BPS PROVINSI LAMPUNG No. 07/09/18/TH.VII, 15 September 2015
ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET 2015
Jumlah penduduk miskin di Lampung pada Maret 2015 mencapai 1.163,49 ribu orang (14,35 persen), bertambah 19,6 ribu orang (0,14 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2014 yang sebesar 1.143,93 ribu orang (14,21 persen).
Selama periode September 2014 – Maret 2015, penduduk miskin di daerah perkotaan bertambah sekitar 9,06 ribu orang (dari 224,21 ribu orang pada September 2014 menjadi 233,27 ribu orang pada Maret 2015), sementara di daerah perdesaan bertambah 10,50 ribu orang (dari 919,73 ribu orang pada September 2014 menjadi 930,22 ribu orang pada Maret 2015).
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2014 sebesar 10,68 persen, naik menjadi 10,94 persen pada Maret 2015, sedangkan penduduk miskin di daerah perdesaan juga mengalami kenaikan dari 15,46 persen pada September 2014 menjadi 15,56 persen pada Maret 2015.
Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada Maret 2015, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 75,11 persen dan sumbangan Garis Kemiskinan Non Makanan sebesar 24,89 persen.
Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan di perkotaan adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, tempe, dan mie instan. Sedangkan, komodoti yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan di perdesaan adalah beras, rokok kretek filter, gula pasir, telur ayam ras, dan tempe. Komoditi bukan makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan baik di perkotaan maupun perdesaan sama yaitu perumahan, bensin, listrik, pendidikan, dan perlengkapan mandi.
Pada periode September 2014 - Maret 2015 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) pada daerah perdesaan menunjukkan kecenderungan memburuk. Dimana Indeks Kedalaman Kemiskinan pada Maret 2015 sebesar 2,603 lebih tinggi dibanding kondisi September 2014 sebesar 2,435.
1 | Berita Resmi Statistik No.07/09/18/TH.VII, 15 September 2015
1.
PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG
Angka kemiskinan Provinsi Lampung kembali mengalami kenaikan pada Maret 2015 ini. Berdasarkan hasil survei terbaru diketahui angka kemiskinan Lampung sebesar 14,35 persen atau sebanyak 1.163,49 ribu jiwa (lihat Tabel 1). Data September 2014 angka kemiskinan Provinsi Lampung masih 14,21 persen atau 1.143,93 ribu jiwa. Dengan kata lain selama periode September 2014–Maret 2015 telah terjadi penambahan jumlah penduduk miskin sekitar 19,56 ribu jiwa atau 0,14 persen. Angka kemiskinan Lampung Maret 2015 ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional yang sebesar 11,22 persen. Tren penurunan angka kemiskinan yang dialami Provinsi Lampung sejak 2010, tidak terjadi pada Maret 2015. Kenaikan ini juga terjadi pada tingkat nasional bahkan kenaikan angka kemiskinan tingkat nasional lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan angka kemiskinan Provinsi Lampung. Dengan demikian, gap antara angka kemiskinan nasional dengan Lampung menjadi semakin sempit.
Berdasarkan daerah tempat tinggal, penduduk miskin terkonsentrasi di perdesaan dengan tingkat kemiskinan sebesar 15,56 persen. Cukup jauh terpaut dengan kemiskinan di perkotaan yang 10,94 persen. Dari sisi jumlah penduduk miskin juga terdapat beda yang signifikan yakni 233,27 ribu jiwa di perkotaan dengan 930,22 ribu jiwa di daerah perdesaan. Kenaikan tingkat kemiskinan selama periode September 2014-Maret 2015, lebih signifikan terjadi di daerah urban (perkotaan) yang bertambah 0,26 persen (9,1 ribu jiwa), sedangkan di daerah rural (perdesaan) hanya mengalami kenaikan 0,11 persen (10,5 ribu jiwa). Berarti pada periode ini penurunan tingkat kesejahteraan penduduk miskin lebih cepat terjadi di perkotaan dibanding di perdesaan.
2 | Berita Resmi Statistik No.07/09/18/TH.VII, 15 September 2015
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Lampung Menurut Daerah, 2010-2015
Tahun
Jumlah Penduduk Miskin (Ribu)
Persentase Penduduk Miskin
Kota
Desa
Kota+Desa
Kota
Desa
Kota+Desa
2010 (Maret)
301,73
1 178,20
1 479,93
14,30
20,65
18,94
2011 (Maret)
243,61
1 064,09
1 307,70
12,27
18,54
16,93
2011 (Sept)
226,09
1 062,48
1 288,58
11,32
18,39
16,57
2012 (Maret)
241,10
1 023,39
1 264,48
12,00
17,63
16,18
2012 (Sept)
240,11
990,05
1 230,16
11,88
16,96
15,65
2013 (Maret)
235,47
939,88
1 175,35
11,59
15,99
14,86
2013 (Sept)
224,81
919,95
1 144,76
10,89
15,62
14,39
2014 (Maret)
230,63
912,28
1 142,92
11,08
15,41
14,28
2014 (Sept)
224,21
919,73
1 143, 93
10,68
15,46
14,21
2015 (Maret)
233,27
930,22
1 163, 49
10,94
15,56
14,35
2. PERGESERAN GARIS KEMISKINAN Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan. Semakin tinggi Garis Kemiskinan, semakin banyak penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin jika tidak terjadi peningkatan pendapatan. Tabel 2. Garis Kemiskinan dan Perubahannya Menurut Daerah, September 2014 - Maret 2015 Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln) Daerah/Tahun (1)
Makanan (2)
Bukan Makanan (3)
Total (4)
Penduduk Miskin Jumlah % (000 jiwa) (5) (6)
Perkotaan September 2014 Maret 2015 Perubahan (%)
248 489 260 892 4,99
101 535 109 948 8,29
350 024 370 839 5,95
224,21 233,27 9,06
10,68 10,94 0,26
Perdesaan September 2014 Maret 2015 Perubahan (%)
239 134 251 365 5,11
68 684 74 918 9,08
307 818 326 283 6,00
919,73 930,22 10,50
15,46 15,56 0,11
Kota+Desa September 2014 Maret 2015 Perubahan (%)
241 573 253 869 5,09
77 249 84 127 8,90
318 822 337 996 6,01
1 143,93 1 163,49 19,56
14,21 14,35 0,14
Sumber: Diolah dari data Susenas September 2014 dan Maret 2015 3 | Berita Resmi Statistik No.07/09/18/TH.VII, 15 September 2015
Selama periode September 2014–Maret 2015, garis kemiskinan naik Rp. 19.174,- atau 6,01 persen, yaitu dari Rp 318.822,- per kapita per bulan pada September 2014 menjadi Rp 337.996,- per kapita per bulan pada Maret 2015. Terjadinya peningkatan nilai Garis Kemiskinan, mengakibatkan baik di perkotaan maupun perdesaan tingkat kemiskinannya meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendapatan sebagian penduduk miskin khususnya mereka yang berada di sekitar garis kemiskinan tidak mampu mengimbangi tingginya kenaikan harga. Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan). Pada bulan September 2014 yang lalu sumbangan GKM terhadap GK sebesar 75,77 persen. Sedangkan pada bulan Maret 2015, peranannya sedikit mengalami penurunan menjadi 75,11 persen. Dengan kata lain peningkatan Garis Kemiskinan dari September 2014 ke Maret 2015 lebih dipicu karena kenaikan harga yang lebih tinggi pada komoditi non makanan dibandingkan pada komoditi makanan. Pada Maret 2015, komoditi makanan yang memberi sumbangan terbesar pada Garis Kemiskinan adalah beras baik di perkotaan maupun di perdesaan yaitu masing-masing sebesar 18,71 persen dan 28,42 persen. Rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar ke dua kepada Garis Kemiskinan pada daerah perkotaan (5,96 persen ) sedang di perdesaan (4,03 persen). Komoditi bukan makanan yang memberi sumbangan besar untuk Garis Kemiskinan adalah biaya perumahan yaitu 29,37 persen di perkotaan dan 25,77 persen di perdesaan. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 3. Daftar Komoditi yang Memberi Pengaruh Besar pada Kenaikan Garis Kemiskinan, Maret 2015 Komoditi (1) Makanan Beras Rokok kretek filter Telur ayam ras Tempe Mie instan Gula pasir Roti Tahu Kopi bubuk & kopi instan (sachet) Bukan Makanan Perumahan Bensin Listrik Pendidikan Perlengkapan mandi
Kota (2) (% terhadap GKM) 18,71 5,96 3,27 2,39 1,91 1,77 1,75 1,34 1,31 (% terhadap GKNM) 29,37 12,12 11,77 7,79 5,12
Komoditi (3)
Beras Rokok kretek filter Gula pasir Telur ayam ras Tempe Mie instan Cabe rawit Kopi bubuk & kopi instan (sachet) Bawang merah
Perumahan Bensin Listrik Pendidikan Perlengkapan mandi
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2015 4 | Berita Resmi Statistik No.07/09/18/TH.VII, 15 September 2015
Desa (4) (% terhadap GKM) 28,42 4,03 2,53 2,49 2,19 1,75 1,60 1,56 1,54 (% terhadap GKNM) 25,77 13,05 9,73 5,68 5,58
3. INDEKS KEDALAMAN KEMISKINAN DAN INDEKS KEPARAHAN KEMISKINAN Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Selain upaya memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan penanggulangan kemiskinan juga terkait dengan bagaimana mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pada periode September 2014 - Maret 2015, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) naik dari 2,296 pada September 2014 menjadi 2,359 pada Maret 2015. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin sedikit menjauhi garis kemiskinan. Demikian pula dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) naik dari 0,561 pada September 2014 menjadi 0,588 pada Maret 2015. Hal ini mengindikasikan bahwa variasi pengeluaran diantara penduduk miskin semakin besar. Dengan kata lain ketimpangan pengeluaran penduduk miskin semakin melebar. Tabel 4. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Lampung Menurut Daerah, September 2014 – Maret 2015 Tahun
Kota
Desa
Kota + Desa
(1)
(2)
(3)
(4)
September 2014
1,902
2,435
2,296
Maret 2015
1,673
2,603
2,359
September 2014
0,514
0,578
0,561
Maret 2015
0,379
0,663
0,588
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Sumber: Diolah dari data Susenas September 2014 dan Maret 2015
Apabila dibandingkan antara daerah perkotaan dan perdesaan, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. Pada Maret 2015, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan hanya 1,673 sementara di daerah perdesaan mencapai 2,603. Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) untuk perkotaan hanya 0,379 sementara di daerah perdesaan mencapai 0,663. Dapat disimpulkan bahwa kesenjangan penduduk miskin perdesaan lebih tinggi dibanding penduduk miskin perkotaan demikian pula dengan ketimpangan penduduk miskin perdesaan juga lebih tinggi dibanding penduduk perkotaan.
4. DISTRIBUSI PENGELUARAN Hasil Susenas selain dapat digunakan untuk menghitung perkembangan tingkat kemiskinan secara lebih luas dapat digunakan untuk menganalisis ketimpangan pendapatan secara tahunan melalui pendekatan distribusi pengeluaran penduduknya. Menggunakan Kriteria Bank Dunia dan penghitungan Gini Rasio diperoleh angka untuk Lampung adalah seperti disajikan pada tabel berikut ;
5 | Berita Resmi Statistik No.07/09/18/TH.VII, 15 September 2015
Tabel 5. Distribusi Pengeluaran Penduduk menurut Kriteria Bank Dunia dan Gini Rasio Lampung dan Nasional, September 2014 – Maret 2015 Indikator
Lampung
Nasional
(1)
(2)
(3)
40% bawah
20,32
17,12
40 % tengah
35,94
34,60
20% atas
43,75
48,27
40% bawah
19,72
18,34
40 % tengah
34,52
35,80
20% atas
45,76
45,86
September 2014
0,3312
0,4141
Maret 2015
0,3765
0,4076
Kriteria Bank Dunia September 2014
Maret 2015
Gini Rasio
Sumber: Diolah dari data Susenas September 2014 dan Maret 2015
Dari Tabel 5 menunjukkan secara umum distribusi pengeluaran di Lampung lebih merata dibandingkan nasional baik dari Kriteria Bank Dunia maupun besaran Gini Rasio. Pada lapisan 40% penduduk ekonomi terbawah ternyata memiliki share distribusi pengeluaran sebesar 19,72 persen. Sedangkan pada tingkat nasional pada kelompok penduduk pada level ekonomi yang sama hanya memiliki share 18,34 persen. Dan pada penduduk high class (20% teratas) share distribusi pengeluaran nasional hampir sama dengan kondisi di Lampung yakni 45,86 persen sedangkan di Lampung 45,76 persen. Menurut Kriteria Bank Dunia Share distribusi pengeluaran 12 persen ke bawah pada level penduduk 40% terbawah menunjukkan ketimpangan tinggi. Ketimpangan pengeluaran yang lebih rendah di Lampung dibandingkan nasional juga ditunjukkan dengan Gini Rasio dimana pada September 2014 angka Lampung sebesar 0,3312, sementara angka nasional sebesar 0,4141. Gini Rasio memiliki range nilai antara 0 sampai dengan 1, dimana 0 merupakan distribusi teoritis pemerataan sempurna dan 1 menggambarkan ketimpangan sempurna. Atau semakin besar Gini Rasio menunjukkan ketimpangan yang semakin tinggi. Perkembangan antar waktu pada periode September 2014-Maret 2015 menunjukkan ketimpangan pengeluaran yang semakin tinggi (semakin merata) di Lampung dan berbanding terbalik dengan kondisi nasional yang ketimpangannya semakin rendah.
6 | Berita Resmi Statistik No.07/09/18/TH.VII, 15 September 2015
PENJELASAN TEKNIS DAN SUMBER DATA
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan BukanMakanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki ratarata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).
Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 36 jenis komoditi.
Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan Maret 2015 adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Jumlah sampel sebesar ± 2.330 rumah tangga dimaksudkan supaya data kemiskinan dapat disajikan sampai tingkat provinsi. Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan..
7 | Berita Resmi Statistik No.07/09/18/TH.VII, 15 September 2015
BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI LAMPUNG
Informasi lebih lanjut hubungi: Mukhamad Mukhanif, M.Si Kepala Bidang Statistik Sosial Telepon: 482909, Pesawat 132 Website : lampung.bps.go.id
8 | Berita Resmi Statistik No.07/09/18/TH.VII, 15 September 2015