Bab II
Kajian Teori
Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Selain sebagai pelindung terhadap gangguan alam dan makhluk lainnya, rumah juga berperan sebagai pusat pendidikan keluarga, proses budaya, penyiapan generasi muda dan lain-lain. Sehingga tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa kualitas sumber daya manusia juga dapat dipengaruhi dari kualitas perumahan.
Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia setelah sandang dan pangan. Oleh sebab itu, menempati perumahan dan permukiman yang layak, aman dan nyaman adalah hak setiap orang. Sasaran yang harus dicapai untuk mendapatkan hunian yang berkualitas (pada hunian berkepadatan menengah dan rumah tunggal): 4
Menumbuhkan rasa kepemilikan, keamanan dan konsistensi dengan pola penggunaan yang wajar dan dapat diprediksi.
Merespon perubahan daur hidup hunian dan komunitas
Menumbuhkan kebanggaan dan berkontribusi dalam pembentukan wajah dan karakter lingkungan.
Perancanaan dan Perancangan harus peka terhadap visi masa depan dari komunitas
Sasaran-sasaran tersebut di atas dapat dicapai melalui perhatian yang besar terhadap elemen fisik dan isu-isu kualitas kehidupan (kepemilikan, penggunaan, keamanan, perwajahan), baik pada skala rumah dan halaman, blok hunian, maupun lingkungan keseluruhan.
II.1
Rumah Sederhana
Berdasarkan Kepmen Kimpraswil mengenai Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat (1991), definisi Rumah Sederhana Sehat adalah tempat kediaman yang 4
Making Housing Home, A Design Guide for Site Planning Quality Housing, University of Minnesota, A Publication of The College of Architecture and Landscape Architecture, Design Center for American Urban Landscape, 1996
11
layak dihuni dan harganya terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang, berupa bangunan yang luas lantai dan luas kavelingnya memadai dengan jumlah penghuni serta memenuhi persyaratan kesehatan rumah tinggal.
Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) dibangun dengan menggunakan bahan bangunan dan konstruksi sederhana, akan tetapi masih memenuhi standar kebutuhan minimal dari aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan, dengan mempertimbangkan dan memanfaatkan potensi lokal meliputi potensi fisik seperti bahan bangunan, geologis dan iklim setempat serta potensi sosial budaya seperti arsitektur lokal, dan cara hidup. 5 Persyaratan kesehatan rumah tinggal yang dimaksud harus sesuai dengan ketentuan kondisi fisik, kimia dan biologik di dalam
rumah
yang
sesuai
dengan
Kepmen
Kesehatan
No.829/MENKES/SK/VII/1999, menyangkut persyaratan bahan bangunan, komponen dan penataan ruang rumah, pencahayaan, kualitas udara, ventilasi, binatang penular penyakit, air, sarana penyimpan makanan yang aman, limbah dan kepadatan hunian ruang tidur.
Rumah Sederhana adalah tempat kediaman yang layak dihuni dan harganya terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang. Luas kapling ideal, dalam arti memenuhi kebutuhan luas lahan untuk bangunan sederhana sehat baik sebelum maupun setelah dikembangkan.
Secara garis besar perhitungan luas bangunan tempat tinggal dan luas kapling ideal yang memenuhi persyaratan kesehatan, keamanan dan kenyamanan bangunan seperti berikut:
Kebutuhan ruang minimal menurut perhitungan dengan ukuran Standar Minimal adalah 9 m2, atau standar ambang dengan angka 7,2 m2 per orang. Sebagai konsepsi dasar kedua perhitungan tersebut masih digunakan dengan
tetap
mempertimbangkan
bentuk
akhir
rumah
pasca
pengembangan. 5
Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat
12
Dari hasil perhitungan diatas didapat luas bangunan awal adalah 21 m2 dengan pertimbangan dapat dikembangkan menjadi 36 m2 bahkan pada kondisi tertentu dimungkinkan memenuhi standar ruang internasional.
Gambar II.1 Rumah Sederhana Sehat T-36 Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
Dalam pelaksanaannya pemenuhan penyediaan Rumah Sederhana Sehat masih menghadapi kendala, berupa rendahnya tingkat kemampuan masyarakat. Harga Rumah Sederhana Sehat masih belum memenuhi keterjangkauan secara menyeluruh. Untuk itu disediakan desain rumah antara yang pertumbuhannya diarahkan menjadi Rumah Sederhana Sehat. Rumah antara yang dimaksud adalah Rumah Inti Tumbuh (RIT), yaitu tempat kediaman awal untuk memulai bertempat tinggal dengan standar minimal yang layak dihuni dan harganya terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. RIT berupa bangunan dengan luas lantai 21 m2 dan luas lahan efektif antara 72-90 m2 yang berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga serta mendorong penghuni untuk tumbuh, baik aspek fisik bangunan rumah sederhana sehat maupun aspek sosial budaya.
Pada RIT, ruang-ruang yang perlu disediakan sekurang-kurangnya terdiri dari:
13
1 ruang tidur yang memenuhi persyaratan keamanan dengan bagianbagiannya tertutup oleh dinding dan atap serta memiliki pencahayaan yang cukup berdasarkan perhitungan serta ventilasi cukup dan terlindung dari cuaca. Bagian ini merupakan ruang yang utuh sesuai dengan fungsi utamanya.
1 ruang serbaguna merupakan ruang kelengkapan rumah dimana di dalamnya dilakukan interaksi antara keluarga dan dapat melakukan aktivitas-aktivitas lainnya. Ruang ini terbentuk dari kolom, lantai dan atap, tanpa dinding sehingga merupakan ruang terbuka namun masih memenuhi persyaratan minimal untuk menjalankan fungsi awal dalam sebuah rumah sebelum dikembangkan.
1 kamar mandi/kakus/cuci merupakan bagian dari ruang servis yang sangat menentukan apakah rumah tersebut dapat berfungsi maksimal atau tidak, khususnya untuk kegiatan mandi cuci dan kakus.
II.1.1 Proses Pengembangan RIT menjadi Rumah Sederhana Sehat Ketiga ruang tersebut di atas merupakan ruang-ruang minimal pada RIT yang harus dipenuhi sebagai standar minimal dalam pemenuhan kebutuhan dasar, selain itu sebagai cikal bakal rumah sederhana sehat. Konsepsi cikal bakal dalam hal ini diwujudkan sebagai suatu rumah inti yang dapat tumbuh menjadi rumah sempurna yang memenuhi standar kenyamanan, keamanan, serta kesehatan penghuni, sehingga menjadi rumah sederhana sehat.
Kebutuhan dasar minimal suatu rumah yang harus selalu dipenuhi dalam perancangan hunian adalah: 1. Atap yang rapat dan tidak bocor 2. Lantai yang kering dan mudah dibersihkan 3. Penyediaan air bersih yang cukup 4. Pembuangan air kotor yang baik dan memenuhi persyaratan kesehatan
14
5. Pencahayaan alami yang cukup 6. Udara bersih yang cukup melalui pengaturan sirkulasi udara sesuai dengan kebutuhan Rancangan pengembangan rumah sehat yang dirumuskan dalam Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat meliputi bangunan dan bagian-bagiannya sebagai berikut:
Bangunan Rumah Inti Tumbuh (RIT-1) berukuran 21 m2 dengan ruangan-ruangan: - Ruang inti berukuran 3,00 x 3,00 m2 - Ruang serba guna (tanpa dinding) berukuran 3,00 x 3,00 m2 - Kamar mandi + WC (tanpa atap) berukuran 1,50 x 1,20 m2
Pertumbuhan
menjadi
Rumah
Sederhana
Sehat
(RsS-1)
berukuran 28.8 m2 dengan ruangan: - Dua Ruang tidur berukuran 3,00 x 3,00 m2 - Ruang Servis/pertumbuhan berukuran 2,50 x 3,00 m2 - Kamar mandi + WC berukuran 1,50 x 1,20 m2
Pertumbuhan
menjadi
Rumah
Sederhana
Sehat
(RsS-2)
berukuran 36 m2 dengan ruangan : - Dua Ruang tidur berukuran 3,00 x 3,00 m2 - Ruang tidur anak berukuran 3,00 x 3,00 m2 - Ruang tamu berukuran 2.50 x 3.00 m2 - Ruang berukuran 3.00 x 3.00 m2 - Kamar mandi + WC berukuran 1,50 x 1,20 m2
Konstruksi bangunan rumah : - Pondasi konstruksi batu kali - Lantai konstruksi rabat beton - Dinding konstruksi pasangan conblock - Kusen pintu/jendela konstruksi kayu - Atap konstruksi rangka kuda-kuda kayu - Penutup konstruksi Asbes/seng gelombang kecil
Sanitair minimal untuk RIT-1 sampai dengan RsS-2 minimal memiliki:
15
- Closet jongkok kakus beserta leher angsanya 1 unit - Bak air mandi fibre/plastik 1 unit - Disiapkan instalasi diluar sumber sumur pompa tangan 1 unit
Proses pengembangan RIT menjadi Rs Sehat memberi peluang bagi calon penghuni / penghuni dalam mengekspresikan kebutuhan pengungkapan jati diri. Hal tersebut akan dapat mengurangi peluang terhadap pembongkaran bagian-bagian bangunan secara besar-besaran.
Gambar II.2 Pola pertumbuhan RIT menuju Rs Sehat-2 pada kondisi lahan dengan harga tinggi, yang membentuk aturan rumah deret dengan ukuran lebar minimal lahan 6.00 m dengan luas lahan efektif 72 m2 dan luas lahan ideal 200 m2. Sumber: Pedoman Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
II.1.2 Komponen Bangunan A. Pondasi Secara umum sistem pondasi yang memikul beban kurang dari dua ton (beban kecil), yang biasa digunakan untuk rumah sederhana dapat dikelompokan kedalam tiga sistem pondasi, yaitu: pondasi langsung; pondasi setempat; dan pondasi tidak langsung. Sistem pondasi yang digunakan pada Rumah Inti Tumbuh (RIT) dan pengembangannya dalam hal ini Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) ini adalah sistem pondasi setempat dari bahan pasangan batu kali atau pasangan beton
16
tanpa tulangan dan sistem pondasi tidak langsung dari bahan kayu ulin atau galam.
B. Dinding Bahan dinding yang digunakan untuk RIT dan pertumbuhannya adalah conblock, papan, setengah conblock dan setengah papan atau bahan lain seperti bambu tergantung pada potensi bahan yang dominan pada daerah dimana rumah ini akan dibangun. Ukuran conblock yang digunakan harus memenuhi SNI PKKI NI-05
Untuk dinding papan harus dipasang pada kerangka yang kokoh, untuk kerangka dinding digunakan kayu berukuran 5/7 dengan jarak maksimum 100 cm. Kayu yang digunakan baik untuk papan dan balok adalah kayu kelas kuat dan awet II. Apabila untuk kerangka digunakan kayu balok berukuran 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran dengan ukuran sepadan. Jarak tiang rangka kurang lebih 150 cm. Papan yang digunakan dengan ketebalan minimal 2 cm setelah diserut dan sambungan dibuat alur lidah atau sambungan lainnya yang menjamin kerapatan. Rangka dinding untuk rumah tembok dibuat dari struktur beton bertulang. Untuk rumah setengah tembok menggunakan setengah rangka dari beton bertulang dan setengah dari rangka kayu. Untuk rumah kayu tidak panggung rangka dinding menggunakan kayu. Untuk sloof disarankan menggunakan beton bertulang. Sedangkan rumah kayu panggung seluruhnya menggunakan kayu, baik untuk rangka bangunan maupun untuk dinding dan pondasinya.
C. Kolom dan Balok Kolom merupakan elemen vertikal, beban (aksial) hanya diberikan di ujung-ujungnya dan tidak ada beban transversal. Kolom tidak mengalami lentur secara langsung.
17
Kolom dikategorikan berdasarkan panjangnya, yaitu: Kolom pendek adalah elemen struktur kolom yang mempunyai nilai perbandingan antara panjangnya dengan dimensi penampang melintang relatif kecil. Kapasitas pikul-beban kolom tidak bergantung pada panjang kolom dan apabila mngalami beban berlebihan, kegagalannya berupa kegagalan material. Dengan demikian kapasitas pikul-beban
batas
bergantung
pada
kekuatan
material
yang
digunakan. Kegagalannya berupa hancurnya material. Kolom panjang. Pada kolom panjang, kapasitas pikul-beban untuk elemen struktur kolom terebut adalah besar beban yang menyebabkan kolom tersebut mengalami tekuk awal. Struktur yang telah mengalami tekuk tidak mempunyai kemampuan layan lagi. Kolom panjang (beban lebih kecil dari beban tekuk): kolom berada dalam keseimbangan stabil. Apabila kolom mengalami deformasi kecil, dapat kembali ke konfigurasi semula apabila bebannya dihilangkan. Kolom panjang (beban = beban tekuk); apabila beban pada kolom mengalami deformasi dari konfigurasi linier, maka akan tetap pada konfigurasi baru (tidak kembali ke konfigurasi linier). Beban tekuk adalah beban maksimum yang dapat dipikul oleh kolom. Sedangkan pada kolom panjang dengan beban lebih besar daripada beban tekuk kritis, kolom berada dalam keseimbangan tak stabil. Kolom akan terus berdeformasi pada beban konstan sampai akhirnya runtuh. Kondisi ujung sangat mempengaruhi besar beban kritis. Apabila kedua kolom identik, hanya berbeda kondisi ujungnya, maka kolom yang mempunyai ujung jepit dapat memikul beban lebih besar daripada kolom berujung sendi.
Ring-balok dan kolom menggunakan kayu balok berukuran 5/10 atau yang banyak beredar di pasaran dengan ukuran sepadan. Hubungan antara kolom dengan ringbalok dilengkapi dengan sekur-sekur dari kayu
18
5/10 atau yang banyak beredar di pasaran dengan ukuran sepadan. Panjang sekur maksimum 50 cm. Pada balok yang terletak sederhana, maka titik hubung tidak menahan rotasi, hanya gaya vertikal yang dapat disalurkan oleh titik hubung. Sedangkan pada sistem rangka, karena balok secara kaku dihubungkan dengan kolom, maka kolom dapat menahan rotasi ujung-ujung balok. Dengan demikian momen dan gaya dapat disalurkan oleh hubungan kaku seperti ini.
D. Kuda-kuda Rumah sederhana sehat ini menggunakan atap pelana dengan kuda-kuda kerangka kayu dengan kelas kuat dan awet II berukuran 5/10 atau yang banyak beredar di pasaran dengan ukuran sepadan, disamping sistem sambungan kuda-kuda tradisional yang selama ini sudah digunakan dan dikembangkan oleh masyarakat setempat. Untuk mempercepat pelaksanaan pemasangan kerangka kuda-kuda disarankan menggunakan sistem kuda-kuda papan paku, yaitu pada setiap titik simpul menggunakan klam dari papan 2/10 dari kayu dengan kelas yang sama dengan rangka kuda-kudanya.
Khusus untuk rumah tembok dengan konstruksi pasangan, dapat menggunakan kuda-kuda dengan memanfaatkan ampig tembok yang ada di sekelilingnya, dilengkapi dengan ring-balok konstruksi beton bertulang. Kemiringan sudut atap harus mengikuti ketentuan sudut berdasarkan jenis penutup atap yang digunakan, sesuai dengan spesifikasi yang dikeluarkan oleh pabrik atau minimal 200 untuk pertimbangan kenyamanan ruang di dalamnya.
Pada atap sering dijumpai rangka batang sederhana yang menggunakan batang relatif sedikit. Rangka batang adalah susunan elemen-elemen linier yang membentuk segitiga atau kombinasi segitiga, sehingga terjadi bentuk rangka yang tidak dapat berubah bentuk apabila diberi beban eksternal tanpa adanya perubahan bentuk pada satu atau lebih batangnya.
19
Setiap elemen tersebut secara khas dianggap tergabung pada titik hubung sendi (titiknya memperbolehkan elemen strukturnya berotasi secara bebas, tetapi tidak dapat bertranslasi ke arah manapun. Dengan demikian titik tumpu tersebut tidak dapat memberi tahanan momen, tetapi dapat memberi tahanan gaya pada arah manapun). Batang-batang disusun sedemikian rupa sehingga semua beban dan reaksi hanya terjadi pada titik hubungan tersebut.
Setiap deformasi yang terjadi pada struktur stabil adalah minor dan diasosiasikan dengan perubahan panjang batang yang diakibatkan oleh gaya yang timbul di dalam batang sebagai akibat dari beban eksternal. Selain itu, sudut yang terbentuk di antara dua batang tidak berubah apabila struktur stabil tersebut dibebani. Hal ini sangat bertentangan dengan bentuk tidak stabil, yang sudut di antara dua batangnya berubah sangat besar. Juga jelas bahwa gaya eksternal menyebabkan timbulnya gaya pada batang-batang struktur bentuk stabil. Gaya-gaya yang timbul pada struktur tersebut adalah tarik atau tekan. Tidak ada lentur pada struktur tersebut.
Untuk rangka batang yang hanya memikul beban vertikal, pada batang tepi atas umumnya timbul gaya tekan, dan pada batang tepi bawah umumnya timbul gaya tarik. Gaya tarik atau tekan ini dapat timbul pada setiap batang, yang mungkin saja terjadi pola berganti-ganti tarik dan tekan.
Hal yang sangat penting pada rangka batang adalah, struktur tersebut hanya dibebani oleh beban-beban terpusat. Apabila beban-beban tersebut bekerja langsung pada batang, maka akan timbul tegangan lentur pada batang tersebut, selain juga tegangan aksial tekan atau tarik yang umum ada pada rangka batang. Sebagai akibatnya, desain batang tersebut menjadi rumit, dan efisiensi keseluruhan batang menjadi berkurang.
20
II.1.3 Metoda pelaksanaan pembangunan Metoda pelaksanaan pembangunan rumah sederhana sehat yang akan diuraikan berikut ini adalah pembangunan rumah tembok. Untuk mempermudah dalam pembangunannya, struktur bangunan rumah ini dibagi kedalam 12 kelompok pekerjaan, yaitu: 1. Pengukuran dan pembuatan bowplank; Pekerjaan persiapan dalam hal ini adalah pembersihan lokasi dimana bangunan akan didirikan yang meliputi pembersihan alang-alang dan tanah humus serta perataan lahan. Pemasangan bow plank dan dapat dilakukan seperti pada gambar. 2. Penggalian pondasi; Pondasi yang digunakan pada struktur rumah tinggal ini adalah pondasi setempat dari pasangan batu kali. 3. Pembuatan sloof dan lantai beton tumbuk; Pembuatan pondasi, sloof dan lantai secara berturut turut dapat dikerjakan setelah pekerjaan butir 1) dan 2) diatas selesai dikerjakan. Untuk menghubungkan kolom dengan sloof, maka perlu diberikan stek besi beton berdiameter 12 mm setinggi 60 cm
Gambar II.3 Bowplank, pondasi, dan pembuatan sloof Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
4. Pembuatan kusen pintu dan jendela; 5. Pembuatan kuda-kuda. Bersamaan dengan pekerjaan pondasi dan lantai dapat dilakukan pekerjaan pembuatan kuda-kuda. Konstruksi kuda-
21
kuda ini sangat sederhana, yaitu menggunakan sistem kosntruksi kuda-kuda papan paku, dimana sistem ini hanya menggunakan sambungan klam
Gambar II.4 Pembuatan kuda-kuda kayu Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
6. Pengerjaan pembesian untuk kerangka bangunan dari beton bertulang; Pasang rangka tulangan bangunan tepat pada pondasi yang telah
disediakan
besi
beton
penyambungnya,
lakukan
pengukuran agar rangka beton ini berdiri dengan tegak lurus dan ditahan sementara dengan menggunakan kaso 5/7, bersamaan dengan ini, lakukan pekerjaan pasangan conblock. 7. Pemasangan kusen pintu rangka besi beton; 8. Pengerjaan dinding dari pasangan conblock dan pengecoran kolom serta ring balok;
Gambar II.5 Pekerjaan pembesian untuk kerangka bangunan dari beton bertulang, pemasangan kusen pintu, dan pekerjaan pasangan dinding Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
9. Pemasangan kuda-kuda serta gording dari kayu 5/10;
22
Gambar II.6 Pemasangan kuda-kuda serta gording kayu Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
10. Pemasangan atap dari asbes gelombang beserta bubungan dan lis-plang; pasang penutup atap asbes gelombang beserta wuwungnya, dengan demikian telah mendapat tempat yang teduh dengan lantai yang telah diperkeras dengan beton tumbuk dan dapat melakukan pekerjaan lainya.
Gambar II.7 Pemasangan penutup atap Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
11. Pemasangan daun pin dan daun jendela serta kunci-kunci; pekerjaan finishing, pemasangan daun pintu dan jendela lengkap dengan penguncinya, dan pembersihan lapangan kerja 12. Pembersihan lapangan.
23
Gambar II.8 Pekerjaan finishing Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
Untuk pembangunan ruang-ruang pertumbuhan dari RIT, dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Gali tanah hingga over-stek yang disediakan pada sloof nampak terlihat. 2. Bongkar adukan pelindungnya hingga stek tulangan dari sloof terlihat dan bersih dari adukan. 3. Lakukan pengukuran dan pemasangan bowplank yang berpedoman pada sloof yang telah terpasang. 4. Sambungkan tulangan sloof yang baru dengan besi stek yang dari sloof tadi, dimana posisi stek ini harus berada di dalam susunan tulangan yang baru.
Gambar II.9 Pekerjaan sambungan tulangan sloof untuk pembangunan ruang-ruang pertumbuhan pada RIT Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
24
5. Untuk pengembangan pada ring balok; luruskan stek yang telah disediakan pada ring balok kemudian lakukan penyambungan tulangan lama dan baru seperti yang dilakukan pada balok sloof.
Gambar II.10 Pekerjaan sambungan tulangan ring balok untuk pembangunan ruang-ruang pertumbuhan pada RIT Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
II.2
Konsep Rumah Tahan Gempa
Kerusakan yang terjadi pada bangunan rumah di wilayah di Indonesia yang terkena bencana (terutama gempa bumi) sebagian besar diakibatkan karena struktur rumah itu sendiri yang tidak tahan gempa. Padahal untuk Indonesia yang merupakan daerah rawan gempa baik vulkanik maupun tektonik, pengetahuan masyarakat serta keberadaan rumah yang tahan gempa sangatlah dibutuhkan. Rumah dengan struktur yang terbukti tahan gempa hingga skala tertentu akan meningkatkan rasa aman bagi pemiliknya, serta akan mengurangi resiko kehilangan rumah tinggal apabila terjadi gempa bumi lagi di kemudian hari.
Kriteria dasar rumah tahan gempa yang utama dan perlu diketahui adalah bentuk denah. Denah yang baik haruslah simetris, sehingga strukturnya seimbang dengan
25
sumbu bangunan.
Gambar di bawah ini memperlihatkan beberapa perlakuan
terhadap bentuk denah bangunan yang disarankan 6
Keterangan:
Denah bangunan yang terlalu panjang harus dipisahkan (Gambar 1.a)
Denah berbentuk L harus dipisahkan (Gambar 1.b)
Denah berbentuk U harus dipisahkan (Gambar 1.C)
Gambar II.11 Denah skematik bangunan tahan gempa Sumber: http://www.pu.go.id
Supaya suatu bangunan dapat menahan gempa, gaya inersia gempa harus dapat disalurkan dari tiap-tiap elemen struktur kepada struktur utama gaya honisontal yang kemudian memindahkan gaya-gaya ini ke pondasi dan ke tanah. Adalah sangat penting bahwa struktur utama penahan gaya horizontal itu bersifat kenyal. Karena jika kekuatan elastis dilampaui, maka keruntuhan getas yang tiba-tiba tidak akan terjadi, tetapi pada beberapa tempat tertentu terjadi leleh terlebih dulu. Oleh karena itu, dari segi struktur bangunan, seluruh bagian bangunan harus merupakan satu kesatuan, dengan jalan elemen-elemen bangunan tersebut diikat ke segala arah sehingga membentuk satu unit yang kaku. Dengan demikian, bangunan mempunyai jalur lintasan gaya yang cukup untuk dapat menahan gaya gempa horizontal.
Perlakuan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : 6
http://www.pu.go.id/publik/bencana/gempa/gempa%20tsunami4.htm
26
Bangunan tembok: o Dinding bata harus kuat dengan kolom,sloof, ring balok dari beton atau kayu o Dinding bata harus diangker terhadap kolom,sloof dan ring balok o Sloof harus diberi angker terhadap pondasi
Bangunan kayu : o Hubungan antara kolom dan balok atap harus diberi balok penopang diagonal dan datar o Hubungan antara balok lantai dan kolon harus diberi balok penopang diagonal dan datar o Pondasi umpak harus tertanam sedalam > 20 cm ke dalam tanah
Gambar II.12 Setiap elemen bangunan diikat dan menjadi satu kesatuan pada bangunan tahan gempa Sumber: http://www.pu.go.id
Selain kedua kriteria di atas, kriteria yang harus dipenuhi juga adalah bahan bangunan harus seringan mungkin. Hal ini dikarenakan besarnya beban inersia gempa adalah sebanding dengan berat bahan bangunan. Sebagai contoh penutup atap genteng diatas kuda-kuda kayu menghasilkan beban gempa horisontal sebesar 3 x beban gempa yang dihasilkan oleh penutup atap seng diatas kuda-kuda
27
kayu. Sama halnya dengan pasangan dinding bata menghasiIkan beban gempa sebesar 15 x beban gempa yang dihasilkan oleh dinding kayu.
II.3
Sistem Bangunan Produksi Industri
Yang dimaksud dengan produksi industri (industrialized product) adalah suatu produksi yang terus menerus / kontinyu, melibatkan suatu proses desain yang berlaku umum, diperoleh dari tugas produksi yang berlaku umum pula, dipabrikasi dengan mesin atau cara kerja production line yang sangat terorganisir.
Bentuk Sistem Bangunan Produksi Industri (SBPI) ini adalah bentuk yang sebenarnya
dari
industrialisasi,
dimana
proses
membangun
seluruhnya
diindustrikan. Menurut pengertiannya, industrialisasi bangunan tidak saja menyangkut cara-cara tertentu saja, tetapi juga keseluruhan proses membangun dari tahapan perancangan sampai dengan pelaksanaannya. SBPI bisa dibagi menjadi dua generasi besar yang terutama berbeda berdasarkan: 7
Pihak pengambil inisiatif (sektor demand atau sektor supply)
Metoda dalam melaksanakan jumlah besar melalui standardisasi (industrialisasi tertutup atau terbuka)
A. Pihak pengambil inisiatif Pertama, pihak pengambil inisiatif yang merumuskan tipe bangunan yang harus diwujudkan. Pihak ini adalah sektor demand yang terdiri dari:
Pemakai (the users)
Komisi bangunan (the commisioner of the building)
Perancang (the designer)
Pihak kedua adalah sektor supply (pihak pelaksana / execution), termasuk di dalamnya adalah:
Kontraktor
Industri bangunan
Supply trades
7
Tri Yuwono, Sistem Bangunan Produksi Industri di Atas Air, Skripsi, Departemen Arsitektur ITB, Bandung , (1987).
28
Pihak kedua ini melaksanakan pekerjaan bangunan. Kedua pihak ini membentuk hubungan: MEANS alat
E N D tujuan
(sektor supply)
(sektor demand)
Inisiatif lebih banyak diambil oleh pihak pelaksanaan dalam tahun 50 dan 60-an. Baru sejak tahun 70-an, inisiatif dari pihak atau sektor demand menjadi penting.
Sampai kini keseluruhan cara peninjauan terhadap praktek sistem membangun masih juga dalam pengertian pelaksanaan / execution. Beberapa contoh terdahulu selalu dipengaruhi oleh kriteria yang gayut untuk sektor pelaksanaan dan mencerminkan cara pelaksanaan:
Berat bangunan : disesuaikan dengan cara pengangkatan (Brouwer: assembly with light elements, middle size elements, large, light elements, dst.)
Ukuran bagian-bagian bangunan, khususnya dalam arti ‘besarnya’ (masalah penanganan) elemen bangunan (small cells, large panels, dst).
Bahan bangunan, dengan cara / teknik pelaksanaannya (Jockhusch: manual industrial prefabrication, craft prefabrication, dst)
Kadar prefabrikasi pada suatu bangunan tertentu (Simon: rationalized traditional, partial prefab, total prefab, dst)
Untuk sektor ‘demand’, kriteria di atas sebenarnya tidak terlampau menarik, walaupun penting, sebab pengolongan seperti itu konteksnya tidak mengarah kepada tujuan (end) yang menjadi perhatian utama pihak demand, termasuk perancang, yaitu:
Pemenuhan kebutuhan fungsional
Pembentukan iklim yang baik bagi aktivitas individu
Mendukung suatu lingkungan yang baik dan bermakna
29
Para arsitek membutuhkan suatu pendekatan konseptual baru yng memungkinkan melihat metoda SBPI sebagai suatu fungsi dan aktifitas desain juga.
B. Industrialisasi Tertutup (Generasi pertama bangunan ter-industri) Industrialisasi tertutup ini dipilih oleh dunia industri bangunan pada tahun 50-an (di Eropa) ketika mengambil inisiatiF menuju industrialisasi dalam skala besar. Titik tolak industrialisasi tertutup adalah pada standardisasi bangunannya (sebagai hasil akhir), jadi berupa bangunan tipikal (rumah) yang merupakan seri pengulangan denah yang sama.
Bangunan tipikal
Bagian-bagian bangunan Yang khusus
Pemasangan di dalam site
1 versi
Pendekatan ini juga disebut “Pendekatan Model” yang umum dalam industri mobil. Tetapi dalam bidang bangunan hasil akhir suatu production line di pabrik bukanlah bangunan standar itu sendiri. Karena alasan teknis, bangunan dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang sebisa mungkin terbesar: elemen sebesar ruang / room size (dinding, pelat lantai).
Pemilihan tingkat prefabrikasi sebesar ruangan (di Eropa barat) dan “cell” (di Amerika), mempunyai konsekuensi dalam bidang perdagangan:
Mengikut sertakan perusahaan-perusahaan yang “capital intensive”.
Besarnya elemen bangunan itu membatasi radius pelayanan pabrik, sehinga dicapai suatu jumlah produksi besar untuk suatu area terbatas.
Untuk bersaing dengan industri bangunan “rationalized traditional” harus memperhitungkan persyaratan-persyaratan ekonomis tertentu.
Maka jelaslah seberapa jauh perkembangan yang bisa dicapai sistem tertutup ini dalam menentukan lingkungan fisik.
30
C. Industrialisasi Terbuka (Generasi kedua bangunan ter-industri) Sasarannya adalah dalam pendekatan pemilihan tingkat prefabrikasi “Kit of Parts Approach”, “Catalogue Approach”. Bisa dibuat skema berikut:
Berbagai jenis/tipe bangunan
Bagian-bagian standar yang bisa diterapkan secara bebas
Pemasangan di dalam site
banyak versi
Pertanyaan pokok adalah: bagian bangunan mana dan bagaimana yang bisa distandarkan dalam jumlah besar tanpa menghasilkan bangunan standar? Apabila prefabrikasi tertutup memilih “elemen” (room sized), maka industrialisasi terbuka menentukan:
Komponen bangunan: sampai batas yang bersangkutan dengan tingkat aktifitas terkecil (“unit aktifitas”). Misalnya: pintu-pintu bagian dalam, peralatan saniter.
Cell atau shell untuk kegunaan khusus. Misal: kamar mandi, toilet/shower.
Segment dan sektor bangunan, sejauh bagian-bagian ini diterapkan sesuai dengan struktur.
D. Closed Building Systems dan Open System Building Dua pendekatan teoritis industrialisasi seperti diuraikan di muka:
Industrialisasi tertutup (Model Approach)
Industrialisasi terbuka (Kit of parts Approah dan Catalogue Approach) mempunyai pasarannya masing-masing: o Pasaran tertutup o Pasaran terbuka
Dalam pendekatan tertutup, tiap produsen dapat mengambil inisiatif untuk melemparkan satu atau beberapa tipe bangunan ke pasaran (Industry Sponsored System). Tiap industri mempunyai “Building System”nya sendiri yang lengkap dan berdiri sendiri.
31
Dalam pendekatan terbuka, perlu diadakan terlebih dulu “kesepakatan” antara para peodusen sebelum berbagai jenis bangunan dapat dibentuk dari sejumlah bagian bangunan. Di sini muncul istilah “system Building”. Kesepakatan itu menyangkut:
Koordinasi dimensional: perlu untuk sistem dimensi yang berlaku umum.
joints : antara berbagai bagian bangunan, pada tingkat morfologis (bentuk joint) dan toleransi ketepatan produksi dan pemasangan.
Kualitas: kelas-kelas kualitas dan penampilan
E. Industry – Sponsored Systems dan Client – Sponsored Systems Dalam metode tradisional terdapat tiga pihak:
Commisioner atau Building Client, didampingi oleh ahli-ahli (penasehat ahli, expert). – (CL)
Arsitek (AR), didampingi oleh Consulting Engineers (CE).
Contractor (CR) dan Industry supply.
Dalam system-building, perlu pola hubungan lain. Beberapa pihak baru:
IN : Industri yang menawarkan building system ke pasaran
U : kelompok builders (users) yang dimaksudkan untuk memakai bulding-system itu.
SD : desainer building-system itu (system-designer)
Maka di sini perlu diadakan kaitan antara kedua kelompok. Inisiatifnya datang dari kedua pihak: 1. Inisiatif oleh pihak industri: Bila ditinjau kebutuhan kelompok pemakai (misal rumah tinggal 3 kamar tidur dengan biaya x rupiah) maka dapat ditawarkan suatu tipe bangunan standar saja. Tetapi pendekatan ini tidak sejalan dengan pemakaian perorangan karena perbedaan spesifik penghuni tidak bisa dipenuhi. Untuk kelancaran pembangunan type standar seperti ini, pihak CR dan SD perlu dimasukkan ke dalam organisasi industri, dan
32
peranan Arsitek sebagai penerjemah pemakai kebutuhan perorangan semakin berkurang atau bahkan mungkin hilang. (Formula Package Deal). Inisiatif oleh industri (Industry-Sponsored systems), umumnya selalu Building-Systems tertutup. 2. Inisiatif oleh pihak pemakai: Dengan standardisasi rangka-rangka struktur, dimensi, bahan, dan sebagainya,
dengan
komponen)
dan
pengelompokan
aturan-aturan
per
sub
koordinasi,
sistem CLASP
(rangka, (Inggris:
Consortium of Local authorities School Programmes) berhasil mewujudkan suatu building systems terbuka yang menarik. Banyak contoh lain untuk mengambil inisiatif yang mungkin dilakukan (untuk bangunan lain: Rumah sakit, Universitas). Inisiatif oleh users (Client Sponsored Systems) pada dasarnya building-system terbuka, dengan syarat dan kesepakatan:
Dimensi sistematik
joints: morfologi, toleransi
Standar kualitas : fungsional dan teknis.
F. Hubungan antara Building-System dan Suasana Lingkungan Dengan standardisasi keseluruhan bangunan, hanya sedikit pola urban yang bisa diwujudkan:
Pengulangan blok bangunan terlepas-lepas menghasilkan pola “monomorphic”, yang merupakan ciri suatu area perumahan dengan terutama bangunan apartemen
Jajaran bangunan yang sama (umumnya kecil) menghasilkan pola yang “mono-directional” merupakan ciri area perumahan dengan terutama bangunan rumah tinggal (tunggal, maisonette)
Dengan Industrialisasi terbuka, terdapat kemungkinan kombinasi bangunan yang kaya, tidak terdapat pengulangan bangunan yang sama, maka bisa diciptakan pola three-directional polycuboid (Guy Oddle).
33
Gambar II.13 Produk dapat dipisahkan menjadi beberapa kelompok berdasarkan poin kostumisasi (Mintzberg dkk. 1998) Sumber: Svensson
II.4
Penelitian Terdahulu Mengenai Industrialisasi Produksi pada Bidang Perumahan
Menurut T. Y. Lin and S. D. Stotesbury (1970), Secara umum, 6 bidang yang mendapat keuntungan langsung dari pemanfaatan teknologi industri pada pengadaan perumahan dengan produksi masal adalah: 1. skala ekonomis 2. ekonomis dalam pemanfaatan tenaga kerja 3. ekonomis dalam produktifitas, dilihat dari segi waktu yang singkat 4. untuk skala kecil, ekonomis dalam pemakaian material 5. prefabrikasi komponen-komponen kunci yang biasanya memakan biaya besar 6. pemeliharaan dan kualitas tampilan.
II.4.1 Kategori
prototipe
sistem
bangunan
untuk
produksi
perumahan Sistem bangunan berbagai dimensi, yaitu frame, panel, cell modular dan berbagai macam kinerja komponenisasi, telah terkenal di US sebagai hasil industrialisasi dari industri konstruksi perumahan. Masing-masing sistem
bangunan
tersebut
memiliki
karakteristik
yang
akan
34
mempengaruhi desain komponen, fabrikasi, perakitan, dan fleksibilitas desain arsitektur untuk menciptakan lingkungan hunian yang nyaman. Penjelasan lebih lanjut mengenai tipe-tipe sistem tersebut adalah sebagai berikut:
1-D: sistem 1 dimensi (frame) merupakan sistem yang paling efisien untuk kondisi ketika tenaga kerja di lapangan tidak terlatih (unskilled onsite labor). Sistem ini mirip dengan pelaksanaan konstruksi konvensional dengan menggunakan komponen pre-cast. Pengisi berupa panel lantai dan dinding digunakan untuk melengkapi bukaan, sehingga perakitan sub-sistem mekanikal dapat dipasang. Fleksibilitas arsitektural dapat dipertimbangkan. Secara umum, sistem ini hanya memerlukan peralatan merakit serta teknik sambungan (joinery) yang konvensional.
2-D: sistem 2 dimensi (panel) merupakan sistem yang paling populer untuk dikembangkan belakangan ini. Terdapat 2 tipe dasar, yaitu sistem panel kecil (small panel) dan sistem panel lebar (large-panel). Di Eropa, sistem panel lebar telah dikembangkan dan merupakan sistem yang dominan diaplikasikan. Penjelasan mengenai kedua tipe dasar tersebut adalah sebagai berikut: 1. sistem panel kecil (small panel system): sistem ini menggunakan dimensi modular yang terbatas, untuk modul ketinggian ruang tertentu sehingga mudah dalam pengangkatan (handling) dan fleksibel dari segi perakitan. Dengan demikian, sistem ini menyebabkan fabrikasi panel-panel yang dibutuhkan jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan sistem panel lebar. Walaupun fleksibilitas arsitektural dapat tercapai, seperti yang juga diinginkan, sambungan memerlukan desain yang teliti dan memperhatikan kemampuan tenaga kerja di lapangan. Sistem dan sambungannya harus dapat memanfaatkan tenaga kerja tidak terlatih semaksimal mungkin. Peralatan merakit konvensional masih digunakan.
35
2. sistem panel lebar (large panel system): panel lantai maupun dinding yang lebar dapat bervariasi dalam ukuran. Berat masingmasing panel sekitar 10 ton atau lebih, sehingga memerlukan alat berat untuk merakit bangunan. Pada saat yang sama, pekerja di lapangan relatif dapat dikurangi jika dibanding sistem panel kecil, karena jumlah panel dan sambungan yang lebih sedikit. Untuk memperoleh keuntungan yang optimal, fleksibilitas arsitektural pasca produksi harus direncanakan terlebih dahulu.
Gambar II.14 Sistem panel untuk bangunan Sumber: Lawrence Sass, 2005
3-D: sistem 3 dimensi (cell modular). Di U.S. dan Russia, pengembangan sistem bangunan telah berkembang menuju perakitan modul volumetrik yang dapat diprefabrikasi di pabrik. Terdiri dari 3 dinding, atap, dan lantai, 2 dinging atap dan lantai, atau kombinasi lain diantaranya. Yang diperlukan di lapangan hanyalah tempat untuk meletakan hasil rakitan dan sambungan antar modul.
Sistem ini sudah pasti lebih berat (dengan menggunakan sistem beton bertulang yang normal), jika dibandingkan dengan komponen-komponen pada sistem panel lebar. Berat modul beton pada Expo ’67’ Habitat rancangan Moshe Safdie sekitar 80-95 ton, sedangkan pada Habitat Puerto Rico seberat 22 ton. Sistem ini membutuhkan alat berat khusus untuk perakitan. Sebagai tambahan, modul yang besar memiliki batasan dari segi transportasi, baik dalam jumlah komponen yang dapat dikirim dalam 1 moda maupun batasan dimensi dari modul tersebut.
36
Di sisi lain pekerjaan di lapangan berkurang. Perakitan bangunan yang besar dapat dengan mudah diselesaikan hanya dalam waktu setengah dari waktu konvensional (atau lebih cepat).
4-D: sistem 4 dimensi (kinerja komponenisasi) merupakan modifikasi konseptual yang memanipulasi komponen ketiga sistem (frame, panel, box modular) dengan memproduksi spesifikasi kinerja yang sangat detail untuk kebutuhan esensial dari komponen sebagai sistem pendukung / subsistem. Sistem 4-D ini dapat terdiri dari kombinasi pendekatanpendekatan dimensional dan desain sub-sistem. Dengan cara ini, open system atau sistem terbuka dapat diraih, karena komponen subsistem dapat diproduksi oleh perusahaan indpenden.
Di sisi lain, sistem ini cukup mengkonsumsi waktu, dan spesifikasi desain memerlukan metode canggih dan kompetensi yang tidak biasa.
Gambar II.15 Konstruksi hunian berdasarkan tipe-tipe dasar sistem bangunan Sumber:T. Y. Lin and S. D. Stotesbury (1970)
37
II.4.2 Konsep Pembangunan Massal T. Y. Lin and S. D. Stotesbury (1970) menyebutkan bahwa 3 syarat penting agar industrialisasi teknologi prodiksi masal dapat dimanfaatkan secara ekonomis adalah: 1. Pengulangan proses di pabrik (pada saat ini, produksi yang bervariasi sangat mahal) 2. Otomatisasi, atau setidaknya menggunakan pendekatan sistem rasionalisasi tingkat tinggi baik untuk proses prefabrikasi maupun proses perakitan di lapangan. 3. Untuk alasan kebutuhan kapital investasi utama, produksi harus didasarkan pada prediksi pasar konsumen.
Banyak kelemahan-kelemahan dalam bidang perumahan di dunia ini yang hanya bisa diatasi dengan desain-desain yang inovatif dan memajukan manajemen produksi. Produksi masal dikenal mempunyai skala ekonomis, namun menemui hambatan ketika sampai pada konsep rumah prefabrikasi. Agar rumah massal menjadi pilihan atraktif, penting untuk mengantisipasi kebutuhan fleksibilitas secara arsitektural, dimana setiap bangunan baru dapat memiliki desain yang berbeda, untuk menghindari monoton secara arsitektur. (Singh, et all, 1999)
Dalam penelitian berjudul High-Turnaround And Flexibility In Design And Construction Of Mass Housing ini, Singh, et all (1999) mempresentasikan metode untuk konstruksi unit hunian apartemen yang cepat, dan memiliki fleksibilitas dari segi arsitektur, manufaktur, dan konstruksi. Paper ini memaparkan metode sambungan yang inovatif untuk konstruksi panel lebar, dan memperlihatkan karakteristik sistem struktur yang tepat yang menunjukkan hubungan antara sambungan mekanis dengan kebutuhan akan konstruksi yang cepat. Kecepatan konstruksi dengan menggunakan metode ini 10 kali lebih cepat dibanding metode konvensional.
38
II.4.3 Elemenisasi, Komponenisasi, dan Pre-fabrikasi Sistem elemenisasi dan komponenisasi merupakan inti dari teknik prefabrikasi. Aplikasi teknik fabrikasi telah membawa perubahan dalam perkembangan dunia industri konstruksi.
Beberapa keuntungan dapat diperoleh dari penggunaan teknik ini, meliputi waktu yang singkat dan dapat dipercayakan pada pekerja di lapangan, kemudahan pemeriksaan lapangan, peningkatan detail desain dan kualitas yang terkontrol. Ketika dunia konstruksi di Hongkong kekurangan tenaga kerja terlatih sejak 1980, prefabrikasi yang meliputi standardisasi dan modularisasi, menjadi kebutuhan dalam dunia desain dan konstruksi. 8
Beberapa keuntungan dari teknik prefabrikasi adalah: 9
Tingkat produktifitas yang lebih tinggi
Penghematan pada setiap tingkatan rantai supply karena produksi masal, contohnya pada rantai pekerja dan biaya pembelian material
Pengembalian modal yang lebih cepat untuk client
Mengurangi waktu yang diperlukan untuk proses perbaikan dan operasional pemasangan
Kebutuhan tenaga (manpower) yang lebih rendah karena penyederhanaan uraian pekerjaan di lapangan
Menghemat ruang yang disediakan untuk penyimpanan material
Kontrol kualitas lebih baik sehingga profil dan dimensi komponen pun menjadi lebih akurat
8
Nicolas S.Y. Yeung, Albert P.C. Chan, & Daniel W.M. Chan, Application of Prefabrication in Construction – A New Research Agenda for Reform by CII-HK 9 Ibid.
39
Material yang tebuang menjadi lebih sedikit karena material yang cacat pun lebih sedikit
Lingkungan kerja yang lebih aman pada pabrik prefabrikasi.
Meningkatkan semangat kerja dan etos kerja pabrik dengan proses produksi yang berulan / repetitif
Pengujian produk menjadi lebih efisien karena dilakukan di pabrik
Pengaruh cuaca terhadap pekerjaan di lokasi menjadi lebih sedikit.
Penyerahan proyek dan sistem rantai supply didasarkan pada lingkup prefabrikasi dan preassembly
Aplikasi ke sektor perumahan swasta dan publik, bangunan komersil, dan proyek konstruksi jalan raya berkolaborasi dengan mitra industri dan pemerintah.
Selain itu, perakitan di lapangan dapat terlaksana dengan baik walaupun dengan kontrol kualitas yang rendah. Sebagai contoh, pada sambungan saat merakit komponen. Seperti prefabrikasi pada umumnya, sebagian besar pekerjaan dilakukan di pabrik, dan hanya sedikit yang dilakukan di lapangan (on-site). Hal ini memperbesar kemugkinan dalam hal peningkatan efisiensi, kualitas lebih tinggi, dan masa konstruksi yang lebih cepat (Rosenfeld, 1994). Hasilnya, semakin sedikit pekerjaan yang harus dilakukan di lapangan, maka semakin pendek pula keseluruhan durasi dan kualitas menjadi lebih konsisten. Waktu produksi yang lebih pendek tidak hanya mengurangi biaya langsung maupun overhead, namun juga memungkinkan rumah ditempati lebih cepat, yang ditengarai sebagai masalah signifikan dalam program produksi rumah susun dalam skala besar di Hongkong.
40
II.5
Membangun Pada Konteks Pasca Bencana
Sebuah studi dilakukan oleh the Humanitarian Practice Network, Overseas Development Institut, yang membandingkan 5 pendekatan rekonstruksi hunian di Gujarat, India. Kelima pendekatan tersebut adalah: a. The Owner-Driven Approach (ODA), Atau Pendekatan Swakelola. Pendekatan ini memungkinkan komunitas untuk mengatur dan melaksanakan pekerjaan pembangunan rumahnya sendiri, dengan bantuan pembiayaan dari luar, material, serta bantuan konsultasi teknis. Metode pendekatan ini tidak berarti pemilik membangun sendiri rumahnya, namun mereka yang mengatur dan memiliki kontrol penuh terhadap proses rekonstruksi rumahnya, dengan arahan yang telah diberikan (building codes). Di Gujarat metode pendekatan ini diterapkan oleh pemerintah Gujarat dibawah wewenang GEERP (Gujarat Emergency Earthquake Reconstruction Project). Dalam pelaksanaannya, sekitar 200.000 rumah (87% dari keseluruhan rumah yang hancur) dapat dibangun swakelola oleh pemiliknya, dengan bantuan pembiayaan dan konsultasi teknis dari pemerintah. Dari hasil observasi, kualitas konstruksi bangunan dinilai baik, dan aman secara seismik. Kualitas yang baik diperoleh dari ketaatan dalam mematuhi peraturan (building codes) dari pemerintah. Karena masyarakat telah terbiasa dengan material utama, serta penggunaan desain vernakular (sudah umum di masyarakat), maka proyek dengan bantuan pembiayaan dari pemerintah ini lebih sesuai dengan karakter serta tradisi setempat. Namun resiko dari proyek ini timbul apabila pemilik tidak memiliki kemampuan untuk mengatur pembangunan rumahnya, sehingga kualitas pekerjaan menjadi rendah, dan dana yang diberikan tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.
b. The
Subsidiary
Housing
Approach
(SHA),
Atau
Pendekatan
Tersubsidi. Dengan pendekatan ini, agensi (LSM atau pemberi bantuan non-pemerintah) tidak terkait langsung dengan proses rekonstruksi perumahan. Agensi disini
41
berperan sebagai fasilitator, memberikan tambahan bantuan material dan bantuan teknis, namun tetap sesuai dengan kerangka kerja pemerintah. Di Gujarat, proses rekonstruksi dengan pendekatan ini dilakukan di 7 desa, di Rapar Taluka, distrik Kachch. Kualitas konstruksi biasanya sebanding dengan rumah yang dihasilkan dari pembangunan swakelola. Dengan bimbingan dari agensi, maka resiko pada pembangunan swakelola dapat dihindari. Hasil observasi menunjukkan bahwa 100% rumah-rumah tersebut ditempati oleh pemiliknya.
c.
The Participatory Housing Approach (PHA), Atau Pendekatan Partisipatif.
Pada pendekatan ini, agensi (LSM atau pemberi bantuan non-pemerintah) memegang peranan utama dalam proses rekonstruksi, dengan melibatkan pemilik rumah dalam perencanaan, desain, dan pelaksanaan rekonstruksi rumahnya. Di Gujarat, rekonstruksi dengan pendekatan partisipatif ini dilaksanakan di 30 desa, dengan jumlah sekitar 3000 rumah. Pada rekonstruksi dengan pendekatan ini, masyarakat diberikan pelatihan terlebih dahulu dalam pembangunan rumahnya, dengan pengawasan dari agensi. Pelatihan ini kemudian menjadi sangat berguna bagi masyarakat di kemudian hari, bahkan setelah proses rekonstruksi selesai.
d. The Contractor-Driven Approach In Situ (CODIS), Atau Pendekatan Dengan Kontraktor Pada Lahan Yang Sama. Pekerjaan rekonstruksi dengan pendekatan ini dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan kontraktor profesional, baik dalam pekerjaan desain maupun konstruksinya. In situ di sini berarti rumah-rumah tersebut dibangun di lahan yang sama eperti sebelum bencana terjadi. Kebanyakan, desain, material serta tenaga ahli didatangkan dari luar komunitas. Di Gujarat, rekonstruksi dengan pendekatan ini dilaksanakan di 11 desa, dengan jumlah sekitar 3000 rumah.
42
Sekitar 36 % pemilik rumah tidak puas dengan kualitas material yang digunakan. Hal ini menjadi signifikan, melihat bahwa dengan pendekatan swakelola, pemilik lebih merasa puas (100%). Namun hal ini seringkali disebabkan karena jarak dan lokasi desa yang sulit diakses, sehinggakinerja dari kontraktor menurun.
e.
The
Contractor-Driven
Approach
Ex
Nihilo
(CODEN),
Atau
Pendekatan Dengan Kontraktor Pada Lahan Yang Baru. Seperti pendekatan sebelumnya, pendekatan ini pun merupakan pendekatan yang melibatkan perusahaan kontraktor profesional. Namun dalam pendekatan ini, seluruh desa dibangun kembali di tempat yang baru. Di Gujarat, rekonstruksi dengan pendekatan ini dilaksanakan dengan bantuan dana internasional dan bekerja sama dengan NGO internasional, berhasil membangun kembali 11 desa, dengan jumlah sekitar 2250 rumah beserta infrastrukturnya.
Hasil penelitian yang diterbitkan pada jurnal Housing Reconstruction in PostEarthquake Gujarat: A Comparative Analysis (Maret 2006) 10 menyebutkan bahwa prosentase kepuasan masyarakat paling besar ditujukan terhadap rumah hasil proses rekonstruksi dengan metode the subsidiary housing approach (SHA). Pada metode the subsidiary housing approach ini, agensi tidak terikat secara langsung dalam rekonstruksi. Agensi berperan sebagai fasilitator, memberikan bantuan pengetahuan material serta teknologi tambahan, namun tetap dalam kerangka kerja pemerintah. Kepuasan berikutnya ditunjukkan terhadap proses rekonstruksi dengan metode the owner-driven approach (ODA). Pada metoda ini, masyarakat membangun sendiri rumahnya dengan bantuan keuangan dan konsultasi teknis dari pemerintah. Dengan metoda the owner-driven approach ini dapat dibangun sekitar 200.000 rumah atau 87% dari rumah yang hancur.
10
Barenstein, J., D.,Housing Reconstruction in Post-Earthquake Gujarat: A Comparative Analysis, Network Paper no .54, Humanitarian Practice Network at Overseas Development Institute, London, Maret 2006
43
Masyarakat paling merasa tidak puas dengan rekonstruksi yang menggunakan metode the contractor-driven approach ex nihilo (CODEN), atau rekonstruksi yang dilaksanakan oleh kontraktor profesional, di mana seluruh desa dibangun kembali pada tapak yang berbeda.
Ironisnya, proyek yang memakan biaya paling besar justru mendapat apresiasi rendah dari masyarakat. Studi ini memberikan bukti empiris bahwa perkembangan tren bantuan pembiayaan untuk rekonstruksi rumah swakelola sangatlah mungkin untuk diterapkan baik dari segi sosial, pembiayaan, maupun segi teknis.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan potensi lokal, dengan pemberian bantuan pembiayaan dan teknis saja, masyarakat memiliki kapasitas dalam membangun rumah yang dapat merespon kebutuhan mereka. Respon yang terjadi jauh lebih baik jika dibandingkan dengan rumah yang diberikan langsung oleh agensi (LSM atau pemberi bantuan nonpemerintah).
Gambar II.16 Perbandingan prosentase kepuasan dari 5 pendekatan rekonstruksi di Gujarat Sumber: Housing Reconstruction in Post-Earthquake Gujarat: A Comparative Analysis, Network Paper no .54, Humanitarian Practice Network at Overseas Development Institute, London, Maret 2006
Studi ini juga membuktikan lebih jelas adanya resiko dari rekonstruksi yang sepenuhnya dilakukan oleh kontraktor, yaitu: tidak fleksibel, tidak sensitif terhadap budaya, kesalahan dalam mengadaptasi kondisi lokal, tendensi untuk
44
memperkenalkan material baru yang tidak sesuai dengan iklim setempat, dan sulit untuk perawatan maupun pengembangan. Hasil penelitian worldbank 11 juga menunjukkan kondisi yang sama. Dalam manajemen rekonstruksi hunian pasca bencana, hunian yang dibangun sendiri oleh masyarakat hasilnya seringkali lebih baik dibanding hunian yang dibangun oleh kontraktor maupun pemerintah. Dengan biaya yang relatif lebih rendah, ratarata kepuasannya sangat tinggi, pendekatan ini seringkali menjadi kunci kesuksesan proses rekonstruksi. Pembangunan oleh masyarakat pun menjadi salah satu strategi terbaik untuk meningkatkan tingkat perekonomian masyarakat. Dengan adanya bencana yang diantisipasi dengan proses rekonstruksi, program hunian lokal harus didukung oleh beberapa perencanaan publik yang baik pula. Yang pertama, pada kebanyakan area perkotaan, dibutuhkan standar dasar kualitas konstruksi dan sanitasi.
Hal ini harus dimulai secepatnya. Yang kedua,
pembangunan hunian yang serentak dalam jumlah besar akan mengakibatkan keterbatasan material dan ahli bangunan / tukang. Oleh karena itu, perencanaan pengadaan (procurement) akan sangat dibutuhkan. Yang ketiga, keluarga yang memiliki keterbatasan sumber daya (orang jompo, anak-anak, tidak memiliki keahlian) tidak akan bisa membangun kembali rumahnya tanpa bantuan tambahan
Dari proses pembangunan dan rekonstruksi yang terjadi di negara lain, kita dapat mengambil pelajaran diantaranya:
Koordinasi adalah kunci utama
Mengembangkan standar dasar perndekatan rekonstruksi untuk dilakukan di desa-desa
11
Memperkuat kapasitas lokal
Pemberian bantuan secepatnya
Masyarakat setempat harus memperoleh keuntungan (dari segi ekonomi)
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-
1106130305439/reconstruction_notes.pdf
45
Memberlakukan struktur pemerintahan yang berkelanjutan secepatnya, serta meningkatkan kapasitasnya.
Melakukan kolaborasi dengan NGO / LSM
Perancangan standardisasi teknis.
II.5.1 Studi Komparatif Pelaksanaan Rekonstruksi di Aceh, D.I. Yogyakarta, dan Pangandaran Berikut ini akan dipaparkan mengenai hasil pengamatan lapangan di daerah yang sedang menjalani proses rekonstruksi pasca bencana beserta studi terhadap pelaksanaan rekonstruksi di negara lain. Tujuannya adalah untuk mengelaborasi faktor-faktor utama yang mempengaruhi kecepatan membangun rekonstruksi rumah pasca bencana
Survey lapangan dilakukan di 3 tempat yang terkena bencana di Indonesia, yaitu Aceh, Pangandaran (Jawa Barat bagian selatan), dan D.I. Yogyakarta, dilakukan dalam kurun waktu bulan November 2006 hingga mei 2007. Ketiga daerah ini sedang menjalani proses rekonstruksi, setelah mengalami bencana gempa bumi dan tsunami. Tujuan survey lapangan ini adalah untuk mengeksplorasi hal-hal yang terkait dengan proses rekonstruksi di setiap daerah, meliputi kondisi eksisting serta faktor yang mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan proses tersebut.
Gambar II.17 Pelaksanaan Rekonstruksi di Nangroe Aceh Darussalam (2007); rumah bantuan di daerah pinggir pantai, mengadaptasi rumah tradisional aceh dalam mengantisipasi pasang air laut (kiri); fenomena rumah kosong (tengah); barak pengungsi yang masih banyak penghuninya di Aceh (kanan).
46
Gambar II.18 Pelaksanaan Rekonstruksi di D.I. Yogyakarta (2007); pembangunan oleh masyarakat memungkinkan rumah dapat dihuni walaupun belum selesai sepenuhnya (kiri); bantuan langsung dari NGO (kanan).
(a)
(b)
(c) Gambar II.19 Pelaksanaan Rekonstruksi di Pangandaran, (a) Rumah Nelayan Ramah Bencana, bantuan Dinas Perikanan & Kelautan, Kecamatan Sidamulih Pangandaran (Desember 2006), (b)Rumah sementara bantuan langsung, Kecamatan Pangandaran (November 2006), (c)Rekonstruksi dengan partisipasi masyarakat kecamatan Parigi, Pangandaran, Desember 2006.
47
Tabel II.1 Perbandingan Rekonstruksi Pasca Bencana Antara 3 Daerah Yang Terkena Bencana Di Indonesia (Aceh, Pangandaran, Yogyakarta) NO
URAIAN PERBANDINGAN
1
Jenis Bencana
2 3 4
Jumlah Korban Jiwa 12 Kemajuan rekonstruksi % terlaksana per 1 tahun Material Sisa yg dapat dimanfaatkan
5
6
Pendekatan Rekonstruksi
ACEH Gempa bumi + Tsunami Lebih dari 167.000 Paling lambat Di bawah 25 %
PANGANDARAN Gempa bumi+ Tsunami
YOGYAKARTA
Sekitar 429 Cepat Sekitar 50%
Sekitar 6.234 Paling cepat Sekitar 60%
Tidak ada
Sedikit
Tidak ada partisipasi sama sekali dari masyarakat (dilaksanakan oleh kontraktor)
Bantuan Pemerintah (uang) dan LSM (marerial) Dilaksanakan oleh kontraktor
banyak Bantuan pemerintah dengan partisipasi penuh dari masyarakat Dilaksanakan oleh kontrakor
CODIS
ODA
ODA
CODEN
SHA
SHA
CODIS
PHA
Rumah Material bangunan
7 8 9 10
11 12 13 14 15
Jenis Bantuan Sumber dana (yang paling dominan) Bantuan teknik pembangunan Tipe desain rumah Tipe metode konstruksi (manajemen maupun tenaga kerja) Rasa kepemilikan ( sense of belonging) Fenomena Rumah Kosong Penggunaan material lokal Efisiensi (dalam penggunaan material)
Rumah
Gempa bumi
CODIS Rumah uang Bimbingan teknik pembangunan dan bantuan sosial
Dibangun oleh kontraktor
Uang LSM maupun pemerintah Tidak ada RSS Dibangun sebagian oleh kontraktor, sebagian oleh pemilik rumah
Rendah banyak Tidak ada
Rata-rata Beberapa Beberapa
tinggi Tidak ada Sebagian besar
Paling efisien
Cukup efisien
Tidak efisien
NGO Tidak ada RSS
Pemerintah ada Rumah inti Dibangun secara bertahap oleh pemilik rumah
Keterangan: ODA: The Owner-Driven Approach, SHA: The Subsidiary Housing Approach, PHA: The Participatory Housing Approach, CODIS: The Contractor-Driven Approach In-Situ , CODEN: The Contractor-Driven Approach Ex-Nihilo Sumber: Pengamatan lapangan
12
http://www.wikipedia.com
48
Terdapat beberapa kecenderungan yang terjadi pada pelaksanaan rekonstruksi
pasca
bencana.
Yang
pertama
adalah
pendekatan
rekonstruksi dengan cara memberikan bantuan rumah langsung (dengan metode konstruksi massal yang dilaksanakan oleh kontraktor) lebih efisien apabila dilihat dari penggunaan material. Namun di sisi lain, kurangnya
partisipasi
masyarakat
menyebabkan
rendahnya
rasa
kepemilikan. Pelaksanaan rekonstruksi pun menjadi lebih lama, tergantung pada konsolidasi tanah dan proses pengadaan (procurement). Kontrol terhadap kualitas pun menjadi sangat rendah, karena kurangnya sumber daya dan pengawasan.
Yang kedua, strategi parstisipatif yang melibatkan pemilik rumah (The participatory & Owner-driven approach) dinilai dapat mempercepat masa rekonstruksi. Salah satu keuntungannya, pembangunan rumah yang dilakukan secara bertahap memungkinkan pemilik dapat secepatnya menghuni rumah mereka walaupun belum selesai seluruhnya. Setiap pemilik rumah terlibat dalam proses pembangunan rumahnya, sehingga meningkatkan rasa kepemilikan. Selain itu, mereka pun dapat mengawasi kualitas konstruksi dari rumahnya masing-masing.
Kekurangan dari strategi partisipasi adalah strategi ini masih dilakukan dengan menggunakan metode sistem konstruksi konvensional untuk rumah tunggal. Metode ini kurang efisien apabila dibandingkan dengan metode konstruksi masal. Selain itu, panduan teknis sebagai pegangan masyarakat untuk membangun rumahnya sendiri sering kali kurang fleksibel dalam mengakomodasi perubahan desain. Bimbingan teknis maupun sosial bagi masyarakat yang telah dilakukan masih kurang memadai (dalam hal sumber daya), sehingga hasilnya masih jauh dari yang diharapkan.
Dari studi awal yang telah dilakukan dengan membandingkan proses rekonstruksi yang terjadi di Aceh, D.I Yogyakarta, dan Pangandaran
49
serta kajian teori di atas, disimpulkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan rekonstruksi hunian pasca bencana adalah 13 : 1. Evaluasi yang tepat terhadap jenis bencana dan kondisi yang menjadi konsekuensinya 2. Pemanfaatan potensi lokal (terutama material) 3. Pendekatan partisipatif, dimana pemilik rumah ikut terlibat secara aktif dalam pembangunan rumahnya, dengan mengikuti petunjuk, aturan, dan bantuan yang berasal dari pemerintah (Participatory & Owner-driven approach ) 4. Selain bantuan material (uang), pemerintah juga harus memberikan bantuan teknis. Bantuan teknis harus intensif dan berkualitas, dilengkapi dengan petunjuk teknis yang fleksibel 5. Konstruksi rumah masal dengan proses manajemen yang terintegrasi (dengan meningkatkan efisiensi melalui rasionalisasi dalam semua aspek)
II.6
Studi Kasus Sistem Pre-fabrikasi pada Pembangunan Rumah Massal Pasca Bencana: RISHA
RISHA, atau Rumah Instan Sederhana Sehat, adalah suatu teknologi konstruksi sistem pracetak untuk bangunan sederhana atau Rumah Sederhana Sehat (RSH). Teknologi ini telah diperkenalkan di Aceh pasca tsunami 2004 untuk membangun hunian, infrastruktur, dan fasilitas umum. Kelebihan RISHA: a. Komponen bangunan memakai sistem rakit pada pemasangannya b. Jumlah komponen sedikit sehingga mudah dirakit dan dibongkar pasang
13
Larasati D., dkk, A Comparative Study To Evaluate Efficiency Of Housing Reconstruction In Disaster Areas In Indonesia, Focus of Study: Nangroe Aceh Darussalam, DI Yogyakarta, West Java, prosiding seminar URDI, Yogyakarta 9-10 Juli 2007.
50
c. Setiap komponen memiliki tingkat fleksibel untuk perubahan maupun pengembangan d. Pembangunan bersifat instan, tidak melakukan pengecoran sama sekali. e. Konstruksi ringan, sehingga pembangunan dapat dilakukan dalam waktu singkat dan menurunkan biaya konstruksi. 1 komponen dapat dilakukan oleh 3 orang f. Produksi komponen dapat dilakukan masyarakat g. Tahan gempa sampai zona 6 h. Dapat dibangun pada setiap jenis lahan (pondasi menyesuaikan)
Gambar II.20 Masyarakat dapat terlibat dalam pembuatan komponen RISHA Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
II.6.1 Komponen RISHA Esensi dari teknologi sistem Risha adalah sistem ukuran dan modul komponen-komponen yang dapat digunakan dalam pembentukan ruang. Secara umum, komponen terbagi 2 kelompok, yaitu komponen struktur (panel & simpul) serta komponen pengisi (partisi, kamar mandi, atap, lantai).
51
Ukuran modul yang dimiliki adalah 1.20 m dengan tebal komponen 10 cm dan lebar struktur 30 cm. sehingga ruang yang dapat terbentuk merupakan perpaduan dari ukuran 1,2 m dan 30 cm Pembuatan komponen hingga kering (dikeluarkan dari cetakan) memerlukan waktu 24 atau 12 jam dari waktu pengecoran. Namun dapat dipercepat menjadi 3 jam dengan penambahan bahan aditif. Rata-rata produsen komponen risha mampu memproduksi 5 unit komponen rumah dalam 1 hari. Dengan bahan aditif, produsen risha mampu meningkatkan produksinya sampai 15 unit rumah tipe 36 m2 per hari.
Gambar II.21 Pembuatan Panel Struktur Risha Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
A. Sistem Sambungan Seluruh komponen dihubungkan dengan penggunaan baut dan pelat galvanis. Komponen yang tidak dapat dihubungkan langsung dengan baut bisa menggunakan sistem kancing. Setiap lubang baut direncanakan secara presisi saat pembuatan komponen.
52
B. Panel Struktur Terdiri dari panel struktur 1 (p1), panel struktur 2 (p2), dan simpul.
Gambar II.22 Panel Struktur Risha Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
Panel struktur 1 dapat digunakan sebagai kolom, pondasi, sloof, balok, sampai dengan rangka kuda-kuda atap. Selain itu dapat juga dimanfaatkan sebagai komponen infrastruktur lingkungan. Panel struktur 2 dapat digunakan sebagai kolom, pondasi, sloof, balok, sampai dengan rangka kuda-kuda atap. Fungsi panel ini lebih banyak sebagai pendukung sistem panel struktur 1 Simpul berfungsi sebagai penghubung antar panel pada hubungan sloof dan kolom, kolom dan balok, balok dan kuda-kuda, atau berfungsi sebagai pondasi
C. Panel Partisi Terdiri dari rangka yang terbuat dari bahan berbasis kayu, baja, atau alumunium yang ditutup dengan bahan panel lembaran kedap air dan cuaca. Partisi-partisi tersebut terdiri dari partisi masif, dan partisi pintu-jendela.
Gambar II.23 Panel Partisi Risha Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
53
D. Kamar Mandi Menggunakan sistem knockdown terbuat dari fiber. Bagian utama terdiri dari kapsul bagian atas dan bawah.
Gambar II.24 Komponen Kamar Mandi Risha Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
E. Atap Terdiri dari rangka atap dan penutup atap. Sistem kuda-kuda terbentuk dari komponen panel struktur ditambah dengan komponen kaki kuda-kuda (dengan kekuatan setara bahan kayu kelas II).
Gambar II.25 Komponen Atap Risha Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
E. Lantai Lantai Risha menggunakan pc paving abu-abu 20x20 cm. Namun komponen lantai ini dapat diganti/disesuaikan.
54
II.6.2 Tahap Perakitan RISHA Tahapan perakitan Risha terdiri dari:
TAHAP I
pembersihan site
TAHAP II
pekerjaan galian pondasi
TAHAP III
pemasangan sloof
TAHAP IV
pemasangan kolom
TAHAP V
pemasangan balok
TAHAP VI
pemasangan atap
TAHAP VII
pemasangan panel partisi
TAHAP VIII pemasangan lantai
TAHAP IX
pekerjaan mekanikal elektrikal
TAHAP X
pekerjaan finishing (peningkatan penampilan
bangunan, dll)
Gambar II.26 Perakitan Komponen Struktu Risha Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
55
1
2
3
4
Gambar II.27 Modul Pembentukan Risha Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
Gambar II.28 Pengembangan Risha sesuai dengan pengembangan RIT menjadi RsS Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
56
Gambar II.29 Pembangunan Risha Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
Gambar II.30 Pengembangan Risha Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
II.7
Kesimpulan Kajian Literatur dan Studi Kasus
Agar masyarakat korban bencana bisa mendapatkan hunian yang layak dan berkualitas, maka rumah yang dibangun harus sesuai dengan peraturan yang telah dikeluarkan oleh kementrian Kimpraswil Republik Indonesia, yaitu rumah dengan tipe RSS. Sistem struktur rangka maupun dinding pendukung merupakan sistem struktur yang paling efisien untuk rumah sederhana. Metode membangun sederhana harus dapat dikembangkan sehingga konstruksi diterapkan di daerah manapun dengan pekerja tidak terlatih dalam jumlah minimal.
57
Dengan desain rumah yang benar, maka rasa kepemilikan, keamanan dan konsistensi dapat dirasakan oleh masyarakat. Hunian tersebut juga harus dapat merespon perubahan daur hidup hunian dan komunitas. Rumah yang baik pun dapat menumbuhkan kebanggaan dan berkontribusi dalam pembentukan wajah dan karakter lingkungan, sehingga perancanaan dan perancangannya harus peka terhadap visi masa depan dari komunitas.
Untuk wilayah Indonesia yang rawan terhadap berbagai macam bencana, terutama gempa bumi, maka kriteria bangunan yang tahan gempa pun harus dipenuhi dan disosialisasikan pada masyarakat. 3 kriteria bangunan tahan gempa tersebut adalah denah yang simetris, bangunan yang diikat ke segala arah sehingga menjadi satu kesatuan yang kaku, serta material yang ringan.
Dalam memenuhi kebutuhan perumahan pasca bencana berupa rumah dalam jumlah banyak dalam waktu singkat, maka perlu dipikirkan cara untuk mempercepat masa konstruksi. Koordinasi komponen dan keseluruhan desain, termasuk produksi di pabrik dan perakitan di lapangan, merupakan langkah awal untuk melangkah dari metode konstruksi konvensional.
Beberapa hal yang dapat dipelajari dan menjadi catatan adalah sebagai berikut:
Dengan konstruksi yang dilakukan secara masal, sejumlah rumah dapat dibangun dalam waktu bersamaan. Metode ini pun dianggap lebih efisien dari segi penggunaan bahan, tenaga kerja, mengurangi biaya, dll.
Pada pembangunan massal dengan sistem prefabrikasi, produksi komponen secara langsung akan mempengaruhi desain dari bangunan.
Pemilihan sistem struktur yang tepat dengan sambungan / joint yang memungkinkan pelaksanaan konstruksi yang cepat. Inovasi sambungan pada panel lebar pada salah satu penelitian menunjukan masa konstruksi yang 10 kali lebih cepat dibanding metode konvensional. Dalam risha, komponen struktur pembentuk dapat dibuat menjadi 3 panel struktur yang
58
Hal ini menunjukan bahwa jumlah komponen yang sedikit akan mempermudah baik proses fabrikasi maupun perakitan di lapangan, sehingga akan mempercepat masa konstruksi.
Keberadaan tenaga kerja terlatih juga akan mempengaruhi sistem struktur. Dengan tenaga kerja tidak terlatih, teknologi sistem bangunan yang mungkin diaplikasikan hanya sistem 1D dan 2D saja.
Untuk mendapatkan kualitas komponen bangunan khususnya pada pembangunan skala massal, kunci keberhasilan berada pada aspek kualitas kontrol. Pada sistem konvensional, kontrol kualitas akan memerlukan biaya tinggi karena skala site yang luas. Dengan sistem pabrikasi dari tiap komponen, kegiatan kontrol kualitas akan lebih mudah dilakukan pada skala pabrikan.
Tidak dilakukan modifikasi saat perakitan (memotong, melubangi, atau menambah) dapat mempercepat masa perakitan.
Salah satu penyebab bangunan mengalami kerusakan saat gempa adalah kesalahan dalam pelaksanaan, khususnya dalam sistem sambungan antara penulangan kolom praktis, ring balok, dan sloof. Oleh karena itu, komponen-komponen
ini
harus
betul-betul
diperhatikan
dalam
membangun.
Dengan komponenisasi, masyarakat dapat terlibat langsung, diantaranya: o Perakitan komponen-komponen o Industri komponen utama o Industri komponen penunjang (paving lantai, partisi, daun pintu dan jendela, kuda-kuda & atap) o Industri kamar mandi fiber o Industri cetakan
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari sebagai hasil analisis dari pengamatan lapangan serta kajian di atas adalah:
59
Berdasarkan tahapan pembangunan seperti yang digambarkan pada diagram Handler, maka pada kondisi pasca bencana, tahapan yang dapat dilakukan dengan pelibatan masyarakat dan menjadi fokus dalam penelitian ini adalah tahap desain hingga konstruksi. Tahap procurement diasumsikan sebagai tahap yang mendapat bantuan dari pemerintah atau pemberi bantuan.
FS Feasibility Study Feed back
D/E Design / Engineering
P Procurement Feed back
C Construction
B Bionomic
Feed back Feed back
Gambar II.31 Diagram Handler untuk tahapan pembangunan Sumber: Ari Pedju, 1998
pendekatan partisipatif (The owner-driven approach) pada rekonstruksi hunian pasca bencana terbukti dapat mempercepat durasi proses konstruksi. Masyarakat dapat dilibatkan sejak poroses desain hingga konstruksi.
Agar proses tersebut menjadi lebih efisien, maka diperlukan rekonstruksi partisipatif dengan orientasi pembangunan hunian masal, karena penggunaan material pada metode pembangunan masal lebih efisien jika dibandingkan dengan metode pembangunan rumah tunggal.
Pada pembangunan hunian secara masal,
pentahapan konstruksi serta
pihak-pihak yang terlibat pada setiap tahap menjadi faktor penting.
Pemerintah harus mengambil peranan penting dalam pembangunan, yaitu dalam mengatur pemberian dana bantuan, menyediakan pedoman teknis, serta pembimbingan dari tenaga ahli.
Eksplorasi teknik komponenisasi elemen dengan teknik prefabrikasi dapat mempercepat masa konstruksi. Teknik tersebut juga harus dihubungkan dengan potensi material, seperti kayu, bambu, batu, dll.
60
Material lain yang mudah ditemukan adalah batu dan batako. Perlakuan khusus terhadap material tersebut akan memberikan nilai lebih pada kualitas rumah. Tabel II.2 Tabel KriteriaPenerapan Sistem Produksi Industri pada Masyarakat Pasca Bencana
KATEGORI MODULAR DIMENSIONAL
URAIAN KRITERIA &
KOMPONENISASI & PREFABRIKASI DALAM SISTEM PRODUKSI INDUSTRI
KETERANGAN
Modul pengemba ngan
RIT 1, RIT 2, RSh 1, RSh 2
Dimensi
Modul ruang 3X3 m
Sistem bangunan (1D dan 2D
Berat bangunan
disesuaikan dengan cara pengangkatan
Harus dapat diangkat oleh 2 orang pekerja
Ukuran bagianbagian bangunan, khususnya dalam arti ‘besarnya’ (masalah penanganan) elemen bangunan Bahan bangunan, dengan cara / teknik pelaksanaan nya Kadar prefabrikasi pada suatu bangunan tertentu
small cells, large panels, dst
Harus dapat diangkat oleh 2 orang pekerja, dengan alat transportasi yang sederhanadimensi modul terkecil biasanya 30 cm dan kelipatannya.
manual industrial prefabrication, craft prefabrication, dst rationalized traditional, partial prefab, total prefab, dst
Sederhana, Bahan sesuai potensi setempat, dan dapat memberdayakan masyarakat dalam proses prefabrikasi Dapat memberdayakan masyarakat dalam proses prefabrikasi, disesuaikan dengan kemampuan SDM
Sistem Produksi Industri (massal)
Peluang mengekspresikan kebutuhan pengungkapan jati diri Mengurangi Peluang Pembongkaran Bagian Bangunan Secara Besar-besaran
Sumber: diolah dari berbagai sumber dalam studi literatur
61
Tabel II.3 Tabel Komponen Bangunan untuk Rumah Inti Tumbuh dan Pengembangannya SISTEM BANGUNAN
KOMPONEN Pondasi
1 DIMENSI
JENIS sistem pondasi setempat
MATERIAL
KETERANGAN / GAMBAR
pasangan batu kali
pasangan beton
Sloof
sistem pondasi tidak langsung -
Kolom & Balok
-
lantai Rangka atap
1 kemiringan
Dinding
kusen pintu & jendela Penutup Atap
kayu ulin galam beton bertulang kayu bambu beton bertulang kayu bambu rabat beton kayu / ampig tembok
pelana
kayu / ampig tembok
tembok papan
conblock papan kayu tebal min. 2 cm bambu tembok, papan kayu
setengah tembok -
Harus disesuaikan dengan kondisi tanah, lingkungan, dan potensi material setempat
dilengkapi dengan pengaku, untuk kolom & balok kayu menggunakan sekur-sekur dari kayu 5/10 max. 50 cm. Mudah dikembangkan kayu dengan kelas kuat dan awet II berukuran 5/10 setiap titik simpul menggunakan klam papan kayu 2/10 Kemiringan sudut atap min. 20° rangka beton bertulang dipasang pada rangka kayu 5/7 atau 5/10
Disesuaikan dengan material yang tersedia
asbes seng gelombang kecil
62
panel 2 DIMENSI
panel kecil (small panel)
gypsum
beton ringan Panel kayu/ plywood panel lebar (large panel)
gypsum
beton ringan Panel kayu/ plywood
sambungan (joints)
mur-baut
Baja
Sumber: diolah dari berbagai sumber dalam studi literatur
Tabel II.4 Tabel Waktu dan Uraian Pekerjaan Yang Diperlukan Untuk Membangun Satu Unit Rumah Inti (RIT-1, tembok)
Sumber: diolah dari Kepmen Kimpraswil, Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sederhana (Tembok), 1991
63
Tabel II.5 Tabel Kriteria Ketahanan Gempa & Tsunami
KATEGORI
DENAH
KRITERIA
Simetris
KETERANGAN
Denah bangunan yang terlalu panjang harus dipisahkan
Denah berbentuk L harus dipisahkan
Denah berbentuk U harus dipisahkan
STRUKTUR
MATERIAL
Rangka, Kesatuan yang kaku
Material yang ringan
Dinding bata harus kuat dengan kolom,sloof, ring balok dari beton atau kayu Dinding bata harus diangker terhadap kolom,sloof dan ring balok Sloof harus diberi angker terhadap pondasi
Bangunan Tembok
Hubungan antara kolom dan balok atap harus diberi balok penapong diagonal dan datar Hubungan antara balok lantai dan kolon harus diberi balok panopang diagonal dan datar Pondasi umpak harus tertanam sedalam > 20 cm ke dalam tanah Material setempat untuk mendukung keberlanjutan
Bangunan Kayu
-
64
ANTISIPASI TSUNAMI (UNTUK RUMAH DI DAERAH PANTAI)
Sistem split core (5x lebih kuat disbanding struktur tradisional
Posisi tegak lurus terhadap garis pantai, sehingga kuat dan dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang
Lantai
Dinaikkan (panggung), untk mengantisipasi air pasang
Sumber: diolah dari berbagai sumber dalam studi literatur Tabel II.6 Tabel Material Berdasarkan Elemen Bangunan SISTEM BANGUNAN
MATERIAL (LOKAL)
KAYU BATU BATA BETON LINIER Kolom Pondasi Pondasi Pondasi Balok Kolom Kolom Kolom Sloof Balok Rangka Sloof Atap KudaRangka kuda Atap Pintu & Kuda-kuda Jendela Lantai Lantai PANEL Pelat Pondasi Pondasi Pelat Lantai Lantai Panel Dinding Dinding Panel Dinding geser geser inding Panel Panel Atap Atap Cell cell kayu Cell beton Box Box kayu Box beton Sumber: diolah dari berbagai sumber dalam studi literatur
BAMBU Kolom Balok Sloof Rangka Atap Kuda-kuda Pintu & Jendela Lantai Pelat Lantai Panel Dinding Panel Atap -
BAJA Pondasi Kolom Balok Sloof Rangka Atap Kuda-kuda Panel Atap
cell baja -
65
rumah sederhana tahan gempa
Kubika l
Rangka (sloof, kolom , balok,
Dinding pen
omponen Rangka Bangunan (kolom balok dan sloof) Kayu Bambu beton cor setempat (onsitecast concrete) baja (steel) beton prefabrikasi (prefab concrete)
Dinding Pengisi
batako (masonry) bata (brick) konblok (concrete-block) bambu plester GRC dan lain-lain
Kubikal Kamar Mandi (kubikal fabrikasi atau sistem dinding pendukung, menyatu dengan bangunan rumah atau terpisah) batu (stone) konblok (con-block) fiber (plastik serat) PVC Almunium GRC
Gambar II.32 Alternatif material untuk rumah sederhana Sumber: Larasati dkk, design for the competition (2005)
Gambar di atas memperlihatkan salah satu alternatif sistem struktur rumah sederhana tipe 45 yang memenuhi kriteria tahan gempa, dengan sistem rangka dan kubikel dengan sistem dinding pendukung yang disambungkan dengan dilatasi.. Desain ini memungkinkan pemanfaatan material yang fleksibel, sesuai dengan potensi lokal setempat dan ketersediaan tenaga kerja.
66