BIOMONITORING IN-SITU KALI MAS SURABAYA MENGGUNAKAN PERUBAHAN HISTOPATOLOGIS INSANG IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus)
Nicha Asdewi Putri*), Nurlita Abdulgani1), Indah Trisnawati D.T1) Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan histopatologis insang ikan mujair (Oreochromis mossambicus) yang dipaparkan secara in-situ di Kali Mas Surabaya dengan menggunakan keramba jaring selama 28 hari. Pengambilan sampel ikan mujair di setiap stasiun pada hari ke-7, 14, 21, dan 28 masing-masing sebanyak tiga ekor. Ikan kemudian dibedah dan diambil insangnya untuk dibuat preparat histologis menggunakan metode parafin dan pewarnaan hematoxylin eosin. Data parameter lingkungan di ketiga stasiun turut diuji untuk mendukung analisa data. Hasil yang melebihi baku mutu adalah BOD,COD, NH3-N, TSS, Hg, Cd, dan Pb. Perubahan histopatologis dianalisa menggunakan metode skoring (semikuantitatif) modifikasi dari Pantung (2008). Hasil pengamatan histopatologis yang teramati adalah oedema lamela sekunder (OLS), hiperplasia lamela sekunder (HLS), dan fusi lamela (FL) yang semakin meningkat luasannya seiring lamanya waktu pemaparan. Berdasarkan metode skoring (semikuantitatif) kerusakan parah yaitu fusi lamela (FL) dengan frekuensi kejadian patologis (FKP) sebesar 66,67% dari total sampel pada score 3 terjadi di stasiun 2 dan 3 pada hari ke-28. ABSTRACT This study aims to determine the gill histopathological changes of tilapia (Oreochromis mossambicus) exposed as in-situ in the Mas River, Surabaya using cages for 28 days. Sampling of Tilapia in each of station on the days 7th, 14th, 21st, and 28th respectively was as many as three fishes. Then, the fishes underwent surgery and taken their gills to be made as histological preparation using the paraffin method and hematoxylin eosin coloring. The data of environmental parameters in the three stations also tested for supporting data analysis. The highest range values weekly are BOD, COD, NH3-N, TSS, Hg, Cd, and Pb. The histopathological changes was analyzed using the scoring methods (semiquantitative) as a modification of Pantung’s (2008). The results of histopathological observation, namely oedema secondary lamella (OLS), hyperplasia secondary lamella (HLS), and fusion lamella (FL) which increasingly the width along with the length of exposition time. Based on the scoring methods (semiquantitative) severe damage to the fusion lamella (FL) with a frequency of occurrence of pathological (FKP) amounting to 66.67% of the total sample at a score of 3 occurred at stations 2 and 3 on the day-to-28. Keywords:
Tilapia fish (Oreochromis mossambicus), gill, histopathological, The Mas River Surabaya
*Corresponding Author Phone: 085648978765 1 Alamat Sekarang: Jurusan Biologi FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya I. PENDAHULUAN Kali Mas adalah anak cabang bagian hilir Sungai Brantas yang secara khusus melewati daerah perkotaan Surabaya (Retnaningdyah, 1997). Kali Mas Surabaya menjadi sumber utama bagi PDAM Surabaya dan beberapa industri di sepanjang Kali Surabaya. Fungsi penting ini menjadi salah satu alasan pentingnya menjaga air Kali Surabaya dari pencemaran. Beberapa studi
yang dilakukan pada air Kali Surabaya selama delapan tahun terakhir menunjukkan kualitas air Kali Surabaya masih belum memenuhi persyaratan sebagai air baku bagi instalasi penjernihan air minum (Masduqi dan Apriliani, 2008). Bahan baku air di Kali Mas termasuk golongan C. Sesuai SK Wali Kota 201/1989, air Kali Mas hanya dipakai untuk perikanan dan peternakan. Air minum dan
kebutuhan rumah tangga minimal merupakan air dari golongan B (Anonim1, 2010). Dalam rangka upaya pengendalian kualitas air di Kali Mas, diperlukan suatu metode evaluasi yang bersifat obyektif. Untuk pendugaan kualitas air, selain dilakukan dengan metode fisika - kimia yang cukup kompleks, juga diperlukan metode biologi khususnya untuk mengendalikan bahan pencemar yang bersifat toksik. Salah satu cara pemantauan terhadap kualitas air adalah dengan metode biomonitoring. Menurut Maria (2003), biomonitoring merupakan salah satu metode yang terbaik dan paling terintegrasi dalam memantau lingkungan yang mempertimbangkan aspek biologis dan parameter fisikokimia lingkungan. Penggunaan biomonitoring mampu merespon perubahan lingkungan dalam jangka pendek atau jangka panjang dan mampu mendeteksi adanya bahan polutan secara lebih akurat dibandingkan dengan parameter kimia. Biomonitoring dengan menggunakan bioindikator salah satunya ikan, dapat merefleksikan efek dari faktor lingkungan yang menggambarkan kualitas air yang sebenarnya selain data dari faktor lingkungan. Biomonitoring dapat dilakukan secara in-situ dengan memantau lingkungan yang dilakukan pada ekosistem alami atau aslinya. Biomonitoring in-situ telah digunakan untuk menilai efek polusi terhadap spesies akuatik di dalam perairan yang telah tercemar berat (Browne, 2010). Biomonitoring in-situ dilakukan dengan memaparkan secara langsung hewan uji dalam keramba jaring (fish cage) untuk di kontrol dan diamati perubahan histopatologisnya. Penggunaan histopatologis dalam pemantauan lingkungan dapat memungkinkan pemeriksaan organ target spesifik, termasuk insang. Beberapa penelitian menggunakan organ insang dimana insang merupakan salah satu organ yang sangat sensitif terhadap perubahan fisik maupun kimia, karena berada dalam kontak langsung dengan lingkungan eksternal yang bertanggung jawab melakukan fungsi yang penting seperti respirasi, osmoregulasi, ekskresi dan merupakan fokus utama dari gangguan yang disebabkan oleh bahan pencemar organik dan anorganik, seperti pelarut, minyak, logam berat, pestisida, pupuk dan padatan tersuspensi. Perubahan yang ditemukan pada organ-organ ini berfungsi sebagai tanda-tanda peringatan
kerusakan terhadap kesehatan hewan (Camargo and Martinez, 2007; Fernandes et al., 2008; Pantung et al., 2008). Berdasarkan tingkat pencemaran di Kali Mas Surabaya perlu dilakukan penelitian biomonitoring in-situ dengan menggunakan hewan uji ikan mujair (Oreochromis mossambicus) terkait dengan kerusakan pada organ insangnya. Hasil data pemantauan kualitas air dengan biomonitoring ini dapat digunakan untuk menduga adanya perubahan yang signifikan dan berkaitan erat dengan manusia sehingga dapat dipakai sebagai bahan pemikiran bagi upaya pengendalian pencemaran air. Dengan demikian, kualitas air Kali Mas Surabaya yang rendah dapat ditingkatkan sehingga air tersebut sesuai peruntukannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan histopatologis insang ikan mujair (Oreochromis mossambicus) yang dipaparkan secara in-situ di Kali Mas Surabaya.
II. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2011. Penelitian dan pengambilan sampel ikan mujair (Oreochromis mossambicus) di Kali Mas Surabaya. Pembuatan preparat histologis dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya dan pengamatan preparat histologis dilakukan di Laboratorium Zoologi dan Botani Program Studi Biologi FMIPA ITS Surabaya. Analisa kualitas air fisikokimia dilakukan di Laboratorium Kualitas Lingkungan Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil. Sedangkan untuk analisa logam berat dilakukan di Laboratorium Analisis Obat dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Surabaya.
Stasiun 3
Gambar 2. Keramba Jaring (Sumber : dokumentasi pribadi, 2011) Stasiun 2 Stasiun 1
Gambar 1. Lokasi Penelitian (modifikasi : www.googleearth.com)
Preparasi Keramba Jaring Perubahan histopatologis insang ikan mujair (Oreochromis mossambicus) secara insitu dilakukan dengan menggunakan metode keramba jaring (fish cage method). Keramba jaring berfungsi sebagai wadah untuk pemeliharaan biota agar tidak lepas dan melindungi biota dari serangan predator dan gangguan lainnya. Bahan keramba harus bersifat tahan dalam air dan dapat menahan beban (Ghufran dan Tancung, 2007). Ukuran dan bentuk keramba jaring mengadopsi dari Standard Methods for The Examination and Wastewater (1972) dan Barbee, et al., (2008). Kerangka keramba jaring berbentuk kotak berukuran 40x30x30 cm. Sisi-sisi keramba terbuat dari bahan dasar jaring dengan ukuran mata jaring (mesh size) disesuaikan dengan ukuran ikan sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan ikan uji untuk lolos. Tiap tepi jaring diperkuat dengan kain terpal. Rangka jaring terbuat dari paralon berdiameter 2,5 cm. Rangka paralon yang terletak dibagian dasar, lubang salurannya diisi dengan semen cor, dengan tujuan sebagai pemberat sekaligus penyangga pada saat diaplikasikan di perairan. Pada setiap bagian sisi kain terpal dililitkan tali tampar sampai pada bagian paralon. Bagian penutup dari keramba jaring diikat dengan kabel tis agar hewan uji tidak lolos. Gambar rancangan keramba jaring ditunjukkan pada gambar berikut:
Biomonitoring in-Situ Menggunakan Keramba Jaring (fish cage method) Ikan mujair yang sehat dipaparkan secara langsung di sungai Kali Mas Surabaya. Keramba jaring yang digunakan sebanyak 3 buah. Pada masing-masing stasiun diletakkan satu keramba jaring (sebagai pengambilan sampel mewakili sepanjang aliran sungai). Juvenil Ikan mujair sebanyak 40 ekor dimasukkan ke dalam masing-masing keramba jaring di 3 lokasi. Dilakukan monitoring selama 28 hari. Pengambilan sampel dan pengamatan dilakukan pada hari ke-0, hari ke7, hari ke-14, hari ke-21 dan hari ke-28. Jumlah sampel ikan yang diambil pada masing-masing stasiun sebanyak 3 ekor pada tiap minggunya. Ikan yang telah diambil dilakukan pembedahan secara langsung di lapangan dengan mengambil organ bagian insangnya. Kemudian insang yang telah diambil dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah diberi buffer formalin 4% sebagai larutan fiksasi untuk mengawetkan jaringan sebelum dilakukan pembuatan preparat histologis serta diberi label. Pembuatan Preparat Histologis Sampel yang telah difiksasi menggunakan buffer formalin dibuat sediaan histologis dengan tahapan sebagai berikut: Dehidrasi jaringan dimaksudkan untuk mengeluarkan air yang terkandung di dalam jaringan dengan menggunakan alkohol bertingkat : etanol 70% (4x30 menit), etanol 80% (2x30 menit), etanol 96% (30 menit), etanol absolut (30 menit). Kemudian Pembeningan (Clearing atau dealkoholisasi), hal ini dilakukan untuk mengeluarkan cairan dehidran. Organ insang dimasukkan ke dalam xylol bekas (15 menit), kemudian dimasukkan ke dalam xylol murni sampai jernih atau transparan selama 24 jam. Emmbedding/Infiltrasi/Impregnasi, merupakan
proses pengeluaran cairan pembening (clearing agent) dari jaringan dan menggantikannya dengan parafin atau bahan plastik. Sebelum masuk ke parafin murni, jaringan dimasukkan ke dalam toluol parafin 1:1 selama 30 menit. Setelah itu berturut-turut dimasukkan dalam parafin murni I, II dan III masing-masing selama 60 menit. Kemudian insang dari parafin III ditanamkan ke dalam kotak karton yang telah berisi parafin cair. Insang diletakkan pada bagian dasar tengah dengan posisi melintang. Pemotongan (Sectioning) dilakukan dengan mikrotom putar dengan ketebalan 6 mikron. Afixing yaitu perekatan dengan menggunakan albumin dan gliserin dengan perbandingan 1:1, disimpan dalam kotak sediaan kira-kira 1 hari. Pewarnaan (Staining) dilakukan dengan pewarna hematoxylin eosin (HE). Selanjutnya penutupan preparat dengan menggunakan kaca penutup dan memberi identitas pada preparat. Preparat irisan diperiksa di bawah mikroskop dan selanjutnya di interpretasikan. Pengamatan di Laboratorium dan Analisa Data Pengamatan secara mikroskopis preparat irisan histologi insang ikan mujair dilakukan dengan menggunakan mikroskop evolution. Struktur histopatologis yang diamati menurut Robert (1989) meliputi Oedema Lamella (OL), Hiperplasia Lamella (HL), dan Fusi Lamella (FL). Pengamatan dilakukan dengan perbesaran 40x untuk melihat semua filamen pada satu gill arch. Untuk mengetahui tingkat kerusakan jaringan insang ikan mujair, maka dilakukan analisa data dengan menggunakan modifikasi metode dari Pantung et al., (2008) yaitu metode skoring (semikuantitatif) perubahan histopatologis. Untuk melihat kerusakan jaringan pada tiap filamen dilakukan perbesaran sampai 400x. Kemudian dibagi menjadi beberapa luasan bidang pandang dimana pada satu bidang pandang dihitung persentase tingkat kerusakan jaringan insang tergantung pada tingkat dan luasan perubahan : (-) tidak ada, (+) kurang dari 30% kejadian, (++) 30% -70% dari kejadian, (+++) lebih dari 70% kejadian. Keseluruhan luasan tersebut kemudian di jumlah dan di rata-rata. Hasil persentase ratarata tersebut dinilai dengan metode skoring dari 0 (-) sampai 3 (+++). Setelah didapatkan nilai hasil skoring kemudian dihitung frekuensi kejadian patologis insang ikan
mujair (Oreochromis menggunakan rumus berikut: Frekuensi kejadian Patologi Oedema Lamella Sekunder (OL) =
mossambicus)
Jumlah Insang yang Menunjukkan Gejala Patologis Oedema Lamella Sekunder (OL)
x 100%
Jumlah insang yang diamati
Frekuensi kejadian Patologi Hiperplasia Lamella Sekunder = (HL)
Jumlah Insang yang Menunjukkan Gejala Patologis Hiperplasia Lamella Sekunder (HL) x 100% Jumlah insang yang diamati
Frekuensi kejadian Patologi Oedema Lamella Sekunder (FL)
Jumlah Insang yang Menunjukkan Gejala Patologis Fusi Lamella Sekunder (FL) x 100%
= Jumlah insang yang diamati
Pengambilan Parameter Fisik-Kimia Lingkungan Suhu air dalam keramba jaring diukur dengan menggunakan thermometer air raksa sedangkan pH diukur dengan menggunakan kertas pH. Selain itu, salinitas air dalam keramba diukur dengan menggunakan hand-refractometer. Selain data tersebut, parameter lain yang diukur adalah BOD, COD, TSS, DO dan Ammonia Nitrogen. Pengukuran parameter tersebut dilakukan di Laboratorium Kualitas Lingkungan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Sedangkan logam yang diuji adalah Hg, Cd, dan Pb dan dilakukan di Laboratorium Analisis Obat dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Surabaya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengukuran Kualitas Air Hasil pengukuran kualitas fisikokimia air dan logam pada tiga stasiun di Kali Mas Surabaya mulai dari daerah Gunungsari, Ngagel, dan Petekan ditunjukkan dalam tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Kualitas Air Sungai Kali Mas Surabaya Tiap Stasiun Nilai kisaran per minggu Kualitas air
Baku Mutu Kelas II PP No.82 Tahun 2001
Kisaran Batas Toleransi Ikan Tilapia
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Salinitas (‰)
0
0
0
< 5-10 *
< 40
Suhu (⁰C) pH Kecerahan (cm) DO (ppm) BOD (ppm) COD (ppm) TSS (ppm)
27,9-29,3 7
26,4-29,1 7
27,9-30,6 7
28-32 * 6-9
20-32 5-10,5
21,2-46,5
16,5-36,4
21,5-63,5
30-35 *
< 20
1,27-3,04 9-37 16-60 142-182
2,46-3,36 14-48 24-80 160-232
0,77-2,8 13-24 24-40 100-182
4 3 25 50
0,01 -
NH3-N (ppm)
0,41-1,38
0,13-1,84
0,86-1,95
≤ 0,02
< 0,6-2
Hg (ppm)
0,049-0.053
0,031-0,053
0,031-0,056
0,001
-
0,01 Cd (ppm) 0,007-0,039 0,002-0,04 0,002-0,038 0,03 Pb (ppm) 0,064-0,545 0,067-0,636 0,068-0,752 Keterangan : * nilai pertumbuhan yang baik bagi ikan menurut Nandlal and Pickering (2004)
Angka yang dicetak tebal merupakan nilai yang melebihi batas maksimum baku mutu perairan kelas II PP No.82 Tahun 2001, ditunjukkan pada tabel 4.1 diatas. Sedangkan nilai DO melebihi batas minimum baku mutu perairan, tetapi masih berada pada kisaran batas toleransi ikan yaitu 0,01 ppm (Nandlal and Pickering, 2004). Parameter salinitas, suhu, pH, kecerahan masih berada pada kisaran batas toleransi. Kisaran batas toleransi ikan Tilapia untuk salinitas < 40 ppt (Kamal, 2005), amonia < 0,6-2 ppm (Riche, 2003), suhu 20-32OC, kecerahan < 20 cm, dan pH 510,5 (Nandlal and Pickering, 2004). Hasil Pengamatan Histopatologis Berdasarkan hasil pengamatan histopatologis insang ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) yang dipaparkan di perairan Kali Mas Surabaya dengan menggunakan keramba jaring (fish cage) di ketiga stasiun, didapatkan beberapa kerusakan insang yakni Oedema Lamella Sekunder (OLS), Hiperplasia Lamella Sekunder (HLS), dan Fusi Lamella (FL) (Gambar 3 dan Tabel 2).
A
C
B
D
Gambar 3. Histopatologis insang ikan mujair (O.mossambicus) yang dipaparkan di Kali Mas Surabaya (A) penampang melintang insang normal. (B) Oedema Lamela Sekunder (ditandai dengan ). (C) Hiperplasia Lamela Sekunder (ditandai dengan ). (D) Fusi Lamela (ditandai dengan ) (Pewarnaan HE, 400x). (Dokumentasi Pribadi, 2011).
Hasil pengamatan mikroskopis terlihat penampang insang normal dimana belum tampak adanya kerusakan sel pada lamela sekunder (gambar 3A). Insang dengan patologis oedema lamella sekunder (OLS) merupakan tingkat awal degenerasi sel berupa pembengkakan dan terjadinya vakuolasi pada sitoplasma (Takashima dan Hibiya, 1995). Hasil pengamatan mikroskopis terlihat adanya ruang kosong yang disebabkan banyaknya
pembesaran sel epithel dengan penambahan jumlah selnya yang ditunjukkan dengan tanda segitiga pada gambar 3C. Hiperplasia yang berlebihan akan menyebabkan fusi lamella. Menurut Robert (1989), Fusi lamella merupakan hasil akhir dari hiperplasia lamella secara besar-besaran. Hasil pengamatan mikroskopis terlihat adanya pelekatan pada lamella sekunder yang ditunjukkan dengan tanda panah pada gambar 3D sehingga terlihat rata.
cairan yang masuk ke dalam sel yang menyebabkan pembengkakan, ditunjukkan dengan tanda bintang (gambar 3B). Oedema lamella akan berkembang menjadi hiperplasia. Menurut Robbins, et al., (1994) hiperplasia lamella merupakan peningkatan jumlah sel dalam suatu organ maupun jaringan. Hiperplasia diakibatkan oleh oedema yang berlebihan sehingga sel darah merah keluar dari kapilernya dan sel akan mengalami lepas dari penyokongnya (Purwanti, 2006). Hasil pengamatan mikroskopis terlihat adanya
Tabel 2. Frekuensi Kejadian Patologis Insang Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) Jenis patologi
Oedema Lamella Sekunder (OLS) Hiperplasia Lamella Sekunder (HLS)
Fusi Lamella (FL)
score
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
FKP (%)
FKP (%)
FKP (%)
h0
h7
h14
h21
h28
h0
h7
h14
h21
h28
h0
h7
h14
h21
h28
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
1
0
33,33
0
66,67
0
0
0
0
66,67
66,67
0
0
0
33,33
100
2
0
66,67
0
33,33
100
0
33,33
33,33
33,33
33,33
0
0
100
66,67
0
3
0
0
100
0
0
0
66,67
66,67
0
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
1
0
66,67
33,33
0
0
0
66,67
0
0
0
0
100
0
0
0
2
0
33,33
66,67
33,33
100
0
33,33
66,67
66,67
33,33
0
0
100
0
0
3
0
0
0
66,67
0
0
0
33,33
33,33
66,67
0
0
0
100
100
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
100
0
0
0
0
1
0
100
66,67
66,67
0
66,67
66,67
100
33,33
0
0
66,67
0
0
0
2
0
0
33,33
33,33
100
0
33,33
0
66,67
33,33
0
33,33
100
66,67
33,33
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
66,67
0
0
0
33,33
66,67
Tingkatan kerusakan patologis selama pemaparan ditunjukkan pada tabel 2. Semakin lama pemaparan akan diikuti dengan meningkatnya tingkatan dan luasan kerusakan histopatologis yang dalam metode skoring (semikuantitatif) ditunjukkan dengan score 3 (level parah), hal ini terlihat pada pemaparan di hari ke-28. Patologis insang oedema lamella sekunder (OLS) dengan score 3 terjadi pada hari ke-7 dan 14. Pada stasiun 1 terjadi pada hari ke-14 dengan FKP sebesar 100% dari total sampel. Hal ini berarti sebanyak tiga individu mengalami kerusakan level parah pada hari ke-14. Stasiun 2 mengalami OLS dengan score 3 pada hari ke-7 dan 14 dengan FKP sebesar 66,67% dari total sampel, yang berarti sebanyak dua individu mengalami OLS
level parah pada hari ke-7 dan 14. Sedangkan pada stasiun 3 terjadi OLS score 3 dengan FKP sebesar 100% dari total sampel pada hari ke-7 yang berarti ketiga individu mengalami OLS level parah pada hari ke-7. Patologis insang hiperplasia lamella sekunder (HLS) dengan score 3 terjadi pada hari ke-21 dan 28. Stasiun 1 terjadi pada hari ke-21 dengan FKP sebesar 66,67% dari total sampel, yang berarti sebanyak dua individu mengalami HLS level parah pada hari ke-21. Stasiun 2 dengan score 3 terjadi pada hari ke28 dengan FKP sebesar 66,67% dari total sampel, yang berarti terjadi kerusakan HLS level parah pada hari ke-28 sebanyak dua individu. Sedangkan stasiun 3 dengan score 3 terjadi pada hari ke-21 dan 28 dengan FKP sebesar 100% dari total sampel, yang berarti
pada hari ke-21 dan 28 ketiga individu mengalami HLS level parah. Patologis insang fusi lamella (FL) dengan score 3 terjadi pada hari ke-28 di stasiun 2 dan 3 dengan FKP sebesar 66,67% dari total sampel. Hal ini berarti sebanyak dua individu mengalami FL level parah pada hari ke-28 di kedua stasiun. Sedangkan untuk stasiun 1 hanya terjadi pada level sedang (score 2) dengan persentase terbesar 100% di hari ke-28. Analisis Pengaruh Kualitas Air Kali Mas Surabaya Terhadap Perubahan Histopatologis Insang Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) Perubahan histopatologis insang dapat digunakan sebagai indikator pencemaran di lingkungan yang ditandai dengan gejala patologis mulai dari tingkatan ringan sampai parah yaitu Oedema Lamella Sekunder (OLS), Hiperplasia Lamella Sekunder (HLS), dan Fusi Lamella (FL) yang semakin meningkat luasannya seiring lamanya waktu pemaparan. Perubahan histopatologis yang diamati pada insang dalam pemaparan secara in situ di Kali Mas Surabaya menunjukkan bahwa ikan tersebut merespon pemaparan terhadap toksikan akibat adanya pengaruh dari berbagai toksikan yang bersinergi. Patologis oedema lamella sekunder paling sering disebabkan karena adanya bahan pencemar kimia seperti logam berat, pestisida maupun unsur-unsur kimia lainnya (Robert, 1989) dan terjadi karena peningkatan permeabilitas yang disebabkan oleh kontak yang terlalu lama dengan logam (Mohammed, 2009). Sebagaimana penelitian yang dilakukan Fernandes (2008) mengenai perubahan histopatologis insang ikan nila (O.niloticus) yang terpapar air limbah menunjukkan perubahan histopatologis berupa oedema lamella sekunder. Patologis insang oedema lamella sekunder juga ditemukan pada penelitian Mohammed (2009) mengenai studi histopatologis pada ikan Tilapia zillii dan Solea vulgaris dari Danau Qarun, Mesir yang mengandung banyak bahan pencemar, diantaranya logam berat dan berbagai macam pestisida. Perubahan serupa pada insang juga ditemukan pada penelitian Vinodhini and Narayanan (2009) yang terpapar logam. Hal ini juga terjadi di Kali Mas Surabaya yang mengindikasikan terjadinya penurunan kualitas air, dimana kandungan logam berat
sudah melebihi baku mutu perairan (tabel 1) dengan nilai kisaran tertinggi untuk Cd sebesar 0,007-0,039 ppm berada di stasiun 1, Hg sebesar 0,031-0,056 ppm dan Pb sebesar 0,068-0,752 ppm berada di stasiun 3. Sebelum zat toksik disebarkan ke dalam tubuh, maka harus melewati membran dan masuk ke dalam ruang sel. Tanggapan membran sel terhadap logam berat yaitu perusakan atau modifikasi permeabilitas membran dan terganggunya produksi ATP yang selanjutnya akan terjadi pengacauan sistem perpindahan ion-ion (Connell dan Miller, 1995). Logam berat dapat menyebabkan iritasi pada epithelium. Diduga terjadinya iritasi jaringan epitel disebabkan karena toksikan masuk ke dalam ruang sel dan bersentuhan dengan jaringan epitel tersebut. Terjadinya iritasi jaringan epitel menyebabkan terganggunya sistem transportasi ATP bebas dan membuat sel tidak mampu memompa ion natrium dengan cukup sehingga ion-ion natrium terakumulasi di dalam sel. Kenaikan konsentrasi ion natrium di dalam sel mengakibatkan influks air ke dalam sel sehingga terjadi oedema (Aryani, 2004). Patologis oedema akan berkembang menjadi hiperplasia. Hiperplasia terjadi karena banyaknya sel yang mengalami kerusakan atau kematian sehingga mengakibatkan terjadinya proliferasi sel untuk menggantikan sel yang mengalami kerusakan (Purwanti, 2006). Adanya proliferasi sel ini menyebabkan bersatunya dua lamela yang berdekatan (Caturi, 2005). Adanya hiperplasia akan mengurangi luas permukaan kontak antara branchia dengan oksigen, mengakibatkan proses pertukaran gas dan ion selama respirasi terhambat (Purwanti, 2006). Hiperplasia terjadi diduga adanya kandungan bahan toksik yang tinggi seperti Pb. Adanya kontak langsung antara logam (Pb) dengan jaringan epithel akan menyebabkan iritasi dan mengeluarkan mucus (lendir) sebagai perlindungan terhadap toksikan (Pb). Akan tetapi mucus yang dihasilkan justru menutup permukaan lamela insang sehingga pertukaran O2 dengan CO2 terhambat, akibatnya tidak ada pengikatan hemoglobin darah. Hal ini menyebabkan transportasi oksigen ke seluruh tubuh tidak ada (Nurchayatun, 2007). Hiperplasia yang berlebihan akan menyebabkan fusi lamella. Menurut Robert (1989), Fusi lamella merupakan hasil akhir dari hiperplasia lamella secara besar-besaran.
Fusi lamella dan hiperplasia lamella sekunder merupakan reaksi kronis akibat iritasi oleh bahan-bahan kimia (Takashima dan Hibiya, 1995). Pada beberapa penelitian perubahan patologis seperti hiperplasia dan fusi lamella terjadi pada ikan yang terpapar amonia (Benli et al, 2008). Perubahan serupa juga terjadi pada penelitian Martinez (2007), ditemukan patologis insang hiperplasia dan fusi lamella pada ikan P.lineatus yang dipaparkan secara in situ di sungai Cambe. Patologis hiperplasia juga ditemukan pada insang ikan bandeng yang terpapar logam timbal (Pb) (Alifia dan Djawad, 2003). Menurut Mallat (1985) perubahan demikian adalah tidak khusus dan bisa disebabkan oleh jenis-jenis kontaminan yang berbeda. Hasil pengamatan histopatologis hiperplasia dan fusi lamella yang terjadi di Kali Mas Surabaya diduga adanya kandungan amonia dan logam berat yang sudah melebihi baku mutu perairan. Nilai kisaran per minggu untuk amonia tertinggi berada di stasiun 3 sebesar 0,86-1,95 ppm (tabel 1). Terjadinya fusi lamella mengakibatkan fungsi lamella terganggu dalam hal proses pengambilan oksigen sehingga berpengaruh terhadap kematian ikan (Susilowati, 2005). Terjadinya fusi lamella ini akan mengurangi luas permukaan insang dan menyebabkan hilangnya jarak antar lamella akibat dari lamella sekunder yang berdekatan pada salah satu atau kedua sisi lamella primer sehingga mempengaruhi proses respirasi (Kumar, 2010). Jadi dapat dikatakan fusi lamela merupakan patologis yang sudah cukup parah, karena fusi lamella merupakan tahap lanjutan dari patologis sebelumnya. Selain amonia dan kandungan logam yang tinggi, parameter fisikokimia lain juga turut mempengaruhi kondisi kualitas air di Kali Mas Surabaya terhadap histopatologis insang, antara lain TSS, BOD, dan COD yang nilai kisaran per minggu juga sudah melebihi baku mutu perairan. Nilai kisaran per minggu untuk TSS tertinggi berada di stasiun 2 dengan kisaran 160-232 ppm. Nilai BOD dan COD tertinggi juga berada di stasiun 2 dengan kisaran per minggu sebesar 14-48 ppm untuk BOD dan 24-80 ppm untuk COD (tabel 1). Tingginya angka BOD dan COD menunjukkan semakin tinggi tingkat pencemaran organik di perairan. Nilai BOD yang tinggi menunjukkan semakin besarnya bahan organik yang terdekomposisi dengan menggunakan
sejumlah oksigen di perairan tersebut sehingga menurunkan konsentrasi oksigen terlarut (DO) (Warlina, 2004). Hal ini juga tampak pada pengukuran DO di ketiga lokasi yang menunjukkan hasil melebihi batas minimum baku mutu perairan, akan tetapi ikan uji (O.mossambicus) masih bisa bertahan hidup selama 28 hari penelitian untuk diamati histopatologisnya. Hal ini dikarenakan batas toleransi terendah DO untuk Tilapia adalah 0,01 ppm (Nandlal and Pickering, 2004). Banyaknya bahan organik maupun anorganik yang terkandung di Kali Mas Surabaya akan menyebabkan kekeruhan. Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat. Peningkatan kekeruhan akibat materi tersuspensi ini akan mengganggu daya kerja organ pernafasan pada ikan. Insang akan mengalami kontak langsung pada saat inspirasi. Pada waktu air mengalir diatas lamella, materi tersuspensi tersebut akan menempel pada mucus yang disekresikan sel mucus di insang dan akan menutup lamela pada insang yang akan mengganggu difusi oksigen. Zat pencemaran lainnya berasal dari hasil kegiatan rumah tangga penduduk sekitar yaitu limbah domestik salah satunya berupa sabun dan detergen diduga turut menurunkan kualitas perairan di Kali Mas Surabaya. Hal ini didukung oleh penelitian oleh Ogundiran et al., (2009) ikan yang terpapar pada konsentrasi sublethal sabun dan detergen menyebabkan kerusakan oedema dan hiperplasia pada lamella sekunder. Insang ikan yang terpapar zat toksik secara terus menerus dan dalam jumlah yang besar akan menunjukkan perubahan patologis yang semakin meningkat kerusakannya dan diikuti meningkatnya luasan. Hal ini juga terjadi di Kali Mas Surabaya, dimana patologis dengan kerusakan parah yang teramati adalah fusi lamela dengan frekuensi kejadian patologis (FKP) sebesar 66,67% dari total sampel yang dalam metode skoring (semikuantitatif) ditunjukkan dengan score 3. Berdasarkan gambar 4.4, patologis fusi lamella terjadi di ketiga stasiun dengan score yang berbeda pada hari ke-28. Pada stasiun 1 fusi lamella masih tergolong kerusakan sedang (score 2) dengan FKP sebesar 100% dari total sampel. Sedangkan di stasiun 2 dan 3, fusi
lamella sudah tergolong kerusakan parah (score 3) dengan FKP sebesar 66,67% dari total sampel. Hal ini dikarenakan tingginya polutan yang terkandung di dalam perairan seperti bahan organik, limbah domestik, maupun logam berat pada stasiun 2 dan 3 lebih tinggi dibandingkan pada stasiun 1. Tingginya kandungan polutan di stasiun 2 dan 3 dikarenakan sekitar lokasi tersebut padat penduduk, dimana banyak aktifitas penduduk sekitar yang menyebabkan perairan tersebut tercemar, yaitu membuang limbah domestik secara langsung ke sungai. Selain itu banyaknya kegiatan industri maupun kendaraan bermotor yang merupakan salah satu sumber adanya logam berat seperti Pb yang tinggi di Kali Mas Surabaya. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Perubahan histopatologis oedema lamella sekunder (OLS), hiperplasia lamella sekunder (HLS), dan fusi lamella (FL) pada insang ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) semakin meningkat luasan kerusakannya seiring dengan lamanya waktu pemaparan di Kali Mas Surabaya. 2. Patologis dengan kerusakan parah yang teramati adalah fusi lamella (FL) dengan frekuensi kejadian patologis (FKP) sebesar 66,67% dari total sampel yang dalam metode skoring (semikuantitatif) ditunjukkan dengan score 3 terjadi pada hari ke-28 di stasiun 2 dan 3.
Fontainhas-Fernandes, A., A. Luzio, S. Garcia-Santos, J. Carolla and S. Monteiro. 2008. “Gill Histopathological Alterations in Nile Tilapia, Oreochromis niloticus Exposed to Treated Sewage Water”. Brazilian Archives of Biology and Technology. Vol. 51 n. 5: pp.10571063, Sept/Oct 2008 Ghufran.H.K.K dan A.B. Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budi Daya Perairan. Penerbit Rineka Cipta : Jakarta Kamal, Abu H.M., dan Graham C.M. 2005. Salinity Tolerance In Superior Genotypes of Tilapia, Oreochromis niloticus, Oreochromis mossambicus and Their Hybrids. Aquaculture 247 (2005) 189-201 Mallatt, J. 1985. Fish Gill Structural Changes Induced by Toxicants and Other Irritants: a Statistical Review. Canadian Journal of Fish and Aquatic Sciences, 42: 630-648 Maria, L. 2003. Water Quality Biomonitoring. Aristotle University of Thessaloniki. Greece Masduqi, A., dan E. Apriliani. 2008. Estimation of Surabaya River Water Quality Using Kalman Filter Algorithm. The Journal for Technology and Science, Vol. 19, No. 3, August 2008.
V. DAFTAR PUSTAKA Anonim1, 2010. Pelindo Jamin Kualitas Air. http://www.pdam-sby.go.id. Diakses pada tanggal 1 Mei 2011 pada pukul 23.15 WIB
Mohamed, F. A. S. 2009. “Histopathological Studies on Tilapia zillii and Solea vulgaris from Lake Qarun, Egypt”. World Journal of Fish and Marine Sciences 1 (1): 29-39, 2009
Camargo, M. M. P. and C. B. R. Martinez. 2007. “Histopathology Of Gills, Kidney and Liver of A Neotropical Fish Caged In An Urban Stream”. Neotropical Ichthyology, 5 (3): 327336
Nandlal, S., and T. Pickering. 2004. Tilapia Fish Farming In Pacific Island Countries. Volume 2. Tilapia Hatchery Operation. Secretariat of the Pacific Community : New Caledonia
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanasius : Yogyakarta
Pantung, N., K.G. Helander, H.F. Helander and V. Cheevaporn. 2008. “Histopathological Alterations of Hybrid Walking Catfish (Clarias
macrocephalus x Clarias gariepinus) in Acute and Subacute Cadmium Exposure”. Environment Asia 1 : 2227 Riche, M., and D. Garling. 2003. Feeding Tilapia In Intensive Recirculating Systems. United States Department of Agriculture, Agricultural Research Service, Harbor Branch Oceanographic Institution, Fort Pierce, FL Robbins, S.L., Ramzi, S.C, V. Kumar.1994. Dasar Patologik Penyakit. Jilid satu. Binarupa Aksara : Jakarta Robert, R.J.1989. Fish Pathology. Second Edition. Bailliere Tindall : England