Bermain Khayal untuk Mengembangkan Dimensi Sosioemosi Anak-Anak Prasekolah Nurul Hidayati Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Gresik
Abstract. Early childhood is commonly called as golden age. This is because they have very fast development in holistic domain: physical, cognitive, and socioemotional as well. Early childhood has strong emotional feeling because this stage is regarded as unbalance emotional state, which they have emotionally break out and stubborn. In this time, playing activity development has strong contribution to gain their intelectual, social, and social maturity development. Symbolic playing is kind of the most specific to chidren activities. It is such as specific playing for preschool children to optimalize their socioemotional development.
Keywords: symbolic playing, socioemotional development, preschool children Abstrak. Awal masa anak juga sering disebut sebagai “golden age” atau “usia emas”. Hal ini disebabkan pada usia tersebut merupakan usia dimana anak memiliki perkembangan yang sangat pesat. Baik perkembangan fisik, kognitif dan sosioemosi anak. Emosi yang dimiliki selama awal masa anak sangat kuat karena merupakan fase terjadinya ketidakseimbangan emosi, dimana anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan. Perkembangan kegiatan bermain pada anak-anak usia prasekolah sejalan dengan perkembangan level intelektual, sosial, dan kematangan sosial mereka. Secara umum dapat dikatakan bahwa tipe bermain yang dominan pada anak usia prasekolah yakni bermain khayal atau pura-pura (symbolic or make-believe play). Aktivitas bermain khayal selain merupakan aktivitas khas usia prasekolah, juga sangat potensial untuk membantu anak prasekolah mengoptimalkan perkembangan sosioemosinya.
Kata kunci: bermain khayal, perkembangan sosioemosi, anak prasekolah
Pada awal masa kanak-kanak, lebih-lebih hingga anak berusia tiga tahun, anak-anak masih amat tergantung dan cenderung menjalin kelekatan yang aman dengan orang tua dan anggota keluarganya. Mereka belum siap untuk menjalin hubungan satu sama lain. Sebagian dari mereka memang ada yang mulai melakukan upaya menjalin hubungan pertemanan dengan anak lain, tetapi sebagian lainnya tidak. Berbeda dengan
ketika anak menginjak usia prasekolah, saat telah berkembang kemampuan untuk mengidentifikasi dunia di luar dirinya, kesiapan untuk berbagi, serta berkurangnya ketergantungan terhadap orang dewasa untuk memberikan petunjuk dan juga untuk memenuhi kebutuhan mereka akan pertemanan, saat di mana anak-anak siap untuk berhubungan satu sama lain (Cohen & Rudolph, 1977). Di satu sisi, selama awal masa kanak-kanak,
Korespondensi: Nurul Hidayati. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Gresik, Jalan Sumatra 101-GKB, Gresik. Telp: (031) 395 1414, (031) 395 258. Email:
[email protected]
104
INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010
Nurul Hidayati
orang tua tetap merupakan agen sosialisasi terpenting. Sementara di sisi lain anak-anak prasekolah amat membutuhkan hubungan pertemanan dan melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Berbagai kebutuhan anak yang tadinya sudah terpenuhi dalam lingkungan keluarga, ketika anak-anak tersebut menginjak usia prasekolah mulailah ia membutuhkan dunia yang lebih luas sebagai sarana bermain dan bereksplorasi. Pada masa ini banyak orang tua mulai memperkenalkan anak-anak mereka dengan dunia pendidikan untuk anak usia dini. Pendidikan untuk anak usia dini / prasekolah saat ini sudah merupakan fenomena yang universal. Sekolah-sekolah tempat pendidikan tersebut diselenggarakan mungkin diberi nama kindergarten, prekindergarten, prasekolah, program pengayaan dini, kelompok bermain, ataupun beberapa sebutan lain. Terlepas dari namanya, jumlah anak yang memasuki salah satu jenis pendidikan tinggi sangatlah banyak. Berbicara prosentase, di Amerika Serikat (Seefeldt & Wasik, 2006) tercatat lebih dari 90% anak usia lima tahun dan lebih dari 60% anak usia empat tahun mengikuti pendidikan anak usia dini (yang juga dikenal sebagai PAUD di Indonesia). Usia prasekolah secara umum diakui sebagai tahun emas bagi kegiatan bermain khayal atau pura-pura, tidak ada masa lain di mana seorang manusia sedemikian terlibat dengan dunia khayalannya (Hughes, 1995). Dunia khayalan mempunyai kualitas yang mendekati kenyataan bagi anak-anak dan memberikan pengalamanpengalaman yang begitu menyenangkan. Anakanak dapat memainkan berbagai macam peran yang ingin mereka lakukan, menjadikan diri mereka apapun yang mereka sukai dan berpurapura bahwa peran yang tengah dimainkannya merupakan suatu kenyataan. Emosi (perasaan) biasanya timbul karena sebab-sebab yang umum dan berlaku bagi semua orang. Reaksi yang diakibatkan pun biasanya hanpir sama. Jika sedang marah, misalnya, reaksi ditandai dengan degup jantung yang cepat, syaraf yang menegang, kadang mata secara otomatis mengeluarkan air mata, dan sebagainya. Pemicu kemarahan dapat sederhana ataupaun kompleks dan merupakan hal yang wajar. Emosi-emosi yang muncul merupakan suatu dorongan perasaan INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010
yang wajar dan harus diungkapkan asalkan dengan cara yang tepat. Namun demikian, anak-anak merupakan pemain amatir dalam hal emosi. Pada awal perkembangannya, si kecil pasti mengalami kesulitan untuk memahami dan mengelola emosi, baik emosi yang dirasakan diri sendiri ataupun orang lain. Anak harus terlebih dahulu mampu memahami dan mengelola emosinya sendiri sebelum mampu menjadi individu yang memahami emosi orang lain. Semua anak mengalami emosi-emosi negatif sebagai reaksi terhadap pembatasan dan tantangan hidup. Emosi negatif adalah bagian yang alami dan penting dari perkembangan anak. Bila anak mengamuk, kebanyakan orang tua secara keliru menarik kesimpulan bahwa anak mereka nakal atau mereka sendiri tidak baik sebagai orang tua. Belajar mengekspresikan, merasakan, dan melepaskan emosi negatif merupakan kemahiran yang penting yang dibutuhkan setiap anak untuk belajar. Belajar menangani perasaan negatif dengan cara ini membangkitkan potensi kreatif dalam diri anak dan mempersiapkan dia untuk menghadapi tantangan hidup dengan berhasil. (Mulyadi, 2004). Tulisan ini berupaya membahas bagaimana perkembangan sosioemosi anak-anak prasekolah dapat lebih optimal dengan memanfaatkan kegiatan bermain khayal yang merupakan aktivitas yang dominan pada masa perkembangan tersebut.
Anak-Anak Prasekolah Masa kanak-kanak dimulai setelah melewati masa bayi yang penuh ketergantungan, yakni kira-kira usia dua tahun sampai saat anak matang secara seksual. Masa kanak-kanak dibagi menjadi dua yakni awal dan akhir masa kanakkanak. Periode awal berlangsung dari umur dua sampai enam tahun dan periode akhir dari enam hingga tiba saatnya anak matang secara seksual. Dengan demikian awal masa kanak-kanak dimulai sebagai penutup masa bayi-usia di mana ketergantungan secara praktis sudah dilewatidiganti dengan mulai tumbuhnya kemandirian, dan berakhir di sekitar usia masuk sekolah dasar. Awal masa kanak-kanak tersebut disebut sebagai usia prasekolah untuk membedakannya dari saat anak baik secara fisik maupun mental dianggap telah cukup mampu untuk menghadapi
105
Bermain Khayal untuk Mengembangkan Dimensi Sosioemosi Anak-Anak Prasekolah
tugas-tugas pada saat mereka mulai mengikuti pendidikan formal (Hurlock, 1997). Anak-anak usia prasekolah (dalam Cohen dan Rudolph, 1977) bisa meliputi anak-anak usia berapapun pada usia kanak-kanak awal hingga mencapai usia enam tahun, tapi secara umum anak-anak yang dikategorikan sebagai anak-anak prasekolah usianya berkisar antara 4 hingga 6 tahun. Sementara, menurut Hughes (1995), anakanak yang dikategorikan masuk pada usia prasekolah yakni anak-anak usia 2 hingga 5 tahun. Anak-anak di usia ini biasanya mengikuti pendidikan prasekolah, misalnya: pendidikan untuk anak sebelum taman kanak-kanak (nursery school), pusat pengasuhan anak pada siang hari (day care center), atau taman kanak-kanak (Hurlock, 1997). Dari definisi-definisi yang diberikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak-anak prasekolah adalah anak-anak yang berada dalam masa kanak-kanak awal dengan rentang usia 2 tahun hingga 6 tahun yang biasanya mengikuti pendidikan prasekolah.
Ciri-ciri anak-anak prasekolah Seperti yang telah dikemukakan di atas, masa kanak-kanak dicirikan oleh dilewatinya masa bayi yang penuh ketergantungan,. Pada masa ini mulai tumbuh kemandirian. Lebih lanjut, dalam Hurlock (1997) dikatakan bahwa usia prasekolah merupakan suatu masa dengan ciri-ciri khusus sebagai berikut: 1. Masa kanak-kanak awal sebagai usia kel o m p o k , m a s a ke t i k a a n a k a k t i f mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu mereka masuk kelas satu. 2. Banyak ahli psikologi melabeli awal masa kanak-kanak sebagai usia menjelajah karena pada usia tersebut perkembangan utama anak berkisar di seputar penguasaan dan pengendalian lingkungan. salah satu cara yang umum dalam menjelajahi lingkungan adalah dengan bertanya, sehingga periode ini disebut pula sebagai usia bertanya. 3. Usia prasekolah juga dikenal sebagai usia meniru karena salah satu cirinya yang paling menonjol yakni sering meniru pembicaraan
106
dan tindakan orang lain, meski demikian kecenderungan meniru tidak mematikan kreativitas anak dalam bermain. Tidak ada masa lain yang memberikan kesempatan anak untuk bermain kreatif melebihi awal masa kanak-kanak. Alasan tersebut menyebabkan periode ini juga disebut usia kreatif. (Hurlock, 1997).
Perkembangan Sosioemosi Anak-Anak Prasekolah Bentuk dan ukuran anak-anak usia dua, tiga, empat, dan lima tahun amat berbeda-beda. Mereka tumbuh dan berkembang dalam banyak cara. Secara fisik mereka berubah, tumbuh lebih tinggi, dan seringkali “tampang-tampang bayi” mereka sirna. Menjelang usia tiga tahun, anakanak beralih dari tingkat anak yang baru dapat berjalan. Bahasa dan perbendaharaan kata mereka bertambah dengan cepat. Anak-anak usia tiga, empat, dan lima tahun sangat ingin tahu tentang dunia dan lingkungan mereka dengan beraneka ragam cara. Secara khas, anak usia empat dan lima tahun suka berada dengan anak-anak lain. Pada waktu yang sama mereka masih mengembangkan ketrampilan sosial, seperti ambil bagian dan bekerja sama. Dunia bermain yang penuh keceriaan merupakan dunia mereka, anak-anak usia dini (Seefeldt & Wasik, 2006) Dalam Hurlock (1980), selama awal masa kanak-kanak, emosi yang dimilikinya sangat kuat karena saat ini merupakan saat ketidakseimbangan emosi, dimana anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan. Emosi yang meninggi ditandai dengan ledakan amarah yang kuat, ketakutan yang hebat dan iri hati yang tidak masuk akal. Sebagian dari emosi yang kuat pada periode ini dapat disebabkan oleh kelemahan akibat lamanya bermain, tidak mau tidur siang, dan makan terlalu sedikit. Emosi yang tinggi disebabkan masalah psikologis daripada masalah fisiologis, misalnya perlakuan keluarga. Emosi yang umum pada awal masa kanakkanak antara lain: 1. Amarah Penyebab yang paling umum adalah pertengkaran mengenai permainan, tidak tercapainya keinginan dan serangan yang hebat dari anak lain; yang biasanya diungkapkan dengan menangis, berteriak, INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010
Nurul Hidayati
2.
3.
4.
5.
6.
menggertak, menendang, melompat-lompat atau memukul Takut Pembiasaan, peniruan, dan ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan berperan pengalaman yang kurang menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut. Reaksi yang biasa muncul berupa panik, yang kemudian dapat menjadi lebih khusus seperti berlari, menghindar, dan bersembunyi, menangis dan menghindari situasi yang menakutkan tersebut. Cemburu Perasaan cemburu dapat muncul ketika anak merasa atau mengira bahwa perhatian orangtua beralih kepada orang lain dalam keluarga. Anak yang lebih muda dapat mengungkapkan kecemburuannya secara terbuka dan menunjukkannya dengan kembali berperilaku seperti anak kecil, seperti mengompol, pura-pura sakit atau menjadi nakal. Perilaku ini bertujuan untuk menarik perhatian. Ingin tahu Anak menunjukkan rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang baru dilihatnya, juga mengenai tubuhnya sendiri dan tubuh orang lain. Reaksi pertama adalah dalam bentuk penjelajahan sensomotorik; kemudian sebagai akibat dari tekanan sosial dan hukuman, dimana anak bereaksi dengan bertanya. Iri hati Sikap iri hati muncul mengenai kemampuan atau barang yang dimiliki orang lain, yang diungkapkan dengan berbagai cara. Cara yang paling umum dilakukan anak adalah mengeluh tentang barangnya sendiri, dengan mengungkapkan keinginan untuk memiliki barang seperti dimiliki orang lain; atau dengan mengambil benda-benda yang menimbulkan iri hari tersebut. Gembira Anak merasa gembira karena sehat,
INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010
7.
8.
membohongi orang lain dan berhasil melakukan tugas yang dianggap sulit. Anak mengungkapkan kegembiraannya dengan tersenyum dan tertawa, bertepuk tangan, melompat-lompat, atau memeluk benda atau orang yang membuatnya bahagia. Sedih Umumnya anak merasa sedih karena kehilangan sesuatu yang dicintai atau yang dianggap penting bagi dirinya, baik itu sosok seseorang, binatang ataupun benda mati s e p e r t i m a i n a n . S e c a ra k h a s a n a k mengungkapkan kesedihannya dengan menangis dan dengan kehilangan minat terhadap kegiatan normalnya, termasuk makan. Kasih sayang Anak belajar mencintai orang, binatang atau benda yang dianggap menyenangkannya. Ia mengungkapkan kasih sayang secara lisan bila sudah besar, namun ketika masih kecil, anak cenderung menyatakan secara fisik dengan memeluk, menepuk, dan mencium obyek kasih sayangnya.
Terkait dengan perkembangan emosi anakanak prasekolah, berikut ini standar tingkat pencapaian perkembangan sosioemosi anak mulai dari usia 2 tahun hingga 4 tahun lebih. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini, terdapat standar tingkat pencapaian perkembangan tertentu yang berisi kaidah pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Tingkat perkembangan yang dicapai merupakan aktualisasi potensi semua aspek perkembangan yang diharapkan dapat dicapai anak pada setiap tahap perkembangannya, bukan merupakan suatu tingkat pencapaian kecakapan akademis.
107
Bermain Khayal untuk Mengembangkan Dimensi Sosioemosi Anak-Anak Prasekolah
Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Sosioemosi Kelompok Usia 2 - <4 Tahun Tingkat Pencapaian Perkembangan Keterangan Lingkup Perkembangan 2 - <3 tahun 3 - <4 tahun 1. Mulai bisa melakukan 1. Mulai bisa buang air kecil tanpa mengungkapkan ketika bantuan. ingin buang air kecil dan 2. Bersabar menunggu buang air besar. giliran. 2. Mulai memahami hak 3. Mulai menunjukkan sikap orang lain toleran sehingga dapat 3. Mulai menunjukkan sikap bekerja dalam kelompok. Sosio-Emosional berbagi, membantu, 4. Mulai menghargai orang (Perkembangan Kemampuan bekerja bersama. lain. mengendalikan emosi) 4. Menyatakan perasaan 5. Bereaksi terhadap hal-hal terhadap anak lain (suka yang dianggap tidak benar dengan teman karena baik (marah apabila diganggu hati, tidak suka karena atau diperlakukan nakal, dsb.) berbeda). 5. Berbagi peran dalam 6. Mulai menunjukkan suatu permainan. ekspresi menyesal ketika melakukan kesalahan. Sumber: Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini
Standar tingkat pencapaian perkembangan kelompok usia 4 - <5 tahun Lingkup Perkembangan Tingkat Pencapaian Perkembangan Usia 4 - <5tahun Sosio-Emosi 1. Menunjukkan sikap mandiri dalam memilih (Perkembangan Kemampuan kegiatan. mengendalikan emosi) 2. Mau berbagi, menolong, dan membantu teman. 3. Menunjukkan antusiasme dalam melakukan permainan. 4. Mengendalikan perasaan. 5. Menaati aturan yang berlaku dalam suatu permainan. 6. Menunjukkan rasa percaya diri 7. Menjaga diri sendiri dan lingkungannya. 8. Menghargai orang lain. Sumber: Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini
Bermain Khayal Dalam Santrock (1998) bermain didefinisikan sebagai aktivitas menyenangkan yang dilakukan demi kesenangan itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Smith dkk; Garvey, Rubin, Fein & Vandenberg (dalam Johnson dkk, 1999, dalam Tedjasaputra, 2001) menghasilkan temuan mengenai ciri-ciri bermain, yaitu: 1. Dilakukan berdasarkan motivasi intrinsik, maksudnya muncul atas keinginan pribadi
108
2. 3.
4.
serta untuk kepentingan sendiri. Perasaan orang yang terlibat diwarnai oleh emosi-emosi yang positif Fleksibilitas yang ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Lebih menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil akhir. Tidak adanya tekanan untuk mencapai prestasi membebaskan anak untuk mencoba INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010
Nurul Hidayati
berbagai variasi kegiatan, karena itu bermain cenderung lebih fleksibel. 5. Bebas memilih. Ciri ini merupakan elemen yang sangat penting bagi konsep bermain pada anak-anak kecil yang berada pada usia prasekolah. 6. Mempunyai kualitas pura-pura. Kegiatan bermain mempunyai kerangka tertentu yang memisahkannya dari kehidupan nyata sehari-hari. Realitas internal lebih diutamakan daripada realitas eksternal karena anak memberi makna baru terhadap obyek yang dimainkan dan mengabaikan keadaan obyek yang sesungguhnya. Kualitas pura-pura memungkinkan anak bereksperimen dengan kemungkinankemungkinan baru. Ciri terakhir menjadi indikasi paling kuat bahwa seorang anak usia prasekolah sedang melakukan kegiatan bermain. Batasan mengenai bermain menjadi penting untuk dipahami karena berfungsi sebagai parameter bagi kita, antara lain dalam menentukan sejauh mana aktivitas yang dilakukan anak bisa dikategorikan dalam bermain atau bukan bermain. Perkembangan kegiatan bermain pada anakanak usia prasekolah sejalan dengan perkembangan level intelektual, sosial, dan kematangan sosial mereka. Secara umum dapat dikatakan bahwa tipe bermain yang dominan pada anak-anak usia prasekolah yakni bermain khayal atau pura-pura (Hughes, 1995). Turner dan Helms (1993, dalam Tedjasaputra, 2001) menyatakan bahwa kegiatan bermain khayal atau pura-pura melibatkan unsur imajinasi dan peniruan terhadap perilaku orang dewasa. Unsur imajinasi atau khayalan inilah yang menjadikan aktivitas bermain khayal ini menarik, karena pada awal masa kanak-kanak situasi imajinatif merupakan hal yang nyata. (Vygotsky, 1962 dalam Santrock, 1998)
Bermain Khayal untuk Mengoptimalkan Perkembangan Dimensi Sosioemosi Anak-Anak Prasekolah Un t u k b e r m a i n k h ay a l , p a r a a h l i mempergunakan beberapa istilah yang berbeda. Jean Piaget (1962, dalam Tedjasaputra, 2001) mengistilahkannya dengan symbolic or make-
INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010
believe play. Istilah Stasen Berger (1983) maupun Chaterine Garvey (1977) mengkategorikan kegiatan bermain khayal dan pura-pura ke dalam bermain peran atau dramatic play, sedangkan istilah yang diberikan oleh Charlotte Buhler yakni games of make-believe and illussion (Tedjasaputra, 2001). Istilah lain yang juga sering digunakan yaitu imaginative play, pretend play, pretens play, atau fantasy play (Hughes, 1995; Santrock, 1998; Santrock, 2004). Bermain khayal atau pura-pura biasanya muncul ketika anak berusia sekitar 18 bulan dan mencapai puncaknya di usia 4 hingga 5 tahun, kemudian mengalami penurunan secara bertahap (Santrock, 2004). Kemampuan awal anak berimajinasi muncul begitu awal seiring dengan kemampuan bicaranya, bahkan sebagian anak telah memasuki petualangan imajinatif sebelum mereka mampu bicara. Ketika anak-anak menirukan gerakangerakan hewan atau menirukan perbuatan orang lain tanpa kehadiran model yang diimitasinya, maka anak melakukan aktivitas imajinatif (Jersild, dkk, 1975). Sekitar usia dua tahun, kebanyakan anak menunjukkan peningkatan aktivitas imajinatif, sebagaimana tercermin pada bahasa yang mereka gunakan dan kegiatan bermain mereka. Pada sebuah studi yang merekam kata-kata yang diucapkan anak-anak ditemukan bahwa 1,5 persen ucapan anak-anak yang berusia 24-27 bulan memiliki karakteristik imajinatif, sementara pada anak-anak berusia 42-47 bulan mencapai 8,7 persen (Burnham, 1940, dalam Jersild,dkk, 1975). Selanjutnya, pada studi yang dilakukan oleh Markey (1935, dalam Jersild, dkk, 1975) yang merekam baik bahasa maupun perilaku nampak anak-anak usia 2½-4 tahun ditemukan peningkatan enam kali lipat pada frekuensi episode imajinatif. Studi yang dilakukan oleh Markey tersebut juga menunjukkan bahwa di samping perubahan jumlah aktivitas khayal, terdapat perubahan tema khayalan dari anak-anak. Pada umumnya, aktivitas imajinatif anak di bawah usia 3 tahun d a p a t d i k a te go r i k a n m e n j a d i t i g a : ( 1 ) Personifikasi, misalnya: berbicara pada obyekobyek yang tidak hidup (inanimate objects). (2).Penggunaan material secara khayal, seperti: minum dari cangkir kosong. (3).Partisipasi pada situasi-situasi khayal, misalnya: berpura-pura
109
Bermain Khayal untuk Mengembangkan Dimensi Sosioemosi Anak-Anak Prasekolah
memadamkan kebakaran. Pada usia tiga tahun, aktivitas imajinatif yang dominan yakni penggunaan materi secara khayal. Sesudah usia tiga tahun, situasi khayal berlangsung lebih lama dan mulai terencana, misalnya: memainkan drama yang tergolong rumit. Anak-anak seringkali melibatkan dirinya dalam situasi-situasi khayal di mana ia turut menciptakan setting-nya, peralatan yang diperlukan, dan isi drama yang dimainkan. Ketika memasuki usia prasekolah, berbagai aktivitas imajinatif dimunculkan dan dikembangkan dalam pikiran anak (Jersild, dkk, 1975) Anak-anak usia prasekolah berada pada tahapan berpikir praoperasional. Menurut Jean Piaget (1962, dalam Tedjasaputra, 2001), symbolic or make believe play merupakan ciri khas aktivitas bermain pada tahapan tersebut. Kemampuan anak untuk berkhayal ini berkaitan dengan perkembangan simbolik yang sudah dicapainya. Anak sudah mulai dapat menggunakan simbol atau representasi benda lain. Misalnya: menggunakan sapu sebagai kuda-kudaan, dan menganggap sobekan kertas sebagai uang. Doyle, dkk, 1992, Fein, 1986, Rogers & S aw ye r s, 19 8 8 ( d a l a m S a n t ro c k , 19 9 8 ) mengemukakan bahwa pretend/ symbolic play muncul ketika anak mentransformasikan lingkungan fisik ke dalam simbol-simbol. Ketika anak mulai mampu merepresentasikan realitas pada diri mereka sendiri melalui penggunaan simbol-simbol, mempergunakan sesuatu mewakili sesuatu yang lain, anak-anak mulai menampakkan kegiatan bermain khayal (Hughes, 1995). Sebuah piring kosong “menjadi” penuh dengan makanan, sebuah kotak kerdus “menjadi” roket, atau sejumlah tongkat dan kotak-kotak kayu “berubah menjadi” sebuah benteng. Bermain khayal, menurut Parten (1932, dalam Hughes, 1995), dapat dilakukan sebagai aktivitas soliter, sebagaimana halnya ketika anak berbagi dunia khayalan personalnya dengan boneka-boneka, dengan berbagai miniatur makhluk hidup lainnya, atau dapat pula muncul secara paralel, ketika dua atau lebih anak-anak seakan-akan bermain bersama, akan tetapi masing-masing disibukkan oleh khayalan yang terpisah. Episode bermain khayal secara soliter dan paralel terus nampak sepanjang usia prasekolah. Hal ini menurut Piaget (1962, dalam
110
Hughes, 1995) merupakan perkembangan yang normal yang mengindikasikan peningkatan kematangan sosial anak. Pada perkembangannya, bermain khayal dapat melibatkan interaksi yang kuat antar anggota kelompok di mana masing-masing memainkan peranan yang saling melengkapi. Tipe bermain khayal ini dikenal sebagai sociodramatic play (Hughes, 1995). Sociodramatic play membutuhkan kemampuan kerjasama dalam kelompok. Faktor aktivitas kelompok dan kerjasama inilah yang membedakan sociodramatic play dengan jenis permainan khayal soliter. Para pemainnya terikat dalam setting sosial dengan serangkaian aturan untuk memastikan kerjasama antar pemain. Terdapat kecenderungan bahwa kerjasama yang dilakukan anak ketika terlibat dalam sociodramatic play digeneralisasikan dalam area-area lain yang juga melibatkan interaksi sosial. Setiap anak butuh media pengungkapan emosi, di mana untuk memancing anak menceritakan emosinya orang tua dapat memakai media bermain khayal dan bermain pura-pura. Aktivitas tersebut merupakan latihan positif bagi anak-anak karena memberikan mereka kesempatan belajar untuk berpikir serta menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Melalui aktivitas bermain khayal dan bermain pura-pura tersebut anak-anak juga dapat belajar membawakan peran-peran tertentu (Tedjasaputra, 2001). Dunia khayalan mempunyai kualitas yang mendekati kenyataan bagi anakanak dan memberikan pengalaman-pengalaman yang begitu menyenangkan. Anak-anak dapat memainkan berbagai macam peran yang ingin mereka lakukan, menjadikan diri mereka apapun yang mereka sukai dan berpura-pura bahwa peran yang tengah dimainkannya merupakan suatu kenyataan. Mewujudkan khayalan melalui bermain amatlah penting bagi anak-anak prasekolah, tetapi khayalan seorang anak tidak akan bisa terwujud secara efektif tanpa kehadiran anak-anak lain dalam permainan khayal yang dimainkannya tersebut. Bagaimana bisa seorang anak sungguhsungguh merasa sebagai orang tua tanpa ada anakanak lain yang berperan sebagai penumpangnya? Bagaimana bisa seorang anak sungguh-sungguh merasa menjadi pilot tanpa ada anak-anak lain INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010
Nurul Hidayati
yang berperan sebagai penumpang? Bagaimana bisa seorang anak sungguh-sunggu merasa menjadi raja yang berkuasa tanpa ada anak-anak lain yang berperan sebagai obyek kekuasaannya? Maka kehadiran teman-teman sebaya merupakan suatu hal penting bagi anak-anak yang juga terkait dengan kebutuhan anak untuk bermain dan berkhayal. Di sini kita lihat bahwa bermain khayal dapat pula dijadikan media yang membantu anak bersosialisasi. Dalam Jersild, dkk (1975), diuraikan mengenai motif-motif yang mendasari aktivitas berkhayal antara sebagai berikut: (1) Bahwa Interpretasi lain terhadap motivasi khayalan yakni bahwa khayalan merupakan persiapan hidup. Aktivitas yang berasal dari inisiatif sendiri (selfinitiated acitivities) yang dilakukan seorang anak memberikan suatu bentuk penjelajahan di mana anak secara imajinatif terlibat dalam aktivitas tersebut tanpa menanggung resikonya. Hal ini tentu berbeda andai aktivitas tersebut benarbenar diwujudkan di dunia nyata. (2) Khayalan juga bisa dimunculkan sebagai alat mengatasi ketakutan (coping of fear). Seorang anak dapat memanfaatkan situasi khayalan yang aman untuk mengkonfrontasikan ketakutan yang dialaminya di dunia nyata, sehingga kadar ketakutan dapat dikurangi. Di dalam situasi yang tidak berbahaya, seorang anak secara bertahap akan mampu mengatasi ketakutannya dan memperoleh rasa berkuasa terhadap obyek yang membuatnya takut tersebut. (3) Khayalan juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk melepas agresi (outlet for aggression) Anak-anak seringkali mempergunakan khayalan untuk menghadapi gangguan dan mengambil tindakan terhadap kondisi yang menjengkelkan atau yang menghambat mereka dalam kehidupan nyata. (4) Khayalan dapat berfungsi sebagai pemindahan perasaan tidak senang (removal of the unpleasant). Beberapa anak melalui khayalan mereka bisa mengubah situasi di dunia nyata yang tidak disetujuinya menjadi situasi tertentu yang lebih sesuai dengan keinginan mereka. Dalam Hughes (1995) dijelaskan mengenai keuntungan afektif, intelektual, dan sosial dari bermain khayal. Keuntungan afektif yang didapat meliputi perkembangan self awareness, self confidence, dan self control (Singer, 1973, dalam Hughes, 1995). Dalam bermain khayal, anak-anak INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010
mempunyai kesempatan untuk menguasai lingkungan. Dalam dunia khayal, mereka bisa mengubah perasaan lemah menjadi rasa kuat dan memiliki kekuasaan. Dengan demikian, mereka mampu mereduksi konflik dalam hidup mereka dengan mengkompensasikan pengalamanpengalaman yang tidak menyenangkan dengan “meniadakannya” dan memainkannya dengan akhir yang menyenangkan sebagai kebalikan atas kenyataan (Bretherton, 1986; Freud, 1974; Piaget & Inhelder, 1969, dalam Hughes, 1995). Berbagai keuntungan intelektual yang diperoleh dari bermain khayal. Dengan memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk menciptakan dunia alternatif, mendorong mereka untuk melakukan representasi yang berbeda dari kenyataan (Bretherton, 1986, dalam Hughes, 1995). Hal ini menstimulasi tipe berpikir “bagaimana jika” yang merupakan bentuk dasar dari pemikiran hipotetis serta pemecahan masalah. Bermain khayal menstimulasi anak untuk berpikir kreatif dan telah terbukti memprediksikan kreativitas di masa datang (Dansky, 1980, dalam Hughes, 1995). Selain itu, keterlibatan secara luas dalam bermain khayal dapat meningkatkan memori, perkembangan bahasa, dan kemampuan kognisi dalam melihat berbagai sudut pandang (Burns & Brainerd, 1979; Dansky, 1980; Rubin, Fein, & Vandenberg, 1983; Saltz, Dixon, & Johnson, 1977, dalam Hughes, 1995). Sociodramatic play, aktivitas bermain di mana anak-anak memainkan berbagai peran, digambarkan sebagai bentuk permainan yang paling sosial dan memiliki dampak yang paling besar terhadap pembentukan kesadaran sosial pada anak-anak (Hartley, Frank, & Goldenson, 1952, dalam Hughes, 1995). Keterlibatan dalam bermain khayal dapat meningkatkan kemampuan anak untuk bekerjasama dalam kelompok, untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial, dan memahami hubungan antar manusia (Fink, 1976, Smith, Dalgeish,& Herzmark, 1983; Smith & Syddall, 1978, dalam Hughes, 1995). Ketika anakanak prasekolah terlibat dalam bermain khayal secara sosial, mereka mulai mengeksplorasi isuisu “pengendalian dan kerjasama” (Howes, Unger, & Matheson,1992, dalam Hughes, 1995).
Penutup 111
Bermain Khayal untuk Mengembangkan Dimensi Sosioemosi Anak-Anak Prasekolah
Walaupun setiap anak adalah unik, karena perkembangan anak berbeda satu sama lain yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, namun demikian, perkembangan anak tetap mengikuti pola yang umum. Agar anak mencapai tingkat perkembangan yang optimal, dibutuhkan keterlibatan orang tua dan orang dewasa lain untuk memberikan rangsangan yang bersifat menyeluruh dan terpadu. Anak pada masa emas ini sangatlah peka untuk menerima rangsang, pengaruh dan dorongan dari luar. Sesuai dengan kajian dalam tulisan ini, bermain khayal ternyata
merupakan suatu kegiatan dengan manfaat luar biasa khususnya bagi perkembangan sosioemosi anak-anak prasekolah. Tulisan ini masih membutuhkan kajian dan pembahasan lebih lanjut. Penulis berharap tulisan yang bersumber dari kajian teoretis ini mampu memberi masukan dan motivasi bagi orang tua dan guru untuk memanfaatkan aktivitas bermain khayal untuk membantu optimalnya perkembangan sosioemosi anak-anak prasekolah mereka.
PUSTAKA ACUAN Cohen, D.H. & Rudolph, M. (1977). Kindergarten and early schooling, New Jersey: Prentice-Hall Inc. Elkind, D & Weiner, I.B. (1978) Development of the child. New York: John Wiley & Sons, Inc. Hughes, F.P. (1995). Children, play, and development. Boston: Allyn and Bacon. Hurlock, E.B. (1978). Child development. Sixth Edition. New York: Mc Graw-Hill, Inc. Hurlock, E.B. (1997). Psikologi perkembangan. Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hurlock, E.B. (1997). Perkembangan anak. Jilid 1. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga. Jersild, A.T., Telford, C.W., & Sawrey, J.M. (1975). Child psychology. Seventh Edition, New Jersey: Prentice-Hall Inc. Mulyadi, S. (2004). Seri cerdas emosi: Membantu anak balita mengelola amarahnya. Jakarta: Penerbit Erlangga. Mussen, P.H., Conger, J.J. & Kagan, J. (1979). Child development and personality. Fifth Edition. New York: Harper & Row Publishers. Papalia, D.E. & Feldman, R.D. (2002). Child's world: Infancy through adolescence. Ninth Edition. New York: McGraw-Hill. Santrock, J.W. (1998) Child development. Eight Edition. Boston: Mc Graw Hill. Santrock, J.W. (2004) Life-span development. Ninth Edition. New York: Mc Graw Hill. Seefeldt, Carol, Wasik, Barbara A. (2008). Pendidikan anak usia dini: Menyiapkan anak usia tiga, empat, dan lima tahun masuk sekolah.Jakarta: Indeks
112
INSAN Vol. 12 No. 02, Agustus 2010