manusia dapat mengeksplor serta mengaktualisasikan dirinya tanpa melalui institusi pendidikan formal, maka mereka yang memiliki legitimasi (sertifikat/ijazah 8 Bisa jadi pernyataan ini tergolong kontroversial— menjadi dokter secara otodidak, namun kenyataannya baru-baru ini dunia dikejutkan oleh seorang anak asal India, Akrit Jaswal, yang melakukan operasi bedah pertamanya pada manusia di usia 7 tahun. Ia mempelajari teknik bedah medis melalui buku dan mengamati para dokter yang tengah melakukan proses bedah di rumah sakit (http://www.dailymail. co.uk).
40
Wahyu Budi Nugroho, Trayektori Pendidikan, antara Praksis-Teoretisdan Dikotomi Low Science-High Science Telaah Sosio-Filosofis Nilai GunaIlmu Pengetahuan di Era Kapitalisme-lanjut
tak bebas adalah dengan membebaskan diri secara total…”]. Nyatanya, mereka para inisiator lebih banyak menuai keberuntungan ketimbang kerugian. Tampilah di ruang publik sebagai seorang pakar, modus menjadi akan menghantarkan kita pada satu simpulan tegas: era “dewa” dan legitimasi telah berakhir.
untuk beberapa waktu ke depan. Oleh karenanya, pendekatan humanis dirasa lebih sesuai guna mengatasi persoalan terkait. Di samping tak memerlukan waktu lama, pendekatan dan upaya ini dapat diakses oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Pendekatan humanis yang beresensikan pada self empowerment ‘pemberdayaan diri’ ini memuat tiga poin penting, antara Kesimpulan lain; pemaknaan, manipulasi, dan Perpecahan antara teori dengan modus menjadi. Melalui ketiganya, praktek menjadi biang trayektori entitas individu bakal meyakini bahwa pendidikan yang pertama, dan ia dapat mengaktualisasikan diri dan menghantarkan pada dikotomi antara pengetahuan yang dimilikinya setiap low science dengan high science. waktu. Perbedan mendasar antar keduanya adalah kecenderungan salah satu klasifikasi ilmu pada praksis ataukah teoretis. Hal tersebut diperparah dengan tatanan spat-kapitalismus di mana ukuran-ukuran ekonomi menjadi penentu bagus-tidak berikut berguna-tidaknya suatu ilmu, inilah yang menjadi momentum trayektori pendidikan kedua. Bagi mereka yang berjibaku dalam low science terutama, kerap kali berhadapan dengan persoalan alienasi nilai guna ilmu pengetahuan baik kala tengah menggelutinya atau saat berhadapan dengan dunia kerja nantinya. Pada titik ini, ilmu pengetahuan tak memanifestasikan dirinya sebagai sarana emansipasi, melainkan alienasi diri manusia. Tak dapat dipungkiri, pendekatan dan upaya bernuansa struktural memang diperlukan guna mengatasi persoalan di atas, namun hal tersebut dirasa kurang efisien mengingat membutuhkan waktu yang tak sebentar, sementara persoalan alienasi nilai guna ilmu pengetahuan telah lama berlangsung, dan kiranya akan tetap demikian 41
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Smith, David & Phil Evans. 2004. Das Kapital untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book.
Daftar Pustaka
Smith, Linda & William Raeper. 2004. Capra, Fritjof. 1983. The Turning Point: Ide-ide. Yogyakarta: Kanisius. Science, Society, and the Rising Culture. Wilson, Christopher P. 2010. Learning New York: Bantam Books. to Live with Crime. Ohio: The Ohio State Foucault, Michel. 2002. Menggugat University. Sejarah Ide. Yogyakarta: IRCiSoD. Bhavsar, Punitkumar & Vijay Kumar, Fromm, Erich. 1995. Masyarakat yang 2012, “Trajectory Tracking of Liniear Sehat. Jakarta: YOI. Inverted Pendulum Using Integral Giddens, Anthony. 2009. Konsekuensi- Sliding Mode Control”, I. J. Intelligent konsekuensi Modernitas. Yogyakarta: Systems and Applications, June 2012, pp. 31-38. Kreasi Wacana. Kritik
Dialogue Spring 2011, The Dean’s Speech, Dialogue.Working Paper;
________________. 2004. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia.
Hollerbach, John M, Trajectory Planning, Massachusetts Institute of Technology-Cambridge, 2012.
Hardiman, F. Budi. 1990. Ideologi. Yogyakarta: Kanisius.
Harker, Richard [et.al]. 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktek. Yogyakarta: Film (based on true story); Jalasutra. Catch Me if You Can (Steven Spielberg, Hill, Philip. 2006. Lacan untuk Pemula. 2002). Yogyakarta: Kanisius. The King’s Speech (Tom Hooper, 2010) Huizinga, Johan. 1980. Homo Ludens: A Study of Play-Element in Culture. Britain: Redwood Burn Ltd., Trowbridge & Esher. Lemay, Eric & Jennifer A. Pitts. 2005. Heidegger untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius. McLean, Daniel & Amy Hurd. 2008. Recreation and Leisure in Modern Society. Burlington: Jones & Barlett Learning. Ormerod, Paul. 1998. Matinya Ilmu Ekonomi Jilid 1: Dari Krisis ke Krisisi. Jakarta: Gramedia. O’hara, Kieron. 2002. Plato Internet. Yogyakarta: Jendela.
dan
42
Membaca Ulang Kultur Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam) Barito Mulyo Ratmono Abstrak Pelekatan stigma terhadap kultur Polri oleh masyarakat masih terjadi, meskipun telah dilakukan reformasi struktural dan instrumental. Polri kerap memperdebatkan bahwa bukan kultur organisasinya yang tidak baik, melainkan ada sebagian aktor Polri yang memiliki perilaku bertentangan dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif kultur Polri (Tri Brata dan Catur Prasetya). Namun perilaku tersebut terus menerus diproduksi melintasi ruang dan waktu sehingga mereproduksi struktur yang merupakan metafora dari kultur Polri yang tidak baik. Penelitian dilakukan sejak Februari 2011 sampai Oktober 2012 dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode etnografi kritis, yaitu mengeksplorasi fenomena sosial melalui penyajian bentuk-bentuk kontradiksi dari berbagai gagasan serta aktivitas yang mengkonstruksi kultur Polri saat ini. Informan yang dilibatkan sebanyak empatpuluh satu orang meliputi empat wilayah penelitian, yaitu: Mabes Polri, Akademi Kepolisian, Sekolah Polisi Negara Purwokerto, dan Polda Jawa Tengah. Data pendukung diperoleh dari foto, film, dokumen sejarah Polri, serta kliping koran yang memuat pemberitaan Polri (2009-2011). Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, pengamatan kegiatan pendidikan di Akpol dan SPN serta kegiatan kepolisian di jajaran Polda Jawa Tengah. Teori yang digunakan terdiri dari teori strukturasi (Giddens), teori hegemoni (Gramsci), dan teori kritis self reflextion (Habermas). Ada tiga temuan dari hasil penelitian: (1) konstruksi struktur kultur organisasi tidak dilaksanakan dengan baik di pabrik aktor Polri dengan indikasi adanya kebijakan memutasikan aktor yang menyimpang ke pabrik aktor Polri, fenomena kontradiksi posisi aktor pendidik, konfigurasi pengetahuan profesionalisme tugas lebih banyak terdapat dalam narasi kurikulum dibandingkan gugus pengetahuan kultur normatif Polri, ada beberapa perkataan di lembaga pendidikan pembentukan yang memiliki makna tertentu dan dapat mempengaruhi kesadaran para calon aktor dalam memunculkan gagasan dan perilaku sebagai aktor Polri; (2) ada praktik hegemoni absolut dan hegemoni ala Gramsci dalam relasi antar aktor Polri yang bertarung dalam arena praktik-praktik kepolisian; dan (3) adanya struktur pertarungan kepentingan dan motivasi dalam konstruksi kultur Polri, yaitu pertarungan gagasan dan tindakan yang sesuai dan tidak sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri. Disimpulkan bahwa belum membaiknya kultur Polri hingga saat ini dikarenakan telah ada proses produksi yang cacat di pabrik aktor Polri, adanya penyalahgunaan jabatan dan kewenangan melalui proses hegemoni serta pertarungan kepentingan
43
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
antar aktor Polri. Oleh karena itu, direkomendasikan perubahan kultur Polri harus dimulai dari lembaga pendidikan dan satuan kewilayahan secara bersamaan melalui proses hegemoni untuk menanamkan gagasan dan tindakan yang sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif kultur Polri. ABSTRACT The stigma approach to the Polri culture by society still happen, although the structural dan instrumental reformation had been performed. Polri often argued that it was not because of bad organizational culture, but it was more cause by some indivuals who had un-appropriate attitude based on the value, norm, and normative symbol of Polri’s culture (Tri Brata dan Catur Prasetya). Unfortunately those bad attitudes continuously performed through the years so finally produced a structure which was metaformed from un-appropriate Polri’s culture. The observation had been done since February 2011 until October 2012 using qualitative approach and critical etnografis method, which explored the social phenomenon through the contradiction form from different ideas and activities which constructed Polri culture nowdays. Informans involved were forty-one persons including four research areas : Mabes Polri, Akademi Kepolisian, Sekolah Polisi Negara Purwokerto, and Polda Jawa Tengah. The supporting data was collected from fotos, films, document of the Polri’s history, and some informations from newspapers concerning Polri (2009-2011). The datas was compiled from intensive interview, obseravion of the activities in Akpol and SPN and also activities in Central Java Police. The theory been used were structuration theory (Giddens), hegemony theory (Gramcy), and crysis self reflextion theory (Habermas). There were three inventions: (1) the structure construction of the organization cultur was not performed well in fabric of police actor this can be indicated from the policy that Police actors with un-appropriate attitude will be transferred to the fabric of police actor. Phenomenon of the contradiction position of the educational actors. Configuration of knowledge about professional duties more available in the curriculum narrative instead of in the knowledge of normative Polri culture.There were some statements in education center which had specific meaning and could influence the awareness of the candidate actors in giving ideas and acting as next polri actors. (2) There were absolute hegemoni practical and hegemoni ala Gramsci in relationships between the Polri actors who fight in the arena of daily police application; (3) There were structural wars in different interest and motivation in the construction of Polri culture, the wars were between their different ideas and actions which were appropriate and in-approriate based on value, norm, and normative symbol in Polri culture. As conclution that the stagnant improvement of Polri culture nowdays was because there were some failure in production process in the fabric of police actors, there were some appropriate attitude in some positions and authorities through the hegemoni process and also because of the wars in different interest between 44
Barito Mulyo Ratmono, Membaca Ulang Kultur Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam)
the Polri’s actors. So that, the change of Polri culture is highly recommended to be started from the education institution together with all police in the district through the hegemoni process to improve ideas and actions which appropriate based on value, norm, and normative symbol in Polri culture. Latar Belakang
kondisi ini, sesungguhnya telah terjadi apa yang diistilahkan penulis dengan pertarungan eksistensi dan pemaknaan dari setiap aktor Polri terkait 2 (dua) hal, yaitu: (1) pandangan terhadap perilaku dan tindakan menyimpang; dan (2) pandangan terhadap pedoman nilai, norma, dan simbolisasi normatif yang ada di organisasi Polri. Sebagian pihak kemudian mengaitkan kemunculan fenomena pertarungan ini dengan keterbatasan dukungan sumber daya organisasi, sehingga muncul perilaku dan tindakan menyimpang sebagian anggota Polri.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah berupaya melakukan perubahan terhadap kultur organisasinya, namun upaya ini terciderai oleh perilaku dan tindakan menyimpang dari sebagian anggota Polri. Akibatnya image Polri di masyarakat cenderung negatif dan terjadi generalisasi stigma dari masyarakat terhadap kultur Polri. Padahal stigma tersebut seharusnya hanya dilekatkan kepada sebagian anggota yang melakukan penyimpangan saja bukan kepada organisasi Polri. Sebab organisasi Polri tidak pernah memberikan toleransi terhadap segala bentuk penyimpangan.
Negara secara bertahap telah meningkatkan dukungan sumber daya organisasi Polri, dengan harapan anggota tidak melakukan penyimpangan untuk memenuhi kekurangan tersebut. Tetapi realita menunjukkan lain, meskipun dukungan sumber daya telah ditingkatkan, tetap saja masih ditemukan sebagian anggota Polri berperilaku dan melakukan tindakan menyimpang. Ironisnya perilaku dan tindakan tersebut dilakukan dengan dalih untuk memenuhi kekurangan sumber daya yang mereka butuhkan.
Polri kerap memperdebatkan bahwa bukan kultur organisasinya yang tidak baik, melainkan perilaku dan tindakan sebagian anggota yang sebenarnya tidak baik. Tetapi Polri tidak dapat menghindari kenyataan bahwa perilaku dan tindakan tersebut terus menerus diproduksi dan tanpa disadari dimaknai menjadi suatu yang benar serta dilakukan oleh sebagian anggotanya. Padahal Polri telah memiliki pedoman nilai, norma, dan simbolisasi normatif yang dijadikan sebagai pedoman hidup dan kerja para anggotanya ketika melaksanakan tugas kepolisian1. Pada
kan hukum negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945; dan (3) senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban. Isi Catur Prasetya adalah sebagai insan bhayangkara, kehormatan saya adalah berkorban demi masyarakat, bangsa dan negara, untuk : (1) meniadakan segala bentuk gangguan keamanan; (2) menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi manusia; (3) menjamin kepastian berdasarkan hukum; dan (4) memelihara perasaan tentram dan damai.
1. Tribrata adalah pedoman hidup dan Catur Prasetya adalah pedoman kerja anggota Polri. Isi Tribrata adalah kami polisi Indonesia: (1) berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa; (2) menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegak-
45
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Di satu sisi argumentasi itu sangat mungkin benar, namun di sisi lain justru ada beberapa anggota Polri yang memanfaatkan momentum tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya. Oleh karena itu munculnya pertarungan ini bukan semata karena kurangnya dukungan sumber daya organisasi Polri saja, tetapi tentu ada penyebab lain yang jauh lebih kompleks. Sebab pertarungan yang terjadi tidak hanya sekedar menghambat pelaksanaan tugas pokok Polri, melainkan justru membentuk kultur Polri yang negatif dan sulit untuk diubah.
aktor Polri dengan kemampuan tugas pokok kepolisian umum, sedangkan Diktuk Inspektur memproduksi aktor-aktor Polri dengan kemampuan tugas pokok kepolisian umum dan penyelia tingkat pertama (first line supervisor). Mengutip pernyataan Barker (2008:132) maka pembedaan ini sebenarnya merupakan pembentukan identitas secara kolektif. Pembentukan identitas ini terus menerus diproduksi melintasi ruang dan waktu sehingga terbentuklah kelas-kelas dalam Polri. Melalui kesadaran diskursifnya para Brigadir memposisikan diri sebagai kelas sub ordinat, sedangkan Inspektur Kegagalan produksi di pabrik memposisikan diri sebagai kelas dominan. Praktik pembagian kelas Aktor Polri ini disadari oleh para aktor sejak awal Menurut Peraturan Kapolri Nomor 4 rekruitmen pendidikan pembentukan. tahun 2010 tentang Sistem Pendidikan Metafora dari lembaga Diktuk Polri, jenjang pendidikan di lingkungan Polri terdiri dari: (1) Pendidikan Brigadir dan Inspektur ini seperti pabrik Pembentukan disingkat Diktuk; dan (2) yang memproduksi barang berupa aktor Pendidikan Pengembangan disingkat kepolisian, karena diproduksi melalui Dikbang2. Diktuk terdiri dari Diktuk proses yang sama sehingga memiliki Brigadir dan Diktuk Inspektur. Diktuk spesifikasi barang yang sama. Duapuluh Brigadir dilaksanakan di SPN. Diktuk tujuh SPN yang tersebar di seluruh Inspektur dilaksanakan di Akpol3. Indonesia, sebagai pabrik penghasil Diktuk Brigadir memproduksi aktor- aktor yang spesifikasinya disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan di kelas 2. Diktuk merupakan pendidikan untuk membentuk sub ordinat. Akpol secara periodik dan membekali peserta didik menjadi anggota Polri yang memiliki pengetahuan, keterampilan, kemam- juga memproduksi barang, yaitu aktor puan, ketangguhan, sikap dan perilaku terpuji dalam kepolisian dengan spesifikasi untuk rangka melaksanakan tugas kepolisian. Dikbang adalah pendidikan lanjutan setelah Diktuk untuk mengisi ruang-ruang dalam kelas mengembangkan atau meningkatkan: (1) pengeta- dominan. huan, keterampilan manajerial dan kepemimpinan sesuai jenjang pendidikan; dan (2) pengetahuan dan keterampilan profesi fungsi kepolisian sesuai dengan tingkatan kemampuan keahlian khusus. 3. Akpol menyelenggarakan pendidikan pembentukan Inspektur Polisi dari dua sumber, yaitu: (1) sumber lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU); dan (2) lulusan Sarjana. Peserta didik Akpol dari lulusan SMU diperuntukkan mengisi berbagai jabatan manajerial staf dan pimpinan pada setiap level jabatan dalam organisasi Polri, sedangkan lulusan Sarjana diperuntukkan melaksanakan tugas bantuan teknis kepolisian.
Studi Foucault sebagaimana dikutip Barker (2008:198) menunjukkan bahwa “teknik-teknik pendisiplinan muncul di berbagai bidang, termasuk sekolah, penjara dan lain-lain. Teknik-teknik ini memproduksi ‘tubuh patuh’ yang dapat diikat, digunakan, ditransformasikan dan diperbaiki”. Pada konteks ini
46
Barito Mulyo Ratmono, Membaca Ulang Kultur Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam)
berarti teknik pendisiplinan di SPN dan Akpol akan menghasilkan calon aktor kepolisian yang patuh terhadap apa yang dibentuk kepadanya, tanpa adanya pertentangan. Calon aktor ini seperti barang yang dibentuk sesuai keinginan orang yang memproduksinya. Jika calon aktor ini secara disiplin dididik dengan kekerasan maka akan dihasilkan sosok aktor sebagai anggota kepolisian yang memiliki perilaku dan tindakan keras, arogan dan sebagainya.
bermasalah dengan tampilan kultur normatif Polri pada dirinya sendiri. Aktor-aktor yang memiliki kultur tidak baik ini dapat mempengaruhi operasional produksi barang di pabrik SPN atau Akpol. Jika dibiarkan, maka bukan tidak mungkin akan dihasilkan barang-barang cacat dan tidak bisa dikonsumsi oleh konsumen luas Kedua, adanya kontradiksi posisi aktor pendidik di lembaga Diktuk SPN dan Akpol. Aktor pendidik ketika melaksanakan proses pendidikan (waktu) di lembaga Diktuk (ruang), berperan sebagai aktor yang memiliki kekuasaan otoritatif atas peserta didik. Pada praktik sosial lainnya, yaitu ketika aktor pendidik ini menjalani relasi sebagai anggota kepolisian (waktu) dari organisasi Polri (ruang), maka mereka berubah posisi menjadi aktor sub ordinat yang tidak memiliki kekuasaan apapun, bahkan memiliki ketergantungan kepada aktor dominan lainnya. Berkuasa dan dikuasai, aktor dominan sekaligus aktor sub ordinat, begitulah peran dari aktor pendidik. Disinilah letak kontradiksi posisinya. Pencetusan istilah kontradiksi posisi aktor merupakan upaya perdebatan penulis terhadap pemikiran Giddens tentang teori strukturasi. Di dalam sistem hirarkhi organisasi Polri, aktor secara berjenjang dari atas ke bawah memiliki otoritatif atas aktor lain. Namun aktor lain ini memiliki otoritatif atas aktor di bawahnya lagi. Begitu seterusnya, sehingga aktor pada posisi tertentu terkadang dikuasai dan pada saat yang sama juga menguasai, jadi tidak ada apa yang disebut oleh Giddens sebagai otonomi aktor dalam konteks mekanisme dialektika kontrol.
Dikaitkan dengan studi Foucault di atas, maka masih ditemukannya aktor kepolisian yang memiliki kultur tidak baik dapat disebabkan karena kemungkinan adanya ketidaksiplinan dalam memproduksi barang berupa calon aktor Polri di pabrik SPN atau Akpol. Ketidakdisiplinan proses menyebabkan aktor yang diproduksi ada yang sesuai dan tidak sesuai dengan spesifikasi4. Ini artinya telah terjadi kegagalan dalam proses produksi calon aktor Polri. Setidaknya ada 4 (empat) penyebab terjadinya kegagalan tersebut, yaitu: Pertama, masih ditemukan kebijakan memutasikan anggota Polri yang memiliki perilaku dan tindakan menyimpang ke dalam lembaga Diktuk SPN dan Akpol sebagai tenaga pendidik. Tenaga pendidik ini adalah aktor-aktor yang terlibat langsung dalam proses pendidikan di SPN dan Akpol. Bagaimana mungkin lembaga Diktuk dapat melaksanakan tugas mengkonstruksi kultur normatif Polri dengan baik kepada seluruh peserta didik selaku calon aktor Polri, jika ada sebagian tenaga pendidiknya yang justru 4. Pada konteks ini spesifikasi yang dimaksud adalah aktor yang sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri.
47
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Aktor pendidik memiliki peran kunci dalam mengkonstruksi kultur Polri di lembaga Diktuk, maka hendaknya organisasi Polri memperhatikan eksistensi mereka. Seharusnya relasi antara aktor pendidik dengan struktur organisasi Polri terjalin apa yang dinamakan oleh Giddens dalam Priyono (2003:34) sebagai dialektika kontrol atau the dialectic of control. Polri menaruh harapan besar terhadap perilaku dan tindakan para aktor pendidik dalam mengkonstruksi kultur normatif Polri kepada peserta didik. Begitu juga sebaliknya para aktor pendidik sangat bergantung masa depan karir dan pangkatnya pada organisasi Polri. Kontradiksi posisi dapat menyebabkan “keresahan” pada diri aktor pendidik. Mereka menjadi tidak fokus dalam menanamkan gagasan dan aktivitas kultur Polri pada diri setiap peserta didik. Akibatnya kultur Polri tidak dipahami secara utuh, sehingga tidak dapat direpresentasikan dalam praktik-praktik kepolisian oleh para calon aktor kepolisian kelak ketika mereka bertugas di lapangan.
sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri. Para calon aktor kepolisian tersebut hanya tahu bagaimana bekerja secara profesional, namun tidak menghayati secara baik tentang nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri. Keempat, teridentifikasi beberapa perkataan di lembaga Diktuk yang memiliki makna tertentu dan dapat mempengaruhi kesadaran para calon aktor dalam memunculkan gagasan dan perilaku kelak ketika menjadi aktor Polri. Barker (2008:101) menyebutkan bahwa: “bahasa adalah sarana dan media pembentukan arti dan makna. Artinya makna dihasilkan secara simbolis dalam bahasa sebagai sistem signifikasi dan terbentuk melalui perbedaan, relasi satu penanda dengan penanda lain, ketimbang mengacu kepada entitas tetap dalam suatu dunia objek independen”. Makna-makna dibentuk dari bahasa yang digunakan oleh para aktor yang terlibat dalam relasi-relasi sosial dan selalu berkembang. Demikian pemikiran Barker mendasari konsep kunci dari Derridean tentang “keberbedaan dan ketertundaan” yang terpusat pada instabilitas dan tak dapat ditentukannya makna dalam sebuah bahasa. Penulis tidak sepenuhnya sepakat dengan Barker yang mengatakan bahwa makna selalu berkembang. Penulis berpendapat makna pasti menemukan titik final pada suatu episode relasi sosial. Jika kemudian timbul relasi sosial lain dari relasi sosial awal, maka akan timbul pula suatu pemaknaan baru. Jadi bukan makna awal yang berkembang menjadi makna baru lainnya, melainkan makna baru timbul karena adanya relasi sosial
Ketiga, konfigurasi pengetahuan yang berhubungan dengan profesionalisme pelaksanaan tugas kepolisian bagi calon aktor Polri lebih banyak dialokasikan dalam narasi kurikulum SPN dan Akpol dibandingkan dengan pemberian gugus pembentukan kultur normatif Polri. Narasi kurikulum yang demikian terus menerus diproduksi. Akibatnya timbulah motif atau kognisi tak sadar (unconscious motives atau cognition) dari calon aktor Polri dalam mereproduksi struktur berupa kultur Polri yang lebih merepresentasikan kemampuan profesional dibandingkan memiliki perilaku dan tindakan yang 48
Barito Mulyo Ratmono, Membaca Ulang Kultur Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam)
baru.
adanya pengaruh makna dari perkataan yang muncul selama para aktor tersebut mengikuti Diktuk di pabrik aktor Polri. Perkataan tersebut sudah dinaturalkan sebagai sesuatu yang hegemonik, yaitu sudah diterima sebagai hal yang “biasa” sehingga menjadi peta makna para aktor Polri dalam memahami pelaksanaan praktik-praktik kepolisian. Dengan demikian ia bisa menjadi salah satu hal yang mentradisi dan mempengaruhi representasi kultur Polri secara organisasi. Beberapa perkataan yang memunculkan makna tidak baik adalah: (1) “siap salah”; (2) “harus pintarpintar”; dan (3) “pokoknya”,
Makna selalu dihubungan dengan kekuasaan untuk memaksa sebuah gagasan sehingga mempengaruhi perilaku dan tindakan para aktor yang terlibat di dalamnya. Seperti yang dikatakan Foucault “selalu ada regulasi makna oleh kekuasaan ke dalam diskursus dan pembentukan wacana”. Jadi makna yang muncul dari sebuah bahasa yang digunakan dalam relasi sosial seperti regulasi yang tidak tampak namun dipatuhi oleh para aktor yang terlibat. Artinya bahwa aktor yang terlibat memahami makna dari bahasa yang digunakan dalam menjalin relasi sosial dengan aktor lainnya. Maknamakna tersebut terkadang sengaja dibuat final dan hanya dipahami oleh para aktor yang terlibat dalam suatu kelompok relasi sosial tertentu saja.
Perkataan “siap salah” selalu diucapkan secara spontan oleh bawahan kepada atasannya, ketika perilaku atau tindakan yang dilakukannya tidak sesuai dengan keinginan atasannya. Terkadang ketidaksesuaian tersebut bukan dikarenakan perilaku atau tindakan bawahan secara normatif melanggar aturan, namun lebih kepada persepsi atasan yang menganggap perilaku dan tindakan bawahannya tidak sesuai dengan harapan mereka. Bawahan pada kondisi ini tanpa pembelaan atas apa yang telah dipersepsikan salah oleh atasannya. Melalui kesadaran praktis, para aktor terlibat dalam relasi sosial dimana bawahan selalu “siap disalahkan” oleh atasannya. Inilah wilayah kepribadian yang berisi gugus pengetahuan yang sudah diandaikan. Giddens dalam Priyono (2003:29) mengistilahkannya sebagai taken for granted knowledge. Para bawahan selalu siap disalahkan tanpa harus mempertanyakan secara terus menerus atas apa yang telah dipersepsikan salah oleh atasannya.
Barker (2008:83) menyebutkan bahwa “kebudayaan dapat dipandang sebagai peta makna yang tertata dan terbentuk melalui saling silang diskursus dimana objek dan praktik memperoleh maknanya”. Dengan demikian perkataan yang muncul dalam relasi sosial antar aktor di lembaga Diktuk dapat menjadi peta makna yang dapat mengkonstruksi gugus pengetahuan tentang kultur Polri. Makna-makna yang muncul dari perkataan tersebut diturunkan terus menerus sehingga menjadi tradisi dan mempengaruhi gagasan, perilaku, dan tindakan para aktor kepolisian selama mengikuti pendidikan, bahkan ketika mereka sudah bertugas di lapangan. Jika berfikir dengan logika terbalik tentang representasi kultur Polri yang tidak baik oleh para aktor-aktor kepolisian saat ini, maka kondisi tersebut bisa jadi disebabkan karena 49
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Giddens menjelaskan kembali bahwa kesadaran praktis ini merupakan kunci bagaimana relasi sosial lambat laun menjadi struktur. Sama halnya dengan bawahan yang selalu siap disalahkan oleh atasannya yang secara terus menerus diproduksi dan lambat laun menjadi struktur berupa kultur Polri yang tidak baik. Pentradisian dari kesadaran praktis para aktor akan memunculkan beberapa perilaku dan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri, seperti: atasan tidak pernah salah, bawahan selalu menutupi kesalahan atasan atau selalu bertanggung jawab terhadap kesalahan kesatuan, bawahan tidak dapat mengoreksi gagasan dan praktik atasan meskipun menyimpang dan lain sebagainya.
aktor kepolisian dimaksud memahami apa yang digagasnya dan melakukan aktualisasi berupa tindakan-tindakan yang dapat membenarkan gagasan yang dimunculkannya. Disinilah letak kekuatan perkataan “harus pintar-pintar”, dimana gagasan yang menyimpang bisa saja tertutupi dengan berbagai praktik-praktik yang dapat membenarkan gagasan tersebut.
Perkataan “harus pintar-pintar” jika dicermati sebenarnya memiliki makna negatif. Makna yang mengemuka adalah jika akan atau telah berperilaku atau melakukan tindakan tidak sesuai ketentuan maka jangan sampai ketahuan oleh siapapun. Perkataan mengemuka melalui kesadaran diskursif para aktor kepolisian. Aktor-
struktur berupa kultur Polri yang negatif, ternyata tidak hanya berawal dari kesadaran praktis aktor saja, melainkan juga disebabkan dari kesadaran diskursif para aktornya juga. Kedua kesadaran aktor ini yang diaktualisasikan menjadi praktik berulang dan lambat laun menjadi struktur.
Perkataan “harus pintar-pintar” sangat mungkin menginspirasi sebagian aktor kepolisian untuk menutupi berbagai perilaku dan tindakan yang menyimpang dari nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri. Inspirasi ini kemudian menimbulkan gagasan negatif dari sebagian aktor kepolisian, misalnya untuk berperilaku koruptif yang diaktualisasikan dengan berbagai Penggambaran bahwa atasan tidak praktik pungutan liar (pungli). Dengan pernah salah, bahkan dituangkan dalam kemampuan dan pengetahuan yang lagu yang sering dinyanyikan oleh para dimilikinya, aktor kepolisian ini peserta didik ketika mengikuti Diktuk merekayasa berbagai praktik pungli di SPN dan Akpol. Judul lagu dimaksud tersebut agar memperoleh pembenaran. adalah senior can do no wrong. Giddens dalam Priyono (2003:29) Selain itu ada rangkaian kalimat yang menyebutkan bahwa kesadaran praktis menggambarkan tentang senior yang jika diaktualisasikan secara terus tidak pernah dapat disalahkan. Kalimat menerus menjadi kunci pembentukan dimaksud disusun seperti pasal dalam struktur. Jika struktur merupakan sebuah aturan hukum, yaitu: “pasal metafora dari pembentukan kultur 1 senior tidak pernah salah. Pasal 2 Polri, maka apa yang dikatakan Giddens disebutkan jika ada senior yang salah bisa diperdebatkan kembali. Letak maka lihat pasal 1”. perdebatannya adalah pembentukan
Perkataan 50
“pokoknya”
memiliki
Barito Mulyo Ratmono, Membaca Ulang Kultur Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam)
makna bahwa segala sesuatu harus dilaksanakan dengan segala cara meskipun ada hambatan. Pada satu sisi, perkataan ini bisa menginspirasi untuk berfikir inovatif dan bertindak kreatif. Namun di sisi lain, perkataan tersebut dapat menginspirasi seseorang untuk melakukan apapun dengan segala cara, baik benar atau salah, agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan.
pengalaman-pengalaman aktual ketika bertugas di lapangan yang sudah pasti tidak sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri. Gugus pengetahuan, pengalaman aktual, dan praktik-praktik para aktor yang terlibat di dalamnya merupakan tiga matra pokok dalam pengkonstruksian sebuah kultur Williams (1981:87). Proses hegemoni dalam konstruksi kultur Polri.
Jika pemaknaan perkataan “pokoknya” berhenti pada makna final dimana seseorang harus berfikir inovatif dan bertindak kreatif agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan, maka akan berdampak kepada gugus pengetahuan yang positif. Sebaliknya jika perkataan “pokoknya” tidak memiliki makna final, dimana para aktor yang terlibat di dalamnya terus menerus memaknai perkataan tersebut sesuai interpretasi masingmasing berdasarkan pemahaman yang dimilikinya, maka timbulah ruangruang untuk melakukan penyimpangan. Pemaknaan yang tidak terhenti tersebut akan semakin menyimpang dari kultur Polri manakala para aktor tidak memiliki perilaku dan tindakan yang sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif kultur Polri.
Konstruksi kultur sebuah organisasi tidak lepas dari pengaruh praktik hegemoni yang ada di dalamnya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Barker (2000:62) mengutip Williams (1973, 1979, 1981) bahwa “di dalam konstruksi sebuah kultur terdapat unsur makna yang dipandang sebagai induk dan bersifat dominan”. Proses konstruksi dan reproduksi makna dan praktik otoritatif inilah yang oleh Gramsci (1968) disebutkan juga sebagai praktik hegemoni. Artinya bahwa makna dan praktik otoritatif yang dikonstruksikan dan direproduksi merupakan hasil dari berbagai aliansi kekuasaan dan proses negosiasi antar kelas. Praktik hegemoni Gramsci tidak dapat disamakan dengan sistem hirarkhi sebagaimana yang ada dalam organisasi Polri. Namun sistem hirarkhi juga merupakan varian dari praktik hegemoni. Oleh karena itu penulis mengajukan konsep yang dinamakan dengan hegemoni absolut, yaitu praktik hegemoni tanpa melalui pembentukan aliansi dan proses negosiasi antara aktor kelas dominan maupun sub ordinat. Tingkat kepatuhan aktor dari kelas sub ordinat kepada kelas dominan tanpa melalui pertentangan
Untuk merubah kultur Polri yang terlanjur dianggap tidak baik, maka perkataan “siap salah”, “harus pintar-pintar” dan “pokoknya” harus dihapuskan dalam gugus pengetahuan aktor-aktor kepolisian. Mereka jangan diberi ruang untuk berkembang dan dipraktikkan oleh para aktor yang terlibat, baik selama menjadi calon aktor di Diktuk maupun ketika sudah bertugas sebagai aktor kepolisian. Sebab mereka dapat mempengaruhi
51
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
maupun perdebatan dalam arena-arena relasi antar aktor dalam organisasi Polri. Praktik hegemoni absolut lazim dilakukan oleh organisasi yang memegang ketat sistem hirarkhi seperti Polri. Tidak halnya dengan praktik hegemoni ala Gramsci. Keduanya sangat bertolak belakang. Hegemoni absolut tidak memberikan ruang-ruang untuk melakukan negosiasi dan pembentukan aliansi antar kelas. Sementara itu hegemoni ala Gramsci sangat kental dengan negosiasi dan membentuk aliansi untuk memperoleh kata sepakat antar kelas. Kondisi seperti di atas, diistilahkan oleh aliran pemikiran kritis sebagai adanya “gap” atau jurang ketimpangan konsep dan praktik dalam sebuah realitas sosial, yaitu ada dua praktik hegemoni berbeda dalam sebuah organisasi yang memegang ketat sistem hirarkhi. Habermas (Magnis-Suseno, 1992:176) menyebutkan “bahwa ciri khas dari pemikiran kritis adalah merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika strukturstruktur penindasan dan emansipasi”. Mencermati apa yang dikatakan oleh Habermas, maka adanya “gap” antara dua konsep dan praktik hegemoni dalam organisasi Polri menjadi semacam peta nalar bagi penulis untuk “memotret” konstruksi kultur Polri yang hingga saat ini masih dianggap belum baik. Menariknya bahwa tidak semua aktor dari kelas dominan maupun sub ordinat dalam setiap level manajerial organisasi Polri terlibat dalam praktik hegemoni ala Gramsci. Hanya aktoraktor Polri dari kelas dominan yang memiliki dominasi kekuasaan tertentulah yang terlibat dalam praktik hegemoni ala Gramsci. Begitu juga
dengan aktor-aktor sub ordinat Polri yang terlibat adalah mereka yang hanya berkepentingan dengan dominasi kekuasaan yang dimiliki oleh aktor tertentu dari kelas dominan dimaksud. Jadi praktik hegemoni ala Gramsci dalam organisasi Polri sebenarnya hanya dilakukan oleh sebagian aktor demi kepentingan tertentu bukan kepentingan organisasi Polri. Kondisi inilah yang kemudian membuka ruang kritik dan kecurigaan tentang telah terjadinya penyalahgunaan praktik hegemoni ala Gramsci oleh sebagian aktor Polri dan menjadi penyebab belum baiknya kultur Polri hingga saat ini. Kesamaan kepentingan menjadikan para aktor berbeda kelas ini melakukan proses negosiasi dan membentuk aliansi untuk memperoleh kesepakatan tertentu di luar kepentingan Polri. Setidaknya ada tiga jabatan dan kewenangan yang kerapkali diperhitungkan posisinya oleh aktoraktor dalam organisasi Polri, yaitu: (1) mengelola sumber daya manusia (SDM) Polri; (2) mengelola pelayanan kepada masyarakat; dan (3) pengawasan terhadap segala kegiatan yang dilakukan oleh aktor Polri. Jabatan dan kewenangan merupakan presentasi dari sebuah otoritatif. Aktor-aktor dengan kepemilikan otoritatif merupakan pihak yang dapat mempengaruhi konstruksi struktur hegemoni kekuasaan dalam organisasi Polri. Praktik-praktik otoritatif inilah yang kemudian diidentifikasi menjadi pemicu terjadinya praktik hegemoni kekuasaan ala Gramsci di organisasi Polri. Dengan demikian ada keterkaitan antara otoritatif dalam teori strukturasi Giddens dengan praktik hegemoni ala Gramsci. Keterkaitan ini mungkin
52
Barito Mulyo Ratmono, Membaca Ulang Kultur Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam)
hanya terjadi dalam organisasi Polri. Keterkaitan ini pulalah yang menunjukkan bahwa praktik hegemoni ala Gramsci kemudian lambat laun dapat membentuk gagasan dan mempengaruhi praktik-praktik para aktor Polri yang dilakukan berulang sehingga membentuk kultur Polri. Otoritatif atas orang dimiliki oleh aktor-aktor Polri yang memiliki jabatan dan kewenangan untuk mengelola SDM Polri dimulai dari proses rekruitmen, pembinaan karier, perawatan personel, sampai dengan pengakhiran masa dinas. Mereka memiliki ruang-ruang untuk menjalin relasi-relasi sosial dengan aktor Polri lainnya. Sebab setiap aktor dalam organisasi Polri pasti berkepentingan dengan aktoraktor ini. Seakan-akan mereka memiliki kekuasaan yang sedemikian besar untuk mengelola SDM Polri. Padahal sebenarnya dominasi kekuasaan yang dimilikinya tidak bersifat mutlak, karena kewenangan mereka dibatasi oleh aturan tertulis pengelolaan SDM Polri. Melalui kesadaran diskursif, hampir semua aktor Polri, beranggapan bahwa otoritatif atas orang melekat pada diri setiap aktor yang memiliki jabatan dan kewenangan di bidang SDM Polri bukan pada aturan. Kesadaran inilah yang oleh Marx kemudian Althusser dan Gramsci namakan sebagai kesadaran palsu dari kelas pekerja. Maksudnya kelas pekerja menderita “kesadaran Palsu” yang merupakan pandangan dunia borjuis yang salah yang mengabdi kepada kelas kapitalis (Barker, 2008:58). Kelas pekerja diidentikkan oleh penulis dengan kelas sub ordinat. Kesadaran palsu ini kemudian terus dipraktikkan dalam tindakan nyata
hampir seluruh aktor di Polri. Akibatnya tanpa disadari terjadi pengkultusan terhadap aktor Polri yang memiliki jabatan dan kewenangan otoritatif atas orang. Apalagi ada rumor yang kerap terdengar dalam relasi antar aktor Polri bahwa “orang-orang yang bekerja di SDM memang tidak bisa membantu tapi bisa saja mereka menjatuhkan”. Rumor ini tidak pernah bisa dibuktikan. Namun demikian sebagian besar aktor Polri mempercayai bahwa rumor tersebut bisa saja terjadi pada dirinya sendiri. Kepercayaan mereka terhadap aturan dalam pengelolaan SDM Polri terkalahkan dengan kesadaran palsu yang dimilikinya. Otoritatif atas perekonomian dimiliki oleh aktor-aktor Polri yang memiliki jabatan dan kewenangan terkait pengelolaan jasa pelayanan kepada masyarakat. Sejatinya pemberian jasa layanan Polri tidak berorientasi keuntungan. Namun praktiknya, kegiatan pemberian jasa pelayanan terkadang disimpangkan oleh sebagian aktor Polri, seperti: mengutip sejumlah uang kepada masyarakat atau melakukan kutipan terhadap layanan yang diberikan di atas tarif resmi sehingga menguntungkan secara pribadi5. Polri kerapkali melakukan pembelaan bahwa adanya kutipan uang terhadap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat atau mengutip uang pelayanan melebihi batas dari tarif resmi tidak lepas dari peran masyarakat. 5 Hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi yang dilakukan mulai bulan April sampai dengan bulan Desember 2009 terhadap 371 unit layanan di 98 instansi, 39 instansi tingkat pusat, 10 pemerintah provinsi, dan 49 pemerintah kabupaten atau kota. Jumlah responden pengguna layanan publik yang disurvey sebanyak 1.039 orang. Hasil survei ini dimuat dalam harian Kompas terbit hari Rabu tanggal 23 Desember 2009.
53
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Terkadang masyarakat yang menginginkan jasa pelayanan Polri yang cepat dan minta diistimewakan dari masyarakat lainnya, kemudian berupaya dengan segala cara mempengaruhi para aktor-aktor pelayanan Polri di lapangan dengan iming-iming sejumlah uang. Sebagian aktor Polri kemudian memanfaatkan momentum ini, yaitu dengan melayani apa yang menjadi keinginan masyarakat dan menerima uang pemberian masyarakat untuk kepentingan pribadinya. Marx (Barker, 2008:51) berpendapat tatanan sosial diproduksi dan direproduksi melalui suatu kekuatan material yang selalu dikaitkan dengan kekuatan perekonomian. Pendapat Marx sejalan untuk menjelaskan gagasan sebagian aktor Polri yang berupaya mendapatkan otoritatif di bidang perekonomian dengan tujuan memperkuat posisinya dalam relasi antar aktor pada tatanan sosial organisasi Polri. Untuk mencapainya, aktor-aktor Polri berupaya menempati posisi pada bagian pemberian pelayanan tersebut. Hal ini merupakan realita sosial dalam organisasi Polri. Pada bagian tersebut ada ruang-ruang yang memungkinkan untuk dilakukan penyimpangan dalam pemberian layanan kepada masyarakat, sehingga sebagian aktor Polri memiliki kekuatan di bidang perekonomian. Dengan mendapatkan kekuatan di bidang perekonomian maka mereka meyakini dapat mempertahankan posisinya sebagai pihak yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Demikian seterusnya. Aktor Polri yang memiliki otoritatif atas pengawasan memiliki dominasi kekuasaan untuk mengawasi setiap kegiatan kepolisian agar sesuai dengan
aturan yang berlaku, di antaranya: kegiatan pengelolaan SDM dan pemberian pelayanan Polri kepada masyarakat. Oleh karena itu mereka yang berada di bagian pengawasan haruslah aktor-aktor Polri yang “bersih”. Mereka jangan terlibat penyimpangan dalam bentuk apapun. Sebab jika mereka terlibat dalam konspirasi penyimpangan maka struktur penyimpangan yang terjadi akan semakin kuat. Mencermati kembali uraian tentang sedemikian besarnya pengaruh aktoraktor Polri yang memiliki otoritatif atas orang, perekonomian, dan pengawasan menyebabkan banyak aktor di Polri berupaya mendekati aktor-aktor ini. Sebab mereka memiliki keterpengaruhan terhadap posisi para aktor kepolisian lainnya. Tetapi bisa jadi sebenarnya aktor yang memiliki dominasi kekuasaan tersebut tidak memiliki keinginan untuk didekati oleh aktor-aktor Polri dominan maupun sub ordinat lainnya, namun karena aktor Polri ini merasa memiliki kepentingan untuk mempertahankan posisinya, maka mereka tetap membuka ruangruang untuk berinteraksi dengan aktor yang tidak memiliki dominasi kekuasaan. Ada persinggungan kepentingan pada kondisi ini. Dari sisi aktor yang memiliki dominasi kekuasaan (baik otoritatif atas orang, perekonomian, maupun pengawasan), membuka ruang untuk melakukan interaksi dengan aktor-aktor Polri yang tidak memiliki dominasi. Ruang interaksi yang dibuka dalam rangka memperkuat dan melanggengkan posisi para aktor yang memiliki salah satu dari ketiga dominasi kekuasaan tersebut. Di sisi lain, aktor yang tidak memiliki ketiga
54
Barito Mulyo Ratmono, Membaca Ulang Kultur Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam)
dominasi kekuasaan berupaya mengisi ruang-ruang interaksi yang memang sengaja dibuat, agar bisa masuk dalam lingkaran ketiga dominasi kekuasaan. Sebab aktor-aktor ini meyakini jika masuk dalam salah satu lingkaran dari ketiga dominasi kekuasaan, maka mereka dapat naik kelas atau setidaknya memiliki posisi sesuai dengan keinginannya bukan sesuai kebutuhan organisasi Polri. Interaksi yang hanya melibatkan sebagian aktor dari kelas dominan yang memiliki otoritatif atas orang, perekonomian, dan pengawasan dengan aktor-aktor sub ordinat dilakukan secara terus menerus menembus ruang dan waktu. Dapat dikatakan praktik interaksi ini dilakukan secara turun temurun bahkan ada sebagian aktor Polri yang kemudian mengistilahkan dengan pembentukan dinasti kekuasaan. Dikarenakan dilakukan secara terus menerus maka terkonstruksilah gagasan yang teraktualisasi dalam bentuk interaksi yang khas, yaitu interaksi yang hanya melibatkan beberapa aktor Polri berbeda kelas demi mengakomodir kepentingan mereka saja. Pada interaksi yang khas ini kemudian terjadi posisi tawar menawar kepentingan. Aktor dominan baik disengaja maupun tidak disengaja menawarkan otoritatif yang dimilikinya untuk dapat dimanfaatkan oleh aktor sub ordinat. Dilain pihak aktor sub ordinat juga menawarkan sesuatu agar dapat memanfaatkan otoritatif yang dimiliki oleh aktor dominan. Terjadilah proses tawar menawar kepentingan dalam bentuk negosiasi. Proses negosiasi yang terjadi sering “diplesetkan” dengan istilah “wani piro entuk piro” dalam relasi aktor dominan dengan sub
ordinat di lingkungan Polri. Oknum aktor dominan akan mengatakan “wani piro” sementara oknum bawahan akan berfikir “entuk piro”. Atas negosiasi yang terjadi mereka kemudian menjalin alian-aliansi yang khas. Sekali lagi ditegaskan bahwa praktik interaksi dan pembentukan aliansi yang khas ini hanya melibatkan sebagian aktor Polri saja. Tetapi karena dipraktikkan berulang menembus ruang dan waktu maka terbentuklah motif atau kognisi tak sadar (unconscious motives/cognition) dari sebagian besar aktor Polri untuk mempercayai bahwa interaksi yang khas tersebut memang ada. Kognisi tak sadar terjadi karena ketidaksadaran dari sebagian aktor Polri dalam melakukan relasi sosial dengan aktor yang memiliki tiga otoritatif sebagai sebuah respon atas tindakan yang diterimanya. Melalui “kamera” hegemoni ala Gramsci maka dapat dipotret beberapa fenomena bahwa pertama, ada sebagian aktor Polri dari kelas dominan yang memiliki otoritatif atas orang, perekonomian, dan pengawasan membuka hubungan kepemimpinan dengan aktor sub ordinat melalui hubungan persetujuan yang khas. Kedua, hubungan persetujuan ini terjadi karena didahului proses tawar menawar kepentingan. Kepentingan kedua aktor berbeda kelas terakomodir dan bukan mengakomodir kepentingan organisasi. Ketiga, mereka kemudian membentuk aliansi yang tidak dapat ditembus oleh aktor-aktor Polri lainnya, sepanjang mereka berada di luar lingkaran interaksi yang telah diciptakan. Keempat, atas aliansi yang dibentuk, maka oknum aktor yang dominan dapat melanggengkan kekuasaannya,
55
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
sedangkan oknum aktor sub ordinat dapat mempertahankan posisinya atau bahkan naik kelas. Organisasi dijadikan arena praktik hegemoni absolut dan hegemoni ala Gramsi oleh aktor-aktor Polri. Praktikpraktik yang berulang kemudian membentuk apa yang dinamakan dengan kultur Polri. Hegemoni absolut dalam konteks praktik sistem hirarkhi memproduksi kultur Polri yang negatif, ketika gagasan dan tindakan dari sebagian aktor dominan dalam menjalankan sistem hirarkhi tidak sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri. Demikian juga dengan praktik hegemoni ala Gramsci oleh sebagian aktor Polri dapat memproduksi kultur Polri yang tidak baik, ketika negosiasi yang terjadi dalam proses hubungan kepemimpinan, menyimpang dan tidak sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif organisasi Polri.
pembentukan struktur berupa kultur Polri. Mereka dapat menciptakan gugus makna dari pengalaman aktual yang dialami ketika melaksanakan tugas sebagai anggota Polri dan menghasilkan teks-teks dan praktik yang melibatkan seluruh agen atau aktor Polri, sehingga terbentuklah sebuah kultur. Gugus makna, pengalaman aktual, dan teksteks serta praktik-praktik dari aktor merupakan konstruksi utama sebuah kultur (Williams, 1981:87). Di dalam konteks keterpengaruhan terhadap kultur Polri ternyata baik aktor dominan maupun sub ordinat Polri, dengan kekuasaan dan pengetahuan yang dimilikinya dapat menampilkan gagasan dan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri. Mereka biasanya diidentikkan dengan aktor Polri yang memiliki perilaku tidak baik, melakukan pelanggaran atau penyimpangan, dengan data sebagai berikut: Tabel Data pelanggaran yang dilakukan Aktor dominan dan sub ordinat aktor Polri dalam peta hubungan agensi dan No. Tahun Perwira Bintara Jumlah kesadaran membentuk struktur 1 2009 689 5.762 6.451 kultur Polri 2 2010 868 6.391 7.259 3 2011 4 2012 Jumlah
Aktor hasil produksi Lembaga Diktuk Polri memiliki kekuasaan dan pengetahuan. Kekuasaan yang dimiliki karena adanya pelekatan tugas dan kewenangan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Sementara itu pengetahuan tentang kepolisian dimiliki selama mereka menjalani pendidikan di lembaga Diktuk Polri. Dengan kekuasaan dan pengetahuan yang dimilikinya, aktoraktor Polri berpotensi menjadi agensi yang dapat mempengaruhi dinamika
582 762 2.901
3.760 4.342 4.480 5.242 20.393 23.294
Sumber: pemberitaan media dan laporan periodik Polri
Data tabel menunjukkan bahwa sebanyak 2.901 aktor Perwira (kelas dominan) melakukan pelanggaran, sedangkan Bintara (kelas sub ordinat) sebanyak 20.393 orang. Jika dikaitkan dengan jumlah anggota Polri saat ini sebanyak 385.638 orang6, berarti 6. Data Staf Sumber Daya Manusia Markas Besar Polri TA. 2012
56
Barito Mulyo Ratmono, Membaca Ulang Kultur Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam)
prosentase aktor Polri yang melakukan pelanggaran sebesar 6,04 % saja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak semua aktor dominan maupun sub ordinat melakukan pelanggaran, tetapi hanya sebagian kecil saja. Namun demikian mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kultur Polri yang masih belum baik.
mikro, makro atau keduanya. Mendasari penjelasan dari Burns, Touraine, dan Giddens, maka letak permasalahannya bukan pada angka 6,04 % dari 385.638 orang aktor Polri yang melakukan pelanggaran menjadi penyebab munculnya image negatif terhadap kultur Polri. Letak permasalahannya adalah sejumlah 6,04% ternyata telah Merupakan kajian menarik ketika berubah dari sekedar aktor yang masyarakat kemudian melakukan melakukan pelanggaran menjadi agensijustifikasi bahwa kultur Polri masih agensi yang dapat mempengaruhi dianggap belum baik hingga saat ini, struktur makro yaitu kultur Polri. hanya berdasarkan masih ditemukannya Jadi 6,04 % aktor Polri telah sekitar 6,04 % saja aktor Polri yang telah memproduksi gagasan dan tindakan melakukan pelanggaran. Fenomena cara yang menyimpang. Atas produksi pandang masyarakat yang demikian tindakannya kemudian mereka dapat dijelaskan dari sudut pandang mereproduksi struktur sosial yaitu teori strukturasi, khususnya ketika kita berupa kultur yang tidak sesuai mencoba mengkaji tentang posisi aktor dengan nilai, norma, dan simbolisasi dalam sebuah bentukan struktur. Burns normatif Polri. Dengan kata lain bahwa (1986:9) menganggap bahwa “agen reproduksi struktur sosial berupa kultur manusia mencakup individu maupun Polri yang tidak baik akibat dari tindakan kelompok terorganisasi, organisasi dan para aktor dimaksud. Oleh karena bangsa”. Sedangkan Touraine (1977) itu kembali ditegaskan bahwa 6,04 % yang memusatkan perhatian pada aktor Polri telah berubah menjadi 6,04 kelas sosial dalam Ritzer (2010:568) % agensi yang dapat mempengaruhi menyebutkan bahwa: bentukan struktur berupa kultur Polri “jika kita menerima kolektivitas- yang normatif menjadi kultur yang kolektivitas tersebut sebagai agen, tidak baik. kita tidak dapat menyatakan agensi dengan fenomena level mikro. Selain itu, kalau struktur biasanya merujuk pada struktur sosial skala besar, ia pun dapat merujuk pada struktur mikro seperti mereka yang terlibat dalam interaksi manusia”.
Giddens (1984) menyebut agensi ini sebagai agen atau aktor aktif. Mereka aktif karena memiliki potensi berupa kekuasaan atau pengetahuan. Mereka kemudian aktif membentuk struktur. Oleh karena itu Polri jangan melihat angka 6,04 % sebagai angka yang kecil Giddens (1979:66) mempertegas dari 385.638 aktor Polri yang ada saat posisi aktor dalam hubungan struktur ini. Angka 6,04 % merupakan agensi mikro dan makro dimana ia melibatkan atau agen-agen aktif yang terus menerus reproduksi hubungan antar aktor atau dapat mereproduksi struktur berupa kolektivitas. Jadi agensi dan struktur kultur Polri yang tidak baik. Agensidapat merujuk pada fenomena level agensi ini dapat dimetaforakan seperti 57
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
barang yang “tidak sempurna” untuk digunakan lagi.
menyimpang yang telah dilakukannya. Salah satu contoh tindakan aktor yang melakukan pelanggaran melalui kesadaran diskursifnya adalah seorang anggota polisi lalu lintas yang sengaja melakukan negosiasi terhadap masyarakat pelanggar lalu lintas untuk memperoleh sejumlah uang. Aktor ini beralasan bahwa tindakannya meminta sejumlah uang dari masyarakat yang terkena pelanggaran lalu lintas bukan untuk dirinya tapi untuk menambah biaya perawatan kendaraan dinasnya yang tidak terdukung penuh dari anggaran Polri. Jadi aktor polisi lalu lintas meyakini dan berusaha melakukan pembenaran bahwa tindakannya untuk melanggar adalah benar karena demi mendukung tugasnya sebagai seorang anggota Polri. Terlepas dari benar atau tidaknya bahwa dukungan anggaran Polri terbatas, yang menjadi fokus pengkajian adalah aktor ini secara sadar melakukan penyimpangan dan pembenaran yang pada kondisi tertentu meyakini bahwa tindakannya adalah benar. Hal ini berarti akan menyangkut keyakinan-keyakinan seorang aktor terhadap gagasan dan tindakan yang dilakukannya. Jika menyangkut keyakinan, maka akan terhubung dengan konstruksi sebuah ideologi pada diri seorang aktor. Keyakinan yang berulang terus menerus akan mengkonstruksi sebuah ideologi yang akan sulit untuk dilakukan perubahan.
Ada dua pilihan terhadap kondisi tersebut, yaitu tidak digunakan sama sekali atau dilakukan reproduksi di pabrik aktor Polri. Pilihan untuk tidak menggunakan sama sekali merupakan pilihan terakhir. Pilihan yang terbaik adalah melakukan reproduksi ulang terhadap agensi-agensi dimaksud agar mereka menjadi aktor Polri yang baru, yaitu aktor Polri yang memiliki gagasan dan tindakan sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri. Memang tidak ada satupun yang dapat menjamin bahwa upaya tersebut akan berhasil merubah gagasan dan tindakan para aktor yang telah melakukan pelanggaran untuk menjadi baik. Hal ini dikarenakan menyangkut tingkat kesadaran mereka dalam memunculkan gagasan dan tindakan sosial berupa pelanggaran selama ini. Menurut Giddens ada 3 (tiga) tingkatan kesadaran aktor, yaitu: kesadaran diskursif (discursive consciousness), kesadaran praktis (practical consciousness), dan motif atau kognisi tak sadar (unconscious motives/ cognition). Jika aktor yang melakukan pelanggaran berada pada kondisi kesadaran diskursif, maka akan sulit untuk melakukan perubahan terhadap gagasan dan tindakannya yang menyimpang. Sebab mereka sengaja memunculkan gagasan untuk melakukan penyimpangan dan diaktualisasikan dalam praktik-praktik kepolisian sehari-hari. Bahkan ada sebagian aktor dimaksud, kemudian melakukan pembenaran-pembenaran terhadap gagasan dan tindakan
Aktor yang melakukan pelanggaran pada kondisi kesadaran praktis dan kognisi tidak sadar, tidak terlalu sulit untuk diubah gagasan dan tindakannya agar sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri. Sebab mereka melakukan pelanggaran secara
58
Barito Mulyo Ratmono, Membaca Ulang Kultur Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam)
tidak disengaja atau mereka hanya menjadi bagian dari sebuah struktur penyimpangan. Dalam bahasa yang sederhana adalah mereka “terpaksa” melakukan pelanggaran. Memperbaki gagasan dan tindakan aktor yang melakukan pelanggaran pada kedua kondisi kesadaran ini akan semakin mudah ketika organisasi memiliki komitmen kuat untuk meniadakan struktur penyimpangan yang ada di dalamnya. Dengan demikian di dalam organisasi Polri tidak ada satu arenapun yang dapat dimainkan oleh para aktor Polri untuk melakukan pelanggaran atau penyimpangan yang dapat mempengaruhi tampilan kulturnya di tengah masyarakat.
aktor Polri, mereka dan penulis juga termasuk di dalamnya adalah seorang manusia juga, yang memiliki rasa dan punya hati. Rasa dan hati merupakan ruang-ruang psikologis dimana seorang manusia normal menempatkan segala keinginannya. Dari perspektif teori strukturasi Giddens, maka keinginankeinginan aktor identik dengan motivasi aktor untuk memunculkan gagasan dan melakukan suatu praktik-praktik sosial tertentu. Giddens dalam Ritzer (2010:570) menyebutkan bahwa: “Aktor pun memiliki motivasi untuk bertindak, dan motivasi-motivasi ini melibatkan keinginan dan hasrat yang mengubah tindakan. Jadi kalau rasionalisasi dan refleksifitas terusmenerus dilibatkan dalam tindakan, motivasi lebih tepat bila dipahami sebagai potensi untuk bertindak”.
Patut diingat bahwa aktor yang telah berubah menjadi agensi dengan kesadarannya membentuk, mempertahankan atau mengubah struktur tentu memiliki kuasa. Tanpa kuasa maka aktor tidak dapat berubah menjadi agensi dan memperjuangkan gagasan serta melakukan tindakan untuk membentuk, mempertahankan, atau bahkan mengubah struktur kepentingan. Inilah pentingnya sebuah kuasa dan pengetahuan pada diri agensi. Oleh karena itu kuasa dan pengetahuan yang melekat pada diri agensi harus sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri.
Kutipan lengkap di atas untuk memberikan gambaran bahwa gagasan dan tindakan aktor dalam sebuah relasi sosial selalu didasari atas motivasi. Gagasan dan tindakan akan membentuk sebuah struktur manakala dilakukan secara berulang melintasi ruang dan waktu. Demikian juga dengan sebagian aktor Polri yang memiliki gagasan dan tindakan menyimpang atau melanggar, pasti didasari atas motivasimotivasi. Motivasi ini bisa berasal murni dari dalam diri aktor atau akibat Pertarungan motivasi dalam diri keterpengaruhan dari kondisi sosial oknum aktor Polri dan pembiaran yang ada di sekitar aktor dimana mereka negara: suatu pembelaan melakukan relasi-relasi sosial. Mungkin sebagian dari pembaca masih ingat dengan salah satu penggalan syair lagu yang dinyanyikan oleh kelompok band papan atas di Indonesia yaitu “...rocker juga manusia, punya rasa dan punya hati...”. Sama halnya dengan
Keterpengaruhan lingkungan sosial terhadap kemunculan motivasi seorang aktor Polri tidak dapat diabaikan. Apalagi Polri memang bagian tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimana sebuah komunitas dan relasi 59
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
sosial ada di dalamnya. Apa yang dilihat dan dirasakan ketika aktor Polri melaksanakan tugasnya di tengah masyarakat pasti akan mempengaruhi motivasi dirinya dalam praktik-praktik kepolisian di tengah masyarakat.
“...agensi terdiri dari peristiwa yang di dalamnya individu bertanggung jawab atas peristiwa tersebut...peristiwa tidak akan terjadi jika saja individu tidak melakukan intervensi”. Jadi agensiagensi dalam struktur kultur Polri yang negatif, berawal dari adanya motivasi dalam diri seorang aktor Polri.
Negara secara bertahap sudah berupaya menaikkan penghasilan anggota Polri. Namun kenaikan yang diupayakan tidak dapat mengimbangi rasio kenaikan standar kehidupan ekonomi yang ada di tengah masyarakat. Negara melalui Undangundang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, justru memberikan kewenangan yang sangat besar kepada Polri. Dengan demikian aktor-aktor Polri ini berada pada kondisi satu sisi tidak memiliki kecukupan penghasilan, namun di sisi lain memiliki kewenangan yang cukup besar. Adanya disparitas kondisi ini kemudian memunculkan motivasi sebagian aktor menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya untuk memenuhi kekurangan kebutuhan hidup mereka. Tidaklah salah apabila dikatakan, negara seakan memberikan ruang-ruang kepada sebagian aktor Polri untuk dapat melakukan pelanggaran atau penyimpangan.
Tentu ada yang kemudian mendebat, bagaimana dengan aktor Polri yang dalam kondisi sama yaitu kekurangan dalam hal penghasilan dan memiliki jabatan strategis serta kewenangan besar, namun tidak melakukan penyimpangan. Penjelasannya adalah bahwa di antara keduanya sebenarnya memiliki motivasi yang sama, yaitu sebagai manusia normal memiliki keinginan untuk dapat mencukupi kebutuhan dasar hidupnya dan bila perlu dapat menyimpan lebih. Letak perbedaannya adalah aktor Polri yang melakukan pelanggaran tidak mampu meredam motivasinya sehingga teraktualisasi menjadi gagasan dan tindakan yang menyimpang, sedangkan aktor Polri lainnya mampu meredam motivasinya. Telah terjadi semacam pertarungan motivasi di dalam diri seorang agensi Polri. Ketika yang menang adalah motivasi untuk melakukan penyimpangan, maka ia akan berwujud menjadi seorang agensi yang memberi pengaruh negatif terhadap tampilan kultur Polri, sedangkan jika yang memenangkan pertarungan adalah motivasi yang baik maka akan lahir agensi-agensi yang sesuai dengan kultur normatif Polri. Oleh karena itu penting untuk tetap menjaga agar aktor-aktor Polri tetap memiliki motivasi yang baik, meskipun sedemikian besar pengaruh
Motivasi yang muncul dari perbedaan dua kondisi kemudian memunculkan gagasan dan tindakan aktor untuk menyalahgunakan jabatan dan kewenangan yang dimilikinya untuk memperkecil disparitas dimaksud. Kemunculan gagasan dan tindakan sebagian aktor tersebut merupakan titik awal transisi seorang aktor berubah menjadi agensi yang membawa pengaruh negatif terhadap pembentukan struktur berupa kultur Polri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Giddens (1984:9) bahwa:
60
Barito Mulyo Ratmono, Membaca Ulang Kultur Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam)
dari luar organisasi Polri. Kesimpulan Membaca ulang kultur Polri dalam sebuah tinjauan kritis memiliki makna menjelaskan kembali secara kritis tentang proses pembentukan kultur Polri saat ini dan mengungkapkan berbagai fenomena sosial yang menjadi penghambat dalam melakukan perubahan terhadap kultur Polri. Serangkaian penelitian dan kajian yang telah dilakukan memunculkan kesimpulan bahwa sulitnya melakukan perubahan terhadap kultur Polri saat ini dikarenakan (1) konstruksi kultur organisasi tidak dilaksanakan dengan baik di lembaga pendidikan pembentukan Polri; (2) adanya proses hegemoni dalam kultur Polri yang telah memunculkan gagasan dan tindakan sebagian aktor Polri namun tidak sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri; dan (3) adanya pertarungan kepentingan dari kelompok yang berkuasa untuk mempertahankan status quo. Ketiganya dilakukan terusmenerus melintasi ruang dan waktu oleh sebagian aktor Polri sehingga mereproduksi kultur Polri yang negatif. Dengan demikian jika Polri ingin melakukan perubahan terhadap kultur organisasinya yang sudah terlanjur terstigma oleh masyarakat, maka harus dilakukan melalui tiga tahap. Pertama, nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri harus dikonstruksikan dengan baik di lembaga pendidikan pembentukan aktor Polri seperti Akpol dan SPN. Kedua, meniadakan dominasi-dominasi kekuasaan absolut yang tidak dapat dikontrol dalam relasi antar aktor kepolisian dan antar aktor 61
kepolisian dengan aktor eksternal di luar Polri. Ketiga, kelas dominan dalam hal ini adalah para pemimpin Polri pada setiap level manajerial harus menampilkan gagasan dan praktikpraktik kepolisian sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri sehingga tampilan perilaku dan tindakannya mencerminkan sebagai seorang Bhayangkara yang memiliki kultur normatif.
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, Heru, 2011, Menumbuhkan Ide-ide Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Barker, Chris, 2000 dan ed.2008, Cultural Studies, Theory and Practice. London: Sage Publications
Peraturan Kapolri Nomor 4 tahun 2010 tentang Sistem Pendidikan Polri
Burns, Tom R, 1986, “actors, Transactions, and Social Structure: An introduction to social Rule System Theory dalam U. Himmelstrand (ed.), Sociology: The Aftermath of Crisis. London: Sage
Ritzer, George and Goodman, Douglas J., 2004, Sociological Theory. New York: Macgraw Hill
Denzin, Norman K. and Lincoln, Yvonna S., 2000, Handbook of Qualititative Research. California: Sage Publication Inc
Williams, Raymond, 1981, Culture. London: Fontana
Simon, Roger, 1982, Gramsci’s Political Thought, An Introduction. London: Lawrence and Wishart
Foucault, 1991, Governmentality. Hemel Hempstead: Harvester Wheatsheaf Giddens, Anthony, 1979, Central Problems in Social Theory. London: Macmillan -----, 1981, Contemporary Critique of Historical Materialism. London: Macmillan -----, 1984, The Constitution of Society. Cambridge: Polity Press -----, ed.2010, Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hardiman, F. Budi, 1993, Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius Herry, B. Priyono, 2003, Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Marx, Karl, 1961, Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social hilosophyI, eds T. Bottomore and M. Rubel. London: Pelican
62
Kurikulum Dan Pendidikan Di Indonesia: Proses Mencari Arah Pendidikan Yang Ideal Di Indonesia Atau Hegemoni Kepentingan Penguasa Semata? Dedi Ilham Perdana
Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menguak bagaimana problematika perubahan kurikulum dan pendidikan yang terjadi di Indonesia dari masa ke masa serta pengaruhnya pada masyarakat sekaligus memetakan berbagai isu terkait kurikulum baru 2013 serta dampaknya bagi dunia pendidikan saat ini. Hegemoni yang dilakukan pemerintah terkait perubahan kurikulum 2013 akan menjadi isu sentral dalam artikel ini sekaligus menganalisanya melalui pemikiran Antonio Gramsci. Abstract This purpose of the article is to uncover the problematic changes that happens in the curriculum and education in Indonesia and its impact on society, as well as mapping various issues related to new curriculum 2013 and its implications for recent education. Hegemony conducted by government related to 2013 curriculum will be the central issue in this article, the author will analyzed using Antonio Gramsci is concept of hegemony. Kata Kunci: Pendidikan; Kurikulum 2013; Perubahan; Hegemoni A. PENDAHULUAN Masyarakat Indonesia telah sejak lama mengenal tentang kurikulum dan sangat fasih dengan berbagai perubahan yang telah dialami oleh kurikulum itu sendiri. Masyarakat awam di Indonesia juga telah mengenal istilah CBSA (cara belajar siswa aktif), KBK (kurikulum berbasis kompetensi), serta KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) bahkan saat ini muncul kurikulum 2013 yang sudah mulai bergulir di beberapa sekolah baik negeri maupun swasta sekitar 6400-an sekolah yang sudah menjalankan kurikulum baru 63
tersebut, tutur Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh (Ella, 2013), sehingga seringkali muncul anggapan dari beberapa pihak anekdot berupa ganti menteri, ganti kurikulum seperti yang dilontarkan oleh pemerhati pendidikan dari Universitas Gajah Mada (UGM) Slamet Sutrisno, bahwa tiap ada pergantian menteri selalu membawa paket baru dalam masa kepemimpinannya (Maf, 2013). Sentimen tersebut semakin memperkuat argumen masyarakat bahwa tiap kali ada pergantian kabinet selalu memunculkan polemik baru
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
di kalangan insan pendidikan dan masyarakat umum, selalu terjadi transisi budaya yang dibawa tiap kali ada perubahan kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah yang menjabat saat itu.
sasaran yang akan dicapai juga jelas (Allen, 2006). Seperti kecemasan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), menurut FSGI, rendahnya kualitas pengetahuan instruktur nasional sebagai pelatih inti guruguru yang dipersiapkan menjalankan kurikulum 2013 akan menjadi batu sandungan ketika kurikulum baru tersebut harus dijalankan di sebuah institusi pendidikan. (Fat, 2013). Produktifitas dan kinerja guru masih dibawah rata-rata negara ASEAN, bahkan menurut indeks saat ini Indonesia masih tertinggal dari Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke-34. Brunei Darussalam masuk kelompok pencapaian tinggi bersama Jepang, yang mencapai posisi nomor satu Asia. Adapun Malaysia berada di peringkat ke-65 atau masih dalam kategori kelompok pencapaian medium seperti halnya Indonesia. Meskipun demikian posisi Indonesia saat ini masih jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109). Hal ini sangat kontraproduktif dengan kemauan pemerintah untuk melakukan implementasi kebijakan perubahan kurikulum 2013 yang sengaja ditujukan untuk meningkatkan daya saing siswa dengan siswa yang berada di luar negeri . Tentunya harus dilihat secara mendalam, pernyataan Menteri Nuh terkait wacana kurikulum 2013 untuk mengejar ketertinggalan dengan negara tetangga, dengan ketidakmerataan fasilitas pendidikan di daerah-daerah, nampaknya hal tersebut sangat mungkin untuk ditolak, karena memang jika mengacu pada kecemasan FPGI diatas, tentunya kurikulum 2013 tidak bisa dijalankan dengan baik oleh elemen pendidikan di Indonesia secara
Situasi ini selalu menjadi problematika tersendiri bagi pelaku pendidikan di dalamnya yang terkait dengan perubahan setiap kurikulum yang terjadi, elemen seperti guru dan siswa contohnya, menjadi korban akan perubahan tersebut. Ritus yang selalu terjadi tatkala ada pergantian kurikulum ternyata membawa dampak sistemik pada gairah pembelajaran di Indonesia. Dari beberapa kasus perubahan kurikulum yang tersaji di Indonesia dalam beberapa dekade ini, terlihat adanya ketidakpuasan dari berbagai pihak, beban siswa dan beban guru yang menjadi bagian instrumen pendidikan merasakan bagaimana kebijakan perubahan kurikulum tersebut tersaji di hadapan mereka saat ini. Romo Benny Susetyo menjelaskan bahwa ada beban tersendiri bagi siswa dan guru apabila muncul kurikulum terbaru di tahun 2013, menurutnya perubahan kurikulum kali ini justru akan menambah beban peserta didik. Pasalnya, integrasi mata pelajaran dengan tema atau mata pelajaran lain ini membuat materi yang diajarkan menjadi bias sehingga butuh penjelasan lebih lanjut. (Damanik, 2013). Polemik ini semakin bergulir panas di tengah kecemasan masyarakat bahwa akan terjadi perombakan besar dalam metode belajar dan nantinya hasil yang dicapai akan sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya. Dibutuhkan sosialisasi khusus dalam hal pembaruan kurikulum, agar
64
Dedi Ilham Perdana, Kurikulum dan Pendidikan di Indonesia: Proses Mencari Arah Pendidikan yang Ideal di Indonesia atau Hegemoni Kepentingan Penguasa Semata?
luas, hanya sebagian daerah saja yang acuan pengalaman pembelajaran siswa, siap yang tentunya fasilitas penunjang diperlihatkan dalam pembentukan kurikulum memadai pula. tujuan, rencana, dan rancangan untuk Perlu dicermati bersama bahwa pembelajaran dan pengimplementasian perubahan kurikulum tentunya dari rencana-rencana tersebut dan mengarah pada keberadaan pihak rancangan dalam lingkungan sekolah. Nasution menjelaskan ketiga yang melatar belakangi Sementara adanya perubahan kurikulum agar bahwa kurikulum adalah suatu rencana tujuan ekonomis berjalan lancar dan yang disusun untuk melancarkan pengatasnamaan pendidikan untuk proses belajar dan mengajar di bawah memajukan bangsa dapat menjadi bimbingan dan tanggung jawab sekolah jargon ampuh dalam setiap tindakan atau lembaga pendidikan beserta staf pengambilan keputusan perubahan pengajarnya. kurikulum. Eko Prasetyo, menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia yang selalu berganti-ganti arah (diwujudkan dengan pergantian kurikulum) hanya menguntungkan segelintir pihak saja, yakni, penguasa saat itu, korporasi dan pihak luar negeri melalui Bank Dunia (Prasetyo, 2006), selain itu Kompas memberitakan kebocoran dana pada pihak seperti penerbit buku akan menjadi taruhan lain dari perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia (dalam Prasetyo, 2006). Fenomena tersebut akan terus terjadi apabila tidak ada komitmen dan landasan berpikir yang jelas tentang arah futuristik model pendidikan di Indonesia.
Dari definisi kurikulum diatas, kurikulum berarti sebuah cara yang dipilih untuk memantapkan model pembelajaran untuk proses belajar dan mengajar, tentunya cara yang disebutkan harus punya landasan yang sesuai dengan kepribadian suatu budaya contohnya dalam konteks Indonesia, kurikulum harus memperhatikan kebutuhan mendasar dari masyarakat yang akan mengkonsumsi pendidikan sesuai amanat undang-undang dasar 1945. Pendidikan sesungguhnya salah satu cara yang paling pokok dalam memajukan generasi sehingga pantaslah dalam Pembukaan UUD 1945 termaktub dengan tegas menyebutkan: 1. Mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukankesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
B. Mengenal Kurikulum dan Pendidikan di Indonesia Malcolm Skillbeck (dalam Print, 1993) mengatakan bahwa curriculum will be used to refer to the learning experiences of students, in so far as they are expressed on anticipated in goal and objectives, plans and design for learning and the implementation of these plans and design in school environments. Dalam hal ini menurut Skillbeck kurikulum digunakan untuk
2. Mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem 65
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undangundang.
hidup dalam kategoti ekonomi yang tidak berdaya. Kalaupun ada ternyata sekolahsekolah atau lembaga Pendidikan yang dibangun dipinggiran kota dan pedesaan itu malah menjadi semacam menara gading yang sedap dipandang mata namun tidak terjangkau, hanya menjadi khayalan bagi anak-anak desa itu. Problemanya disitu, sekolahsekolah yang berada didesa-desa itu sama kumuhnya dengan kehidupan Masyarakat pedesaan. Seolah-olah kondisi itu adalah ciri khas dari Ideologi Pendidikan Nasional kita sehingga akhirnya banyak orang yang menghalalkan idiom pendidikan itu mahal, kalau mau bermutu ya bayar mahal. Rakyat yang kurang beruntung terperangkap kedalam penjara kemiskinan struktural. Pemerataan pendidikan tidak cukup diartikan hanya membangun gedung-gedung sekolah standard saja, tanpa memperhatikan kelengkapan fasilitas yang mendukung tercapainya misi pendidikan dalam merubah kehidupan yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.
3. Bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Demikian tegasnya Amanat UUD 1945 itu sehingga kita juga patut mempertanyakan hingga dimana kewajiban itu ditaati dan dilaksanakan Pemerintah. Pertanyaan itu tentu saja timbul karena didorong oleh fakta yang sangat memperihatinkan termasuk soal mahalnya biaya pendidikan dan tidak adanya jaminan tentang keberhasilan pendidikan yang diselenggarakan dalam mengubah keadaan hidup seseorang secara lebih baik ketimbang sebelumnya. Pendidikan yang terselenggarakan ternyata sangat tidak adil atau diskriminatif, lihat saja sekolahsekolah atau lembaga pendidikan yang diselenggarakan dilokasi pinggiran kota apalagi pedesaan. Padahal mereka yang didesa dan dikota sama kedudukannya dimata UUD 1945 atas nama Warga Negara. Seharusnya justru mereka yang tinggal dipinggiran kota dan pedesaan itu menjadi fokus mengingat mereka
Kebijaksanaan dalam pelaksanaan program pendidikan harus seutuhnya menyentuh persoalan kemanusiaan yang tidak bersifat diskriminatif dari sudut manapun juga. Pendidikan mestinya mampu menjawab semua persoalan hidup masyarakat, baik ekonomi, sosial, budaya dan karakter. Jika masyarakat yang miskin lebih banyak dibanding masyarakat yang kaya maka jelas program pendidikan kita tidak berhasil. Program pendidikan yang dimaksud tidak hanya sekedar soal beasiswa, soal gedung, soal BOS, soal gelar tetapi menyeluruh termasuk
66
Dedi Ilham Perdana, Kurikulum dan Pendidikan di Indonesia: Proses Mencari Arah Pendidikan yang Ideal di Indonesia atau Hegemoni Kepentingan Penguasa Semata?
jaminan pendidikan terhadap hasil kehidupan yang jauh lebih makmur
dengan serangkaian tematik tentang bagaimana seharusnya bersikap seperti manusia di Indonesia. Dalam hal ini, dia mencontohkan bagaimana kekerasan simbolis yang sah , dimana pelajaran wajib ilmu pengetahuan sosial untuk kelas tiga sampai kelas enam bertujuan menanamkan pengetahuan dasar dan ketrampilan yang akan berguna bagi siswa di kehidupan sehari-hari (Mulder, 2007). Dalam segi ini, mata pelajaran di Indonesia telah dicetak dengan kepentingan untuk mendisiplinkan karakter dari masyarakat Indonesia sehingga mampu membantu penguasa yang ada di Indonesia untuk mewujudkan keinginan dari kepribadian penguasa lewat teks bacaan semenjak sekolah dasar. Mulder menjelaskan bahwa, memang ideologi nasional lambat laun akan diajarkan secara lebih baik ketika kelas yang dicapai semakin tinggi, yang artinya semakin seorang murid naik kelas, maka dia akan mendapatkan penjelasan yang konkret bagaimana sebagai warga negara dia harus bertindak. Sebagai contoh, pada saat pelajaran kelas tiga SD akan diajarkan bagaimana seorang keluarga memiliki ayah dan ibu, ayah bekerja di luar rumah, sedangkan ibu bekerja di wilayah domestik rumah, semakin menanjak pada kelas empat SD, kita menemukan bahwa semakin menarik topik bahasan yang ditemukan, dimana ada pembelajaran tentang koordinat dan peta yang mengajarkan letakdan psosisi geografis Indonesia secara jelas, menginjak pada kelas lima SD, kita melihat biasnya pembelajaran metodis digantikan dengan ideologi nasional yang dibarengi dengan sejarah pergerakn bangsa (Mulder, 2007).
C. Problematika Pendidikan di Indonesia Pesimisme berbagai pihak terkait arah pendidikan saat ini, ternyata tak mampu untuk merubah kemantapan hati pemerintah untuk tetap menjalankan kurikulum yang belum tentu bisa diterima oleh semua kalangan di Indonesia. kurikulum saat ini berupaya mengarahkan siswa untuk menuju kapitalisasi pendidikan, problematika pendidikan di Indonesia menjadi sangat tersimpilifikasi menjadi hanya permasalahan kurikulum, dan bukan hanya polemik terkait kemampuan adaptif manusia Indonesia, latar belakang sosial para murid, dan seabrek permasalahan yang sistemik yang justru lebih urgent untuk dipahami oleh pemangku kepentingan pendidikan. Kelompok elite di dunia pendidikan Indonesia merasa yang paling berkepentingan terhadap pendidikan, mencoba untuk merepresentasi pemikirannya menjadi pembentuk wacana publik atas kepentingan penguasa saja (McLaren, 2000). Dalam artian ini, McLaren menjelaskan bahwa kelas penguasa, lebih memiliki ruang gerak bebas untuk mengarahkan arah pendidikan di Indonesia ke depan bagaimana, karena kelas penguasa, punya sarana untuk menguasai wacana publik di masyarakat. Upaya mendorong wacana publik dari kelas penguasa telah hadir di tengah masyarakat melalui kurikulum yang ada. Seperti yang dijelaskan Niels Mulder bahwa ada upaya mengarahkan wacana publik massa di Indonesia
Tentunya 67
dari
pelbagai
kasus
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
tentang pelajaran di Indonesia hanya mengarah pada kelas penguasa yang ingin menanamkan kepatuhan pada generasi mudanya sehingga buta akan sejarah yang sebenanya terjadi di Indonesia, dan tentunya akan membutakan semua generasi yang akan lahir di bumi Indonesia ke depan. Eko Prasetyo menjelaskan tentang kaitannya pelajaran sejarah di buku teks pelajaran di Indonesia rentan akan kaburnya makna nyata sejarah itu sendiri, pelajaran yang ada di sejarah terlalu membahas tentang mistisisme dan legenda daripada mengajarkan tentang teori dan landasan berpikir, alih-alih bercerita tentang faktual sejarah, malahan lebih menitikberatkan pada kekayaan dongeng masa lalu (Prasetyo, 2006))
pendidikan dan kapitalisme dan ilmu pengetahuan telah menciptakan fondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nilai korporasi dengan mengorbankan nilainilai keadilan sosial dan martabat kemanusiaan. Kompleksitas pendidikan di Indonesia menjadi lahan empuk bagi sebagian pihak untuk mewacanakan adanya perubahan kurikulum 2013 menjadi obat bagi sistem pendidikan di Indonesia saat ini. Pendidik serta murid menjadi sarana malpraktekakan hal ini. Belum tuntas wacana tentang sertifikasi guru, muncul masalah dengan adanya ujian nasional dan kesalahan cetak buku penunjang bagi siswa. Adanya konvensi ujian nasional, menyiratkan banyak pihak, bahwa konvensi ujian nasional sebagai alat legitimasi pihak yang terkait dengan ujian nasional agar bisa merangkul semua pihak yang tak sepaham dengan wacana bergulirnya ujian nasional, alih-alih mengakomodir tuntutan banyak pihak yang memprotesnya, konvensi tersebut dijadikan sebagai ajang merumuskan kebijakan ujian nasional ke depan. Sejumlah guru dan pegiat pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Reformasi Pendidikan mengambil langkah ekstrim saat pembukaan Konvensi Ujian Nasional yang digelar Kementerian Pendidikan Nasional.
Kurikulum diciptakan untuk menjadi sarana perubahan masyarakat menjadi lebih baik, dengan mengesampingkan banyaknya masalah yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, dan masyarakat menganggap itu sebagai norma yang wajar. McLaren, sebagaimana yang dikutip Barton (dalam Nuryatno, 2001), mengemukakan tiga dampak kapitalisme terhadap pendidikan: 1. Hubungan antara kapitalisme dan pendidikan urban telah menyebabkan praktek-praktek sekolah yang lebih mendukung kontrol ekonomi oleh kelas-kelas elit.
Menurut Retno Listyarti, pelaksanaan Ujian Nasional sangat dipaksakan oleh pemerintah. UN juga dinilai gagal mewujudkan kesetaraan kualitas pendidikan seperti yang disampaikan. Ujian Nasional justru dinilai menjadi ajang pembodohan bagi siswa. Koalisi kata Retno menilai, penilaian akhir
2. Hubungan antara kapitalisme dan ilmu pengetahuan telah mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan yang hanya bertujuan mendapatkan profit material dibanding untuk menciptakan kehidupan global yang lebih baik. 3. Perkawinan antara kapitalisme dan 68
Dedi Ilham Perdana, Kurikulum dan Pendidikan di Indonesia: Proses Mencari Arah Pendidikan yang Ideal di Indonesia atau Hegemoni Kepentingan Penguasa Semata?
terhadap kelulusan siswa seharusnya ditetapkan oleh sekolah dan bukan melalui standar angka-angka yang ditetapkan pemerintah. Sebelumnya koalisi berharap konvensi menjadi ajang konsensus bagi guru, dinas pendidikan, akademisi, dan pemerhati untuk merumuskan apakah UN bisa dilanjutkan atau tidak. Kenyataannya, konvensi hanya untuk menggiring peserta menyetujui pelaksanaan UN. (Sufa, 2013). Lebih lanjut terkait pada fokus kurikulum 2013 di berbagai daerah, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memantau pelatihan guru dan persiapan implementasi Kurikulum 2013 di 17 kabupaten/kota dari 10 provinsi di Tanah Air. Hasilnya, kegagalan sistemik pelatihan guru dan sejumlah masalah krusial implementasi Kurikulum 2013 ditemukan. Pelatihan hanya berlangsung searah dan mengedepankan ceramah. FSGI menilai ini akan berdampak pada kegagalan mengubah paradigma guru dalam pembelajaran. Ini akan menjadi sumber kegagalan implementasi Kurikulum 2013. Harus diingat substansi perubahan dari Kurikulum 2006 ke 2013 adalah perubahan proses pembelajaran. Dari pola guru menulis di papan tulis lalu murid mencatat atau guru menerangkan murid mendengar menjadi pola yang mengedepankan murid pengamatan, bertanya, mencoba, dan mengeksplorasi. Pola itu hanya mungkin terwujud bila mindset guru telah berubah. Hal ini bukan perkara mudah. Mengubah mindset guru menjadi pekerjaan rumah untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Perubahan mindset guru tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, butuh waktu bertahuntahun. Padahal Kurikulum 2013 akan
dilaksanakan dalam waktu secepatnya. Perubahan itu dilakukan dengan mendorong guru untuk terus belajar. Dalam pelatihan guru, sekolah kesulitan menentukan guru yang akan pelatihan. Lantaran hanya satu hingga dua guru yang diminta. Ketika guru bahasa Indonesia dan bahasa Inggris digabung, ternyata terjadi diskriminasi. Mulai dari tempat menginap sampai keterlambatan menerima soal pretest. Di Sumenep malah tidak terdengar hingar bingar Kurikulum 2013. Tidak ada sosialisasi dan penunjukkan sekolah yang menerapkan. Problem teknis, adanya pelajaran yang hilang dan bertambah jamnya sehingga membingungkan pihak sekolah karena berimplikasi pada nasib guru. Di antaranya penghapusan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komputer (TIK) di SMP dan SMA. Selain itu, dalam Kurikulum 2013 tidak ada pedoman penjurusan atau minat di tingkat SMA. Tidak ada pula sosialisasi kepada kepala program keahlian di SMK. Ini membingungkan pihak sekolah, guru, dan murid tentunya. (Khaddaf, 2013). Dengan banyaknya permasalahan tentang kurikulum dan hal terkait pendidikan di Indonesia, tentunya masyarakat Indonesia mempertanyakan arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah, apakah untuk kalangan tertentu yang akan mengambil keuntungan atas kebijakan perubahan itu, atau memang untuk kemajuan di bidang pendidikan Indonesia?
69
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
D. Membaca Arah Pendidikan di Indonesia di Kurikulum 2013: Hegemoni Pemerintah Terhadap Dunia Pendidikan
guru. Pengalaman pada pelaksanaan pelatihan instruktur nasional, guru inti, dan guru sasaran untuk implementasi Kurikulum 2013, misalnya, banyak pendekatan pelatihan yang harus disesuaikan, baik menyangkut materi pelatihan maupun model dan pola pelatihan. Momentum Kurikulum 2013 adalah hal yang tepat untuk melakukan penataan terhadap pola pelatihan guru termasuk penjenjangan terhadap karir guru dan kepangkatannya. Ke depan, sedang disiapkan konsep yang terintegrasi antara jenjang karier dan kepangkatan dengan penilaian profesi guru. Selama ini keduanya terpisah. Keempat, memperkuat budaya sekolah melalui pengintegrasian kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler, serta penguatan peran guru bimbingan dan konseling (BK).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kurikulum 2013 mengedepankan integralisasi mata pelajaran dan tidak ada lagi model mata pelajaran yang terpisah-pisah, menjadikan guru mata pelajaran tertentu akan semakin kehilangan taji dalam mengajar, karena di tiap kesempatan mengajar, seorang guru mata pelajaran tertentu harus memasukkan unsur mata pelajaran yang lain ke dalam pelajaran yang akan diajarkannya, ini sangat bertentangan dengan paham dirinya selama ini. Sedikitnya ada enam perubahan yang terjadi pada kurikulum 2013 dengan kurikulum yang lama, Pertama, terkait dengan penataan sistem perbukuan. Lazim berlaku selama ini buku ditentukan oleh penerbit baik terkait dengan isi. Menyangkut isi, karena keterbatasan wawasan dan kepekaan para penulis, kegaduhan terhadap isi buku pun sering terjadi. Kejadian terakhir di Kabupaten Bogor pada buku Pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas 6 SD (Cerita porno, dan lain sebagainya). Penataan sistem perbukuan dalam implementasi Kurikulum 2013 dikelola oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan dan substansinya diarahkan oleh tim pengarah dan pengembang kurikulum. Tujuannya agar isi dapat dikendalikan dan kualitas lebih baik. Selain itu, harga bisa ditekan lebih wajar.
Kelima, terkait dengan memperkuat NKRI. Melalui kegiatan ekstrakurikuler kepramukaanlah, peserta didik diharapkan mendapat porsi tambahan pendidikan karakter, baik menyangkut nilai-nilai kebangsaan, keagamaan, toleransi dan lainnya. Keenam, ini juga masih terkait dengan hal kelima, memperkuat integrasi pengetahuanbahasa-budaya. Pada Kurikulum 2013, peran bahasa Indonesia menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik, sehingga bahasa berkedudukan sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain.
Kandungan materi mata pelajaran Kedua, penataan Lembaga Pendidik lain dijadikan sebagai konteks dalam Tenaga Kependidikan (LPTK) di dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam penyiapan dan pengadaan guru. Ketiga, pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui penataan terhadap pola pelatihan cara ini, maka pembelajaran bahasa 70
Dedi Ilham Perdana, Kurikulum dan Pendidikan di Indonesia: Proses Mencari Arah Pendidikan yang Ideal di Indonesia atau Hegemoni Kepentingan Penguasa Semata?
Indonesia termasuk kebudayaan, dapat dibuat menjadi kontekstual. Sesuatu yang hilang pada model pembelajaran bahasa Indonesia saat ini. Dari efek domino itulah maka Kurikulum 2013 adalah bagian tidak terpisahkan untuk menata berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara melalui sektor pendidikan. Karena itu, Kurikulum 2013 sesungguhnya bukan kurikulum program kementerian, tetapi kurikulum yang menjadi program pemerintah. (Widhi, 2013).
aktivitas kelompok yang sedang dominan maupun kekuatan-kekuatan progresif (Gramsci, 1971). Rezim pendidikan di Indonesia dalam hal ini mempunyai kekuatan progresif dalam hal kurikulum di kalangan pelajar. Bukti tersebut muncul ketika setiap ada transisi rezim pemerintah yang berganti seperti perubahan kabinet dan presiden, kurikulum yang ada pun turut berganti materi, sehingga memunculkan anomi di dalam wilayah atau bidang pendidikan khususunya pelajar sebagai salah satu Dari enam perubahan tersebut, instrumen pendidikan di Indonesia. tentunya ada muatan kepentingan Bagi Gramsci, apa pun kelompok yang disematkan dalam kurikulum sosialnya kita dapat melihat bahwa 2013 terkait dengan kepentingan terdapat tahapan perkembangan pencitraan karakter bangsa seperti bersama tertentu yang harus mereka yang diungkapkan oleh Kepala Pusat lalui sebelum mereka dapat menjadi Komunikasi Publik Kemendikbud, hegemonik. Mengambil dari Marx, Ibnu Hamad (Widhi, 2013), dari efek persyaratan pertama adalah ekonomi: domino itulah maka Kurikulum 2013 bahwa kekuatan material telah cukup adalah bagian tidak terpisahkan untuk dikembangkan sehingga orang-orang menata berbagai aspek kehidupan di dalamnya mampu memecahkan berbangsa dan bernegara melalui sektor problem-problem sosial yang paling pendidikan. Karena itu, Kurikulum mendesak. Gramsci kemudian berlanjut 2013 sesungguhnya bukan kurikulum menyatakan bahwa terdapat tiga tingkat program kementerian, tetapi kurikulum perkembangan politik yang harus yang menjadi program pemerintah,”. dilalui suatu kelompok sosial agar dapat Dari pernyataan tersebut tentunya, mengembangkan gerakan yang dapat patut kita cermati bahwa ada muatan memulai perubahan.(Patria, 2009) hegemoni penmerintah terhadap Tahap pertama dari ini disebut kurikulum 2013. “korporat-ekonomis”. Seorang Dalam kacamata Hegemoni Gramci, fenomena yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia terkait dengan kurikulum 2013, sarat kepentingan kelas penguasa yakni pemerintah, contohnya, Martin Clark mendefinisikan hegemoni sebagai “cara kelas penguasa mengontrol media dan pendidikan”. Sebagaimana dijelaskan di atas, Gramsci mengacu pada hegemoni untuk menggambarkan
korporatis mungkin adalah apa yang kita pahami sebagai individu yang mengutamakan kepentingannya sendiri. Seseorang berafiliasi dengan tahap korporat-ekonomis sebagai fungsi dari kepentingan pribadinya, menyadari bahwa mereka membutuhkan dukungan orang lain untuk memperoleh keamanan mereka sendiri. Sekolah yang melaksanakan kurikulum 2013
71
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
bisa menjadi contoh dari pengertian ini karena turut mensukseskan kepentingan pemerintah. Dalam istilah ini, kita juga dapat memasukkan kerjasama jangka-pendek antara kapitalis-kapitalis yang sesungguhnya saling berkompetisi satu sama lainnya. Hal yang ditekankan adalah: pada tahap perkembangan historis ini, kelompok yang bersangkutan belum memiliki rasa solidaritas di antara anggotaanggotanya.
halnya mereka. Inilah yang dipikirkan oleh Lenin dan kaum Bolshevik dalam membentuk aliansi dengan kaum tani bahwa hanya dengan membuat revolusi Bolshevik juga menjadi revolusi kaum tani, di mana kaum tani juga melihat itu sebagi revolusi mereka, maka kaum proletariat perkotaan dapat mempertahankan posisi kepemimpinannya. Dalam tiga tahapan tadi, maka dapat dijelaskan motif dasar hegemoni dalam kekuatan progresif penguasa adalah bermuara pada urusan ekonomi. Tak terkecuali di dalam lingkup pendidikan, seperti yang terjadi baru saja di tahun 2013 saja, menurut Wakil Ketua BPK Rizal Djalil (dakwatuna, 2012) menyebutkan bahwa lembaganya menemukan indikasi kerugian negara pada proses pelaksanaan UN 2012 dan 2013 yang besarannya mencapai Rp14 miliar. bisa dipastikan temuan BPK tadi sebagai penanda bahwa ada kepentingan atau motif ekonomi yang terjadi dalam dunia pendidikan yang tentunya yang bertanggung jawab adalah rezim yang saat itu bertugas untuk mengelola bidang pendidikan di Indonesia, muara dari kepentingan ekonomi tersebut adalah hanya untuk kepentingan segelintir pihak. Perihal pergantian kurikulum serta ujian nasional selalu saja terkait dengan alokasi anggaran yang selalu ada dalam setiap jejaknya. Inilah yang menjadi batu pijakan segelintir pihak untuk memanfaatkan posisi di bidang tertentu di instansi pendidikan yang bermain dalam kebijakan anggaran dalam setiap kegiatan pendidikan di Indonesia. Jika kita menelusuri sejarah, kelas kapitalis memegang hegemoninya terutama melalui berbagai bentuk paksaan (koersi), yang berkisar dari penempatan
Dalam tahap kedua, anggota-anggota kelompok mulai menyadari bahwa terdapat wilayah kepentingan yang lebih luas dan bahwa terdapat orang lain yang berbagi kepentingan dengan mereka dan akan terus membagi kepentingankepentingan ini dalam masa depan yang terjangkau. Dalam tahap inilah rasa solidaritas berkembang, tapi hanya berbasiskan kepentingan ekonomi bersama, tidak terdapat pandangan dunia bersama. Solidaritas seperti ini dapat mengarah pada upaya-upaya untuk menggalakkan reformasireformasi di bidang hukum untuk memperbaiki posisi kelompok tersebut dalam sistem yang ada, tapi belum ada kesadaran tentang bagaimana mereka, dan yang lainnya, dapat diuntungkan oleh pembentukan sistem yang baru. Hanya dengan melewati tahap ketiga maka hegemoni dapat terwujud. Dalam tahap ini, anggota-anggota kelompok sosial mulai menyadari kepentingan dan kebutuhan untuk menjangkau melampaui apa yang dapat mereka lakukan dalam konteks kelas-kelas mereka tersendiri. Yang dibutuhkan adalah agar kepentingan mereka turut diusung oleh kelompok-kelompok lainnya yang tersubordinasi seperti
72
Dedi Ilham Perdana, Kurikulum dan Pendidikan di Indonesia: Proses Mencari Arah Pendidikan yang Ideal di Indonesia atau Hegemoni Kepentingan Penguasa Semata?
militer secara langsung hingga bentukbentuk yang lebih halus, contohnya, menggunakan kekuatan ekonomi untuk menyingkirkan lawan politik (dalam masalah pendidikan tentunya, tetap melanggengkan kurikulum 2013 meskipun ada beberapa elemen yang belum siap melaksanakannya karena sumber daya manusia yang belum memadai). Bagi Pemerintah selaku kelas penguasa, tentunya harus memperhatikan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia yang masih rentan terhadap perubahan sosial, khususnya masalah pendidikan, sehingga diharapkan arah pendidikan nasional bukan hanya rencana kabinet seumur jagung, tapi juga masalah keberlangsungan pendidikan, karena porsi jabatan politik sangat berbeda dengan dunia pendidikan, apabila posisi jabatan politik selama lima tahun, tentunya dunia pendidikan tidak hanya berkisar pada hitungan angka tersebut, pastinya harus ada upaya untuk menjembatani segala macam ide yang datang dari masyarakat guna mencegah adanya pertentangan dari masyarakat tentang pendidikan.
selalu berganti sehingga menimbulkan anomali dalam tubuh pendidikan itu sendiri. dominasi tanpa batas itu lantas merajut kepada pihak konglomerasi yang ingin memanfaatkan situasi tersebut demi meraup keuntungan dengan mengirbankan pelaku pendidikan yang menjadi korban atas berubah-ubahnya sistem kebijakan yang ada. Menjadi suatu yang lazim, apabila banyak sekali kesalahan dalam model pendidikan maka yang patut disalahkan adalah sisea yang menjadi siklus korban terakhir dari rezim pendidikan yang ada di Indonesia. padahal nyata dan jelas bahwa pemerintah Indonesia yang berkewajiban atas semua arah kebijakan pendidikan di Indonesia.
E. Kesimpulan
Dalam hal dominasi pendidikan di Indonesia, pemerintah hanya berusaha menghegomoni dari sisi motif ekonomi saja, lewat usaha pengadaan barang dan jasa dalam kegiatan pendidikan, sehingga memunculkan pemborosan anggaran seperti pada pengadaan soal ujian nasional namun tak sejalan dengan prestasi yang ada. Fenomena tersebut seringkali diabaikan oleh pemerintah yang jelas punya ansil besar dalam kemunduran dunia pendidikan di Indonesia.
Melihat banyak sekali problematika dalam pendidikan, kiranya kita dapat melihat proses peneidikan hanya di monopoli oleh pemerintah yang berkuasa, tanpa ada upaya melibatkan pihak luar seperti organisasi non profit atau LSM bahkan pihak-pihak yang konsisten di dunia pendidikan Indonesia. Pemerintah merasa mumpuni untuk meraih prestasi terbaik hanya dengan dominasi kurikulum yang tanpa di sadari tiap pindah orde
Ketidakberimbangan siruasi tersebut merupakan proses hegemoni panjang dari penerintah atas pendidikan di Indonesia. melihat kenyataan seperti itu, menjadi lebih bijak untuk semua pelaku pendidikan di Indonesia khususnya pemerintah berusaha untuk menyamakan persepsi dengan semua elemen masyarakat Indonesia agar dominasi pemerintah atas pendidikan dapat diawasi dan diperbaiki guna menuju iklim pendidikan ideal bagi 73
masyarakat di Indonesia dan bukan lagi sebuah hegemoni atas nama motif ekonomi semata.
167491/Ada-Sejumlah-Masalah-Krusial -dalam-Implementasi-Kurikulum-2013 http://nasional.sindonews.com/read /2013/05/08/15/746348/budayaganti-menteri-ganti-kurikulum-harus -dihilangkan http://edukasi.kompas.com/read/ 2013/02/16/08383096/Kurikulum. 2013..Beban.Baru.Siswa.dan.Guru
DAFTAR PUSTAKA
http://www.jpnn.com/read/2013/ 07/09/180861/Federasi-Guru-KritikPersiapan-Hadapi-Kurikulum-2013-
Mulder, Niels. 2007. Wacana Publik Indonesia. Kanisius
http://www.antaranews.com/berita /385504/kurikulum-2013-diterapkan -secara-bertahap
Nasution, S. 2008. Kurikulum dan Pengajaran. Bumi Aksara.
http://www.tempo.co/read/news/ 2013/09/27/079517076/Tolak-UNKoalisi-Tinggalkan-Konvensi
Nuryatno, M. Agus. 2008. Mazhab Pendidikan Kritis. Resist Book. Patria, Nezar. 2009. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Pustaka Pelajar
http://www.dakwatuna.com/2013/09 /26/39833/surahman-usut-tuntasdugaan-korupsi-penyelenggaraan-un2012-dan-2013/#ixzz2jnCoy3H3
Allen, John. 2006. Negara Memahami Pendidikan. Trimedia Prasetyo, Eko. 2006. Guru: Mendidik Itu Melawan!. Resist Book. Print, Murray. 1993. Curriculum Development And Design. Allen & Unwin. Clark, M. (1977). Antonio Gramsci and the Revolution that Failed. New Haven: Yale University Press. Gramsci, Antonio. 1971. Selections from The Prison Notebooks of Antonio Gramsci, Q. Hoare & G. N. Smith, eds. & trans. London: Lawrence and Wishart http://news.detik.com/read/2013 /07/14/162017/2302125/10/2/6perubahan-pada-kurikulum-2013dibanding-kurikulum-lama http://www.metrotvnews.com /metronews/read/2013/07/11/3/ 74
Pengembangan Aspek Nilai dalam Pendidikan Pesantren di PP Nurul Ummah
Ahmad Fadli Azami
Abstrak Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan merupakan fakta sosial yang tidak bisa diabaikan keberadaannya. Secara historis, pesantren telah berhasil menunjukkan model pendidikannya yang cukup kokoh dalam menghadapi berbagai guncangan. Tak heran jika model pendidikan itu masih tetap diakui oleh masyarakat islam pada umumnya. Dalam konteks kekinian di mana dunia pendidikan lebih menonjolkan kecerdasan intelektual, pesantren hadir dengan warna yang berbeda. Pesantren hadir dalam rupa pendidikan yang lebih menitikberatkan pada nilai yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan nilai yang dikembangkan pesantren itu telah menjadi antithesis terhadap sistem pendidikan di luarnya dan terbukti berhasil dalam membentuk watak seseorang. Nilai itu berupa cara memandang segala sudut kehidupan sebagai ibadah. Bagi pesantren, segala macam bentuk pekerjaan hendaknya dilakukan dengan niatan beribadah. Pemusatan pada nilai ini menghantarkan pada sikap saling pengertian, menghargai, dan menghormati pada segala hal. Pandangan ini menemukan landasannya pada sikap santri yang rela berkorban untuk kepentingan umum, penghormatan total pada guru dan Kiai, serta kebiasaan bertirakat. Pondok Pesantren Nurul Ummah (PPNU) adalah salah satu pesantren yang mengembangkan model pendidikan seperti itu. Pola pendidikan itu telah lama dianut dan dikembangkan oleh para santri melalui proses dialektika yang panjang. Kata kunci: Pesantren, nilai, ibadah
Abstract
Islamic boarding school as religious educational institution is a social fact that cannot be disregarded its existence. Historically, Islamic boarding school has succeeded in it shows a model that is established to deal with various shocks. It is unsurprising if educational model is still recognized by the islamic community in general. In the context of the current where education world is intellectual, sound intelligence Islamic boarding school attended by different colors. Islamic boarding school present in a much more focusing on the developing value in everyday life. Educational value developed its Islamic boarding school antithesis of the education
75
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
system have been outside and evidently successful in forming a person temper. It means the value of looking at all the life as worship. For Islamic boarding school, all sorts of the work to be done by worship plan. Focus on the value is sent on a mutual understanding appreciate, and honor in all things. This view is find an emplacement for the students who willingly sacrifice for the common good, tributes total of teachers and Kiai, and tirakat common. Islamic Boarding School Nurul Ummah ( PPNU ) is one of its Islamic boarding school that expand educational model like this. Education pattern that has been adopted and developed by the students via the dialectic long. Key word : Pesantren, value, worship Pendahuluan
bermoral. Pada gilirannya kemampuan kognitif, afektif, dan konatif hanya bisa diakui di atas kertas.
Pergantian kurikulum yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional tahun ini menjadi sorotan publik. Memang sudah mulai banyak keriusauan dari masyarakat dalam bentuk opini yang muncul soal apakah kurikulum ini nantinya memuat “moral” dan “etika” dalam sistem belajarnya. Pendidikan moral tersebut memang sudah menjadi pembicaraan serius di kalangan para kritukus pendidikan kita di tanah air. Sisi moral dianggap penting di tengah acuan pendidikan kita yang selama ini lebih mengutamakan kecerdasan intelektual yang bertujuan membentuk manusia yang mampu bersaing di dunia global. Pendidikan tersebut terbukti “bisu” dalam menjawab tantangan munculnya fenomena berbagai aksi tawuran dan seks bebas di kalangan pelajar. Sebenarnya dalam kurikulum sebelumnya prinsip moral dan etika juga sudah dimampatkan dalam sistem pembelajarannya. Ittikad baik itu direalisasikan, misalnya, dengan masuknya berbagai mata pelajaran agama. Sayangnya pendidikan agama yang diajarkan juga baru sebatas aksesoris yang kurang diarahkan pada pembentukan sikap dan perilaku yang
Hal inilah yang membuat publik justeru pesimis dan menilai negatif bahwa perubahan kurikulum tersebut bukan untuk memperbaiki sisi moral yang kendor di kalangan pelajar melainkan untuk menghabiskan anggaran negara dengan skala besar. Dalam kondisi seperti ini, muncul keinginan mencari alternatif lain untuk meredakan kepanikan-kepanikan itu seperti terlihat dari keinginan berbagai pihak untuk mengadopsi model pendidikan yang diterapkan di pesantren. Perbincangan pesantren sebagai pendidikan alternatif sebenarnya sudah menjadi isu lama. Keberadaan pesantren memiliki arti penting dalam rangka pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan keagamaan. Pendidikan model pesantren diyakini sebagai percontohan yang pas untuk mengembangkan sisi intelektual, yang tercermin dalam keluasan wawasan berpikir peserta didik, dan memperbaiki sisi moral, yang terwujud dalam kepekaan dan kepedulian sosial. Meskipun boleh jadi yang ditilik hanya aspek moral ketimbang intelektual. Corak pendidikan 76
Ahmad Fadli Azami, Pengembangan Aspek Nilai dalam Pendidikan Pesantren di PP Nurul Ummah
pesantren yang lebih menekankan aspek moral tersebut memang sudah berkembang dan menjadi titik tekan sejak berdirinya pesantren. Penekanan itu hingga kini masih diinternalisasikan oleh para santri. Sepintas lalu, dilihat dari sudut fungsi pendidikan seperti ini, pesantren layak menjadi alternatif ideal bagi perkembangan keadaan yang ada di masyarakat.
masyarakat. Mereka akan dipengaruhi oleh bangunan-bangunan, konstruksikonstruksi sosial yang ada dan akan mempengaruhi kembali masyarakatnya. Proses pelembagaan dan dialektika itu setidaknya dapat terlaksana jika tiga elemen dapat terpenuhi. Tiga elemen itu berupa eksternalisasi, internalisasi, dan obyektivasi. Pertama, eksternalisasi adalah suatu keharusan antropologis. Manusia menurut pengetahuan empiris kita, tidak bisa dibayangkan terpisah dari pencurahan dirinya terus menerus ke dalam dunia yang ditempatinya. Kedirian manusia bagaimanapun tidak bisa dibayangkan tetap tinggal diam di dalam dirinya sendiri, dalam suatu lingkup tertutup, dan kemudian bergerak keluar untuk mengekspresikan diri dalam dunia sekelilingnya. Kedirian manusia itu esensinya melakukan eksternalisasi dan ini sudah sejak permulaan2. Fungsi individu ini telah menempatkan anggota masyarakat sebagai produsen yang terus menerus mencurahkan dirinya bagi masyarakat. Selama eksternalisasi tersebut manusia mencurahkan makna ke dalam realitas. Karena itu Menurut pandangan berger “masyarakat adalah produk dari manusia, berakar dari fenomena eksternalisasi, yang pada gilirannya didasarkan pada konstruksi biologis manusia itu”3.
Tulisan ini hendak menyoroti model pendidikan dengan mengambil latar Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede, Yogyakarta. Pengambilan sample pesantren karena pada dasarnya pesantren memiliki satu kelebihan tersendiri dibanding model pendidikan formal yang ada di luarnya. Letak kelebihan itu pada keterpaduan antara aspek kecerdasan otak dengan ketajaman hati. Lebih lanjut pendidikan yang ada dan masih tetap berkembang berdasar pada nilai-nilai yang tetap eksis dan menjadi khas pesantren. Kajian Teori Kajian tentang tata nilai dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari seberapa kuat proses pelembagaan nilai itu sendiri di lingkungan mereka. Masyarakat adalah tempat di mana sebuah nilai yang telah disepakati mengendap dalam kehidupan mereka. Menurut Peter L. Berger di dalam masyarakatlah, dan sebagai hasil dari proses sosial, individu menjadi pribadi, ia memperoleh dan berpegang pada suatu identitas, dan ia melaksanakan berbagai proyek yang menjadi bagian kehidupannya1. Dalam pandangan Berger individu sebenarnya tengah berdialektika dalam
Kedua, obyektivasi. Obyektivasi adalah hasil dari eksternalisasi individu. Dunia yang diproduksi manusia ini kemudian menjadi sesuatu yang berada “di luar sana”. Dunia ini terdiri dari benda-benda, baik material maupun nonmaterial, yang mampu menentang 2.. Ibid, hal. 5 3. . ibid, hal 11
1. Peter L. Berger, Langit Suci (Jakarta: LP3ES,1991. Alih Bahasa: Hartono) Hal, 4
77
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Profil Pondok Pesantren Nurul Ummah
kehendak produsennya. Sekali sudah tercipta, maka dunia ini tidak bisa diabaikan begitu saja4. Dalam praktik kehidupan sehari-hari seseorang menciptakan nilai-nilai, tata aturan dan akan merasa salah jika melanggar kesepakatan. Suka atau tidaknya mereka nilai-nilai itu sudah menjadi fakta sosial yang memaksa mereka.
PPNU berdiri sejak tahun 1986 di Desa Prenggan, Kotagede, Yogyakarta. Peletakkan batu pertama dilaksanakan pada tanggal 9 Februari 1986 oleh Kiai Asyhari Marzuqi (1942-2004) sendiri. Penamaan Nurul Ummah ini pada awalnya merupakan usulan dari H. Ahmad Arwan Bauis, S.H dan musyawarah bersama dengan pendiri pesantren. Pemberian nama ini diharapkan dapat menjadikan PPNU sebagaimana fungsinya, yakni sebagai “Cahaya Umat” atau penerang umat.
Ketiga, internalisasi. Internalisasi merupakan proses peresapan kembali terhadap realitas sosial yang sudah ada di masyarakat itu. Hasil peresapan itu kemudian ditransformasikan ke dalam struktur kesadaran dunia luar dan kesadaran subjektifnya. Dalam eksternalisasi, masyarakat merupakan produk dari individu sementara internalisasi membuktikan bahwa individu adalah produk dari masyarakat.
Dipilihnya kotagede sebagai tempat berdirinya PPNU, pada mulanya, dengan tujuan menyebarkan dakwah di daerah perkotaan. Selain itu, pendiri pesantren PPNU sendiri, KH. Asyhari Bagi Berger, individu tidak (Ayahanda KH. Asyhari Marzuqi), diciptakan sebagai suatu benda yang berkeinginan agar santrinya nanti tidak pasif dan lembam [diam]. Sebaliknya, terkekang oleh akses pengetahuan dia dibentuk selama suatu dialog umum dan informasi serta teknologi. yang lama (menuntut pengertian Hal itu menjari alasan K.H Asyhari literal adalah suatu dialektik) yang di untuk mendirikan pesantren bagi dalamnya dia sebagai seorang peserta. putranya di daerah perkotaan. Yaitu, dunia sosial (dengan lembagaPergeseran-pergeseran nilai tersebut lembaganya, peran-perannya, dan menuntut kepada pesantren untuk identitas-identitasnya) tidak secara melakukan reorientasi tata nilai dan pasif diserap oleh individu, tetapi secara tata laksana penyelenggaraan pesantren aktif diambil olehnya5. untuk mencari bentuk baru yang Berger menilai bahwa dialektika melalui tiga proses demikian ini dalam rangka membentuk dunia masyarakat yang berbeda dengan dunia binatang. Dunia binatang sudah diberikan sejak ia lahir. Karena itu ada dunia tikus, dunia kera dll. Sementara dunia manusia dibentuk oleh mereka sendiri dengan cara membangun secara bersama-sama.
relevan dengan tantangan zamannya, tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam6. Karena itu dalam pelaksanaan selanjutnya PPNU menempatkan dirinya sebagai pesantren yang semi klasih (salaf). Pada perkembangannya sifat ini menjadikan PPNU sebagai percontohan pesantren ideal bagi siapapun yang tengah
4. Ibid, hal. 11 5. Ibid, hal. 23
6. Mastuhu, Dinamika Pendidikan (Jakarta:INIS,1994) hal, 72
78
Pesantren
Ahmad Fadli Azami, Pengembangan Aspek Nilai dalam Pendidikan Pesantren di PP Nurul Ummah
menjacari ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Tidak mengherankan jika sesuai perkembangan waktu semakin banyak santri yang masuk ke PPNU. Tak hanya mahasiswa tetapi juga pelajar.
diinginkan. Dengan demikian menjadi jelas bahwa jenis pendidikan PPNU antara lain dalam bentuk formal (MANU, MTsNU) dan non-formal seperti Madrasah Diniyah. Namun hal ini tidak akan menjadi fokus utama dalam tulisan ini. Jenis pendidikan formal selanjutnya tidak menjadi fokus penulis. Fokus tulisan ini nantinya akan diarahkan pada nilai-nilai utama pesantren yang diambil dari berbagai sumber sebagai inspirasi pendidikan di pesantren itu sendiri. Usaha yang ditilik nantinya adalah nilai-nilai utama pesantren sebagai substansi pendidikan bagi santri.
Pada pendaftaran pertama, yakni pada bulan Ramadhan di tahun 1986, PPNU menerima 25 orang santri putra dan 2 orang putri. Baru di tahun kedua, jumlah itu meningkat menjadi 104 santri. Masuk tahun ketiga, junlah santri bertambah lagi menjadi 155, dan pada tahun yang keempat, terhitung hingga 209 santri7. Jumlah itu pada umumnya adalah mahasiswa yang berkuliah di Yogyakarta. Karena semakin perkembangan waktu usia santri yang masuk kian muda. Tak hanya mahasiswa, pelajar pun semakin Nilai-Nilai Utama di PPNU banyak yang masuk ke PPNU. Berbicara mengenai sistem Karena banyaknya santri pelajar pendidikan yang berkembang di yang masuk pada tahun 2001 KH. Asyhari Marzuqi mendirikan lembaga pesantren selama ini, khususnya PPNU, pendidikan formal berupa Madrasah tentu tidak bisa dilepaskan dari nilaiAliyah Nurul Ummah (MANU), sekolah nilai yang ada di pesantren itu sendiri. yang setara dengan sekolah menengah Nilai tersebut dapat menjadi pembeda atas. Dari tahun ke tahun jumlah dari sistem pendidikan di masyarakat santri yang bersekolah di MANU kian pada umumnya. meningkat. Beberapa tahun kemudian Pesantren memiliki sistem nilainya didirikan pula Madrasah Tsanawiyah sendiri, yang jauh berbeda dari apa Nurul Ummah. Sempat ada wacana yang terdapat di luarnya. Sistem nilai bahwa PPNU ingin mendirikan itu mendukung sebuah sikap hidup perguruan tinggi islam untuk yang tersendiri pula, yang sedikit mahasiswa yang ingin belajar tentang banyak memengaruhi perkembangan agama islam lebih matang. Karena kurikulum pendidikannya8. Dengan beberapa pertimbangan akhirnya niat kata lain nilai ini sangat berpengaruh untuk mendirikan perguruan tinggi dan menjadi esensi dan substansi diurungkan. Karena itu PPNU hanya pendidikan mereka. mampu menampung mahasiswa di Nilai utama yang pertama adalah cara beberapa universitas di Yogyakarta pandang kehidupan secara keseluruhan tanpa memiliki universitas seperti yang sebagai ibadah. Semenjak pertama 7. Tim Biografi, Mata Air Keikhlasan: Biografi K.H Asyhari Marzuqi (Yogyakarta:Nurma Media Idea,2009) hal, 87.
8. Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta:Lkis,2010) hal:147.
79
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
kali memasuki kehidupan pesantren, seorang santri sudah diperkenalkan pada sebuah dunia tersendiri, di mana peribadatan menempati kedudukan tertinggi. Dan pemeliharaan caracara beribadah ritual yang akan dipilih seorang santri sekeluarnya dari pesantren nanti, titik pusat kehidupan diletakkan pada ukuran kehidupan itu sendiri sebagai peribadatan9.
Di sisi lain terbentuk solidaritas dan toleransi yang diimplementasikan dengan memberikan pengorbanan yang besar bagi kepentingan umum. Pola solidaritas antar santri ini akan terus berkembang dalam rangka mengenal sifat dan watak mereka satu sama lain. Pada batas tertentu status pertemanan yang ada itu akan bergeser pula menjadi hubungan kekeluargaan. Hubungan Sistem pendidikan pesantren yang kekeluargaan ini amat dirasakan para demikian itu didasari, digerakkan dan santri ketika mereka sudah lulus dari diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan pesantren di mana mereka merasa yang bersumber pada tradisi kehilangan anggota keluarga mereka. keilmuannya sendiri yang ditata secara Cara pandang itu juga dapat integral. Pada masanya, pengembangan menopang berkembangnya fungsi integralitas itu bisa dilacak pada upaya kemasyarakatan dari pesantren pengembangan fiqh dan alat-alat sendiri. Dalam cerita awal pendirian bantunya yang disatukan dengan fiqh pesantren di masa Walisanga beberapa sufistik10 . Titik tekan dari fiqh-sufistik abad silam, pesantren ikut terlibat itu tidak sebatas pada kerangka amaliah dalam menangani kesengsaraan dan hukum dan akhlak semata tetapi juga penderitaan yang dialami masyarakat. memaknai kehidupan. Kontribusi ini dilakukan dalam rangka Pengejawantahan nilai-nilai ibadah ibadah tanpa embel-embel materi. tersebut dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat dari pemeliharaan sikap ikhlas, tidak mudah meremehkan, tawakkal, berhati-hati, sabar dan lapang dada dalam menjalankan segala tantangan kehidupan. Waktu-waktu yang dihabiskan di pesantren, misalnya, tidaklah menjadi kendala karena semua itu dinilai ibadah. Kebiasaan “tirakat” dengan berpuasa, atau larangan memakan sesuatu hidangan juga tidak memberatkan sebab hal itu merupakan ibadah.
Nilai utama pesantren yang berporos pada ibadah ini semakin mengakar kuat di masyarakat dengan memposisikan diri sebagai pengabdi masyarakat. Bagi pesantren, pengabdian untuk masyarakat dengan membantu menyelesaikan probelmatika yang ada di masyarakat adalah panggilan jiwa dan merupakan investasi masa depan di akhirat. Semangat pengabdian pesantren pada masyarakat terlihat, misalnya, dalam penyediaan tempat bagi para anak-anak atau remaja yang Sikap ikhlas itu tanpa disadari datang dari berbagai daerah untuk memancar pada kesediaan santri menimba ilmu pengetahuan agama. untuk bekerja bagi tujuan bersama. Seorang Kiai biasanya memberikan pemondokan sebagai tempat tinggal bagi santri yang tengah menimba ilmu. 9. Ibid, hal. 130 Kiai menyediakan waktu luang untuk 10. Abd A’la, Pembaruan Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,2006) hal:159
80
Ahmad Fadli Azami, Pengembangan Aspek Nilai dalam Pendidikan Pesantren di PP Nurul Ummah
melayani santri yang ingin berdiskusi dan konsultasi berbagai ilmu dan masalah. Dengan ruang lingkup dan waktu yang ada para santri dibimbing secara matang oleh figur seorang Kiai sebelum mereka terjun di masyarakat.
Kedua aspek ini sebenarnya saling melengkapi karena hukum islam (fiqh) yang mereka pegang adalah seperangkat hukum bagi fenomena yang nampak (fenomenologis). Barulah aspek sufistik menghukumi bagian-bagian yang tak Nilai utama itu telah mengantarkan tampak itu. pesantren pada sistem pendidikan Di sinilah kita melihat berbagai yang penuh kelenturan dan memiliki kitab-kitab fiqh baik yang dasar spektrum luas, melampaui batas-batas maupun mendalam yang masih pesantren itu sendiri. Tidak berlebihan dipegang teguh oleh PPNU seperti jika dikatakan, pesantren merupakan terlihat pada pengajian kitab Fathu deschooling society dengan menjadikan Al-Qorib, Al-Muhadzdzab, Bujairomi, masyarakat sebagai proses yang bahkan Fiqh Sirah Wa’adillatuhu yang berjalan terus menerus. Masyarakat merupakan fiqh kontemporer yang menjadi bebas dari sekolah sebagai sangat mendalam. Di samping itu institusi dengan aturan-aturannya, PPNU juga menggunakan kitab-kitab sistem evaluasinya, janji-janji pekerjaan sufistik seperti Tanbighul Ghofilin yang yang diberikannya, serta sertifikat yang ditulis Syaikh Al-Ghozali atau kitab lain dikeluarkannya11. seperti Adab Ta’lim Wa Al-Muta’allim Aspek ibadah ini juga memiliki yang ditulis Syaikh Az-zarnuji. Kedua arti penting bagi PPNU. Sebagai kitab ini merupakan manifestasi ajaran pesantren yang visioner, PPNU selalu yang ketat dan menjadi kitab sakral di mengajarkan kepada santrinya untuk PPNU karena dianggap masih relevan taat dan tunduk pada nilai ibadah, serta sejalan dengan perilaku santri. baik ibadah wajib seperti sholat, zakat, Dari tradisi keilmuan pesantren yang puasa maupun ibadah sosial seperti integral (fiqh-sufistik) inilah muncul membantu sesama. PPNU selalu berbagai tindakan yang cenderung hatimenekankan aspek itu dalam keseharian hati. Dalam beberapa kasus sikap kehatisantri. Penekanan pada ibadah tersebut hatian itu muncul seperti meminjam secara spesifik merujuk pada tradisi sandal dengan tanpa izin pemiliknya keilmuan dan figur seorang Kiai. Tradisi terlebih dahulu bisa dihukumi haram keilmuan di PPNU sebagai sumber oleh mereka, kepatuhan pada Kiai karena kajian dan kitab yang digunakan dengan sepenuh hati, atau larangan menyediakan penjelasan yang cukup untuk memetik daun yang masih ada di mengenai hukum islam (fiqh). Dengan tangkai. penekanan pada hukum islam santri akan menjadi tahu hukum dari perilaku sehari-hari yang boleh jadi sangat ketat menurut ukuran orang luar. Di samping itu tradisi keilmuan di PPNU juga menampilkan wajahnya yang sufistik.
Sementara itu, figur seorang Kiai dijadikan rujukan karena didasarkan pada pengalaman berharganya yang bisa dijadikan sebagai teladan dan sumber rujukan perilaku santrinya. Tindakan dari seorang Kiai biasanya dapat diterima oleh para santri
11. Ibid, hal. 17
81
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
tanpa harus bertanya-tanya tentang hukum tindakan itu. Santri-santri PPNU biasanya menjadikan figur K.H Asyhari Marzuqi sebagai sumber rujukan perilaku mereka. Bagaimana perjuangan, jiwa pemaaf, kesabaran atau ketabahan, tawakkal serta rajin belajar patut dijadikan peta panduan untuk menuntun langkah mereka. Dalam bentuknya yang sekarang, guru adalah salah satu legimitasi di kalangan santri karena mereka sudah mendapatkan kepercayaan, khususnya sepeninggalan K.H. Asyhari Marzuqi.
mendapatkan bekal yang cukup dari pesantren. Ilmu agama yang diperoleh belum mampu diimplementasikan secara baik di masyarakat. Rasa “kekurangan” semacam ini menuntut mereka untuk lebih memantapkan diri dan menimba ilmu secara sungguhsungguh di pesantren. Dalam prosesnya itu, pesantren adalah gambaran kecil masyarakat yang perlu untuk dipelajari secara keseluruhan.
Dari sudut pengakuan itu pula baru dapat disadari kecintaan mereka pada ilmu agama sebagai bekal Kedua sumber ini pada akhirnya di masyarakat. Ilmu-ilmu agama, menjadikan santri sangat bergantung sebagaimana dimengerti di lingkungan dengan kerangka keagamaan yang pesantren, merupakan landasan yang dikembangkan pesantren dan teladan membenarkan pandangan sarwa 12 Kiainya. Mereka merasa apa yang beribadah di atas . Kecintaan ini diajarkan oleh pesantren dan yang telah termanifestasi dalam berbagai bentuk dicontohkan oleh figur Kiai sudah cukup seperti menghormati para guru yang untuk menjawab berbagai masalah. memberikan mereka ilmu pengetahuan. Masalahnya sekarang adalah bagaimana Figur K.H Asyhari Marzuqi sendiri menginternalisasikan kedua sumber sebagai pengasuh PPNU sering ini pada santri. Sebab bagaimanapun memberi teladan kepada santrinya juga harus disadari bahwa nilai-nilai dalam menuntut ilmu. Menurut utama dalam pesantren itu tidak datang cerita para santri, beliau sangat tekun dengan sendirinya dan membutuhkan dalam mencari ilmu. Beliau rela waktu yang panjang (Thulu Al-zaman). berpisah dengan keluarganya untuk Dalam situasi demikian sebenarnya melanjutkan studi di Irak selama 14 tidak ada persoalan bagi santri. Waktu tahun. Beliau hanya menghabiskan bertahun-tahun yang mereka habiskan waktu-waktunya untuk belajar. Karena di pesantren dipandang sebagai sangat cinta dengan ilmu beliau sempat ibadah. Mereka rela untuk hidup dalam mengharamkan santrinya puasa sunah keterasingan dan keterbatasan ruang karena itu akan mengganggu proses dan waktu hanya untuk beribadah. belajar. Hanya dengan pandangan semacam Selain kecintaan terhadap ilmu, itu mereka merasa bahwa apa yang dilakukan di dalam pesantren tidaklah santri dituntut untuk menjalin hubungan baik dengan lingkungannya seperti sia-sia. yang tercermin dalam pengorbanan Kenyataannya sekarang muncul yang besar untuk kepentingan umum. kecenderungan yang banyak dialami 12. Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: santri PPNU bahwa mereka merasa belum Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta:Lkis,2010) hal. 132
82
Ahmad Fadli Azami, Pengembangan Aspek Nilai dalam Pendidikan Pesantren di PP Nurul Ummah
Bagi PPNU santri adalah satu keluarga dan saling menguatkan satu sama lain sebagaimana perintah agama. Rasa solidaritas ini diharapkan mampu dipertahankan dalam berbagai kondisi dan situasi. Namun solidaritas mereka suatu waktu akan teruji ketika mendapatkan giliran piket membersihkan sampah. Kerenggangan yang ada akan tampak dari seberapa besar partisipasi mereka di sana. Jadual piket semacam ini memang sengaja dibentuk antar kamar untuk membentuk solidaritas. Sebenarnya PPNU mampu untuk membayar orang untuk membersihkan halaman pesantren setiap harinya. Akan tetapi mereka memilih santri sendiri agar mereka mampu belajar tentang kebersamaan. Karena itu semua urusan piket dipasrahkan kepada santri meskipun para guru tetap mengawasinya.
ini adalah eksternalitas, pencurahan mereka terhadap nilai-nilai utama yang mereka serap dari pesantren. Peserta LP2M ini adalah santri yang sudah paham agama. Sebab, program kerja yang dicanangkan di sini adalah dakwah keagamaan. Selama ini hubungan LP2M dengan masyarakat di mana mereka mengabdi sudah terjalin dengan baik. Bahkan ketika salah satu anggota LP2M sakit mereka menjenguknya di pesantren. Nilai utama di pesantren yang memusatkan kehidupan pada ibadah ini pada akhirnya membentuk sebuah sistem nilai umum, yang mampu membentuk watak, karakter santri yang mandiri dan peka terhadap lingkungan. Nilai-nilai itu tetap terlembagakan dengan baik dalam wujud “laku” kehidupan santri yang merujuk pada ajaran agama dan perkenan Kiai. Hal mana dalam kehidupan itu, mereka menginternalisasikan nilainilai pesantren dalam bentuk belajar memaknai kehidupan secara ikhlas serta merespons kembali dalam bentuk pencurahan nilai sebagai wujud kematangan kualitas santri. Peresapan dan pencurahan itu membuat nilai utama pesantren tetap “terpampang” dalam realitas kehidupan pesantren. Dengan kata lain bahwa nilai utama di pesantren itu sudah ada sebelum seseorang memasuki dunia pesantren dan akan tetap ada setelah mereka menyelesaikan masa bakti di pesantren.
PPNU juga menyediakan berbagai forum kajian bagi santri untuk memupuk rasa solidaritas seperti forum Bahtsul Masa’il yang diadakan setiap bulan13. Forum ini disediakan bagi santri untuk berdiskusi dan bertukar pikiran terkait isu tertentu. Boleh jadi sebenarnya hukum dari masalah itu sendiri sudah diketahui oleh para guru dan Kiai.
Di samping itu semua, untuk mematangkan kualitas kesantrian PPNU juga memberikan fasilitas berupa pengabdian di masyarakat yang sudah lama mereka rintis. Pengabdian masyarakat itu ditampung dalam Lembaga Pengembangan Pengabdian Masyarakat (LP2M)14. Pengabdian Belitan Masalah 13. Bahtsul Masa’il adalah forum musyawarah untuk membahas hukum terhadap suatu kasus. Forum ini merupakan tradisi yang dilestarikan oleh Nahdlatul Ulama termasuk di PPNU 14. LP2M didirakan pada tanggal 17 Februari 2000 dengan tujuan utamanya membentuk, mengembangkan, serta memberdayakan masyarakat
Sebagai pesantren yang sudah tak lagi muda PPNU tidak bisa lepas dari berbagai masalah yang membayangi. Problem yang dihadapi PPNU, salah 83
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
satunya adalah mulai hilangnya watak mandiri yang ditandai dengan kecemasan para guru akan masa depan mereka. Pengabdian pada pesantren sembari berwiraswasta seperti yang banyak dilakukan oleh santri senior PPNU mulai digantikan dengan mental pegawai. Akibat dari masalah ini tidak sepele, yakni tidak optimalnya perngawasan guru terhadap jalannya kehidupan pesantren karena sibuk mencari aktivitas di luar. Peran guru sebagai penopang pesantren tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, yakni menyediakan waktu bagi santri selama dua puluh empat jam. Kondisi ini sangat riskan karena (tanpa sengaja) membuka peluang bagi masuknya nilai-nilai luar yang kini mulai berkembang. Selama lima tahun terakhir ada perubahan cukup drastis dari PPNU. Yakni mulai berkurangnya jumlah tenaga pekerjaan yang segera berpengaruh pula pada penurunan kualitas. Banyak para santri yang baru lulus masa belajar di pesantren memilih untuk keluar tanpa mengabdi pada pesantren terlebih dahulu. Mereka memilih keluar dari PPNU karena sudah memiliki pekerjaan. Krisis guru semacam ini menjadi persoalan karena eksternalisasi nilai dan yang dibuktikan dalam bentuk pengabdian tanpa pamrih pada akhirnya tidak berjalan secara optimal.
muncul sikap anti pati terhadap guru sebagai tren di kalangan santri baru. Di samping itu, persoalan lain seperti kurangnya kepedulian terhadap sesama dan kelas sosial antar santri juga mulai menyeruak ke permukaan. Meski pesantren telah melarang santri membawa barangbarang elektronik akan tetapi fakta menunjukkan glamoritas santri yang ditunjukkan dengan tingginya konsumsi terhadap baju-baju mahal dan barangbarang elektronik kian kemari kian menggejala. Beberapa anak sempat memaksa dan membentak orang tuanya karena tidak dibelikan barang-barang itu. Beberapa yang lain bahkan dengan jalan yang justeru menerobos batas hukum islam sendiri yaitu dengan jalan mencuri. Persoalan-persoalan ini perlu diselesaikan. Sebenarnya pesantren memiliki kekayaan tradisi yang bisa “menyembuhkan” mereka dari kondisi saat ini. Tradisi itu perlu dikaji ulang dalam konteks kekinian agar menemukan landasan yang lebih riil. Dengan kata lain, sebenarnya nilai-nilai luhur PPNU perlu diperkuat oleh barisan masyarakat di dalamnya. Dengan penguatan tradisi pesantren diharapkan pengawasan terhadap santri harus lebih diperketat. Begitu juga terhadap besarnya pengaruh negatif yang datang dari luar agar lebih bisa dihentikan.
Perkembangan selanjutnya dari krisis guru ini adalah tidak tercukupinya kebutuhan bagi para santri untuk mencari pijakan atau legitimasi dari tindakan mereka. Hubungan gurusantri yang dulu lebih menekankan aspek kekeluargaan juga mulai bergeser menjadi sebatas seremonial atau bahkan patron-klien. Bahkan sekarang mulai
Penutup Dari paparan di atas, menjadi jelas bahwa PPNU tengah berusaha menjaga nilai-nilai utama pesantren. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya mereka mampu melembagakan nilai
84
itu dari waktu ke waktu, generasi ke generasi di bawahnya. Nilai-nilai yang berkembang di PPNU telah membuktikan secara konkret tentang substansi pendidikan yang lebih menitikberatkan pada kebutuhan berproses dan bukan hasil yang didapat. Karena itu dibutuhkan waktu yang panjang serta keberanian menceburkan diri untuk mengasah kepekaan hati. Kecerdasan dalam pendidikan semacam itu ditandai dengan kepedulian pada lingkungan, ketundukan pada yang lebih tua, dan pemberian sumbangan pada masyarakat. Sepintas lalu model pendidikan PPNU bisa menjadi tawaran bagi pendidikan di luar lingkungannya dengan mengembangkan nilai-nilai utama itu sendiri di lingkungan sekolah. Penumbuhan aspek keyakinan itulah yang perlu diraih oleh setiap siswa. Caranya adalah dengan mensosialosasikan secara terus menerus apa yang menjadi ajaran agama.
Daftar Pustaka A’la, Abd. 2006. Pembaruan Pesantren. Cetakan I, Yogyakarta: LKiS. Berger, Peter L. 1991. Langit Suci. Alih Bahasa:Hartono. Cetakan I, Jakarta: LP3ES. Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Cetakan I, Jakarta: INIS. Tim Biografi. 2009. Mata Air Keikhlasan: Biografi KH. Asyhari Marzuqi. Cetakan I, Yogyakarta: Nurma Media Idea. Wahid, Abdurrahman. 2010. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren. Cetakan III, Yogyakarta: LKiS. Sumber Jurnal Hasyim, Fuad. Manajemen Pendidikan Islam Terpadu (Studi Komparasi Pengelolaan Asrama Antara Asrama Pelajar Pondok Pesantren Nurul Ummah Dengan Asrama Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah) dalam Jurnal Penelitian Bappeda Kota Yogyakarta No. 5 Tahun 2010 Muhammad Fathul Umam, 5 Juni 2013. pukul 15.00 WIB Ahmad Faiz, 5 Juni 2013. pukul 15.00 WIB
85
86
Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas
Umi Latiefah ABSTRAK Tulisaninimenjelaskan bagaimana waria memandang dirinya melalui masyarakat dan bagaimana pula sebaliknya masyarakat memandang identitas waria.Pada realitanya waria masih mendapatkan perlakuan diskriminatif karena identitasnya dipandang sebagai suatu penyimpangan. Pandangan ini berakibat pada penempatan waria sebagai kaum subaltern atau termarjinalkan, akan tetapi masyarakat sudah mulai terbuka dan menerima waria karena dilihat dari individunya bukan dari identitasnya, namun masyarakat sebagian besar belum bisa menerima identitasnya sebagai waria. Waria melakukan berbagai cara agar bisa diterima masyarakat salah satunya melalui pesantren. Pesantren sebagai alat untuk merekonstruksi identitas waria yang memberikan gambaran tentang image waria yang positif. Keberadaan pesantren khusus waria berhasil merekonstruksi identitas waria dengan menciptakan konstruksi baru yang mampu memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa waria memiliki sisi positif dan masyarakat menyakini adanya perbedaan tingkah laku antara waria yang di pesantren dengan waria yang tidak ikut pesantren. Kata Kunci: waria, pesantren, identitas, subaltern. ABSTRACT This article explains how transexuals see themselves through society and contrary how society views the transexual’s identity. In reality, transexuals still faces discrimination from society because their identity as a deviant. This view has an impact on the transexual’s position as subaltern. Recently, society starts to accept transexual from their personality rather than identity, however there are still majorities who do not accept it. Transexual actively struggles to get accepted by society, one of them are through pesantren. Pesantren becomes a tool to reconstruct more positive image of transexual in society. This pesantren succed in their struggle to recosntruct positive image of transexual’s identity and society itself can see the different attitudes between transexual who join the pesantren and others who do not join in the pesantren. Keywords: transexual, pesantren, identity, subaltern.
87
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
A. Pendahuluan
ingin jadi siapa?’Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi identitas koheren dimana ‘diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan (Barker, 2000 : 175). Sesuai dengan jenis kelaminnya, seseorang akan bertindak, berperilaku dan berpenampilan dalam kehidupan sehari–hari sesuai dengan peran berdasarkan identitas yang telah dikonstruksikan masyarakat tersebut. Akan tetapi, realitasnya pada kehidupan sosial muncullah fenomena waria.Dimana seseorang secara fisik berkelamin laki–laki tapi berjiwa dan bertingkah laku seperti perempuan. Fenomena waria tidak dapat ditolak dan eksistensinya tetap ada dimasyarakat. Fenomena waria dalam masyarakat masih digolongkan sebagai perilaku menyimpang karena tidak adanya kesesuaian antara jenis kelamin dan peran yang dikonstruksikan oleh masyarakat.
Pada hakekatnya manusia diciptakan sebagai individu yang memiliki pribadi yang berbeda –beda dengan individu lainnya. Untuk mengenali diri seseorang terhadap dirinya maupun masyarakat diperlukan sebuah konsepsi yaitu identitas yang merupakan representasi untuk menunjukkan jati diri seseorang dalam masyarakat dan identitas tersebut butuh pengakuan dari masyarakat agar seseorang bisa diterima keberadaannya. Masyarakat juga memiliki peran dalam mengonstruksikan identitas seseorang maupun kelompok dan setiap masyarakat memberikan konstruksi identitas yang berbeda–beda berdasarkan kebudayaannya. Berdasarkan jenis kelamin yang berlaku dalam masyarakat terdapat dua identitas, yaitu laki–laki dan perempuan. Masyarakat juga memberikan konstruksi identitas yang berbeda atas jenis kelamin tersebut. Misalnya saja laki–laki identik dengan maskulin dan perempuan identik dengan feminin. Setiap kebudayaan memiliki caranya masing–masing dalam memberikan atribusi, sifat, dan peran kepada laki–laki maupun perempuan. Sesuai jenis kelaminnya, manusia akan memberikan pemaknaan identitas pada dirinya melalui peran yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Bagi Giddens (1991), identitas diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membentuk perasaan terus– menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Narasi mengenai identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis: ‘Apa yang harus dilakukan? Bagaimana bertindak? Dan
Waria (wanita-pria) yang secara umum diartikan sebagai laki–laki yang lebih suka berperan perempuan dalam kehidupan sehari–hari. Waria secara sosiologis dapat diartikan sebagai transgender, yaitu mereka menentang konstruksi gender yang diberikan masyarakat pada umumnya, yaitu laki– laki atau perempuan, tetapi transgender disini mempunyai pengertian; perempuan yang terperangkap kedalam tubuh laki–laki (Pujileksono, 2005:9). Dilihat dari jenis kelaminnya, waria adalah laki–laki namun jiwanya perempuan. Waria menarasikan dirinya sebagai perempuan bukanlah laki–laki sehingga mereka bertindak sesuai peran seorang wanita yang dikonstruksikan masyarakat. Hal tersebut menjadikan 88
Umi Latiefah, Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas
pertentangan antara jenis kelamin dan ketidaksesuaian peran yang dijalankannya. Masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang negatif karena tidak sesuai dengan apa yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat. Waria merupakan bagian dari masyarakat yang keberadaannya ingin diakui.
dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Hal ini bisa ditunjukkan dengan tidak adanya pondok pesantren yang mau menerima seorang waria. Disamping itu, MUI memfatwakan: a.Waria adalah laki–laki dan tidak dapat dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin) sendiri. b. Segala perilaku waria yang menyimpang adalah haram dan harus diupayakan untuk dikembalikan pada kodrat semula (Pujileksono, 2005: 18).
Manusia dalam kehidupan seharihari mempunyai kemampuan untuk mengakui keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain. Keduanya sangat penting, mengakui keberadaan diri sendiri mempunyai fungsi untuk membantu orang mengenal siapa dirinya dan peran dirinya sendiri dalam menjalani kehidupan. Sedangkan mengakui keberadaan orang lain mempunyai fungsi untuk mendorong orang berinteraksi dengan orang lain yang mempunyai perbedaan karakteristik, bahasa, budaya, prinsip hidup, kepercayaan, ras dan etnis. Mengakui keberadaan diri sendiri dan keberadaan orang lain dapat dikonsepsikan sebagai identitas, memahami persoalan identitas berarti memahami bagaimana kita melihat diri kita dan bagaimana orang lain melihat kita (Barker, 2009: 173). Waria ingin diakui masyarakat sebagai perempuan karena waria menganggap dirinya bukan sebagai jenis kelamin ketiga. Akan tetapi, masyarakat tidak mengakui adanya keberadaan waria.Identitas waria tidak dianggap karena bagi masyarakat fenomena waria merupakan sebuah penyimpangan. Dalam menolak dianggap sejatinya
Adanya diskriminasi waria melalui legitimasi agama semakin menyudutkan posisi waria. Waria selalu dianggap sebagai penyebar dosa dan terlaknat (Nadia, 2005: 197). Mereka dihujani dengan ayat-ayat dan hadist yang semakin memojokkan kedudukan mereka.
Berbicara mengenai waria dapat kita kaitkan dengan konsep subaltern sebagai kelompok yang terpinggirkan. Istilah subaltern pada awalnya digunakan oleh Antonio Gramsci untuk menunjuk “kelompok inferior”, yaitu kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelaskelas yang berkuasa. Petani, buruh, dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan hegemoni bisa disebut sebagai kelas subaltern1. Istilah subalterndigunakan untuk mengidentifikasi golongan terpinggirkan atau tertindas, seperti waria. Gayatri Spivak menjelaskan bahwa subaltern tidak bisa memahami ajaran agama, secara umum keberadaannya dan tidak mampu untuk keberadaan waria. Waria menyuarakan aspirasinya dan Spivak menyalahi kodrat karena 1 http://kunci.or.id/articles/intelektual-gagasan-subTuhan hanya menciptakan altern-dan-perubahan-sosial-oleh-antariksa/, diakses pada 10 November 2012.
89
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
B. Pandangan Waria Terhadap Masyarakat
juga menekankan bahwa subaltern tidak memiliki ruang untuk mensuarakan tentang kondisinya, sehingga kaum intelektual memiliki tugas untuk mewakilinya (Widayanti, 2009: 23). Dalam realitas sehari–hari, waria menjadi kaum yang termarjinalkan. Masyarakat belum bisa menerima waria seutuhnya dan menganggap bahwa waria itu sebuah penyimpangan dalam masyarakat.waria masih menjadi obyek yang mendapat perlakuan diskriminasi dalam kehidupan sehari–hari. Sehingga waria tidak mendapatkan tempat dan kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya. Keberadaan waria merupakan kelompok subaltern yaitu kelompok yang tertindas dan tidak mendapat pengakuan dari masyarakat.
Waria berkaca melalui masyarakat tentang dirinya. Cooley memberi nama looking-glass self untuk melihat bahwa seseorang dipengaruhi oleh orang lain. Nama demikian diberikan olehnya karena ia melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang sedang bercermin; kalau cermin memantau apa yang terdapat di depannya, maka menurut Cooley diri seseorang memantau apa yang dirasakan sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya (Elly, 2007:68-69). Dalam realitanya hal–hal ataupun tindakan yang memojokkan dan menyudutkan masih dirasakan waria sampai sekarang ini. Waria masih mendapat perlakuan yang kurang baik dan cibiran di masyarakat. Selain itu, dari sisi pandang waria identitasnya sebagai waria belum bisa diterima masyarakat karena masih saja ada yang mempermasalahkan dan mempergunjingkan. Bahkan masyarakat masih ada yang menganggap bahwa waria itu adalah penyakit.Saat berinteraksi dengan masyarakatpun sering terjadi perdebatan tentang identits waria yang makin menyudutkan posisinya sehingga bagaimana caranya si waria tersebut berusaha membela diri, seperti memberikan pengertian kepada masyarakat tentang keadaan dirinya.
Untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat waria melakukan berbagai cara diantaranya dengan melawan mainstream masyarakat mengenai identitas waria yang diberikan oleh masyarakat. Salah satu wujudnya adalah mendirikan pesantren khusus waria yaitu pesantren waria Al Fattah yang berlokasi di daerah Notoyudan, Yogyakarta.Pesantren tersebut didirikan oleh Ibu Mariyani yang juga merupakan seorang waria dan Drs. KH.Hamruli Harun, M.Sc pada tanggal 9 Juli 2008 (wawancara dengan Ibu Maryani pada 13 September 2012). Keberadaan pesantren waria tersebut sebagai tempat mengaktualisasikan aspirasi waria dan untuk menciptakan identitas baru yang Dalam kehidupan sehari–hari waria mengarah pada norma agama ataupun juga masih mendapat diskriminasi, sosial agar keberadaan mereka dapat khususnya dalam mencari kerja. Status diakui oleh masyarakat. kewariaan seseorang masih menjadi pertimbangan untuk diterima tidaknya waria bekerja walaupun kerjanya bagus. Orang masih berat sebelah
90
Umi Latiefah, Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas
untuk bisa menerima pegawai seorang waria.Kewariaan seseorang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan waria susah mendapatkan pekerjaan karena masyarakat masih melihat seseorang dari statusnya sebagai waria. Kebanyakan orang sudah beranggapan negatif dulu melihat waria padahal banyak waria yang berkompeten dalam bekerja tidak kalah dengan orang lain. Selain itu, waria jugadiidentikan dengan dunia malam. Tak sedikit juga waria yang bekerja malam sebagai pekerja seks. Hal ini dikarenakan masih adanya diskriminasi terhadap waria dalam mendapatkan pekerjaan itulah yang membawanya ke dalam dunia prostitusi. Disamping itu, waria juga manusia yang memiliki nafsu biologisnya, dengan keluar malam diharapkan ia bisa mendapatkan pasangannya untuk memenuhi nafsu biologisnya atau seksualnya. Namun, tidak semua waria itu keluar malam melakukan hal yang negatif. Waria keluar malam hanya ingin berkumpul dengan teman– temannya untuk bertukar pikiran, tetapi masyarakat sudah menjatuhkan vonis terhadap waria karena keluar malam identik dengan hal – hal negatif. Waria memang tidak bisa dipisahkan dengan dunia malam. Waria juga perlu memenuhi kesenangannya sebagai kebutuhan batin. Kebutuhan batin waria juga terpenuhi dengan keluar malam bertemu dengan teman– teman dan berkumpul. Disitulah waria menemukan kesenangannya, sebab siang hari waria sudah sibuk dengan pekerjaannya masing–masing.
Padahal tidak semua waria seperti itu dan karena waria yang berbeda dengan laki–laki pada umumnya membuat masyarakat takut untuk berhadapan dengan waria. Kenyataanya setelah orang tersebut berkenalan dan berbicara dekat baru bisa mengenal bahwa waria itu tidak seperti apa yang dituduhkan masyarakat selama ini, yaitu identik dengan hal – hal yang negatif yang identik dengan penampilan yang berlebih. Berbagai anggapan negatif tersebut menempatkan waria sebagai kaum subaltern dalam masyarakatsehingga waria berusaha untuk bisa lepas dari posisinya sebagai subalterndengan caranya agar diterima masyarakat, khususnya masyarakat tempat waria itu tinggal. Usaha yang dilakukan seperti membuka diri kepada masyarakat sekitar, ikut berbagai kegiatan yang ada untuk menepis anggapan miring tentang dirinya dan berdandan yang tidak glamor serta mencolok atau dengan memakai kerudung agar tidak menjadi pusat perhatian orang yang melihatnya. Dengan usaha dan kemampuan waria membawai dirinya dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat, waria merasa dirinya sudah dianggap dan masyarakat mulai menghormati sebagai sesama manusia walaupun identitasnya sebagai waria masih menjadi pergunjingan di masyarakat. C. Pandangan Masyarakat Terhadap Waria
Identitas merupakan konsepsi diri untuk merepresentasikan jati diri seseorang dan identitas membutuhkan pengakuan dalam masyarakat agar Dalam pandangan waria sendiri, seseorang bisa diterima oleh masyarakat. kebanyakan orang takut saat pertama Sesuai dengan konsep identitas dari kali bertemu dengan waria karena orang Hall tersebut terdapat dua asumsi, yaitu sudah terbawa image waria yang negatif. 91
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
esensialisme dan antiesensialisme. Esensi dari diri seseorang itulah yang disebut identitas. Berdasarkan logika ini maka akan ada esensi feminitas, maskulinitas, Asia, remaja, dan segala katagori sosial lainnya (Barker, 2000: 174). Kaum esensialisme menyakini bahwa identitas dalam masyarakat sesuai dengan nilai–nilai yang ada yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat berdasarkan budaya masing – masing masyarakat. Nilai–nilai tersebut kebenarannya dianggap baku dan mutlak. Sedangkan kebalikan dari esensialisme adalah antiesensialisme yang menganggap bahwa identitas itu bisa berubah sesuai ruang dan waktu tertentu.
Disisi lain ada sebagian kecil masyarakat yang menerima sepenuhnya waria. Masyarakat yang menerima keberadaan waria sepenuhnya bisa kita sebut dengan masyarakat yang antiesensialisme. Dimana mereka menyakini bahwa realitanya ada waria yang secara kelamin laki–laki yang perannya tidak sesuai dengan nilai– nilai yang ada dalam masyarakat. Tidak dapat dipungkiri kenyataan yang ada tidak hanya ada laki laki dan perempuan saja, tetapi muncul fenomena waria. Dalam penelitian ini, masyarakat awam, tokoh adat, dan tokoh masyarakat yang menolak waria diposisikan sebagai kaum esensialisme dan tokoh masyarakat yang menerima waria dan pemuka agama diposisikan sebagai kaum antiesensialisme. Bagaimanapun juga keberadaan waria masih menjadi pro kontra dalam masyarakat. Pihak yang menerima waria dan pihak yang belum menerima waria susah disatukan pendapat dan pemahamannya tentang penerimaan waria. Agamapun juga tidak bisa dijadikan advokasi terhadap waria padahal dalam ajaran agama hakekatnya manusia itu sama kedudukannya tidak ada perbedaannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Agama justru memberikan konstruksi yang kuat terhadap masyarakat yang esensialis. Sesuatu yang tidak sesuai dengan identitas yang esensial dianggap sebagai penyimpangan sehingga waria merupakan deviant bagi penganut esensialisme. Hal ini menunjukkan bahwa antara kaum esensialisme dan antiesensialisme jika disatukan tidak akan bersatu atau bertemu dalam suatu titik perpotongan.
Dalam masyarakat yang biasa dianut adalah konsep identitas yang esensial yang dianggap mutlak dan tidak bisa berubah, begitu pula dengan halnya identitas berdasarkan jenis kelaminnya hanya ada dua yaitu laki–laki dan perempuan yang dikonstruksikan dengan peran sedemikian rupa sesuai dengan jenis kelaminnya. Dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipungkiri muncul fenomena waria dan di Indonesia konstruksi masyarakat yang memberikan pengaruh besar besar adalah negara yang memberikan konstruksi hanya ada laki–laki dan perempuan dan agama yang secara substansi waria dianggap sebagai pelanggar kodrat. Adanya konstruksi tersebut memberikan penegasan terhadap peran masyarakat berdasarkan atas jenis kelaminnya. Sehingga masyarakat tidak menganggap waria itu ada dan secara otomatis identitas waria menjadi tidak diakui eksistensinya karena merupakan hal Berdasarkan teori The Looking yang menyimpang. Glass Self masyarakat diibaratkan 92
Umi Latiefah, Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas
sebagai cermin pantul bagi waria. Waria memandang masyarakat berada pada esensialisme. Sehingga membawa waria terjebak dalam pemikiran esensialisme. Waria melihat dirinya sebagai kaum yang termarjinalkan, oleh sebab itu waria berusaha dengan berbagai caranya agar diterima masyarakat. Seperti bagaimana mereka harus membawa dirinya dalam masyarakat. Misalnya mengikuti kegiatan–kegiatan yang diadakan di lingkungannya, berusaha menyesuaikan penampilannya sesuai budaya setempat, berdandan yang tidak mencolok. Usaha–usaha yang dilakukannya tersebut merupakan bentuk negosiasi terhadap masyarakat atas dasar esensialisme. Berdasarkan realita di lapangan, esensialisme dan antiesensialisme bisa kita analogikan seperti rel kereta api yang tidak ada ujung perpotongan. Masyarakat yang menerima waria dan masyarakat yang menolak identitas kewariaan seseorang sama halnya dengan rel kereta api yang tidak pernah bertemu ujungnya tetapi berjalan sejajar artinya masyarakat yang menolak waria bukan berarti juga menolak individunya. Ini berarti masyarakat mulai mau berinteraksi dan berbaur dengan waria dan sudah mulai menghormatinya walaupun masyarakat menolak identitasnya sebagai waria.
Mereka diberikan kebebasan untuk memakai sarung ataupun mukena pada saat beribadah sesuai hati nuraninya tanpa adanya paksaan. Sehingga waria menemukan kenyamanannya dalam menjalankan ibadah. Ketakutan tidak diterima masyarakat saat beribadah di masjid membayangi waria, khususnya waria yang memakai mukena. Dengan adanya pesantren tersebut mampu memberikan rasa nyaman bagi waria untuk beribadah.
Pesantren khusus waria tidak hanya sebagai tempat untuk belajar agama tetapi, pesantren merupakan alat untuk merekonstruksi identitas baru bagi waria dengan menciptakan image yang positif terhadap waria agar kehadirannya bisa diterima oleh masyarakat. Seperti halnya Giddens bahwa identitas dimaknai sebagai proyek, rekonstruksi identitas bagi waria juga merupakan suatu proyek untuk menciptakan identitas yang membawa waria pada norma sosial lewat agama. Diharapkan waria nantinya mampu bersosialisasi dengan lingkungannya secara baik sesuai norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dalam merekonstruksi identitas memerlukan proses dan perjuangan agar identitas baru yang tercipta bisa diakui oleh masyarakat. Dengan adanya identitas baru tersebut D. Pesantren Waria sebagai diharapkan dapat menepis anggapanTempat untuk Merekonstruksi anggapan miring tentang waria sehingga Identitas bisa menaikkan derajat waria dengan Pesantren khusus waria memberikan begitu perlahan waria bisa keluar dari ruang baru bagi waria untuk belajar posisi subaltern. agama. Waria yang dianggap masyarakat Waria dikenalkan ajaran–ajaran jauh dari agama, pesantren memfasilitasi agama dan dibimbing serta diarahkan waria untuk mengenal dan belajar pada hal–hal yang lebih baik. agama. Waria bisa leluasa beribadah Perlahan waria disadarkan dan bisa dan memperdalam ajaran agamanya. meninggalkan hal–hal yang negatif
93
bagi dirinya seperti keluar malam yang menjerumus pada seks bebas. Selain itu, waria selalu diarahkan untuk bisa mengontrol tingkah lakunya dalam masyarakat tanpa mengubah jati dirinya sebagai waria. Pesantren berusaha menciptakan image waria yang terlihat religius dan berusaha merubah tingkah laku waria yang dianggap liar oleh masyarakat menjadi terkontrol dan bisa membawa dirinya untuk bersosialisasi dengan baik di masyarakat. Kehadiran pesantren khusus waria ini mendapat dukungan dari berbagai pihak khususnya masyarakat sekitar. Perjuangan kaum subaltern akan lebih berarti dan terdengar yang membuat perjuangannya tersebut tidak sia – sia jika melalui infrastruktur, misalnya saja elit politik dan tokoh – tokoh penting masyarakat, seperti yang dikatakan oleh Spivak (Spivak, 199 : 62):
dan mereka juga mendukung karena kegiatan pesantren khusus waria ini dianggap positif dan didirikan oleh tokoh–tokoh penting dalam masyarakat. Pesantren berusaha merangkul masyarakat sekitar dalam setiap kegiatannya. Dengan merangkul masyarakat sekitar diharapkan bisa menunjukkan sisi positif dari waria dan masyarakat mengenal lebih dalam lagi kehidupan waria sehingga menepis stigma–stigma negatif yang berkembang di masyarakat. Pesantren memilki daya tarik bagi masyarakat sekitar untuk ikut berpartisipasi dalam acara yang diadakan seperti peringatan besar Islam, acara 17 Agustusan. Pesantren memberikan suguhan berupa makanan atau hiburan sebaik mungkin. Masyarakat sekitar digerakkan untuk mengatur tenda, parkir dan menata tempat yang digunakan untuk kegiatan bahkan mereka juga diberi upah. Hal ini tentunya menguntungkan bagi masyarakat sekitar. Secara tidak langsung membuat adanya ketergantungan antara masyarakat sekitar dengan pesantren sehingga masyarakat sudah menganggap pesantren sebagai bagian dari masyarakat Notoyudan. Wartawan– wartawan dari berbagai media dari dalam maupun luar negeri juga ada yang diundang untuk meliput acara tersebut. Kegiatan–kegiatan tersebut diekspos agar masyarakat luas bisa tahu bahwa waria juga memiliki sisi positif dan mereka juga bisa religius dan untuk mensosialisasikan identitas barunya tersebut. Memperlihatkan kepada khalayak umum bahwa waria tidak seperti apa yang dituduhkan masyarakat selama ini yang identik dengan dunia malam dan hal–hal yang
“... begitu seorang perempuan melakukan tindakan perlawanan tanpa infrastruktur yang akan membuat kita mengenali perlawanan itu, perlawanannya bakal sia – sia” (dalam Edkins and Williams, 2009: 424). Waria dalam merekonstruksi identitasnya melalui pesantren juga ditopang oleh tokoh–tokoh penting. Pesantren yang sebagai alat perekonstruksi identitas didirikan oleh Kyai yang terkenal di Notoyudan dan mendapat dukungan dari berbagai tokoh penting seperti ketua MUI cabang Yogyakarta dan tidak lepas ada campur tangan dari keraton Yogyakarta sendiri. Kemunculan pesantren di Notoyudan sendiri lepas dari campur tangan masyarakat sekitar. Masyarakat di sekitar langsung menerima begitu saja
94
Umi Latiefah, Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas
bersifat negatif. Masyarakat Notoyudan juga merasa senang dengan keberadaan wartawan televisi terutama dari mancanegara karena daerah mereka bisa terkenal di luar negeri.
oleh masyarakat. Pandangan masyarakat menganggap waria sebagai suatu keanehan karena dalam memahami identitas ada asumsi–asumsi esensialisme dan antiesensialisme. Masyarakat kita sebagian besar merupakan penganut esensialisme dimana identitas dipahami sebagai sesuatu yang universal dan mutlak sehingga anggapan masyarakat tidak ada waria yang ada laki – laki dan perempuan. Dan masyarakat sudah memberikan konstruksi secara normatif antara peran dengan jenis kelaminnya masing – masing. Selain itu realita yang ada dilapangan bahwa waria identik dengan keluar malam yang negatif. Bagi masyarakat yang esensialisme menganggap waria itu adalah laki – laki bahkan masih ada yang menganggap bahwa menjadi waria itu merupakan sebuah penyakit. Hai inilah yang menempatkan waria sebagai subaltern. Akan tetapi sebagian kecil masyarakat yang sepaham dengan antisensialisme menganggap bahwa ada fenomena waria dalam masyarakat yang secara normatif tidak ada kesesuaian antara jenis kelamin dan perannya. Melalui penelitian ini didapatkan hasil bahwa masyarakat sekarang ini sudah mulai terbuka dengan keberadaan waria. mereka melihat waria bukan dari identitasnya, tetapi dari pribadinya. Masyarakat memang belum bisa menerima kewariaan seseorang karena menganut asumsi esensialismetetapi mereka sudah mulai menghargai waria dan mau berbaur dengan waria.
Pesantren dirasa mampu merekonstruksi identitas baru waria. Waria yang menjadi santrinya merasakan adanya perubahan setelah ikut pesantren. Mereka menjadi sadar dan tahu mana yang baik bagi mereka dan bisa meninggalkan kehidupan waria yang negatif seperti keluar malam menjadi pekerja seks. Bahkan ada waria yang sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi tidak lagi menjadi pekerja seks. Masyarakat juga mengaku bahwa waria yang menjadi santri di pesantren dengan waria yang ada di jalanan tingkah lakunya berbeda. Waria yang ada di pesantren selain dianggap lebih religius juga tingkah laku dan ucapannya lebih sopan. E. Penutup
Waria berkaca pada masyarakat untuk melihat dirinya. Masyarakat diibaratkan cermin pantul bagi waria untuk memantau tanggapan atas dirinya. Masyarakat masih ada yang menganggap waria negatif kerena identik dengan dandanan yang glamor dan mencolok serta identik dengan keluar malam. Adanya anggapan tersebut waria berusaha dengan caranya masing–masing agar diterima masyarakat seperti bagaimana ia bisa membawa dirinya dalam masyarakat. Misalnya saja dengan berdandan tidak mencolok agar tidak menjadi Keberadaan waria yang tadinya pergunjingan, menjaga sikap, bahkan tidak diterima masyarakat membuat ada yang memakai kerudung. Usaha– usaha tersebut merupakan bentuk dari waria ingin menciptakan image positif negosiasi agar kehadirannya diterima tentang dirinya lewat pesantren. 95
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Secara sosiologis, keberadaan pesantren merupakan tempat untuk merekonstruksi identitas baru waria agar waria bisa bermasyarakat dan tidak liar. Pesantren juga bisa dipahami sebagai tempat untuk menertibkan waria karena realita dilapangan yang menjadi santri tidak hanya beragama islam tapi dari lain agama juga. Saat kegiatan keagamaan berlangsung santri yang non muslim duduk diam, tetapi dikegiatan lain meraka dibimbing dan diarahkan agar menjadi lebih baik secara normatif sosial. Pesantren waria merupakan tempat bagi waria untuk dikenalkan dan didekatkan dengan ajaran agama. Ajaran – ajaran dan bimbingan dari pesantren nantinya bisa diimplementasikan waria dalam kehidupan sehari – hari sehingga bisa memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa image waria tidak selamanya negatif. Pengimplementasian waria diwujudkan dengan waria mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar dapat berinteraksi dengan masyarakat. Bagaiamana waria harus bersikap, bertindak, berbicara termasuk waria yang identik dengan dandanan yang glamor bisa merubah hal sedemikian itu yang menurut masyarakat terlalu berlebih bisa dirubahnya. Dengan begitu dapat menepis stigma – stigma negatif masyarakat tentang waria sehingga kedudukan waria bisa sama dengan masyarakat. Waria yang menempati subaltern bisa keluar dari posisi subaltern.
juga ditunjang adanya media massa dari dalam maupun luar negeri yang diharapkan mampu menyampaikan gambaran yang postif tentang waria di masyarakat luas. Dan pesantren berhasil merekonstruksi identitas baru waria yang bisa terarah tingkah lakunya. Perlahan dunia malam yang negatif sudah mulai ditinggalkan oleh santrinya. Keberhasilan pesantren dalam rangka merekonstruksi identitas baru tersebut dibuktikan dengan anggapan masyarakat sekitar yang merasakan perbedaan antara waria yang ikut pesantren dengan yang tidak. Daftar Pustaka Antariksa.2009. Intelektual Gagasan Subaltern dan Perubahan Sosial dalamhttp://kunci.or.id/articles/ intelektual-gagasan-subaltern-danperubahan-sosial-oleh-antariksa/, diakses pada 10 November 2012 Barker, Chris. 2004. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana Edkins, Jenny dan Nick Vaughan Williams. 2010. Teori – Teori Kritis: Menentang Pandangan Utama Studi Politik Internasional. Yogyakarta: Pustaka Baca Elly, Setiadi, M.. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Nadia, Zunly. 2005. Waria Laknat atau Kodarat. Yogyakarta: Pustaka Marwa Pujileksono, Sugeng. 2005. Waria dan Tekanan Sosial. Malang: UMM Press
Pesantren dimaknai sebagai alat atau sarana untuk merekonstruksi identitas baru bagi waria yang cenderung membawa dirinya secara normatif sosial lewat agama. Untuk memperlihatkan sisi positif waria melalui pesantren
Widayanti, Titik. 2009. Politik Subaltern; Pergulatan Identitas Waria. Yogyakarta: JPPFISIPOL UGM
96
Transformasi Habitus Pada Komunitas Penerima Zakat
Dewi Cahyani Puspitasari, MA
Abstrak Pengelolaan zakat yang dilakukan oleh organisasi pengelola zakat (OPZ) mengalami transformasi signifikan sejak pengelolaan zakat tahun 1990-an. Kondisi ini berupa pola distribusi zakat beralih dari ranah amal sosial keagamaan menuju ranah pemberdayaan pengembangan ekonomi. Penelitian ini bermaksud melihat dan memetakan kecenderungan 2 (dua) OPZ dalam mengimplementasikan program pendampingan zakat produktif. Setelah memetakan posisi kedua OPZ tersebut dapat diperoleh deskripsi pola pendampingan yang mengacu pada interpretasi lembaga mengenai zakat produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme transformasi habitus diperoleh dari kegiatan pendampingan yang dilakukan OPZ pada komunitas penerima zakat (dhuafa). Dari pola pendampingan inilah yang kemudian dhuafa melakukan reproduksi pengetahuan dan reproduksi habitus untuk memunculkan praktik sosial berupa ‘habitus baru’. Bentuk habitus baru ini ada pada 2 (dua) aspek yaitu habitus zakat dan habitus produktif. Implikasi transformasi habitus ini masih dominan pada level individu belum pada level kelompok (komunitas). Adanya transformasi habitus tersebut juga berimplikasi pada kondisi kemandirian komunitas. Kata-kata Kunci : Organisasi Pengelola Zakat (OPZ), Transformasi Habitus dan Pendampingan Komunitas . Abstract Zakat management conducted by the management organization of zakat (OPZ) experienced a significant transformation since management of zakat in the 1990s. This condition is in the form of zakat distribution pattern shifted from realm of socio-religious charitable toward economic development empowerment. This study intended to see and map the trend of 2 (two) OPZ in implementing assistance of zakat productive program. After mapping position of both OPZ, it can be obtained OPZ assistance pattern description which refers to the interpretation of zakat productive institution. The results showed that mechanism of habitus transformation derived from OPZ assistance activities carried out in the community receiving zakat (dhuafa). From the pattern of assistance, knowledge reproduction and habitus reproduction of dhuafa became social practices that ‘new habitus’. This new form of habitus is in 2 (two) aspects of zakat habitus and productive habitus. Implications of this transformation is still dominant habitus at an
97
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
individual level not at the group level (community). Transformations of habitus are also implications for the conditions of community self-reliance. Keyword : Zakat Management Organisation (OPZ), Habitus Transformation, Community Assistance. A. Pendahuluan
zakat) dan OPZ masih melestarikan antrian zakat maka yang terjadi adalah semacam ‘pameran kebajikan’ yang ini dapat dimungkinkan antrian zakat ini cenderung bersifat konsumtif dan ‘pelestarian kemiskinan’. Pendapat ini tentu tidak lepas dari adanya fakta bahwa OPZ menjadi bagian dari salah satu lembaga kemanusiaan dengan beragam aktivitasnya masih memunculkan program atau kegiatan yang bersifat karitatif (santunan) terlebih saat terjadi bencana dan mengubah aspek kehidupan masyarakat (komunitas) yang terkena bencana maupun kaitannya dengan peran sertanya mengatasi kemiskinan masyarakat (komunitas). Hanya kemudian bila orientasi sebagian besar dari OPZ masih menjadikan dana zakat yang merupakan salah satu dana kemanusiaan sebagai instrumen karitatif (santunan) untuk konteks kemiskinan tentu hasilnya belum sampai mengentaskan komunitas penerima zakat (dhuafa) dari kondisi miskinnnya. Kondisi ini kemudian memunculkan transformasi signifikan sejak pengelolaan zakat tahun 1990-an yang beralih dari ranah amal sosial keagamaan semata ke ranah pemberdayaan pengembangan ekonomi. Penjelasan ini tercantum dalam IZDR (2009:13-14) bahwa fokus operasional OPZ di Indonesia mengalami evolusi yaitu setelah gelombang pertama peralihan fokus OPZ dari ranah amal ke ranah pembangunan, kini muncul gelombang kedua dimana OPZ mulai
Keberadaan organisasi lembaga pengelola zakat di Indonesia telah mengalami sejarah yang panjang mendapat perhatian sejak pemerintahan Hindia Belanda. Kondisi ini seperti yang dijelaskan Amiruddin (2005:127) bahwa perkembangan intervensi pemerintah dalam memberikan pendidikan manajemen zakat terus berlanjut sampai pada munculnya beberapa kebijakan berupa peraturan perundangan diantaranya UndangUndang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, keputusan Menteri Agama RI Nomor 373/2003 tentang pelaksanaan UU Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat sebagai upaya menyadarkan masyarakat muslim untuk menunaikan zakat. Meski demikian peran negara dalam distribusi zakat melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAZ) bukan tanpa kendala yang pada akhirnya memunculkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang dikelola oleh pihak swasta (masyarakat). Pengelolaan dana zakat (ZIS) oleh Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) baik skala nasional maupun daerah (lokal) bukan berarti tanpa kritik termasuk di kalangan pegiat zakat atau OPZ yang dipandang zakat justru berpotensi ‘melestarikan kemiskinan’. Hal ini seperti pendapat dari Eri Sudewo (2008:102) yaitu ketika masih ada pandangan dari muzakki (pemberi
98
Dewi Cahyani Puspitasari: Transformasi Habitus Pada Komunitas Pemerima Zakat
memberi perhatian pada agenda-agenda advokasi dan pembuatan kebijakan publik yang dapat diilustrasikan gambar sebagai berikut : Gambar 1. Evolusi Fokus Operasional OPZ di Indonesia
Pemikiran dan Peradaban (Thought and Civilization) Advokasi dan Pembuatan Kebijakan Publik (Advocacy and Public Policy Making) Pembangunan dan Pemberdayaan (Development and Empowerment) Amal Sosial-Keagamaan dan Kemanusiaan (Charity and Relief) (Sumber : Indonesia Zakat and Development Report (IZDR), 2009)
Dari gambar di atas menunjukkan reorientasi OPZ di Indonesia yang berupaya melakukan perubahan dan pengembangan terhadap pendayagunaan dana kemanusiaan berupa zakat secara bertahap dari amal sosial keagamaan dan kemanusiaan menuju pada pembangunanan dan pemberdayaan untuk lanjut pada advokasi dan pembuatan kebijakan publik serta pemikiran dan peradaban yang berbasis zakat. Dengan demikian melalui peran dari OPZ atau pelaksananya yaitu amil untuk mengelola dan mendayagunakan zakat dapat berperan secara profesional, amanah dan kredibel sehingga zakat dapat memberi nilai tambah positif sesuai dengan yang seharusnya dikehendaki oleh Islam.
Upaya untuk mentransformasi peran zakat agar lebih memberikan manfaat pada masyarakat atau komunitas penerima zakat (dhuafa) dengan kondisi ekonomi dan kesejahteraannya ada pada kategori miskin diantaranya adalah melakukan praktek zakat secara produktif yaitu zakat produktif. Kontribusi dari adanya implementasi pendayagunaan zakat secara produktif ini didukung oleh berbagai studi yang menunjukkan peran instrumen zakat produktif telah memberikan dampak perubahan berupa peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan penerima zakat (dhuafa). Dengan kata lain, zakat dapat digunakan sebagai instrumen dalam pembangunan perekonomian terutama di daerahdaerah yang telah memiliki sistem untuk menerapkan zakat secara luas baik oleh
99
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
BAZ maupun OPZ. Pengamatan peneliti, sampai sejauh ini kajian zakat belum ada yang secara khusus melihat perubahan kultur atau transformasi habitus dari komunitas penerima zakat (dhuafa). Studi yang ada masih berorientasi pada aspek perubahan dhuafa yang sifatnya materiil yaitu ditinjau dari sisi peningkatan pendapatan, peluang kerja tetapi belum menyentuh pada aspek kedirian (self) dhuafa. Aspek kedirian ini berupa kesediaan dhuafa untuk mengubah nasib agar tidak selamanya menjadi dhuafa tetapi suatu saat dapat menjadi muzakki (donatur zakat). Karena seperti yang kita ketahui khususnya bagi penerima zakat yang ada di wilayah pedesaan, orientasi kehidupannya cenderung masih bersifat fatalis dan masih jarang berorientasi jangka panjang dengan implikasi pada kondisi yang tetap miskin. Tentunya dari sinilah peran dan kontribusi dari pihak OPZ yang pada akhirnya akan menentukan arah ke depan keberhasilan distribusi atau pendayagunaan zakat yang benar-benar secara nyata mampu mengubah kehidupan komunitas dhuafa. Dari adanya realitas empirik tentang praktik sosial berupa distribusi dana zakat produktif inilah yang menjadi ketertarikan peneliti lebih lanjut untuk melakukan kajian mengenai transformasi atau perubahan habitus yaitu aspek kultur ekonomi komunitas dhuafa ditinjau dari aspek pengetahuan (knowledge), perspektif (mindset) dan tindakan atau cara hidup (action). Hal ini menjadi penting untuk dikaji mengingat visi dari adanya distribusi zakat pada dhuafa adalah munculnya perubahan kultur khususnya cara hidup yang pada akhirnya mampu memandirikan komunitas dhuafa. Dari
konteks inilah, peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu: Pertama, Faktor atau mekanisme apa yang mampu membentuk komunitas penerima zakat untuk melakukan transformasi habitus? dan Kedua, Bagaimana hasil (output) dari adanya mekanisme transformasi habitus yang terjadi pada komunitas penerima zakat dan implikasinya pada kemandirian komunitas penerima zakat?. Rumusan tersebut menjadi titik tolak peneliti melakukan penelitian untuk identifikasi dan eksplorasi pengetahuan lokal komunitas dhuafa mengenai zakat produktif yang juga ditinjau dari pihak Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) selaku pemberi layanan zakat ZIS (Zakat, Infaq dan Shadaqah) sebagai kesatuan interaksi sosial. B. EKSISTENSI ORGANISASI
PENGELOLA ZAKAT (OPZ) DAN KOMUNITAS PENERIMA ZAKAT
Kedua OPZ dalam penelitian ini menunjukkan kiprah serupa saat pasca gempa di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Keduanya memiliki orientasi program berbeda khususnya bagi penerima program (selanjutnya disebut komunitas penerima zakat) sesuai dengan karakteristik kebutuhan mereka. Dari profil kedua OPZ menunjukkan adanya relevansi antara tujuan program dengan kriteria dan sasaran penerima manfaat program. Hal ini berimplikasi pada adanya kegiatan seleksi dan survei menjadi bagian tak terpisahkan sebelum mengimplementasikan program sebagai bentuk tanggung jawab lembaga pada donatur (muzakki). Selain itu agar program yang diterima benar-benar bermanfaat bagi sasaran
100
Dewi Cahyani Puspitasari: Transformasi Habitus Pada Komunitas Pemerima Zakat
(dhuafa) yang membutuhkan. Dengan demikian, harapan lembaga berupa keberhasilan program tidak hanya pada tujuan program semata melainkan kemanfaatan yang diterima oleh penerima program (dhuafa). Profil komunitas penerima zakat (dhuafa) dalam penelitian ini merupakan bentukan sosial khas sesuai dengan konteks sosial kultural yang ada. Dari kondisi geografisnya, komunitas dhuafa terbagi dalam 2 (dua) wilayah yaitu di Pertama, Kabupaten Bantul meliputi Kecamatan Banguntapan, Pundong dan Wonokromo. Kedua, Kota Yogyakarta adalah Kecamatan Ngampilan. Kondisi sosio demografi dapat ditunjukkan dari dari jenis kelamin dan usia, agama dan status perkawinan serta tingkat pendidikan. Dari jenis kelamin dan usia yaitu individu yang tergabung dalam komunitas program Misykat dari DPU-DT yang peneliti wawancara dan ikut sertakan pada FGD (Focus Group Discussion) semuanya adalah perempuan. Kondisi sama dengan kelompok penerima Qardhulhasan (pinjaman tanpa jasa atau bunga) di BMD Seloharjo semuanya adalah kaum ibu yang memiliki usaha meski di kelompok ternak kambing dilakukan oleh lakilaki. Sementara itu untuk kelompok tani dan peternak BMD Amanah mayoritas adalah laki-laki dengan 1 (satu) orang ibu yang menggantikan suaminya yang meninggal dunia. Dari sisi usia rata-rata ada pada usia 40 (empat puluh) tahun dengan kategori usia termuda yaitu usia 34 (tiga puluh empat) tahun untuk laki-laki dan usia 26 (dua puluh enam) tahun untuk perempuan. Kategori usia tertua yaitu 70 (tujuh puluh) tahun untuk laki-laki dan 65 (enam puluh lima) tahun untuk perempuan. Untuk 101
agama, semua informan menganut agama Islam. Meskipun di luar program atau kegiatan yang dilakukan oleh DPUDT dan BMD dapat diberikan kepada mereka yang non muslim berupa manfaat tidak langsung misalnya seperti yang dijelaskan oleh staf data BMD adanya kegiatan pertanian organik yang menghasilkan berbagai hasil turunan selain padi (beras) dapat melibatkan individu tanpa melihat latar belakang agamanya. Sementara itu untuk status perkawinan dari informan mayoritas menikah, 2 (dua) orang belum menikah dan 1 (satu) orang janda. Bila dilihat dari tingkat pendidikan dari informan yaitu individu yang bergabung di kelompok Misykat DPU-DT, kelompok Qardhulhasan dan petani di BMD rata-rata adalah tamat Sekolah Dasar (SD). Meski demikian terdapat tingkat pendidikan tertinggi adalah Strata 1 (S-1) untuk perempuan dan Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk laki-laki. Konteks kelembagaan dari organisasi pengelola zakat (OPZ) dan kondisi sosio kultural komunitas penerima zakat memberikan gambaran posisi masing-masing sebagai satu kesatuan interaksi. Keberadaan OPZ pada skala regional berimplikasi terhadap cakupan wilayah operasional program lembaga dapat diperuntukkan bagi masyarakat yang berdomisili di Propinsi D.I Yogyakarta. Selain itu dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa dinamika kehidupan masyarakat khususnya komunitas penerima zakat dampingan DPU-DT dan BMD cukup beragam sesuai konteks kewilayahannya. Deskripsi tersebut akhirnya sampai pada sebuah konklusi bahwa karakteristik sosial kemasyarakatan dari komunitas penerima zakat menjadi
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
acuan bagi DPU-DT dan BMD untuk melakukan intervensi komunitas melalui pendampingan. Dengan demikian, pemahaman terhadap posisi OPZ dan ragam kondisi komunitas menjadi titik tolak analisis mengenai praktik pendampingan komunitas dan transformasi habitus pada pembahasan selanjutnya.
Penjelasan mengenai interpretasi zakat produktif baik dari DPU-DT maupun BMD di atas menunjukkan sisi persamaan dan perbedaan pada tataran pemahaman dan implementasinya. Hal ini menunjukkan adanya variasi terhadap interpretasi zakat produktif khususnya dalam implementasinya. Kondisi ini dapat ditunjukkan tabel berikut:
C. KONSTRUKSI ZAKAT DAN PENDAMPINGAN KOMUNITAS Dana zakat yang diterima oleh OPZ sesuai dengan pengorganisasian dan pengelolaan zakat di Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Bab II Pasal 5). Dalam kaitannya dengan pendayagunaan zakat secara produktif sesuai fokus pencermatan penelitian ini, Yusuf Qardhawi (2005:31-33) menyatakan bahwa zakat produktif ini ada karena terdapat peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Menurutnya, agar seseorang dapat menunaikan zakatnya untuk mengentaskan kemiskinan mesti diketahui penyebab kemiskinan terhadap individu atau kemiskinan yang terjadi pada satu kelompok masyarakat maupun yang menimpa pada suatu daerah. Hanya saja dalam implementasinya, OPZ memiliki interpretasi berbeda mengenai zakat produktif. Perbedaan pemahaman juga terjadi di komunitas mengenai zakat yang berimplikasi pada ragam pemanfaatan dana zakat yang diterima dhuafa.
102
Dewi Cahyani Puspitasari: Transformasi Habitus Pada Komunitas Pemerima Zakat
Tabel 1. Interpretasi Zakat Produktif DPU-DT dan BMD OPZ
DPU-DT
BMD
INTERPRETASI PERSAMAAN
PERBEDAAN
a. Dasar hukum (fiqih) Islam tidak mengacu pada satu pendapat (fatwa) melainkan lebih pada unsur kebolehan (mubah) pengelolaan zakat untuk usaha produktif.
a. Metode pendekatan pada komunitas dhuafa (penerima zakat) : bersifat langsung melalui pertemuan rutin kelompok dengan pendamping.
b. Tujuan utama dari distribusi zakat produktif adalah perubahan kondisi dhuafa (penerima zakat) yaitu dari kondisi miskin menjadi meningkat kualitas hidupya atau pada tahap kemandirian.
b. Implementasi program atau kegiatan distribusi zakat produktif: Misykat berupa dana bergulir dan pendampingan.
c. Tujuan program atau kegiatan mempertimbangkan manfaat masyarakat di lingkungan sekitar komunitas dhuafa (penerima zakat) atau disebut dengan multiplier effect.
a. Metode pendekatan pada komunitas dhuafa (penerima zakat) : bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan adanya pembagian tugas antara BMD Centre dan BMD Lokal. Komunikasi dengan dhuafa secara intens dilakukan oleh pengelola BMD lokal. b. Implementasi program atau kegiatan distribusi zakat produktif: Pertanian padi organik dan Qardhulhasan (pinjaman tanpa bunga).
(Sumber: olah data penelitian).
Berdasarkan tabel di atas dijelaskan bahwa pada sisi persamaan terdapat 3 (tiga) hal yaitu pertama, dasar hukum Islam lebih pada zakat produktif lebih pada unsur mubah (kebolehan); kedua, tujuan utama dari distribusi zakat produktif adalah untuk kemandirian dhuafa (penerima zakat) berupa peningkatan kualitas hidup dan ketiga yaitu tujuan program atau kegiatan berdampak pada lingkungan (multiplier effect). Sedangkan pada sisi perbedaan ada pada 2 (dua) aspek yaitu metode pendekatan pada komunitas dhuafa (penerima zakat) dan implementasi program atau
kegiatan distribusi zakat produktif. Adanya perbedaan ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa DPU-DT dan BMD selain memiliki interpretasi mengenai zakat produktif berbeda yang berimplikasi pada perbedaan implementasi juga pada adopsi terhadap konsep pemberdayaan komunitas. Selanjutnya, pemahaman zakat di komunitas penerima zakat cukup beragam sesuai konteks komunitas penerima zakat dalam penelitian ini ada pada kondisi pasca bencana gempa. Pengetahuan zakat komunitas dhuafa dapat ditunjukkan tabel berikut :
103
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Tabel 2. Pengetahuan Komunitas Penerima Zakat Terhadap Zakat Produktif Komunitas DPU-DT BMD
a. b. c. d.
e. f. g.
Pengetahuan Zakat Produktif Zakat adalah bantuan (santunan). Zakat adalah sadaqah. Zakat adalah kewajiban dalam Islam (ibadah). Zakat adalah keuntungan dari usaha untuk membantu orang tidak mampu. Zakat adalah mengeluarkan sebagian harta yang dimiliki. Zakat adalah kewajiban orang kaya (mampu). Zakat adalah pemberian harta atau benda secara ikhlas dan sukarela.
(Sumber : olah data penelitian).
Berdasarkan tabel tersebut dapat ditunjukkan bahwa pengetahuan komunitas penerima zakat mengenai zakat produktif masih beragam. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan pengetahuan (stock of knowledge) dari komunitas penerima zakat dengan kultur pemanfaatan dana zakat. Meski hal ini juga perlu mempertimbangkan
karakteristik dari penerima zakat yang beragam latar belakang pendidikan, usia dan tingkat kebutuhan sosial ekonominya. Kondisi tersebut berimplikasi pada ragam pemanfaatan dana zakat oleh komunitas penerima zakat yang ditunjukkan tabel sebagai berikut :
Tabel 3. Ragam Pemanfaatan Dana Zakat Komunitas Kategori Zakat Zakat Fitrah Zakat Maal (berupa uang)
Bentuk Pemanfaatan Memenuhi kebutuhan pangan (beras) keluarga a. Merintis usaha baru b. Menambah modal usaha c. Membenahi rumah atau tempat tinggal d. Menambah uang saku anak sekolah e. Membiayai pendidikan atau sekolah anak f. Biaya pengobatan (khusus saat penerima zakat pada kondisi sakit parah)
(Sumber :olah data primer penelitian). 104
Dewi Cahyani Puspitasari: Transformasi Habitus Pada Komunitas Pemerima Zakat
Bila dilihat pada tabel menunjukkan porsi atau alokasi pemanfaatan zakat masih dominan untuk pemenuhan konsumtif meliputi pangan, rumah tinggal, pendidikan dan pengobatan (kesehatan). Sementara itu untuk pemanfaatan produktif atau dikenal dengan zakat produktif ada pada aspek merintis usaha baru serta menambah modal usaha dari komunitas penerima zakat.
tengah mereka; (2) rekayasa sosial yang merupakan proses perencanaan perubahan sosial untuk menuju tatanan kehidupan yang lebh baik; (3) program yang dijalankan harus didasarkan atas dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat; (4) menekankan pada keterlibatan masyarakat secara aktif dalam melaksanakan program mulai dari perencanaan sampai evaluasi dan pengembangan; (5) memadukan seluruh Penjabaran mengenai interpretasi potensi dan sumberdaya yang dimiliki zakat produktif baik pada OPZ oleh masyarakat dan (6) berkelanjutan. (organisasi pengelola zakat) maupun Mencermati lebih lanjut adanya komunitas penerima zakat pada aktivitas pendampingan komunitas pembahasan sebelumnya memberikan oleh OPZ ini relevan dengan konsep konsekuensi khususnya OPZ untuk transformasi. Pendapat Delaney dalam melakukan pendampingan komunitas Gauthamadas (2005:5&6) menyatakan penerima zakat. Penerjemahan terhadap bahwa proses transformasi merupakan tujuan dan konsep zakat yang didekatkan aksi meningkatkan kapasitas manusia, dengan paradigma pengembangan budaya dan modal sosial termasuk masyarakat (community development) transformasi peran gender, transformasi melalui aksi pendampingan seperti dari kelompok yang memiliki yang dikaji oleh peneliti melalui 2 (dua) kerentanan, pemberdayaan sosial OPZ ini memiliki prinsip seperti yang ekonoomi, manajemen lingkungan disampaikan oleh Halim dalam Nana dan peningkatan kapasitas lokal. (2010:38) yaitu (1) berorientasi pada Berdasarkan penjelasan Gauthamadas kesejahteraan lahir dan batin untuk tersebut dapat diilustrasikan mengenai membenahi kehidupan sosial bersama pendampingan DPU-DT dan BMD masyarakat agar penindasan dan sebagai sebuah proses transformasi ketidakadilan tidak lagi hidup di tengah- sosial sebagai berikut : Gambar 4. Pendampingan OPZ Sebagai Proses Transformasi PENDAMPINGAN KOMUNITAS Sumber daya komunitas
Peningkatan Kapasitas SDM EVENT: Gempa
Konteks Kerentanan: Fisik, ekonomi
Transfer NilaiNilai Budaya
Strategi Pendampingan : Kelompok Ekologi Sosial Hasil Pendampingan (outcomes)
{Sumber: diadaptasi peneliti dari kerangka transformasi sosial (Mak dalam Gauthamadas, 2005) } 105
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa konteks lokasi penelitian yang merupakan kelompok komunitas (sasaran) program implementasi distribusi zakat produktif oleh OPZ (DPU-DT dan BMD) adalah korban gempa bumi. Hal ini berimplikasi pada adanya kerentanan fisik berupa ketiadaan atau rusaknya tempat tinggal dan tempat usaha serta kerentanan ekonomi berupa ketiadaan modal untuk merintis usaha kembali. Kehadiran OPZ melalui aktivitas pendampingan merupakan sinergitas proses yaitu untuk mengoptimalkan sumber daya komunitas melalui peningkatan kapasitas untuk mentransfer nilai-nilai budaya dan menunjang kemanfaatan lingkungan sosial (ekologi sosial). Strategi pendampingan melalui kelompok memberi kemudahan untuk mengorganisasikan individu penerima zakat sehingga target atau tujuan dari pendampingan dapat memberikan hasil optimal berupa ‘transformasi produktif’pada komunitas. D. DARI PENDAMPINGAN MENUJU TRANSFORMASI HABITUS Program atau kegiatan yang diintervensikan oleh OPZ pada komunitas penerima zakat diharapkan dapat memunculkan ‘transformasi produktif’ melalui instrumen ekonomi partisipatif berupa keuangan mikro berbasis masyarakat (Misykat) di DPUDT maupun Qardhulhasan (pinjaman tanpa bunga), peternakan kambing dan pertanian organik di BMD. Selanjutnya dari adanya praktik pendampingan, peneliti mengkoneksikannya dengan konsep habitus. Secara konsep, menurut Richard Jenkins (dalam Fashri,2007:91), habitus bisa didekati melalui 3 (tiga)
106
pandangan berbeda yaitu (a) kondisi objektif menghasilkan habitus, (b) habitus disesuaikan dengan kondisi objektif dan (c) terdapat hubungan resiprokal atau dialektis di antara mereka. Habitus juga dapat dipilah menjadi dua aspek yaitu habitus yang dimiliki individu (habitus individu) yang secara khas didapatkan oleh individu melalui pengalaman dan sosialisasi dan ‘habitus kolektif’ sebagai fenomena kolektif yang menunjuk pada suatu kelas. Berdasarkan konsep tersebut, peneliti melakukan identifikasi habitus komunitas yang mengarah pada ‘habitus individu’ dan ‘habitus kolektif’. Dari ragam habitus tersebut, peneliti memunculkan kategorisasi ‘habitus zakat’ dan ‘habitus produktif’ yang mengacu hasil penelitian. Berikut penjelasannya : D.1. Habitus Komunitas DPU-DT a. Habitus Individu Habitus dalam pengertian Bourdieu (dalam Fashri,2007:87) bahwa habitus sebagai perlengkapan dan postur sebagai posisi tubuh/ fisik juga kualitas sebagai sifat-sifat menetap dalam diri yang lama kelamaan membentuk sifat yang relatif m e n e t a p . Berdasarkan penjelasan ini berikut identifikasi habitus individu dari komunitas DPU-DT :
Dewi Cahyani Puspitasari: Transformasi Habitus Pada Komunitas Pemerima Zakat
Tabel 4. Habitus Individu Komunitas DPU-DT
Kategori Habitus Habitus Zakat
Habitus Produktif
Kondisi Habitus Individu Sebelum pendampingan: a.Individu memahami zakat sebagai bantuan yang sifatnya konsumtif (langsung habis). b. Individu memanfaatkan zakat untuk kebutuhan sehari-hari berupa makanan,biaya pendidikan dan kesehatan. c. Individu masih lebih banyak menerima zakat daripada membayar zakat. Setelah pendampingan : a. Individu mulai memahami dana zakat untuk usaha produktif b. Individu memanfaatkan dana zakat untuk usaha produktif c. Individu mulai membiasakan berinfaq atau berzakat mandiri. Sebelum pendampingan: a.Individu belum mengenal dan mengaplikasikan manajemen usaha sehingga belum ada kemajuan usaha. b. Individu belum mengenal dan mengaplikasikan manajemen keuangan sehingga jarang atau tidak ada dana yang ditabung sebagai cadangan atau investasi pengembangan usaha. c. Individu belum mengenal dan mengaplikasikan manajemen pemasaran sehingga belum ada perluasan pasar. Setelah pendampingan: a. Individu mulai mengenal dan mengaplikasikan manajemen usaha. b. Individu mulai mengenal dan mengaplikasikan manajemen keuangan dan membiasakan menabung. c. Individu mulai mengenal dan mengaplikasikan manajemen pemasaran sehingga mulai ada perluasan pasar
(Sumber: olah data penelitian).
107
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan habitus individu, yaitu sebelum dan setelah adanya pendampingan. Pada habitus zakat, sebelum pendampingan individu masih memahami zakat sebagai bantuan yang sifatnya konsumtif tapi kemudian setelah pendampingan mulai ada pemahaman dana zakat untuk usaha produktif. Selanjutnya, sebelum pendampingan individu memanfaatkan zakat untuk pemenuhan kebutuhan seharihari, pendidikan dan kesehatan tapi setelah pendampingan mulai ada alokasi zakat untuk usaha produktif. Selain itu, sebelum pendampingan masih menerima zakat tapi setelah
pendampingan mulai membiasakan berinfaq atau zakat mandiri. Adanya habitus individu ini dimana individu tergabung dalam kelompok Misykat memberi implikasi pada adanya habitus kolektif baik pada habitus zakat maupun habitus produktif. b. Habitus Kolektif Pencermatan habitus kolektif ini merujuk pendapat Jenkins pada penjelasan sebelumnya bahwa habitus kolektif menunjuk pada suatu kelas atau kelompok. Dalam hal ini peneliti mengidentifikasi habitus kolektif komunitas DPUDT sebagai berikut :
Tabel 5. Habitus Kolektif Komunitas DPU-DT Kategori Habitus Habitus Zakat Habitus Produktif
Kondisi Habitus Kolektif Mekanisme berzakat sifatnya sukarela dari individu dengan konsep Zakat Mandiri dalam kelompok. Mekanisme usaha bersama belum dapat terwujud karena orientasi usaha masih bersifat individual. (Sumber: olah data penelitian).
Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan bahwa habitus kolektif berupa habitus zakat sifatnya sukarela dari individu melalui mekanisme zakat mandiri dimana masing-masing anggota menyetorkan dana infaq atau zakat dalam kelompok. Sementara untuk habitus produktif berupa usaha bersama belum dapat terwujud karena orientasi usaha masih bersifat individual. D.2. Habitus Komunitas BMD Pencermatan habitus komunitas BMD ini mengacu pada kategorisasi pada pembahasan sebelumnya sesuai dengan hasil penelitian sebagai berikut : 108
a. Habitus Individu Identifikasi habitus individu mengacu pada penjelasan sebelumnya yang diilustrasikan tabel berikut:
Dewi Cahyani Puspitasari: Transformasi Habitus Pada Komunitas Pemerima Zakat
Tabel 6. Habitus Individu Komunitas BMD Kategori Habitus
Habitus Zakat
Kondisi Habitus Individu Sebelum pendampingan: a. Individu masih berorientasi sebagai penerima zakat belum penyantun zakat. b. Individu memahami zakat sebagai bantuan yang sifatnya konsumtif (langsung habis). c.. Individu memanfaatkan zakat untuk kebutuhan sehari-hari berupa makanan, biaya pendidikan dan kesehatan. Setelah pendampingan: a. Individu mulai ada kesadaran berinfaq rutin (buku infaq BMD) dan membayar zakat (fitrah). b. Individu mulai memahami adanya dana zakat untuk usaha produktif. c. Individu mulai memanfaatkan zakat untuk usaha produktif.
Sebelum pendampingan : a. Individu belum mengenal dan mengaplikasikan manajemen usaha. b. Individu belum mengenal dan mengaplikasikan manajemen keuangan sehingga jarang atau tidak ada dana yang ditabung sebagai cadangan atau investasi pengembangan usaha. c. Individu belum mengenal dan mengaplikasikan manajemen Habitus Produktif pemasaran sehingga belum ada perluasan pasar. Setelah pendampingan: a. Individu mulai mengenal dan aplikasikan manajemen usaha. b. Individu mulai membiasakan menabung. c. Individu mulai mengembangkan jaringan untuk pemasaran usaha. (Sumber: olah data penelitian).
Berdasarkan tabel tersebut, kondisi habitus individu pada habitus zakat, sebelum pendampingan pada pemahaman zakat sebagai bantuan dengan pemanfaatan untuk kebutuhan konsumtif dan belum adanya kebiasaan berzakat. Hal ini menjadi berbeda setelah pendampingan, individu mulai ada kesadaran berinfaq secara rutin,
memanfaatkan dana zakat untuk usaha produktif. b. Habitus Kolektif Identifikasi habitus kolektif mengacu pada penjelasan sebelumnya yang ditunjukkan tabel berikut :
109
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Tabel 7. Habitus Kolektif Komunitas BMD Kategori Habitus
Kondisi Habitus Kolektif Mekanisme berzakat sifatnya sukarela dari Habitus Zakat individu langsung pada pengelola BMD. Mekanisme kelompok tani untuk Habitus Produktif pengelolaan pertanian padi dan peternakan kambing. (Sumber: olah data penelitian).
Berdasarkan ilustrasi tabel di atas menunjukkan kondisi habitus kolektif pada habitus zakat masih bersifat sukarela yang disetorkan melalui pengelola BMD. Kondisi ini berbeda dengan komunitas DPU-DT yang mulai membiasakan berinfaq atau berzakat dalam kelompok. Hal ini dikarenakan manajemen pengelolaan zakat dilakukan langsung oleh pengelola BMD selaku pihak yang bertanggung jawab atas distribusi zakat dari donatur BMD. Sementara untuk habitus produktif dilakukan melalui mekanisme kelompok tani untuk pengelolaan pertanian padi dan peternakan kambing. Dengan demikian, kelompok memberi konsekuensi munculnya habitus produktif secara kolektif untuk pengembangan usaha.
Deskripsi tersebut bila dikoneksikan dengan konsep habitus menjadi relevan yaitu praktik pendampingan telah berhasil mengedukasi dan mentransformasi pengetahuan untuk kemudian komunitas atau dalam hal ini secara khusus individu melakukan respons dari adanya proses tersebut. Bentuk respons tersebut muncul dalam ‘perilaku reproduktif’ dari pengetahuan baru yang diperoleh individu penerima zakat dalam komunitasnya melalui praktik pendampingan. Perilaku reproduktif ini dilakukan karena adanya proses penyadaran dalam praktik pendampingan untuk menjawab masalah (kerentanan) yang dihadapi individu penerima zakat pasca bencana. Kondisi ini dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Gambar 5. Perilaku Reproduktif Komunitas Pendampingan
Transformasi Pengetahuan
Reproduksi Habitus
Reproduksi Pengetahuan
Habitus Baru
Sumber : Pemikiran 110
Dewi Cahyani Puspitasari: Transformasi Habitus Pada Komunitas Pemerima Zakat
Berdasarkan gambar di atas dapat ditunjukkan bahwa adanya pendampingan memberi implikasi pada transformasi pengetahuan (penjelasan Bab IV poin A.1) yang kemudian diadopsi oleh individu pada komunitas penerima zakat atau disebut reproduksi pengetahuan. Bentuk reproduksi pengetahuan yang berupa pengetahuan agama dan ekonomi menjadikan proses reproduksi habitus yang merupakan pembaruan atas ‘habitus lama’ dari individu penerima zakat. Dari kedua proses inilah kemudian memberikan kapasitas pada individu penerima zakat untuk melakukan pola tindakan ‘habitus baru’ sebagai hasil dari adanya pendampingan oleh OPZ. E. PENUTUP Pembahasan hasil penelitian ini menunjukkan adanya transformasi habitus berupa perubahan habitus individu (dhuafa) dan habitus kolektif (komunitas). Mekanisme transformasi habitus ini diperoleh dari adanya praktik pendampingan yang berimplikasi pada transformasi pengetahuan individu penerima zakat (dhuafa). Selain itu, adanya kapasitas individu (dhuafa) untuk mereproduksi pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan pendampingan berimplikasi pada praktik sosial kehidupan seharihari mereka sebagai suatu ‘habitus baru’. Bentuk ‘habitus baru’ tersebut ada pada 2 (dua) aspek yaitu pertama, habitus untuk menunaikan zakat yang menjadi indikasi transformasi dhuafa dari penerima zakat sebagai pemberi zakat meskipun masih pada zakat fitrah. Kedua, habitus produktif
berupa peningkatan kapasitas dari dhuafa untuk mengelola dana zakat yang diterima untuk kegiatan produktif sesuai keterampilan dan jenis usaha yang ada. Proses transformasi habitus pada komunitas penerima zakat bukan tanpa kendala karena adanya aspek pengetahuan serta pemahaman komunitas dan lingkungan sosial mengenai zakat produktif yang dianggap sebagai hal baru dalam distribusi zakat dari OPZ. Perbedaan inilah yang menjadi salah satu pembeda proses transformasi habitus antara individu satu dengan lainnya dalam satu komunitas penerima zakat. Selain itu, kendala dalam mengelola dana zakat yang diterima komunitas untuk kepentingan ekonomi mereka yaitu masih adanya perlakuan zakat sebagai pengeluaran tanpa pengembalian yang mempunyai dampak positif bagi transformasi ekonomi mereka. Kondisi ini kemudian direspon oleh OPZ yang tidak hanya mendistribusikan dana zakat melalui suatu program atau kegiatan tetapi juga diikuti dengan pendampingan intensif pada komunitas. Adanya proses pendampingan inilah yang kemudian mengaktifkan interaksi individu dalam satu komunitas penerima zakat secara bersama-sama memobilisasi kapasitas dan modal yang ada untuk transformasi ekonomi dan habitus mereka.
111
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
DAFTAR PUSTAKA Amiruddin,dkk.2005.Anatomi Fiqih Zakat-Potret dan Pemahaman Badan Amil Zakat Sumatera Selatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bourdieu, Pierre (terj).2010.Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Bourdieu,Pierre.The Logic of Practice, dari www.library.nu.diakses tanggal 21 November 2010. Fashri, Fauzi.2007.Penyingkapan Kuasa Simbol.Yogyakarta: Juxtapose. Gauthamadas.Social transformation of the tsunami affected fishing community : the concept and the need, dari www. ADEPT.org, diakses tanggal 20 November 2010. Harker, Richard dkk.2009. (HabitusxModal) + Ranah=Praktik:Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu.Yogyakarta: Jalasutra. Houston,Stan.2002.Reflecting on Habitus,Field and Capital, dalam Journal of Social Work Vol II,No.2, dari www.sagepub.com,diakses tanggal 1 September 2010. Mills,Carmen.2008.Reproduction and Transformation of Inequalities in schooling: the transformative potential of the theoretical constructs of Bourdieu, dalam British Journal of Sociology of Education Vol.29, No.1, dari www. informaworld.com, diakses tanggal 25 April 2011. Mintarti, Nana dan Gito Haryanto.2010. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis
112
Zakat Studi Kasus Perajin Gula Kelapa di Kabupaten Pacitan dalam Jurnal Zakat & Empowering, Volume 3, edisi: September. Mustafa,dkk.2009.IZDR 2010: Menggagas Arsitektur Zakat Indonesia, Menuju Sinergi Pemerintah dan Masyarakat Sipil Dalam Pengeololaan Zakat Nasional. Jakarta: PEBS-UI dan IMZ. Qardhawi,Yusuf.2005.Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan.Jakarta:Zikrul Hakim. Rukminto, Isbandi.2008.Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sudewo, Erie.2008.Politik Ziswaf Kumpulan Esei.Jakarta: UI Press dan CID. Sutisna, Nana dan Samsul Maarif.2010.Baitul Maal Desa, Menemukan Model Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Zakat dalam Jurnal Zakat&Empowering, Volume 3, edisi:September.
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
Biodata Penulis Tadjuddin Noer Effendi. Aktif sebagai pengajar Jurusan Sosiologi Fisipol UGM. Menyelesaikan pendidikan S1 di UGM kemudian S2 dan S3 di Flinders University, South Australia. Pernah menjadi peneliti di Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM tahun 1981-1998. Minat studi terkait masalah sosial terutama kaitan Pembangunan dengan Demografi Sosial, Ketenagakerjan (sektor informal, non-farm), kemiskinan dan belakangan ini tertarik dengan isu-isu modal sosial. Email :
[email protected] Ariefa Efianingrum. Pengajar di Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Sejak tahun 2012, melanjutkan studi pada program S-3 Sosiologi Fisipol UGM. Aktif meneliti, menulis, dan pengabdian masyarakat, khususnya komunitas pendidikan di sekolah. Kultur sekolah dan issue kekerasan di sekolah menjadi fokus perhatian dalam kajian ilmiahnya beberapa tahun terakhir. Aktivitas sosioakademiknya dikontribusikan untuk mewujudkan kultur sekolah yang nyaman bagi warga sekolah. Email :
[email protected] Wahyu Budi Nugroho. Menyelesaikan Master Sosiologi UGM tahun 2013. Publikasi artikel: Eksklusi dan Radikalisme di Indonesia; Pancasila sebagai Pseudo Ideologi; Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi; Peran Masyarakat dalam Pemberantasan Terorisme. Buku yang telah terbit; Surat-surat Cinta untuk KPK, Orang Lain Adalah Neraka!: Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre, serta Alienasi, Fenomenologi, dan Pembebasan Individu. Email:wahyubudinug@yahoo. com Barito Mulyo Ratmono. Mahasiswa Doktoral Program StudiKajian Budaya dan Media (KBM UGM). Minat studi studi kebudayaan, media, dan konflik sosial. Saat ini berdinas di Kepolisian RI. Email :
[email protected] Dedi Ilham Perdana. Alumni Pasca Sarjana Sosiologi UGM, saat ini berposisi sebagai peneliti independen. Fokus dan minat riset pada isu ketenagakerjaan dan 113
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
manusia secara umum. Email :
[email protected] Ahmad Fadli Azami. Mahasiswa aktif Sosiologi UGM. Pernah aktif di dewan redaksi majalah Balairung. Kini duduk di dewan redaksi majalah intelektual Kongres dan penulis lepas surat kabar lokal-nasional. Menekuni kajian-kajian sosial gender, sosiologi medis, sosiologi ekonomi, kekerasan sosial, sosiologi pengetahuan. Email :
[email protected] Umi Latiefah, lulus sarjana sosiologi UGM tahun 2013, artikel yang ditulis merupakan riset skripsi. Saat ini sedang melakukan riset dan menulis artikel ilmiah. Minat Studi Cultural Study. Email :
[email protected] Dewi Cahyani Puspitasari.Lahir di kota Yogyakarta, saat ini pengajar di Jurusan Sosiologi, FISIPOL UGM. Pernah aktif di Koperasi ‘Kopma UGM’, Dewan Presidium pada Himpunan Koperasi Mahasiswa Yogyakarta (HKMY) dan Korwil pada Forum Komunikasi Koperasi Mahasiswa Indonesia (FKKMI). Terlibat dalam Tim Advokasi Bencana (2006-2007) di Dompet Dhuafa Republika, Koordinator Program PPRB kerjasama Daya Annisa-UNDP (2010) memberikan pengalaman seputar filantropi islam, pemberdayaan ekonomi perempuan,koperasi dan penanggulangan bencana. Email :
[email protected]
114
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
FORMULIR BERLANGGANAN Kepada: Jurnal Pemikiran Sosiologi Jurusan Sosiologi, FISIPOL, UGM Jl. Sosio Yutisia, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281. Nama
: ____________________________________________
Alamat
: ____________________________________________
________________________Kode Pos :___________
Telepon
: _______________________Fax :_________________
Email
: ___________________________________________
Berlangganan Jurnal Pemikiran Sosiologi untuk, Volume
: ____No:___Tahun:________
__________,___________,20____
____________________________ Nama : Harga berlangganan Jurnal Pemikiran Sosiologi Rp 75.000, per tahun, termasuk ongkos kirim, sedangkan harga per eksemplar Rp 35.000.
Pembayaran : Transfer ke No. Rekening : 137-0006260810 a.n Heru Nugroho/Purwanto, Bank Mandiri Kantor Cabang Magister UGM, Bulaksumur, Yogyakarta. Bukti transfer dan formulir (bisa di scan/copy) dapat di email dan fax ke alamat redaksi dengan mencantumkan Redaksi Jurnal Pemikiran Sosiologi
115
JURNAL PEMIKIRAN SOSIOLOGI Volume 2 No.1 Mei 2013
116