Bioekologi dan Konservasi
Banteng di Indonesia
R. Garsetiasih Reny Sawitri Anita Rianti
Penerbit: FORDA PRESS BOGOR, 2016
Bioekologi dan Konservasi
Banteng di Indonesia
R. Garsetiasih Reny Sawitri Anita Rianti
Penerbit: FORDA PRESS BOGOR, 2016
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia Penulis: R. Garsetiasih Reny Sawitri Anita Rianti Penyunting: Prof. Dr. Ir. Gono Semiadi Prof. Dr. M. Bismark, MS. Drh. Pujo Setio, M.Si. Foto-foto: R. Garsetiasih, Reny Sawitri, dan Anita Rianti Desain dan tata letak: Bintoro Copyright©2016 Penulis Cetakan Pertama, Desember 2016 xvi + 70 halaman; 148 x 210 mm ISBN: 978-602-6961-13-6 Sitasi: Garsetiasih, R., Sawitri, R., & Rianti, A. (2016). Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia. Bogor, Indonesia: Forda Press. Penerbit: Forda Press (Anggota IKAPI) Penerbitan dan pencetakan dibiayai oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Bahan publikasi merupakan hasil kerja sama penelitian: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Perpustakaan Nasional RI., Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Garsetiasih et al. Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia / Penyusun, R. Garsetiasih, Reny Sawitri, Anita Rianti. -- Cet.1. -- Bogor : Forda Press, 2016. xvi + 70 hlm. : ill. ; 21 cm. -ISBN: 978-602-6961-13-6 1. Banteng, Bioekologi, Konservasi,-- Wildlife. I. Garsetiasih, R., Sawitri, R. Rianti, A. II, Judul III. Forda Press
333.954
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Kata Pengantar Banteng merupakan salah satu jenis satwa liar yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan antarsektor. Peranan dalam pembangunan sumber daya hayati untuk ketahanan pangan yaitu melalui program pemanfaatan plasma nutfah bagi pemuliaan sapi bali dengan inseminasi buatan (IB) ataupun domestikasi. Banteng juga berperan sebagai agen dalam regenerasi vegetasi di habitat alaminya, sekaligus menjadi obyek wisata dalam pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan. Mengingat peranan banteng, baik keberadaannya di alam maupun dalam meningkatkan kesejahteraan manusia, kondisi penurunan populasi banteng perlu diwaspadai sebagai akibat dari degradasi habitat , perburuan liar, dan konflik dengan masyarakat sekitar hutan. Buku Bioekologi dan Konservasi Banteng ditulis untuk melengkapi informasi mengenai banteng yang saat ini masih belum memadai. Walaupun belum selengkap yang diharapkan, kami berharap bahwa buku ini tetap memberikan manfaat dan menambah pengetahuan dan informasi, khususnya mengenai bioekologi dan konservasi banteng bagi upaya konservasi satwa liar dan pengelolaan kawasan, khususnya yang
pada kawasan yang sering terjadi konflik antara satwa liar dengan masyarakat. Kritik, saran, dan masukan untuk penyempurnaan buku ini pada masa mendatang sangat kami harapkan. Masukan untuk penyempurnaan penulisan buku mengenai banteng berupa penambahan data atau informasi selanjutnya dapat disampaikan kepada penulis melalui email:
[email protected]. Akhirya, kami berharap bahwa buku ini dapat memberikan tambahan informasi dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dan strategi pengelolaan kawasan konservasi, khususnya habitat banteng, yang selanjutnya dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan dari sektor sumber daya hutan. Bogor, Desember 2016 Kepala Pusat,
Ir. Djohan Utama Perbatasari, MM.
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• v
Daftar Isi Kata Pengantar....................................... v Daftar Isi.................................................vii
4.3 Nilai Kandungan Gizi dan Palatabilitas Hijauan Pakan ............... 27
Daftar Tabel............................................ix
5 TEKNIK KONSERVASI...................... 33
Daftar Gambar........................................xi
5.1 Status....................................................... 33 5.2 Ancaman................................................. 33 5.3 Parasit pada Banteng ........................... 37 5.4 Konservasi Ex Situ................................ 38 5.5 Konservasi In Situ................................. 39
Daftar Singkatan...................................xiii 1 PENDAHULUAN.................................. 1 1.1 Informasi Singkat tentang Banteng......1 1.2 Permasalahan Konservasi Banteng.......2 2 SISTEMATIKA DAN BIOEKOLOGI....... 5 2.1 Klasifikasi Banteng (Bos javanicus) ......5 2.2 Deskripsi Banteng....................................5 2.3 Perbandingan Morfologi Banteng di Habitat In Situ dan Lembaga Konservasi Ex Situ...................................7 2.4 Perilaku dan Penggunaan Ruang....... 11 3 HABITAT DAN POPULASI................. 13 3.1 Habitat.................................................... 13 3.2 Sebaran Populasi................................... 15 4 SUMBER PAKAN DAN DAYA DUKUNG........................................... 23 4.1 Vegetasi dan Produktivitas Hijauan Pakan ...................................................... 23 4.2 Produktivitas Hijauan Pakan.............. 24
6 KERAGAMAN GENETIK BANTENG EKS SITU DAN IN SITU.................... 47 7 POTENSI PEMANFAATAN BANTENG.......................................... 51 7.1 Hubungan Kekerabatan Banteng dan Sapi Bali........................................... 53 7.2 Perbaikan Mutu Sapi Bali.................... 54 8 KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KONSERVASI BANTENG.................. 57 8.1 Pengelolaan Sumber Daya Alam secara Kolaboratif (Co-management).................................................... 57 8.2 Kelembagaan Pengelolaan Kolaboratif Konservasi Banteng........ 60 9 PENUTUP.......................................... 77 DAFTAR PUSTAKA................................ 79
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• vii
Daftar Tabel 1. Morfometrik banteng di lembaga konservasi ex situ..............................................9
12. Palatabilitas jenis hijauan yang dimakan banteng di TN Meru Betiri................. 30
2. Morfometrik banteng di kawasan konservasi in situ........................................... 10
13. Potensi dan tingkat konflik konservasi banteng di TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo..................................................... 37
3. Deskripsi ukuran tengkorak banteng jantan di lokasi penelitian (in situ)............ 11 4. Jenis Pakan Banteng di beberapa kawasan TN dan Perkebunan Bandealit............. 23 5. Produktivitas hijauan pakan banteng di blok Sumbergedang pada musim hujan dan kemarau .................................................. 24
14. Jenis endoparasit pada banteng di lembaga konservasi (ex situ) dan kawasan konservasi (in situ) ....................... 38 15. Jarak genetik antarpopulasi di KBS, TMR, TN Baluran, TN Meru Betiri, TSI II, Sapi Bali dan TSI III....................... 48
6. Produktivitas hijauan pakan banteng di Sadengan pada saat musim hujan dan kemarau .......................................................... 25
16. Matriks Jarak Genetik MtDNA D-Loop Sapi Bali Haplotipe 1 dan 2, Banteng, Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus, dan Bos gaurus........................................... 53
7. Produktivitas hijauan pakan banteng di padang perumputan Pringtali TN Meru Betiri pada musim hujan dan kemarau..... 26
17. Karakteristik, peran pemerintah, dan stakeholders dalam lima tingkat comanagement konservasi banteng............... 61
8. Produktivitas hijauan pakan banteng di kebun pantai perkebunan Bandealit pada saat musim hujan dan kemarau........ 27
18. Kondisi faktual dan harapan tingkat comanagement program kegiatan konservasi banteng di TN Alas Purwo dan TN Meru Betiri............................................. 64
9. Hasil analisis kandungan nutrisi pakan banteng di TN Alas Purwo......................... 28 10. Nilai kandungan gizi hijauan pakan banteng di kawasan TN Meru Betiri dan Perkebunan Bandealit.......................... 28 11. Proporsi jenis pakan rumput yang ditemukan dalam kotoran banteng........... 29
19. Matriks teknis pengelolaan dalam kelembagaan co-management di TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo............... 72 20. Matriks peran, lembaga dan stakeholders dalam manajemen kolaborasi penyelesaian konflik (konservasi banteng) di TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo....... 75
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• ix
Daftar Gambar 1. Morfologi banteng di Taman Safari II Prigen.................................................................6
13. Peta sebaran banteng di sekitar kawasan TN Alas Purwo............................ 20
2. Morfologi banteng di taman nasional........6
14. Jelajah banteng pada kawasan hutan produksi......................................................... 21
3. Morfologi banteng .........................................7 4. Bentuk tanduk banteng di empat taman nasional.............................................................8 5. Bentuk tanduk banteng dari TN Baluran, TN Ujung Kulon, dan TN Meru Betiri ......................................................8 6. Morfologi tanduk banteng di Lembaga Konservasi........................................................9 7. Morfologi tanduk banteng di Lembaga Konservasi........................................................9 8. Sungai tempat minum banteng................. 14
15. Kelompok banteng di Perkebunan Bandealit TN Meru Betiri......................... 22 16. Persentase persepsi masyarakat terhadap manfaat banteng.......................... 36 17. Penangkaran in situ banteng di TN Baluran........................................................... 45 18. Rekonstruksi pohon filogeni banteng metoda Neighbor-joining menggunakan Mega Software versi 3.1.(Kumar et al., 2004).............................................................. 49
11. Banteng dalam aktivitas kawin di kebun pantai Bandealit........................................... 19
19. Lokasi sampel dan konstitusi genetik populasi sapi di Indonesia. Keaslian jenis dari Y-chromosomes (Y), DNA mitochondria(mt) dan autosomal microsatellite alleles (mst) ditunjukkan oleh warna bayangan coklat dan abu-abu diindikasikan dalam bentuk lingkaran (Mohamad et al, 2009, Doi:10.1371/ journal.pone. 0005490.g001).................... 52
12. Peta sebaran banteng di Resort Sukamade....................................................... 19
21. Arah kerja co-management......................... 60
9. Peta sebaran banteng di sekitar Nanggelan, perkebunan Bandealit dan perkebunan Sukamade TN Meru Betiri ............................................................. 17 10. Peta sebaran populasi banteng di Perkebunan Bandealit TN Meru Betiri . 18
20. Level hierarki co-management .................. 60
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• xi
Daftar Singkatan AHP : Analitycal Hierarchy Process BAPPEDA : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah BBIB : Balai Besar Inseminasi Buatan BPS : Badan Pusat Statistik BPTP : Balai Penelitian Tanaman Pangan BUMN : Badan Usaha Milik Negara Dishutbun : Dinas Kehutana dan Perkebunan Ditjen : Direktorat Jenderal DNA : Deoxyribose Nucleic Acid HCVF : High Conservation Value Forest IB : Inseminasi Buatan INP : Indeks Nilai Penting IUCN : International Union for the Conservation of Nature KBS : Kebun Binatang Surabaya KK : Kepala Keluarga KLHK : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KSDA : Konservasi Sumber Daya Alam KSDAE : Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MCF : Mallignent Catarrhal Fever MoU : Memorandum of Understanding Mt DNA : DNA Mitokondria
N NRC PHKA
: Nitrogen : National Research Council : Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam SPTN : Seksi Pengelolaan Taman Nasional SRAK : Strategi dan Rencana Aksi Konservasi SWOT : Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats TMR : Taman Margasatwa Ragunan TN : Taman Nasional TNAP : Taman Nasional Alas Purwo TNB : Taman Nasional Baluran TNBB : Taman Nasional Bali Barat TNK : Taman Nasional Kutai TNKM : Taman Nasional Kayan Mentarang TNMB : Taman Nasional Meru Betiri TNUK : Taman Nasional Ujung Kulon TSI : Taman Safari Indonesia TSI II : Taman Safari Indonesia II Prigen UMR : Upah Minimum Regional UNESCO : United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization UU : Undang-undang
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• xiii
1 PENDAHULUAN 1.1 Informasi Singkat tentang Banteng Banteng (Bos javanicus d’Alton, 1823) termasuk spesies satwa liar yang mempunyai daerah sebaran alami cukup luas meliputi kawasan daratan Asia Tenggara, mulai dari Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam dan Kamboja hingga ke Yunan (China); Semenanjung Malaysia, serta Kalimantan, Jawa dan Bali di Indonesia. Selain banteng (Bos javanicus d’Alton, 1823), terdapat empat spesies [banteng] lainnya, yaitu indian bison atau gaur (Bos gaurus Smith, 1827) [yang biasa diadu dengan matador], wild yak (Bos mutus Przewalski, 1883), grey ox atau kouprey (Bos sauveli Urbain, 1937), dan aurochs (Bos primigenius Bojanus, 1827) [spesies ini telah dinyatakan punah] (Lekagul & McNeely, 1977; Buzzard & Berger, 2016; Duckworth et al., 2016; Gardner et al., 2016; Tikhonov, 2008; Timmins et al., 2016). Beberapa nama lain dari Bos javanicus d’Alton yaitu Bos leucoprymnus (Quoi & Gairmand, 1830), Bos sondaicus (Muller, 1940), Bos banteng (Temminck, 1836), dan Bos bantinger. Kerabat dekat banteng adalah gaur (Bos gaurus) dan kerbau air (Bubalus bubalis) yang sudah ada sejak zaman aluvium (Schlegel & Muller, 1845 dalam Alikodra, 1983). Banteng di Indonesia terdiri dari dua subspesies, yaitu Bos javanicus javanicus dan Bos javanicus lowi. Bos javanicus javanicus memiliki daerah sebaran alami di Pulau Jawa, Madura, dan Bali. Namun, persebarannya saat ini terkonsentrasi di Taman Nasional (TN) Baluran, TN Meru Betiri, TN Alas Purwo, TN Ujung Kulon, TN Bali Barat, dan di beberapa kawasan suaka alam (KSA). Bos javanicus lowi memiliki
daerah sebaran alami di Pulau Kalimantan, yaitu di TN Kayan Mentarang dan TN Kutai. Sementara itu, subspesies lainnya di luar Indonesia adalah Bos javanicus birmanicus yang terdapat di Indocina, yaitu Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Malaysia. Namun demikian, beberapa lokasi habitat alami tersebut sudah tidak dapat ditemukan lagi populasi banteng, seperti Bos javanicus javanicus di Pulau Bali ataupun Bos javanicus birmanicus di India, Bangladesh, Brunei Darussalam, dan Semenanjung Malaysia (Francis, 2008). Kehilangan populasi banteng di beberapa daerah sebaran alaminya diperparah pula dengan penurunan populasi secara tajam di habitat alami yang tersisa. Pudyatmoko (2004) menyatakan bahwa populasi banteng dengan jumlah lebih dari 500 individu sudah tidak ditemukan di daerah sebaran alaminya. Pada saat ini, hanya tersisa tujuh lokasi sebaran alami yang masih dijumpai populasi banteng dengan jumlah lebih dari 50 individu, yaitu empat lokasi di Pulau Jawa (TN Ujung Kulon, TN Baluran, TN Alas Purwo, dan TN Meru Betiri), dua lokasi di Thailand (Suaka Margasatwa Huai Kha Khaeng dan Suaka Margasatwa Om Koi), dan satu lokasi di Kamboja (wilayah Modulkiri). Satwa liar banteng termasuk jenis satwa yang mudah beradaptasi dan dapat hidup pada beberapa tipe habitat yang berbeda, seperti habitat dengan curah hujan rendah dan terkonsentrasi pada bulan-bulan tertentu dengan jangka waktu yang pendek, habitat hutan musim yang menggugurkan daun (deciduous monsoon forest), dan habitat padang rumput (savana). Selain itu, spesies satwa ini juga dapat hidup pada habitat dengan curah hujan tinggi yang didominasi oleh
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 1
hutan hijau sepanjang tahun (ever green forest). Di daratan Asia, banteng umumnya menyukai hutan bambu dan hutan musim yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae. Di Myanmar, banteng ditemukan di hutan monsoon ataupun hutan hijau sepanjang tahun (Timmins et al., 2008). Banteng juga mudah beradaptasi dengan jenis pakan berkualitas rendah, lingkungan yang lembab dan dingin pada musim hujan, serta terhadap kondisi kering dan panas pada musim kemarau (National Research Council, 1983). Banteng merupakan sumber daya genetik yang sangat bernilai tinggi untuk didomestikasi atau dibudidayakan. Sapi bali (Bos javanicus f. domestica) merupakan hasil domestikasi dari banteng yang awalnya dibudidayakan di Jawa dan Bali (Hoogerwerf, 1970). Namun demikian, data sejak kapan banteng di Indonesia didomestikasi dan menghasilkan sapi bali tidak diketahui secara pasti. Beberapa asumsi dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Banteng Tahun 2010-2020 (Kementerian Kehutanan, 2012) menyatakan bahwa domestikasi banteng di Asia bagian tengah dan selatan diperkirakan dimulai sekitar 6.000 hingga 2.000 tahun sebelum Masehi. Penyilangan antara banteng dan zebu (Bos taurus) yang berasal dari India diperkirakan telah dilakukan sejak 1.500 tahun yang lalu di Jawa Timur dan Madura yang menghasilkan sapi madura. Sementara itu, penangkapan banteng untuk digunakan sebagai tenaga kerja pada perkebunan kopi masih terjadi di Jawa Barat hingga abad ke-18 . Sebagai asal usul dari sapi bali, banteng merupakan sumber plasma nutfah penting untuk pengembangan dan pemurnian genetik sapi bali, yaitu melalui perkawinan silang dengan banteng liar untuk meningkatkan performance, ketahanan, dan nilai-nilai keunggulannya (Alikodra, 2011). Dengan demikian, perbaikan kualitas sapi bali yang memanfaatkan sumber daya genetik banteng akan memberikan nilai ekonomi dan berkontribusi dalam menunjang ketahanan pangan berupa sumber protein hewani nasional.
2
•
PENDAHULUAN
Hal ini pun didukung asumsi masyarakat bahwa sapi bali memiliki keunggulan kualitas dan kuantitas yang lebih baik dibandingkan dengan sapi lokal lainnya.
1.2 Permasalahan Konservasi Banteng Degradasi ekosistem hutan dengan laju penurunan dalam kurun waktu 1990-2000 sebesar 1,6 juta hektare (ha) per tahun menyebabkan penurunan kualitas dan luasan habitat satwa liar yang dampaknya berlanjut terhadap penurunan populasi satwa liar (Bismark et al., 2003). Degradasi terjadi juga di areal sebaran banteng di Pulau Jawa dan Kalimantan. Apabila terus berlanjut, keadaan ini akan berakibat buruk terhadap kelestarian plasma nutfah hidupan liar. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1974 sangat perhatian terhadap masalah konservasi alam termasuk kelestarian plasma nutfah yang diawali dengan dibentuknya Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam tahun 1971 dibawah Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian (Alikodra 1990). Upaya penetapan jenis-jenis satwa yang dilindungi hingga usaha perlindungan terhadap satwa liar dan ekosistemnya juga ditindaklanjuti dengan ditetapkannya lima taman nasional pada tahun 1981, yaitu TN Baluran, TN Ujung Kulon, TN Leuseur, TN Gunung Gede Pangrango, dan TN Komodo. Hingga tahun 2007, kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional berjumlah 50 Unit mencakup luas 16.384.594,45 ha (Ditjen PHKA 2007). Secara keseluruhan, pemerintah telah menetapkan 51 Taman Nasional hingga tahun 2015. Enam taman nasional di antaranya telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai cagar biosfer, enam taman nasional sebagai Warisan Dunia, dan dua taman nasional sebagai situs Ramsar (perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan). Selain itu, terdapat dua taman nasional berstatus sebagai cagar biosfer dan
warisan dunia, yaitu TN Gunung Leuser dan TN Komodo (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015). Berdasarkan kriteria IUCN (1994), kawasan taman nasional memiliki luasan yang relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, mempunyai potensi rekreasi besar, serta mudah dicapai oleh pengunjung dan bermanfaat bagi wilayah tersebut. Kementerian Kehutanan mengimplementasikan kriteria IUCN tersebut untuk penetapan taman nasional, yaitu 1) harus mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami; 2) memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya ,serta gejala alam yang masih utuh dan alami; 3) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; 4) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; 5) merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Sebagai contoh, penetapan TN Alas Purwo pada tahun 1993 dan TN Meru Betiri pada tahun 1997 didasarkan pada potensi ekosistem, serta flora dan fauna langka dilindungi yang ada dalam kawasan taman nasional tersebut, termasuk habitat dan populasi banteng (Bos javanicus d’Alton 1823). Banteng dalam IUCN Red List of Threatened Species dinyatakan sebagai satwa dalam katagori genting (endangered), yaitu populasi di alam berada pada tingkat risiko kepunahan sangat tinggi jika tidak ada usaha penyelamatan habitat dan populasinya (Timmins et al., 2010). Alikodra (2011) menyatakan bahwa secara ekologis, banteng berperan penting dalam sistem regenerasi vegetasi ekosistem hutan, yaitu melalui buah dan biji tumbuhan yang dimakan dan disebarkan
melalui fesesnya. Termasuk dalam hal ini adalah biji Acacia nilotica yang ditemukan dalam feses banteng di TN Baluran yang dapat berkecambah sejumlah 20% (Bismark, 1985, komunikasi pribadi). Innayah (2011) menyatakan pula bahwa status endangered diberikan kepada banteng karena penurunan populasinya telah mencapai 80%, terutama di Indochina. Pemerintah Indonesia pun memasukkan banteng dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 sebagai salah satu satwa yang dilindungi. Di Indonesia, populasi serta habitat banteng terus menurun dengan ancaman utamanya adalah kerusakan dan konversi habitat, perburuan liar, penyakit dan hibridisasi banteng dengan sapi ternak, kemungkinan terjadinya inbreeding depression, serta adanya predator seperti ajag (Cuon alpinus) yang termasuk dalam daftar endangered species. Di TN Ujung Kulon, potensi ancaman terhadap banteng adalah adanya kompetisi ekologi dan relung pakan badak jawa dan banteng sebagaimana disebutkan dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Banteng Tahun 2010-2020 (Kementerian Kehutanan, 2012). Perburuan banteng oleh masyarakat dilakukan dengan alasan bahwa satwa ini dianggap sebagai hama yang merusak lahan dan hasil pertanian termasuk areal perkebunan, terutama di Jawa Timur (Garsetiasih, 2012). Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng Tahun 2010-2020 Kementerian Kehutanan (2012) menyebutkan bahwa perburuan liar juga terjadi karena belum jelasnya kebijakan nasional dalam pengelolaan populasi banteng yang berada di kawasan High Conservation Value Forest (HCVF) dalam hutan produksi dan perkebunan. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur (2010) mencatat bahwa sejak tahun 2001, tidak kurang dari 15 banteng mati diburu di Kabupaten Banyuwangi akibat konflik yang terjadi di luar kawasan konservasi. Keterancaman populasi dan habitat banteng juga disebabkan oleh sebarannya yang terbatas di beberapa kawasan konservasi dengan tingkat
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 3
degradasi hutan 17-30%. Kondisi ini berdampak pada penurunan populasi banteng. Berdasarkan survey Balai TN Meru Betiri tahun 2009, populasi banteng di kawasan ini sebanyak 69 individu. Jumlah ini menurun 39,6% dari populasi tahun 2007 yang diperkirakan sebanyak 174 individu. Sementara itu, populasi di TN Alas Purwo berdasarkan survey pada tahun 2006 tersisa 163 individu dari 340 individu atau menurun 47,9% pada tahun 2004. Demikian pula halnya dengan survei Balai TN Baluran yang menyebutkan bahwa populasi banteng tahun 2002 di kawasan ini sebanyak 206 individu, kemudian menurun menjadi 70–100 individu pada tahun 2003, dan hanya 20 ekor pada tahun 2007 (Kementerian Kehutanan, 2012). Banteng lebih dominan sebagai pemakan rumput (grazer) dibandingkan dengan sebagai pemakan daun atau semak (browser) sehingga banteng sangat membutuhkan padang perumputan sebagai habitatnya (Alikodra, 1983). Habitat banteng di kawasan konservasi sebagian besar sudah mengalami penurunan luas dan kualitas, terutama padang rumput yang disebabkan oleh pembukaan lahan, adanya enclave, dan masuknya tumbuhan invasive species. Jenis invasif langkap (Arenga obtusifolia), kirinyuh (Chromolaena odorata), kacangan (Cassia tora), telean (Lantana camara), dan akasia (Acacia nilotica) telah menginvasi padang perumputan banteng lebih dari 50%. Invasi habitat alami banteng terjadi di lima taman nasional di Pulau Jawa, yaitu TN Meru Betiri, TN Alas Purwo, TN Ujung Kulon, dan TN Baluran.
4
•
PENDAHULUAN
Banteng telah dilindungi sejak tahun 1931 (Pemerintah Kolonial Belanda) dan dipertegas dengan PP No. 7 Tahun 1999 (Pemerintah Republik Indonesia) karena status populasinya yang terancam punah. Selain itu, UndangUndang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE) juga menjadi landasan pokok untuk meningkatkan upaya perlindungan keanekaragaman hayati [termasuk banteng] dan arahan pemanfaatan yang lestari. Sayangnya, upaya perlindungan keanekaragaman hayati melalui peraturan perundangan, peraturan pemerintah, dan keputusan atau peraturan menteri [termasuk dalam penetapan status kawasan konservasi sebagai taman nasional] belum optimal sehingga ancaman terhadap keberadaan satwa liar beserta ekosistemnya [termasuk banteng ] tetap terjadi. Ancaman tersebut dapat berasal dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat lokal yang sejatinya bertumpu pada sumber daya hutan di sekitarnya. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang hidup di desa-desa sekitar taman nasional pun umumnya masih berpenghasilan di bawah Upah Minimum Regional (UMR) dan sebagian besar hidup dalam kemiskinan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perburuan dan penebangan pohon secara illegal (Alikodra 2011).
2 SISTEMATIKA DAN BIOEKOLOGI 2.1 Klasifikasi Banteng (Bos javanicus) Menurut Slijper (1948) dan Lekagul & Mc. Neely (1977) yang diacu dalam Alikodra (1983), klasifikasi Banteng adalah sebagai berikut: Phylum : Chordata Sub phylum : Craniata Class : Mamalia Sub class : Theria Super order : Eutheria Order : Artiodacthyla Sub order : Ruminantia Famili : Bovidae Sub familia : Bovinae Tribe : Bovini Genus : Bos Species : Bos javanicus d’Alton 1823 Sub species : Bos javanicus javanicus d’Alton, 1823( Jawa) Bos javanicus lowi Lydekker, 1912 (Kalimantan) Bos javanicus birmanicus Lydekker, 1898 (Thailand)
2.2 Deskripsi Banteng Morfologi banteng memiliki tubuh tegap, besar, dan kuat dengan bahu bagian depan lebih tinggi daripada bagian belakang tubuhnya. Pada kepala banteng terdapat sepasang tanduk yang mana tanduk banteng jantan berwarna hitam mengkilap, runcing, dan melengkung simetris ke dalam; sedangkan tanduk banteng betina bentuknya lebih kecil. Pada bagian dada banteng terdapat gelambir (dewlap) yang dimulai dari pangkal kaki depan hingga bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan (Hoogerwerf, 1970 dalam Alikodra, 1983).
Ukuran morfometrik banteng yaitu panjang badan sekitar 190–225 cm, tinggi bahu 160 cm, panjang ekor 65–70 cm, dan berat badan 600–800 kg (Grzimek, 1975 dan Lekagul & Mc. Neely, 1977 dalam Alikodra, 1983). Banteng jantan yang berumur 8–10 tahun mempunyai ukuran tinggi bahu 170 cm, sedangkan banteng betina pada umur yang sama memiliki tinggi bahu hanya 150 cm. Apabila dibandingkan dengan morfologi banteng di beberapa taman nasional, banteng di TN Baluran memiliki bentuk dan ukuran badan paling besar. Berat atau bobot tubuh banteng jantan di habitat tersebut mencapai 700–900 kg sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Hoorgerwerf (1970) bahwa banteng dapat mencapai berat 900 kg dan banteng betina memiliki berat sekitar 300–400 kg, sedangkan ukuran panjang dan lebar telapak kakinya mencapai 15–16 cm dan 6,5–7 cm (Sawitri et al., 2014). Ciri khas yang dimiliki banteng adalah pada bagian pantat terdapat warna belang putih, bagian kaki dari lutut ke bawah seolaholah memakai kaos kaki berwarna putih, serta bagian atas dan bawah bibir berwarna putih. Warna kulit anak banteng, baik jantan maupun betina, lebih terang daripada warna kulit banteng betina dewasa; tetapi pada banteng jantan muda (anak), warna kulitnya lebih gelap sejak berumur 12–18 bulan. Banteng jantan dewasa memiliki warna tubuh hitam dan semakin tua umurnya maka semakin hitam warnanya, sedangkan banteng betina memiliki warna tubuh cokelat kemerah-merahan yang semakin tua umurnya maka semakin cokelat tua dan gelap warnanya (Gambar 1 dan 2) (Alikodra, 1983). Menurut Hoorgerwerf (1970) dan Lekagul & McNeely
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 5
melengkung simetris ke dalam. Pada bagian dada banteng jantan terdapat gelambir yang dimulai dari pangkal depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai kerongkongan (Gambar 1.a). Banteng betina memiliki tubuh (1977), umur maksimum banteng berkisar 10– McNeely (1977) menyatakan bahwawarna penglihatan 25 tahun.
banteng tidak begitu tajam sehingga kemampuan
yang termasuk golongan ruminansia besar, elok,
tergantung pada kemampuan penciuman dan
(1970) menyatakan bahwa banteng memiliki
arah angin menjadi sangat penting bagi banteng
cokelat kemerah-‐merahan, semakin tua umurnya semakin cokelat tua dan gelap Banteng adalah jenis mamalia berkuku genap utamanya untuk membedakan musuh-musuhnya warnanya serta emiliki 1979). tanduk yang ukurannya lebih kKeterbatasan ecil dibandingkan dengan dan cukup langkam(Alikodra, Hoogerwerf pendengarannya. ini menyebabkan banteng jantan Gambar 1yang .b) (sangat Alikodra penciuman dan(pendengaran tajam1983). untuk mempelajari kondisi lingkungannya. dibandingkan dengan penglihatannya. Lekagul &
a
b
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
(a) Banteng jantan ; dan (b) Banteng betina
Gambar 1. Morfologi Banteng di Taman Safari II Prigen (a) Banteng jantan ; dan (b) Banteng betina (Sumber: Sawitri, 2011)
Sumber: Sawitri, 2011
Gambar 1. Morfologi banteng di Taman Safari II Prigen
a
b
8
(a) Banteng betina di TNMB ; (b) Banteng jantan dan betina di TNAP
Gambar 2. Morfologi Banteng di Taman Nasional Gambar Morfologi banteng di taman (a) 2. Banteng betina di Tnasional NMB ; (b) Banteng jantan dan betina di TNAP (Sumber: Garsetiasih, 2011) Sumber: Garsetiasih, 2011
6 •
SISTEMATIKA DAN BIOEKOLOGI
Banteng adalah jenis mamalia berkuku genap yang termasuk golongan
2.3 Perbandingan Morfologi Banteng di Habitat In Situ dan Lembaga Konservasi Ex Situ Kajian morfologi dan morfometrik banteng pada habitat alam di kawasan konsevasi (in situ) telah dilakukan di TN Ujung Kulon, TN Meru Betiri, TN Alas Purwo dan TN Baluran. Banteng di TN Ujung Kulon dan TN Baluran memiliki morfologi antara lain bentuk tanduk lebih lebar, panjang dan besar; kaki lebih pendek; dan badan lebih gempal. Banteng di kedua taman nasional tersebut lebih banyak beraktivitas di dataran rendah. Sebaliknya, banteng di TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo memiliki bentuk tanduk lebih kecil dan pendek; kaki lebih panjang, badan lebih ramping, dan badan bagian belakang lebih tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan bahwa banteng di kedua taman nasional ini mempunyai areal jelajah di dataran rendah dan perbukitan (Sawitri & Takandjandji, 2014). Ukuran morfometrik banteng di kawasan konservasi in situ disajikan pada Tabel 1 (Sawitri et al., 2014). Banteng di TN Baluran memiliki bentuk dan ukuran badan paling besar jika dibandingkan dengan banteng dari tiga taman nasional lainnya. Hal ini diperlihatkan dari berat badan, ukuran telapak kaki yang lebih panjang dan lebar, ataupun ukuran tanduk (Gambar 3). Sebaliknya, bentuk badan banteng di TN Ujung Kulon lebih gempal dengan ukuran kaki lebih pendek dan besar yang kemungkinan dipengaruhi oleh pola adaptasi terhadap lingkungannya. Perbedaan ini kemungkinan dapat dikaitkan dengan tipe habitat hidup dari kelompok banteng tersebut. Banteng di TN Baluran memiliki habitat hidup berupa savana dan banteng di TN Ujung Kulon memiliki habitat berupa hutan dataran rendah. Baik savana maupun dataran rendah, kedua habitat ini merupakan daerah terbuka dengan peluang predator potensial yang lebih besar. Dengan demikian, bentuk badan yang lebih gempal, kaki yang lebih kuat dan besar, serta bentuk tanduk merupakan manifestasi
pertahanan diri ataupun kelompok terhadap predator potensial (Feldhamer et al., 2007). Karakteristik morfometrik tanduk ataupun kaki yang kuat pada banteng jantan merupakan bentuk adaptasi cryptic terhadap lingkungan maupun strategi kehidupan akibat kehadiran predator potensial, seperti ajag dan macan tutul, ataupun ritual perkelahian pada musim kawin. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan banteng jantan, tanduk banteng betina terlihat lebih kecil, tegak dan bentuknya sederhana. Adaptasi cryptic atau penyamaran banteng terhadap lingkungannya untuk mempertahankan diri dilakukan melalui kelompok yang kuat, tanduk yang berbahaya, tendangan kaki yang kuat, kecepatan kaki berlari, ukuran kelompok yang memadai (Feldhamer et al., 2007). Pengaruh-pengaruh tersebut dimanifestasikan dari bentuk badan dan kaki banteng dari TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo yang lebih memanjang. Adaptasi cryptik ini memengaruhi ukuran kaki yang digunakan untuk beraktivitas, yaitu berupa pergerakan naik menuju lokasi tempat tidur, beristirahat, dan bersembunyi dari predator potensial di semak belukar yang cukup padat (Dannel et al., 2006). Bentuk dan ukuran tanduk banteng pada setiap taman nasional tersebut berbeda sebagaimana yang telah dinyatakan Sawitri et al. (2014). Banteng jantan
Keterangan: (1) Jarak kaki depan dan belakang, (2) lebar kaki kanan dan kiri, (3) panjang badan, (4) tinggi tubuh, (5) panjang tanduk
Gambar 3. Morfologi banteng
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 7
memiliki ukuran tanduk yang lebih panjang dan lebih besar (Gambar 6 dan 7) bila dibandingkan dengan tanduk banteng jantan di TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo (Tabel 3).
dewasa di TN Ujung Kulon dan TN Baluran memiliki ukuran tanduk yang lebih panjang dan (Gambar 4 dan 5) bila dibandingkan lebih besar
dengan tanduk banteng jantan di TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo (Tabel 3).
Sumber: Sawitri, 2011)
Gambar 4. Bentuk tanduk banteng di empat taman nasional
13
Sumber: Sawitri et al., 2014)
Gambar 5. Bentuk tanduk banteng dari TN Baluran, TN Ujung Kulon, dan TN Meru Betiri
Hasil penelitian di lembaga konservasi ex situ, seperti Taman Safari Indonesia (TSI) II Prigen, TSI III Bali, Kebun Binatang Surabaya (KBS), dan Taman Margasatwa Ragunan (TMR), menunjukkan adanya perbedaan dan perubahan morfologi banteng yang mengindikasikan terjadinya penyimpangan ukuran fisik ataupun
8
•
SISTEMATIKA DAN BIOEKOLOGI
biologi (Sawitri et al., 2014). Indikasi perubahan morfologi banteng dijumpai di KBS dan TMR dengan perincian perubahan sebagai berikut: • Warna kulit badan banteng jantan di KBS telah mengalami perubahan yang mana terlihat warna badan menjadi keabu-abuan dan timbul warna coklat di bagian belakang
biologi (Sawitri, et al., 2014). Morfologi banteng di kedua kebun binatang tersebut adalah sebagai berikut : (Gambar 6a). Banteng di TMR juga • Benjolan pada kepala dan gelambir banteng mengalami perubahan warna kulit, yaitu jantan di KBS terlihat sangat menonjol 1) Warna kulit badan banteng jantan di KBS telah mengalami perubahan dimana banteng jantan menjadi coklat (Gambar 6b). dibandingkan dengan banteng jantan di terlihat warna badan keabu-‐abuan • Banteng betina di KBS dan TMR memiliki dan timbul TSI II danwarna TSI III. coklat di bagian Ukuran morfometrik banteng di lembaga tanduk dengan ukuran cenderung lebih belakang (Gambar 3.a). ke Banteng di KBR konservasi juga mengalami perubahan mengecil dan mengarah depan (Gambar ex situ dan in situ disajikan padawarna Tabel 7a), sedangkan tanduk betina di TSI dan 2 (Sawitri et al, 2014). a banteng kulit yaitu banteng jantan menjadi coklat (1Gambar 3.a). b II dan TSI III mengarah ke atas (Gambar 7b).
Gambar 3. Morfologi Banteng di Lembaga Konservasi (a) Banteng jantan di KBS ; (b) Banteng jantan di KBR (Sumber: Sawitri, 2010) 2) Banteng betina di KBS dan KBR memiliki tanduk dengan ukuran cenderung a b lebih mengecil dan mengarah ke depan (Gambar 4.a) sedangkan tanduk
(a) Banteng betina di KBS ; (b) Banteng di TSIIIII dan TSI III mengarah keatas (Gambar 4.b). banteng betina di betina TSI Sumber: Sawitri, 2010)
Gambar 3. Morfologi Banteng di Lembaga Konservasi (a) Banteng jantan di KBS ; (b) Banteng jantan di KBR (Sumber: Sawitri, 2010)
Gambar 6. Morfologi tanduk banteng di Lembaga Konservasi
2) Banteng betina di KBS dan KBR memiliki tanduk dengan ukuran cenderung lebih mengecil dan mengarah ke depan (Gambar 4.a) sedangkan tanduk banteng betina di TSI II dan TSI III mengarah keatas (Gambar 4.b).
a
b
(a) Banteng betina di KBS ; (b) Banteng betina di TSI II Sumber: Sawitri, 2010)
G . Morfologi Tanduk Banteng di Lembaga Konservasi Gambar 7. ambar Morfologi4tanduk banteng di Lembaga Konservasi (a) Banteng betina di KBS ; (b) Banteng betina di TSI II (Sumber: Sawitri, 2010)
Tabel 1. Morfometrik banteng di lembaga konservasi ex situ
No.
KBS
TSI II Prigen
TMR
TSI III Bali
b Tegak, melebar dan Tegak dan pendek Tegak, melebar dan melengkung (♂), (♂), tegak pendek (♀) melengkung (♂), tegak agak panjang tegak agak panjang (♀) (♀) Gambar 4. Morfologi Tanduk Banteng di Lembaga Konservasi 1.
Ukuran dimensi tubuh
Tanduk
a dan pendek Tegak (♂), pendek dan mengarah kedepan (♀)
(a) Banteng betina di KBS ; (b) Banteng betina di TSI II (Sumber: Sawitri, 2010) Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia •
10 9
No.
Ukuran dimensi tubuh
2.
Panjang tanduk
3.
KBS
TSI II Prigen
TMR
TSI III Bali
21-42 cm
20-45 cm
21-27 cm
20-45 cm
Warna kulit badan
Hitam kelabu dan coklat (♂), coklat (♀)
Hitam (♂), coklat (♀)
Hitam dan coklat, coklat (♂), coklat (♀)
Hitam (♂), coklat (♀)
4.
Bentuk kepala
Benjolan menonjol (♂) Benjolan mendatar (♂) Benjolan mendatar(♂) Benjolan mendatar (♂)
5.
Gelambir
Jelas dan panjang (♂)
Tidak jelas(♂)
Tidak jelas(♂)
Tidak jelas (♂)
6.
Ukuran badan
400-700 kg (♂), 250-300 kg (♀)
400-600 kg (♂), 300-350 kg (♀)
400-600 kg (♂) 250-325 kg (♀)
400-600 kg (♂), 250-300 kg (♀)
7.
Jarak kaki depan dan belakang
60-70 cm
60-90 cm
60-80 cm
60-90 cm
8.
Lebar kaki kanan dan kiri
60-65 cm
55-65 cm
55-60 cm
55-65 cm
9.
Panjang badan
206-240 cm (♂) 180-205 cm (♀)
182 -259 cm (♂) 170-210 cm (♀)
180-250 cm (♂) 175-185 cm (♀)
182-259 cm (♂) 170-210 cm (♀)
127-143 cm (♂) 120-139 m (♀)
125-150 cm (♂) 125-140 cm (♀)
127-145 cm (♂) 110-125 cm (♀)
125-150 cm (♂) 125-140 cm (♀)
TN Alas Purwo
TN Baluran
10. Tinggi tubuh Sumber: Sawitri, et al., 2014
Tabel 2. Morfometrik banteng di kawasan konservasi in situ No.
Bagian-bagian badan
1.
Tanduk
2.
Warna kulit badan
3. 4. 5.
Bentuk kepala Gelambir Ukuran badan
6.
8.
Jarak kaki depan dan belakang Lebar kaki kanan dan kiri Panjang badan
9.
Tinggi tubuh
7.
TN Ujung Kulon
Tegak melebar dan Tegak, melebar dan Tegak, melebar dan Tegak, melebar dan melengkung (♂), melengkung (♂), melengkung (♂), melengkung (♂), pendek, tegak berdiri tegak agak panjang tegak agak panjang tegak panjang (♀) (♀) (♀) (♀) Hitam kelabu (♂), Hitam (♂), Hitam kelam (♂), Hitam kelam (♂), coklat (♀) coklat (♀) coklat (♀) coklat (♀) Benjolan mendatar (♂) Benjolan mendatar (♂) Benjolan mendatar (♂) Benjolan mendatar (♂) Agak jelas (♂) Tidak jelas (♂) Tidak jelas (♂) Tidak jelas (♂) 500-700 kg (♂), 400-600 kg (♂), 500-600 kg (♂), 700-900 kg (♂), 300-350 kg (♀) 300-350 kg (♀) 300-350 kg (♀) 300-400 kg (♀) 60-87cm 60-90 cm 60-85 cm 72-90 cm
10. Panjang tanduk 11. Telapak kaki, panjang lebar Sumber: Sawitri, et al., 2014
10
•
TN Meru Betiri
SISTEMATIKA DAN BIOEKOLOGI
60-62 cm
66-62 cm
60-62 cm
65-67 cm
200-240 cm (♂) 180 -200 cm (♀) 120-145 cm (♂) 120-139 m (♀) 42 -61 cm
200-250 cm (♂) 180-210 cm (♀) 130- 150 cm (♂) 120-140 cm (♀) 35,5-43 cm (♂)
200-250 cm (♂) 180-215 cm (♀) 130-150 cm (♂) 120-140 cm (♀) 40-45 cm (♂)
9-11,5 cm 4,5-5,5 cm
9-14 cm 4-5,4 cm
9-13 cm 4-5,5 cm
200-260 cm (♂) 120-150 cm (♂) 120-139 m (♀) 55-57 cm (♂) 15-24 cm (♀) 15-16 cm 6,5-7 cm
Tabel 3. Deskripsi ukuran tengkorak banteng jantan di lokasi penelitian (in situ) No.
Bagian-bagian Tengkorak
1.
TN Ujung Kulon
TN Meru Betiri
TN Alas Purwo
TN Baluran
Panjang tengkorak (cm)
50-56
51-52
50-52
48-50
2.
Lebar tengkorak (cm)
20-25
25-30
28-30
20-28
3.
Panjang tanduk (cm)
42-61
35,5-43
40-45
53-57
4.
Lingkar tanduk (cm)
22-30
32-33,5
32-35
30-37
5.
Jarak antar tanduk (cm)
34-59
50
50-60
75-80
6.
Lingkar leher (cm)
-
85
-
103
Sumber: Sawitri, et al., 2014
2.4 Perilaku dan Penggunaan Ruang Perilaku adalah semua gerak atau perubahan gerak, termasuk perubahan dari bergerak ke tidak bergerak. Jadi, perilaku adalah semua gerakan atau kegiatan satwa untuk melestarikan atau mempertahankan hidupnya (Tinbergen, 1979 dalam Alikodra, 1983). Pada umumnya, banteng mempunyai pola aktivitas harian yang tetap dan tergantung pada kondisi lingkungannya. Banteng pada umumnya beraktivitas dari pagi hingga sore hari. Banteng melakukan perkawinan dalam periode waktu tertentu tergantung pada lokasinya. Menurut Lekagul & Mcneely (1977), musim kawin banteng di Thailand terjadi pada bulan Mei dan Juni. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa musim kawin banteng di TN Ujung Kulon terjadi pada bulan Juli, September, dan Oktober, atau kadang-kadang pada bulan November dan Desember. Sementara itu, musim kawin banteng di TN Meru Betiri diduga antara bulan Juli hingga Oktober. Banteng termasuk monoestroes atau mempunyai satu musim kawin dalam satu tahun. Umur termuda banteng betina untuk mulai berkembang biak adalah tiga tahun, sedangkan banteng jantan lebih dari tiga tahun. Banteng dapat mencapai umur 21–25 tahun sehingga satu individu banteng betina dapat menghasilkan
anak sebanyak 21 kali sepanjang hidupnya (Hoogerwerf, 1970). Biasanya, banteng kawin pada malam hari, tetapi dapat juga terjadi pada siang hari. Lamanya bunting tidak berbeda jauh dengan hewan ruminansia besar lainnya yaitu antara 9,5–10 bulan. Jumlah anak setiap kelahiran sekitar 1–2 individu, tetapi umumnya satu ekor. Proses kelahiran anak terjadi dalam waktu satu menit, anak sudah bisa berdiri setelah 40 menit kemudian, dan menyusu pada induknya setelah 60 menit kemudian. Masa sapih anak banteng terjadi pada saat berumur 10 bulan (Hoogerwerf, 1970). Banteng termasuk jenis satwa liar yang hidup berkelompok sehingga bergerak dalam kelompok yang terdiri dari individu jantan dewasa, jantan remaja, betina dewasa, betina remaja, dan anak-anaknya yang dipimpin oleh banteng betina. Ukuran kelompok banteng pada tiap tipe ekosistem habitat merupakan strategi perilaku sosial dalam pertahanan kelompok dari faktor makanan dan pemangsaan. Jumlah setiap kelompok berkisar antara 10–12 individu yang terdiri dari jantan dewasa, induk betina, dan anak-anaknya. Kelompok-kelompok banteng tersebut kadang-kadang bersatu menjadi kelompok yang lebih besar dengan jumlah mencapai 35–40 individu. Hal ini terjadi di TN Meru Betiri. Pengelompokan yang dilakukan merupakan strategi dasar untuk pertahanan kelestarian hidupnya, pemanfaatan pakan
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 11
yang optimal, perkawinan, pengasuhan dan pembesaran anaknya, serta pertahanan diri dari pemangsa (Alikodra 1983). Banteng yang sudah tua akan memisahkan diri dan menjadi banteng soliter sehingga rawan untuk menjadi mangsa satwa predator (Hoorgerwerf, 1970). Banteng memanfaatkan hutan dataran rendah sebagai tempat mencari makan dan sebagai tempat untuk beristirahat (Destriana, 2008), serta tempat bersembunyi dari berbagai macam gangguan dan tempat berlindung dari kondisi cuaca yang tidak menentu (Kementerian Kehutanan, 2012). Tempat istirahat yang dipilih biasanya di bawah tegakan rotan yang datar dan areal sekitarnya terdapat tumbuhan bawah atau semai yang dapat dijadikan sebagai pakan tambahan. Banteng mulai masuk ke dalam hutan dataran rendah sekitar pukul 12.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB. Aktivitas masuk ke dalam hutan dilanjutkan kembali pada malam hingga pagi hari, yaitu sekitar pukul 18.00-06.00 WIB. Selama di dalam hutan dataran rendah, banteng beristirahat sambil memamah biak dan sesekali minum di sungai yang terdapat di sekitar hutan (Destriana, 2008). Selama berada di dalam hutan dan sambil berjalan atau beristirahat, banteng juga memakan hijauan yang terdapat di sekitarnya hingga pada areal yang mudah untuk dijangkaunya. Apabila bertemu dengan manusia di dalam hutan, banteng akan berlari menghindar dengan cepat hingga merasa aman (Kementerian Kehutanan, 2012). Pola aktivitas banteng yang lebih dominan adalah kegiatan merumput dan memamah biak secara bergantian. Kelompok banteng merumput sambil berjalan berlawanan dengan arah mata angin dan selalu bersikap waspada, serta memerhatikan keadaan sekitarnya. Sebagai satwa herbivor seperti halnya satwa lain, banteng mempunyai cara adaptasi khusus untuk menyeleksi jenis-jenis pakan. Pemilihan jenis pakan dipengaruhi nilai gizi, daya cerna, ukuran, jumlah, dan kemampuan makanan tersebut untuk memberikan kekuatan dan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Delfiandi, 2006).
12
•
SISTEMATIKA DAN BIOEKOLOGI
Banteng akan mulai merumput pada pagi hari ketika cuaca cukup cerah dan waktu pada siang hari dengan cuaca agak berawan lebih disukai dibandingkan hari yang terik (Hoogerwerf, 1970). Kondisi ini dijumpai pada habitat banteng di beberapa taman nasional yang mana kelompok banteng akan mendatangi tempat terbuka seperti padang perumputan untuk makan pada pagi dan sore hari. Sementara itu, pada waktu siang hari, kelompok banteng akan beristirahat sambil memamah biak di dalam hutan, semak belukar, atau di lokasi yang memiliki naungan untuk berteduh dari terik matahari. Banteng biasanya beristirahat setelah mencari makan pada pagi hari menjelang siang hari. Pada saat matahari bersinar sangat terik, banteng biasanya akan beristirahat di bawah tegakan hutan. Apabila cuaca cerah atau agak berawan, banteng lebih sering berada di padang perumputan dan kadang-kadang, banteng terlihat beristirahat di tepi pantai (Lekagul & McNeely, 1977 dalam Alikodra, 1983). Pola penggunaan ruang merupakan interaksi seluruh aktivitas satwa liar dengan habitatnya (Santosa, 1990). Parameter penggunaan ruang yang paling banyak diamati adalah wilayah jelajah dan pergerakan. Struktur habitat yang diperlukan oleh satwa liar dapat dilihat dari beberapa keadaan, antara lain kebutuhan pakan, tipe habitat, faktor kesejahteraan yang spesifik, dan komponen faktor-faktor kesejahteraan (Bailley, 1984; Anderson, 1985 dalam Alikodra, 1990). Selanjutnya, pola penggunaan ruang dan perilaku sosial individu betina sangat dipengaruhi oleh distribusi pakan dan tutupan hutan (cover), sedangkan pola penggunaan ruang oleh individu jantan lebih dipengaruhi oleh jumlah dan penyebaran spasial individu betina (Osfield et al., 1985 dalam Mauziah, 1994). Pergerakan atau perpindahan banteng cenderung dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, regenerasi rumput yang lambat, dan keberadaan predator (Fryxell & Sinclair, 1988 dalam Mauziah, 1994).
3 HABITAT DAN POPULASI 3.1 Habitat Menurut Moen (1973), habitat satwa sangat dipengaruhi oleh lingkungan, baik biotik maupun nonbiotik. Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang hidup dalam kawasan atau habitat fisik yang terorganisasi dalam satu kesatuan. Kualitas habitat adalah daerah yang sangat penting bagi populasi satwa agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air, dan cover (Djuwantoko, 1986). Habitat merupakan kompleksitas berbagai komponen biofisik, antara lain iklim, fisiografi, vegetasi dengan kualitasnya dan sebagai tempat hidup organisme (Alikodra, 1979). Habitat satwa merupakan kombinasi vegetasi dan satwa yang hidup di dalamnya. Vegetasi merupakan salah satu faktor biotik yang sangat penting sebagai penyedia makan, tempat berlindung dan tempat tinggal, atau bersarang. Habitat satwa sering secara sederhana diinterpretasikan sebagai tipe vegetasi karena umumnya syarat-syarat hidup suatu jenis satwa selalu melibatkan aspek vegetasi (Dashman, 1981). Banteng adalah jenis satwa yang menyukai tipe habitat yang lebih terbuka (Lekagul & McNeely, 1977 dalam Alikodra, 1983). Satwa banteng lebih bersifat sebagai pemakan rumput (grazer) dari pada pemakan daun dan semak (browser). Seperti satwa lainnya, banteng membutuhkan pakan, mineral, sumber air, dan tempat berlindung. Kerusakan habitat dapat memengaruhi daya dukung dan aktivitas makan yang selanjutnya akan berimplikasi pada penyebaran banteng. Habitat banteng yang paling ideal memiliki komposisi hutan alam yang berfungsi sebagai tempat berlindung
dan bersembunyi dari segala macam gangguan; baik cuaca, manusia maupun pemangsa. Padang perumputan digunakan sebagai tempat mencari makan, istirahat, mengasuh, dan membesarkan anaknya, serta melakukan hubungan sosial lainnya (Alikodra, 1983). Pakan, air, dan cover merupakan faktor pembatas dalam kehidupan satwa. Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut harus tersedia dalam jumlah yang cukup bagi kebutuhan satwa. Pakan harus selalu ada bagi satwa, jika tidak tersedia dalam jumlah cukup maka akan terjadi perpindahan untuk mencari daerah baru yang mencukupi kebutuhan pakannya. Hal ini diduga terjadi pada populasi banteng di TN Meru Betiri yang dirambah menjadi areal perkebunan masyarakat di dalam kawasan taman nasional (Garsetiasih, 2013). Di TN Meru Betiri, keterbatasan ketersediaan sumber pakan dan kualitas padang perumputan yang rendah menyebabkan banteng keluar kawasan dan masuk ke areal perkebunan dan lahan masyarakat (Heriyanto & Mukhtar, 2011; Innayah, 2011; Garsetiasih, 2013). Kondisi ini dapat memicu terjadinya aktivitas perburuan dan konflik dengan masyarakat (Murdyatmaka, 2008). Kerusakan habitat banteng khususnya savana Bekol di TN Baluran disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan Acacia nilotica sebagai tumbuhan invasif. Akibat kerusakan habitat tersebut diindikasikan terjadi penurunan populasi banteng, termasuk karena keluar kawasan dan adanya perburuan (Siubelan & Garsetiasih, 2003). Sementara itu dii TN Meru Betiri, banteng memanfaatkan areal perkebunan Bandealit sebagai habitat karena dalam areal tersebut terdapat jenis-jenis tanaman yang
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 13
disukai banteng, seperti pohon kopi, karet, vanili dan sengon. Hasil analisis kandungan nilai gizi pakan menunjukkan bahwa jenis tanaman perkebunan, terutama daun sengon muda dan daun karet umur tanam satu tahun, mempunyai kandungan protein yang tinggi dibandingkan dengan jenis hijauan pakan yang ada di dalam kawasan TN Meru Betiri, yaitu masing-masing 18,91% dan 19,73%. Pada areal perkebunan, selain terdapat jenis komoditas yang disukai banteng juga terdapat sungai yang biasa dimanfaatkan banteng sebagai tempat minum pada saat musim kemarau, tepatnya di belakang kebun rambutan (Gambar 8). Banteng membutuhkan sumber air tawar untuk minum, sedangkan hutan pantai atau payau digunakan sebagai daerah penyangga yang melindungi banteng dari pemburu. Daerah pantai digunakan sebagai tempat mencari garam yang dibutuhkan banteng untuk membantu pencernaan (Garsetiasih et al., 2012). Garam dan air laut yang penting bagi kehidupan banteng, yaitu untuk membantu proses pencernaannya. Menurut Alikodra (1983) dan Subroto (1996), tempat yang disukai dan merupakan komponen habitat banteng yang ideal adalah: 1. Hutan primer yang berbatasan dengan padang rumput yang dig una kan banteng sebagai tempat berlindung dari serangan predator atau pemburu, tempat beristirahat, tempat tidur, dan tempat berkembangbiak. 2. Padang rumput yang terletak pada daerah perbukitan hingga areal datar, serta areal yang dibatasi oleh hutan alam primer ke arah darat dan hutan payau atau pantai ke arah laut. Padang Sumber: Garsetiasih, (2012) rumput sebaiknya
diselingi oleh tumbuhan seperti sengon (Paraserianthes falcataria) dan jenis-jenis palem. 3. Padang rumput yang berdekatan dengan sumber air; baik mata air, danau maupun sungai yang berair sepanjang tahun. 4. Hutan payau sebagai daerah penyangga. Daerah penyangga berfungsi sebagai penghalang angin terutama tajuknya, untuk mencegah intrusi garam ke darat melalui perakarannya, sebagai tempat berlindung atau beristirahat, tempat bersarang dan tempat mencari makan satwa, serta mempersulit pemburu masuk ke dalam habitat banteng dari arah laut. Menurut Hoogerwerf (1970), habitat banteng meliputi daerah pantai hingga pegunungan. Secara alami, banteng menyukai habitat hutan terbuka yang diselingi daerah berumput atau padang rumput tetapi tidak terganggu oleh aktivitas manusia. Tempat yang terbuka dan datar hingga bergelombang merupakan tempat mencari makan, sedangkan hutan digunakan sebagai tempat berlindung. Banteng dapat hidup pada daerah dengan ketinggian sampai 2.000 m dpl (National Research Council, 1983 dalam Kementerian
Gambar 8. Sungai tempat minum banteng
14
•
HABITAT DAN POPULASI
Kehutanan, 2012). Daerah yang disukai banteng adalah yang bertopografi datar hingga sedikit bergelombang dan menghindari daerah dengan topografi yang terjal dan berbukit-bukit. Wharton (1968) dalam SRAK Banteng Tahun 2010-2020 Kementerian Kehutanan (2012) merangkum informasi tentang semua habitat banteng dan menyimpulkan bahwa di daratan utama Asia, banteng lebih banyak dijumpai di hutan sekunder yang setengah terbuka dengan beberapa bukaan berupa padang rumput daripada di hutan primer yang tertutup. Di Pulau Jawa dan Kalimantan, banteng lebih menyukai hutan sekunder bekas tebangan ataupun kebakaran, walau kadangkala banteng juga dijumpai pada sub-humid forest, yang mana untuk daerah tersebut pemanfaatan oleh manusia cukup tinggi yang menyebabkan banteng bergerak ke area yang lebih tertutup. Banteng di Jawa tidak termasuk jenis yang hidup di dalam hutan, namun hidup pada areal terbuka berumput atau ditumbuhi rumput dengan hutan yang tertutup. Contohnya, populasi banteng yang hidup di salah satu bagian kawasan habitat seperti di TN Ujung Kulon. Kelompok banteng ini tidak selamanya berada di areal penggembalaan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukan jejak banteng di hampir seluruh wilayah semenanjung Ujung Kulon, kecuali di daerah rawa dan daerah bergunung yang curam (Kementerian Kehutanan, 2012). Perbedaan pendapat tentang habitat yang biasa dimanfaakan banteng dimungkinkan karena kegagalan dalam membedakan habitat yang disukai (preferred habitat) dan habitat yang dimanfaatkan (used habitat). Banteng dapat masuk lebih jauh ke dalam hutan atau ke daerah yang berbukit apabila merasa terganggu oleh aktivitas manusia. Hal ini terjadi di TN Meru Betiri. Di Australia, sapi bali (banteng yang didomestikasi) lebih menyukai hutan musim dengan padang rumput yang memadai dibandingkan dengan tipe vegetasi lainnya (Bowman & Panton, 1991 dalam Kementerian
Kehutanan, 2012). Dengan demikian, pembinaan habitat dengan pemeliharaan padang rumput di dalam hutan merupakan aspek penting dalam pengelolaan populasi banteng. Meijaard & Shield (2008) menyatakan bahwa aktivitas tebang pilih di hutan produksi memiliki dampak positif pada populasi banteng, namun dengan syarat perburuan liar dapat dikendalikan. Hoogerwerf (1970) menyimpulkan bahwa populasi banteng di Jawa tidak akan berkembang apabila tidak ada campur tangan manusia. Hal ini dikarenakan rumput ataupun tumbuhan pakan nonrumput sebagai pakan banteng sebagian besar tidak tumbuh di hutan primer, melainkan di hutan sekunder.
3.2 Sebaran Populasi Wilayah penyebaran banteng di Asia meliputi Burma (Myanmar), Thailand, Indo China, dan Indonesia (Pulau Jawa, Kalimantan, dan Bali) (Lekagul & Mc Neely, 1977). Banteng juga tersebar di Malaysia Barat (Hoogerwerf, 1970 dalam Alikodra, 1983), yang mana penyebaran banteng ini meliputi wilayah yang cukup luas, mulai dari daerah pantai hingga daerah pegunungan dengan ketinggian 2132 m di atas permukaan laut. Dari pengumpulan data dan informasi tentang sebaran, serta ukuran populasi banteng di Indonesia; status sebaran dibagi dalam lima kategori yaitu 1) kawasan yang dapat dipastikan sebagai habitat banteng (confirmed range), 2) kawasan yang mungkin menjadi habitat banteng (possible range), 3) kawasan yang diragukan menjadi habitat banteng (doubtful range), 4) kawasan yang pernah menjadi habitat banteng (former range atau extirpated), dan 5) kawasan yang mana status dan keberadaan banteng tidak diketahui pada saat ini (unknown range) (Garsetiasih, 2012). Menurut Hernowo et al. (1991), penyebaran satwa liar dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sejarah penyebaran pada masa lalu, jenis satwa liar, kemampuan pergerakannya,
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 15
penghalang geografis, kondisi habitat, iklim, kemampuan adaptasi, dan keberadaan manusia beserta aktivitasnya. Penyebaran satwa liar pada suatu tempat sesuai dengan kemampuan pergerakannya dan kondisi lingkungan. Pergerakan dan persebaran satwa liar dapat dilakukan melalui: 1. Lorong (koridor), yaitu jalan yang memberikan peluang yang sama kepada setiap jenis satwa liar untuk berpindah melalui koridor. 2. Tapisan, yaitu jenis perpindahan yang hanya terdiri dari beberapa tipe habitat sehingga jenis satwa liar tertentu tercegah atau terhambat untuk pindah karena habitatnya tidak sesuai. 3. Undian, yaitu jalan perpindahan melalui laut. Daerah sebaran banteng di Indonesia sangat terbatas yaitu hanya di beberapa taman nasional, cagar alam, dan suaka marga satwa. Penyebaran banteng di Indonesia meliputi TN Baluran, TN Alas Purwo , TN Meru Betiri, TN Ujung Kulon, TN Kayan Mentarang, TN Kutai, CA Leuweung Sancang, CA Pangandaran, dan SM Cikepuh (Alikodra, 1979). Menurut Grzimek (1968), penyebaran banteng pada kawasan taman nasional di Pulau Kalimantan adalah di TN Tanjung Puting, TN Kutai, dan di TN Kayan Mentarang; sedangkan di luar taman nasional adalah di kawasan Muara Kaman dan Sembuku Sembakung, Kalimantan Timur. Banteng di Jawa tidak hanya berada dalam kawasan konservasi saja tetapi juga di areal perkebunan. Hal ini seringkali menimbulkan konflik antara pengelola kawasan konservasi di satu pihak dengan pengelola areal perkebunan atau Perum Perhutani dan masyarakat sekitar kawasan, seperti yang terjadi di TN Meru Betiri. Sebaran banteng di TN Meru Betiri terfokus di sekitar Perkebunan Bandealit dan Perkebunan Sukamade, serta sebagian kecil di wilayah kerja Seksi Kalibaru. Lokasi sebaran banteng tersebut sebagian besar (>50%) berada di areal
16
•
HABITAT DAN POPULASI
perkebunan Bandealit, yaitu Kebun Pantai dan Sumbersalak. Perkebunan Bandealit berfungsi sebagai penyangga TN Meru Betiri yang mana lokasi perkebunan tersebut berbatasan langsung dengan habitat banteng di kawasan TN. Sebaran banteng di TN Meru Betiri terdiri dari empat lokasi; yaitu dua lokasi terdapat di wilayah kerja Ambulu (padang perumputan Nanggelan yang berdekatan dengan Perkebunan Blater) dan Perkebunan Bandealit, satu lokasi masuk ke dalam wilayah kerja Sarongan (sekitar Perkebunan Sukamade), dan satu lokasi lagi masuk ke dalam wilayah kerja Kalibaru. Sebaran banteng yang sering termonitor di TN Meru Betiri dapat dilihat pada peta (Gambar 9). Ukuran populasi banteng di Indonesia sulit diperkirakan secara akurat karena masih sangat terbatas datanya, terutama di Pulau Kalimantan. Di sisi lain, banteng terancam keberadaannya karena semakin meningkatnya perburuan liar, kerusakan habitat, dan eksploitasi karena banteng adalah jenis satwa liar yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, terutama daging dan kulitnya (Kementerian Kehutanan, 2012). Alikodra (2002) menyatakan bahwa ukuran populasi merupakan satuan ukuran yang dapat memberikan informasi mengenai nilai ratarata, nilai minimum, dan nilai maksimum dari jumlah individu di dalam suatu jenis populasi satwa tertentu. Sementara itu, Tarumingkeng (1974) menyatakan bahwa populasi merupakan sehimpunan individu atau kelompok suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan) yang pada waktu tertentu menghuni suatu wilayah dan atau tata ruang tertentu. Keberadaan suatu populasi sangat dipengaruhi oleh kondisi habitatnya. Habitat satwa adalah suatu bagian dari ekosistem sehingga untuk menjamin kelestarian habitat, kelangsungan hubungan di dalam ekosistem tersebut harus dipertahankan. Interaksi antara satwa dengan
Sumber: Garsetiasih, (2012)
Gambar 9. Peta sebaran banteng di sekitar Nanggelan, perkebunan Bandealit dan perkebunan Sukamade TN Meru Betiri
habitatnya (pakan, air, dan cover) merupakan salah satu bentuk interaksi yang berperan dalam keseimbangan ekosistem (Innayah, 2011). Populasi banteng di dunia menurun hingga 80%. Penyebab utamanya adalah perburuan dan penjualan bagian tubuh banteng yaitu tanduk. Penyebab lain penurunan populasi banteng adalah fragmentasi habitat, degradasi habitat, penyakit, serta persaingan interspesies dan intraspesies (IUCN, 2003). Hoorgerwerf (1970) menduga bahwa pada sekitar tahun 1940, populasi banteng di Jawa mencapai 2.000 individu yang sebagian besar terdapat dalam kawasan konservasi dan di dataran rendah sebelah selatan Pulau Jawa. Populasi tersebut menurun terus-menerus dari tahun ke tahun. Hingga tahun 1978, populasi banteng yang ada di Pulau Jawa diperkirakan tidak lebih dari 1.500 ekor.
Populasi banteng di padang perumputan umumnya membentuk kelompok-kelompok. Jumlah individu tiap kelompok berkisar antara 5-15 individu yang didominasi oleh banteng betina (Alikodra, 1983). Pada banteng yang hidup di dalam hutan, jumlah individu dalam kelompoknya relatif lebih kecil dibandingkan dengan banteng yang sering mendatangi padang penggembalaan. Jumlah individu tiap kelompoknya hanya berkisar 2-3 individu yang masing-masing terdiri dari satu individu jantan, induk betina, dan anaknya (Kuswanda, 2005). Berdasarkan pengamatan Tim TN Meru Betiri (2002 dan 2009) di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Ambulu, populasi banteng di TN Meru Betiri mengalami peningkatan, yakni pada tahun 2002 sebanyak 93 ekor/100 ha dan tahun 2009 menjadi sekitar 102 ekor/100 ha. Populasi banteng di sekitar
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 17
areal Perkebunan Bandealit tersebar mulai dari perkebunan hutan pantai Bandealit sampai ke areal Perkebunan Sumbersalak (areal kerja SPTN Wilayah II Ambulu). Populasi pada areal Perkebunan Bandealit jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan populasi pada areal perkebunan di Resort Sukamade Sarongan. Sebaran populasi banteng di TN Meru Betiri meliputi habitat alam di kawasan hutan, tetapi beberapa tahun terakhir, sebarannya mulai bergeser ke areal perkebunan (Garsetiasih, 2014). Pergerakan populasi banteng dari kawasan hutan TN Meru Betiri ke areal perkebunan disebabkan oleh kurangnya ketersediaan pakan di dalam kawasan. Hal ini disebabkan oleh adanya jenis invasif kirinyuh (Chromolena odorata) yang menginvasi padang perumputan Pringtali yang jaraknya sekitar 500–1000 m dari areal
Perkebunan Bandealit. Populasi banteng yang tersebar di dalam areal perkebunan yang berupa enclave di TN Meru Betiri terdiri dari beberapa kelompok populasi. Jumlah individu dalam kelompok sebanyak 3-45 individu yang terdiri dari banteng jantan, betina dan anak (Gambar 11). Populasi banteng pada Perkebunan Bandealit di TN Meru Betiri berkisar antara 70-100 individu yang terdiri dari jantan, betina dan anak yang secara tampilan fisik semua banteng yang ditemukan dalam keadaan gemuk. Populasi tersebut terdiri dari lima kelompok populasi, yaitu kelompok Dong Watu, Banyu Putih, Jembatan Sembah, Pringtali, dan Lohdadi. Jumlah individu terbanyak dijumpai pada kelompok populasi Banyu Putih yang jumlahnya mencapai 45 individu.
Sumber: Garsetiasih, (2012)
Gambar 10. Peta sebaran populasi banteng di Perkebunan Bandealit TN Meru Betiri
18
•
HABITAT DAN POPULASI
kelompok populasi banteng Timur Gunung sebanyak 3 individu (1 individu jantan, 1 individu betina, dan 1 individu anak), kelompok populasi banteng di sekitar kebun coklat dekat pantai Sukamade sebanyak 8 individu (3 individu jantan dan 5 individu betina), kelompok populasi di kebun kopi petak 37 blok Sumbersari sebanyak 4 individu (1 individu jantan, 2 individu betina, dan 1 individu anak), dan kelompok Sumber: Garsetiasih, 2012 banteng di lokasi savana Sumbersari dengan populasi Gambar 11. Banteng dalam aktivitas kawin di kebun pantai Bandealit sekitar 5 individu. Sebaran populasi banteng di Areal Perkebunan Sukamade (wilayah kerja TN Alas Purwo kasusnya sama dengan di TN Sarongan) merupakan habitat sebaran kelompok Meru Betiri, yaitu adanya pergerakan banteng populasi banteng. Terdapat empat kelompok dari kawasan taman nasional ke luar kawasan. banteng di sekitar Perkebunan Sukamade yang Areal ini merupakan daerah penyangga (buffer sebarannya seperti pada peta Gambar 12, yaitu
Sumber: Garsetiasih, (2012)
Gambar 12. Peta sebaran banteng di Resort Sukamade
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 19
zone) TN Alas Purwo yang dikelola oleh Perum Perhutani sebagai lahan kebun, pertanian, dan areal hutan produksi. Pola sebaran dan jelajah banteng TN Alas Purwo adalah di padang perumputan Sadengan, sedangkan di luar TN adalah di areal hutan produksi Perum Perhutani khususnya di Blok Sumbergedang yang lokasinya berbatasan langsung dengan TN Alas Purwo dan di dusun Kutorejo dekat Blok Ngeselan yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kantor SPTN Wilayah I Tegaldlimo (Gambar 13). Titik ditemukan banteng dan jelajahnya di kawasan Perum Perhutani dapat dilihat pada Gambar 14. Banteng mendatangi Blok Sumbergedang karena pada lokasi tersebut tersedia sumber air dan hijauan pakan rumput yang tersedia sepanjang tahun. Luas areal yang ditumbuhi perumputan di Blok Sumbergedang sekitar 4
ha yang ditumbuhi oleh enam jenis hijauan pakan dan didominasi oleh jenis bambangan (Commelina nudiflora Brn.F.), drujon (Achartus ilichiphelia L.), dan alang-alang (Imperata cylindrica L. Beauv.). Populasi banteng di padang perumputan Sadengan seluas 84 ha pada tahun 2010 sebanyak 90 individu yang terdiri dari 21 individu jantan dewasa, 49 individu betina dewasa, dan 20 individu anak. Di padang perumputan Sumbergedang seluas 6 ha yang merupakan hutan produksi Perum Perhutani, terdapat satu kelompok banteng sebanyak 6 individu terdiri dari 1 individu jantan dewasa, 3 individu betina dewasa, dan 2 individu anak (Garsetiasih, 2013). Kepadatan populasi dapat dijadikan sebagai indikator dalam menentukan kualitas suatu habitat yang dapat memenuhi semua kebutuhan
Sumber: Garsetiasih, (2012)
Gambar 13. Peta sebaran banteng di sekitar kawasan TN Alas Purwo
20
•
HABITAT DAN POPULASI
Sumber: Murdyatmaka, (2008)
Gambar 14. Jelajah banteng pada kawasan hutan produksi
hidup banteng, baik untuk bertahan hidup maupun untuk melangsungkan reproduksinya; dan faktor pemangsaan, baik oleh perburuan manusia maupun predator alami (Alikodra, 2002). Kepadatan dapat menunjukkan kondisi daya dukung habitat yang merupakan jumlah individu di dalam satu unit luas dan volume. Ukuran dan kepadatan populasi satwa liar akan berubah-ubah dan bervariasi menurut wilayah dan tipe habitat (Alikodra, 1990). Faktor yang menyebabkan rendahnya nilai kepadatan populasi banteng di TN Alas Purwo diduga karena angka kematian yang tinggi akibat perburuan oleh manusia dan penurunan kualitas habitat pakan. Alikodra (2002) menyatakan bahwa nilai kepadatan populasi dipengaruhi oleh natalitas, mortalitas, imigrasi, dan emigrasi. Imigrasi dan emigrasi pada tipe ekosistem merupakan bentuk penyebaran dan pergerakan banteng untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti
makan, minum, istirahat, dan mengasin. Imigrasi dan emigrasi ini dipengaruhi oleh kondisi tipe ekosistem sebagai habitat banteng, yaitu kerapatan vegetasi, kelimpahan jenis pakan, dan sumber daya lainnya (misalnya air). Nilai kepadatan populasi banteng pada tipe ekosistem merupakan proses penyesuaian dari berbagai faktor, yaitu pemangsaan, makanan dan faktor lainnya. Alikodra (1983) menyatakan bahwa kepadatan populasi banteng di Cijungkulon TN Ujung Kulon adalah sebesar 13,98 ekor/km². Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara kepadatan banteng di TN Alas Purwo dengan kepadatan banteng di TN Ujung Kulon, yaitu kepadatan banteng di TN Ujung Kulon yaitu sebesar 75,46%. Kepadatan populasi banteng di padang perumputan Cidaon (TN Ujung Kulon) sebesar 8,1 individu/ha. Jumlah populasi banteng tersebut sudah melebihi daya dukung habitat padang perumputan Cidaon sebesar 22 individu atau kepadatan
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 21
6,1 individu/ha. Hal tersebut menyebabkan banteng mencari makan di luar padang penggembalaan (Kuswanda, 2005). Kepadatan populasi banteng di padang perumputan Sadengan dengan luas 84 ha (yang efektif ditumbuhi hijauan rumput 37 ha) yaitu sebanyak 2 individu/ha (Garsetiasih, 2012).
Populasi banteng yang mengalami penurunan, seperti di TN Baluran diakibatkan oleh aktivitas manusia melalui perburuan liar. Perburuan liar dapat terjadi apabila aksesibilitas manusia untuk masuk ke dalam habitat banteng juga mudah, seperti adanya jalan setapak. Jenis invasif Acacia nilotica di savana Bekol diduga berdampak pada menurunnya populasi banteng di TN Baluran karena menghambat pertumbuhan hijauan pakan rumput di savana.
Sumber: Garsetiasih, (2012)
Gambar 15. Kelompok banteng di Perkebunan Bandealit TN Meru Betiri
22
•
HABITAT DAN POPULASI
4 SUMBER PAKAN DAN DAYA DUKUNG 4.1 Vegetasi dan Produktivitas Hijauan Pakan
banteng terdiri dari 22 jenis rumput dan 55 jenis nonrumput. Penelitian yang dilakukan pada lambung beberapa banteng jantan yang tertembak di Cianjur Selatan ditemukan bahwa pakan banteng hampir seluruhnya terdiri dari nonrumput, yaitu daun-daun Trema orientale, Passiflora foetida, Lygodium sp., dan Musa sp.; bahkan, ada satu banteng yang pakannya hanya terdiri dari satu jenis tumbuhan, yaitu Passiflora foetida (Hoogerwerf, 1970). Penelitian dengan karbon isotop terhadap jaringan tubuh banteng menunjukkan bahwa sapi bali di Australia lebih bersifat browser dengan komposisi pakan nonrumput sebanyak 30% pada musim hujan dan meningkat menjadi 75% pada musim kemarau (Bowman et al., 2009). Berdasarkan frekuensi kehadiran jenis tumbuhan pakan, banteng lebih tepat dikatakan sebagai mixed-feeder dari pada grazer. Vegetasi di sekitar padang perumputan Sadengan TN Alas Pur wo dan Blok Sumbergedang kawasan hutan produksi Perum Perhutani diketahui nilai kerapatan tingkat semai dan pohon. Tingkat semai di sekitar padang
Pakan banteng di alam sebagian besar terdiri dari jenis rerumputan, sedangkan untuk jenis tumbuhan hutan jumlahnya terbatas yang dicirikan oleh bekas gigitan banteng (Hoogerwerf, 1970). Pakan banteng yang ditemukan di kawasan taman nasional di Pulau Jawa sangat bervariasi, baik jenis maupun jumlah jenisnya. Termasuk dalam hal ini mencakup pula pakan pabteng di areal Perkebunan Bandealit yang merupakan enclave dari TN Meru Betiri (Tabel 4). Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa banteng lebih bersifat grazer dari pada browser. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut karena faktanya banteng tidak hanya bergantung pada rumput saja. Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa komposisi pakan banteng di TN Baluran ( Jawa Timur) terdiri dari 23 jenis rumput, 15 jenis herba bukan rumput, dan 20 jenis pohon (Pudyatmoko, 2005). Hasil yang mirip ditunjukkan oleh Pairah (2007) pada penelitiannya di TN Alas Purwo ( Jawa Timur), yaitu pakan
Tabel 4. Jenis Pakan Banteng di beberapa kawasan TN dan Perkebunan Bandealit No.
Lokasi
Jenis Pakan Rumput
Semak
Pohon
Sumber Referensi
1.
TN Baluran
13
3
13
Komarudin (1993)
2.
TN Baluran
23
15
20
Pudyatmoko (2005)
3.
TN Ujung Kulon
20
5
46
Balai TN Ujung Kulon (2015)
4.
TN Alas Purwo
22
-
55
Pairah (2007)
8
-
4
Nugroho (2002)
5.
TN Meru Betiri
-
-
9
Garsetiasih (2012)
6.
Kebun Bandealit
14
-
-
Garsetiasih (2012)
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 23
perumputan Sadengan memiliki kerapatan sebesar 7.733 semai/ha dan tingkat pohon memiliki kerapatan sebesar 118,7 pohon/ha. Tingkat semai dan pohon tersebut didominasi oleh jenis johar (Cassia siamea Lamk.) dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 46% untuk tingkat semai dan 32,1% untuk tingkat pohon. Di lokasi Sumbergedang, kerapatan pohon dan semainya lebih rendah, yaitu kerapatan tingkat semai sebesar 25,3 semai/ha dan tingkat pohon sebesar 1,3 pohon/ha. Vegetasi di Sumbergedang untuk tingkat semai dan pohon didominasi oleh jenis semutan (Syzygium syzygioides Miq.) dengan INP sebesar 52,7% dan 78,4%.
tumbuhan bawah di lokasi Sumbergedang per hektarnya termasuk tinggi dibandingkan dengan lokasi Sadengan. Hal ini dimungkinkan karena di lokasi Sumbergedang lahannya selalu basah sehingga tumbuhan bawah, khususnya jenis rerumputan, dapat tumbuh dengan baik. Tabel 5. Produktivitas hijauan pakan banteng di blok Sumbergedang pada musim hujan dan kemarau No
Nama Daerah
Nama Botani
Produktivitas (kg / ha /hari) Musim Hujan
Musim Kemarau
140,81
20,00
4.2 Produktivitas Hijauan Pakan
1
Bambangan
Commelina nudiflora Brn.F.
Blok Sumbergedang merupakan kawasan hutan produksi Perum Perhutani yang lokasinya berbatasan langsung dengan TN Alas Purwo dan padang perumputan Sadengan berada di dalam kawasan TN Alas Purwo. Di Sumbergedang, enam jenis tumbuhan bawah yang ditemukan berupa rumput yang mana semua jenis tumbuhan ini biasa dimakan oleh banteng (Tabel 5). Berdasarkan tabel ini, terlihat bahwa jenis bambangan (Commelina nudiflora Brn.F.) merupakan jenis hijauan dengan tingkat produktivitas yang paling tinggi, yaitu produktivitas pada saat musim hujan sebesar 140,81 kg/ha/hari. Urutan produktivitas selanjutnya adalah grinting (Paspalum longifolium Roxb) sebesar 44,44 kg/ha/hari, drujon (Achartus ilichiphelia L.) sebesar 43,22 kg/ha/ hari, alang-alang (Imperata cylindrica L.Beauv) sebesar 28,77 kg/ha/hari, kolomento (Leersia hexandra Sw.) sebesar 11,11 kg/ha/hari, dan teki (Cyperus monochephalus Baker) sebesar 1,47 kg/ha/hari. Nilai produktivitas pada saat musim kemarau jauh lebih kecil, yaitu bambangan sebesar 20 kg/ha/hari, grinting sebesar 0,04 kg/ ha/hari, drujon sebesar 0,27 kg/ha/hari, alangalang sebesar 0,15 kg/ha/hari, kolomento sebesar 0,86 kg/ha/hari, dan teki sebesar 1,47 kg/ha/ hari. Nilai produktivitas yang dihasilkan oleh
2
Grinting
Paspalum longifolium Roxb.
44,44
1,11
3
Drujon
Achartus ilichiphelia L.
43,22
11,83
4
Alangalang
Imperata cylindrica L.Beauv.
28,77
8,44
5
Kolomento
Leersia hexandraSw.
11,11
0,86
6
Teki
Cyperus monochephalus Baker
10,74
1,47
Total
279,09
43,71
24
•
SUMBER PAKAN DAN DAYA DUKUNG
Sumber: Garsetiasih, (2013)
Habitat banteng di padang perumputan Sadengan ditemukan tujuh jenis tumbuhan bawah (Tabel 6). Urutan niali produktivitas ketujuh jenis tumbuhan bawah pada saat musim hujan dalam berat segar, yaitu domdoman (Andropogon aciculatus Retz.) sebesar 88,81 kg/ha/hari, alangalang sebesar 11,11 kg/ha/hari, paitan (Paspalum conjugatum Roxb.) sebesar 8,11 kg/ha/hari, kolomento 6,66 sebesar kg/ha/hari, teki sebesar 5,6 kg/ha/hari, putian (Andropogon pertusus L.) sebesar 2,66 kg/ha/hari, dan lamuran (Andropogon caricosus L.) nilainya 0 (pada saat dilakukan pengamatan jenis hijauan tersebut tidak tumbuh lagi). Sementara itu, urutan nilai produktivitas hijauan pakan pada saat musim kemarau dalam
berat segar, yaitu domdoman sebesar 15,71 kg/ha/ hari, paitan sebesar 3,94 kg/ha/hari, kolomento sebesar 1,33 kg/ha/hari, lamuran sebesar 1,30 kg/ha/hari, putian sebesar 1,22 kg/ha/hari, teki sebesar 0,33 kg/ha/hari, dan alang-alang sebesar 0,11 kg/ha/hari. Produktivitas tumbuhan bawah di padang perumputan Sadengan lebih kecil dibandingkan dengan di Blok Sumbergedang. Hal ini yang kemungkinan menyebabkan banteng di Sadengan ke luar kawasan taman nasional dan masuk ke Blok Sumbergedang yang merupakan hutan produksi Perum Perhutani terutama pada saat kemarau. Tabel 6. Produktivitas hijauan pakan banteng di Sadengan pada saat musim hujan dan kemarau No.
Nama Daerah
Nama Botani
Produktivitas (kg / ha /hari) Musim Hujan
Musim Kemarau
88,81
15,71
1
Domdoman
Andropogon aciculatus Retz.
2
Paitan
Paspalum conjugatum Roxb.
8,11
3,94
3
Putian
Andropogon pertusus L.
2,66
1,22
4
Alangalang
Imperata cylindrical L.Beauv.
5
Kolomento
Leersia hexandra Sw.
6,66
1,33
6
Teki
Cyperus monochephalus Baker
5,6
0,33
7
Lamuran
Andropogon caricosus L.
0
1,30
Total
122,95
23,94
0,11 11,11
Sumber: Garsetiasih, (2013)
Tumbuhan bawah yang ditemukan di blok Sumbergedang dan Sadengan semuanya dimakan banteng, hanya proporsinya saja yang berbeda. Hasil penelitian Pairah (2007) menunjukkan bahwa jenis grinting (Paspalum longifolium Roxb.), lamuran (Andropogon caricosus L), kolomento (Leersia
hexandra Sw.), dan paitan (Paspalum conjugatum Roxb.) merupakan jenis pakan yang dimakan oleh banteng dengan proporsi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis rumput lainnya. Jenis-jenis hijauan pakan tersebut ditemukan pada kotoran banteng dengan proporsi yang berbeda dan proporsi yang tinggi mengindikasikan bahwa jenis tersebut disukai banteng. Sementara itu, banteng di TN Ujung Kulon sering mengonsumsi daun dan semak di dalam hutan seperti langkap (Arenga obtusifolia), sulangkar (Leea sambucina) dan nangban (Donnax cunnaeformis); sedangkan di padang perumputan, banteng memakan jenis rerumputan (Alikodra, 1983). Vegetasi tingkat semai di TN Meru Betiri, khususnya di kawasan yang berdekatan dengan perkebunan Bandealit, didominasi oleh jenis mahoni (Swietenia macrophylla Jack) dan bayur (Pterospermum diversifolium Blume) dengan nilai INP untuk masing-masing jenis adalah 10,8% dan 7,7%. Untuk tingkat belta, vegetasi didominasi oleh jenis mahoni dengan nilai INP 17,8%, lalu jenis bungur (Lagertroemia speciosa Pers) dengan nilai INP 9,1% dan wining (Pterocybium javanicum R. Br.) dengan nilai INP 6,1%. Vegetasi tingkat pohon didominasi oleh jenis besule (Chydenanthus excelsus Miers) dengan nilai INP 28,5%, jabon (Anthocephallus cadamba Miq.) dengan INP 20,0%, dan jenis wining (Pterocybium javanicum R. Br.) dengan nilai INP 16,3%. Kerapatan tertinggi untuk tingkat pohon sebesar 15,5 per hektare, tingkat belta 171 per hektare dan untuk tingkat semai 1.607 per hektare (Heriyanto, 2007). Vegetasi yang terdapat dalam kawasan taman nasional biasanya digunakan oleh banteng sebagai tempat istirahat dan berlindung dari gangguan. Hal ini ditunjukkan oleh banteng yang sedang berada di kawasan perkebunan jika terganggu oleh aktivitas manusia, yang mana banteng akan langsung lari ke dalam kawasan hutan. Vegetasi hutan juga dimanfaatkan oleh banteng sebagai sarang untuk tidur, yaitu di dalam kawasan TN Meru Betiri yang letaknya tidak jauh dengan kawasan Perkebunan Bandealit yang mana ditemukan beberapa sarang banteng di bawah tegakan pohon.
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 25
Sumber pakan di sekitar kebun pantai (Perkebunan Bandealit) yang merupakan enclave dan berstatus sebagai daerah penyangga dan padang perumputan Pringtali TN Meru Betiri diketahui hijauan pakan yang umum dimakan banteng dengan produktivitas cukup tinggi. Produktivitas tumbuhan bawah di padang perumputan Pringtali TN Meru Betiri dan kebun pantai Perkebunan Bandealit disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8. Tabel 7. Produktivitas hijauan pakan banteng di padang perumputan Pringtali TN Meru Betiri pada musim hujan dan kemarau Nama Daerah
No
Nama Botani
Produktivitas (kg/ ha/hari) Musim Hujan
Musim Kemarau
1
Paitan
Paspalum conjugatum Berg.
26,80
12,50
2
Lamuran
Andropogon caricocus L.
3,10
1,20
3
Teki
Cyperus rotundus L.
3,22
1,27
4
Ilat
Carex baccans Nees.
3,77
1,50
5
Gajahan
Panicum repens L.
12,50
6,86
6
Pringpringan
Pogonatherum paniceumL.
40,33
19,16
7
Alimosa
Mimosa invisa Mar.
2,20
1,33
8
Babadotan
Ageratum conyzoides L.
3,60
1,77
9
Sintrong
Erechtites valerianifolia (Spreng.) DC.
28,22
22,33
Total
177,74
67,92
Sumber: Garsetiasih, (2012)
Tumbuhan bawah di padang perumputan Pringtali ditemukan sembilan jenis tumbuhan bawah yang dapat dimakan oleh banteng. Tabel 7 menunjukkan bahwa jenis-jenis dengan
26
•
SUMBER PAKAN DAN DAYA DUKUNG
produktivitas tinggi pada saat musim hujan dan kemarau secara berurutan yaitu pringpringan (40,33 kg dan 19,16 kg ), sintrong (28,22 kg dan 22,33 kg ), paitan (26,80 kg dan 12,50 kg) dan gajahan (12,50 kg dan 6,86 kg). Jenis hijauan pakan lain produktivitasnya termasuk rendah berkisar antara 2,20 kg hingga 3,60 kg pada saat musim hujan, dan yang paling rendah produktivitasnya yaitu alimosa dengan produktivitas saat musim hujan sebesar 2,20 kg/ ha/hari dan saat kemarau sebesar 1,33 kg/ha/hari. Jenis hijauan yang umum dimakan banteng di kebun pantai Bandealit (TN Meru Betiri) sebanyak 14 jenis (Tabel 8). Urutan produktivitas jenis per hektare per hari yang paling tinggi dari 14 jenis hijauan pakan pada saat musim hujan dan musim kemarau yaitu kolonjono (28,66 kg dan 15,71 kg), paitan (24,11 kg dan 10,40 kg), sintrong (16,88 kg dan 9,40 kg), gajahan (10,33 kg dan 6,60 kg) dan kipait (10,30 kg dan 4,33 kg). Produktivitas tumbuhan bawah sebagai sumber pakan banteng di areal kebun pantai Perkebunan Bandealit lebih kecil dibandingkan dengan di padang perumputan Pringtali, walaupun jumlah jenis yang ditemukan di kebun pantai lebih banyak. Hal ini kemungkinan ada hubungannya dengan penutupan tajuk pohon. Di padang perumputan Pringtali, arealnya terbuka sehingga tumbuhan bawah mendapat sinar matahari yang cukup; sedangkan di kebun pantai, tumbuhan bawah ternaungi oleh tegakan pohon, seperti johar, kopi, karet, dan yang lainnya sehingga pertumbuhannya lebih lambat. Semiadi & Nugraha (2004) menyatakan bahwa rumput atau tumbuhan bawah akan tumbuh dengan cepat apabila mendapat sinar matahari yang berperan dalam proses fotosintesa.
Tabel 8. Produktivitas hijauan pakan banteng di kebun pantai perkebunan Bandealit pada saat musim hujan dan kemarau No.
Nama Daerah
Nama Botani
Produktivitas (kg / ha /hari) Musim Hujan
Musim Kemarau
28,66
15,71
1
Hierochloe horsfieldii Kolonjono Max.
2
Paitan
Paspalum conjugatum Berg.
24,11
10,40
3
Kipait
Axonopus compressus L.
10,30
4,33
4
Putian
Andropogon pertusus L.
8,22
3,4
5
Ilat/ladingan
Carex baccans Nees.
2,30
1,11
6
domdoman
Andropogon aciculatus L.
6,10
2,30
7
Teki
Cyperus monochephalus L.
3,13
1,33
8
Kawatan
Panicum montanumL.
2,66
1,30
9
Jalantir
Erigeron linifolius Willd.
2,42
1,10
10
Gajahan
Panicum repens L.
10,33
6,60
11
Babadotan
Ageratum conyzoides L.
2,90
1,10
12
Alimosa
Mimosa invisa Mar.
2,60
1,22
13
Sintrong
Erechtites valerianifolia (Spreng DC).
16,88
9,40
14
Lamuran
Andropogon caricocus L.
2,80
1,66
123,41
60,96
Total Sumber: Garsetiasih, (2012)
Tumbuhan bawah yang ditemukan di padang perumputan Pringtali TN Meru Betiri dan kebun pantai Perkebunan Bandealit mempunyai potensi yang cukup baik. Namun, padang perumputan Pringtali luasannya hanya 5 ha dan sebagian besar sudah terinvasi oleh jenis invasif kirinyuh (Chromolaena odorata (L) R.M.King & H.Rob) dan telean (Lantana camara L). Oleh sebab itu,
pembinaan habitat padang perumputan Pringtali perlu dilakukan secara rutin dan dilakukan perluasan untuk meningkatkan produktivitas hijauan pakan.
4.3 Nilai Kandungan Gizi dan Palatabilitas Hijauan Pakan Bagi satwa ruminansia seperti banteng, nilai gizi hijauan dapat diartikan sebagai kualitas dari hijauan yang dapat mengendalikan proses kehidupan yang kompleks dan sangat penting bagi kesehatan, pertumbuhan, reproduksi ataupun ketahanan hidup satwa (Dasman, 1964). Nilai kandungan gizi yang terdapat dalam hijauan pakan banteng di padang perumputan Sadengan dan Sumbergedang TN Alas Purwo, padang perumputan Pringtali, dan Perkebunan Bandealit TN Meru Betiri disajikan dalam Tabel 9 dan 10. Kandungan gizi pakan yang terdapat di kawasan TN Alas Purwo diketahui bahwa jenis kiserut, drujon, alang-alang, dan domdoman mempunyai kandungan protein yang tinggi dibandingkan dengan jenis hijauan lainnya, yaitu 9,36-12,50 %. Untuk kandungan lemak, nilai tertinggi, yaitu putian (1,32%), kulit batang mahoni (1,10%), dan bambangan (1,06%); sedangkan jenis yang lainnya berkisar antara 0,19-0,99%. Jenis pakan yang mengandung kalsium cukup tinggi yaitu kulit batang mahoni dan kiserut masing-masing sebesar 2,65% dan1,06%, sedangkan jenis lainnya hanya berkisar 0,11-0,60%. Selain mempunyai kandungan kalsium yang tinggi, kulit batang mahoni juga mengandung unsur Cu dan Zn yang cukup tinggi, yaitu masingmasing 4,72% dan 11,36%. Selain itu, kulit mahoni juga mempunyai kandungan kalori yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pakan lainnya, yaitu 3.826 kcal/g berat basah dibandingkan dengan jenis pakan lainnya yang berkisar antara 1.763 kcal/g (kolomento) hingga 3.711 kcal/g (alang-alang). Sebagai perbandingan dalam konsumsi pakan, sapi bali dengan bobot badan 300 kg membutuhkan komposisi pakan jenis rumput dan legume sebesar 70% dan 30% (Sampurna,
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 27
Tabel 9. Hasil analisis kandungan nutrisi pakan banteng di TN Alas Purwo Bahan
Protein
Serat
Lemak
Abu
kasar (PK)
kasar (SK)
kasar (LK)
83,33
10,11
10,20
28,10
0,26
34,66
0,11
0,34
1,11
8,44
2.793
87,80
11,21
5,36
42,37
1,06
20,30
0,32
0,24
1,73
16,58
1.952
5,09
3,02
24,84
1,10
53,50
2,65
0,20
4,72
11,36
3.826
Jenis
kering (BK)
Drujon Bambangan Kulit Mahoni
87,55
Beta-N
Ca
P
Cu (ppm)
Zn (ppm)
EB (kal/g)
Putian
87,58
23,27
7,84
33,32
1,32
21,83
0,60
0,57
2,95
15,02
2.017
Kiserut
85,78
18,71
12,50
32,69
0,19
21,69
1,06
0,35
3,02
11,39
2.461
Kolomento
89,10
16,45
8,80
27,43
0,99
35,43
0,41
0,25
1,91
23,90
1.763
Grinting Rawa
88,53
7,65
3,37
29,59
0,92
47,00
0,12
0,22
0,39
5,49
2.468
Teki Rawa
87,91
17,11
5,26
33,67
0,26
31,61
0,04
0,32
0,92
13,11
3.027
Dom-doman
88,21
11,97
9,36
34,72
0,19
31,97
0,37
0,18
1,88
12,44
2.121
Paitan
85,56
11,08
8,85
29,19
0,45
35,09
0,31
0,24
3,76
22,89
2.367
Alang-alang
84,93
7,70
10,06
52,93
0,47
13,77
0,57
0,28
4,29
14,22
3.711
Sumber: Garsetiasih ( 2013)
Tabel 10. Nilai kandungan gizi hijauan pakan banteng di kawasan TN Meru Betiri dan Perkebunan Bandealit Nama Lokal
BK
Abu
PK
SK
LK
Beta-N
Ca
P
Cu (ppm)
Zn (ppm)
EB
Kolonjono
84,40
16,50
9,98
38,9
0,46
18,54
0,83
0,33
14,86
50,45
3170
Pringpringan
94,35
22,22
10,94
43,22
1,42
16,55
0,88
0,26
8,37
39,05
3594
Alang alang
84,93
7,70
10,06
52,93
0,47
13,77
0,57
0,28
4,29
14,22
3711
Putian
95,26
15,21
16,48
43,60
0,18
19,79
1,03
0,31
15,38
28,63
3069
Buah Cokelat
92,28
15,09
18,62
56,12
0,14
2,31
1,84
0,49
17,85
57,01
3393
Gajahan
93,77
18,54
7,54
42,81
1,16
23,72
0,93
0,48
11,74
33,15
3787
Daun Sengon
94,45
7,98
19,73
46,47
3,52
16,75
1,74
0,30
8,25
23,05
3572
Kulit Sengon
95,35
5,44
13,14
48,36
4,45
23,96
2,29
0,22
4,29
17,15
3525
Rumput Gajah
91,27
16,39
10,79
34,38
1,90
27,81
0,03
0,40
-
-
3302
Daun Karet
91,27
6,32
18,91
44,05
2,04
23,13
0,15
0,36
3,61
26,76
3264
Kawatan
94,10
7,48
9,65
39,09
1,72
36,16
0,12
0,45
4,06
69,43
3086
Paitan
93,17
10,37
9,31
36,97
2,18
34,34
2,42
0,26
4,89
14,39
3142
Sumber: Garsetiasih et al,( 2012)
2009). Apabila di habitat alam tersedia jenis pakan berupa rumput dan legume, kebutuhan banteng akan terpenuhi dengan sendirinya. Ketersediaan pakan di areal Perkebunan Bandealit [yang merupakan enclave TN Meru
28
•
SUMBER PAKAN DAN DAYA DUKUNG
Betiri], selain secara kuantitas dapat memenuhi kebutuhan banteng , secara kualitas lebih baik dibandingkan dengan yang ada dalam kawasan TN Meru Betiri (Tabel 10). Tanaman di Perkebunan Bandealit (seperti karet, kopi,
dan coklat) yang biasa dimakan banteng mempunyai nilai kandungan gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hijauan pakan yang ada di dalam kawasan TN Meru Betiri. Kandungan gizi hijauan pakan gajahan, putian, pringpringan, dan paitan yang terdapat di padang perumputan Pringtali mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi, yaitu >10%. Apabila dibandingkan dengan tanaman yang terdapat di Perkebunan Bandealit, seperti daun karet, daun sengon, dan kulit sengon; kandungan nutrisi hijauan pakan tersebut tergolong masih rendah. Beberapa jenis tanaman perkebunan memiliki kandungan protein yang tinggi, antara lain buah coklat (18,62%), daun sengon (19,73%), kulit sengon (13,14%), dan daun karet (18,91%). Selain kandungan proteinnya tinggi, tanaman perkebunan juga mempunyai kandungan kalsium dan phospor yang cukup tinggi, seperti buah coklat dan kulit sengon masing-masing kandungan kalsiumnya sebesar 1,84% dan 2,29%. Buah coklat juga mempunyai kandungan Cu sebesar 17,85 % dan Zn 57,01 %, yang mana nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hijauan pakan yang ada di kawasan TN Meru Betiri. Berdasarkan NRC (1984), kebutuhan gizi sapi potong dengan bobot badan yang hampir sama dengan banteng (300-500 kg ) untuk unsur protein sekitar 10,50-12,70%, kalsium sekitar 0,32-0,59%, dan phospor sekitar 0,280,43 %. Dengan demikian, kandungan gizi yang dibutuhkan banteng diasumsikan bisa terpenuhi oleh jenis-jenis hijauan pakan yang tersedia di habitat alam di mana banteng hidup. Protein, kalsium, dan phospor adalah zat pakan yang dapat digunakan sebagai indikator penentu tinggi atau rendahnya kualitas suatu bahan pakan. Rendahnya kandungan kalsium dan phospor dari pakan di dalam kawasan taman nasional kemungkinan yang menjadi penyebab bagi banteng untuk berpindah ke areal Perkebunan Bandealit (kasus di TN Meru Betiri) dan ke areal Perum Perhutani (kasus di TN Alas Purwo).
Kedua areal ini dianggap menyediakan jenis pakan yang lebih bervariasi dengan kandungan gizi yang lebih tinggi. Kulit sengon dan kulit mahoni mempunyai kandungan kalsium yang cukup tinggi dibandingkan dengan hijauan pakan lainnya. Kalsium dalam pakan ruminansia seperti banteng sangat berguna dalam pencernaan selulosa, pembentukan dinding sel bakteri, dan proses fiksasi N oleh bakteri (Durand & Kawashima, 1980); sedangkan unsur Cu berperan dalam mengaktifkan sintesa protein. Kekurangan Cu dapat menyebabkan anemia pada ruminansia (Church et al., 1971 dalam Bismark, 2008). Jenis hijauan pakan yang disukai banteng di padang perumputan Sadengan TN Alas Purwo dan sekitarnya ditunjukkan dengan besarnya proporsi jenis yang ditemukan dalam kotoran banteng. Nilai proporsi tersebut tersaji dalam Tabel 11. Tabel 11. Proporsi jenis pakan rumput yang ditemukan dalam kotoran banteng Nama Daerah
Nama Ilmiah
Proporsi
Grinting
Paspalum longipolia Roxb
7,03
Lamuran
Andropogon caricosus L.
2,099
Kolomento
Leersia hexandria Sw
1,679
Paitan
Paspalum conjugatun Berg
1,469
Putian
Andropogon pertutus L
0,105
Bambangan
Hierachloe horsfieldii Max
0,105
Sumber : Pairah (2006)
Jenis grinting (Paspalum longipolia Roxb) merupakan jenis rumput yang nilai proporsinya ditemukan paling tinggi sehingga menunjukkan bahwa jenis tersebut disukai banteng. Selanjutnya, jenis yang proporsinya juga tinggi adalah lamuran (Andropogon caricosus L.) dan kolomento (Leersia hexandria Sw). Walaupun jenis grinting mempunyai kandungan protein yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis rumput lainnya, jenis tersebut mempunyai nilai proporsi yang tinggi. Selain itu, jenis rumput yang disukai banteng tersebut mempunyai
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 29
produktivitas yang rendah dibandingkan dengan jenis bambangan, tetapi jenis bambangan tidak dijadikan pilihan pertama oleh banteng. Tingkat palatabilitas banteng pada hijauan pakan berupa rumput yang terdapat di kawasan TN Meru Betiri dan sekitarnya disajikan pada Tabel 12. Tingkat kesukaan banteng pada jenis rumput di TN Meru Betiri dan sekitarnya secara berurutan, yaitu jenis rumput kolonjono, putian, domdoman, dan paitan. Jenis-jenis rumput tersebut mempunyai kecepatan tumbuh dan ketahanan dalam kekeringan, seperti ditunjukkan oleh produktivitas dari jenis-jenis rumput tersebut pada saat musim kemarau yaitu masih mempunyai produktivitas yang relatif tinggi dibandingkan dengan jenis rumput lainnya. Tabel 12. Palatabilitas jenis hijauan yang dimakan banteng di TN Meru Betiri Nilai No
Jenis Hijauan
X
Y
Tingkat Palatabilitas (P)
1
Kolonjono(Hierachloe horsfieldiiMax.)
14
15
0,93
2
Putian (Andropogon pertususL.)
11
12
0,92
3
Domdoman (Andropogon aciculatus L.)
13
15
0,86
4
Paitan (P. conjugatumBerg.)
10
12
0,83
5
Kawatan (Panicum montanumRoxb.)
6
8
0,75
6
Teki (Cyperus monochephalusRoxb.)
5
8
0,62
7
Pringpringan(Pogonatherum paniceumLam.)
6
10
0,60
8
Gajahan (Panicum repens L.)
7
12
0,58
Keterangan : X = jumlah petak ukur ditemukannya suatu jenis hijauan yang ada gigitannya. Y = jumlah seluruh petak ukur ditemukannya jenis tersebut. Sumber: Garsetiasih et al, (2012)
Palatabilitas atau kesukaan terhadap pakan antara lain dipengaruhi oleh umur hijauan, intensitas penggembalaan, kecepatan pemulihan, dan ketahanan terhadap kekeringan (McIlroy,
30
•
SUMBER PAKAN DAN DAYA DUKUNG
1964). Kesegaran hijauan juga berpengaruh terhadap palatabilitas. Sementara itu, Alikodra (1980) menyatakan bahwa palatabilitas dipengaruhi oleh bau dan pencicipan satwa terhadap hijauan, yang mana faktor bau biasanya disebabkan oleh kandungan zat-zat makanan dalam hijauan yang relatif berbeda untuk setiap jenis. Kebiasaan satwa jika akan memakan hijauan selalu didahului dengan membauinya, jika tidak cocok maka akan berpindah ke hijauan lain. Hal tersebut yang menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat kesukaan terhadap jenis-jenis hijauan pakan. Jenis hijauan pakan yang dipilih oleh banteng tidak selalu dari jenis yang mempunyai kandungan gizi tinggi. Jenis rumput kolonjono dengan kandungan protein 9,98% dan grinting dengan kandungan protein 3,37% lebih banyak dipilih dibandingkan dengan jenis pring-pringan yang kandungan proteinnya 10,94%. Moen (1973) menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara kandungan gizi dengan tingkat palatabilitas (hubungan tidak selalu positif ). Mcllroy (1977) menyatakan bahwa palatabilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis hewan, fase pertumbuhan, kondisi hijauan, kesempatan memilih makanan yang lain, dan tata laksana cara pemupukan hijauan. Menurut Loepold (1933), Klein (1969), dan Siswanto (1982) dalam Gunawan (1987); pengelompokan makanan berdasarkan palatabilitas, ketersediaan makanan, dan kadar gizi dapat digolongkan sebagai berikut: 1) disukai, 2) bahan makanan pokok, 3) makanan dalam keadaan darurat, 4) makanan pengisi/tambahan, dan 5) tidak dimakan karena adanya rintangan. Oleh karena itu, banteng memilih makanan yang disukai untuk dimakan. Jenis rerumputan yang dimakan oleh banteng antara lain jampang pait (Cytococum patens), rumput geganjuran (Paspalum commersonii), rumput bambu (Panicum montanum), rumput memerakan (Themeda arquens), kipait (Axonopus compresus), dan alang-alang (Imperata cylindrica). Banteng biasanya beristirahat setelah mencari
makan pada pagi hari menjelang siang hari (Alikodra, 1983). Pada saat matahari bersinar terik, banteng biasanya akan beristirahat di bawah tegakan hutan. Apabila cuaca cerah atau agak berawan, banteng lebih sering berada di padang perumputan dan kadang pula banteng terlihat beristirahat di tepi pantai (Lekagul & McNeely, 1977). Jenis-jenis tersebut ternyata terdapat pula di beberapa kawasan konservasi yang merupakan habitat banteng, termasuk tempat beristirahatnya. Menurut Muntasib et al. (2000), jenis pakan banteng di TN Ujung Kulon sebanyak 87 jenis; sedangkan menurut Delfiandi (2006), jenis pakan banteng yang ditemukan selama penelitian di TN Alas Purwo sebanyak 15 jenis. Berbeda dengan kedua lokasi tersebut, habitat di TN Meru Betiri memiliki jenis-jenis pakan banteng yang tergolong menengah, yaitu 25 jenis. Meskipun demikian, banteng tetap dapat bertahan hidup di TN Meru Betiri dengan jenis-jenis pakan yang tersedia. Sementara itu, menurut Hoogerwerf (1970), tumbuhan pakan yang dapat dijangkau oleh banteng adalah yang memiliki ketinggian hingga 150 cm dari permukaan tanah. Waktu makan banteng, baik merumput maupun memamah biak, sangat bervariasi (Hoogerwerf, 1970). Umumnya, waktu makan diselingi dengan beristirahat sambil memamah biak. Apabila cuaca baik, banteng lebih suka memamah biak sambil berbaring di atas rumput. Tetapi, apabila hujan lebat turun terlalu lama, banteng sering memamah biak sambil berdiri. Menurut Sancayaningsih et al. (1983), periode memamah biak tersebut sekitar 2-5 jam/hari. Kecepatan mengunyah selama periode tersebut adalah 48-56 kali/menit. Dalam memenuhi kebutuhan garam dan mineral yang dapat membantu proses pencernaannya, banteng seringkali minum air laut. Oleh sebab itu, keberadaan tempat pengasinan (mineral lick) juga penting bagi banteng untuk memenuhi kebutuhan mineral bagi pertumbuhannya. Tumbuhan di hutan
hujan tropika, seperti di Kalimantan, pada umumnya memiliki kandungan sodium (Na) yang rendah. Oleh sebab itu, hewan-hewan herbivor memerlukan tambahan mineral yang biasanya diperoleh dari tempat pengasinan. Banteng di TN Ujung Kulon pernah terlihat meminum air laut yang kemudian diasumsikan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan mineralnya (Kementerian Kehutanan, 2012). Sementara itu, banteng di TN Baluran meminum air payau di kubangan di sepanjang pantai (Pudyatmoko, 2005). Air memegang peranan penting bagi kehidupan banteng, terutama untuk memenuhi kebutuhan minum. Banteng memerlukan air setiap hari untuk memperlancar proses pencernaannya. Umumnya, banteng minum secara berkelompok yang mana banteng akan bergerak berkelompok dari tempat makannya ke badan-badan air terdekat (Hoogerwerf, 1970). Apabila dilihat dari ketergantungan air, banteng dikategorikan dalam golongan water dependent species (Wiersum, 1973), yaitu satwa yang memerlukan air setiap hari. Oleh karena itu, air harus selalu tersedia di wilayah jelajahnya. Selain jumlahnya, banteng juga memerlukan air yang cukup bersih. Dalam memenuhi kebutuhan minum, banteng menggunakan air yang jernih yang didapat dari sungai-sungai, genangan, parit, atau mata air. Menurut Alikodra (1983), ketersediaan air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim lokal. Selanjutnya disebutkan bahwa air memegang peranan penting bagi kehidupan banteng sebagai sumber air minum sehingga air harus tersedia di dalam wilayah jelajah (home range) banteng dalam keadaan bersih. Perilaku minum banteng sama halnya dengan perilaku makannya, yaitu membutuhkan air pada jumlah yang banyak.
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 31
5 TEKNIK KONSERVASI 5.1 Status Status konservasi banteng berdasarkan IUCN Red List telah mengalami perubahan, yaitu dari rentan (vurnerable) pada tahun 1986-1994 menjadi terancam (endangered) berdasarkan hasil review pada tahun 1996 (Baillie & Groombrigde, 1996 dalam Kementerian Kehutanan, 2012). Hal tersebut menunjukkan bahwa ancaman yang meningkat telah mengakibatkan pula penurunan populasi. Workshop konservasi sapi liar pada tahun 1994 (Asian Wild Cattle Conservation Assessment and Management Plan) [sebagaimana terdapat dalam SRAK Banteng Tahun 2010-2020] merekomendasikan bahwa banteng Asia (Bos javanicus burmanicus) diklasifikasikan menjadi critically endangered (Heinen & Srikosamatara, 1996 dalam Kementerian Kehutanan, 2012). Perkiraan jumlah individu banteng di seluruh dunia saat ini berkisar antara 5.000-8.000 individu (Hegdes & Tyson, 2002; The IUCN SSC, 2000 dalam Kementerian Kehutanan, 2012). Populasi banteng yang besar saat ini, sekitar 6.000 individu, tetapi justru berada di luar sebaran alaminya, yaitu di Garig Gurnag National Park, Australia (Bradshaw et al., 2006). Namun demikian, data ini masih diperdebatkan, apakah jenis ini lebih disebut sebagai sapi bali daripada sebagai banteng. Banteng telah menjadi jenis satwa langka yang terancam kelestariannya sehingga Pemerintah Indonesia perlu melindunginya, terutama dari kegiatan perburuan yang dilakukan oleh para pemburu liar dan terdesaknya banteng oleh pemukiman manusia. Dalam upaya tersebut, telah ada dukungan kebijakan yang mengaturnya, seperti UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang
KSDAE. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi. Pemerintah Indonesia juga memasukkan banteng dalam Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 sebagai salah satu satwa yang dilindungi.
5.2 Ancaman Manusia merupakan predator utama di muka bumi (Krebs, 2001). Gangguan oleh manusia terhadap satwa liar merupakan salah satu bentuk risiko pemangsaan atau “predation risk” sehingga konsep pemangsaan merupakan konsep yang paling tepat digunakan untuk mewakili keberadaan manusia (Sutherland, 1996). Pengaruh manusia terhadap satwa liar dapat dilihat dalam beberapa faktor penyebab utama, antara lain pertumbuhan populasi (Woodroffe, 2000; Krebs, 2001; Nyhus & Tilson, 2004), fragmentasi dan perusakan habitat (Bloom et al., 2004; Graham, 2002; Fritz et al., 2003; Nyhus & Tilson, 2004), perubahan tata guna lahan (Serneels & Lambin, 2001), pembakaran lahan (Bowman, 1998), lahan pertanian (Fritz et al., 2003; Swihart et al., 2000; Graham, 2002), pembunuhan dan perburuan (Muchaal & Ngandjui, 1999), serta introduksi exotic species (Graham, 2002). Pudyatmoko (2004) menyatakan bahwa ancaman keberadaan banteng di TN Baluran dan TN Alas Purwo adalah kerusakan habitat, perburuan liar, dan pemangsaan oleh anjing liar (Cuon alpinus). Aktivitas manusia berupa perburuan liar mempunyai peran sangat penting
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 33
dalam berkurangnya populasi banteng di Jawa. Paturohman (2006) menyebutkan bahwa tingkat perburuan tertinggi di TN Alas Purwo terdapat di hutan tanaman, terutama di daerah Kucur dan Sumbergedang. Perburuan banteng oleh masyarakat dilakukan secara tradisional dengan menggunakan jerat. Hal ini diduga karena kepadatan populasi banteng di hutan tanaman lebih tinggi dan pola pergerakan banteng telah diketahui oleh masyarakat. Ancaman banteng di TN Meru Betiri adalah pemukiman dan aktivitas manusia di sekitar kawasan yang memicu perburuan liar. Ancaman perburuan terjadi karena sebagian besar aktivitas banteng berada di areal perkebunan di mana banyak aktivitas manusia. Menurut Wirawan (2011), banteng menghabiskan sebagian besar aktivitasnya untuk makan di areal perkebunan. Tingkat perburuan terhadap banteng dapat dikatakan sangat jarang, namun dengan aktivitas banteng yang selalu terlihat di areal perkebunan dan mengganggu tanaman perkebunan dapat memicu terjadinya perburuan liar oleh masyarakat dan pekerja perkebunan yang berdampak pada penurunan populasi. Pekerja perkebunan juga bertugas menjaga areal perkebunan dari aktivitas banteng. Penjagaan perkebunan dilakukan dengan cara menghalau banteng yang akan masuk ke dalam areal perkebunan melalui pengusiran secara langsung yang menyebabkan banteng menjadi terkejut, pemagaran areal perkebunan dengan pagar duri [namun, saat ini telah diganti dengan kayu], pemasangan lampu-lampu sorot di areal perkebunan, dan penjagaan rutin oleh pihak perkebunan. Aktivitas perburuan terhadap satwa banteng dapat dikatakan sangat jarang terjadi, meskipun kondisinya rawan karena dekat dengan pemukiman masyarakat dan pekerja perkebunan. Banteng di TN Meru Betiri biasanya mati yang disebabkan kalah dalam berkelahi atau karena faktor umur yang sudah tua. Populasi banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) di Pulau Jawa mengalami ancaman yang
34
•
TEKNIK KONSERVASI
serius akhir-akhir ini (Hedges, 2000). Status konservasi satwa ini dalam IUCN Red List of Threatened Species adalah Endangered (terancam punah). Taman Nasional Alas Purwo merupakan kawasan yang masih tersisa bagi populasi banteng yang berada di bagian ujung timur Pulau Jawa. Perkiraan populasi banteng terakhir di TN Alas Purwo pada tahun 2002 sekitar 80 individu. Jumlah ini turun dari perkiraan banteng di TN Alas Purwo pada tahun 1993 sebesar 300-400 individu (Pudyatmoko, 2004). Estimasi populasi yang ada selama ini dilakukan dengan perkiraan kasar berdasarkan estimasi ketersediaan habitat banteng di kawasan konservasi ini. Padahal, informasi tentang karakter habitat banteng di TN Alas Purwo hingga saat ini belum lengkap karena masih banyak dan luas lokasi yang di survei, khususnya di zona inti. Keterbatasan sumber daya, baik manusia dan keuangan maupun sulitnya aksesibilitas ke zona inti, menyebabkan estimasi distribusi banteng di seluruh kawasan TN Alas Purwo belum tuntas (Imron et al., 2012). Banteng termasuk jenis prioritas yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk dipulihkan populasinya di alam (Peraturan Menteri Kehutanan No P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Species Nasional 2008-2018). Hingga saat ini, data distribusi banteng yang akurat belum dimiliki pihak manajemen kawasan konservasi. Kawasan konservasi di Indonesia saat ini menerima ancaman serius dari perilaku manusia yang mengancam kawasan dan spesies-spesies yang dilindungi. Data terakhir menunjukkan bahwa banteng hanya tersebar di 13 kawasan lindung di Pulau Jawa (Pudyatmoko, 2004). Sayangnya, ketiga belas kawasan tersebut terpisah antara satu dengan lainnya sehingga upaya konservasi yang dirintis mengalami hambatan dengan hilangnya koridor antarhabitat banteng. Kondisi ini diperparah dengan tekanan yang tinggi dari manusia melalui jumlah penduduk yang padat
dan perburuan liar, serta musuh alami berupa anjing liar (Cuon Alpinus) (Imron et al., 2012). Pulau Jawa–pulau dengan jumlah penduduk terpadat di Indonesia–memiliki ancaman potensial dalam konservasi banteng akibat pengaruh pembangunan yang merubah kawasan alami dikonversi menjadi kawasan yang bukan untuk dikonservasi. Kondisi ini juga telah memecah dan mengisolasi habitat banteng pada kantung-kantung populasi yang terpisah (fragmented habitat). Oleh sebab itu, pengelolaan populasi banteng di alam membutuhkan koneksitas habitat, seperti dengan membangun koridor, sehingga masih memungkinkan terjadinya meta populasi dalam satu kesatuan lansekap [walaupun tidak utuh]. Meskipun memiliki keterbatasan aplikasinya, pendekatan yang mirip ini dapat diaplikasikan untuk kawasan yang lebih luas seperti di bagian timur Pulau Jawa yang terdapat tiga taman nasional (TN Baluran, TN Alas Purwo, dan TN Meru Betiri). Koridor antara ketiga kawasan taman nasional tersebut sangat penting bagi kelestarian jangka panjang banteng pada region ini. Masa depan banteng–satwa liar dengan ukuran besar di Jawa–akan tergantung dengan efektivitas dalam mengelola lansekap yang berhubungan dengan kawasan konservasi dan meningkatkan koneksitas antara kawasan konservasi dengan koridor (Palomares et al., 2001; Pudyatmoko, 2004 dalam Imron et al,. 2012). Pertimbangan lebih lanjut yaitu aktivitas manusia, khususnya yang memengaruhi atau mengancam keberadaan banteng secara langsung, seperti perburuan ilegal dan konversi lahan di dalam kawasan konservasi. Berdasarkan hasil penelitian, banteng diketahui keluar dari kawasan taman nasional karena rendahnya daya dukung habitat, baik aspek kualitas maupun kuantitas sumber pakan. Salah satu kondisi ini adalah kecilnya luasan padang perumputan yang ada di dalam kawasan taman nasional sehingga produktivitas sumber pakan yang dihasilkan juga rendah, terutama pada saat musim kemarau. Keluarnya banteng
yang mengganggu kebun masyarakat, perusahaan perkebunan, dan areal kerja Perum Perhutani akan berdampak buruk bagi populasi banteng. Pendapatan masyarakat yang rendah karena produktivitas dan luasan lahan garapan yang kecil juga semakin memicu potensi konflik yang diindikasikan dengan terjadinya perburuan terhadap banteng. Luas lahan garapan masyarakat rata-rata hanya 0,25 ha per kepala keluarga (KK) sehingga tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Menurut Badan pusat Statistik (BPS), kebutuhan optimal lahan garapan per KK adalah seluas dua hektar, seperti yang digarap oleh para petani transmigran. Awang (2006) menyatakan bahwa kebutuhan lahan garapan minimal di Pulau Jawa untuk setiap petani adalah seluas 0,50 ha; sedangkan menurut Yatap (2008), kebutuhan lahan untuk mencapai hidup layak masyarakat di sekitar kawasan TN Gunung Halimun Salak sebesar 0,56 ha per orang. Konflik satwa liar dengan masyarakat juga terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah sehingga menyebabkan persepsi masyarakat terhadap banteng menjadi negatif. Masyarakat menganggap banteng tidak bermanfaat secara langsung walaupun dilindungi dan bersifat merugikan karena merusak tanaman petani, seperti yang terjadi pada masyarakat sekitar TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo. Persepsi yang rendah tersebut menyebabkan perburuan terhadap banteng. Tingkat pendidikan yang rendah, terbatasnya lahan pertanian dengan produktivitas yang rendah, dan minimnya pengetahuan masyarakat tentang konservasi dapat meningkatkan gangguan masyarakat terhadap kawasan (Anonimous, 2006). Faktor-faktor yang menyebabkan konflik banteng dan masyarakat sekitar TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo dipicu oleh terganggunya masyarakat oleh banteng. Masyarakat yang dimaksud yaitu masyarakat yang secara terpisah bertempat tinggal di sekitar kawasan taman nasional, perusahaan perkebunan, dan areal Perum Perhutani yang berbatasan langsung dengan taman nasional.
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 35
Persepsi negatif masyarakat terhadap banteng disebabkan oleh terganggunya ladang mereka oleh banteng. Kerusakan ladang dan kebun menjadikan persepsi masyarakat terhadap banteng cenderung negatif. Hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Curahnongko (70,27%) dan Andongrejo (64,86%) (desa-desa di sekitar TN Meru Betiri, serta Desa Kalipait (59,57%) (desa di sekitar TN Alas Purwo) menyatakan bahwa banteng tidak mempunyai manfaat. Sebagian masyarakat Desa Andongrejo dan Curahnongko (masing-masing sekitar 27,03%), serta Desa Kalipait (sekitar 14,89%) menyatakan bahwa banteng hanya sebagai objek wisata; sedangkan sebagian lainnya (sisanya) menyatakan tidak tahu dan untuk pelestarian, serta kotorannya untuk pupuk (Gambar 16).
Sumber: Garsetiasih (2015)
Gambar 16. Persentase persepsi masyarakat terhadap manfaat banteng
Persepsi masyarakat Desa Andongrejo dan Curahnongko yang menyatakan bahwa banteng dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata didasarkan pada banyaknya wisatawan yang datang ke lokasi TN Meru Betiri. Kunjungan wisata khususnya ke Resort Bandealit di mana sebagian masyarakat Desa Andongrejo bermukim. Wisatawan datang ke Bandealit umumnya untuk melihat Pantai Bandealit dan juga untuk melihat banteng di sekitar areal Perkebunan Bandealit (Garsetiasih, 2015). Sementara itu, persepsi masyarakat Desa Kalipait (TN Alas Purwo) yang menyatakan banteng bermanfaat sebagai objek wisata lebih kecil dibandingkan dengan kedua desa di TN
36
•
TEKNIK KONSERVASI
Meru Betiri, yaitu hanya 14,89%. Sebaliknya, persepsi yang menyatakan tidak tahu ternyata persentasenya lebih besar dibandingkan dengan masyarakat Desa Andongrejo dan Curahnongko, yaitu 21,28%. Masyarakat yang menyatakan tidak tahu tersebut sebenarnya sama persepsinya dengan yang menyatakan bahwa banteng tidak bermanfaat. Persepsi ini didasarkan karena masyarakat tidak boleh memanfaatkan banteng sehubungan dengan statusnya yang dilindungi; padahal, masyarakat merasa dirugikan akibat gangguan banteng. S eb enarnya , ma s yara kat b erm inat memanfaatkan banteng melalui hasil penangkaran atau menggunakan semennya untuk dikawinkan dengan sapi bali dalam rangka meningkatkan genetik sapi bali, khususnya dalam meningkatan bobot badannya. Minat masyarakat dalam memanfaatkan banteng cukup tinggi karena banteng mempunyai nilai ekonomi. Menurut mereka harga banteng akan lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi jenis lokal. Sebagai perbandingan, harga sapi bali umur tiga tahun sekitar Rp9 juta, sedangkan harga banteng dewasa menurut perkiraan responden dapat mencapai Rp20 juta atau setara dengan harga sapi limosin. Berdasarkan hasil wawancara di ketiga desa yang dijadikan objek penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (69,57%) masyarakat berminat untuk memanfaatkan banteng hasil penangkaran terutama semennya, sedangkan sisanya 30,43% tidak berminat (Garsetiasih, 2012). Perburuan banteng terkait dengan upaya masyarakat untuk mendapatkan sumber protein hewani daging dan memenuhi kebutuhan ekonomi dikarenakan mereka hidup dalam kekurangan. Perburuan juga dipicu oleh rasa kesal karena gangguan banteng di lahan garapan yang menyebabkan berkurangnya hasil pertanian dan kerugian bagi masyarakat. Perburuan merupakan salah satu akibat dari adanya konflik antara satwa dan masyarakat. Tingkat potensi konflik banteng dan masyarakat di sekitar TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo disajikan pada Tabel 13.
sekaligus dapat meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan taman nasional, yaitu program kegiatan peningkatan kualitas habitat pakan, program pengembangan penangkaran (khususnya pemanfaatan semen banteng), program pengembangan ekowisata, serta program pengembangan tanaman obat dan buah di zona rehabilitasi kawasan taman nasional.
Keluarnya banteng dari kawasan taman nasional menyebabkan masalah yang berujung pada meningkatnya potensi konflik antara banteng dan masyarakat. Masyarakat petani pesanggem mengalami kerugian karena tanamannya dimakan banteng sehingga produksi panennya menurun. Berdasarkan hasil penelitian Heriyanto & Mukhtar (2011), terjadinya gangguan banteng menyebabkan masyarakat Desa Andongrejo mengalami kerugian sebesar 30-50% dari produksi panennya. Selanjutnya, penelitian tersebut menyatakan bahwa 90% dari masyarakat merasa was-was atau tidak tenang dengan adanya gangguan banteng karena takut dengan serangan banteng. Berdasarkan hasil penelitian terhadap faktor ekologi, sosial, dan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo, serta wawancara dengan para pakar konservasi; terdapat beberapa alternatif program kegiatan yang dapat dikolaborasikan antar-stakeholders. Kolaborasi dimaksudkan untuk menekan peningkatan konflik banteng dengan masyarakat. Program kegiatan yang diharapkan dapat meminimalisasi konflik,
5.3 Parasit pada Banteng Banteng sebagai salah satu keluarga Bovidae adalah inang (host) dari berbagai endo- dan ektoparasit. Beberapa parasit di antaranya adalah parasit cacing pita (Cestoda),cacing pipih (Trematoda), dan cacing gilig (Nematoda) yang menghabiskan sebagian hidupnya di dalam jaringan tubuh satwa inang. Banteng juga mendapatkan ancaman dari berbagai bentuk parasit arthropoda yang meliputi kutu (Ixodoidae dan Siphonaptera), kutu rambut (Phthiraptera), tungau (Psoroptes dan Sarcoptes), lalat (Diptera), dan nyamuk (Culicidae). Ancaman parasit lainnya adalah infeksi protozoa terhadap satwa ini, yaitu Trypanosomatida, Coccidia, Piroplasmida, dan
Tabel 13. Potensi dan tingkat konflik konservasi banteng di TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo Potensi Konflik Jumlah Kasus
Jenis Konflik
Derajat Konflik
TN Meru Betiri
Tiap hari
Perburuan
Tinggi
TN Alas Purwo
Tiap hari
Perburuan
Tinggi
Tiap hari
Perburuan/pelukaan
Tinggi
Parameter
Lokasi
Kehadiran populasi banteng di sekitar masyarakat
TN Meru Betiri
Gangguan satwa pada lahan masyarakat
TN Alas Purwo
Tiap hari
Perburuan
Tinggi
Tingkat kerugian ekonomi
TN Meru Betiri
30% dari produksi (180 rb per bulan)
Buru
Tinggi
TN Alas Purwo
50% dari produksi (700 rb per bulan)
Buru, bantai
Tinggi
Masuk kampung
Tinggi
Serangan banteng terhadap masyarakat Ancaman masyarakat terhadap banteng
TN Meru Betiri
2008-2010 (3 kali)
TN Alas Purwo
-
TN Meru Betiri
1 kasus : 2 kematian (2010)
Buru dgn senjata
Tinggi
TN Alas Purwo
11 kasus : 3 kematian (2010)
Jerat
Tinggi
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 37
beberapa jenis Giardia (Gomez et al., 2011). Selain itu, berbagai bentuk bakteri dan penyakit memiliki peran penting dalam kesehatan dan dinamika populasi satwa banteng. Populasi banteng pada habitat in stu di kawasan konservasi (taman nasional) ataupun habitat ex situ di Lembaga Konservasi (seperti kebun binatang dan taman safari) juga tidak luput dari serangan parasit, terutama endoparasit. Beberapa jenis endoparasit yang ditemukan pada banteng di Lembaga Konservasi (ex situ) ataupun di kawasan konservasi (in situ) berdasarkan hasil analisis feses disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Jenis endoparasit pada banteng di lembaga konservasi (ex situ) dan kawasan konservasi (in situ) Sedimentasi Filtrasi telur cacing
No.
Lokasi
Jenis endoparasit
1.
KB Surabaya
(+) telur trematoda
Paramphistomum spp.
2.
KB Ragunan
(+) telur nematoda
Haemonchus spp. Oeshophagustomum spp.
3.
TSI II, Prigen
(+) telur trematoda
Paramphistomum spp.
4.
TSI III, Denpasar
(+) telur nematoda
Moniezia spp.
3.
TN Alas Purwo
(+) telur trematoda
Paramphistomum spp.
5.
TN Baluran
(+) telur trematoda
Paramphistomum spp.
6.
TN Ujung Kulon*
(+) telur trematoda
Fasciola spp., Paramphistomum spp.
Sumber: Sawitri, et al., (2014)
Semua sampel feses banteng yang diambil di kebun binatang, taman safari, ataupun di taman nasional ditemukan endoparasit berbentuk telur cacing. Trematoides diketahui sebagai penyakit parasitik dengan prevalensi cukup tinggi, namun tidak disertai gejala klinis yang jelas. Dampak penyakit parasitik dapat menurunkan berat badan, daya produksi dan reproduksi, bahkan
38
•
TEKNIK KONSERVASI
kematian. Di lembaga konservasi ex situ (kebun binatang dan TSI), banteng diberi obat cacing secara rutin tiga bulan sekali. Namun demikian, banteng masih tetap terinfeksi telur cacing yang umumnya terjadi melalui fauna air sebagai perantara perantara (hospes) seperti siput atau langsung dari air yang diminum (Gomez et al., 2011).
5.4 Konservasi Ex Situ Konser vasi ex situ merupakan upaya pelestarian sumber daya hayati satwa dan tumbuhan di luar habitat alaminya. Menurut catatan International Species Information System (http://app.isis.org/abstracts/abs.asp) tanggal 7 September 2010, banteng Bos javanicus yang dipelihara di lembaga konservasi di dunia sebanyak 80 individu (25 individu betina dan 55 individu jantan), sedangkan B. j. javanicus sebanyak 138 individu (43 individu betina dan 95 individu jantan). Sementara itu, jumlah banteng yang ada di lembaga konservasi di Indonesia sebanyak 63 individu (35 individu betina dan 28 individu jantan). Konservasi ex situ banteng sudah dilakukan di beberapa kebun binatang, yaitu Kebun Binatang Surabaya (KBS) dan Taman Margasatwa Ragunan (TMR), TSI II Prigen, dan TSI III Bali. Lembaga konservasi tersebut sudah mulai melakukan kegiatan inseminasi buatan. Populasi banteng di lembaga konservasi sangat bermanfaat untuk membantu mengembalikan dan meningkatkan populasi yang ada di alam, terutama bila terjadi penurunan populasi alam yang sangat drastis ataupun kepunahan lokal. Konservasi ex situ juga bermanfaat sebagai sarana pendidikan dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pelestarian banteng. Di dalam pengelolaan populasi ex situ, berbagai upaya perlu dilakukan agar populasi yang dipelihara dapat terjaga variabilitas genetik dan keseimbangan secara demografis. Oleh sebab itu, programprogram kerja sama penangkaran (captive breeding), baik nasional maupun internasional,
oleh institusi ataupun lembaga konservasi yang memiliki banteng perlu dikembangkan. Di Lembaga Konservasi, permasalahan terjadi karena perkawinan banteng cenderung tidak acak antarsaudara (inbreeding ) dan keturunannya cenderung tidak seimbang antara rasio jantan dan betina. Dengan demikian, populasi keturunannya dikhawatirkan sangat rentan terhadap serangan penyakit ataupun seleksi alam, daya adaptasi terhadap lingkungan yang lemah sehingga menyebabkan kematian, ataupun penurunan kemampuan produksi dan reproduksi. Inbreeding dapat pula menimbulkan penyimpangan yang menyebabkan kematian pada berbagai fase kehidupan, lahir cacat, atau kegagalan metabolisme. Menurut Allendorf & Luikart (2008), perkawinan inbreeding akan menyebabkan kehilangan variasi genetik; sedangkan menurut Hardjosubroto (2001), inbreeding dapat mengakibatkan penurunan performans atau produksi. Oleh karena itu, perbaikan mutu genetik banteng yang ada di KBS perlu dilakukan secara selektif. Kegiatan seleksi diharapkan dapat memilih banteng yang akan dijadikan sebagai tetua (pejantan dan induk atau parent stock) sehingga dapat menghasilkan keturunan-keturunan unggul dan tidak cacat. Evaluasi koefisien dan laju inbreeding perlu dilakukan untuk mengetahui akibat dari tekanan inbreeding yang terjadi.
5.5 Konservasi In Situ Dalam SRAK Banteng Tahun 2010-2020 disebutkan bahwa lokasi prioritas untuk konservasi banteng dilakukan dengan berbagai pertimbangan, seperti keterwakilan subspesies, luas kawasan, keamanan, serta ada atau tidaknya unit pengelola konservasi banteng. Taman nasional yang menjadi prioritas pertama untuk konservasi subspesies Bos javanicus javanicus adalah TN Ujung Kulon, TN Meru Betiri, TN Baluran, dan TN Alas Purwo di Jawa; sedangkan untuk subspesies B. j. lowi adalah TN Kutai dan TN Kayan Mentarang di Kalimantan. Prioritas
kedua adalah areal lainnya yang memungkinkan (possible) ataupun confirmed di luar kawasan prioritas pertama. Pembagian prioritas selama periode tahun 2010-2020 dilakukan karena adanya keterbatasan dari aspek pendanaan, kapasitas sumber daya manusia, sarana prasarana, dan manajemen pengelolaan kawasan.
5.5.1 Taman Nasional Ujung Kulon Taman Nasional Ujung Kulon merupakan kawasan konservasi dengan luas wilayah 120.551 ha yang terdiri dari luas daratan 76.214 ha dan perairan 44.337 ha. Secara administrasi, wilayah ini termasuk dalam Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten (Sumber: Statistik Balai TN Ujung Kulon). Kawasan konservasi ini ditetapkan sebagai Taman Nasional sejak tahun 1992 berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 pada tanggal 26 Februari 1992. Selain itu, pada tahun yang sama, kawasan ini ditetapkan pula sebagai World Herritage Site oleh Komisi Warisan Alam Dunia UNESCO dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867 2409. Kawasan TN Ujung Kulon merupakan hutan hujan tropis dataran rendah terluas di Pulau Jawa dengan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa yang cukup tinggi. Salah satu jenis satwa liar yang terdapat di dalamnya adalah banteng. Penyebaran populasi banteng di kawasan TN Ujung Kulon meliputi habitat padang perumputan dan habitat hutan. Banteng hidup dan berkembang biak di dalam hutan, sedangkan padang perumputan yang dibangun sebagai habitat pakan saat ini sebagian besar sudah tidak dapat lagi mendukung perkembangan populasinya. Populasi banteng di padang perumputan biasanya hidup bergerombol membentuk kelompok-kelompok. Jumlah individu tiap kelompok sekitar 5-15 individu yang didominasi oleh banteng betina
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 39
(Alikodra, 1983). Yayasan Mitra Rhino (2002) menyebutkan bahwa populasi banteng di Pulau Jawa berkisar kurang dari 2.000 individu dan 905 individu di antaranya terdapat di Semenanjung Ujung Kulon. Lebih lanjut, Kuswanda (2005) menyatakan bahwa penurunan jumlah banteng disebabkan adanya perburuan liar dan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas areal padang perumputan yang mengakibatkan pula menurunnya potensi rumput sebagai sumber pakan utama banteng. Banyaknya populasi banteng di hutan Semenanjung Ujung Kulon dikhawatirkan menjadi pesaing bagi badak jawa (Rhinoceros sondaicus) sebagai satwa utama dan merupakan identitas TN Ujung Kulon. Pengelolaan dan pengendalian populasi banteng di TN Ujung Kulon dapat dilakukan dengan memindahkan banteng atau translokasi ke habitat yang cocok dengan kondisi Semenanjung Ujung Kulon, tetapi jumlah satwa herbivoranya masih kurang. Areal translokasi bisa dipilih dari kawasan lain yang masih masuk ke dalam kawasan TN Ujung Kulon, seperti Pulau Panaitan (Kuswanda, 2005). Up aya p emb ina a n ha b i tat untu k meningkatkan kualitas padang perumputan dalam rangka peningkatan populasi banteng pun sudah dilakukan, contohnya di padang perumputan Cidaon seluas 4 ha. Selain itu, pengendalian terhadap jenis invasif, yaitu langkap (Arenga obtusifolia) dan bambu cangkreuteuk (Schizostachyum zollingeri), yang menginvasi kawasan TN Ujung Kulon dan berakibat pada terganggunya habitat satwa liar (di antaranya banteng dan badak) sudah dilakukan oleh Word Wide Fund (WWF) dan Yayasan Mitra Rhino. Lokasi pengendalian dilakukan di Cikarang Resort Legon Pakis dan Cikarang-Resort Handeuleum dengan cara pengendalian menggunakan jenis herbisida Tryclopyr. Pengendalian dengan cara mekanik dilakukan di Cimayang Resort Pulau Peucang dan Cibandawoh, Resort Karang Ranjang. Pengendalian dengan cara ini dianggap efektif
40
•
TEKNIK KONSERVASI
dilakukan dan dapat menurunkan invasi langkap (Sawitri & Setyawati, 2011).
5.5.2 Taman Nasional Meru Betiri Berdasarkan administrasi pemerintahan, kawasan TN Meru Betiri terletak pada dua wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Bagian barat kawasan termasuk ke dalam Kabupaten Jember dengan luas 37.626 ha dan bagian timur termasuk ke dalam Kabupaten Banyuwangi dengan luas 20.374 ha. Kawasan TN Meru Betiri secara geografis terletak antara 113º58’48’’ - 113º58’30’’ BT dan 8º20’48’’ - 8º33’48’’ LS. Kawasan TN Meru Betiri merupakan hutan hujan tropis dengan formasi hutan bervariasi yang terbagi ke dalam lima tipe vegetasi, yaitu hutan pantai, hutan mangrove, hutan rawa, hutan rheophyte, dan hutan hujan dataran rendah. Banteng merupakan salah satu potensi keanekaragaman jenis fauna yang ada di TN Meru Betiri. Banteng sebagai grazer membutuhkan hutan savana, tetapi tipe hutan ini tidak ada di dalam kawasan TN Meru Betiri. Oleh sebab itu, pengelola kawasan menyediakan padang perumputan buatan di Pringtali (Garsetiasih, 2012). Lokasi habitat banteng di TN Meru Betiri tersebar pada tiga lokasi, yaitu SPTN Wilayah I Sarongan, SPTN Wilayah II Ambulu, dan SPTN Wilayah III Kalibaru. Berdasarkan pengamatan Tim Balai TN Meru Betiri di SPTN II Ambulu, populasi banteng di kawasan ini mengalami peningkatan, yakni pada tahun 2002 sebanyak 93 ekor/100 ha dan tahun 2009 menjadi sekitar 102 ekor/100 ha (Innayah, 2011). Habitat banteng di TN Meru Betiri didominasi oleh areal perkebunan yang merupakan enclave dan letaknya terdapat di dalam TN Meru Betiri. Hal ini dapat dilihat dari sebagian besar aktivitas banteng berada di dalam areal perkebunan, khususnya untuk makan (Wirawan, 2011). Perkebunan di dalam kawasan TN Meru Betiri menyediakan pakan yang cukup yang dilihat dari ketersediaan
tumbuhan pakan yang segar dan subur karena sumber pakan tersebut dipelihara secara rutin. Di sekitar areal perkebunan tersedia areal hutan untuk bersembunyi dan berlindung dari gangguan. Jarak perkebunan pun hanya ±1 km dari pantai sehingga banteng mendapat akses yang mudah untuk minum di sungai dan mengasin ke muara. Selain areal perkebunan dekat dengan muara sungai, terdapat pula paritparit penampung air hujan sehingga banteng mudah mendapatkan air minum. Penjagaan areal perkebunan dari gangguan banteng dilakukan dengan cara penghalauan, terutama bila areal di dalam perkebunan sedang ada tanaman budi daya oleh masyarakat sekitar Taman nasional sebaiknya dapat melakukan kerja sama yang intensif dengan pihak perkebunan dalam melestarikan banteng. Koordinasi antar-stakeholder tersebut merupakan langkah alternatif agar banteng tidak merusak areal perkebunan, tetapi tetap mendapat pasokan pakan seperti halnya di areal perkebunan. Pihak taman nasional juga dapat memberikan pengetahuan bagi penjaga-penjaga perkebunan untuk tetap ikut serta menjaga keberadaan banteng. Di kawasan TN Meru Betiri terdapat areal perkebunan milik swasta yang menjadi habitat banteng. Perkebunan tersebut masih berproduksi secara rutin, meskipun sudah banyak yang rusak. Pada habitat perkebunan, hijauan pakan yang ditemukan sebanyak 16 jenis tumbuhan dari 12 famili (Innayah, 2011). Areal perkebunan merupakan bagian dari habitat banteng di kawasan TN Meru Betiri karena selain tersedianya pakan banteng , tersedia juga air dan tempat istirahat. Menurut Alikodra (2002), satwa liar juga banyak yang menggunakan tanaman perkebunan sebagai habitatnya, termasuk banteng. Dalam beberapa hal, banteng dianggap sebagai hama karena aktivitas banteng di TN Meru Betiri lebih sering berada di areal perkebunan yang letaknya dalam taman nasional dan statusnya sebagai enclave (Wirawan, 2011).
Pengelolaan areal perkebunan di dalam TN Meru Betiri masih cukup baik sehingga tumbuhan bawah dapat tumbuh dengan subur karena adanya perawatan, seperti pemupukan. Meskipun banyak lokasi perkebunan yang telah rusak, lokasi yang masih produktif tetap dirawat. Menurut Setiawati (1986), kondisi rumput yang tumbuh di bawah tegakan kelapa milik perkebunan jauh lebih baik dibandingkan dengan rumput yang tumbuh di padang perumputan. Keadaan ini menguntungkan bagi banteng sehingga selalu tersedia pakan yang segar dan banteng dapat mencari kesempatan untuk mendapatkan makanan di areal perkebunan. Ketika melihat manusia, banteng akan masuk ke hutan di sekitarnya dan kembali ketika keadaan telah aman (Alikodra, 1983). Habitat perkebunan ini disukai banteng karena topografinya yang sebagian besar datar sehingga memudahkan banteng untuk mengetahui kemungkinan adanya gangguan (Alikodra, 2010). Pemanfaatan areal perkebunan sebagai bagian dari habitat banteng sering menimbulkan permasalahan bagi pihak perkebunan. Masuknya banteng ke dalam areal perkebunan yang baru ditanami mengakibatkan tanaman perkebunan milik warga menjadi rusak. Pihak perkebunan melakukan pengamanan terhadap banteng melalui patroli yang dilakukan oleh pekerja perkebunan untuk menghalau banteng agar tidak masuk ke areal perkebunan. Penghalauan hanya dilakukan pada lokasi perkebunan yang sedang ditanami tanaman pertanian karena rentan terhadap injakan dan potensi dimakan oleh banteng. Tingkat kerawanan populasi banteng pada perkebunan dipengaruhi oleh kegiatan manusia saat mengambil hasil perkebunan dan mencari kayu atau bambu. Taman Nasional Meru Betiri memiliki padang perumputan buatan sebagai habitat pakan banteng. Padang perumputan yang dimaksud antara lain Sumbersari dan Pringtali yang merupakan padang perumputan (feeding ground) buatan bagi banteng. Kondisi kedua
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 41
padang perumputan sudah tidak terawat dan tidak nyaman bagi banteng untuk hidup di dalamnya. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya lagi banteng di lokasi tersebut dan kemungkinan disebabkan pula oleh adanya invasi telean (Lantana camara) dan bambu jajang (Giganthochloa apus) sehingga feeding ground buatan tersebut sudah sangat jarang digunakan oleh banteng. Padang rumput di TN Meru Betiri tidak lagi diminati karena banteng lebih memilih areal perkebunan sebagai habitatnya yang lokasinya berdekatan dengan padang rumput. Hal ini dikarenakan selain menyediakan pakan, perkebunan memiliki sumber air yang merupakan faktor penting bagi kelangsungan hidup banteng. Perbaikan padang rumput diperlukan untuk mengembalikan banteng ke savana agar mengurangi intensitas aktivitasnya di dalam areal perkebunan. Upaya pembinaan habitat perlu dilakukan, antara lain pembuatan sumber air dengan springkel yang dibutuhkan untuk savana yang tidak memiliki sumber air sepanjang tahun, pemberantasan tanaman pengganggu, pemulihan spesies pakan banteng, pembuatan bak mengasin, pemantauan secara rutin dan evaluasi. Pada dasarnya, padang rumput di TN Meru Betiri cukup berpotensi karena letaknya yang berada dekat dengan hutan hujan tropis dataran rendah sehingga memberikan rasa aman bagi banteng. Di TN Meru Betiri, terdapat pula naungan (shelter) yang berfungsi sebagai peneduh, yaitu pohon walangan (Pterospermum diversifolium), bungur (Lagerstroemia speciosa), dan bambu. Lokasi ini juga memiliki tempat untuk mengasin. Padang rumput yang ideal yaitu yang memiliki luasan 10-20 ha; tersebar pada beberapa lokasi; dan komposisinya terdiri dari hutan alam, padang rumput, sumber air, hutan pantai/mangrove, dan air laut (Alikodra 2010). Permasalahannya yaitu perawatan terhadap savana yang kurang efektif sehingga savana tidak terawat dan penyediaan air yang sangat terbatas.
42
•
TEKNIK KONSERVASI
Banteng makan secara bergiliran (rolling) setiap harinya, yaitu ke hutan yang vegetasinya didominasi tingkat pohon dan ke areal perkebunan yang didominasi oleh komoditas perkebunan, seperti kopi, coklat, karet dan sengon. Hal ini merupakan strategi banteng agar pertumbuhan rumput dapat merata sebagai salah satu cara menemukan pakan yang disukai ataupun mengeksplorasi daerah lingkungannya (Nugraha, 2007). Gerakan berpindah ini juga dilakukan untuk menghindari dari aktivitas manusia di areal perkebunan. Padang perumputan (feeding ground) di TN Meru Betiri selalu dilakukan pembinaan habitat setiap tahunnya, tetapi luas areal yang dilakukan pembinaan habitat kurang optimal. Kurang tersedianya atau tidak optimalnya fungsi feeding ground menjadi salah satu penyebab banteng mencari makan di areal perkebunan. Perbaikan habitat feeding ground seharusnya dilakukan secara lebih intensif. Pengelolaan padang rumput meliputi semua kegiatan, mulai dari penentuan lokasi, luas, jenis rumput, organisasi pengelola, pemeliharaan, hingga pembuatan laporan dan evaluasi. Termasuk pula dalam kegiatan ini adalah mengatur pertumbuhan rumput, mempertahankan kesuburan tanah, mencegah kerusakan tanah, dan mencegah terjadinya penggembalaan yang berlebihan. Pengelolaan padang rumput di TN Meru Betiri pada tahun 2010 yaitu melalui pembinaan habitat [tidak dilakukan secara rutin] dan pemberantasan invasi secara bertahap. Namun, kegiatan belum dilakukan pemantauan dan evaluasi secara inetnsif, serta penyediaan sumber air dan tempat mengasin yang belum teratur. Oleh karena itu, pengelolaan intensif dibutuhkan terhadap padang rumput, termasuk pengelolaan terhadap vegetasi, penggunaan api, penggunaan pupuk, dan penggemburan tanah pada lapisan olah (top soil) (Alikodra, 2010). Habitat banteng khususnya di TN Meru Betiri diindikasikan mengalami kerusakan atau gangguan karena letaknya berbatasan langsung
dengan pemukiman. Hal ini menyebabkan banteng lebih memilih areal perkebunan karena ketersediaan pakan relatif lebih baik dibandingkan dengan kondisi di dalam kawasan. Penggunaan areal perkebunan oleh banteng menimbulkan kerugian bagi masyarakat karena banteng merusak kebun mereka. Jika hal ini dibiarkan maka akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan masyarakat cenderung bersikap negatif terhadap banteng karena dianggap merugikan. Keluarnya banteng dari TN Meru Betiri dan berpindah ke habitat perkebunan dimungkinkan oleh tidak mendukungnya lingkungan habitat banteng dalam kawasan TN Meru Betiri (Garsetiasih et al., 2012). Berpindahnya banteng ke areal Perkebunan Bandealit memicu konflik satwa ini dengan masyarakat sebagai dampak terganggunya tanaman perkebunan dan kebun masyarakat. Pada awalnya, banteng hanya sekali-kali datang ke areal Perkebunan Bandealit, khususnya pada saat musim kemarau. Namun, sejak tahun 2003, perkebunan tersebut dijadikan habitat permanen oleh banteng. Aktivitas banteng mulai dari makan, istirahat hingga kawin dilakukan di areal tersebut sehingga Perkebunan Bandealit mengalami kerugian yang cukup besar karena tanamannya dimakan dan dirusak banteng. Masyarakat di zona penyangga juga mengalami hal yang sama karena ladangnya mendapat gangguan banteng (Garsetiasih, 2012). Cover (lindungan) banteng di TN Meru Betiri tersebar di lokasi-lokasi habitat banteng. Beberapa tipe cover yang digunakan oleh banteng adalah tajuk pohon dan rumpun bambu. Pendugaan ini berdasarkan adanya bekas-bekas jejak dan kotoran banteng di lokasi cover dan berdasarkan literatur aktivitas istirahat banteng, serta hasil wawancara dengan petugas. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa banteng tidak menyukai cuaca dengan panas matahari yang terik dan umumnya mencari perlindungan di bawah tegakan hutan untuk beristirahat. Selain itu, cover juga dijadikan oleh banteng sebagai
tempat untuk bersembunyi agar keberadaannya tidak mudah diketahui oleh pemangsa. Banteng juga memilih hutan hujan tropis dataran rendah sebagai lokasi berlindung karena jarang terdapat aktivitas manusia. Alikodra (1983) mengemukakan bahwa hutan hujan tropis dataran rendah dijadikan sebagai tempat bersembunyi dari berbagai macam gangguan dan dijadikan sebagai tempat berlindung dari kondisi cuaca yang tidak menentu. Banteng memilih rumpun bambu sebagai tempat berteduh karena areal ini terdapat pula hamparan pakan yang dapat dijadikan sebagai bahan makanan tambahan. Selain itu, banteng melakukan aktivitas memamah biak ketika beristirahat (Alikodra, 1983). Apabila bertemu dengan manusia, banteng akan berlari masuk hutan yang memiliki tegakan bambu yang rapat sehingga sangat sulit bagi manusia untuk menemukannya. Pada kawasan TN Meru Betiri, bambu mendominasi di daerah tepi antara areal perkebunan dan hutan hujan tropis dataran rendah. Vegetasi bambu digunakan sebagai tempat bersarang, sedangkan areal perkebunan digunakan sebagai tempat bermain, bernaung, dan makan. Tanaman perkebunan seperti tanaman coklat dan karet memiliki tajuk pohon yang digunakan untuk melindungi diri dari panas saat mencari makan di lokasi tersebut. Bentuk tajuk tanaman coklat sangat rapat dan lebar dengan kondisi pohon coklat yang rendah sehingga menjadi tempat yang cocok untuk bersembunyi. Sementara itu, pohon karet bertajuk cenderung terbuka, pohonnya tinggi dan daun yang lebat hanya di bagian atas pohon. Namun, lantai hutan di bawah pohon karet terdapat lebih banyak tumbuhan bawah dibandingkan dengan di bawah pohon coklat sehingga menjadi areal sumber pakan bagi banteng. Naungan pohon coklat biasanya digunakan banteng untuk menghindari musuh ketika berkelahi karena dari hasil wawancara banteng yang berkelahi diketahui bahwa salah
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 43
satunya lari masuk ke dalam areal perkebunan coklat (Innayah, 2011).
5.5.3 Taman Nasional Baluran Kawasan TN Baluran adalah kawasan konservasi di Pulau Jawa yang memiliki ciri khas dan keunikan berupa hamparan savana yang luas. Savana alami yang berbatasan dengan hutan pantai dan hutan musim, serta sumbersumber air merupakan komposisi habitat yang sangat baik bagi berbagai jenis mamalia besar, seperti herbivora banteng (Bos javanicus d’Alton, 1823), kerbau liar (Bubalus bubalis Robertkern, 1792), rusa (Rusa timorensis Mul. & Schl., 1844), kijang (Muntiacus muntjak Zimmermann, 1780); ataupun berbagai jenis satwa karnivora, seperti ajag (Cuon alpinus Pallas, 1811) dan macan tutul (Panthera pardus melas Cuvier, 1809). Di antara satwa-satwa tersebut, banteng merupakan satwa yang menjadi ciri khas TN Baluran. Populasi banteng di TN Baluran pada tahun 2015 diperkirakan hanya sekitar 41 individu. Rendahnya populasi di TN Baluran dikarenakan adanya perburuan. Selain itu, keberadaan spesies invasif Acacia nilotica yang menginvasi >50% dari luasan savana habitat banteng seluas 10.000 ha menjadi ancaman utama penurunan kualitas habitat yang berdampak pada penurunan populasi banteng. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Alikodra (2002) bahwa perkembangan populasi banteng sangat dipengaruhi oleh daya dukung habitat dan tekanan masyarakat yang berbatasan dengan kawasan TN Baluran berupa perburuan, serta adanya predator ajag. Upaya konservasi in situ banteng yang telah dilakukan di TN Baluran ( Jawa Timur) adalah dengan dibangunnya penangkaran semialami (sanctuary) yang dilakukan atas kerja sama Balai TN Baluran [atas nama Direktorat Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)] dengan TSI Prigen II Pasuruan, Jawa Timur. Kerja sama penangkaran banteng di TN Baluran dilakukan
44
•
TEKNIK KONSERVASI
sejak tahun 2012 dan telah menghasilkan tiga individu anak (Gambar 17). Upaya lainnya yang dilakukan dalam meningkatkan populasi banteng di TN Baluran yaitu kerja sama penelitian dalam rangka pengendalian jenis invasif Acacia nilotica dan teknik restorasi savana. Hasil penelitian pengendalian jenis invasif dan teknik restorasi savana sudah diaplikasikan di lapangan oleh TN Baluran (Garsetiasih, 2014).
5.5.3 Taman Nasional Alas Purwo Kawasan TN Alas Purwo semula berstatus Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan berdasarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 6 Stbl No. 456 tanggal 1 September 1939 seluas 62.000 ha. Berdasarkan Berita Acara Pengukuran tanggal 27 Mei 1983 luas kawasan diubah menjadi 43.420 ha. Pada tahun 1992, status kawasan diubah menjadi Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 283/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992. Penetapan TN ALAS PURWO tahun 1992 dan Taman Nasional Meru Betiri (TN MERU BETIRI) tahun 1997 adalah berdasarkan potensi ekosistem, flora dan fauna langka dilindungi yang ada dalam kawasan taman nasional tersebut, diantaranya habitat dan populasi banteng (Garsetiasih, 2012). Pola pergerakan banteng di TN ALAS PURWO telah banyak diketahui masyarakat di sekitar kawasan zona penyangga. Hal ini dapat meningkatkan perburuan banteng di kawasan tersebut. Balai TN ALAS PURWO (2006) menyatakan bahwa perburuan terjadi dikarenakan rendahnya kontrol dalam pengamanan kawasan zona penyangga dan lemahnya sistem kolaborasi dalam pengamanan antara pihak taman nasional dengan pihak Perhutani. Dampak lain dari sistem pengelolaan Perum Perhutani ditinjau dari segi ekologis adalah penurunan kualitas dan kuantitas lahan sebagai habitat satwa.
Sumber: Garsetiasih (2012)
Gambar 17. Penangkaran in situ banteng di TN Baluran
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 45
6 KERAGAMAN GENETIK BANTENG EKS SITU DAN IN SITU Keragaman genetika populasi adalah variabilitas gen-gen dalam populasi yang akan berkurang secara matematik sebagai akibat diturunkan dari satu populasi kepada populasi berikutnya (Thohari et al., 1995). Setiap individu suatu populasi satwa mempunyai sejumlah lokus yang terdiri atas pasangan alel. Jumlah dari semua alel yang berlainan disebut lengkang gen (gene pool). Gen-gen dalam lengkang mempunyai hubungan dinamis dengan alel lainnya dan dengan lingkungan di mana populasi itu hidup. Faktor-faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang mampu merubah frekuensi gen sehingga menyebabkan terjadinya evolusi dalam populasi. Keanekaragaman genetika mencakup pula aspek biokimia, struktur, dan sifat organisme yang diturunkan secara fisik dari induknya, serta dibentuk dari DNA (Wikipedia, 2010). Faktor yang berperan penting terhadap keragaman genetika pada suatu populasi adalah seleksi alam, mutasi, genetic drift, dan perkawinan yang tidak acak (Damayanti, 2010). Kualitas genetika yang semakin menurun akibat penurunan populasi efektif, yaitu minimal 50 individu untuk di penangkaran dan 500 individu untuk di alam (Thohari, 1987). Namun, kondisi ini tidak berlaku untuk populasi banteng di kawasan konservasi in situ yang dijumpai di Australia. Berdasarkan sejarahnya, banteng dibawa dari Pulau Bali pada tahun 1849 sebanyak 20 individu, kemudian dimasukkan ke Port Essington, Northern Territory. Setelah lebih dari satu setengah abad, banteng tersebut telah berkembang dan jumlahnya mencapai 3.000 individu yang terbagi ke dalam empat
subpopulasi (Corey et al., 2007). Menurut Eldridge et al. (1999) dalam Corey et al. (2007), keanekaragaman genetik keempat subpopulasi banteng tersebut termasuk rendah dan koefisien inbreeding-nya cukup tinggi, yaitu 0,58. Kondisi ini terkait dengan populasi yang tergolong bottleneck dari indukan yang terbatas jumlahnya. Berdasarkan prinsip keseimbangan genetika populasi Hardy-Weinberg ; populasi yang memiliki keseimbangan baik frekuensi gen maupun frekuensi genotip, akan diturunkan secara tetap dari satu generasi ke generasi berikutnya (Futuyma, 1986). Keadaan yang demikian dapat terjadi di dalam suatu populasi yang besar, yang mana perkawinan terjadi secara acak, dan tidak ada pilihan atau pengaturan lain yang merubah frekuensi gen. Untuk mengetahui frekuensi gen yang terdapat dalam suatu populasi dapat dilakukan analisis DNA mitokondria (Mt DNA), yakni cara yang paling akurat untuk mempelajari keragaman genetika dan biologi populasi (Avise & Lansman, 1983). Analisis DNA mitokondria merupakan alat yang kuat dalam mempelajari evolusi satwa dan banyak digunakan untuk mengenali struktur populasi, aliran gen, hibridisasi biogeografi, dan poligeni (Moritz et al., 1992). Hal ini disebabkan DNA mitokondria yang berbentuk sirkuler berutas ganda diturunkan langsung secara maternal (Hutchison et al., 1974). Keragaman genetik banteng diketahui melalui hasil penelitian yang sampelnya diambil dari beberapa kebun binatang dan taman nasional. Keragaman genetik terbaca dari sekuen DNA, yang mana sekuen DNA mempunyai
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 47
keragaman yang dapat diamati dengan adanya variasi di dalam protein plasma atau serum darah dengan menggunakan primer forward 5’-GTAAAGCTCACCAGTAT-3” dan reverse 5’-ATGTCCTGACCATTGACT-3’. Hasil analisis sekuen segmen D-loop genom DNA mitokondria sepanjang 657 bp (pasang basa) ditunjukkan oleh hasil multiple alignment 657 urutan basa fragmen D-loop DNA mitokondria dari banteng (Bos javanicus) dari Kebun Binatang Surabaya, Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia II (Prigen), TN Meru Betiri, TN Baluran, dan Taman Safari Indonesia III (Bali) dengan sapi bali dari Denpasar, Bali. Hasilnya berupa 6 haplotipe yang terdiri dari haplotipe 1 (41 individu), yaitu KBS-01, KBS02, KBS-03, KBS-04, KBS-05, KBS-06, KBS-07, KBS-08, KBS-09, KBS-10, KBS-11, KBS-12, RAG-01, RAG-02, RAG-03, RAG-04, RAG-05, RAG-06, RAG-07, RAG-08, RAG-09, RAG-10, RAG-11, RAG-12, RAG-13, RAG-14, RAG-15, SB-01, SB-05, SB-06, SB-07, SB-09, SB-10, TSI05, TSI-07, TSI-08, Timis, Nila, TNMB-02, TNMB-03, dan TNMB-04; haplotipe 2 (satu individu), yaitu SB-04; haplotipe 3 (8 individu), yaitu TSI-01, TSI-02, TSI-03, TSI-04, TSI-06, SB-02, SB-08, dan Nanik; haplotipe 4 (satu individu), yaitu TNMB-01; haplotipe 5 (satu individu), yaitu SB-03; dan haplotipe 6 (satu
individu), yaitu SB-11 (Sawitri et al., 2014). Sebagai gambaran, kekerabatan tersebut dapat dilihat pada pohon filogeni (Gambar 18). Kontruksi pohon filogeni berfungsi untuk melihat kekerabatan antara banteng dan sapi bali, sedangkan matriks jarak genetiknya disajikan pada Tabel 15. Jarak genetik di dalam populasi Kebun Binatang Surabaya (KBS) (0), Taman Margasatwa Ragunan (TMR) (0), TN Meru Betiri (TNMB) (0,001), TSI Prigen (0,003), sapi Bali (0,004), dan TSI Bali (0,004). Jarak genetik antarpopulasi dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 15, sedangkan rata-rata jarak genetik antarpopulasi adalah 0,002. Jarak genetik antarindividu banteng di Kebun Binatang Surabaya, Taman Margasatwa Ragunan, TN Meru Betiri, Taman Safari Indonesia (Prigen), sapi Bali, dan TSI (Bali) berkisar antara 0,000 – 0,011 (Sawitri et al., 2014) (Tabel 15). Hasil pengujian dengan metoda bootstrapping yang ditampilkan dalam setiap percabangan filogeni pada Gambar 18 menunjukkan bahwa cabang filogeni dari sapi bali untuk haplotipe 1 dan 3 memiliki nilai bootstrap 97 dan 128 yang artinya 87%, bahkan 128% dari 1.000 replikasi sapi bali tersebut tersebut memiliki kekerabatan dan menunjukkan gambar yang sama. Menurut pernyataan Li & Graur (1991), cabang pada pohon filogeni mewakili hubungan antarunit
Tabel 15. Jarak genetik antarpopulasi di KBS, TMR, TN Baluran, TN Meru Betiri, TSI II, Sapi Bali dan TSI III No.
48
Lokasi Penelitian
1
2
3
4
5
1
Kebun Binatang Surabaya (KBS)
2
Taman Margasatwa Ragunan (TMR)
0,000
3
Taman Nasional Meru Betiri (TNMB)
0,000
0,000
0,001
4
Taman Safari Indonesia Prigen (TSI II)
0,004
0,004
0,004
0,004
5
Sapi Bali
0,003
0,003
0,003
0,003
0,004
6
Taman Safari Indonesia Bali (TSI III)
0,002
0,002
0,002
0,002
0,003
•
KERAGAMAN GENETIK BANTENG EKS SITU DAN IN SITU
6
0,003
KBS-09 SB-04 KBS-03 KBS-04 RAG-12 TSI-07 RAG-03 KBS-02 RAG-02 SB-01 SB-07 RAG-05 KBS-06 RAG-07 TNM B-03 SB-09 Timis TNM B-02 KBS-10 SB-05 RAG-10 97
KBS-07 RAG-06 KBS-11 SB-10 RAG-01 RAG-04 TNM B-01 KBS-08 RAG-15 TSI-08 TNM B-04 TSI-05 Nila RAG-09 RAG-08 RAG-11 KBS-12 RAG-13 RAG-14 SB-06 KBS-05 KBS-01
SB-02 TSI-03 SB-08 Nanik TSI-01 TSI-04 1 2
TSI-06 TSI-02 SB-03
8 70 SB-11
0.0005
Gambar 18. Rekonstruksi pohon filogeni banteng metoda Neighbor-joining menggunakan Mega Software versi 3.1.(Kumar et al., 2004)
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 49
yang menggambarkan hubungan keturunan dengan leluhur, sedangkan panjang cabang menunjukkan jumlah perubahan evolusioner yang terjadi antara dua nodus. Analisis pohon filogeni menunjukkan bahwa penanda molekuler MtDNA D-loop yang mewakili nukleotida 657 bp dapat digunakan sebagai penanda genetik, walaupun hasil penelitian Wisesa et al. (2012) dengan primer Bovmt FP yang mewakili 500 bp dapat juga digunakan untuk menelusuri hubungan kekerabatan antara sapi bali dengan banteng yang sangat dekat.
Hubungan kekerabatan banteng TN Alas Purwo dan TN Meru Betiri juga telah dianalisis keanekaragaman genetikanya dari sembilan sampel yang berasal dari feses. Hasil
50
•
KERAGAMAN GENETIK BANTENG EKS SITU DAN IN SITU
analisis sekuen segmen D-loop genom DNA mitokondria menunjukkan perbedaan 44 bp (pasang basa) dari 2 haplotipe, yaitu A dan B (Nugroho, 2014). Dengan demikian, hasil analisis ini dapat dikatakan bahwa keragaman genetik banteng di kedua taman nasional tersebut termasuk rendah. Hal ini mengingat bahwa kedua populasi tersebut belum lama terpisahkan dan dimungkinkan berasal dari indukan yang sama. Lebih lanjut dikatakan bahwa banteng dari Pulau Jawa memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan banteng dari daratan Asia daripada banteng dari Pulau Kalimantan (Gardner, 2012 dalam Hays, 2014).
7 POTENSI PEMANFAATAN BANTENG Secara ekologis, banteng berperan penting dalam sistem regenerasi vegetasi ekosistem hutan, yaitu melalui buah dan biji tumbuhan yang dimakan dan disebarkan melalui fesesnya. Manfaat banteng lainnya adalah sebagai sumber plasma nutfah untuk pengembangan budi daya dan pemurnian genetik sapi bali melalui perkawinan silang dengan banteng liar sehingga akan meningkatkan ketahanan dan nilai-nilai keunggulan (Alikodra, 2011). Pelestarian plasma nutfah banteng dilakukan melalui pemanfaatan semen banteng sebagai sumber genetik. Pemanfaatan semen banteng untuk peningkatan kualitas sapi bali sudah dilakukan oleh Taman Safari Indonesia II Prigen (TSI II) dan bekerja sama dengan Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari, Malang, Jawa Timur yang hasilnya akan dimanfaatkan oleh beberapa Pemerintah Daerah Provinsi (Ivan, Oktober 2010, komunikasi pribadi). Menurut PP No 8 tahun 1999, perbanyakan individu satwa dapat dilakukan dengan cara mengawinkan secara alami ataupun buatan (inseminasi buatan) apabila cara reproduksinya adalah kawin, dan dengan cara lain apabila cara reproduksinya tidak melalui kawin, baik di dalam maupun di luar habitatnya. Pemanfaatan genetik banteng dapat menunjang budi daya, yaitu memanfaatkan potensi satwa liar sebagai sumber bibit atau plasma nutfah untuk dikembangkan dan dibudidayakan di luar kawasan taman nasional (UU Nomor 5 Tahun 1990). Sapi asli Indonesia secara genetika dan fenotipe merupakan keturunan dari banteng yang telah didomestikasi ataupun hasil silangan sapi
asli Indonesia dengan sapi eksotik yang kemudian mengalami domestikasi dan beradaptasi terhadap lingkungan (Abdullah et al., 2008). Salah satu dari kelompok sapi asli tersebut adalah sapi bali (Bos javanicus domesticus) yang merupakan keturunan banteng (Bos javanicus d’Alton), yaitu sebagai hasil domestikasi dan plasma nutfah ternak asli Indonesia (Wisesa et al., 2012). Sapi bali secara turun temurun telah dipelihara sejak 3.500 sebelum Masehi (SM) oleh masyarakat Pulau Bali (Kelompok Ternak Pucakmanik, 2010). Hal ini diketahui berdasarkan penulusuran bukti sejarah kebudayaan Situs Gilimanuk (Bleskadik, 2009). Sebagai hasil domestikasi, sapi bali jantan memiliki berat badan rata-rata sekitar 335 ±75 kg, sedangkan yang betina 247 ±39 kg (Guntoro, 2002). Apabila dibandingkan dengan banteng yang memiliki berat rata-rata jantan 400-700 kg dan betina 300-350 kg, berat sapi bali mengalami penurunan. Kondisi ini diduga sebagai akibat dari faktor genetik silang dalam dari pencampuran tetua dan anak pada areal yang sama sehingga perkawinan tidak terkontrol (Wirdateti et al., 2009). Kondisi ini juga dipengaruhi oleh seleksi alami pada proses kehidupan yang berlangsung ribuan tahun di berbagai agroekosistem spesifik dan menghasilkan adaptasi terhadap agroekosistem melalui morfometrik tubuh yang terekspresi dari bentuk tubuh, ukuran tubuh, dan sifat fisiologis yang dimiliki (Sumantri et al., 2007). Penurunan bobot badan sapi bali diduga sebagai akibat menurunnya kualitas dan keragaman genetika sapi bali yang memiliki kekerabatan cukup dekat
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 51
karena inbreeding (Zein, 2010, komunikasi pribadi). Hal ini dapat dilihat dari bobot lahir anak sapi bali sekitar 16,5 ±1,54 kg untuk anak jantan dan 15,12 ±1,44 kg untuk anak betina (Pastika & Darmadja, 1976 dalam Wibisono, 2009), sedangkan bobot lahir anak jantan atau betina banteng di TSI II Prigen sekitar 30 kg. Sapi Bali sebagai ternak memiliki beberapa keunggulan, antara lain bergelambir kecil dan tubuh kompak; fertilitas baik karena sapi betina menghasilkan anak setiap tahun; mudah beradaptasi dengan lingkungan yang mana konsumsi ransumnya sedikit pada saat sulit, seperti musim kemarau yang panjang ; dapat hidup di lahan kritis; daya cerna yang baik terhadap pakan; persentase karkas yang tinggi; mampu menghasilkan vaksin Mallignent Catarrhal Fever (MCF) sebagai vaksin penyakit Jembrana; kandungan lemak karkas yang rendah; dan sapi jantan kebiri muda dan jantan umumnya mempunyai berat standar untuk diekspor karena dagingnya empuk, kualitas kulitnya baik dan agak tipis (Williamson & Pyne, 1993). Beberapa kelemahan dari sapi bali adalah pertumbuhan yang lambat; tekstur daging yang alot dan warna
yang gelap sehingga kurang baik digunakan sebagai steak, slice-beef, sate, dan daging asap; dan dapat terserang virus Jembrana yang menyebar melalui host “lalat”. Sapi bali juga rentan terhadap penyakit ingusan (snot ziekte) atau malignant catarrhal fever (MCF), penyakit lain bernama Bali Ziekte karena banyak ditemukan pada sapi bali, serta penyakit sura dan brucellosis. Berdasarkan pertimbangan di atas, perkawinan silang antara banteng dengan sapi bali dimungkinkan untuk perbaikan morfometrik tubuh karena adanya kesamaan genetik antara banteng dan sapi bali. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kemiripan, antara lain jenis kromosom yang identik sama antara sapi bali dengan banteng, bentuk tulang kepala, tanduk pendek yang mengarah ke dalam dan tidak berpunuk, warna kulit coklat kemerahan, warna bulu yang lebih gelap pada jantan dewasa dibandingkan dengan betina, warna yang berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam setelah jantan mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun, tanduk panjang berkembang ke arah keluar kepala pada jantan dewasa, dan bagian putih
Gambar 19. Lokasi sampel dan konstitusi genetik populasi sapi di Indonesia. Keaslian jenis dari Y-chromosomes (Y), DNA mitochondria(mt) dan autosomal microsatellite alleles (mst) ditunjukkan oleh warna bayangan coklat dan abu-abu diindikasikan dalam bentuk lingkaran (Mohamad et al, 2009, Doi:10.1371/journal. pone. 0005490.g001)
52
•
POTENSI PEMANFAATAN BANTENG
pada kaki yang biasa disebut kaos kaki (warna putih pada banteng di seluruh bagian kaki, sedangkan pada sapi Bali di bawah persendian karpal dan tarsal), serta cermin putih (white mirror) di bagian pantat (Wibisono, 2009).
terinvasi dengan sapi lainnya sehingga dapat dilakukan crossbreeding antara sapi bali dengan banteng. Hubungan kekerabatan antara sapi bali dengan banteng (Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus, dan Bos gaurus) dilihat dari konstruksi pohon filogeni, sedangkan matriks jarak genetiknya ditampilkan dalam Tabel 16 (Wisesa et al., 2012). Jarak genetik banteng dan sapi bali berkisar 0,000-0,003 sehingga dapat dikatakan bahwa sapi bali memiliki keragaman genetik yang sama atau hampir sama dengan banteng. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sawitri et al. (2014) yang menyatakan bahwa jarak genetik populasi banteng di beberapa lokasi dengan sapi bali sekitar 0,000-0,004. Namun, jarak genetik banteng dengan jenis sapi lainnya sangat jauh, yang mana banteng dengan Bos taurus memiliki jarak genetik 0,052; Bos indicus memiliki jarak genetik 0,055; Bos javanicus memiliki jarak genetik 0,058; dan Bos gaurus memiliki jarak genetik 0,043 yang diakses melalui Genbank. Dengan demikian, hasil ini dapat dikatakan bahwa sapi bali memiliki gen DNA mitokondria yang sama dengan banteng (Mohamad et al., 2009).
7.1 Hubungan Kekerabatan Banteng dan Sapi Bali Sapi bali yang berasal dari Provinsi Sumatra Selatan, Provinsi Sumatra Barat, Pulau Sulawesi, dan Pulau Bali merupakan sapi asli Indonesia, selain sapi lainnya, seperti sapi aceh, sapi madura, sapi pesisir, sapi filial ongole, dan sapi galekan (Gambar 19). Walaupun di beberapa tempat, sapi bali telah tercampur dengan jenis lainnya, seperti di Pulau Bali di mana sapi bali diduga terinvasi oleh sapi zebu yang dilarang peredarannya di Pulau Bali sejak tahun 1963 (Nijman et al., 2003). Lokasi sampel mewakili daerah yang memiliki sapi bali dengan kandungan DNA mitokondria banteng di semua kawasan (seperti Pulau Bali), tidak seperti sapi bali di Malaysia yang hanya memiliki 35% kandungan DNA mitokondria banteng. Sementara di kawasan Indonesia lainnya, keberadaan sapi bali telah
Tabel 16. Matriks Jarak Genetik MtDNA D-Loop Sapi Bali Haplotipe 1 dan 2, Banteng, Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus, dan Bos gaurus 1 9274 Sobangan
2
3
4
5
6
7
8
9
-
9276 Sobangan
0,003
A243 RPH
0,000
0,003
A240 RPH
0,003
0,000
0,003
9915 Banteng
0,000
0,003
0,000
0,003
Bos javanicus Genbank (Acc no: FJ 997262)
0,058
0,061
0,058
0,061
0,058
Bos taurus M382 Genbank (Acc no. AB 117092)
0,052
0,055
0,052
0,055
0,052
0,027
Bos indicus xx8 Genbank (Acc no. EF 524185)
0,055
0,058
0,055
0,058
0,055
0,030
0,003
Bos gaurus 410064 Genbank (Acc no. GU 3249888)
0,043
0,046
0,043
0,046
0,043
0,049
0,052
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
0,055
• 53
7.2 Perbaikan Mutu Sapi Bali Kegiatan pemuliaan sapi bali perlu dilakukan karena terjadi penurunan kualitas, baik mutu produksi maupun reproduksi sapi bali, yang disebabkan oleh perkawinan silang dalam (inbreeding) sehingga menurunkan daya tahan, tingkat kesuburan, konvesi pakan, dan cacat tubuh. Upaya yang telah dilakukan secara manajemen adalah dengan peremajaan bibit melalui seleksi dan culling yang baik untuk mendapatkan calon bibit jantan dan betina, pembatasan pengeluaran ternak sesuai dengan nilai outputnya berdasarkan inventarisasi pemanenan di daerah padat, pengaturan pola pembiakan yang benar dan konsisten, pengetahuan struktur populasi dan status fertilitas sapi bali di wilayah populasi dasar tapak, seperti Jembrana, Tabanan, dan Karangasem di Pulau Bali (Budianto et al., 2013). Pengembangan dan pembibitan sapi bali untuk sapi potong ini dilakukan dengan model kemitraan antara peternak sapi bali, Koperasi Unit Desa (KUD), Balai Penelitian Teknologi Produksi (BPTP) Peternakan terdekat, pihak swasta, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kegiatan kemitraan dilakukan melalui sistem pemuliaan inti terbuka yang melibatkan kelompok ternak yang terdiri dari kelompok inti, kelompok pra inti dan kelompok ternak pedesaan (Rikhanah, 2008). Peningkatan dan perbaikan kualitas mutu sapi bali, selain melalui pembibitan ternak, dilakukan pula melalui perbaikan mutu genetik sapi bali di wilayah peternak murni (Provinsi Bali), seperti melalui Proyek Pengembangan Perbaikan Sapi Bali (P3 Bali). Beberapa tahapan kegiatan tersebut di antaranya adalah seleksi dan uji keturunan sapi bali dengan nilai pemuliaan dugaan yang lebih baik menggunakan pejantan elit melalui inseminasi buatan (IB) (Hidayat, 2010), serta persilangan dengan bangsa sapi lainnya, seperti Bos taurus dan Bos indicus melalui IB. Namun, hal yang perlu diingat bahwa perkawinan sapi bali dengan subgenus sapi lainnya seperti B. taurus dan B. indicus akan 54
•
POTENSI PEMANFAATAN BANTENG
menghasilkan anak sapi jantan yang steril karena gangguan sinapsis kromosom (Hakim, 2012). Populasi sapi bali telah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia ataupun di Asia Tenggara. Namun, populasi yang memiliki kemurnian sapi bali sebanyak 80% hanya di Pulau Bali dibandingkan dengan kemurnian sapi bali dari sentra lainnya, seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Lampung, dan Sumatera Selatan (Hardiwirawan & Subandriyo, 2004). Selain itu, analisis DNA mikrosatelit dengan uji lokus HIL9 dan INRAO35 menunjukkan bahwa sapi bali dan banteng memiliki dua alel, yakni alel A dan B, serta monomorfik; sedangkan jenis sapi lainnya, seperti sapi medan, sapi peranakan ongole, dan sapi brangus memiliki lokus yang polimorfik. Berdasarkan kondisi tersebut, perbaikan mutu genetik sapi bali dilakukan melalui program pemuliaan (Soekardjo, 1990 dalam Hakim, 2012; Kementerian Kehutanan, 2012). Beberapa program pemuliaan sapi bali tersebut adalah: 1. Menjalankan peternakan murni sapi bali di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Bali, dan Timor untuk mendapatkan sumber bibit secara tradisional. 2. Uji performans dan uji zuriat di Breeding Center P3 Bali di Pulau Bali menggunakan pejantan unggul melalui perkawinan secara alami atau produksi semen beku untuk inseminasi buatan (IB). 3. Membentuk populasi dasar sebagai sumber gen yang unggul dan membentuk kelompok sapi bali betina unggul di P3 Bali, Anamina, dan Dompu-Sumba. 4. Melakukan IB berskala nasional untuk mempercepat aliran gen yang unggul dari pejantan sapi bali unggul di P3 Bali. 5. Membentuk jalinan kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Kementerian Pertanian, Pemerintah Daerah, peternak dan Lembaga Konservasi dalam pemanfaatan banteng yang berada di lokasi ex situ.
Banteng di alam juga dapat dimanfaatkan jika berhasil dalam pengelolaan populasinya. Pengelolaan populasi tersebut ditujukan untuk mendapatkan kondisi populasi yang stabil, yang mana struktur umur dan rasio kelamin mampu menjamin keseimbangan dan kelestarian kelompok atau populasinya. Pertumbuhan suatu populasi yang tak terkendali akan menyebabkan terjadinya kelebihan populasi yang memungkinkan terjadinya persaingan interspesies maupun antarspesies. Tindakan pengelolaan dapat dibedakan berdasarkan tujuan pengelolaan, yaitu tujuan memelihara keseimbangan ekosistem dan mendapatkan hasil pemanenan yang optimum. Alternatif pengelolaan yang dapat dilakukan dalam pengendalian populasi banteng adalah melakukan penjarangan atau pemanenan terkendali dengan pertimbangan ekologis secara menyeluruh. Individu banteng yang akan dijarangi dipilih individu yang tidak produktif, seperti individu sakit, cacat, dan sudah tua (Kuswanda, 2005)
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 55
8 KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KONSERVASI BANTENG 8.1 Pengelolaan Sumber Daya Alam secara Kolaboratif (Co-management) Pada saat ini, semakin disadari bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya alam, baik berupa kawasan maupun spesies, tidak cukup hanya diputuskan oleh lembaga-lembaga pemerintah dengan aturan-aturan yang dibuat secara sentralistik. Kebijakan yang sentralistik tidak menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam pengelolaan kawasan ataupun spesies. Hal tersebut dibuktikan dengan timbulnya berbagai konflik hampir di seluruh kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi dan konflik satwa liar. Alikodra (2009) menyatakan bahwa banyak alasan yang menjadi sumber konflik, seperti konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan kegiatan kehutanan yang disebabkan karena hak-hak ataupun akses mereka terhadap sumber daya hutan tidak tertampung dalam kegiatan kehutanan. Padahal, status lahan dan kegiatan mereka telah dianut lama secara turun-temurun dan tertuang dalam norma adat mereka. Up a y a p e r l i n d u n g a n t e r h a d a p keanekaragaman hayati melalui peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah (Kementerian LHK) belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan sehingga ancaman terhadap satwa liar beserta ekosistemnya (termasuk banteng ) terus mening kat. Keberhasilan pengelolaan taman nasional sebagai
benteng terakhir di mana satwa liar hidup secara alami sangat tergantung pada dukungan berupa partisipasi aktif dan penghargaan terhadap nilai sumber daya hutan oleh masyarakat sekitar. Apabila masyarakat memandang taman nasional sebagai faktor pembatas, masyarakat tersebut dapat menggagalkan program dan upaya konservasi yang diindikasikan dengan terjadinya konflik. Sebaliknya, apabila upaya pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang memberi manfaat, masyarakat setempat pun akan melindungi kawasan tersebut (MacKinnon et al., 1993). Arah pengelolaan taman nasional yang di dalamnya terdapat keanekaragaman hayati (termasuk banteng ) harus dapat memberikan petunjuk model kemanfaatan bagi masyarakat. Pengelolaan kolaboratif adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumber daya, lembaga nonpemerintah, dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumber daya. Hubungan kemitraan dalam pengelolaan disebut sebagai co-management (IUCN, 1997 dalam Resolusi 142 Tahun 1996). Pengelolaan atau manajemen kolaboratif merupakan terjemahan dari istilah collaborative management. Marshall (1995) yang diacu dalam Tajudin (2000) menyatakan bahwa kolaborasi merupakan suatu bentuk resolusi konflik yang mengakomodasikan sikap kooperatif dan asertif yang tinggi (nilai positif ). Kolaborasi
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 57
merupakan suatu bentuk resolusi konflik yang menghasilkan situasi ”menang-menang” dan sama sekali tidak mempertimbangkan suatu keputusan atau kesepakatan yang bersifat zerosum (kebijakan rendah sekali perhatiannya dalam mempertimbangkan alokasi sumber daya langka). Manajemen kolaboratif didefinisikan sebagai bentuk manajemen yang mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh stakeholders secara adil dan memandang harkat setiap stakeholders sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam rangka mencapai tujuan bersama (Tajudin, 2000). Co-management adalah suatu kondisi yang mana dua atau lebih stakeholders bernegosiasi, menetapkan dan memberikan garansi di antara mereka, serta membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak, dan tanggung jawab dari suatu daerah teritori atau sumber daya alam tertentu. Stakeholders adalah mereka yang terlibat dan terpengaruh oleh kebijakan (BorriniFeyerabend et al., 2000). Cla ri d g e & O’Ca l la g ha n ( 1 9 9 5 ) mengemukakan bahwa pengelolaan kolaboratif adalah partisipasi aktif dalam pengelolaan sumber daya oleh masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, yang mempunyai keterkaitan atau kepentingan dengan sumber daya tersebut sehingga dapat mengatasi kerusakan yang menjadi penyebab konflik. Dikemukakan pula bahwa ada tiga elemen penting dari pengelolaan kolaboratif, yaitu: 1. Pembagian wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya berdasarkan rencana yang dipahami dan disetujui oleh semua pihak. 2. Tujuan sosial, budaya, dan ekonomi merupakan bagian yang terintegrasi dari strategi pengelolaan. 3. Keberlanjutan pengelolaan sumber daya merupakan tujuan utama. Partisipasi penuh dari masyarakat akan menentukan keberhasilan co-management. Pemberian insentif, kepercayaan dan penguatan
58
•
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KONSERVASI BANTENG
kelembagaan dan kepedulian masyarakat, serta institusi akan mendukung keberlanjutan sumber daya alam (Rodgers et al., 2002). Comanagement dapat meningkatkan produktivitas sumber-sumber dan kreasi dari kondisi yang ada untuk memacu pengembangan masyarakat (Bowen, 2005). Co-management merupakan pengembangan lapangan dalam pengelolaan kawasan yang dilindungi. Pada dasarnya, tujuan utama yang ingin dicapai dari setiap pelaku dalam pengelolaan sumber daya melalui co-management adalah pengelolaan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata. Tujuan utama tersebut menjadi lebih konkrit dan lebih nyata ukuran keberhasilannya bila dikaitkan dengan beberapa tujuan sekunder, sebagai berikut: 1. Co-management merupakan suatu cara untuk mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif. 2. Co-management adalah mekanisme atau cara untuk mengurangi konflik masyarakat melalui proses demokrasi partisipatif. 3. Co-management mempunyai tugas-tugas dalam hal perumusan kebijakan, estimasi potensi sumber daya, penentuan hak-hak pemanfaatan, pengendalian, dan penegakan hukum. Co-management adalah suatu kesepakatan yang mana tanggung jawab pengelolaan sumber daya dibagi antara pemerintah di satu sisi dan stakeholders di sisi lain dengan tujuan untuk menjaga integritas ekologi sumber daya alam (National Round Table on the Environment and the Economy/NRTEE 1999). Prinsip dasar Co-management, yaitu 1) perberdayaan dan pembangunan kapasitas, 2) pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan tradisional, 3) perbaikan hak masyarakat lokal, 4) pembangunan berkelanjutan, 5) akuntabel dan transparan, 6) pelestarian lingkungan sumber daya, 7) pengembangan mata pencaharian, 8)
keadilan, dan 9) keterpaduan (Knight & Tighe, 2003). Tanggung jawab dan wewenang masingmasing pihak menentukan tipe atau bentuk kolaborasi yang dianut. Dalam hal ini, kerja sama merupakan inti dari co-management. Dari beberapa praktik yang telah dilakukan, co-management secara hirarki dapat ditentukan sebagai berikut (Sen & Nielsen, 1996 dalam Nikijuluw, 2002): 1. Instruktif. Dalam bentuk ini, tidak banyak informasi yang saling ditukarkan di antara pemerintah dan masyarakat. Hanya sedikit dialog antara kedua pihak, namun proses dialog yang terjadi bisa dipandang sebagai suatu instruksi karena pemerintah lebih dominan peranannya, yang mana pemerintah menginformasikan kepada masyarakat rumusan-rumusan pengelolaan sumber daya alam yang direncanakan pemerintah untuk dilaksanakan. 2. Konsultatif. Menempatkan masyarakat pada posisi yang hampir sama dengan pemerintah. Masyarakat mendampingi pemerintah dalam co-management. Oleh karenanya, terdapat mekanisme yang membuat pemerintah berkonsultasi dengan masyarakat. Hanya saja, sekalipun masyarakat bisa memberikan berbagai masukan kepada pemerintah, masukan tersebut digunakan atau tidak tergantung pada pemerintah; atau dengan kata lain, pemerintahlah yang berperan dalam merumuskan keputusan pengelolaan sumber daya alam. 3. Kooperatif. Menempatkan pemerintah dan masyarakat pada posisi yang sama atau sederajat. Dengan demikian, semua tahapan manajemen (sejak pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi dan pemantauan co-management) menjadi tanggung jawab kedua belah pihak. Pada bentuk ini, masyarakat dan pemerintah adalah mitra yang sama kedudukannya.
4. Advokasi atau pendampingan. Peran masyarakat cenderung lebih besar dari pemerintah. Masyarakat memberikan masukan kepada pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Masyarakat juga dapat mengajukan usul rancangan keputusan yang hanya tinggal dilegalisir oleh pemerintah, kemudian pemerintah mengambil keputusan dan menentukan sikap resminya berdasarkan usulan atau inisiatif masyarakat. Peran pemerintah lebih bersifat mendampingi masyarakat atau memberikan advokasi kepada masyarakat tentang apa yang mereka kerjakan. 5. Informatif. Pada satu pihak, peran pemerintah semakin berkurang; dan pada pihak lain, masyarakat memiliki peran yang lebih besar dibandingkan dengan empat bentuk kolaborasi lainnya. Pemerintah hanya memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang sepatutnya dikerjakan oleh masyarakat. Dalam kontribusinya yang lebih nyata, pemerintah menetapkan representasinya/delegasinya untuk bekerja sama dengan masyarakat dalam seluruh tahapan pengelolaan sumber daya, mulai dari pengumpulan data, perumusan kebijakan, implementasi, hingga pemantauan dan evaluasi. Tingkat, bentuk atau tipe pengelolaan kolaboratif (co-management) yang diacu berdasarkan hirarki yang digambarkan oleh Nikijuluw (2002) sebagaimana tertera dalam Gambar 20. Sementara, Gambar 21 mengilustrasikan wilayah pengelolaan kolaboratif yang berada di antara manajemen di bawah kontrol penuh pemerintah dan di bawah kendali penuh masyarakat sehingga arah kerja co-management mencakup berbagai cara dengan menerapkan manajemen kerja sama yang adaptif, meliputi konsultasi aktif, mencari konsensus, negosiasi, sharing otoritas dan tanggung jawab, serta transfer otoritas dan tanggung jawab.
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 59
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
Goverment based management
Konsultatif Instruksif Kooperatif Goverment based management Konsultatif Instruksif
Informatif
Pendampingan
User-‐group based management
Informatif
Pendampingan
Kooperatif
Sumber: Nikijuluw (2002)
User-‐group based management
Gambar 20. Level hierarki co-management
Gambar 20. Level hierarki co-‐management (Sumber: Nikijuluw 2002)
Kontrol Penuh Pemerintah
Kontrol bersama Pemerintah
Kontrol Penuh stakeholders
COLLABORATIVE MANAGEMENT Konsultasi secara
Mencari konsensus terbaik
Tidak ada intervensi & konstribusi stakeholders
Negosiasi (keterlibatan dlm pengamb kpts & kesepakatan
Sharing otorirtas Transfer & tanggung jwb otoritas & secara formal Tanggung Tidak ada intervensi & konstribusi pemerintah
Harapan stakeholkders meningkat Kontribusi, komitmen & akuntabilitas stakeholkders meningkat
Gambar 21. Arah kerja co-‐management (Sumber: Borrini-‐Feyerabend 1996) Sumber: Borrini-Feyerabend (1996) Gambar 21 mengilustrasikan wilayah pengelolaan kolaboratif yang
Gambar 21. Arah kerja co-management
berada diantara manajemen di bawah kontrol penuh pemerintah dan di bawah kendali penuh masyarakat, sehingga arah kerja co-‐management mencakup berbagai cara dengan menerapkan manajemen kerjasama yang adaptif, mulai
8.2 Kelembagaan Pengelolaan Kolaboratif Konservasi 2). Kelembagaan Pengelolaan Kolaboratif Konservasi Banteng Banteng Konservasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
dari konsultasi aktif, mencari konsensus, negosiasi, sharing otoritas dan tanggung jawab serta transfer otoritas dan tanggung jawab.
Konservasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk 86 mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan dan melestarikan. Menurut IUCN (1980), konservasi mencakup berbagai aspek positif, yaitu perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan, restorasi, dan penguatan lingkungan alam. Aspek perlindungan dan pemeliharaan mutlak harus dimiliki dalam konservasi satwa liar, khususnya banteng, melalui pengelolaan yang baik. Kawasan konservasi memiliki peran yang tidak tergantikan sebagai benteng perlindungan spesies (Bruner et al., 2011; Schulman et al., 2007) dan bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati (Dudley, 2008). Pengelolaan kolaboratif (Co-management) didefinisikan sebagai pembag ian atau
pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan dan melestarikan.
60
•
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KONSERVASI BANTENG
pendistribusian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah dan stakeholders dalam mengelola suatu sumber daya. Co-management terdiri dari beberapa tingkat/tipe kemitraan, serta derajat pembagian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah dan stakeholders (Sen & Nielsen, 1996 dalam Njaya, 2007). Berdasarkan derajat wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki, terbentuk rentang hirarki co-management, mulai dari bentuk yang mana pemerintah hanya memberitahukan atau menginformasikan kepada masyarakat atau stakeholders sebelum suatu peraturan pengelolaan sumber daya dirumuskan dan dijalankan hingga tingkat/tipe co-management yang mana masyarakat merancang, mengimplementasikan, dan menegakkan hukum dan peraturan tentang pengelolaan sumber daya dan peran pemerintah hanya membantu (Nikijuluw, 2002; BorriniFeyerabend, 1996). Tingkat/tipe co-management mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi terkait wewenang dan tanggung jawab dari stakeholders, yaitu 1) tingkat co-management instruktif, yang mana terdapat sedikit pertukaran informasi antara pemerintah dan stakeholders; 2) tingkat konsultatif, yaitu terdapatnya mekanisme pemerintah untuk mengonsultasikan program dan kegiatan dengan stakeholders, tetapi keputusan tetap berada di pemerintah; 3) tingkat kooperatif, yaitu bentuk pola kemitraan yang sesungguhnya, yang mana pemerintah dan stakeholders bekerja sama sebagai mitra yang setara dalam pengambilan keputusan; 4) tingkat advokasi (pendampingan), yaitu stakeholders memberi saran atau usul kepada pemerintah atas keputusan yang akan diambil dan pemerintah dapat menerimanya; dan 5) tingkat informatif, yang mana pemerintah telah memberikan wewenang dan tanggung jawabnya kepada stakeholders dalam pengambilan keputusan (Nikijuluw, 2002; Suporahardjo, 2005; Sen & Nielsen, 1996 dalam Njaya, 2007). Apabila suatu wewenang dan tanggung jawab stakeholders atau masyarakat rendah
pada suatu tingkat co-management, tanggung jawab dan wewenang pemerintah akan tinggi. Sebaliknya, apabila tanggung jawab dan wewenang stakeholders tinggi, tanggung jawab dan wewenang pemerintah menjadi rendah (Nikijuluw, 2002). Berdasarkan definisi dan tahapan dalam co-management, suatu karakteristik dari masing-masing tingkat/tipe
Tingkat Kolaboratif Instruktif
Karakteristik • Ada pemberitahuan dari pemerintah tentang pengelolaan kawasan konservasi atau pentingnya konservasi banteng • Pemerintah mendominasi kepentingannya • Pengambilan keputusan di tangan pemerintah
Konsultatif
• Ada konsultasi pemerintah kepada stakeholders terkait pengelolaan kawasan konservasi /konservasi banteng
co-management dapat ditentukan. Karakteristik, peran pemerintah dan stakeholders dalam lima tingkat atau tipe co-management konservasi banteng disajikan dalam Tabel 17. . Tabel 17. Karakteristik, peran pemerintah, dan stakeholders dalam lima tingkat comanagement konservasi banteng
Peran pemerintah
Peran stakeholders
• Sumber informasi tentang konservasi
• Sebagai obyek penerima manfaat konservasi banteng
• Pengelola kawasan konservasi
• Seringkali diposisikan sebagai penghalang terhadap kebijakan pengelolaan kawasan konservasi (belum ada kepercayaan)
• Decision maker (pengambil keputusan) terkait pengelolaan kawasan konservasi atau konservasi banteng
• Tidak ada peran yang signifikan dalam konteks kegiatan konservasi
• Sumber informasi tentang konservasi banteng
• Sebagai obyek pelaksana konservasi
• Pengelola kawasan dan populasi banteng
• Masih diposisikan sebagai penghalang pelaksanaan pengelolaan kawasan konservasi (belum ada /kepercayaan)
• Sudah ada kesediaan stakeholders • Decision maker (pengambil untuk berpartisipasi keputusan) terkait pengelolaan kawasan konservasi atau • Pemerintah masih mendominasi konservasi banteng dalam kepentingannya
• Belum ada peran yang signifikan dalam konteks kegiatan konservasi banteng
• Pengambilan keputusan di tangan pemerintah Kooperatif
• Pemerintah tidak mendominasi kepentingannya
• Sudah ada kesediaan stakeholders untuk berpartisipasi • Berbagi informasi tentang konservasi kawasan dan konservasi banteng dengan stakeholders
• Pengambilan keputusan dalam konservasi banteng dilakukan secara bersama antara pemerintah • Melakukan negosiasi dan dan stakeholders konsensus dengan stakeholders dan berbagi kontribusi dalam • Sudah ada kesetaraan antara pengelolaan kawasan dan pemerintah dan stakeholders konservasi banteng dalam pengambilan keputusan konservasi banteng • Ada proses negosiasi dalam konservasi banteng • Ada konsensus yang dihasilkan dari proses negosiasi
• Berbagi kewenangan dan tanggung jawab secara seimbang
• Berpartisipasi secara penuh dalam pengambilan keputusan konservasi banteng • Sebagai mitra yang sejajar dalam pengelolaan konservasi banteng • Berbagi informasi dengan pemerintah tentang konservasi kawasan dan konservasi banteng • Melakukan negosiasi dan konsensus dengan pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan program pengelolaan kawasan konservasi dan / konservasi banteng
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 61
Tingkat Kolaboratif
Advokasi
Karakteristik
Peran pemerintah
Peran stakeholders
• Ada pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang seimbang antara pemerintah dan stakeholders
• Mengambil keputusan terkait pengelolaan kawasan konservasi dan konservasi banteng secara bersama-sama dengan stakeholders
• Berbagi kewenangan dan tanggung jawab secara seimbang
• Saran/usulan dalam pengambilan keputusan konservasi banteng lebih didominasi oleh stakeholders
• Mempertimbangkan dan melegalisasi saran/usulan dari stakeholders
• Inisiasi, ide, inovasi perencanan dan program/kegiatan konservasi banteng berasal dari stakeholders
• Bertindak sebagai pendamping bagi stakeholders dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan konservasi banteng
• Membuat usulan yang penting dalam pengambilan keputusan pengelolaan konservasi banteng kepada pemerintah
• Pertimbangan pengambilan keputusan oleh pemerintah berdasarkan usulan dari stakeholders
• Mengambil keputusan terkait konservasi banteng secara bersama-sama dengan pemerintah
• Bertanggung jawab pada saran/ usulannya yang sudah dilegalisasi oleh pemerintah • Melaksanakan program kegiatan dan melaporkan hasil kegiatannya kepada pemerintah
• Pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar dari pemerintah kepada stakeholders Informatif
• Ada usul , ide, inovasi, dalam pengambilan keputusan mulai dari perencanaan hingga implementasi di inisiasi oleh stakeholders
• Memberikan /mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab kepada stakeholders • Pemerintah menempatkan representasinya untuk membantu stakeholders terutama dalam hal aturan main dalam konservasi banteng
• Membuat keputusan mulai dari perencanaan hingga implementasi dalam kegiatan pengelolaan konservasi banteng • Memberitahukan kepada pemerintah tentang keputusan yang diambil mulai dari perencanaan hingga implementasi
• Melakukan monitoring dan evaluasi • Ada pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab cukup besar dari pemerintah kepada stakeholders dalam konservasi banteng (transfer otoritas dan tanggung jawab secara formal) • Pemerintah menempatkan representasinya untuk membantu stakeholders • Pengambilan keputusan konservasi banteng dilakukan oleh stakeholders Sumber: Garsetiasih (2012)
62
•
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KONSERVASI BANTENG
• Bertanggung jawab pada keputusan yang diambil dan dalam pelaksanaan kegiatan serta melaporkan program kegiatan dan implementasinya kepada pemerintah
Penelitian manajemen konflik konservasi banteng dengan masyarakat telah dilakukan di dua taman nasional yaitu TN Alas Purwo dan TN Meru Betiri. Informasi dari beberapa aspek, yaitu aspek ekologi, sosial, ekonomi, dianalisis dengan AHP dan SWOT. Informasi tersebut dijadikan sebagai input dasar dalam perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan dan evaluasi. Terdapat empat program kegiatan utama yang dapat dijadikan kebijakan dan dilakukan secara kolaboratif dalam menyelesaikan konflik banteng dengan masyarakat dan konservasi banteng. Empat program kegiatan yang dimaksud, yaitu 1) peningkatan kualitas habitat padang penggembalaan, 2) pengembangan penangkaran banteng , 3) pengembangan ekowisata banteng, dan 4) pengembangan tanaman obat dan buah (Garsetiasih, 2012). Pengembangan penangkaran banteng dapat dilakukan dengan pemanfaatan semen banteng untuk dikawinkan dengan sapi masyarakat dengan teknologi yang digunakan oleh BBIB Singosari-Malang, Jawa Timur. Pengembangan tanaman obat dan buah dilakukan pada zona rehabilitasi atau zona pemanfaatan. Peningkatan kualitas habitat pakan di padang perumputan perlu dilakukan karena tidak memenuhi kebutuhan pakan banteng, baik secara luasan maupun kualitas dan kuantitas hijauan
pakan yang rendah. Pengembangan penangkaran perlu dilakukan karena sebagian besar masyarakat sekitar kawasan ingin memanfaatkan banteng untuk dikawinkan dengan sapi bali. Hal ini sesuai pula dengan program pemerintah dalam swasembada pangan. Pengembangan banteng sebagai objek wisata sangat sesuai dengan program Perusahaan Perkebunan dan Perum Perhutani yang dalam kegiatannya memasukkan aspek ekowisata, terutama untuk banteng yang sebagian aktivitas hariannya menggunakan areal perkebunan dan Perum Perhutani. Model kelembagaan konservasi banteng di TN Alas Purwo dan TN Meru Betiri dapat diaplikasikan pada taman nasional lainnya yang mempunyai karakteristik sama dan mempunyai masalah dengan konflik satwa liar, khususnya banteng, dan upaya konservasi banteng perlu dilakukan pengelolaan secara kolaborasi antara pihak-pihak terkait . Berdasarkan program kegiatan yang telah dilaksanakan pihak taman nasional yang diuji dengan karakteristik co-management menunjukkan hasil bahwa posisi tingkat/tipe co-management faktual dan harapan dalam upaya konservasi banteng di TN Alas Purwo dan TN Meru Betiri sebagaimana tersaji dalam Tabel 18.
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 63
64
•
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
Bentuk kegiatan
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KONSERVASI BANTENG
Stakeholder Faktual Exsisting Harapan
Instruk�f Konsulta�f Koopera�f Advokasi Informa�f
Peningkatan Kualitas Habitat (Padang Penggembalaan)
umum tidak hanya habitat
Kendala
memelihara rumput serta membuat percobaan
- Sudah ada konsultasi dengan - Telah ada program - Minat untuk bekerja • Telah program • Sudah adaPerhutani konsultasi stakeholders stakeholders (Perum dan denganperlindungan dan samaada masih perlu perlindungan Perkebunan) dan ada ketersediaan dari konservasi sumberdaya ditingkatkan karena dan konservasi sumberdaya (Perum Perhutani dan Perkebunan) dan ada masyarakat untuk berpartisipasi dalam alam hayati di TN kurangnya sosialisasi kesediaan dari perumputan masyarakat- untuk alam di TN kegiatan pembinaan padang Fokusberpartisipasi kegiatan pada darihayati TN kepada - Masyarakat dipekerjakan dalam pengelolaan stakeholders dalam kegiatan pembinaan padang memberantas tanaman jenis invasif , keanekaragaman hayati dan Persepsi • -Fokus kegiatan pada menanam dan memelihara rumput serta ekosistemnya atau masyarakat/stakeholde perumputan keanekaragaman membuat percobaan pemberantasan pemeliharaan habitat secara pengelolaan rs terhadap banteng jenis invasif umum tidak hanya habitat masihdan rendah hayati ekosistemnya atau • Masyarakat dipekerjakan dalam memberantas - Semua keputusan dalam pelaksanaan banteng sehingga dana - Dana pelaksanaan pengelolaan padang perumputanada terbagi kegiatan terbatas pemeliharaan habitat secara tanaman jenis invasif, menanam danuntuk beberapa pada TN kegiatan
Argumentasi/justifikasi
Program/kegiatan/upaya/tahun pencapaian
Program/kegiatan/upaya/ tahun pencapaian
• Teknis pengelolaan padang perumputantetap ada pada TN karena padang penggembabalaan berada pada zona rimba
• Kerjasama dapat berupa sharing dana dari Perhutani atau Perkebunan dengan melibatkan pihak ketiga
92 • Permenhut No. P.85/MenhutII/2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam [pengganti Permenhut P.19/ Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam]
dengan Perhutani dan Perkebunan perlu ditingkatkan
pemberantasan jenisatau invasif sehingga Harapan - Dapat dilakukan secara kooperatif - Program kegiatan -banteng Sosialisasi tentang dana terbagi kooperatif dikerjasamakan dengan perkebunan dan penyuluhan, sosialisasi konservasi dan untuk beberapa kegiatan perum • perhutani peraturan dan manfaat manfaat banteng Semua keputusan dalam pelaksanaan - Minat untuk bekerjasama dari konservasi banteng , perlu sangat minim pengelolaan padang pada TN stakeholders sudah ada tapi masih perumputanada ditingkatkan untuk - Kurangnya rendah karena TN kurang aktif dalam meningkatkan persepsi konsultasi, koordinasi Harapan kegiatan penyuluhan, • Dapat dilakukan secara kooperatif atau terhadap • Program menginisiasi stakeholders serta sosialisasi - Kerjasama dapat berupa sharing dana banteng kebijakan konservasi kooperatif sosialisasi peraturan dan manfaat dikerjasamakan dengan Perkebunan dan dari Perhutani atau Perkebunan dengan - Koordinasi dan kolaborasi banteng yang melibatkanPerum pihak ketiga dengan Perhutani dan dilakukan banteng, TN Perhutani konservasi perlu - Teknis pengelolaan padang Perkebunan perlu - Inisiasi TN dalam ditingkatkan untuk meningkatkan perumputantetap ada pada TN karena ditingkatkan mengajak • Minat untuk bekerjasama dari stakeholders padang penggembabalaan berada pada - Permenhut P.19/Menhutstakeholders untuk persepsi stakeholders terhadap zona rimbasudah ada, tetapi masih rendah II/2004 dapatTN dijadikan bekerjasama masih karena landasan kolaborasi dalam banteng rendah kurang aktif dalam menginisiasi pembinaan habitat dan populasi • Koordinasi dan kolaborasi
konsultatif
faktual konsultatif Faktual
Peningkatan Kualitas Habitat (Padang Penggembalaan)
Tingkat kolaborasi
Tingkat kolaborasi
• Inisiasi TN dalam mengajak stakeholders untuk bekerjasama masih rendah
• Kurangnya konsultasi, koordinasi, dan sosialisasi kebijakan konservasi banteng yang dilakukan TN
• Sosialisasi tentang konservasi dan manfaat banteng sangat minim
• Dana pelaksanaan kegiatan terbatas
• Persepsi masyarakat/ stakeholders terhadap banteng masih rendah
• Minat untuk bekerja sama masih perlu ditingkatkan karena kurangnya sosialisasi dari TN kepada stakeholders
Kendala
18. Kondisi faktual dan harapan tingkat co-management program kegiatan konservasi banteng di TN Alas Purwo dan TN Meru Betiri
Tabel 18. Kondisi faktual dan harapan tingkat co-‐management program kegiatan konservasi banteng di TNAP dan TNMB Bentuk kegiatan Argumentasi/justifikasi
Tabel
Pemerintah
92
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 65
Bentuk kegiatan
Tingkat kolaborasi
• Masyarakat sekitar kawasan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan teknis pemeliharaan tumbuhan sumber pakan banteng di lapangan
• Perkebunan Bandealit yang arealnya berbatasan langsung dengan kawasan TN dapat berkontribusi dalam pengelolaan habitat di kawasan TN sehingga pakan di dalam kawasan mencukupi dan banteng tidak mengganggu tanaman perkebunan
• Perum Perhutani sebagai BUMN Kemenhut dapat mendukung kegiatan pembinaan habitat dalam kawasan TN dan konservasi banteng, sehingga banteng tidak keluar dan tanaman di hutan produksinya tidak diganggu banteng
Argumentasi/justifikasi
• Kegiatan akan berjalan sesuai rencana jika dana tersedia, negosiasi dan kesepakatan sudah terbangun
• Program kegiatan pembinaan padang perumputanbanteng membutuhkan waktu empat tahun yang dilakukan secara berkala melalui : (1) pemberantasan jenis invasif dilakukan selama satu tahun (2) penanaman jenis-jenis rumput unggul dan disukai banteng selama satu tahun (3) perluasan padang perumputandan penanaman rumput pada lokasi perluasan memerlukan waktu selama dua tahun
• Prediksi waktu yang dibutuhkan dari tingkat konsultatif ke kooperatif membutuhkan waktu dua tahun (koordinasi, membangun negosiasi dan kesepakatan, persiapan dalam kontribusi dana, SDM, dan teknologi)
Program/kegiatan/upaya/ tahun pencapaian
• Tingginya kecepatan tumbuh jenis invasif yang menurunkan kualitas habitat dan daya dukung
• Inisiasi TN dalam mengajak stakeholders untuk bekerjasama masih rendah
Kendala
66
•
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KONSERVASI BANTENG
Faktual Exsis�ng
Harapan
Stakeholder
Instruk�f Konsulta�f Koopera�f Advokasi Informa�f
Argumentasi/justifikasi - Program perlindungan dan
Kendala
- Belum dibangun
Program/kegiatan/upaya/ tahun pencapaian
Harapan Informatif
Informatif
• Permenhut No. P.85/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
• Kemungkinan untuk dikerjasamakan dengan pihak swasta terbuka
• Program IB sapi bali masyarakat sudah ada dan dilaksanakan oleh Dinas Peternakan
• Teknologi pengambilan dan pemanfaatan semen sudah ada di BBIB
Dinas Peternakan)
- Membangun kelembagaan konsultasi, partisipasi, koordinasi, negosiasi dan kesepakatan kerjasama , pembuatan juknis, juklak dengan stakeholders selama satu tahun
dalam pengembangan penangkaran dari tingkat instruktif ke kooperatif dan advokasi membutuhkan waktu 94 tiga tahun selanjutnya sampai ke informatif tambah empat tahun sehingga total waktu selama tujuh tahun dengan tahapan kegiatan:
dimanfaatkan (PP no 8 tahun 1999) pemanfaatan hewan diluar berkoordinasi dan Beluminstansi dibangun konsultasi,ternak partisipasi, - Adanya• beberapa pemerintah dari BBIB berkolaborasi masih yang mau berkoordinasi dan kesepakatanKementerian Pertanian rendah negosiasi dan dalam kegiatan bekerjasama (BBIB, Dinas Peternakan) - Prediksi waktu yang - Pembuatan aturan yang pemanfaatan genetik banteng - Teknologi pengambilan dan sumber dayadibutuhkan dalam memerlukan waktu pemanfaatandengan semen sudah ada di BBIB pengembangan penangkaran lama masyarakat - Program IB sapi Bali masyarakat sudah dari tingkat instruktif ke - Dana TN terbatas ada dan dilaksanakan oleh Dinas kooperatif dan advokasi • Banteng hasil penangkaranmembutuhkan dapat • Telah ada program pemanfaatan Peternakan waktu tiga - Kemungkinan untuk dikerjasamakan tahun 1999) selanjutnya sampai ke dimanfaatkan (PP No. 8 Tahun hewan diluar ternak dari BBIB dengan pihak swasta terbuka. informatif tambah empat Kementerian Pertanian - Permenhut Nomor P.19/ Menhut-II/2004 tahun , total waktu selama • Adanya beberapa instansi pemerintah yang tujuh tahun dengan tahapan tentang Kolaborasi Pengelolaan mau berkoordinasi dan bekerjasama (BBIB, • Prediksi waktu yang dibutuhkan kegiatan : Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Program perlindungan dan Faktual • Banteng satwa dilindungi (PP No. 7sumberdaya Tahun di • kelembagaan FaktualInstruktif tahun 1999) konservasi khusus Instruktif - Perlindungan terhadap banteng yang ada TN khusus untuk banteng - Belum ada koordinasi konservasi sumberdaya di 1999) hanya sebatas pada kegiatan dengan stakeholders dalam kawasan TN merupakan TN khusus untuk banteng inventarisasi populasi dan - Belum ada program tanggung jawab pemerintah (TN) • Perlindungan terhadap banteng yang ada pemeliharaan padang kegiatan penangkaran - Di TN ada kegiatan peminjaman hanya sebatas pada kegiatan perumputantetapi tidak yang mengarah pada banteng kepada TSI untuk dalam kawasan TN merupakan tanggung teratur (kontinue) pemanfaatan dikembangkan yang mengarah pada inventarisasigenetik populasi dan jawab pemerintah (pengelola TN) banteng untuk kegiatan pemanfaatan plasma nutfah pemeliharaan padang masyarakat banteng • Di TNkonsultasi, ada kegiatan peminjaman banteng - Keterbatasan dana - Belum dibangun partisipasi , perumputantetapi tidak teratur negosiasi dan kesepakatan dalam dikembangkan yang kepada TSI untuk (kontinu) kegiatan pemanfaatan sumber daya mengarah pada kegiatan pemanfaatan plasma genetik banteng dengan masyarakat nutfah banteng Harapan - Banteng hasil penangkaran dapat - Telah ada program - Inisiasi dari TN untuk
- Banteng satwa dilindungi (PP no 7
Program/kegiatan/upaya/tahun pencapaian
Argumentasi/justifikasi
genetik banteng)
Tingkat kolaborasi Tingkat
kolaborasi Pengembangan penangkaran banteng (Pemanfaatan Pengembangan penangkaran banteng (Pemanfaatan genetik banteng)
Bentuk kegiatan
Tabel 18 Lanjutan-2 Bentuk kegiatan
Pemerintah
94
• Dana TN terbatas
• Pembuatan aturan yang memerlukan waktu lama
• Inisiasi dari TN untuk berkoordinasi dan berkolaborasi masih rendah
• Keterbatasan dana
• Belum ada program kegiatan penangkaran yang mengarah pada pemanfaatan genetik banteng untuk masyarakat
• Belum ada koordinasi dengan stakeholders
• Belum dibangun kelembagaan khusus
Kendala
Bentuk kegiatan
Faktual Exsis�ng
Harapan
Stakeholder
Instruk�f Konsulta�f Koopera�f Advokasi Informa�f
Pengembangan Pengembangan EkowisataEkowisata Banteng
Banteng
Bentuk kegiatan
Tabel 18 Lanjutan-4
Pemerintah
Harapan Advokasi
Faktual faktual konsultatif konsultatif
Tingkat kolaborasi
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
Argumentasi/justifikasi
Program/kegiatan/upaya/tahun pencapaian
• Pelibatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata baru pada sebatas sebagai penjualjasa - Program pengembangan Kegiatan ekowisata banteng dapat lingkungan dan wisata alam hasil tanaman dikolaborasikan dengan Perum obat dan buah
menyediakan hasil home industry seperti tanaman obat dan kripik nangka
TN ditingkatkan Perhutani di TNAP, dengan Perkebunan - Prediksi waktu yang di TNMB, lembaga masyarakat dan dibutuhkan dari konsultatif Dinas Pariwisata - Permenhut Nomor P.19/ Menhut-II/2004 ke advokasi selama enam tahun dengan tahapan tentang Kolaborasi Pengelolaan kegiatan : Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan - Peningkatan persepsi, Pelestarian Alam sikap/budaya masyarakat -
-
- Membangun bank semen dan implementasi kegiatan IB dengan sapi bali masyarakat untuk meningkatkan produktivitas sapi Bali selama satu tahun
- Pemanfaatan semen banteng jantan dari TN dan uji coba IB dengan banteng betina, uji coba IB banteng jantan dengan sapi bali selama satu tahun
Program/kegiatan/upaya/ tahun pencapaian
- Rendahnya komunikasi antara TN dan stakeholders - Ketersediaan dana yang terbatas di TN - Ketersediaan dana yang terbatas di PEMDA untuk membangun sarana prasarana seperti jalan
- Dana yang tersedia • tidak Program kegiatan hanya untuk kegiatan ekowisata pengembangan jasa lingkungan banteng tetapi untuk dan kegiatan wisata alam seluruh jasa di TN lingkungan - Belum ada kolaborasi dan koordinasi dengan stakeholders , belum adau program paket ekowisata banteng dengan obyek wisata lainnya seperti agrowisata perkebunan, tanaman obat dan buah, obyek pantai, penyu serta jasa lingkungan lainnya.
Kendala
- Program ke depan pemanfaatan secara langsung F2 dari hasil penangkaran dapat dimanfaatkan pada tahun ke delapan
selama empat tahun
- di Hasil F1 dari penangkaran Bioekologi dan Konservasi Banteng Indonesia
Argumentasi/justifikasi
- Program kegiatan - Sudah ada• konsultasi Sudah dengan ada konsultasi dengan stakeholders/ pengembangan jasa stakeholders/ masyarakat lingkungan dan wisata alam masyarakat - Keputusan kegiatan ekowisata dalam di TN kawasan TN diputuskan dan dikelola • Keputusan kegiatan ekowisata dalam kawasan langsung oleh TN - Masyarakat/stakeholders sudah tahu TN diputuskan danada dikelola langsung oleh TN kegiatan ekowisata di TN termasuk ekowisata• banteng Masyarakat/stakeholders sudah tahu ada - Masyarakat/ stakeholders berpartisipasi kegiatan di TN termasuk ekowisata dalam menyediakan hasilekowisata home industry seperti tanaman obat, kripik nangka banteng - Pelibatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata• baru pada sebatas stakeholders sebagai Masyarakat/ berpartisipasi dalam penjual hasil tanaman obat dan buah
Tingkat kolaborasi
96
• 67
• Belum ada kolaborasi dan koordinasi dengan stakeholders, belum ada program paket ekowisata banteng dengan obyek wisata lainnya seperti agrowisata perkebunan, tanaman obat dan buah, obyek pantai, penyu serta jasa lingkungan lainnya.
• Dana yang tersedia tidak hanya untuk kegiatan ekowisata banteng tetapi untuk seluruh kegiatan jasa lingkungan
Kendala
68
•
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KONSERVASI BANTENG
Bentuk kegiatan Harapan Advokasi
Tingkat kolaborasi
• LSM melakukan pendampingan bagi masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya dalam menunjang ekowisata
• Masyarakat dapat dilibatkan sebagai pendukung kegiatan ekowisata seperti guide, pembuatan cendera mata, menyediakan produk hasil home industry tanaman obat dan buah seperti temu lawak, kunyit, wedang jahe, kedawung, kripik nangka yang sekarang sudah berjalan tetapi belum optimal
• Keinginan mengembangkan ekowisata banteng yang dipadukan dengan agrowisata dan obyek lainnya sehingga meningkatkan keragaman obyek daya tarik wisata (ODTWA).
• Usul, inisiasi, ide, inovasi kolaborasi ekowisata banteng di areal perhutani dan perkebunan datang dari stakeholders (Perhutani, Perkebunan dan Lembaga Masyarakat)
• Permenhut No. P.85/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
• Kegiatan ekowisata banteng dapat dikolaborasikan dengan Perum Perhutani di TN Alas Purwo dan dengan Perkebunan di TN Meru Betiri, lembaga masyarakat dan Dinas Pariwisata
Argumentasi/justifikasi
• Dapat didukung dengan Pemda
- Pembangunan /peningkatan SDM termasuk SDM masyarakat sekitar sebagai guide, pembuat cendera mata dan hasil home industry, sarpras penunjang ekowisata, dan promosi ekowisata selama tiga tahun
- Perkebunan (di TNMB) atau Perum Perhutani ( di TNAP), Dinas Pariwisata setempat membuat usulan rencana jangka panjang dengan penyediaan dana, SDM dan sarpras penunjang ekowisata selama satu tahun
- Membangun koordinasi, negosiasi dan kesepakatan dengan stakeholder terkait (Dinas Pariwisata, PEMDA setempat) selama satu tahun
- Peningkatan persepsi, sikap/ budaya masyarakat untuk pengembangan ekowisata selama satu tahun
• Ketersediaan dana yang terbatas di TN
• Prediksi waktu yang dibutuhkan dari konsultatif ke advokasi selama enam tahun dengan tahapan kegiatan :
• Terbatasnya biaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat
• Ketersediaan dana yang terbatas di PEMDA untuk membangun sarana prasarana seperti jalan
• Rendahnya komunikasi antara TN dan stakeholders
Kendala
• Program pengembangan jasa lingkungan dan wisata alam TN ditingkatkan
Program/kegiatan/upaya/ tahun pencapaian
Bentuk kegiatan
dan Buah
Faktual Exsis�ng
Harapan
Stakeholder
Instruk�f Konsulta�f Koopera�f Advokasi Informa�f
Pengembangan Obat Pengembangan Tanaman Tanaman Obat dan Buah
Bentuk kegiatan
Tabel 18 Lanjutan-6
Pemerintah
Faktual faktual kooperatif kooperatif
kolaborasi
• Ada koordinasi dengan BPDAS dalam kegiatan penanaman
• TN, LSM dan masyarakat dengan kelompok taninya melakukan monitoring dan evaluasi secara bersama
pohon yang dikembangkan yaitu jenis pohon MPTS setempat
Program/kegiatan/upaya/tahun pencapaian
Argumentasi/justifikasi Argumentasi/justifikasi
98
di
Program/kegiatan/upaya/ tahun pencapaian Kendala
- Sudah dibangun kolaborasi (partisipasi, Kegiatan pengayaan • Kegiatan pengayaan tanaman • Sudah dibangun kolaborasi- (partisipasi, - Hasil produksi dan negosiasi dan kesetaraan, kesepakatan, tanaman di zona zona rehabilitasi TN negosiasi dan kesetaraan, kesepakatan, pemasarannya belum pembagian kewenangan dan tanggung jawab rehabilitasi i TN kewenangan dan tanggung - Kegiatan membangun yang dimulai pembagian sejak tahun 1999 dan • optimal Kegiatan membangun - Dibutuhkan kelembagaan HHBK kesepakatan formal jawabtahun yang2003 dimulai sejak tahun 1999 dan kelembagaan HHBK dengan dengan Perguruan Tinggi stakeholders - Masyarakat diijinkan untuk menggarap kesepakatan formal tahun -2003 pendukung lainnya Kegiatan koordinasi lahan di zona rehabilitasi , tanaman yang Perguruan Tinggi untuk meningkatkan dengan BPDAS dikembangkan adalah MPTS seperti • Masyarakat diizinkan untuk menggarap • produksi Kegiatan koordinasi dengan dan teknologi penanaman di zona tanaman obat dan buah yang hasilnya dapat di zona rehabilitasi , tanaman yang rehabilitasi dimanfaatkanlahan oleh masyarakat, diversifikasi hasil untuk BPDAS penanaman di zona - Di bawah tegakan pohon masyarakat meningkatkan hasil dikembangkan adalah MPTS seperti rehabilitasi diijinkan menanam tanaman semusim, produksi dan harga jual tanaman obat dan buah yang hasilnya dapat sambil melakukan pemeliharaan tanaman - Keinginan atau ide dimanfaatkan oleh masyarakat, pokok stakeholders belum - LSM melakukan pendampingan untuk diprogramkan dan • Dikemampuan bawah tegakan pohon masyarakat meningkatkan masyarakat, dilaksanakan secara - TN menyediakan optimal bibit dan menentukan jenis diizinkan menanam tanaman semusim, sambil pohon yang dikembangkan yaitu jenis pohon melakukan pemeliharaan tanaman pokok MPTS setempat - TN, LSM• danLSM masyarakat dengan kelompok melakukan pendampingan untuk taninya melakukan monitoring dan evaluasi meningkatkan kemampuan masyarakat, secara bersama - Ada koordinasi dengan BPDAS dalam • TN menyediakan bibit dan menentukan jenis kegiatan penanaman
Tingkat Tingkat kolaborasi
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
98
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 69
• Keinginan atau ide stakeholders belum diprogramkan dan dilaksanakan secara optimal
• Dibutuhkan stakeholders pendukung lainnya untuk meningkatkan produksi dan teknologi diversifikasi hasil untuk meningkatkan hasil produksi dan harga jual
• Hasil produksi dan pemasarannya belum optimal
Kendala
70
•
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KONSERVASI BANTENG
Bentuk kegiatan Harapan Advokasi
Tingkat kolaborasi
• Permenhut No. P.85/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
• Stakeholders sudah dapat meningkatkan kapasitasnya dalam diversifikasi produk seperti produk kripik nangka, pisang dan tanaman obat dengan kemasan yang lebih baik
• Stakeholders berkeinginan / mengusulkan peningkatan kewenangan dalam pemilihan jenis komoditas yang dikembangkan di zona rehabilitasi
• Kegiatan yang berjalan belum dapat meningkatkan ekonomi masyarakat secara optimal
• Stakeholders sudah bekerjasama dan berbagi peran dan tanggung jawab dengan TN
• Sudah terlibat bentuk kolaborasi dalam tingkat kooperatif
Argumentasi/justifikasi
• Masih ada kekhawatiran dari TN jika stakeholder diberi kewenangan yang lebih tinggi
- Stakeholders diberi kewenangan dalam menentukan jenis komoditi sesuai aturan yang lebih bernilai ekonomi dengan tetap mempertahankan kelestarian ekosistem TN
- Peningkatan sarana pengolahan hasil panen, promosi dan pemasaran produk hasil panen selama dua tahun
- Program kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan hasil panen tanaman semusim dan tanaman obat dan buah oleh penyuluh terkait (Dinas Pertanian, Kehutanan dan Pertanian) selama satu tahun
- TN meningkatkan koordinasi dengan Dinas Perindustrian, Dinas Perdagangan dan LSM untuk meningkatkan keterampilan masyarakat selama satu tahun
• Kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat masih rendah/belum optimal
Kendala
• Prediksi waktu yang dibutuhkan dari tingkat kooperatif ke advokasi selama empat tahun dengan tahapan :
Program/kegiatan/upaya/ tahun pencapaian
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 71
Sumber: Garsetiasih (2012)
Pengembangan tanaman obat dan buah di TN Alas Purwo (Faktual)
Bentuk kegiatan Instruktif
Tingkat kolaborasi
Program/kegiatan/upaya/ tahun pencapaian
• Semua keputusan dalam pengelolaan zona rehabilitasi ada di TN
• Kasus di TN Alas Purwo: Kerja sama antara • Status tanaman jati pada kawasan bekas penyangga TN, masyarakat dan LSM dalam pengelolaan masih dalam pembahasan zona rehabilitasi ( kawasan bekas penyangga) telah selesai. Tahun 2011, masyarakat dilarang dengan Perum Perhutani yang sebelumnya diberi tanggung berkegiatan di zona bekas penyangga jawab dan kewenangan sebagai • Belum dibangun kembali kolaborasi pengelola kawasan bekas • Masyarakat masih sangat berkeinginan untuk penyangga kembali mengelola kawasan bekas penyangga dengan tanaman MPTS
Argumentasi/justifikasi • Masih belum ada kesepakatan yang tertulis antara Perum dan TN
Kendala
Analisis AHP menunjukkan bahwa tingkat co-management program kegiatan terdapat sedikit perbedaan dalam menentukan tingkat/ tipe/bentuk co-management. Berdasarkan AHP, tingkat co-management untuk kegiatan pembinaan habitat berada pada tingkat instruktif; padahal, secara faktual berada pada tingkat konsultatif dan harapannya dapat ditingkatkan lagi hingga pada tingkat kooperatif. Program kegiatan pengembangan penangkaran dari instruktif dapat dilakukan secara kooperatif, bahkan pengembangan penangkaran dapat ditingkatkan pada tingkat/tipe informatif. Perbedaan dalam menentukan tingkat comanagement terjadi karena dalam AHP hanya didasarkan pada definisi dan konsep dari masingmasing tingkat co-management tanpa melihat karakteristik dan faktual di lapangan. Namun, hasil AHP tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan banteng pada prinsipnya harus dilakukan secara kolaboratif. Dari hasil analisis stakeholders, AHP, dan analisis SWOT di TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo dihasilkan matriks teknis kelembagaan comanagement konservasi banteng. Kepentingan
stakeholders, fungsi dan mekanisme, serta aturan yang dibutuhkan dalam kelembagaan co-management disajikan pada Tabel 19. Kesepakatan co-management yang akan dibangun dalam pelaksanaannya harus dikawal dan dievaluasi secara terus-menerus. Hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki jika terdapat kekurangan karena co-management merupakan proses saling belajar yang hasilnya dapat diterapkan untuk perbaikan ke depan dalam pengelolaan sumberdaya alam (BorriniFeyerabend et al., 2000). Co-management tidak mudah diterapkan jika para stakeholders tidak konsisten dengan komitmen dan kesepakatan yang sudah dibangun sehingga partisipasi penuh stakeholders akan menentukan keberhasilan comanagement (Rodgers et al., 2002). Lemahnya partisipasi dan komitmen dalam co-management, seperti di TN Kayan Mentarang, menyebabkan pengelolaan kolaboratif yang dibangun selama sepuluh tahun belum berjalan secara optimal (Rukman, 2009).
Tabel 19. Matriks teknis pengelolaan dalam kelembagaan co-management di TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo No 1
72
Stakeholder Masyarakat
•
Kepentingan Utama Memenuhi kebutuhan hidup dari pemanfaatan SDA Taman Nasional
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KONSERVASI BANTENG
Peran/Fungsi Pemelihara sekaligus memanfaatkan SDA dari zona pemanfaatan
Mekanisme • Melalui pendampingan oleh LSM dan Balai TN • Ikut dalam pembinaan habitat sebagai pelaksana di lapangan, pengembangan tanaman obat dan buah melalui penanaman dan pemanfaatan, ekowisata sebagai pelaksana kegiatan (guide dan penyedia cindera mata) serta pemanfaat semen banteng melalui IB
Aturan SK Dirjen KSDAE, MOU, aturan kelompok masyarakat contohnya: penentuan jenis tanaman yang ditanam di zona rehabilitasi
No 2.
Kepentingan Utama BTMB dan BTAP Mengelola kawasan TN dalam melestarikan Banteng Stakeholder
Peran/Fungsi • Pemegang otoritas dan tanggung jawab dalam pengelolaan kawasan (pelestarian banteng) • Penyedia dana
Mekanisme
Aturan
Rencana jangka pendek, menengah dan panjang dalam penyedia dana, SDM dan peraturan-peraturan teknis
SK Dirjen KSDAE, SK Ka. Balai TN, MOU
Rencana jangka pendek, menengah dan panjang dalam penyedia dana, SDM, sarpras dan peraturan peraturan teknis
SK Direksi Perkebunan, MOU
Rencana jangka pendek, menengah dan panjang dalam penyedia dana, SDM dalam peraturan teknis
SK Direksi Perum Perhutani, MOU
• Penyedia SDM • Melaksanakan KISS (koordinasi, integrasi, sinergitas dan sinkronisasi) dengan stakehoders 3
Perkebunan (TN Meru Betiri)
Menjaga kelangsungan produksi usaha perkebunan
• Melaksanakan KISS dengan TN • Penyedia dana, mengelola kawasan kebun dengan memberdayakan masyarakat sekitar • Berkontribusi dalam pembinaan habitat
4.
Perum Perhutani (TN Alas Purwo)
Meningkatkan produktivitas hasil hutan dalam kawasan yang dikelolanya
• Pengembangan ekowisata yang terkait banteng • Melaksanakan KISS dengan TN • Penyedia dana, mengelola kawasan hutan produksi dengan memberdayakan masyarakat • Berkontribusi dalam pembinaan habitat
5.
LSM
• Pendampingan/ advokasi masyarakat, • Pelestarian SDA
• Pengembangan ekowisata yang terkait banteng Mitra TN dalam pengelolaan kawasan dan banteng melalui penyuluhan untuk merubah sikap dan persepsi terhadap banteng, pendampingan dalam kegiatan ekowisata, pengembangan tanaman obat dan buah
Melaksanakan koordinasi dalam menentukan rencana kerja BTN dan rencana LSM, dalam pemilihan jenis tanaman, penentuan luas lahan bagi masyarakat, memberikan informasi kepada TN
MOU
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 73
No
Stakeholder
6
BBIB (Balai Besar Inseminasi Buatan)
Kepentingan Utama Pengembangan genetik sapi bali
Peran/Fungsi
Mekanisme
• Mitra dalam pengembangan pemanfaatan genetik banteng
Pemanfaatan genetik banteng dikoordinasikan dengan Balai TN. Balai TN menyediakan indukan, teknologi dan pelaksanaan pengambilan semen serta pelaksanaan dan pemanfaatan semen dilakukan oleh BBIB
SK Dirjen KSDAE tentang Pemanfaatan banteng MOU
Melakukan koordinasi dengan Balai TN, LSM dan lembaga desa dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan, perijinan, penyediaan informasi dalam kegiatan co-management yang dilakukan oleh stakeholders terkait konflik
Kesepakatan dengan stakeholders terkait konflik sesuai kebutuhan dalam implementasi program kegiatan
• penyedia dana dan teknologi IB (Inseminasi buatan) 7
Instansi teknis Pemerintah Kabupaten (Dinas Kehutanan Perkebunan, Pertanian, Peternakan, Pariwisata)
Menyelenggarakan pemerintahan sesuai sektornya masing-masing
Melaksanakan pelayanan kepada masyarakats di masingmasing sektornya melalui penyuluhan, menyediakan informasi dan membantu pelaksanaan (implementasi) program kegiatan Comanagement
Aturan
Sumber: Garsetiasih (2012)
Peran dan fungsi, serta kewenangan stakeholders akan menghasilkan teknik manajemen kolaboratif untuk masing-masing kegiatan yang telah ditentukan. Setiap pogram kegiatan harus dipayungi dengan Surat Keputusan (SK) Dirjen KSDAE dan secara teknis ditindaklanjuti dengan surat keputusan tentang kelembagaan kolaboratif di taman nasional oleh Kepala Balai Taman Nasional dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) dan dijabarkan dalam Memorandum of Undestanding (MOU) antar-stakeholders yang terlibat dengan kegiatan tertentu. Atas dasar SKB antarlembaga yang berkepentingan, MOU dibuat untuk masing-masing kegiatan. Hal ini dikarenakan tidak semua stakeholders ikut dalam program kegiatan yang sama. Kelembagaan kolaboratif perlu dibentuk sebagai wadah organisasi yang berfungsi koordinatif dan konsultatif untuk kegiatan comanagement agar pemanfaatan sumber daya alam dapat memberi kontribusi terhadap konservasi taman nasional dan kesejahteraan masyarakat
74
•
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KONSERVASI BANTENG
(Purwanti et al., 2008). Matriks peran dan lembaga terkait dalam mengoptimalkan fungsi comanagement untuk optimalisasi program kegiatan konservasi banteng disajikan dalam Tabel 20. Fun g s i - f un g s i m a n a j e m e n un t u k melaksanakan program kegiatan, seperti perencanaan, organisasi, pelaksanaan, dan evaluasi dilakukan secara berulang-ulang sesuai dengan tingkatan capaian hasil pelaksanaan program dan merupakan siklus putaran yang berkelanjutan. Siklus ini tidak hanya terjadi dalam fungsi-fungsi manajemen namun dimungkinkan untuk meninjau program kegiatan yang sedang berlangsung hingga tercapainya pengelolaan ekosistem, biofisik dan sosial ekonomi, peningkatan populasi, fungsi dan pemanfaatan banteng dalam konteks pelestarian taman nasional dan konservasi banteng.
Tabel 20. Matriks peran, lembaga dan stakeholders dalam manajemen kolaborasi penyelesaian konflik (konservasi banteng) di TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo Peran dan Stakeholders
Perhutani/ Perkebunan
Dishutbun
Bappeda
Dinas Pertanian/ Peternakan
Dinas Pariwisata
Balai Besar Inseminasi Buatan
Perencanaan
LSM
A.
Masyarakat
No.
Tidak Terkait Konflik
Balai Taman Nasional
Terkait Konflik Fungsi Manajemen/ Program/ Kegiatan
1,2,3,5
1,5
4
1,3,5
3,5
1,2,5
4,5
2,4,5
1,2,4,5
B.
Pengorganisasian
1,3,4
1,3,5
1,2,3,4
2,3,5
2,3,4,5
4
4
4
4
C.
Pelaksanaan
1,2,5
5
4,5
2,5
2,5
-
2,4,5
2,4,5
2,4,5
D.
Pengawasan
1,2,5
5
5
5
-
-
5
5
5
Keterangan : 1. Inisiator, 2. Penyediaan dana, 3. Regulator, 4. Pendampingan, dan 5. Pelaksanaan Kegiatan Sumber: Garsetiasih (2012)
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 75
9 PENUTUP Buku Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia menuturkan tentang degradasi habitat dan ancaman berupa perburuan liar, penyakit, inbreeding depression, dan predator terhadap populasi banteng karena sebaran alami satwa ini di beberapa daerah sudah tidak ditemukan lagi. Keberadaan banteng menjadi penting karena keragaman genetikanya saat ini cukup rendah. Selain itu, banteng merupakan plasma nutfah yang dapat dimanfaatkan untuk perbaikan kualitas sapi bali. Untuk mengantisipasi kepunahan satwa banteng, Kementerian LHK bersama stakeholders terkait telah memprogramkan peningkatan populasi banteng sebesar 10% yang dituangkan dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Banteng Tahun 20102020, serta kegiatan-kegiatan penunjang untuk mewujudkan keberhasilan dan kesuksesan SRAK dimaksud. Kegiatan-kegiatan penunjang berupa penelitian sebagai dasar informasi ilmiah yang mencakup morfologi dan penyimpangan fisik, parasit, reproduksi, sebaran dan populasi, habitat, perilaku, pola penggunaan ruang, hijauan dan kandungan gizi pakan banteng dalam rangka pengembangan penangkaran untuk peningkatan populasi dan pemanfaatan banteng. Dukungan informasi ilmiah dalam konservasi banteng yang termasuk Appendix II CITES dan dilindungi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 belum memberikan hasil yang optimal,
terutama dalam menunjang konservasi secara in situ. Konservasi in situ banteng di taman nasional hendaknya dimulai dengan mengubah persepsi negatif tentang keberadaan banteng yang dianggap sebagai hama atau satwa pengganggu oleh masyarakat sekitar kawasan yang berpotensi memicu konflik. Untuk meminimalisasi terjadinya konflik antara masyarakat dan satwa banteng, dukungan dan kerja sama diperlukan antara para pihak pengelola kawasan terkait dan yang berkepentingan untuk keberlangsungan konservasi banteng.
Upaya para pihak untuk mewujudkan kelestarian banteng dilakukan dengan tujuan perbaikan peningkatan keragaman genetik plasma nutfah banteng yang terdapat di Lembaga Konservasi (ex situ), program penangkaran semi alami, pemeliharaan atau pembinaan habitat di padang penggembalaan dari ancaman jenis invasif spesies dan untuk meningkatkan produktivitasnya, membangun kelembagaan sebagai solusi alternatif dalam bentuk pengelolaan banteng secara kolaboratif (co-management) dengan mengakomodasi peran dan kepentingan stakeholders. Buku ini juga mengupas tentang model pengelolaan banteng secara kolaboratif di TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo yang melibatkan berbagai stakeholder untuk menunjang upaya konservasi banteng.
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 77
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.A.N., R.R. Noor, H. Martoyo & D.D. Solihin. 2008. Karakterisasi sapi Aceh dengan menggunakan mikro satelit. J. Indon. Trop. Anim. Agric, 33 (3):165175. Allendorf, F.W and G. Luikart. 2008. Conser vation and the genetics of population. Blackwell Publishing , Victoria. Alikodra HS. 1979. Dasar-Dasar Pembinaan Margasatwa. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Alikodra HS, Palete R. 1980. Laporan Potensi Makanan Banteng (Bos Javanicus) di Cagar Alam Ujung Kulon. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Alikodra HS. 1983. Ekologi banteng (Bos javanicus d’Alton) di Taman Nasional Ujung Kulon [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. __________. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. __________. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan penerbit Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. __________. 2010. Teknik Pengelolaan Satwaliar Dalam Rang ka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: IPB Press. __________. 2011. Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Suatu Upaya untuk Menyelamatkan Bumi dari Kerusakan. Amman, H. 1985. Contribution to The Ecology and Sociology of The Javan Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822).
Inaugural Disertation Philoshopisch Naturwisseenschattlichen Fakultat der Universitat Basel. Basel. Anonimous. 2006. Ekologi dan Konservasi Banteng Di Taman Nasional Meru Betiri. Laporan Tahunan Penelitian Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Tidak dipublikasikan. Awang AS. 2006. Tiga Puluh Lima Persen Masyarakat Sekitar Hutan Miskin. http://www.tempointeraktif.com/hg/ ekbis/2006/08/19/brk.20060819-82218. id.html. Diakses 9 Agustus 2010. Bismark M, Garsetiasih R, Iskandar S, Subiandono E, Sawitri R dan Heriyanto, N.M. dan Mukhtar A.S. 2003. Daya Dukung Habitat Sebagai Parameter Dominan Dalam Pengelolaan Populasi Satwaliar Di Alam. Paket Teknologi. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam . Bogor Bismark M. 2008. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Bismark M. 1985. Komunikasi Pribadi. Bleskadik, N. 2009. Sejarah kebudayaan Hanoi. Diakses 20 Januari 2016 dari http:// hanoi5b.wordpress. Com/2009/09. sejarah kebudayaan. Borrini-Feyerabend G, Farvar MT, Nguinguiri J C , Ndang ang VA . 2000. Co Managementof Natural Resources : Organising, Negotiating and Learning by-Doing. GTZ Germany and IUCN Regional Office for Central Afrika (ROCA). http://www.mekonginfo.org/ assets/midocs/0002162-environment-
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 79
co-management-of-natural-resourcesorganising-negotiating-and-learning-bydoing.pdf. Diakses 19 Desember 2010. Bowen GA. 2005. Local Level Stakeholder Collaboration : A Substantive Theory of Community Driven Development . Journal of Community Development Society 36(2):73-87. Bowman DMJS. 1998. The Impact of Aboriginal Landscape Burning on The Australian Biota. New Phytol. 140: 385-410. Budianto, A., L. Halim, Suyuti, V.M.A, G. Ciptadi. 2013. Natural increase sapi Bali di wilayah instalasi populasi dasar Propinsi Bali. Jurnal Ternak Tropika, Vol 14 (2): 46-52. BTNUK (Balai Taman Nasional Ujung Kulon). 2015. http://www.ujungkulon.org/ tentang-tnuk/potensi-sda-tnuk/fauna/94. Diakses tanggal 5 Agustus 2016. Claridge G. dan O’Callaghan B. 1995. Community Involvement in Wetland Management : Lesson from the field. Incorporating the Proceedings of Workshop 3: Wetlands, Local People and Development of International Conference on Wetlands and Development. Kuala Lumpur, Malaysia. 9 – 13 October 1995. Damayanti, SC. 2010. Peranan studi genetik dalam kegiatan konservasi. www.docstoc. com/Peranan-Studi-Genetik-dalamKegiatan-Konservasi. Diakses 5 Pebruari 2010, pukul 12.00 WIB. Dannel, K., R. Bergstrom, P. Duncan, J. Pastor. 2006. Large herbivores ecology ecosystem dynamics and conservation. Cambridge: Cambridge University Press. Dashman RF. 1981. Wildlife Biology. John Wiley & Sons Inc. New York. Departemen Kehutanan. 1990. UndangUndang Nomor 5, Tahun 1990. Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
80 •
DAFTAR PUSTAKA
Delfiandi. 2006. Analisis pola penggunaan ruang dan wilayah jelajah banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Alas Purwo [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Destriana AH. 2008. Aplikasi sistem informasi geografis untuk pemetaan kesesuaian habitat banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Ujung Kulon. (Studi kasus padang perumputanCidaon) [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Dharmagalih G. 1997. Analisis habitat banteng di Resort Pulau Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2007. Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan, Jakarta. Dudley N. 2008. Guidelines for Applying Protected Areas Management Categories. Gland: IUCN. Durand, M. and Kawashima R. 1980. Infuence of minerals in rumen microbial digestion, p.375-408. In : Digestive Physiology and Metabolism in Ruminant (Y. Ruckebusch and P.Thivend eds.) MIP Press Limited, Lancaster, England. Feldhamer, G., L. Drickamer, S. Vessey, J. merrit, C. Krajewski. 2007. Mammalogy, Adaptation, Diversity, Ecology. Baltimore, MD. The Johns Hopkins University Press. Fritz H, Said S, Renaud P.S, Mutake S, Coid C, dan Monicat F. 2003. The Effect of Agricultural Fields and Human Settlement on The Use of Rivers by Wildlife in The Mid-Zambesi. Valley Zimbabwe. Landscape Ecology. 18: 293-302. Futuyma, D. J. 1986. Evolutionari Biology. Sinauer Associates, Inc. Publishers: Sunderland, Massachusetts.
Gunawan A. 1987. Potensi Hijauan Makanan Banteng (Bos javanicus d’Alton) di Padang Perumputan Cikamal Penanjung Pangandaran [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Garsetiasih, R. 2012. Manajemen Konflik Konservasi Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) Dengan Masyarakat Di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Disertasi. Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Garsetiasih, R., HS Alikodra, R. Soekmadi, dan M. Bismark. 2012. Potensi dan Produktivitas Habitat Pakan Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) di Padang Perumputan Pringtali dan Kebun Pantai Bandealit Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 9 No. 2: 113-123. Garsetiasih, R. 2013. Daya Dukung Padang Perumputan Banteng (Bos javanicus d’ Alton 1832): Studi Kasus di Sadengan dan Sumber Gedang, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 10 No.2: 103-240. Garsetiasih, R. 2015. Persepsi Masyarakat Sekitar Kawasan TNMB Dan TNAP Yang Terganggu Satwaliar Terhadap Konservasi Banteng (Bos javanicus d’Alton 1823). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol.12 No.2 : 119-135. Gomez, W., TA Patterson, J. Swinton, J. Berini. 2011. Bovidae (On-line). Animal Diversity Web. http://animal. Diversity. org/accomb/Bovinae. Diakses 2 Agustus 2016. Graham KL. 2002. Human Influences on Forest Wildlife Habitat. Southern Forest Resource Assessment. Asheville, NC, U.S Department of Agriculture, Forest Service, Southern Research Station.
Guntoro, S. 2002. Membudidayakan sapi bali. Yogyakarta: Kanisius. Hakim, L. 2004. Dasar-dasar Ekowisata. Bayu Media. Malang. Hakim, L. 2012. Makalah pemuliaan ternak sapi bali. http://lukmanulhakim.14.blogspot. co.id/2012/makalah-pemuliaan-ternaksapi bali.html. Diakses 25 Januari 2016. Hardjosubroto, W. 2001. Genetika Hewan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Hardiwirawan E. & Subandriyo. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya sapi bali. Wartazoa Vol 14 (3):107-115. Hays, J. 2014. Wild cattle in SouthEast Asia. GuAR, Banteng and Wild Buffaloes. http://factsanddetails. Com/asian/ cat68/sub433/entry-3575.html. Diakses 4 Agustus 2016. Hedges S. 2000. Bos Javanicus. di dalam IUCN 2008. IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/ search/details.php/2888/summ [10 Mei 2010]. Heriyanto NM. 2007. Keanekaragaman Jenis Pohon yang Berpotensi Obat di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan konservasi Alam 3(1):55-64. Heriyanto NM, dan Muhktar AS. 2011. Kerugian Masyarakat Akibat Gangguan Satwaliar Di Sekitar Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 8(1):55-63. Hernowo JB, R Soekmadi dan Ekarelawan. 1991. Pengelolaan Satwaliar dan Penggunaan Ruang di Kampus IPB Darmaga. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hoogerwerf. 1970. Ujung Kulon, The Land of The Last Javan Rhinoceros. E. J Brill. Leaden. ( IUCN ). International Union for th Conservation of Nature and Natural Resources. 2006. IUCN Red
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 81
List of Threatened Species. http://redlist. org/search/details.php?species= 2888. Diakses 25 September 2010. Hutchison CA, JE Newbold, SS Porter, and MH Edgell. 1974. Maternal in heritacea of Mammalian mitochondrial DNA. Nature. Hardjosubroto, W dan J.M. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Hidayat. 2010. Beternak Sapi Bali. http:// uripsantoso.wordpress.com/2010/01/17/ beternak-sapi-bali-3/. [24 Mei 2010] Innayah, Fiona Hanberia. 2011. Karakteristik Habitat Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kamalzadeh A., W.J Koops and J.V. Bruchem. 1998. Feed quality restriction and compentator y growth in growing sheep:changes in body dimensions. Livestock Production Science 53:57-67. Kementerian Kehutanan. 2012. Strategi dan rencana aksi konservasi banteng (Bos javanicus) tahun 2010-2020. Neulust Ciptakarya. Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Pencanangan Promosi Taman Nasional dan Penghargaan Anugerah Media Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Siaran Pers: Sekretariat Jenderal kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Knight M, dan Tighe S. 2003. Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003 Coastal Resources Center, University of Rhode Island. Narragansett, Rhode Island, USA. Krebs CJ. 2001. Ecolog y. San Fransisco. Benjamin Cumming. Kumar, S., K Tamara & M. Nei. 2004. Mega 3: Integrated software for molecular evolutioner genetics analysis and sequence
82 •
DAFTAR PUSTAKA
alignment. Briefings in Bioinformatics. Fenry Stewart Publ. 5 (2): 150-163. Kuswanda, Wanda 2005. Analisis Karakteristik dan Pengelolaan Populasi Banteng (Bos javanicus d’Alton, 1832) di Padang perumputanCidaon, Taman Nasional Ujung Kulon. Info Hutan Vol II No 3 : 193-204. Li, W., Q. Guo, and C. Elkan. 2011. Can we model the probability of presence of species without absence data? Ecography 34:1096-1105. Lekagul B dan McNeely JA. 1977. Mammals of Thailand. Shakaranbhat Co. Bangkok. MacKinnon J.K, MacKinnon , Child G, Thorsell J. 1993. Pengelolaan kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mauziah. 1994. Studi Pola Penggunaan Ruang dan Populasi Kuda Liar (Eguus caballus) di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Skripsi. Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Mcllroy RJ. 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. (Terjemahan : an Introduction to Tropical Grassland Husbandry) Jakarta: Pradya Paramita. Medway L. 1977. Mammals of Borneo. Monograph of The Malaysian Branch of The Royal Asiatic Society: 7. Percetakam Mas Sdn. Bhd. Kuala Lumpur :150-151 Moen AN. 1973. Wildlife Ecology. An Analitycal Approach, Cornell University, W.H, Freaman and Company, San Francisco. Mohamad, K., M. Olsseon, H.T. A van Tol., S Mikko., B.H Vlamings, G. Anderson., H. Rodriguez-Martinez, B. Purwantara, R.W Paling, B. Colenbrander & J.A. Lenstra. 2009. On the origin of Indonesian cattle. Diakses 1 Januari 2016 dari PlosONE 4(5), e 5490.doc 10.137/journal pone. ooo5490.www.plosone.org.
Moritz C, TE Dowling, and WM Brown. 1992. Evolution of animal mitochondrial DNA. Relevance for population biology and systematica. Muchaal PK dan Ngandjui G. 1999. Impact of Village Hunting of Wildlife Populations in The Western Dja Reserve. Cameroon. Conservation Biology. 13: 385-396. Mulyati S. 1997. Studi Pendugaan Persaingan Pakan Antara Badak Jawa (Rhinocheros sondaicus Desmarest, 1832) dengan Banteng (Bos javanicus d’Alton, 1822) di Resort Cidaun - Cibunar, Taman Nasional Ujung Kulon. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Muntasib EKSH, Haryanto, Masy’ud B, Rinaldi D, Arief H. 2000. Laporan studi persaingan antara banteng (Bos javanicus) dengan badak jawa (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Murdyatmaka W. 2008. Analisis Spasial Homerange Banteng (Bos javanicus) Di Luar Kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Balai Taman Nasional Alas Purwo. National Research Council. 1983. Little Known Asian Animal With A Promising Economic Future. National Academy Press. Washington, D.C. National Research Council. 1984. Nutrient Requirements of Beef Cattle, 6th rev. ed. Washington, D.C. : National Academy Press Nijman, I.J., M.Otsen, E.L.C. Verkaar, C.Ruijter, E., de Hanekamp, J.W Ochieng , S. Shamshad, J.E.O. Rege, O Hanotte, M.W. Barwegen, T. Sulawati dan J.A Lenstra. 2003. Hybridization of banteng (Bos javanicus) and zebu (Bos indicus) revealed by mitochondrial DNA, satellite DNA, AFLP and microsatellites. Heredity, 90:10-16.
Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan S u m b e r d a y a Pe r i k a n a n . P u s a t Pemberdayaan dan Pembang unan Regional. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. Njaya F. 2007. Governance Challenges for the Implementation of Fisheries CoManagement : Experiences from Malawi. International Journal of the Commons 1(1):137- 153. Nugraha H. 2007. Analisis pola penggunaan ruang banteng ((Bos javanicus d’Alton 1832) di Cagar alam dan Taman Wisata alam Pangandaran, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Nugroho RA. 2002. Studi Pakan Banteng dengan Metode Analisis Kotoran di Padang Penggembalan Sadengan Taman Nasional Alas Purwo. Skripsi. Program Studi Biologi Fakultas Biologi Universitas Atmajaya. Yogyakarta. Nugroho BDS. 2014. Karakteristik Penggunaan sumberdaya air oleh badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest) dan Banteng (Bos javanicus d’Alton) di daerah Cikeusik dan Cibandawoh, Taman Nasional Ujung Kulon [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Nyhus P dan Tilson R. 2004. Agroforestry, Elephants, and Tigers: Balancing Conservation Theory and Practice in Human-dominated Landscapes of Southeast Asia. Agriculture, Ecosystems and Enviroment. 104: 87-97. Pairah. 2007. Tumpang Tindih Relung Ekologis Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) dan Rusa Timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) di Padang perumputanSadengan, Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur [tesis]. Program Studi Ilmu Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Pudyatmoko, S. 2004. Does the Banteng (Bos javanicus) have a Future in Java?
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 83
Challenges of the Conservation of a Large Herbivore in a Densely Populated Island. International Union for the Conservation of the Nature, Bangkok, Thailand,. Pudyatmoko S, Djuwantoko, Sabarno S. 2007. Evidence of Banteng (Bos javanicus) Decline in Baluran National Park, Indonesia. Journal of Biological Sciences 7(6):854-859. Purwanti F, Alikodra HS, Basuni S, Soedharma D. 2008. Pengembangan Co-Management Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal Ilmu Kelautan 13(3):159 –166. Rodgers W.A, Nabanyumya R., Mupada E, Persha L. 2002. Community Conservation of Closed Forest Biodiversity in East Africa: can it work ?. Journal Unysilva 209, 53:41-47. Rukman D. 2009. Pembangunan Taman Nasional Kayan Mentarang. Laporan Lokakarya Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Alam [prosiding]. Kerjasama Fakultas Ekologi Manusia IPB, WWF dan GTZ. Hlm 13-27. Sancayaningsih R.P, Kanchanasaka B, Widjaya W.K. 1983. Study On Same Behaviour Of Banteng In Cidaon Grazing Ground. Ujung Kulon National Park. Santosa, Y. 1990. Pola Penggunaan Ruang dan Organisasi Sosial Rusa Sambar (Cervus unicolor) di Bukit Lindung Soeharto, Kalimantan Timur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sawitri, R, MSA Zein, M. Takandjandji dan A. Rianti. 2014. Keragaman genetik banteng (Bos javanicus d’Alton) dari berbagai lembaga konservasi dan Taman Nasional Meru Betiri. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol 11 (2), 155-169. Sawitri, R, dan Setyawati, T. 2011. Pengendalian Jenis Tanaman Invasif di Taman Nasional Ujung Kulon. Prosiding Semiloka Restorasi Ekosistem Kawasan Konservasi. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam.
84 •
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Sampurna, I.P. 2009. Pakan Sapi Bali. Universitas Udayana Bali. http://dokumen.tips/ documents/pakan-sapi-bali.html. Diakses tanggal 5 Agustus 2016. Schulman L, Ruokolainen K, Junikka L, Saaksjarvi IE, Salo M, Juvanen S, Salo J, Higgins M. 2007. Amazonian biodiversity and protected areas: do the meet? Biodiversity and Conservation 16 (11): 3011-3051. Semiadi G, dan Nugraha RTP. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor. Setiawati T. 1986. Studi Perilaku Banteng (Bos javanicus d’Alton) di Cagar alam Leuweung Sancang-Garut Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Siubelan H, Garsetiasih R. 2003. Control of Invasive Species (Acacia Nilotica) in Baluran Nasional Park. Paper presented in Conference of The Asia Pacific Forest Invasive Species in Kunming-China. Subroto. 1996. Studi Populasi Banteng (Bos Javanicus d’Alton, 1873) di Cagar Alam Leuweung Sancang, Kabupaten Garut [skripsi]. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suporahardjo, 2005. Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Pustaka Latin. Bogor. Sutherland WJ. 1996. Oxford Series in Ecology and Evolution from Individual Behaviour to Population Ecology. Oxford, Oxford University Press. Swihart RK, Feng Z, Sladea NA, Mason DM, dan Gehring TM. 2001. Effect of Habitat Destruction and Resource Supplementation in a Predator-prey
Metapopulation Model. Journal of Theory Biology. 210: 287-303. Tadjudin D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Pustaka Latin. Bogor. Tarumingkeng, R.C. 1994. Dinamika Populasi: Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta. Timmins, R.J., Duckworth, J.W., Hedges, S, Steinmetz, R & Pattanavibool, A. 2008. Bos javanicus. In : IUCN 2010. IUCN red list of threatened species. Version 2010.1. <www.iucnredlist.org>. Downloaded: 9 Juni 2016. Thohari, M. 1987. Gejala Inbreeding Dalam Penangkaran Satwaliar. Media Konservasi Vol 1. No. 4. Jurusan Konser vasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. www.merubetiri.com. 2015. Banteng. http:// merubetiri.com/detail_statis/id/17/ banteng.html. Di akses 4 Mei 2015. Wibisono A. 2009. Silsilah sapi Bali. [terhubung berkala]. http://duniasapi.com. [19 Mei 2010]. Wikipedia. 2010. Keanekaragaman Genetik. http://id.wikipedia.org/wiki/keanekaragaman genetik. Diakses 5 Februari 2010, pukul 11.45 WIB. Williamson, G & W.J.A Payne. 1993. An Introduction To Animal Husbandry In The Tropics (3rd ed.). London : Longman Group Limited. Wirawan. 2011. Studi Perilaku Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. IPB press. Wirdateti, B. Bramantyo, A.Reksodiharjo, G. Semiadi dan H.Dahruddin. 2009. Karakteristik Morfometrik Rusa Sambar (Rusa unicolor) Sebagai Dasar Kriteria Seleksi Sifat Pertumbuhan. Jurnal Veteriner 10 (1):7-11.
Wisesa, A.G.N.G.D., T.G.O. Pemayun & I.G.N.K. Mahardika. 2012. Analisis sekuens D-loop mitokondria sapi bali dan banteng dibandingkan dengan bangsa sapi lainnya di dunia. Indonesia Medicus Veterinus 2012 (2):281-292. Yatap H. 2008. Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi terhadap Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Bogor [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Yayasan Mitra Rhino. 2002. Studi Persaingan Ekologi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan Banteng (Bos javanicus) di Taman Nasional Ujung Kulon. Proyek Kerjasama Yayasan Mitra Rhino dan WWFIndonesia. Bogor.
Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia
• 85
Diterbitkan oleh: FORDA PRESS Anggota IKAPI No. 257/JB/2014 Jalan Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat Telp./Fax. +62251 7520093 E-mail:
[email protected] Penerbitan dan Pencetakan dibiayai oleh: PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16118, Indonesia Telp.: +62-251 8633234/+62-251 7520067; Facs: +62-251 8638111