Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia Telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah Aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang Telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya Aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya Aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (QS Al-Ahqaaf : 15)
Bolehkah kuhapus air matamu ibu
Ibu Romli adalah seorang guru di SMP Setia Kencana, setiap pagi ia sudah harus pergi ke sekolah untuk mengajar. Tidak ada kendaraan pribadi yang mengantarkannya ke sekolah, padahal jarak rumahnya ke sekolah cukup jauh. Sehingga ia harus berpagi-pagi pergi ke sekolah agar tidak ketinggalan angkutan umum. Romli sendiri pergi ke sekolahnya dengan menaiki sepeda bervelg plastik hadiah ayahnya saat ulang tahun yang kedelapan. Ayah Romli sendiri adalah seorang tukang jagal ayam di pasar. Ibu Romli baru memasak untuk keluarga ketika sore hari. Biasanya ayah Romli selalu membawa ayam dari pasar tempatnya bekerja saat pulang sore harinya. Masakannya selalu dilebihkan ibu Romli untuk makanan sarapan esok pagi. Agar tidak jenuh memakan ayam, saat ada waktu luang Ayah Romli selalu mengajak Romli pergi memancing ke sungai yang tidak jauh dari rumah mereka. Sejak pagi-pagi buta keluarga Romli sudah mulai sibuk. Bahkan sesudah sholat shubuh rumah Romli sudah ditinggal penghuninya. Ibu Romli menjadi yang paling sibuk karena harus menjalani peran ganda menyiapkan kebutuhan keluarga dan pergi mengajar untuk membantu ekonomi keluarga. Romli tumbuh menjadi anak yang sederhana, tidak banyak menuntut kepada kedua orang tuanya. Namun ia juga sangat cuek dan tertutup. Tidak banyak waktu yang ia habiskan bersama orang tuanya menjadikan semacam jarak yang memisahkannya dengan kedua orang tuanya. Saat lulus dari SMP Romli berkeinginan untuk bersekolah di kota. Ia sangat berhasrat untuk bersekolah di SMA favorit di sana. Sampai-sampai waktu libur panjang ia habiskan untuk belajar, belajar dan belajar. Namun sayangnya kedua orang tua Romli berkehendak lain. Mereka menginginkan Romli untuk bersekolah di SMA dekat perbatasan saja, karena jaraknya yang tidak jauh dan biayanya yang juga lebih murah. “Sekolah di perbatasan saja lah nak, Kan disana lebih murah dan jaraknya dekat. Kalau sekolah di kota, ibu dan ayah takut tidak mampu membiayai. ibu guru honorer sementara ayah hanya tukang jagal ayam.”
“Tapi bu, Romli ingin lebih berprestasi. Di sana sarana dan prasarananya lebih menunjang minat dan bakat Romli. Romli janji akan berprestasi sampai dapat beasiswa di sana kalau ibu mau mengijinkan Romli sekolah di sana.” Ibu Romli hanya diam mendengar jawaban anaknya, dia menjadi bingung dan serba salah. Orang tua mana yang tidak ingin melihat anaknya berprestasi. Namun apa daya jika ia tak mampu membantu anaknya mewujudkan prestasi itu. Tak di sangka, ayah Romli yang berada di ruang depan ternyata juga mendengar percakapan Romli dengan ibunya itu. Ayahnya yang memang keras ini segera datang dan ikut menimpali percakapan mereka. “Dasar anak keras kepala, kalau dibilang gak bisa ya gak bisa. Memangnya apa yang kamu banggakan dari sekolah itu? Kalau memang sekolah itu mampu menjamin masa depanmu dengan pasti. Ayah akan menyekolahkanmu walaupun harus menjual seluruh baju-baju ayah. Ayah rela asalkan kamu sukses.” Perkataan dari ayah Romli ini jelas bukan pertanyaan yang butuh jawaban dari Romli, karena jika Romli menjawab hanya akan menambah kemarahan ayahnya. Meskipun ada banyak jawaban dalam kepala Romli untuk menjawab pertanyaan ayahnya tersebut. Romli sadar pertanyaan itu hanya berupa pernyataan, jikapun dijawab. Itu tidak akan merubah apa-apa. Setelah perdebatan kecil itu suasana rumah Romli seketika menjadi hening. Tidak ada yang berani berbicara jika ayah Romli sudah bernada tinggi seperti itu. Setelah kedua orang tua Romli mulai beranjak meninggalkannya dari ruangan itu, Romli pun memutuskan untuk langsung ke kamar dan langsung tidur, ia mulai pasrah dengan keadaan yang ada. Ia memutuskan untuk tidur lebih cepat agar dapat mencurahkan segala keresahannya dalam Shalat Tahajjud nanti. Hari demi hari berlalu, waktu pendaftaran masuk sekolah sudah semakin sempit saja, namun Romli masih belum menentukan pilihannya. Ia tidak berani mendaftar ke sekolah di kota tapi ia masih enggan untuk sekolah di SMA di Perbatasan. Ia hanya mengisi hari-harinya dengan belajar dan tahajjud setiap malam sambil berharap orang tuanya berubah fikiran. Semakin hari semakin rajin saja Romli beribadah, selain sholat fardhu yang sudah dilaksanakannya di mesjid, ia kini juga semakin memperbanyak ibadah sunnah. Semua ini dilakukan tidak lain untuk memohon pertolongan pada Allah untuk memecahkan masalahnya. Malam itu selepas sholat Tahajjud ia merenung, coba digapainya ijazah SMP nya untuk dilihat lihat. Namun betapa terkejutnya Romli melihat ijazah dan surat-surat kelulusannya sudah tidak ada di tempat. Ia panik bukan kepalang. Sudah dicarinya kemana-mana namun tidak ketemu. Sampai adzan shubuh berkumandang ia mulai putus asa mencari ijazahnya dan ia mulai mengalihkan perhatiannya untuk pergi ke mesjid untuk sholat berjamaah. Pagi hari setelah sholat shubuh, Romli menemui ibunya di dapur yang sedang memasak nasi goreng untuk sarapan. Karena masakan sore yang biasanya disisakan untuk sarapan sudah habis, hanya
bersisa nasi yang coba dimanfaatkan ibu Romli menjadi nasi goreng. Romli kemudian bertanya tentang keberadaan ijzah SMP nya kepada ibunya. “Bu, ibu ada ngeliat ijazah SMP Romli gak bu? Tadi Romli lihat di kamar gak ada. Romli cari kemana-mana juga gak ada.” “Oh,ijazah kamu ibu taruh di laci lemari kamar ibu. nanti malam saja ibu kasih lagi ke kamu. Ibu mau cerita sesuatu nanti malam.” “Ia deh bu.” Romli bertanya-tanya dalam hatinya, mencoba menerka-nerka apa yang ingin disampaikan ibunya. Tidak biasanya ibu menyimpankan barang-barang miliknya dalam kamar. Sebab sejak kecil Romli sudah diajarkan untuk bertanggung jawab dan menjaga barang-barang miliknya sendiri. Malam hari setelah shalat isya, ibu Romli menemuinya yang baru pulang dari mesjid. Ibu Romli baru bisa bersantai di malam hari karena kegiatan sehari-harinya yang sangat padat sebagai ibu rumah tangga dan sebagai guru. “Romli, sini nak. Ini ijazah kamu dan surat-surat lainnya yang sempat ibu simpan.” “Ia bu, hmm.. katanya ada yang mau ibu sampaikan malam ini, tentang apa itu bu?” Ibu Romli tersenyum sambil mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya yang sudah agak lusuh itu. “Ini, kartu peserta ujian di SMA Andalan di kota, sekolah favorit yang kamu idam-idamkan itu.” Romli sangat terkejut mendengar perkataan ibunya itu. Dengan setengah terperangah ia lihat katu yang dikeluarkan ibunya. Ternyata benar, ini adalah kartu peserta ujian masuk SMA Andalan. Romli sangat gembira, dipeluknyalah ibunya itu untuk menyampaikan rasa terimakasihnya. Belum lepas pelukan Romli pada ibunya, datanglah ayah Romli yang juga baru pulang dari mesjid. “Ada apa ini? Senang betul sepertinya?.” Romli terdiam tidak berani menjawab. Ibu Romli kemudian berkata kepada ayah Romli. “Ini yah, Romli akan segera ikut ujian masuk SMA Andalan di kota. Sekolah idaman dia.” “lho, kok mendaftar ke sana? Siapa yang nyuruh kamu daftar ke sekolah itu.” “Ibu yang mendaftarkannya yah. Kemarin waktu ibu bilang mau mendaftarkannya, ayah diam saja. Ibu kira ayah setuju.” “Ayah diam justru karena ayah tidak setuju. Ibu ini gimana sih.”
Romli yang kembali mendengar nada tinggi dari ayahnya kali ini tidak dapat lagi menahan diri. “Ayah egois, tidak mau mengerti perasaan anaknya!” Romli langsung bernajak ke luar rumah sambil menahan kejengkelannya. “Lihat itu, lihat itu bu. Itu akibatnya kalau anak terlalu dimanja. Jadi kurang ajar dia.” “Sudah yah, sudah.” Ibu Romli berusaha menahan amarah suaminya. Tanpa terasa air mata mulai mencucur dari matanya. Ia tidak kuat melihat pertentangan anatara Romil dan ayahnya. “Yah, kita tidak bisa terlalu egois pada Romli, banyak orang tua yang memaksakan kehendakanya pada anak malah membuat anak itu hancur. Ibu ini guru yah, ibu sering melihat anakanak yang dipaksa sekolah di tempat yang tidak mereka inginkan, mereka menjadi anak-anak yang nakal. Tidak sedikit yang akhirnya tinggal kelas dan dikeluarkan dari sekolah.” Perkataan dari ibu Romli, membuat ayah menjadi melunak. “Ya sudah, kalau begitu sekolahkan saja Romli di situ, ayah akan berusaha untuk mencari uang tambahan. Bilang sama Romli kalau ayah sudah mengijinkannya sekolah di SMA kota itu. Ayah mau tidur saja ke kamar.” “Alhamdulillah, Iya yah, nanti ibu sampaikan.” Pada hari ujian masuk sekolah dilaksanakan, Romli berhasil menyelesaikan ujiannya dengan baik. Tidak ada kesulitan berarti kecuali pada bidang Matematika. “GImana ujiannya tadi nak?” Tanya ibu Romli. “Alhamdulillah lancar bu, memang soalnya banyak yang sulit, maklum saja karena ini sekolah favorit. Tapi Romli berhasil menyelesaikannya dengan baik kok bu.” “Alhamdulillah kalau begitu. Jadi kapan pengumuman kelulusannya nak?” “Minggu depan bu, hari jum’at jam sepuluh pagi.” “Berarti kamu libur lagi seminggu kan? Bantuin ibu ngoreksi tugas anak murid ibu yah.” “Baik bu..” Hari-hari penantian kelulusan itu diisi Romli dengan membantu pekerjaan kedua orang tuanya. Pagi hari Romli ikut ke pasar membantu ayah menjagal ayam dan malamnya ia membantu mengoreksi tugas anak-anak murid ibunya. Hari jum’at pukul Sembilan lewat lima puluh lima menit. Ini artinya lima menit lagi pihak sekolah akan menempelkan hasil ujian yang dilaksanakan minggu lalu. Kertas pengumuman mulai ditempelkan, mata para calon murid dan orang tuanya langsung dengan sangat teliti memperhatikan nomor demi nomor di kertas yang beru saja ditempel oleh pihak sekolah. Ada yang berteriak kegirangan karena
sudah menjumpai nomor ujiannya tertera di daftar peserta yang lulus tersebut, yang lain ada yang masih terus mencari, mengulang mencari dari awal lagi siapa tahu dia kurang teliti sehingga nomornya terlewat. Sementara itu Romli juga masih sibuk mencari nomor ujiannya dengan teliti, pada pencarian yang ketiga, akhirnya ia yakin bahwa ia tidak lulus. Pihak sekolah kemudian menempelkan juga hasil ujian seluruh peserta. Ternyata Romli hanya terpaut angka dibelakang koma dengan peserta terakhir yang lulus. Romli sempat sedih karena telah mengecewakan ibu dan ayahnya yang sudah mengijinkannya sekolah si SMA Andalan ini. Namun ia segera bangkit, ia hidupkan handphonenya untuk menelepon ibunya yang tengah mengajar. “Assalamualaikum, bu.” ‘Walaikumsalam Romli, gimana? Kamu lulus nak?” “hmm.. sekolah ini benar-benar pantas disebut sebagai sekolah favorit bu. Persaingannya sangat ketat. Hasil ujian Romli hanya terpaut tipis dari peserta terakhir yang lulus di sini.” “Jadi kamu nggak lulus?” “Ia bu, maafin Romli yah bu. Padahal Romli udah ngotot mau sekolah di sini.” “Ya sudah tidak apa-apa. Biar nanti ibu aja yang kabari ke ayahmu soal ini. Kamu siap sholat jum’at langsung pulang yah. Kalau pulang sekarang kamu pasti gak sempat sholat jum’at.kamu kan Cuma naik bis sambung jalan kaki.” “Ia bu..” Malam setelah semua kegiatan sehari-hari selesai dikerjakan. Romli duduk di ruang depan bersama ayah dan ibunya. Romli meminta maaf atas kegagalannya dan kengototannya untuk sekolah di kota. “Tidak apa-apa nak, kamu yang punya masa depan. Jadi kamu yang paling berhak menentukan masa depanmu. Karena kamu yang akan menjalaninya. Kamu yang paling tau apa yang cocok dengan kamu, termasuk masalah sekolah ini. Ayah sadar sudah bertindak egois dengan tidak berusaha mendukung keinginanmu. Kamu masuk di SMA Perbatasan saja dulu, kata teman ayah yang bekerja di sana, penerimaan siswa baru di sana diperpanjang satu minggu. tahun depan kalau ayah ada uang, kamu boleh pindah ke SMA Andalan itu.” “Ia nak, tidak ada yang perlu dimaafkan. Ayah dan ibu tahu kalau kamu sudah berusaha semampumu. Sainganmu masuk ke sana kan anak-anak pintar dari dalam dan luar kota, jadi ibu tetap bangga padamu nak.” “Terima kasih ibu, ayah. Romli sekarang mau sekolah di SMA Perbatasan, tidak usah pindahpindah lagi yah. Karena pindah-pindah sekolah itu membutuhkan biaya yang banyak. Romli berjanji walaupun sekolah di SMA Perbatasan Romli akan tetap berprestasi.”
“Nah, gitu dong. Baru namanya anak ibu. tapi kamu gak sedih lagi kan? Ibu lihat usaha kamu sudah luar biasa dari belajar sampai memperbanyak ibadah” “Enggak sedih lagi kok bu, lagipula usaha Romli selama ini tidak sepenuhnya sia-sia. Usaha Romli belajar di hari libur sudah semakin memperluas wawasan Romli. Dan satu hal yang paling penting, walaupun do’a Romli tidak dikabulkan tapi Romli sudah mendapatkan nikmat yang lebih besar dari ketaatan itu bu. Yaitu nimat berdekatan dengan Allah, tidak semua orang bisa merasakan nikmat itu, apalagi ternyata orang-orang yang memakmurkan mesjid itu adalah orang-orang pilihan. Dan Romli bangga telah menjadi bagian dari orang-orang terpilih itu bu..” Romli sangat senang walaupin ia gagal namun ia tetap bisa membuat sang ibu tersenyum. Ia sempat merasa bersalah telah menjadi penyebab ibunya menangis di malam perdebatan itu, Romli tahu kalau ibunya habis menangis karena saat ia pulang mata ibunya masih terlihat sembab.