Phronesis Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan Organisasi 2009, Vol. 11, No. 1, 80-93
Brand Image Cafe X: Cermin Kepuasan Konsumen Dewi Novita & P. Tommy Y. S. Suyasa Universitas Tarumanagara
The purpose of this research is to describe the brand image and consumer satisfaction of X Cafe. In addition, this research also describes the difference brand image perceived by satisfied customers and unsatisfied customers. Subject of this research contained 100 persons which included male and female. The data was analyzed using multivariate method with support from SPSS. The result of this research shows that the average score of X Cafe customer satisfaction is under satisfied score due to some unfulfilled hopes toward X Cafe. The brand images perceived by X Café customers who feel satisfied are quiet ambience, good quality drinks, and relaxing place. On the contrary, the brand images perceived by unsatisfied customers are crowded ambience, expensive, and place for reading free newspaper and magazine. Keywords: brand image, consumer satisfaction, café
Salah satu kafe waralaba asing yang terus mengalami perkembangan pesat adalah Cafe X yang berasal dari Amerika Serikat. Hal ini dibuktikan dengan semakin bertambahnya jumlah gerai yang dibuka, meskipun tingkat persaingannya cukup ketat (Rahardjo & Yulianti, 2004). Tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilannya berkaitan dengan adanya strategi bisnis yang dilakukan pihak manajemen secara tepat. Cafe X tak sekadar menjual kopi, tetapi juga bisnis gaya hidup. Di tangan Howard D. Schultz, salah satu pendiri Cafe X, secangkir kopi adalah sebuah pengalaman komplet yang dinikmati lidah, tata ruang yang menyegarkan mata, Dewi Novita adalah alumni Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. P. Tommy Y. S. Suyasa adalah dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Korespondensi artikel ini dialamatkan ke e-mail: fpsi.untar@ gmail.com
80
musik indah yang menyentuh jiwa, serta suasana akrab yang nyaman (Sarnianto, 2005). Bukan hanya alat pembuat kopinya yang harus memenuhi standar, musiknya pun bahkan memiliki standar khusus. Keistimewaan Cafe X adalah menggunakan kopi Arabica yang berkadar kafein rendah, yang berasal dari pegunungan di Kenya dan Pulau Sumatera. Namun, semua itu tentu saja tidak langsung dikirim ke masingmasing gerai. Kopi harus dibawa dulu ke Seattle untuk diproses, sehingga menjamin keaslian dan aromanya yang menawan (Kartajaya, 2004). Cafe X pertama kali didirikan oleh Gerald Balwin, Gordon Bowker, dan Zev Siegi pada tahun 1971 di Seattle, Amerika. Dengan konsep bahwa mereka adalah yang pertama yang menjual biji kopi berkualitas tinggi. Pada tahun 1987, pemilik awal menjual franchise Cafe X kepada Horward Schultz, pemilik II Giomale coffee bar.
BRAND IMAGE CAFE X: CERMIN KEPUASAN KONSUMEN
Pada saat itu juga, outlet II Giomale diganti dengan nama Cafe X dan membuka kafe pertamanya di Vancouver, British Columbia, dan Chicago, Illinois. Cafe X membuka gerai pertama di luar Amerika pada tahun 1996 di Tokyo, Jepang. Berdasarkan data perusahaan bulan Februari 2006, Cafe X memiliki 6.216 outlet yang ditangani perusahaan dan 4.585 outlet joint-venture dan lisensi yang tersebar di 30 negara. Cafe X pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 2002. Dalam waktu kurang lebih enam tahun, jumlah Cafe X di Indonesia telah melebihi 40 gerai. Konsumen Cafe X berasal dari berbagai ras, umur, pekerjaan, dan minat. Di Amerika, Cafe X terkenal di kalangan pelajar dan eksekutif muda. Cafe X menerima perbedaan konsumen dan berusaha menyediakan pelayanan yang baik dengan menawarkan berbagai produk yang sesuai dengan selera konsumen. Hingga saat ini, Cafe X tetap berusaha menembus pasaran di seluruh dunia. Oleh karena itu, Cafe X terus membangun citra merek agar dapat menjadi merek yang paling terkenal dan dihargai di seluruh dunia. Citra merek atau brand image adalah persepsi konsumen terhadap karakteristik suatu merek berdasarkan hasil pengalaman dan pengetahuan atau kepercayaannya (Loudon & Bitta, 1993). Persepsi merupakan suatu proses dimana individu menyusun dan menginterpretasikan informasi yang diterimanya dari luar (Santrock, 2003). Dengan kata lain, ketika konsumen mendapatkan informasi mengenai suatu produk, konsumen akan menyusun dan menginterpretasikan informasi tersebut. Sementara itu, menurut Zeithaml, Bitner, dan Gremler (2006), citra merek merupakan manifestasi dari pengalaman dan harapan konsumen terhadap suatu
barang atau jasa. Pengalaman konsumen dalam menggunakan sejumlah produk atau jasa akan tersimpan dalam memori jangka panjang. Memori jangka panjang ini berhubungan dengan sejumlah informasi terhadap suatu produk atau layanan jasa (Hawkins, Best, & Coney, 2004). Dalam hal ini, bila seseorang pernah mengunjungi suatu kafe, maka akan terdapat sejumlah informasi mengenai kafe tersebut dalam memorinya, misalnya kopi, aroma yang wangi, kenyamanan atau relaxing, sofa, musik jazz, dan lain-lain (Strategic Brand Communication Campaigns, 1999). Dengan demikian, perusahaan harus berusaha keras untuk memastikan bahwa produk dan layanan yang tersedia telah sesuai dengan harapan konsumen. Hal ini terus dilakukan untuk mencapai kesuksesan jangka panjang. Menciptakan citra merek yang positif adalah sangat penting bagi setiap perusahaan, untuk mempertahankan keberadaanya dalam dunia bisnis. Nilai suatu bisnis secara langsung berkaitan dengan kekuatan merek yang dimilikinya. Produk dan layanan jasa yang mempunyai citra merek yang positif akan meningkatkan keyakinan konsumen dalam menggunakan produk dan jasa tersebut (Hawkins et al., 2004). Selain itu, citra merek yang positif dapat memberikan kesan baik terhadap kualitas suatu produk atau jasa. Hal ini seringkali terjadi karena terdapat kecenderungan konsumen memilih produk yang memiliki citra merek yang positif (Schiffman & Kanuk, 2004). Misalnya, ketika ingin membeli produk minuman cola, konsumen cenderung akan secara langsung mengingat merek Cocacola daripada merek minuman cola lainnya. Hampir semua produk dan layanan jasa yang terdapat di pasaran memiliki merek. Namun, tidak semuanya memiliki citra merek yang positif di mata konsumen.
81
NOVITA & SUYASA
Menurut studi yang dilakukan The Wall Street Journal terdapat beberapa merek yang tercatat memiliki citra merek positif di mata konsumen misalnya: Johnson & Johnson, Coca-cola, dan McDonald’s. Merek-merek tersebut memiliki nilai market share yang lebih tinggi dibandingkan dengan saingannya (Blackwell, Miniard, & Engel, 2001). Citra merek suatu produk atau jasa dapat diperkuat dengan menggunakan komunikasi pemasaran dan program loyalty untuk menekankan kualitas merek yang baik di mata konsumen (Kotler, 1997). Citra merek yang positif mendapatkan popularitas sebagai bukti terbentuknya perasaan dan gambaran konsumen terhadap merek tersebut. Hal ini berdasarkan pendapat bahwa konsumen tidak hanya membeli produk, tetapi juga citra yang berkaitan dengan produk tersebut, misalnya kekuatan, kekayaan, dan gaya hidup. Citra dapat dibentuk melalui pesan dan gaya iklan, simbol atau lambang merek, harga, pengemasan atau packaging, kegiatan promosi, pelayanan konsumen, dan dari mulut ke mulut (Aaker, 1997). Citra yang baik dapat meningkatkan atau menutupi kekurangan pelayanan yang dirasakan oleh konsumen, sebaliknya citra yang buruk akan memperburuk pengalaman konsumen (Suhartanto, Februardi, & Sanjaya, 2000). Merek-merek yang sukses biasanya memiliki tingkat consumer loyalty yang tinggi, nama yang disadari konsumen, dan asosiasi merek yang kuat (Aaker, 1991). Pada umumnya, perusahaan membentuk citra merek melalui iklan. Namun, perlu disadari bahwa pembentukan citra merek tidak hanya sebatas itu, mengingat citra merek adalah manifestasi dari harapan dan pengalaman konsumen (Zeithaml et al., 2006).
82
Pengalaman yang dialami konsumen berhubungan dengan perasaan puas ataupun tidak puas ketika menggunakan suatu produk. Kepuasan konsumen merupakan konsep penting dalam pemasaran produk ataupun layanan jasa. Menurut Kotler (1997), kepuasan adalah perasaan senang seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya. Pendekatan expectancy disconfirmation performance melihat kepuasan konsumen sebagai suatu kondisi pada saat suatu produk atau pelayanan mampu memberikan kenikmatan bagi konsumen (Peter & Olson, 2003). Dengan kata lain, kepuasan konsumen adalah tingkat di mana kualitas suatu produk mampu memenuhi harapan konsumen terhadap produk atau jasa. Konsumen yang merasa puas dengan suatu produk, pelayanan, atau merek tertentu cenderung akan melakukan transaksi pembelian berikutnya dan berbagi pengalamannya kepada orang lain (Kotler, 1997). Hal ini merupakan proses tercapainya consumer loyalty, dimana konsumen secara konsisten hanya membeli suatu produk bermerek tertentu. Selain tercapainya consumer loyalty, secara langsung terbentuk juga citra merek yang positif di pandangan konsumen. Dengan demikian keberhasilan pembentukan citra merek akan bergantung pada pengalaman yang diperoleh konsumen dari merek tersebut. Pengalaman yang dimaksud di sini tentunya pengalaman yang memuaskan konsumen dimana terdapat keserasian antara hasil yang diterima dengan harapannya atau bahkan melebihi harapannya. Pengalaman yang memuaskan konsumen akan membentuk persepsi positif di mata konsumen yang menggunakan produk tersebut (Assauri, 2003). Dengan kata lain,
BRAND IMAGE CAFE X: CERMIN KEPUASAN KONSUMEN
kepuasan konsumen memegang peran penting dalam menciptakan citra merek yang positif di mata konsumen guna mencapai kesuksesan suatu perusahaan. Cafe X berkomitmen untuk menggunakan biji kopi berkualitas tinggi dan menyediakan suasana kafe yang nyaman agar konsumen senantiasa merasakan pengalaman yang memuaskan. Pengalaman yang memuaskan terhadap Cafe X akan membentuk citra merek yang positif dalam benak konsumen. Konsumen yang merasa puas cenderung akan memiliki persepsi merek yang positif dan melakukan transaksi pembelian ulang atau berbagi pengalaman positifnya kepada orang lain (Kotler, 1997). Sebaliknya bila konsumen merasa tidak puas atau kecewa, maka konsumen cenderung memiliki persepsi merek yang negatif dan kemungkinan besar akan meninggalkan merek tersebut. Dalam penelitian ini, peniliti ingin menggambarkan persepsi brand image yang diberikan konsumen yang puas dan yang kurang puas.
Kepuasan Konsumen Menurut Kotler (2000), kepuasan konsumen adalah perasaan senang atau kecewa seseorang sebagai hasil dari perbandingan antara performa atau produk yang dirasakan dan yang diharapkan. Hoffman dan Bateson mendefinisikan kepuasan dan ketidakpuasan konsumen sebagai perbandingan antara harapan dan persepsi seseorang berkenaan dengan pelayanan aktual yang diperoleh (dikutip oleh Keni, 2005). Dengan definisi yang mirip, Sudaryo (2000) menyatakan kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan konsumen setelah membandingkan antara apa yang diterima dan yang diharapkan.
Pendekatan expectancy disconfirmation performance memandang kepuasan konsumen sebagai tingkat dimana suatu produk atau pelayanan dapat menyediakan pemenuhan kebutuhan bagi konsumen, termasuk di bawah batas pemenuhan atau underfulfillment dan di atas batas pemenuhan atau overfulfillment (Arnould, Price, & Zinkhan 2004). Dengan kata lain, kepuasan konsumen adalah tingkat di mana performa atau kinerja suatu produk mampu melebihi harapan konsumen. Meskipun terdapat perbedaan terhadap pemberian definisi kepuasan konsumen dari berbagai literatur, semua definisi tersebut mempunyai elemen kepuasan konsumen yang sama: (a) kepuasan konsumen merupakan suatu respon (emosional atau kognitif); (b) respon yang berhubungan dengan fokus tertentu (harapan, produk, pengalaman); dan (c) respon tersebut muncul pada waktu tertentu (setelah mengkonsumsi, setelah memilih, berdasarkan akumulasi pengalaman). Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan konsumen adalah perasaan atau sikap terhadap produk atau jasa yang muncul setelah konsumen mengkonsumsi dan melakukan penilaian terhadap produk atau jasa tersebut dengan membandingkan antara harapannya dan kinerja/performance produk yang dirasakannya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Konsumen Konsumen akan merasa puas setelah membeli atau mengkonsumsi suatu produk dan jasa, tergantung pada kinerja penawaran sehubungan dengan harapan konsumen (Kotler, 2000). Oleh karena itu,
83
NOVITA & SUYASA
banyak perusahaan yang terus meningkatkan kualitas produk mereka agar dapat bertahan dalam persaingan. Menurut Kotler (2000), yang dimaksud dengan kualitas adalah keseluruhan ciri serta sifat barang yang berpengaruh pada kemampuannya memenuhi kebutuhan baik yang dinyatakan maupun yang tersirat (emosional). Kualitas produk merupakan evaluasi menyeluruh yang dilakukan oleh konsumen terhadap kehandalan dan superioritas dari performa produk atau jasa tertentu (Keni, 2000). Selain peningkatan kinerja/kualitas produk, pemahaman mengenai harapan konsumen terhadap kinerja suatu produk atau jasa juga merupakan hal penting untuk mencapai kepuasan konsumen. Tingkat kualitas suatu produk atau jasa yang memuaskan ditentukan oleh konsumen berdasarkan harapannya. Dengan demikian, harapan konsumen melatarbelakangi mengapa dua merek yang berbeda pada jenis produk yang sama dapat memberikan tingkat kepuasan yang berbeda pada konsumen. Dalam konteks kepuasan konsumen, harapan merupakan perkiraan atau keyakinan konsumen terhadap apa yang akan diterimanya (Musanto, 2004). Menurut Mowen dan Minor, harapan konsumen mengenai kinerja suatu produk atau jasa dipengaruhi oleh berbagai faktor (Keni, 2000), antara lain: karakteristik produk dan konsumen, faktor promosi, dan pengalaman. Karakteristik produk, yaitu harga dan atribut/karakteristik fisik yang dimiliki produk tersebut. Misalnya jika produk tersebut memiliki harga yang tinggi maka konsumen akan memiliki harapan untuk mendapatkan standar performa yang tinggi pula. Sedangkan faktor promosi, yaitu bagaimana perusahaan mempromosikan produk baik melalui iklan maupun komunikasi sales personnel perusahaan. Di
84
samping itu, komunikasi dari mulut ke mulut (word-of-mouth communication) juga memainkan peranan penting dalam membentuk harapan konsumen. Jenis komunikasi ini terjadi bila konsumen kurang mempercayai pesan dari iklan atau sales personnel, sehingga mereka mencari informasi tambahan, mendengarkan nasihat dari orang lain sebelum membeli produk. Pengalaman sebelumnya dengan produk yang sama ataupun produk lain yang setara akan mempengaruhi harapan konsumen. Hal ini terjadi karena adanya kecenderungan konsumen untuk mengevaluasi pengalamannya dengan produk yang sama, produk yang lain dari industri yang sama, maupun produk yang berbeda dari industri yang berbeda pula. Pengalaman ini membentuk norma atau standar mengenai tingkat performa yang harus ditampilkan oleh suatu produk atau merek tertentu. Karakteristik konsumen yang berbeda mempengaruhi harapannya terhadap performa suatu produk. Setiap individu yang berbeda mungkin saja menghasilkan penilaian yang berbeda terhadap kinerja produk yang sama (Arnould et al., 2004). Selain itu, sebagian konsumen memiliki area toleransi penerimaan yang lebih besar dibandingkan dengan sebagian konsumen yang lain. Contohnya, konsumen yang lebih tua mempunyai harapan yang lebih rendah dan mudah merasa puas, dan konsumen yang berpendidikan tinggi mempunyai harapan yang lebih tinggi dan sulit merasa puas (Loudan & Bitta, 1993).
Pengaruh Kepuasan Konsumen terhadap Produk atau Jasa Best (2004) mengatakan bahwa kepuasan konsumen merupakan indikator
BRAND IMAGE CAFE X: CERMIN KEPUASAN KONSUMEN
awal dari kesuksesan bisnis yang mengukur sebaik apa konsumen akan berespon terhadap suatu perusahaan di masa yang akan datang. Sesudah mengkonsumsi suatu produk biasanya konsumen akan melakukan evaluasi, apakah produk itu telah menimbulkan kepuasan dalam dirinya atau malahan telah menimbulkan kekecewaan karena adanya ketidaksesuaian dengan harapannya. Bila konsumen merasa puas dengan suatu produk, pelayanan, atau merek tertentu, maka akan terdapat kemungkinan yang lebih tinggi untuk membeli produk itu kembali dan berbagi pengalamannya kepada orang lain. Hal ini memberikan kemungkinan tercapainya consumer loyalty di mana konsumen secara konsisten hanya membeli suatu produk bermerek tertentu. Sebaliknya, bila suatu produk menimbulkan kekecewaan dalam diri konsumen, maka rendah kemungkinannya konsumen tersebut melakukan pembelian ulang (Schiffman & Kanuk, 2004). Suatu studi yang dilakukan oleh White House Office of Consumer Affairs menemukan bahwa 90% atau lebih dari konsumen yang kecewa terhadap suatu produk tidak akan melakukan pembelian ulang. Dampak yang lebih buruk yaitu, setiap konsumen yang kecewa akan berbagi pengalaman buruknya kepada setidaknya 9 orang dan 13% dari konsumen yang tidak puas ini akan memberitahu setidaknya 20 orang tentang pengalaman negatif terhadap produk tertentu (Schiffman & Kanuk, 2004). Pada kenyataannya untuk menarik pelanggan baru memerlukan biaya yang lebih besar daripada mempertahankan pelanggan yang sudah ada/regular customer. Oleh karena itu, mempertahankan pelanggan yang sudah ada menjadi lebih kritikal daripada menarik pelanggan baru. Kunci
untuk mempertahankan regular customer adalah penyelarasan kinerja produk dan harapan konsumen sehingga dapat tercapainya kepuasan konsumen.
Brand Image atau Citra Merek Wells, Barnett, dan Moriaty (2003) mendefinisikan brand image atau citra merek sebagai gambaran mental yang menunjukkan bagaimana suatu merek dipersepsikan, termasuk semua elemen identifikasi; kepribadian produk/product personality, emosi dan asosiasi yang muncul dalam benak konsumen. Kepribadian produk atau product personality adalah karakteristik yang dimiliki suatu produk, misalnya ramah lingkungan, rendah kalori, dan lain-lain. Selain itu dapat juga mendefinisikan citra merek sebagai serangkaian asosiasi yang berhubungan dengan suatu merek produk atau jasa yang tersimpan dalam ingatan konsumen (Schiffman & Kanuk, 2004). Dengan kata lain, citra merek merupakan persepsi konsumen terhadap suatu merek yang tersimpan dalam ingatan konsumen (Arnould et al., 2004).
Pembentukan Brand Image atau Citra Merek Studi tentang citra menunjukkan bahwa citra terbentuk dari dua faktor, yaitu faktor komunikasi dan pengalaman konsumen selama mengkonsumsi suatu produk atau jasa (Zeithaml et al.,2006). Komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan dengan publik akan mempengaruhi persepsi konsumen terhadap produk perusahaan tersebut. Bentuk komunikasi ini dapat
85
NOVITA & SUYASA
berupa promosi, seperti: pemasangan poster, pembagian brosur, iklan melalui media informasi (televisi, majalah, koran, dan radio). Selain bentuk komunikasi yang dilakukan perusahaan, persepsi konsumen juga dipengaruhi oleh komunikasi antar konsumen yang dikenal sebagai word-ofmouth communication. Faktor kedua yang mempengaruhi citra adalah pengalaman konsumen baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam berhubungan dengan penyedia produk atau jasa (Gronroos, 1993). Jika konsumen mendapatkan produk atau jasa, harga, dan kualitas yang memuaskan, maka konsumen cenderung mempunyai persepsi yang positif terhadap merek tersebut. Demikian pula sebaliknya jika konsumen merasa tidak puas dengan produk atau jasa, harga, dan kualitas yang diterima, maka konsumen cenderung mempunyai persepsi yang negatif terhadap merek tersebut (Suhartanto & Kusdibyo, 2005).
Pengaruh Brand Image terhadap Produk atau Jasa Citra merek yang positif berkaitan dengan consumer loyalty atau kesetiaan konsumen, kepercayaan konsumen terhadap produk, dan kerelaan konsumen untuk mencari produk bermerek tersebut (Schiffman & Kanuk, 2004). Produk dan jasa yang mempunyai citra merek positif akan meningkatkan keyakinan konsumen dalam penggunaan produk dan jasa. Selain itu, citra merek yang positif dapat memberikan kesan baik terhadap kualitas suatu produk atau jasa. Hal ini seringkali terjadi karena adanya kecenderungan konsumen memilih produk yang memiliki citra merek yang positif (Loudan & Bitta, 1993).
86
Metode Partisipan Partisipan dalam penelitian ini adalah konsumen Cafe X di Jakarta. Konsumen Cafe X berasal dari berbagai ras, umur, pekerjaan, dan minat. Oleh karena itu, subjek penelitian tidak dibatasi oleh usia, suku, jenis kelamin, dan kelas sosial tertentu. Jumlah responden yang mengisi kuesioner berjumlah 125 orang, Tetapi karena 25 subjek tidak memenuhi kriteria penelitian, maka jumlah sampel yang digunakan berjumlah 100 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik nonprobability sampling dengan metode accidental dengan batas waktu selama dua bulan. Setelah pengolahan data, diketahui bahwa jumlah partisipan perempuan (59) lebih banyak dibandingkan jumlah partisipan laki-laki (41). Selisih jumlah partisipan perempuan dan laki-laki adalah sebesar 18%. Ditinjau dari segi usia, partisipan penelitian memiliki rentang usia dari 16 tahun hingga 39 tahun dengan rata-rata usia 24,71 tahun (SD= 4,081). Jumlah konsumen yang berusia 20-29 tahun memiliki persentase paling tinggi, yaitu sebesar 83%. Sedangkan konsumen yang berusia di bawah usia 20 tahun memiliki persentase paling rendah. Di sini dapat dilihat bahwa sebagian besar pengunjung Cafe X adalah konsumen berusia dewasa muda. Berdasarkan pendidikan terakhir, diketahui bahwa partisipan penelitian minimal lulusan SMA (Sekolah Menengah Atas) dan maksimal Sarjana. Dari 100 konsumen, sebagian besar partisipan penelitian merupakan lulusan Sarjana dan hanya 7% dari partisipan yang merupakan lulusan Akademi. Berdasarkan pekerjaan, sebagian
BRAND IMAGE CAFE X: CERMIN KEPUASAN KONSUMEN
besar konsumen Cafe X adalah pegawai swasta (50%). Selain itu, jumlah persentase yang cukup tinggi adalah pelajar atau mahasiswa (25%) dan wiraswasta (23%). Di bawah ini terdapat dua tabel yang
menunjukkan rata-rata frekuensi subjek mengunjungi Kafe per bulan selama tiga bulan terakhir.
Tabel 1 Gambaran Subjek berdasarkan Rata-rata Frekuensi ke Kafe Per Bulan Selama Tiga Bulan Terakhir Rata-rata Frekuensi Frekuensi Persentase Lebih dari 5 kali 16 16% 4 kali 5 5% 3 kali 6 6% 2 kali 9 9% 1 kali 6 6% Belum tentu 58 58% Total 100 100 Tabel 1 menunjukkan rata-rata frekuensi partisipan mengunjungi kafe secara umum, sedangkan tabel 2 menunjukkan
rata-rata frekuensi partisipan mengunjungi Cafe X per bulan.
Tabel 2 Gambaran Subjek berdasarkan Rata-rata Frekuensi ke Cafe X Per Bulan Selama Tiga Bulan Terakhir Rata-rata Frekuensi Frekuensi Persentase Lebih dari 5 kali 9 9% 4 kali 2 2% 3 kali 7 7% 2 kali 12 12% 1 kali 6 6% Belum tentu 64 64% Total 100 100 Dari kedua tabel, dapat dilihat bahwa sebagian besar partisipan penelitian tidak mempunyai frekuensi yang pasti mengunjungi Cafe X ataupun kafe lainnya dalam hitungan per bulan. Namun, masih terdapat sebagian dari partisipan penelitian yang mengetahui rata-rata frekuensi mengunjungi Cafe X.
Pengeluaran partisipan untuk mengunjungi kafe menggambarkan rata-rata besarnya pengeluaran partisipan dalam satu kali frekuensi mengunjungi kafe. Dari hasil pengolahan data, didapatkan pengeluaran partisipan minimum sebesar Rp.30.000 dan maksimum sebesar Rp.300.000. Rata-rata pengeluaran partisipan dalam penelitian ini
87
NOVITA & SUYASA
sebesar Rp. 98.200 (SD = Rp. 62.798). Rata-rata pengeluaran partisipan yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu ratarata pengeluaran antara Rp.30.000Rp.99.000, Rp.100.000-Rp.199.000, dan rata-rata pengeluaran antara Rp.200.000Rp.300.000. Berdasarkan kategori tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar konsumen (46%) mempunyai rata-rata pengeluaran antara Rp.30.000 hingga Rp.99.000 setiap satu kali mengunjungi kafe. Namun, persentase konsumen yang mengeluarkan biaya antara Rp.100.000 hingga Rp.199.000 juga tinggi (42%). Sedangkan hanya sedikit dari konsumen yang mengeluarkan biaya antara Rp.200.000 hingga Rp.300.000 setiap satu kali mengunjungi kafe (12%).
Pengukuran Variabel Kepuasan Konsumen Variabel pertama dari penelitian ini adalah kepuasan konsumen. Untuk melakukan pengukuran terhadap variabel kepuasan konsumen khususnya pada Café X, peneliti melakukan elisitasi pada 30 orang responden yang pernah berkunjung ke Café X. Hasil respon elisitasi tersebut berupa penyataan-pernyataan kondisi nyata Cafe X dan harapan terhadap Cafe X. Contohnya, suasana nyaman, pelayanan yang ramah, tersedianya minuman yang diinginkan, bisa bersantai dengan teman-teman. Jawaban dari setiap konsumen tersebut diajukan sebagai butir pada alat ukur kepuasan konsumen. Jumlah butir yang diperoleh dari hasil elisitasi tersebut adalah sebanyak 104 butir. Kemudian dilakukan pengelompokkan butir pada pilihan kata sifat yang memiliki kesamaan arti, sehingga butir yang didapat adalah sebanyak 44 butir.
88
Kisi-kisi penyataan yang dipakai dalam kuesioner dapat dilihat pada halaman akhir artikel ini. Peneliti melakukan uji validitas terdahulu sebelum menyebarkan kuesioner kepada responden di lapangan. Uji validitas ini dilakukan untuk mengetahui apakah butir-butir pernyataan yang akan digunakan sudah sesuai dengan apa yang akan diukur. Penelitian ini menggunakan dua jenis validitas, yaitu validitas tampilan (face validity) dan validitas isi (content validity). Validitas tampilan (face validity) diperoleh berdasarkan penilaian kepada calon subjek penelitian, sedangkan validitas isi (content validity) diperoleh berdasarkan penilaian dari ahli. Ahli yang dimaksudkan di sini adalah dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara di bidang Psikolologi Konsumen. Kuesioner alat ukur kepuasan konsumen terdiri dari butir-butir harapan dan butir-butir kenyataan yang dinilai oleh konsumen sendiri. Butir-butir untuk mengukur harapan konsumen terdiri dari 4 pilihan, yaitu sangat penting (dengan nilai 4), penting (dengan nilai 3), tidak penting (dengan nilai 2), dan sangat tidak penting (dengan nilai 1). Demikian juga pada butirbutir kenyataan yang dinilai konsumen terdiri dari 4 pilihan, yaitu sangat sering (dengan nilai 4), sering (dengan nilai 3), jarang (dengan nilai 2), dan yang terakhir sangat jarang (dengan nilai 1). Skor harapan akan dibandingkan dengan kenyataan yang dinilai partisipan penelitian. Kemudian akan diperoleh skor tingkat kepuasan konsumen Cafe X. Dari hasil pengujian, alat ukur kepuasan konsumen sebelum item analysis terdiri atas 44 butir dan memiliki reliabilitas sebesar 0,865. Setelah item analysis, maka tersisa 37 butir dengan reliabilitas sebesar 0,873. Semakin
BRAND IMAGE CAFE X: CERMIN KEPUASAN KONSUMEN
tinggi skor yang dihasilkan, maka semakin banyak harapan konsumen yang terpenuhi. Sebaliknya, semakin rendah nilai skor pada variabel tersebut, maka semakin tinggi harapan konsumen, namun tidak/kurang terpenuhi.
Variabel Citra Merek Variabel kedua dalam penelitian ini adalah citra merek. Butir-butir yang digunakan untuk menentukan citra merek dalam penelitian ini diperoleh dari hasil elisitasi pada 30 orang responden yang pernah mengunjungi Cafe X. Hasil respon elisitasi tersebut berupa pernyataan-pernyataan yang mewakili persepsi responden terhadap Cafe X. Contohnya, kualitas kopi terbaik, komunitas orang dewasa, perasaan santai, dan lain-lain. Jawaban dari setiap konsumen tersebut diajukan sebagai butir pada alat ukur citra merek. Jumlah butir yang diperoleh dari hasil elisitasi tersebut adalah sebanyak 149 butir. Kemudian dilakukan pengelompokkan butir pada pilihan kata sifat yang memiliki kesamaan arti, sehingga butir yang didapat adalah sebanyak 59 butir. Kisi-kisi penyataan yang dipakai dalam kuesioner dapat dilihat pada halaman akhir artikel ini. Pada alat ukur citra merk, jenis validitas yang diuji adalah face validity. Pengujian face validity diperoleh berdasarkan penilaian oleh calon subjek penelitian terhadap alat ukur. Dalam kuesioner citra merek terdiri dari butir-butir yang dinilai oleh konsumen sendiri sesuai dengan pilihan-pilihan yang tersedia, yaitu STS (sangat tidak setuju), TS (tidak setuju), RR (ragu-ragu), S (setuju), dan SS (sangat setuju). Pada alat ukur ini juga dilakukan uji reliabilitas test-retest. Hasil uji reliabilitas tersebut menunjukkan
nilai maksimum sebesar 0,929 dan nilai minimum sebesar 0,265 dengan nilai ratarata sebesar 0,703.
Prosedur Pengambilan data dengan penyebaran kuesioner dilakukan pada tanggal 13 Desember 2006 hingga 27 Februari 2007. Saat pelaksanaan penelitian, peneliti memperkenalkan diri dan meminta kesediaan subyek untuk mengisi kuesioner. Peneliti terlebih dahulu memberikan instruksi kepada partisipan mengenai tujuan penelitian dan petunjuk pengisian kuesioner. Peneliti meminta partisipan untuk mengisi kuesioner secara lengkap dan menjawab sesuai dengan pernyataan yang mereka anggap paling sesuai dengan pendapat mereka. Dari hasil pengumpulan data, terkumpul 125 kuesioner yang telah diisi oleh subjek penelitian. Namun pada saat peneliti mengolah data, terdapat 25 partisipan yang tidak sesuai dengan kriteria partisipan penelitian tersebut. Partisipan tidak sesuai dengan kriteria penelitian karena partisipan bukan merupakan konsumen yang pernah mengunjungi atau menjadi konsumen Cafe X dalam tiga bulan terakhir. Sehingga keseluruhan data yang diolah peneliti hanya berjumlah 100 partisipan.
Hasil Gambaran Kepuasan Konsumen Cafe X Dalam penelitian ini, hasil pengukuran terhadap tingkat kepuasan konsumen terbagi menjadi dua kelompok. Konsumen yang mempunyai skor -1,50 hingga -0,01 tergolong konsumen yang kurang puas.
89
NOVITA & SUYASA
Sedangkan konsumen yang mempunyai skor antara 0,00 hingga 1,50 tergolong konsumen yang puas. Hasil pengolahan data diperoleh titik terendah skor kepuasan konsumen bernilai -1,46 sedangkan titik tertinggi skor kepuasan konsumen bernilai 0,24. Rata-rata skor kepuasan konsumen Cafe X adalah -0,55 (SD=0,34). Artinya partisipan dalam penelitian ini secara umum kurang puas terhadap Cafe X. Dengan kata lain, masih terdapat harapanharapan konsumen yang belum terpenuhi oleh kondisi nyata Cafe X. Dari data yang terkumpul, terlihat harapan-harapan yang belum terpenuhi, yaitu “kopi enak dengan harga tidak mahal”, “internet gratis”, “bisa ngobrol lama dengan teman-teman”, “ada tempat duduk yang kosong/tidak penuh”,
dan “bisa nyantai sambil menikmati akses internet”.
Gambaran Brand Image Cafe X ditinjau dari Kepuasan konsumen Pengukuran brand image diuji dengan metode analisis multivariat untuk menggambarkan perbedaan brand image Cafe X yang dipersepsikan konsumen yang puas dan konsumen yang kurang puas. Perbedaan ini terlihat pada skor rata-rata dari enam butir alat ukur brand image. Butir-butir tersebut yaitu, butir “suasana yang ramai”, “mahal”, “suasana sepi”, “tempat baca koran dan majalah gratis”, “kualitas minuman yang enak”, dan “tempat untuk bersantai”.
Tabel 3 Perbedaan Brand Image Cafe X yang diberikan Konsumen Butir Brand image Suasana yang ramai Mahal Suasana yang sepi Tempat baca koran dan majalah gratis Kualitas minuman yang enak Tempat untuk bersantai Dari tabel di atas, dapat kita lihat bahwa konsumen yang puas mempunyai skor rata-rata yang lebih tinggi pada butir “suasana yang sepi”, “kualitas minuman yang enak”, dan “tempat untuk bersantai”. Konsumen yang kurang puas mempunyai skor rata-rata yang lebih tinggi pada butir “suasana yang ramai”, “mahal”, dan “tempat baca koran dan majalah gratis”. Dengan kata lain, konsumen yang puas menilai Cafe X sebagai tempat bersantai yang mempunyai suasana sepi dan kualitas
90
Rata-rata Konsumen Konsumen Kurang Puas Puas 3,56 3,43 3,63 3,43 2,75 3,29 3,27 3,00 4,09 4,57 4,09 4,57
Sig. 0,024 0,047 0,008 0,040 0,025 0,041
minuman yang enak. Sedangkan konsumen yang kurang puas menganggap Cafe X sebagai tempat baca koran dan majalah gratis, mahal, dan mempunyai suasana ramai.
Diskusi Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan brand image yang diberikan oleh konsumen yang kurang
NOVITA & SUYASA
puas dan kosumen yang puas. Konsumen Cafe X yang puas lebih mengingat pengalaman suasana sepi, kualitas minuman yang enak, dan menganggap Cafe X sebagai tempat untuk bersantai. Sedangkan konsumen yang cenderung kurang puas lebih mengingat suasana yang ramai, harga yang mahal, dan menganggap Cafe X sebagai tempat baca koran dan majalah gratis. Hal tersebut terjadi karena adanya tingkat pemenuhan harapan yang berbeda antara konsumen yang puas dan konsumen yang kurang puas ketika mengunjungi Cafe X. Brand image Cafe X yang ada pada benak konsumen yang puas mencerminkan harapan-harapan setiap konsumen yang mengunjungi Cafe X. Konsumen yang mendapatkan pemenuhan harapan akan merasa puas dan lebih mengingat pengalaman yang positif. Sedangkan konsumen yang tidak mendapatkan pemenuhan harapan ketika mengunjungi Cafe X akan merasa kurang puas dan lebih mengingat pengalaman negatif. Selain itu, kita mengetahui bahwa konsumen mengunjungi Cafe X tidak seolah-olah hanya untuk menikmati minuman yang berkualitas, namun juga mencari suasana nyaman untuk bersantai. Harga minuman yang relatif tinggi dibandingkan dengan kafe pada umumnya terasa pantas dikeluarkan untuk mendapatkan suasana nyaman yang diharapkan. Sebaliknya bila harapan untuk mendapatkan suasana nyaman tidak terpenuhi, maka harga yang dikeluarkan untuk minuman terasa mahal. Hal ini menjelaskan mengapa konsumen yang kurang puas lebih mengingat suasana yang ramai dan mahal. Sebagai kompensasi perasaan tersebut, konsumen yang kurang puas boleh jadi mencari keuntungan lain untuk meminimalis perasaan kurang
puasnya yaitu dengan membaca koran dan majalah gratis yang tersedia. Mengingat bahwa citra merek adalah manifestasi dari harapan dan pengalaman konsumen ketika menggunakan suatu produk atau jasa (Zeithaml et al.,2006). Ketika mendengar nama Cafe X, maka konsumen akan mengingat pengalaman sebelumnya di Cafe X dan membandingkannya dengan kafe yang serupa. Hal ini terjadi karena adanya kecenderungan konsumen untuk mengevaluasi pengalamannya dengan produk yang sama, produk yang lain dari industri yang sama, maupun produk yang berbeda dari industri yang berbeda pula. Pengalaman ini membentuk norma atau standar mengenai tingkat performa yang harus ditampilkan oleh suatu produk atau merek tertentu. Karakteristik konsumen yang berbeda juga mempengaruhi harapannya terhadap performa suatu produk. Setiap individu yang berbeda mungkin saja menghasilkan penilaian yang berbeda terhadap kinerja produk yang sama (Arnould et al., 2004). Jika harapan konsumen dipenuhi, maka ia akan merasa puas dan secara tidak langsung akan membangun citra yang positif terhadap produk atau jasa tersebut.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian kepuasan konsumen diperoleh hasil bahwa konsumen cenderung kurang puas terhadap Cafe X. Dari hasil pengolahan data alat ukur brand image, terdapat beberapa perbedaan brand image yang diberikan oleh konsumen yang kurang puas dan kosumen yang puas. Konsumen yang puas (0,00-1,50) cenderung menilai Cafe X mempunyai brand image suasana sepi, kualitas minuman yang
91
NOVITA & SUYASA
enak, dan tempat untuk bersantai. Sedangkan brand image yang diberikan konsumen yang kurang puas (-1,50-0,00), yaitu suasana yang ramai, mahal, dan tempat baca koran dan majalah gratis.
Daftar Pustaka Arnould, E., Price, L., & Zinkhon, G. (2004). Consumers (2nd ed.). New York: McGraw-Hill. Assauri, S. (2003, Januari). Customer service yang baik landasan pencapaian customer satisfaction. Usahawan, 32, 25-37. Best, R. J. (2004). Marketing based management: Strategic for growing customer value and profitability. NJ: Prentice Hall. Blackwell, R. D., Miniard, P. W., & Engel, J. F. (2001). Consumer behavior (9th ed.). FL: Harcourt. Hawkins, D. I., Best, R. J., & Coney, K. A. (2004). Consumer behavior: Building marketing strategy (9th ed.). New York: McGraw-Hill. Kartajaya, H. (2004). Antara ordinary reward dan priceless reward. Retrieved March, 20, 2006, from http://www.swa.co.id/swamajalah/prak tik/details/ Keni. (2000). Pentingnya pengukuran kepuasan pelanggan bagi perusahaan. Jurnal Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara, 5, 41-50. Kotler, P. (1997). Marketing management: Analysis, planning, implementation, and control. NJ: Prentice Hall.
92
Loudon, D. L., & Bitta, A. J. D. (1993). Consumer behavior: Concepts and applications (4th ed.). New York: McGraw-Hill. Musanto, T. (2004). Faktor-faktor kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 6, 123-136. Peter, J. P., & Olson, J. C. (2003). Consumer behavior and marketing strategy (6th ed.). New York: McGrawHill. Rangkuti, F. (2006). Measuring customer satisfaction: Gaining customer relationship strategy. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Santrock, J. W. (2003). Psychology (7th ed.). New York: McGraw-Hill. Schiffman, L. G., & Kanuk, L. L. (2004). Consumer behavior (8th ed.). New Jersey: Pearson Education. Slamet, F. (2000). Strategi produsen indonesia membangun merek global. Jurnal Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara, 4, 66-71. Suhartanto, D., Februadi, A., & Sanjaya, S. (2000). Anilisa hubungan antara kepuasan konsumen, citra hotel, dan hubungan pribadi dengan kesetiaan pelanggan di industri perhotelan. Tata Niaga: Jurnal Ekonomi & Bisnis, 2, 1225. Zeithaml, V. A., Bitner, M. J., & Gremler, D. D. (2006). Service marketing: Integrating customer focus across the firm (4th ed.). New York: McGraw-Hill.
NOVITA & SUYASA
Contoh Alat Ukur Persepsi terhadap Merk (Brand Image) Pada saat mendengar/melihat café X, maka hal-hal yang muncul dalam benak Anda adalah: No. Hal-hal yang muncul dalam benak Anda Alternatif Pilihan Jawaban 1 Kopi STS TS RR S SS 2 Tempat ngopi (cafe) yang seru STS TS RR S SS 3 Kualitas kopi terbaik STS TS RR S SS 4 Kopi yang rasanya enak STS TS RR S SS 5 Tempat ngopi 24 jam STS TS RR S SS 6 Caffe latte STS TS RR S SS 7 dst…. STS TS RR S SS Catatan. STS = sangat tidak setuju; TS = tidak setuju; RR = ragu-ragu; S = setuju; SS = sangat setuju. Contoh Alat Ukur Kepuasan Pelanggan Pada saat Anda datang ke café X, seberapa PENTING Anda mendapatkan hal-hal di bawah ini? No. Kondisi/Situasi Intensitas Kepentingan 1 Suasana nyaman STP TP P SP 2 Suasana nyaman untuk ngobrol STP TP P SP 3 Minum kopi yang enak STP TP P SP 4 Ketemu cewek/cowok cakep STP TP P SP 5 dst… STP TP P SP Catatan. STP = sangat tidak penting; TP = tidak penting; P = penting; SP = sangat penting. Pada saat Anda datang ke Starbucks Coffee, seberapa SERING Anda mendapatkan hal-hal di bawah ini? No. Kondisi/Situasi Frekuensi Perolehan 1 Pelayanan yang informatif SJ J S SS 2 Bisa nyantai tanpa diganggu SJ J S SS 3 Ketemu teman SJ J S SS 4 Tidak ngantri (tidak ramai) SJ J S SS 5 dst… SJ J S SS Catatan. SJ = sangat jarang; J = jarang; S = sering; SS= sangat sering.
93