Bersyukur Kepada Tuhan Oleh : H. Muhammad nuruddin, Lc., MSI.
Di sebuah rumah sakit swasta, ada dua orang laki-laki yang dirawat dalam sebuah kamar. Masing-masing menderita sakit keras. Seorang di antaranya didera penyakit yang mengharuskannya melakukan terapi duduk di tempat tidur selama satu jam, setiap sore tiba. Terapi itu dimaksudkan untuk mengeluarkan cairan dari paru-parunya. Sementara pasien yang lain, menderita patah tulang leher dan punggung, yang membuatnya terpaksa hanya dapat berbaring lurus di pembaringan, matanya hanya mampu menatapi langit-langit kamar, dengan berbagai selang untuk mengeluarkan dan memasukkan segala sesuatu dari dan ke dalam tubuhnya. Setiap hari yang berlalu, mereka habiskan waktu untuk bercakap-cakap tentang banyak hal. Bercerita tentang istri dan anak di rumah, suka duka dalam pekerjaan, pengalaman wajib militer yang tak terlupakan, tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi dan menyisakan kesan, pun terkadang sekedar celoteh untuk membunuh waktu yang kerap terasa beringsut lamban. Jika sore menjelang, ketika laki-laki yang berada dekat jendela harus duduk untuk menjalani terapi, ia tanpa diminta, bercerita tentang apa yang ia lihat dibalik jendela kepada rekan sekamarnya. Selama satu jam itulah, sang pasien kedua merasa begitu bahagia dan berbinar membayangkan betapa indahnya warna warni kehidupan di luar jendela. Satu jam yang teramat bermakna karena selepas itu kembali hanya langit-langit kamar yang mampu ia tatap dan menghiasi setiap helaan nafas yang berlalu. "Di luar sana, ada taman dengan kolam yang indah. Rerumputannya hijau. Beberapa ekor angsa dan burung belibis berenang memperindah pemandangan. Anak-anak terlihat sangat riang berlari berkejaran. Para orangtua tersenyum menikmati polah dan tingkah lucu mereka. Beberapa pasangan bergandeng tangan penuh kemesraan. Bunga-bunga yang bermekaran mewangi dan menambah segar suasana. Sebatang pohon besar tumbuh di tengah taman memberi keteduhan. Jauh
1
di kaki langit kota, temaram mentari menuju peraduan sungguh sebuah anugerah Tuhan. Sebuah senja yang teramat indah" laki-laki yang duduk di jendela bertutur. Setiap sore ia narasikan apa yang dilihatnya dengan detail dan bersemangat. Sementara temannya, lalu memejamkan mata membayangkan cerita-cerita itu dalam benaknya. Acapkali tampak sesungging senyum terbersit di sudut bibirnya. Tak jarang airmata bahagia meleleh mengiringi senyum itu. Perasaannya menjadi lebih tenang dalam menjalani kesehariannya di ruang rumah sakit yang bisa membuat jemu siapapun yang menghuninya. Semangat hidupnya menjadi lebih kuat, percaya dirinya berangsur menebal, dan ternyata semua itu membuatnya pulih lebih cepat dari perkiraan medis yang dulu divoniskan padanya. Pada sore yang lain,
pria di depan jendela bercerita tentang parade
karnaval yang kebetulan tengah melintas. Meski pria kedua tidak dapat mendengar suara parade itu, namun serasa ia dapat melihatnya di depan mata, karena cerita yang digambarkan temannya dengan sangat indah itu membuat khayalnya dapat menembus dinding kamar. Demikianlah seterusnya, hari berganti, minggu saling menyusul, sampai akhirnya sebulan pun berlalu. Suatu pagi, saat seorang perawat datang membawa sebaskom air hangat untuk mandi sebagaimana hari-hari biasanya, ia dapati pasien yang tidur dekat jendela telah meninggal dunia dengan tenang layaknya orang yang tengah tertidur pulas. Ada kesedihan terbayang di wajah sang perawat. Ia lalu memanggil perawat lain untuk memindahkannya ke ruang jenazah. Pasien kedua melihat itu semua kemudian meminta agar ia dipindahkan ke ranjang dekat jendela bekas temannya itu. Sang perawat menuruti keinginannya dengan senang hati dan mempersiapkan segala sesuatunya. Setelah semuanya selesai, ia meninggalkan pria itu seorang diri di kamar. Sesaat semua terasa hening. Dengan perlahan dan masih menahan rasa nyeri dan kesakitan, pria ini lalu memaksakan dirinya untuk bangun. Ia ingin sekali melihat keindahan pemandangan dunia luar melalui jendela itu. Betapa senang pikirnya, akhirnya ia bisa menikmai semuanya dengan mata kepala sendiri, bukan lagi sekedar dongeng dan cerita. Dengan berbagai perasaan membuncah dada, perlahan ia menjengukkan kepalanya ke jendela di sisi
2
pembaringannya. Rasa terkejut seketika menyeruak, pemandangan di jendela itu, ternyata hanya sebuah tembok putih yang kosong. Ketika perawat kembali menjenguknya, sambil dipenuhi berbagai pikiran ia bergumam, "apa maksud temannya yang sudah meninggal tersebut selama ini bercerita tentang banyak hal yang indah-indah jika semua itu semu dan khayalan belaka?". Sang perawat sambil tersenyum menjawab,"Pak, masih untung Bapak bisa melihat tembok putih itu. Teman Bapak almarhum malah tidak bisa melihat apa-apa, karena dia adalah seorang yang buta". Saat pria itu masih terpana, perawat itu mengakhiri ucapannya dengan sebuah kalimat singkat menyentak jiwa,"Barangkali ia ingin memberimu semangat hidup". Dari cerita yang dulu penulis baca dalam versi arab dan inggrisnya ini, ada banyak sisi yang dapat dijadikan bahan renungan. Dalam tulisan pendek ini, tentang syukur kepada Tuhanlah yang akan diperbincangkan. Sebagai manusia, kita wajib bersyukur atas apapun yang menimpa. Berterimakasih dalam ungkapan yang lain jika itu dimaksudkan pada ranah sesama manusia. Syukur kepada Tuhan bukanlah masalah keberuntungan atau kecukupan dengan terpenuhinya segala keinginan. Dalam bahasa yang lebih mudah, bersyukur merupakan sikap seorang hamba dalam setiap keadaan yang terjadi, tanpa harus menunggu setiap keinginannya terkabul lalu barulah ia bersyukur. Bersyukur memberikan spirit dan dorongan agar dapat terus maju dan berkarya, bahkan dengan keterbatasan yang menjadi ujian dan cobaan. Bagi seorang buta yang bersyukur, kehilangan penglihatan tidak menghalanginya untuk memberikan secercah asa kepada sesama dan hakikatnya semakin banyak ia akan menerima berkah. Bersyukur juga akan menuntun seseorang untuk senantiasa menyingkirkan sisi negatif dalam paradigma berpikir tentang kehidupan. Dengan itu, disadari ataukah tidak ia akan membebaskan dirinya dari rasa gelisah dan cemas yang tidak perlu. Ingatlah, pada saat rasa syukur hilang, sebuah nikmat pun bisa menjadi pintu dan celah
kesengsaraan; Yang tinggal di gunung merindukan
pantai, yang tinggal di pantai merindukan gunung. Di musim panas merindukan musim dingin, di musim dingin merindukan musim panas. Yang berambut hitam
3
berharap memiliki rambut pirang, yang berambut pirang mengagumi yang hitam. Selagi bujangan ingin berumah tangga, setelah berumah tangga kepingin hidup lajang. Diam di rumah merindukan bepergian, setelah bepergian merindukan rumah. Waktu tenang mencari keramaian, waktu ramai mencari ketenangan. Punya anak satu mendambakan banyak anak, punya banyak anak mendambakan satu anak. Kita tidak pernah bahagia sebab segala sesuatu tampak indah hanya sebelum dimiliki, namun setelah dimiliki tak indah lagi sebab tidak disyukuri. Kapankah kebahagiaan akan berkunjung kalau kita hanya menatap yang jauh dan menganggap tiada yang ada di tangan? Beberapa lembar uang bergambar Soekarno-Hatta yang menjadi rejeki bulan ini, yang seharusnya bisa menjadi pelita kebahagiaan sebulan, malah menimbulkan benih perselisihan, curiga, dan akhirnya mengundang badai prahara, sekali lagi hanya karena tidak ada rasa syukur dalam jiwa. Berkaca pada dua keadaan antara dia yang bersyukur dengan dia yang tidak pernah dapat mensyukuri apa yang ada, maka Maha Benarlah Tuhan yang telah membimbing seluruh umat manusia dan menyapa setiap yang memiliki nurani dengan pesan sucinya: "Jika kalian bersyukur dan berkenan membuka hati, maka sungguh benar-benar Aku akan menambah nikmat (dan keberkahan dalam setiap nikmat itu) pada kalian. Namun ingatlah, jika kalian menutup hati dan tiada mau berterimakasih, maka derita yang menghadang, teramat pedih kalian kan rasakan" (Ibrahim : 7). Pertanyaan yang kerap muncul dalam pikiran, kalau demikian tidak bolehkah kita berharap lebih dari apa yang ada? Kalau kita sudah bersyukur dengan yang sedikit, bukankah akan membuat keyakinan untuk maju menjadi meredup? Dan banyak pertanyaan senada bergelayut dalam benak. Sesungguhnya bersyukur dalam ajaran agama tidaklah diartikan sebagai sebuah paham fatalisme. Syukur bukanlah sebuah sikap pasrah. Hal tersebut dikarenakan dalam sikap syukur terkandung 3 (tiga) aspek yang harus terpenuhi. Pertama: seorang yang bersyukur akan memiliki kesadaran yang utuh disertai keyakinan yang kuat dalam hati, bahwa sebaik apapun amal perbuatan yang ia
4
persembahkan kepada Tuhan, dan sebesar apapun amal perbuatan itu, maka semuanya belumlah cukup untuk sekedar mendekati besarnya timbangan nikmat yang telah Tuhan anugerahkan kepadanya, apalagi menyamainya. Dengan kesadaran dan keyakinan tersebut, ia akan semakin giat untuk beribadah dan berjuang untuk sebuah cita-cita mulia. Ia akan merasa malu di hadapan Tuhan bila terlalu mudah berkeluh-kesah sebelum benar-benar telah berusaha. Seorang buta yang bersyukur, timbul optimisme dalam jiwanya bahwa ia masih lebih beruntung dibandingkan dengan temannya yang tak mampu bergerak sama sekali. Hal itu mampu menepiskan kekurangan yang ada pada dirinya, dan akhirnya masih dapat berbuat kebajikan dan menjadi bijaksana dengan menceritakan kisah-kisah yang melipur lara teman sekamarnya. Kedua: seorang yang bersyukur mewujudkan perasaan itu dengan ucapan lisannya. Ia akan selalu berdoa kepada Tuhan untuk selalu mendatangkan berkah atas apa yang telah ia terima. Dalam doanya, tersurat pula harapan agar semua anugerah itu tidak melalaikannya untuk beribadah dan membantu sesama. Minimal dalam ucapannya akan keluar kata-kata, "alhamdulillah, segala pujian yang layak dan terindah hanyalah milik Allah, Dzat yang memelihara alam dengan kasih-Nya). Jika nikmat itu datang melalui perantara sesama manusia, ia akan mudah mengucapkan kata terimakasih. Sesuatu yang menyenangkan untuk didengar. Bukankah kita sebagai manusia, meski telah mengenal ajaran tentang ikhlas saat memberi, akan tetap senang dan sumringah saat mendengar ucapan terimakasih itu dari yang menerima?. Perwujudan ini akan menghindarkan seseorang dari euforia yang berlebihan saat merasa mendapatkan yang diinginkan, menghindarkan dari euforia yang dapat menjerembabkan dirinya dalam lembah dosa dan kenistaan. Bukankah tidak sedikit orang yang merasa mendapat nikmat, lalu secara beramai-ramai berbuat onar di jalanan. Ada yang mengkonsumsi yang diharamkan. Ada yang menjadikan keberhasilannya sebagai alasan untuk jatuh ke dalam kemesuman. Masih tidak percayakah kita pada pesan Tuhan bahwa semua itu akan melahirkan kepedihan?. Ketiga: seorang yang bersyukur akan menggunakan nikmat dan pemberian yang ia terima, sesuai dengan keinginan sang pemberi. Maka jika kita diberi peci,
5
meski karena bahan beludrunya bisa kita manfaatkan untuk melicinkan sepatu, bukan itu yang akan kita perbuat bukan?. Sebagai tanda syukur dan terimakasih, kita gunakan peci itu untuk sembahyang. Jika Tuhan memberikan kita kehidupan dengan segenap kelengkapannya, ada pesan di situ agar kita mengabdi pada-Nya dan berbagi sebanyak mungkin kebajikan pada sesama. Pengabdian itu toh bukan untuk Tuhan, melainkan untuk kita sendiri. Akhirnya, sebuah kisah pendek akan menutup tulisan ini: "Seorang anak merengek minta dibelikan jagung bakar. Dengan sedikit enggan, ibunya mengulurkan selembar uang seraya mengawasinya dari kejauhan. Sang anak lalu mendatangi penjual jagung, kemudian dengan tekun mengikuti gerak-gerik nenek tua penjual jagung bakar itu memainkan kipas bambunya sembari sesekali membolak-balik jagung agar tidak hangus menghitam. Mata kanak-kanaknya membulat terheran-heran pada letikan biji jagung, asap, dan aroma harum yang menebar kemana-mana. Sedangkan nenek tua berpakaian lusuh itu tersenyum melirik anak kecil yang jongkok terpaku di sebelahnya. Mata tuanya meredup, menggambarkan pikiran yang melayang entah ke mana. Sesekali dicubitnya pipi chubby anak itu. Kemudian diberikannya jagung itu kepada anak yang sedari tadi berharap-harap takjub, katanya, "Ambil saja buatmu nak. Tak usah dibayar." Si ibu mengucapkan terimakasih lalu berkata pada sang ayah, "Lumayan, kita dapat rejeki satu jagung bakar." Lalu keluarga itu meninggalkan taman kota tadi dengan kendaraan roda empat mereka. Tunggu dulu wahai ibu dan kita semua, mengapa dengan mudah kita menyebut peristiwa itu sebagai sebuah rejeki? Bukankah dengan demikian si nenek tua malah kehilangan sebagian penghasilannya yang tidak seberapa? Tidakkah hati ini terpanggil untuk membalas pemberian itu dengan sesuatu yang lebih dari sekedar kata terima kasih? Memang, menerima selalu menjadi sesuatu yang menyenangkan. Namun ingatlah, memberi dengan sikap tulus, tanpa harus berpikir untung-rugi, akan lebih membahagiakan. Sadarkah kita, betapa hati nenek tua berpakaian lusuh itu teramat terang, jauh lebih terang dari lampu yang menerangi senja saat temaram. Jiwanya yang dipenuhi sikap syukur membuatnya dapat membuka diri dan berbagi secercah bahagia di tengah kekurangan yang
6
setia melekat dalam hidupnya. Bagaimana dengan kita? Pertanyaan untuk kita bukanlah lagi dapatkah kita melakukannya karena pasti itu dapat kita lakukan. Pertanyaannya adalah adakah kita mau?
Curriculum Vitae: Nama
: H. Muhammad Nuruddin, Lc., MSI.
Pekerjaan
: Hakim Pengadilan Agama.
Instansi
: Pengadilan Agama Bontang.
Alamat kantor
: Jl. Awang Long No. 69 Kota Bontang.
Seluler
: 0852 28528 363.
Pendidikan S1
: Fakultas Syari'ah Universitas al-Azhar Kairo.
Pendidikan S2
: Prodi Hukum Keluarga UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
7