LAPORAN PENYULUHAN DALAM RANGKA MERESPON SERANGAN WABAH PENYAKIT NGOROK (Septicae epizootica/SE) PADA TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SAMOSIR
BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR Oleh: Mangonar Lumbantoruan
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN 2011
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
MENGOPTIMALKAN POTENSI TERNAK KERBAU
Oleh: Mangonar Lumbantoruan Disajikan sebagai bahan diskusi dalam rangka MERESPON SERANGAN WABAH PENYAKIT NGOROK (Septicae epizootica/SE) PADA TERNAK KERBAU Kepada Warga Jemaat HKBP Resort Ambarita di HKBP Janji Martahan Kec. Tomok, 12 Oktober 2011
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN 1. Kerbau sebagai Ternak Multiguna Kerbau merupakan salah satu jenis ternak penting di Indonesia, baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Secara ekonomi kegunaan kerbau sangat beragam mulai dari sumber tenaga (membajak sawah, menarik pedati), sebagai sumber daging dan susu, sebagai sumber pupuk organik, hingga sumber bahan sandang (kulit, tanduk). Secara sosial, terutama di daerah pedesaan, kerbau sering dikaitkan dengan status atau prestise sosial. Sedangkan secara budaya, antara lain pada suku Batak dan beberapa suku lain di Indonesia, kerbau merupakan bagian tak terpisahkan dari berbagai acara adat dan peristiwa budaya lainnya. Dengan posisi dan fungsi seperti itu maka ternak kerbau selalu memiliki nilai jual yang tinggi.
11
2. Beberapa Sifat Biologis Kerbau dan Implikasinya dalam Pemeliharaan Salah satu sifat biologis kerbau yang menonjol adalah daya tahannya yang rendah terhadap cuaca panas. Oleh sebab itu ternak kerbau sangat perlu mendapat kesempatan untuk berendam dalam air, kerbubang dalam lumpur atau dimandikan agar terhindar dari pengaruh cekaman cuaca panas. Selain itu, bila kerbau dipekerjakan sebaiknya hal tersebut dilakukan saat cuaca sedang sejuk (pagi hingga pukul 10 atau sore mulai pukul 16). Pada cuaca panas kerbau akan minimalkan aktivitas tubuhnya, termasuk makan. Oleh sebab itu, pemberian pakan pada cuaca panas tidak akan efektif. Pada kondisi seperti itu kerbau lebih membutuhkan air atau setidaknya tempat bernaung. Sifat biologis kedua dari kerbau yang penting mendapat perhatian berkaitan dengan reproduksi. Kerbau merupakan hewan yang lambat dewasa dengan masa bunting yang lebih lama dibanding sapi. Umumnya ternak kerbau baru mencapai pubertas pada umur ≥ 3 tahun. Kerbau betina memiliki kecenderungan menunjukkan birahi tenang (silence heat) yaitu masa birahi tidak diikuti oleh tanda-tanda kuat yang mudah diamati secara kasat mata. Selain itu, datangnya birahi biasanya terjadi pada subuh dan malam hari
12
sehingga sulit diamati. Untuk itu pengamatan secara rutin pada pagi hari perlu dilakukan agar betina yang berahi segera terdeteksi dan dicarikan pejantan untuk mengawininya. Cara lain adalah menggabungkan ternak betina dengan pejantan dalam satu kandang.
Dengan lama kebuntingan 10.5 bulan maka kerbau betina umumnya baru beranak pertama kali setelah berumur 4 tahun. Bila pakannya memadai, 3 - 4 bulan setelah melahirkan induk sudah dapat dikawinkan kembali. Dengan kisaran waktu tersebut maka jarak beranak kerbau umumnya adalah 21 bulan. Namun bila dikelola dengan baik maka jarak beranak dapat dipersingkat lagi, terutama dengan penyediaan pakan yang memadai. Di tingkat pedesaan, jarak beranak 18 bulan sudah tergolong baik (dalam 3 tahun beranak 2 kali). Kerbau memiliki kemampuan mencerna pakan bermutu rendah yang lebih efisien daripada sapi. Di padang penggembalaan, kerbau merumput lebih telaten dibanding sapi; areal yang sudah ditinggalkan oleh sapi masih bisa ditoleransi oleh kerbau. Dengan kemampuan seperti ini, selain rerumputan, penyediaan pakan ternak kerbau dapat diandalkan pada berbagai jenis limbah pertanian seperti jerami, batang jagung, ampas tebu, limbah sagu, onggok, daun dan pelepah sawit dan lain-lain. Yang diperlukan adalah teknik pengolahan sederhana agar bahan-bahan tersebut meningkat palatabilitas (rasa enak) dan daya cernanya. Secara fisik, kerbau memiliki kaki yang kokoh dengan teracak yang lebar dan tenaga yang kuat. Walau jalannya lambat namun kerbau mampu menarik beban yang berat serta menempuh medan berat seperti dakian, areal yang becek bahkan berlumpur. Oleh karena itu kerbau potensil bekerja di lahan sawah atau sebagai pengangkut produksi pertanian di lokasi-lokasi yang sulit dilalui oleh kendaraan lainnya. Sayangnya, potensi ini sudah kurang diminati dengan alasan lebih praktis menggunakan traktor. Pada hal, traktor memerlukan biaya investasi, operasional dan perawatan yang jauh lebih mahal dibanding kerbau.
13
Sebagai hewan mamalia (berkelenjer susu) kerbau juga memiliki sifat menghasilkan air susu. Walau kapasitas produksi susunya jauh dibawah sapi, umumnya hanya 1 – 2 liter perhari, namun bila diolah menjadi dadih (Bhs Batak: dali) yaitu 1 liter air susu kerbau dapat diolah menjadi 3 baskom kecil dadih dengan nilai jual Rp 8.000 – Rp 10.000 per baskom. Bila dibarengi dengan pemberian pakan (termasuk pakan tambahan atau konsentrat) dan air minum yang cukup maka produksi air susu kerbau dapat ditingkatkan menjadi 3 liter/hari. Dengan tingkat produksi seperti itu, seorang ibu pedagang dadih dari Sipoholon mengatakan bahwa nilai jual dadih yang dihasilkan seekor induk kerbau tidak jarang sama dengan nilai jual anak yang dilahirkannya (Rp 5 jutaan/ekor pada umur 6 – 8 bulan). Pada hal pakan tambahan yang beliau berikan hanya berupa dedak, ubi dan garam. Hebatnya lagi, induk-induk kerbau yang beliau pelihara selama ini rata-rata melahirkan anak sebanyak 10 kali baru diafkir.
3. Pengembangan Usaha Ternak Kerbau Pemeliharaan kerbau umumnya dilakukan secara ekstensif (dibiarkan bebas di padang penggembalaan) sehingga sering menimbulkan ekses negatif seperti konflik dengan usaha pertanian dan kehutanan, meningkatnya pencurian dan sulitnya pengendalian kesehatan ternak. Khusus untuk pembibitan, kendala yang umum terjadi adalah kurangnya pejantan. Sering terjadi keterlambatan untuk menjadi bunting dan lamanya jarak beranak bukan semata-mata karena rendahnya kondisi induk, namun lebih sering karena terbatasnya ketersediaan pejantan. Kendala berikutnya adalah makin terbatasnya lahan penggembalaan sehingga pola pemeliharaan ekstensif tidak cocok lagi dipertahankan melainkan perlu diubah paling tidak menjadi pola semi intensif, dimana kerbau digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari. Pola semi intensif yang paling cocok diterapkan adalah dengan menyediakan padang penggembalaan terbatas. Guna mencukupi jumlah dan mutu pakan yang terbatas dari padang penggembalaan maka peternak perlu memberi pakan tambahan berupa hijauan dan sedapat mungkin juga konsentrat (a.l. dedak, ubi-ubian dan garam). Perbaikan penyediaan bahan pakan dapat juga ditempuh antara lain melalui penanaman tanaman leguminosa pohon yang selain berfungsi sebagai sumber hijauan bergizi tinggi juga akan berperan sebagai tanaman konservasi dan sumber kayu bakar.
Merubah kebiasaan yang semula hanya melepaskan ternak menjadi harus menyediakan pakan dan mengawasi ternaknya setiap hari tentu membutuhkan waktu dan upaya rekayasa sosial (social engineering). Dalam pelaksanaannya, hal ini tidak saja membutuhkan penyuluhan intensif dalam rangka peningkatan pengetahuan dan keterampilan serta pengubahan sikap, akan tetapi juga perlu disertai dengan pengorganisasian dan penguatan Kelompok Peternak.
SELAMAT BETERNAK 14