AKUMULASI TIMBAL (Pb) PADA JUVENILE IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) SECARA IN SITU DI KALI SURABAYA Robby Febryanto* , Aunurohim1 , Indah Trisnawati Dwi T1 Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat akumulasi logam berat Pb pada juvenile ikan mujair (Oreochromis mossambicus) secara in situ di Kali Surabaya dengan menggunakan keramba selama 28 hari. Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2011 dengan 3 stasiun lokasi penelitian yang diasumsikan mewakili daerah sepanjang Kali Surabaya menuju hilir. Pengambilan sampel ikan dilakukan setiap minggu untuk analisis konsentrasi Pb pada tubuh (whole body) juvenile ikan mujair. Data parameter lingkungan di ketiga stasiun turut diuji untuk mendukung analisa data. Parameter fisik lingkungan yang diuji berupa suhu, TSS dan TDS sedangkan parameter kimia yang diuji berupa pH, salinitas, BOD, COD, DO, AmoniaNitrogen, Pb terlarut dan Pb pada sedimen. Analisis sampel logam berat menggunakan AAS (Atomic Absorbent Spectrophotometer). Hasil penelitian menunjukkan tingkat akumulasi Pb pada tubuh (whole body) juvenile ikan mujair pada periode awal pemaparan lebih tinggi dibandingkan periode akhir pemaparan selama 28 hari. Besarnya konsentrasi dan akumulasi Pb pada tubuh juvenile ikan mujair berturut-turut selama rentang waktu pemaparan 0, 7, 14, 21, dan 28 hari sebesar 0,82 mg/kg; 1,32 mg/kg; 1,03 mg/kg; 0,827 mg/kg dan 0,967 mg/kg pada stasiun 1. Sedangkan pada stasiun sebesar 0,82 mg/kg;1,019 mg/kg; 1,12 mg/kg;0,767 mg/kg; 0,815 mg/kg, dan pada stasiun 3 sebesar 0,82 mg/kg ;1,16 mg/kg; 1,122 mg/kg; 0,8 mg/kg; 0,906 mg/kg. Fluktuasi akumulasi Pb pada ikan mempunyai pola kecenderungan yang sama dengan konsentrasi Pb di perairan dimana konsentrasi Pb di air dan sedimen pada periode awal pemaparan rata-rata lebih tinggi dibandingkan konsentrasi pada periode akhir pemaparan di lokasi yang sama. Konsentrasi Pb di perairan rata-rata lebih rendah dibandingkan konsentrasi Pb pada tubuh (whole body) juvenile ikan mujair, sedangkan konsentrasi Pb pada juvenile ikan mujair rata-rata lebih rendah dibandingkan konsentrasi Pb di sedimen. Kata Kunci : Mujair (Oreochromis mossambicus), timbal, akumulasi, Kali Surabaya ABSTRACT This study aims to determine the level of Pb accumulation in juvenile tilapia (Oreochromis mossambicus) in Surabaya River using cages for 28 days. The study was conducted in May-June 2011 with three stations sites are assumed to represent Surabaya River until downstream area. Sampling of fish were taken every week for analysis Pb in whole body of tilapia fish. The data of environmental parameters in the three stations also tested for supporting data analysis. Physical parameters which tested in this research are temperature, TSS and TDS and the chemical parameters are pH, salinity, BOD,COD, DO, Ammonia Nitrogen, dissolved Pb and Pb in sediments. Analysis of samples for heavy metals using AAS (Atomic Absorbent Spectrophotometer). The results show the rate for lead accumulation in whole body of juvenile Oreochromis mossambicus at the early period of exposure is higher than
the end of the exposure period for 28 days. The amount of Pb concentration and accumulation in the body of tilapia in a row in a period of exposure 0, 7, 14, 21, 28 days are 0,82 mg/kg; 1,32 mg/kg; 1,03 mg/kg; 0,827 mg/kg and 0,967 mg/kg at station 1 while the second station are 0,82 mg/kg; 1,019 mg/kg; 1,12 mg/kg; 0,767 mg/kg; 0,815 mg/kg and at third station are 0,82 mg/kg; 1,16 mg/kg; 1,122 mg/kg; 0,8 mg/kg; 0,906 mg/kg. Fluctuations in the concentration of Pb in fish have a tendency pattern with the concentration of Pb in waters and sediment. Fluctuations in Pb accumulation is related with the concentration of Pb in water and sediments which are the higher concentration of Pb in water and sediments are showed at the early period of exposure. The concentration of Pb in the waters are lower than the concentration of Pb in whole body tilapia, whereas the concentration of Pb in tilapia are lower than the concentration of Pb in sediments. Key word: Tilapia (Oreochromis mossambicus), lead, accumulation, Surabaya River
*Corresponding Author Phone: 085733651005 1 Alamat sekarang : Jurusan Biologi FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya I PENDAHULUAN Kali Surabaya adalah bagian dari Daerah Aliran Sungai Brantas yang mengalir sepanjang 41 km mulai dari DAM Mlirip di Mojokerto melewati wilayah Gresik, Sidoarjo dan berakhir di DAM Jagir Surabaya (Ecoton, 2003). Kali Surabaya kemudian bercabang menjadi 2 anak sungai, yaitu Kali Mas dan Kali Jagir Surabaya. Kali Surabaya merupakan sumber kehidupan berbagai jenis biota sungai dan menjadi salah satu sumber bahan baku PDAM untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat Kota Surabaya. Semakin berkembangnya perindustrian jaman sekarang, semakin mendukung pula meningkatnya pencemaran terhadap lingkungan, termasuk pencemaran di Kali Surabaya. Menurut Dewi dkk (2010), pencemaran logam timbal (Pb) di Kali Surabaya daerah Rolak dan Kali Mas Surabaya menyebabkan kualitas air sungai menurun dimana sungai Rolak kawasan Gunungsari dan Kalimas terpapar logam timbal sebesar 0,393 ppm dan 0,252 ppm sementara ambang batas Pb berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk Mutu Air Kelas III sebesar 0,03 ppm. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Ariestya (2008), diketahui juga bahwa konsentrasi logam berat Pb dalam air di Kali Mas (anak sungai kali Surabaya) sebesar 0,92-0,928 ppm, sedangkan konsentrasi logam berat lain seperti Cd, Hg, Cu dan Cr tidak terdeteksi. Selain itu, konsentrasi Pb pada sedimen di Kali Mas saat itu mencapai 103,219 – 138,621 ppm. Timbal merupakan logam berat yang sangat beracun dan dapat dideteksi secara praktis pada seluruh benda mati di lingkungan dan seluruh sistem biologis (Widaningrum, 2007). Keracunan logam berat yang ditimbulkan oleh persenyawaan logam Pb dapat terjadi karena masuknya persenyawaan logam tersebut ke dalam tubuh. Proses masuknya Pb ke dalam tubuh dapat melalui beberapa jalur, diantaranya makanan dan minuman, udara dan penetrasi atau perembesan pada selaput atau lapisan kulit. Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/L dapat membunuh ikan-ikan yang terdapat di badan perairan (Palar, 1994).
Biota air yang hidup dalam perairan tercemar logam berat, dapat mengakumulasi logam berat tersebut dalam jaringan tubuhnya. Makin tinggi kandungan logam dalam perairan akan menyebabkan semakin tinggi pula kandungan logam berat yang terakumulasi dalam tubuh hewan tersebut (Rochyatun dan Rozak, 2007). Keberadaan logam berat melalui proses bioakumulasi dan biomagnifikasi melalui aliran makanan dapat dideteksi dengan menggunakan ikan sebagai bioindikator. Jenis ikan yang dipilih adalah jenis ikan yang sering dikonsumsi oleh manusia (Yudha, 2009). Oleh karena ikan memiliki kemampuan untuk melakukan pergerakan yang tinggi bahkan migrasi, maka monitoring keberadaan logam berat melalui proses akumulasi dan magnifikasi dapat dilakukan secara in-situ dengan metode keramba jaring (fish caged). Di sisi lain, biomonitoring secara in-situ dengan menggunakan spesies yang dikurung dalam keramba (caged species) di lokasi yang telah ditentukan, memungkinkan diketahuinya hubungan antara gradien konsentrasi kontaminan logam berat dengan lokasi penelitian secara langsung (Barbee et al., 2008). Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan mujair. Ikan mujair (Oreochromis mossambicus) merupakan ikan yang hidup di daerah pantai maupun perairan tawar sebagai pemakan detritus serta mikro dan makro bentik (Effendie, 2002). Sebagai salah satu predator puncak dalam jejaring makanan akuatik, Oreochromis mossambicus berpotensi mengakumulasi logam berat. Selain itu, ikan mujair (Oreochromis mossambicus) mempunyai toleransi yang besar terhadap kadar garam atau salinitas (Suseno, 2010). Ikan mujair yang digunakan dalam
penelitian ini masih berada dalam fase juvenile. Menurut Palace et al (2005), juvenile ikan yang dikeramba memiliki kemungkinan tingkat stress yang lebih rendah serta mobilitas yang lebih terbatas sehingga dapat memberikan interpretasi data yang baik selama jangka waktu paparan untuk mengetahui tingkat akumulasi logam berat. Dengan demikian, dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat akumulasi Pb (timbal) tersebut dengan menggunakan juvenile ikan mujair (Oreochromis mossambicus) di Kali Surabaya. Permasalahan yang dikaji pada penelitian ini adalah bagaimana tingkat akumulasi Pb (timbal) pada tubuh juvenile (whole body) ikan mujair (Oreochromis mossambicus) di Kali Surabaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat akumulasi Pb (timbal) pada tubuh juvenile (whole body) ikan mujair (Oreochromis mossambicus) di Kali Surabaya. II METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret – Juni 2011. Preparasi alat dilakukan pada bulan Februari 2011. Kemudian, pengujian secara in-situ di Kali Surabaya dilakukan pada Bulan April - Mei 2011 selama 28 hari. Analisis data yang diperoleh pada penelitian ini dilakukan hingga bulan Juni 2011. Preparasi sampel juvenile ikan mujair (Oreochromis mossambicus) setiap minggunya dilakukan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi ITS, sedangkan analisis konsentrasi logam berat timbal (Pb) untuk sampel ikan, air dan sedimen dilakukan dengan metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya.
minimal 5 gram. Hasil pengukuran konsentrasi Pb (timbal) pada tubuh ikan dari hari ke-0, 7, 14, 21 dan 28 dibuat grafik sehingga dapat diketahui tingkat akumulasi dari logam berat Pb pada ikan mujair (Oreochromis mossambicus).
Gambar 1. Lokasi Penelitian (modifikikasi www.googleearth.com) Preparasi Keramba Jaring Keramba jaring dibuat dengan bentuk dan ukuran yang diadopsi dari Barbee,et al (2008) berdasarkan kepadatan juvenile ikan pada volume keramba tersebut. Desain keramba dibuat seperti balok dengan jaring berukuran 1 mm pada keenam sisinya. Bagian tepi jaring dari keramba tersebut kemudian dilapisi dengan kain terpal agar lebih kuat. Kerangka jaring dibuat dari paralon berdiameter ± 6 cm. Bagian dasar paralon tersebut diisi dengan semen cor sebagai pemberat. Biomonitoring In-situ dengan Metode Fish Caged Juvenile ikan mujair (Oreochromis mossambicus) diperoleh dari hasil budidaya ikan mujair di daerah Gunung Sari, Surabaya. Berat juvenile yang digunakan dalam penelitian ini antara 2,5-3 gram dengan panjang total 2-3 cm. Setelah uji kelayakan keramba selesai dilakukan, keramba jaring dimasukkan ke dalam tiaptiap stasiun dan masing-masing diisi dengan juvenile ikan mujair (Oreochromis mossambicus) sebanyak 40 ekor. Enam ekor ikan dalam keramba diambil untuk dianalisis konsentrasi logam berat Pb dalam tubuh juvenile ikan mujair tersebut dengan mempertimbangkan ulangan sebanyak 3 kali dan berat ikan untuk pengujian AAS
Gambar 2. Keramba Jaring yang Digunakan (Sumber: Dokumentasi pribadi) Pengambilan Parameter Fisik-Kimia Lingkungan Suhu air dalam keramba jaring diukur dengan menggunakan thermometer air raksa sedangkan pH diukur dengan menggunakan kertas pH. Selain itu, salinitas air dalam keramba diukur dengan menggunakan hand-refractometer. Selain data tersebut, parameter lain yang diukur adalah BOD, COD, COD, TSS, TDS, DO dan Ammonia Nitrogen. Pengukuran parameter tersebut dilakukan di Laboratorium Kualitas Lingkungan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Pengambilan sampel Air dan Sedimen Sampel air untuk parameter kimia lingkungan, termasuk untuk analisis konsentrasi logam berat timbal (Pb) diambil di setiap stasiun dengan menggunakan water sampler. Sampel sedimen juga diambil dengan menggunakan bottom grab. Uji Konsentrasi Logam Berat Sampel dimasukkan dalam botol polipropilen, diawetkan dalam 10 % HNO3 dan disimpan dalam pendingin sekitar -200C
(Darmono,1995). Untuk metode AAS, terlebih dahulu sampel harus dilarutkan atau disebut digest. Proses pelarutan ini dapat dilakukan berkali-kali tergantung besarnya konsentrasi unsur di dalamnya. Dalam proses pelarutan ini, sampel yang telah kering dimasukan ke dalam vessel atau bejana sebanyak 500 mg, setelah itu dilarutkan dengan menambahkan Asam Nitrat dan Asam Perklorat sebanyak 6.5 dan 1 ml serta ditambahkan pula 2,5 ml aquadest. Kemudian, sampel dimasukkan ke dalam microwave digestion untuk melarutkan semuanya. Setelah sampel menjadi larutan dalam bentuk bening, maka dapat diukur konsentrasi logam Pb pada sedimen tersebut (Handayani dkk, 2009). Untuk sampel air, dilakukan metode pemekatan sampel dengan asam nitrat . Analisa Data Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif. Data logam berat pada air serta kualitas perairan dianalisis secara deskriptif sesuai dengan baku mutu lingkungan yang terdapat dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No.2 Tahun 2008 mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air di Provinsi Jawa Timur. Data sedimen dianalisis secara deskriptif sesuai dengan baku mutu yang dikeluarkan oleh IADC/CEDA 1997 mengenai kandungan logam yang dapat ditoleransi keberadaannya dalam sedimen berdasarkan standar kualitas Belanda (Panjaitan, 2009). Data logam berat Pb (timbal) pada juvenile ikan dianalisis secara deskriptif berdasarkan lama paparan dan besarnya konsentrasi logam berat Pb pada air dan sedimen. III HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Kualitas Lingkungan Parameter Suhu Hasil pengukuran suhu setiap 7 hari selama 28 hari masa penelitian menunjukkan kisaran suhu 26,4-30,6 oC.
Suhu pada perairan di stasiun 1 berkisar antara 27,9-29,3 oC. Suhu pada perairan di stasiun 2 berkisar antara 26,4-30 oC sedangkan pada stasiun 3 berkisar antara 28,4-30,6oC. Kondisi suhu perairan rata-rata menunjukkan rentang suhu dalam kisaran normal. Menurut Afriansyah (2009), suhu dapat mempengaruhi kuantitas logam berat yang diserap organisme, karena rata-rata proses biologi akan meningkat dua kali lipat pada tiap kenaikan temperatur 10oC. Salinitas dan pH Hasil pengukuran salinitas dan pH pada ketiga stasiun selama 28 hari menunjukkan nilai yang tetap yaitu masingmasing 0 0/00 dengan nilai pH yaitu 7 (netral). Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Hasil pengukuran oksigen terlarut menunjukkan data yang bervariasi. Kadar oksigen terlarut di stasiun 1 berkisar antara 1,27-3,04 mg/L sedangkan pada stasiun 2 berkisar antara 2,46-3,36 mg/L dan pada stasiun 3 berkisar antara 0,77-2,51 mg/L. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2008, batas minimum oksigen terlarut (DO) untuk mutu air kelas III sebesar 3 mg/l. BOD (Biological Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) Hasil uji BOD dan COD menunjukkan kisaran yang bervariasi pada tiap stasiun. Nilai BOD pada stasiun 1,2 dan 3 berturut-turut berkisar antara 9-37 mg/L, 14- 48 mg/L dan 13-24 mg/L. Sedangkan nilai COD pada stasiun 1,2 dan 3 berturutturut berkisar antara 16-60 mg/L , 24-80 mg/L dan 24-40 mg/L. Nilai BOD pada perairan telah melebihi ambang batas baku mutu perairan kelas III dan IV menurut Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No.2 Tahun 2008 yaitu masing-masing sebesar 6 dan 12 mg/L sedangkan nilai COD masih di
bawah baku mutu perairan kelas III sebesar 50 mg/L, kecuali pengukuran pada hari ke-7 pada stasiun 1 dan 2. Nilai BOD dan COD tertinggi pada perairan terjadi pasca 7 hari masuknya ikan dalam keramba. Menurut Barus (2004), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nilai BOD diantaranya jumlah senyawa organik yang diuraikan, tersedianya mikroorganisme aerob dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian tersebut. TSS (Total Suspended Solid) dan TDS (Total Dissolved Suspend) Hasil analisis TSS pada stasiun 1 berkisar antara 142-182 mg/L sedangkan pada stasiun 2 berkisar antara 160-232 mg/L dan pada stasiun 3 berkisar antara 128-182 mg/L. TDS (Total Dissolved Suspend) merupakan salah satu parameter fisik yang biasanya menggambarkan bahan-bahan anorganik yang berupa ion-ion yang ditemukan di perairan. Hasil analisis TSS dan TDS pada stasiun 1 berkisar antara 212242 mg/L, sedangkan pada stasiun 2 berkisar antara 224-253 mg/L dan pada stasiun 3 berkisar antara 230-258 mg/L. Nilai TSS danTDS pada ketiga stasiun masih di bawah ambang batas baku mutu perairan menurut Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No.2 Tahun 2008 yaitu berturut-turut sebesar 400 dan 1000 mg/L. Ammonia Nitrogen Hasil analisis ammonia bebas pada stasiun 1 berkisar antara 0,41-1,38 mg/L, pada stasiun 2 berkisar antara 0,13-1,84 mg/L dan pada stasiun 3 berkisar antara 0,86-1,95 mg/L. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No.2 Tahun 2008, parameter amonia bebas termasuk dalam parameter yang tidak dipersyaratkan untuk perairan kelas II,III dan IV sedangkan untuk baku mutu air Kelas I, nilai amonia bebas tidak boleh melebihi 0,5 mg/L.
Konsentrasi Pb di Air, Sedimen dan Juvenile Ikan Mujair Hasil analisis konsentrasi timbal pada air di setiap stasiun menunjukkan nilai yang juga bervariasi pada setiap waktu pengambilan sampel air. Hasil uji logam berat Pb pada stasiun 1 berkisar antara 0,024-0,076 mg/L, pada stasiun 2 berkisar 0,029-0,204 mg/L sedangkan pada stasiun 3 berkisar antara 0,036-0,231 mg/L. Nilai konsentrasi logam berat Pb di Kali Surabaya cenderung melebihi baku mutu perairan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No.2 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk Mutu Air Kelas III sebesar 0,03 ppm. Dalam sedimen, konsentrasi Pb pada ketiga stasiun cukup tinggi dan berfluktuasi. Konsentrasi Pb pada sedimen di stasiun 1 berkisar antara 7,569-14,491 mg/kg, pada stasiun 2 berkisar antara 9,028-12,543 mg/kg sedangkan pada stasiun 3 berkisar antara 5,822-7,889 mg/kg. Baku mutu logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan, sehingga sebagai acuan digunakan baku mutu yang dikeluarkan oleh IADC/CEDA (1997) mengenai kandungan logam yang dapat ditoleransi keberadaannya dalam sedimen berdasarkan standar kualitas Belanda, seperti dapatdilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1.Baku mutu kadar logam berat dalam sedimen (dalam mg/kg) Logam Berat
Level Target
Level Limit
Level Tes
Level Intervensi
Level Bahaya
0.5
2
7.5
12
30
Timbal
85
530
530
530
1000
Merkuri
0.3
0.5
1.6
10
15
Cadmium
Sumber : International Association of Dredging Companies /Central Dredging Association (1997) Hasil uji logam berat Pb pada sedimen di ketiga stasiun menunjukkan bahwa konsentrasi Pb pada sedimen masih di bawah level target, yaitu sebesar 85
mg/kg. Hal ini menunjukkan Pb pada sedimen tersebut tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan menurut IADC/CEDA (1997) tentang kualitas sedimen berdasarkan standart kualitas Belanda (< 85 mg/kg). Selain itu, Menurut Reseau National d’Observation dalam Ahmad (2009) kadar normal Pb dalam sedimen yang tidak terkontaminasi berkisar antara 10–70 mg/kg. Pada semua stasiun penelitian, jumlah logam Pb dalam sedimen juga menunjukkan konsentrasi yang selalu lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah Pb di air dan di ikan. Hal ini erat kaitannya dengan sifat fisik kimia logam Pb yang mampu membentuk senyawa dengan bermacam-macam logam dan di dalam air akan mengikat agregatagregat sehingga menjadi partikel yang berukuran relatif lebih besar dan berat sehingga dapat mengendap dengan sendirinya (Palar, 1994).
Gambar 3.
Grafik Perbandingan Konsentrasi Pb di Ikan, Sedimen dan Air di Lokasi Penelitian selama Rentang Waktu Pengamatan Tingginya konsentrasi Pb pada air dan sedimen akan mempengaruhi konsentrasi Pb di ikan di dalam keramba. Konsentrasi Pb pada ikan menunjukkan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan konsentrasi Pb yang ada di air tetapi lebih rendah dibandingkan konsentrasi Pb di sedimen. Perubahan konsentrasi Pb pada ikan di stasiun 1 tiap minggu selama 28 hari
cukup berfluktuasi, demikian juga pada stasiun 2 dan 3. Hal ini diduga dipengaruhi oleh konsentrasi Pb di perairan, sedimen dan kemampuan fisiologis ikan tersebut serta faktor fisik kimia perairan. Akumulasi Timbal dalam Whole Body Juvenile Ikan Mujair Ikan mujair (Oreochromis mossambicus) merupakan salah satu bioindikator yang sering digunakan dalam monitoring ekosistem perairan terkait kandungan logam berat di dalam tubuhnya serta resiko bagi manusia sebagai salah satu konsumen utamanya. Selain itu, ikan mujair memiliki kemampuan toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim. Menurut Suseno dkk (2010), ikan mujair dapat beradaptasi terhadap perubahan salinitas yang ekstrim serta dapat bertahan pada perairan dengan kadar oksigen terlarut yang rendah. Sebagai salah satu predator puncak dalam jejaring makanan akuatik, ikan mujair berpotensi mengakumulasi logam berat dan memberikan kontribusi terhadap paparan kontaminan tersebut pada manusia Hasil penelitian dengan metode fish caged monitoring menggunakan ikan mujair menunjukkan fluktuasi konsentrasi logam berat Pb selama masa paparan (28 hari) pada ketiga stasiun penelitian. Hasil uji logam berat pada whole body juvenile ikan mujair setiap minggu menunjukkan peningkatan konsentrasi pada minggu-minggu awal sejak ikan tersebut dipaparkan ke dalam sungai kemudian menurun dan meningkat kembali pada akhir periode paparan. Hasil uji konsentrasi Pb pada tubuh ikan mujair di stasiun 1 setiap minggu selama 28 hari berturut-turut sebesar 1,32 mg/kg; 1,03 mg/kg; 0,827 mg/kg dan 0,967 mg/kg sedangkan hasil uji konsentrasi Pb pada tubuh ikan mujair di stasiun 2 setiap minggu selama 28 hari berturut-turut sebesar 1,019 mg/kg; 1,12 mg/kg; 0,767 mg/kg dan 0,815
mg/kg. Hasil uji konsentrasi Pb di stasiun 3 setiap minggu berturut-turut selama 28 hari sebesar 1,16 mg/kg; 1,122 mg/kg; 0,8 mg/kg; 0,906 mg/kg. Fluktuasi konsentrasi logam berat Pb dalam whole body ikan mujair (Oreochromis mossambicus) diduga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya mekanisme regulasi, konsentrasi Pb di air dan sedimen serta beberapa faktor fisik-kimia perairan. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh ikan dapat menyebabkan gangguan fisiologis sehingga ikan akan berusaha mengeluarkan logam berat tersebut melalui mekanisme regulasi. Ikan dapat meregulasi logam berat yang ada di dalam tubuhnya sehingga resiko toksisitas logam berat dalam tubuhnya dapat dihindari. Menurut AlNagaawi (2008), ikan memiliki mekanisme regulasi, diantaranya ekskresi, detoksifikasi dan penyimpanan (storage). Apabila mekanisme regulasi tidak mampu menyeimbangi penyerapan (uptake) logam berat oleh organisme tersebut, maka resiko toksisitas dapat terjadi dimana terjadi kerusakan pada hati dan ginjal sebagai organ yang berperan dalam proses detoksifikasi dan ekskresi. Tubuh makhluk hidup biasanya memiliki kemampuan mentoleransi logam yang tidak diperlukan oleh tubuh (racun) melalui proses ekskresi tubuh oleh ginjal melalui urine (Darmono, 1995). Selain proses regulasi berupa ekskresi, hati ikan memiliki peran dalam mekanisme detoksifikasi. Proses detoksifikasi logam berat pada hati melalui proses pengikatan logam (metallothionein) di dalam jaringan. Kemampuan detoksifikasi oleh hati relatif terbatas sehingga logam berat yang berlebihan di dalam tubuh, akan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh ikan melalui pembuluh darah (Soemirat, 2002 dalam Sunarsih dkk, 2008). Menurut Kanakaraju and Anuar (2009), kenaikan Pb pada ikan akan semakin
tinggi sesuai dengan kenaikan Pb pada air dan lama paparan. Fluktuasi kenaikan Pb pada tubuh ikan mujair diduga disebabkan karena konsentrasi Pb yang terdapat pada sedimen dan air. Rata-rata konsentrasi Pb pada tubuh ikan meningkat pada awal periode paparan seiring dengan tingginya konsentrasi Pb pada air dan sedimen. Ratarata konsentrasi Pb tertinggi pada ikan mujair di stasiun 1 sebesar 1,323 mg/kg setelah 7 hari periode paparan dimana konsentrasi Pb di air dan sedimen pada saat itu berturut-turut sebesar 0,052 mg/L dan 11,36 mg/kg. Rata-rata konsentrasi Pb pada ikan mujair di stasiun 2 dan 3 menunjukkan konsentrasi Pb tertinggi pada minggu kedua pengambilan sampel ikan masing-masing sebesar 1,12 mg/kg dan 1,122 mg/kg dimana konsentrasi Pb di air pada stasiun 2 sebesar 0,204 mg/L dan pada stasiun 3 sebesar 0,225 mg/L. Konsentrasi Pb terlarut pada minggu kedua di stasiun 2 dan 3 menunjukkan nilai konsentrasi tertinggi selama lima kali pengambilan sampel air setiap minggunya selama 28 hari. Hal ini memperkuat dugaan bahwa, terdapat keterkaitan antara logam berat pada sedimen dan air terhadap konsentrasi logam berat yang terdapat dalam tubuh (whole body) ikan mujair. Ikan dapat melakukan mekanisme akumulasi Pb seiring dengan meningkatnya konsentrasi Pb di perairan dan sedimen, namun ikan juga dapat melakukan mekanisme eliminasi seiring dengan penurunan konsentrasi logam berat di perairan. Al-Nagaawi (2008) melakukan penelitian skala laboratorium untuk mengetahui konsentrasi, akumulasi dan eliminasi Pb dalam tubuh ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan memaparkan ikan dalam perairan yang mengandung Pb pada konsentrasi 6 mg/L dan 12 mg/L selama 4 minggu, kemudian memindahkan ikan tersebut ke dalam akuarium yang tidak mengandung polutan Pb selama 2 minggu untuk mengetahui
proses eliminasi Pb dalam tubuh ikan. Hasil penelitiannya menunjukkan rata-rata akumulasi Pb meningkat sesuai kenaikan Pb di perairan dan lama paparan. Kemudian, dua minggu masa eliminasi menunjukkan penurunan logam Pb dalam tubuh ikan. Selain mekanisme fisiologis ikan dan konsentrasi Pb di perairan, beberapa parameter fisik dan kimia perairan pada penelitian ini diduga secara tidak langsung dapat mempengaruhi konsentrasi Pb di dalam tubuh ikan, diantaranya BOD, COD dan Ammonia Nitrogen. Faktor fisik-kimia perairan tersebut secara langsung memang tidak mempengaruhi konsentrasi Pb pada ikan, namun berpengaruh langsung pada peningkatan konsentrasi Pb pada sedimen. KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah : - Tingkat akumulasi Pb pada juvenile (whole body) ikan mujair di Kali Surabaya pada periode awal pemaparan lebih tinggi daripada periode akhir pemaparan selama 28 hari. Tingkat akumulasi Pb pada ikan rata-rata memiliki pola kecenderungan yang sama dengan tingkat akumulasi Pb di perairan dan juga sedimen pada ketiga lokasi penelitian. - Konsentrasi Pb di perairan rata-rata lebih rendah dibandingkan konsentrasi Pb pada juvenile (whole body) ikan mujair, sedangkan konsentrasi Pb pada tubuh (whole body) juvenile ikan mujair ratarata lebih rendah dibandingkan konsnetrasi Pb di sedimen. DAFTAR PUSTAKA Afriansyah, A. 2009. Konsentrasi Kadmium (Cd) dan Tembaga (Cu) dalam Air, Seston, Kerang dan Fraksinasinya dalam Sedimen di Perairan Delta Berau Kalimantan Timur. Program Studi Ilmu dan
Teknologi Kelautan Pertanian Bogor
Institut
Ahmad, F. 2009. Tingkat Pencemaran Logam Berat dalam Air Laut dan Sedimen di Perairan Pulau Muna Kabaena dan Sulawesi Tenggara. Makara Sains Volume 13, No.2 Al-Nagaawy,A.M. 2008. Accumulation and Elimination of Copper and Lead from Oreochromis niloticus Fingerlings and Consequent Influence on Their Tissue Residues and Some Biochemichal 8 th International Parameters. Symposium on Tilapia in Aquaculture, Saudi Arabia Ariestya, Aulia. 2008. Analisa Kadar Logam Berat Pb, Cd, Cu, Cr dan Hg dalam Air dan Sedimen Kali Mas Surabaya. Laporan Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Surabaya Barbee, Gary C., John Barich, Bruce Dunkan, John W. Bickam, Cole W. Matson, Christopher J. Hintze, Robin L. Autenrieth, Guo-Dung Zhou, Thomas J. McDonald, Leslie Cizmas, Dale Norton, Kirby C. Donnely. 2008. In Situ Biomonitoring of PAH-contaminated Sediments Using Juvenil Coho Salmon (Oncorhynchus kisutch). Ecotoxitology and Enviromental Safety 71 (2008) 454-464. Barus, T.A. 1996. Metodi Ekologis untuk Menilai Kualitas Perairan Lotik. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara: Medan
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press: Jakarta Dewi,R.T., Fitrihidajati,H.,Yuliani. 2010. Identifikasi Rhizobakteri pada Eceng Gondok (Eichornia crassipes Solm.) dan Lemna minor L. yang Terpapar Logam Berat Timbal (Pb).Prosiding Seminar Nasional Biologi 2010. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Surabaya Ecoton.2003. Jelajah Kali Surabaya.
Handayani, E., Oginawati, K., Santoso,M. 2009. Analisa Logam Cu dan Zn pada Jajanan anak Sekolah Dasar di Bandung dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Laporan Penelitian Program Studi Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung Palace,Vince P., Doebel, Cecilia., Baron, Chris L.,Evans, R., Wautier, Kerry G., Klaverkamp, Jack F., Werner, J., Kollar, Suzzane.2005. Caging SmallBodied Fish as an Alternative Method for Environmental Effects Monitoring (EEM). Water Qual. Res. J. Canada, 2005 • Volume 40, No. 3, 328–333 Palar,
H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta :Jakarta
Panjaitan, Grace Y. 2009. Akumulasi Logam Berat Tembaga (Cu) dan timbal (Pb) pada Pohon Avicennia marina di Hutan Mangrove. Laporan Skripsi Departemen
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Rochyatun, Endang dan Rozak, Abdul. 2007. Pemantauan Kadar Logam Berat dalam Sedimen di Perairan Teluk Jakarta. Makara, Sains, Vol.11, Nomor 1,April 2007: 28-36 Sunarsih,G. 2008. Akumulasi Merkuri (Hg) pada Daging dan Tulang Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal ) di Tambak Keputih Sukolilo Surabaya. Tugas Akhir Jurusan Biologi FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Suseno, H., Hudiyono,S.,Budiawan dan Wisnubroto, Djarot S. 2010. Bioakumulasi Anorganik dan Metil Merkuri oleh Oreochromis mossambicus :Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air. Jurnal Teknologi Pengelolahan Limbah, Volume 13 No 1, ISSN 1410-9565 Widaningrum, Miskiyah dan Suismono. 2007. Bahaya Kontaminasi Logam Berat dalam Sayuran dan Alternatif Pencegahan Cemarannya. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol. 3 2007 Yudha, Indra G. 2009. Kajian Logam Berat Pb, Cu, Hg dan Cd yang Terkandung pada Beberapa Jenis Ikan di Wilayah Pesisir Kota Bandar Lampung. Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Unila: Lampung