Beralihnya Hak Milik Tanah Sebagai Jaminan Hutang Piutang (Studi kasus: Nunung Herlina dengan Hani Haryani) Nama Mahasiswa: Abimantrana Yangki Sadputra Pembimbing: Suharnoko ABSTRAK
Nama
:
Abimantrana Yangki Sadputra
Program Studi
:
Hukum Perdata
Judul Skripsi
:
Beralihnya Hak Milik Tanah Sebagai Jaminan Hutang Piutang (Studi Kasus: Nunung Herlina dengan Hani Haryani).
Skripsi ini membahas mengenai perlihan hak milik yang diilakukan kreditur berdasarkan perjanjian Hak Tanggungan antara Debitur dan Kreditur secara melawan hukum. Hal ini terjadi dalam kasus Perjanjian Hak Tanggungan antara Nunung Herlina dan Hani Haryani, dimana objek yang diperjanjikan adalah tanah milik Nunung untuk ditanggungkan namun yang terjadi adalah peristiwa hukum jual beli tanah milik Nunung Herlina tersebut. Metodologi yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif. Pokok permasalahan yang dibahas antara lain: 1. Bagaimana ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian hutang piutang dalam hal tanah menjadi jaminan hutang menurut peraturan yang berlaku. 2. Bagaimana pengaturan peralihan hak milik tanah yang terdapat dalam suatu perjanjian hutang piutang terkait dengan kasus Nunung Herlina dengan Hani Haryani. Kesimpulan dari penulisan ini adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Hani Haryani dengan merubah konsep perjanjian hutang piutang menjadi perjanjian jual beli.
1
Universitas Indonesia
Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada
seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 1 Istilah hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract law. 2 Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 3 Pengertian perjanjian akan lebih baik apabila sebagai suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.4 Dalam perumusan yang diberikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu: 5
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, maupun karena undang-undang”. Sedangkan persetujuan tersebut sebagaimana diatur dalam KUH Perdata adalah: 6 “Suatu perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
1
R. Subekti (a), Hukum Perjanjian, Cet. 21, (Jakarta: Internusa, 2005), hal. 1.
2
Salim (a), Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 3 3
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet. 1, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hal.
4
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Cet. 2, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 322.
49.
5
Indonesia (a), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Bugerlijke Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), ps. 1233. 6
Ibid., ps. 1313.
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
3
Verbintenis merupakan suatu istilah dalam bahasa Belanda yang oleh para sarjana Indonesia diterjemahkan ke dalam berbagai istilah, seperti istilah perikatan, perutangan, dan perjanjian. 7 Akan tetapi, istilah perikatan dianggap cenderung lebih tepat karena pengertian dari verbintenis lebih sesuai dengan istilah perikatan di mana di dalam perikatan itu para pihak saling terikat oleh hak dan kewajiban atas suatu prestasi. 8 Penerjemahan istilah verbintenis ke dalam istilah perikatan dan perjanjian inilah yang mengakibatkan sebagian orang menganggap istilah perjanjian dan perikatan merupakan dua istilah yang memiliki pengertian yang sama walaupun kedua istilah itu sebenarnya berbeda. Di dalam buku yang ditulisnya, Prof. Subekti mengartikan perikatan sebagai suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.9 Pihak yang berhak menuntut sesuatu hal diistilahkan sebagai kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan kreditur atau si berpiutang diistilahkan sebagai debitur atau si berutang. 10 Kreditur dan debitur ini merupakan para pihak yang menjadi subjek dalam suatu perikatan, sedangkan yang menjadi objek dalam suatu perikatan merupakan hak dari kreditur dan kewajiban dari debitur yang umumnya disebut sebagai prestasi.11
1.2.
Perumusan Masalah Maka berdasarkan seluruh latar belakang diatas, perumusan masalah yang
akan diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian hutang piutang dalam hal tanah menjadi jaminan hutang menurut peraturan yang berlaku? 7
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Cet. 1, (Yogyakarta: Liberty, 1984), hal. 28-29. 8
Ibid.
9
Subekti (b), Hukum Perjanjian (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 1.
10
Ibid.
11
Hartono Hadisoeprapto, Op.cit., hal. 29.
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
4
2. Bagaimana pengaturan peralihan hak milik tanah yang terdapat dalam suatu perjanjian hutang piutang terkait dengan kasus Nunung Herlina dengan Hani Haryani? 1.4.
Metode Penulisan Penelitian ini merupakan salah satu bentuk karya tulis ilmiah, yang
membutuhkan data penunjang. Untuk dapat memperoleh data tersebut maka dilakukan metode tertentu yaitu metode penelitian hukum. Fungsi dari metode penelitian hukum tersebut adalah menentukan, merumuskan, dan menganalisa serta memecahkan masalah tertentu untuk dapat mengungkapkan kebenarankebenaran.12 Adapun Tipe penelitian ini deskriptif yang apabila dilihat dari sudut sifatnya merupakan penelitian hukum normatif yang terkait dengan keberlakuan atas syarat sahnya perjanjian dalam surat perjanjian serta kemungkinan akibat yang akan ditimbulkannya. 13 Penelitian hukum yang normatif (legal research) biasanya “hanya” merupakan studi dokumen, yakni menggunakan sumber-sumber data sekunder saja yang berupa peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan pendapat para sarjana.
14
Itu pula sebabnya
digunakan analisis secara kualitatif (normatif-kualitatif) karena datanya bersifat kualitatif. Penelitian ini ditujukan utama hanya kepada pasal-pasal dan butir-butir dalam perjanjian yang dianggap melanggar dengan ketentuan asas-asas perjanjian dan ketentuan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini juga menitik beratkan kepada teori-teori kepastian hukum serta norma-norma yang berlaku umum di perjanjian sesuai dengan ilmu disiplin hukum. Data pendukung teori juga akan diambil melalui studi kepustakaan, sehingga dalam teknik pengumpulan data mulai mengumpulkan data, mempelajari literatur-literatur, buku-buku, tulisan-tulisan dari para ahli yang berkaitan dengan objek penelitan. untuk mendukung teori dan mencari kesimpulan dari hasil penelitian.
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: UI-Press, 1986),
13
Ibid., hal. 46.
14
Ibid.
hal. 13.
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
5
Adapun bentuk lain dari penelitian ini menggunakan metode bentuk penelitian kepustakaan yang berdasarkan metode normatif (studi kepustakaan) artinya hanya dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat umum. Metode normatif dalam penulisan ini dilakukan dengan cara mengadakan analistis terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan buku seperti artikel dan makalah yang berhubungan dengan penulisan ini. Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:15 1.
Bahan Hukum Primer Adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, meliputi peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Bahan hukum primer yang dipakai dalam melakukan penelitian ini adalah ketentuan perundang-undangan mengenai hukum perdata, khususnya dalam bidang perkawinan, harta kekayaan, dan hibah. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Burgelijk Wetboek.
2.
Bahan Hukum Sekunder Adalah bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, yang isinya tidak mengikat. Bahan sekunder tersebut antara lain meliputi jurnal, majalah, artikel, surat kabar, buku, serta hasil karya ilmiah lainnya yang membahas mengenai masalah perjanjian. Data sekunder yang akan diperoleh adalah salah satunya dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang diterjemahkan oleh Subekti dan menurut Lembaran Negara berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Data lain yang diperoleh dari penelitian surat perjanjian atau bahan pustaka tersebut akan dianalisa melalui pendekatan kualitatif dan untuk mendukung data dan bahan maka akan menggunakan alat pengumpul data lain yaitu wawancara dengan narasumber.
3.
Bahan Hukum Tersier Adalah bahan yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier memberikan petunjuk atau
15
Ibid., hal. 22.
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
6
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.
4.2.
Analisa Kasus Pada dasarnya setiap orang dapat membuat perjanjian, namun setiap orang
yang mengikatkan diri pada suatu perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1320. Pasal ini berlaku untuk setiap jenis perjanjian yang ada, termasuk perjanjian tersebut adalah perjanjian hutang piutang. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa isi perjanjian harus memperhatikan pada prinsip-prinsip perjanjian yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu prinsip tersebut harus dilihat dari asas kebebasan berkontrak, bahwa isi-isi dari suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas, namun asas ini juga membatasi bahwa suatu perjanjian tidak boleh menyimpang dari apa yang telah diatur dalam undang-undang. Berdasarkan hal ini maka jelaslah bahwa asas ini menghendaki para pihak untuk membuat isi perjanjian tidaklah melawan hukum. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjianperjanjian
itu
dibagi
dalam
tiga
macam,
yaitu:
16
perjanjian
untuk
memberikan/menyerahkan suatu barang; perjanjian untuk berbuat sesuatu; dan perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. Hal yang harus dilaksanakan tersebut dinamakan prestasi. Untuk mengetahui hal-hal apa yang wajib dilaksanakan oleh pihak yang terikat dapat dilihat dari beberapa sumber:17 1) Dari sumber undang-undang sendiri pada umumnya undang-undang hukum perjanjian telah mengatur beberapa ketentuan tentang kewajibankewajiban yang mesti dilaksanakan dengan sempurna. 2) dari akta/surat perjanjian yang dibuat berdasarkan persetujuan dari kehendak para pihak.
16
R. Subekti, Op.ci., hal. 36.
17
Yahya Harahap, Op.cit, hal. 56.
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
7
Sebagaimana kasus Nunung dan Hani ini juga perlu memperhatikan pengaturan mengenai perjanjian yang berlaku di KUH Perdata, dimana para pihak dalam mengikatkan diri kepada suatu perikatan tersebut harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1320. Adapun ketentuan yang diatur dalam pasal ini yang terdiri atas syarat subjektif dan syarat objektif. Nunung dan Hani telah memenuhi apa yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1320. Dapat dilihat bahwa para pihak yang membuat perjanjian tersebut adalah subjek hukum yang sudah cakap hukum, mereka adalah orang yang mengikatkan diri dalam perikatan tersebut berdasarkan kesepakatan. Adapun hal yang membuat mereka sepakat terikat dalam perjanjian tersebut dikarenakan adanya suatu sebab yaitu Nunung membutuhkan modal untuk usaha namun ia tidak memiliki modal tersebut dan untuk memperoleh modal tersebut ia meminjam uang kepada Hani dengan menjaminkan Sertifikat tanah miliknya. Maka berdasarkan hal ini jelas bahwa telah terpenuhinya syarat sahnya perjanjian yang ketiga. Syarat sahnya perjanjian yang terakhir adalah adanya suatu sebab hal yang halal, dimana maksud dari syarat ini menghendaki bahwa perjanjian yang dibuat para pihak tersebut adalah perjanjian yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana dilihat dari kasus ini perjanjian yang dibuat para pihak adalah perjanjian hutang piutang yang memang diperbolehkan oleh peraturan yang berlaku. Melihat kepada ketentuan yang mengatur syarat sahnya perjanjian terkait dengan kasus diatas maka jelas perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut adalah perjanjian hutang piutang yang sah menurut KUH Perdata pasal 1320. Lahirnya perikatan dari perjanjian ini juga membawa para pihak kepada akibat hukum yang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Adanya hak dan kewajiban para pihak yang terikat juga dapat dilihat menurut tujuan (strekking) dari perjanjian dan sifat perjanjian. Hal ini sesuai dengan apa yang ditentukan dalam beberapa pasal dalam KUH Perdata, antara lain yang disebutkan dalam KUH Perdata Pasal 1348 menyebutkan bahwa: si persetujuan harus disimpulkan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan maksud tujuan perjanjian. Dapat disimpulkan bahwa pasal ini mengatur setiap orang yang membuat perjanjian pada dasarnya memiliki tujuan yang hendak dicapai, dan untuk mewujudkan
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
8
tujuan tersebut harus dibuat secara jelas apa saja yang menjadi perangkatperangkat pendukung terciptanya tujuan tersebut. Sebagaimana adanya hak dan kewajiban yang lahir dari perjanjian tersebut, maka perlu memperhatikan terlebih dahulu jenis perjanjian apa yang teradapat dalam kasus ini. Mengingat dalam kasus ini adanya pengakuan telah terjadi perjanjian hutang piutang berdasarkan bukti yang dilampirkan oleh Penggugat di Pengadilan tidak sesuai dengan jenis perjanjian yang diberikan oleh Tergugat. Berdasarkan pengakuan Tergugat perjanjian yang telah terjadi tersebut adalah perjanjian jual beli tanah. Namun disini terdapat kelemahan Tergugat, dimana perjanjian jual beli yang dapat meyakinkan hakim, namun perbuatan tergugat tersebut tidak memenuhi unsur perjanjian jual beli melainkan telah terjadi perjanjian hutang piutang. Hal ini dapat dilihat dengan tindakan yang dilakukan oleh Tergugat yang selalu menerima uang cicilan yang dibayarkan oleh Penggugat untuk tujuan pelunasan hutang piutang tersebut. Dalam kasus ini putusan yang diberikan adalah menyatakan sahnya perjanjian jual beli, sedangkan menganggap bahwa tidak pernah terjadi perjanjian hutang piutang. Disini hakim terlihat tidak memahami perbedaan perjanjian. Hakim tidak melihat bahwa perbuatan Tergugat dengan menerima uang cicilan dari Penggugat adalah suatu perbuatan dimana secara tidak langsung bahwa Tergugat telah mengakui bahwa perjanjian yang dibuat kedua belah pihak tersebut dihadapan Turut Tergugat I adalah perbuatan yang termasuk dalam sifat perjanjian hutang piutang, bukan perjanjian jual beli. Berdasarkan perbuatan hakim ini jelas merugikan Penggugat karena hakim tidak memahami bagaimana keberlakuan serta sifat-sifat dari perjanjian yang berlaku di Indonesia. Akibat dari putusan ini jelas maka Penggugat kehilangan haknya, yang juga jelas timbul karena adanya ketidakpahaman hakim terhadap pelaksanaan perjanjian. Namun berdasarkan keseluruhan pembahasan diatas ini, jelas maka perjanjian yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat adalah perjanjian hutang piutang, bukan perjanjian jual beli. Hak Nunung sebagai debitur dalam kasus ini berdasarkan perjanjian hutang piutang adalah menerima sejumlah uang yang telah disepakati yaitu sebesar Rp. 23.500.000,-, (dua puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah), sedangkan kewajiban Nunung adalah mengembalikan uang pinjaman tersebut selambat-
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
9
lambatnya 20 bulan setelah Nunung menerima pinjaman tersebut. Kewajiban lainnya adalah untuk mendapatkan pinjaman tesebut Nunung wajib menyerahkan sertifikat tanah miliknya kepada Hani sebagai jaminan. Sementara itu hak yang dimiliki Hani adalah menerima uang yang dipinjam oleh Nunung selambatlambatnya setelah Hani menyerahkan uang kepada Nunung yaitu dalam jangka waktu 20 bulan, selain itu Hani juga berhak untuk menahan sertifikat milik Nunung sampai Nunung selesai melaksanakan kewajibannya. Berdasarkan penjelasan hak dan kewajiban para pihak tersebut dapat dilihat bahwa jelas para pihak harus melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya dan dapat menuntut haknya masing-masing. Setiap pelaksaaan perjanjian yang tidak dilakukan oleh salah satu pihak adalah jelas suatu perbuatan ingkar janji atau wanprestasi. Sedangkan bila salah satu pihak melakukan perbuatan yang tidak ada dalam perjanjian tersebut dan mengakibatkan kerugian kepada
pihak lainnya, maka
dapat
dikatakan
perbuatannya tersebut adalah perbuatan melawan hukum. Berdasarkan perjanjian hutang piutang, perjanjian hutang piutang mengatur bahwa jika salah satu pihak melakukan wanprestasi maka piutang tersebut dapat beralih kepada kreditur atau dimiliki kepada kreditur, namun peralihan hak milik tersebut tidak dapat berpindah begitu saja, harus diketahui dan disepakati kedua belah pihak sekalipun salah satu pihak telah melakukan wanprestasi. Penggugat tidak memenuhi unsur wanprestasi, jika diperhatikan dalam putusan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian tersebut tidak dicantumkan ketentuan waktu untuk pembayaran setiap bulannya, hanya dicantumkan waktu terakhir pelunasan hutang tersebut. Hal ini juga dilihat dari adanya bukti yang dapat diberikan oleh Penggugat bahwa tidak adanya pencantuman pembayaran setiap bulannya. Berdasarkan hal ini maka jelas pembayaran hutang tersebut dapat dibayarkan seluruhnya pada tanggal 20 Desember 2002. Dalam kasus ini sekalipun Penggugat tidak melakukan pembayaran setiap bulannya, namun Penggugat memberikan pelunasan hutang tersebut pada tanggal 20 Desember 2002, maka jelas bahwa pengugat tidak melakukan wanprestasi atau memenuhi unsur wanprestasi.
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
10
Sebagaimana yang terjadi dalam kasus ini, Penggugat datang kepada Tergugat
untuk
menyerahkan
hutangnya,
namun
ternyata
Tergugat
memperlihatkan foto kopi sertifikat kepemilikan tanah atas nama Tergugat miliki Penggugat. Adanya foto kopian tersebut jelas membuat Penggugat keberatan, dikarenakan ia merasa tidak pernah menyerahkan kepemilikan tanah miliknya tersebut kepada tergugat, ia hanya menyerahkan sertifikat tersebut sebagai jaminan hutang piutang kepada tergugat. Hal ini dikatakan Tergugat bahwa Penggugat telah menyerahkan kepada Tergugat melalui perjanjian jual beli yang dilakukan dihadapan Tergugat I pada tanggal 9 April 2001. Jika diperhatikan dalam kasus ini, Penggugat yang merasa tidak melakukan perjanjian jual beli kepada Tergugat dapat membuktikan bahwa perjanjian yang dilakukan para pihak tersebut adalah jelas perjanjian hutang piutang, namun hal ini disangkal oleh tergugat yang mengaku bahwa perjanjian yang terjadi adalah perjanjian jual beli tanah milik Penggugat yang akan beralih kepada Tergugat tanpa adanya bukti yang dapat ditunjukan kepada Penggugat. 4.3.
Pengaturan Mengenai Hipotik Dan UUHT Perjanjian hutang piutang atas tanah sebagai jaminan hutang menurut
KUH Perdata diatur dalam beberapa pasal yang mengatur mengenai Hipotik. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1162 KUH Perdata Hipotik diartikan bahwa “Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan. Maksud dari pasal ini adalah memberikan hak kebendaanatas suatu benda tidak bergerak yang di peroleh seorang berpiutang dan memberikan kekuasaan bagi si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari hasil eksekusi barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut, (biaya mana harus didahulukan) biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang tersebut dan utang-utang fiscal, biayabiaya dan utang-utang mana yang harus didahulukan. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa terhadap suatu wanprestasi yang dilakukan salah satu pihak karena tidak bisa melunai hutangnya kepada kreditur, ia tetap memiliki hak untuk mendapatkan bagian atas sisa penjualan tanah sebagai objek hutang piutang dari
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
11
debitur. Namun hal ini berlaku bila debitur tidak dapat melunasi hutangnya tepat waktu. Terkait dengan kasus diatas, Penggugat jelas tidak melakukan wanprestasi karena pada saat Penggugat menyerahkan hutangnya, ia berada pada waktu jatuh temponya hutang tersebut harus dibayarkan, maka berdasarkan hal ini seharusnya ketika Penggugat telah selesai melaksanakan kewajibannya, Tergugat juga melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya dengan itikad baik sebagaimana itikad baik adalah hal yang penting dilaksanakan dalam suatu perjanjian. Adanya itikad tidak baik yang dilakukan oleh Tergugat. Hal ini dapat dilihat dengan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat dan Tergugat I dengan adanya sertifikat jual beli tanah yang dilakukan mereka tanpa seijin penggugat. Sebagaimana jelasnya perjanjian ini adalah perjanjian ini adalah perjanjian yang memenuhi unsur perjanjian hutang piutang. Perjanjian ini dibantah oleh Tergugat dan Tergugat yang menyebutkan perjanjian yang telah terjadi ini adalah perjanjian jual beli yang dilakukan dihadapan tergugat I. Hal ini juga dapat dilihat dengan adanya bukti cicilan pembayaran yang dilakukan oleh Penggugat kepada Tergugat sebagai bukti bahwa perjanjian yang telah terjadi adalah perjanjian yang memenuhi unsur perjanjian hutang piutang. Hal lain adanya itikad tidak baik yang dilakukan oleh Tergugat adalah diterimanya oleh Tergugat setiap kali pembayaran yang dilakukan oleh Penggugat. Namun pada kenyataannya pada saat persidangan Tergugat mengatakan tidak pernah terjadi perjanjian hutang piutang melainkan adanya perjanjian jual beli. Apabila diperhatikan kasus ini lebih teliti, maka seharusnya jikalau memnag telah terjadi perjanjian jual beli seperti yang dikatakan Tergugat, seharusnya ia tidak menerima cicilan pembayaran dari Penggugat. Adanya sikap tergugat dengan menerima uang dari Penggugat tersebut adalah suatu sikap yang mengakui telah terjadi perjanjian hutang piutang. Namun sayangnya dalam kasus ini, hakim pada tingkat Pengadilan Negeri tidak memeriksa dengan teliti perbuatan yang dilakukan Tergugat adalah suatu perbuatan yang menyatakan sikap telah terjadinya kesepakatan perjanjian hutang piutang sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Selain itu hakim juga tidak memperhatikan adanya itikad tidak baik yang dilakukan oleh Tergugat. Sama halnya dengan hakim pada tingkat Pengadilan Tinggi seperti kurang memahami
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
12
sifat dari perjanjian hutang piutang dan perjanjian jual beli yang berlaku menurut KUH Perdata. Sebagaimana pengaturan mengenai Hipotik di Indonesia diatur dalam KUH Perdata, Hipotik ini pun merupakan hak yang bersifat accesoir.
KUH
Perdata Pasal 1168 menentukan bahwa hipotik hanya dapat dilakukan oleh pemilik barang dan pemasangan hipotik atau kuasa memasang hipotik harus dilakukan dengan akta Notaris, sebagaimana ketentuan KUH Perdata Pasal 1171. Objek hipotik sesuai dengan KUH Perdata Pasal 1164 adalah barang tidak bergerak. Hipotik tidak dapat dibebankan atas benda bergerak. Melihat perjanjian ini dibuat dihadapan Tergugat I sebagai Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah memenuhi syarat formil sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata mengenai Hipotik. Namun dalam kasus ini ternyata telah terjadi persekongkolan yang dilakukan oleh Tergugat dan turut Tergugat I dengan membuat suatu perjanjian jual beli yang dikuatkan dalam Akta Jual Beli tanah. Dimana Penggugat merasa tidak pernah melakukan perjanjian jual beli tanah oleh Tergugat, maka Penggugat merasa perlu mempertahankan apa yang menjadi haknya yaitu tanah sebagai objek hutang piutang tersebut kembali kepadanya. Hal ini memperlihakan bahwa perbuatan Tergugat dan Tergugat I adalah perbuatan yang merugikan Penggugat dan adanya itikad tidak baik, dimana turut Tergugat I dalam kasus ini adalah orang yang memiliki jabatan sebagai pejabat Negara yang seharusnya menerapkan kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata. Menilik waktu pembuatan Akta Jual Beli tersebutpun jatuh pada saat yang sama ketika Penggugat hanya melakukan perjanjian hutang piutang dengan Tergugat sebagaimana hal ini wajib dilakukan para pihak dihadapan turut Tergugat I sebagai pejabat yang berkompeten menurut KUH Perdata. Namun ternyata kedudukan turut Tergugat I disini merugikan Penggugat atau dapat dikatakan turut Tergugat I telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai Notaris dan PPAT. Pada prinsipnya isi akte hipotek itu dapat di bagi atas dua bagian yaitu isi yang wajib dan isi yang fakultatif. Isi yang wajib yaitu berisi hal-hal yang wajib dimuat. Yang memuat pertelaan mengenai barang apa yang dibebani hipotik itu (tanah rumah dan lain-lain), luasnya/ukuranya berapa, letaknya di mana,
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
13
berbatasan dengan milik siapa, jumlah barang dan lain-lain. Sedangkan Isi yang fakultatif yaitu yang berisi hal-hal yang secara fakultatif dimuat. Yaitu yang berisi janji-janji/beding yang diadakan antara pihak-pihak (debitur dan kreditur). Tetapi sekalipun janji-janji ini merupakan isi yang fakultatif dari hipotik namun janjijanji demikian lazim dimuat dalam akte demi kepentingan para pihak sendiri agar lebih zeef/kuat. Sebagaimana Hipotik yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1186 ayat 2 menetapkan janji-janji yang dimuat dalam suatu akte hipotik salah satunya ialah “Janji untuk menjual sendiri yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1178 ayat (2). Maksud dari pasal ini adalah jika debitur itu nanti tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) maka kreditur itu nanti atas kekuasaan sendiri berhak untuk menjual benda yang dihipotikkan untuk pelunasan hutang-hutangnya. Dengan ketentuan bahwa menjualnya harus di muka umum dan hasil penjualan itu setelah dikurangi dengan hutang debitur sisanya di kembalikan kepada debitur. Janji yang demikian ini terutama ialah untuk melindungi kepentingan si kreditur. Karena baik pada hipotik maupun pada pand, kreditur tidak dapat mengadakan verval beding. Yaitu suatu janji untuk memiliki barang yang dihipotikkan dalam hal si debitur melakukan wanprestasi. Janji untuk menjual barang-barang tersebut untuk pelunasan hutangnya. Hanya saja bedanya dengan pand/gadai, wewenang untuk menjual bendanya atas kekuasaan sendiri itu pada gadai adanya dan diberikan oleh undang-undang sedangkan pada hipotik wewenang untuk menjual bendanya atas kekuasaan sendiri itu adanya harus diperjanjikan lebih dahulu. Maka berdasarkan hal ini, jika memang Penggugat telah melakukan wanprestasi, Tergugat tetap tidak memiliki hak untuk melakukan peralihan hak miliki tanah milik Penggugat melalui perjanjian hutang piutang. Dalam halnya Tergugat sebagai kreditur diberikan hak untuk menjual tanah sebagai jaminan hutang sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian, namun tetap saja Tergugat tidak memiliki hak untuk mengalihkan kepemilikan tanah tersebut tanpa seijin Penggugat. Dalam kasus ini hakim juga membenarkan tindakan Tergugat berdasarkan keyakinan bahwa perbuatan dan bukti yang tidak benar oleh Tergugat adalah suatu hal benar. Disini hakim tidak memahami bagaiman perlihan kepemilikan tanah yang lahir berdasarkan Hipotik. Sekali lagi dapat dilihat,
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
14
bahwa hakim merugikan Penggugat sebagai pemilik tanah. Lahirnya pengaturan mengenai jaminan benda tidak bergerak yang diatur dalam KUH Perdata tidak seluruhnya berlaku lagi sejak disahkannya Undangundang Hak Tanggungan (UUHT). Sebagaimana pengertian hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 1 angka ke-1 Undang-Undang Hak Tanggungan 18 disimpulkan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Pengaturan mengenai Hak Tanggungan yang terdapat dalam UUHT Pasal 8 ayat (1) ini menyebutkan bahwa pemberian hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Berdasarkan pasal ini maka jelas bahwa orang dapat melakukan penjaminan kepada perorangan lainnya atas suatu benda tidak bergerak atas kreditur dan debitur keduanya adalah subjek hukum yang bukan badan hukum. Terkait dengan kasus diatas, maka jelas bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh Penggugat dan Tergugat adalah perbuatan yang boleh dilakukan menurut UUHT. Sebagaimana hak tanggungan mengatur bahwa objek dalam UUHT adalah benda yang tidak bergerak, maka terkait dengan kasus diatas bahwa apa yang menjadi objeknya adalah tanah milik Penggugat yang menjadi jaminan. Dalam UUHT menjelaskan bahwa Pengaturan mengenai hak tanggungan tersebut tidak hanya mengatur mengenai subjek dan objek hukum dalam Hak Tanggungan tetapi juga mengatur bagaimana sifat, tahapan dan pelaksanaan hak tanggungan. Salah satu dari beberapa sifat hak tanggungan menurut UUHT pasal 6 menyebutkan bahwa apabila debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk untuk menjual objek hak tanggungan dibawah kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dengan adanya
18
Indonesia (d), Undang-undang Tentang Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996, ps. 1 ayat (1) berbunyi “Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”.
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
15
sifat ini, jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang hak tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi hak tanggungan yang menjadi jaminan hutang. Ketentuan ini memang jelas mengatur pemberian hak tanggungan kepada kreditur, namun ketentuan ini menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap akibat hukum yang timbul. Hal ini dapat diartikan bahwa jika debitur tidak melakukan prestasinya, maka kreditur tidak memerlukan izin dari debitur untuk melakukan pelelangan terhadap objek yang diperjanjikan dalam hak tanggungan. Kembali melihat kepada kasus diatas, dapat dilihat bahwa apa yang dilakukan tergugat dengan mengalihkan sertifikat hak milik atas nama penggugat adalah perbuatan yang timbul atas penafsiran yang berbeda dari arti yang dimaksudkan oleh undang-undang ini. Dalam kasus ini perbuatan tergugat adalah perbuatan atas dasar penafsiran yang berbeda dari maksud UUHT pasal 6 ini. Dimana tergugat mengalihkan hak kepemilikan sertifikat milik penggugat berdasarkan penafsiran bahwa ia dapat melakukan perbuatan hukum dengan mengalihkan atas namanya jika penggugat melakukan cidera janji. Sebagaimana perbuatan tergugat dalam kasus ini adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana maksud dari undang-undang ini. Dalam kasus ini tergugat mengalihkan kepemilikan tersebut dengan menafsirkan ketentuan ini dengan berdiri sendiri, dimana seharusnya ia menafsirkan ketentuan ini tidak lepas dari ketentuan-ketentuan lainnya yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan hal ini jelas bahwa tergugat tidak berhak untuk mengalihkan kepemilikan sertifikat rumah tanpa seijin penggugat apabila memang ditemukan penggugat melakukan wanprestasi terhadap perjanjian hutang piutang tersebut. Adanya perbuatan lain yang dilakukan tergugat dengan mengatakan bahwa tidak terjadinya perjanjian hutang piutang tersebut dalam kasus ini dapat dilihat adanya itikad tidak baik yang ditunjukan oleh tergugat. Hal ini didasarkan dengan perbuatan yang dilakukan tergugat dengan menyatakan bahwa tidak terjadinya perjanjian hutang piutang. Adapun dalil yang dikatakan tergugat bahwa yang terjadi adalah perjanjian jual beli yang dilakukan dihadapan turut tergugat I melalui bukti Akta Jual Beli (AJB). Sebagaimana dalam kasus ini tergugat memang dapat membuktikan adanya AJB tersebut tanpa memperlihatkan adanya perjanjian hutang piutang yang telah disepakati para pihak tersebut. Namun itikad
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
16
tidak baik yang dapat dilihat dari tergugat disini dapat dilihat dengan cicilan pembayaran yang selalu diterima oleh tergugat dari penggugat. Apabila perjanjian yang dilakukan tergugat dan penggugat adalah perjanjian jual beli, maka seharusnya tergugat tidak menerima seluruh cicilan yang diberikan penggugat. Untuk perjanjian hutang piutang perseorangan atas tanah maka pengaturan tersebut haruslah memperhatikan ketentuan yang diatur dalam UUHT. UUHT mengatur bahwa yang menjadi objek perjanjian hutang piutang tidak dapat berpindah begitu saja. Hal ini dapat berpindah kepada kreditur apabila waktu perjanjian tersebut juga sudah melampaui batas perjanjian. Namun untuk peralihannya pun tetap harus memperhatikan apa yang diatur dalam UUHT, yaitu bahwa jika objek sengketa adalah tanah, dan debitur tidak dapat membayar tetap pada waktu, maka peralihan hak milik atas tanah tersebut tidak dapat begitu saja berpindah, seharusnya Kreditur memberitahukan kepada debitur bahwa terhadap tanah tersebut apakah akan ditindaklanjuti atau tidak sebagaimana yang diatur dalam UUHT mengenai tahapan peralihan hak milik. Dalam kasus ini peralihan yang terjadi adalah peralihan tanpa seijin debitur yang jelas peralihan tersebut adalah peralihan yang bertentangan dengan hukum. Pengaturan mengenai hak tanggungan mengatur bahwa ada beberap hal yang tidak boleh dicantumkan dalam perjanjian. Salah satunya adalah Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum. 19 Penjelasan Pasal 12
Ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi
kepentingan debitor dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai obyek Hak Tanggungan melebihi besar-nya utang yang dijamin. Pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik obyek Hak Tanggungan karena debitor cidera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli obyek Hak Tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20. Dalam kasus ini sekalipun Penggugat mungkin kedapatan wanprestasi namun ia sebenarnya tetap dilindungi oleh undang-undang untuk mempertahankan hak milik tanahnya, tetapi pada
19
Ibid., ps. 12.
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
17
kenyataannya ia kehilangan hak milik tanahnya atas perbuatan yang dilakukan tergugat. Berdasarkan hal ini maka dapat dilihat bahwa memang tergugat telah memiliki itikad tidak baik dari awal perjanjian ini dibuat. mengenai peralihan milik yang terjadi dalam kasus ini jelas batal demi hukum sebagaimana yang diatur dalam UUHT pasal 12. Oleh sebab itu maka seharusnya peralihan hak milik tanah tersebut dianggap tidak pernah ada dan batal demi hukum. Dan terhadap kepemilikan tanah tersebut seharusnya kembali kepada Penggugat. Namun yang disayangkan dalam kasus ini, hakim di setiap tingkat peradilan tidak memperhatikan apa yang diatur dalam UUHT yang akhirnya mengakibatkan kerugian kepada Penggugat. 5.1.
Kesimpulan
1. Hipotik merupakan suatu perjanjian accesoir, jika hubungan pokok berakhir maka berakhir pula jaminan hipotiknya. Berlakunya Undangundang No. 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan, maka hipotik tentang tanah dan segala sesuatu yang berada dan tetap ada di atas tanah tersebut, maka tidak dapat menggunakan hipotik dikarenakan telah ada Undangundang No. 4 tahun 1996. Berlakunya ketentuan ini berlaku untuk perjanjian tanah sebagai jaminan yang dilakukan oleh perorangan dan badan hukum. Maka berdasarkan ketentuan ini jelas berlaku terhadap siapa saja yang melakukan perjanjian Hak Tanggungan. 2. Pengaturan mengenai hak kepemilikan tanah dalam kasus Nunung dan Yani ini telah melanggar apa yang diatur dalam UUHT, tidak hanya itu tetapi juga melanggar syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata pasala 1320. Dimana kasus ini telah melanggar syarat objektif yang diatur dalam KUH Perdata. Berdasarkan hal ini maka jelas bahwa seharusnya kepemilikan tanah milik Yani dengan cara melawan hukum ini seharusnya batal demi hukum, dan tanah tersebut seharusnya kembali kepada Nunung. 5.2.
Saran 1. Seharusnya hakim dalam memeriksa perkara mengenai perjanjian hak tanggungan lebih teliti dan memahami sifat-sifat perjanjian. Jika hakim
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
18
tidak dapat memahami ini dengan baik, maka akan banyak kasus yang merugikan pihak yang memang memiliki hak-hak kepemilikan tersebut. 2. Peralihan hak milik tanah dalam kasus ini jelas adalah peralihan yang tidak sesuai dengan hukum, maka terhadap peralihan ini, seharusnya hakim memberikan putusan untuk menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan tergugat adalah perbuatan yang tidak seharusnya dibenarkan dan harus dibatalkan. DAFTAR PUSTAKA
Buku: Hadisoeprapto. Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta: Liberty, 1984.
Prodjodikoro. Wirjono (a), Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cet. 10, Bandung: Bale Bandung, 1986.
___________(b), Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cet. 8, Bandung: Mandar Maju, 2000.
___________ (a), Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetjuan Tertentu, Bandung: Sumur Bandung, 1981.
Satrio. J. (a), Hukum Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya, 1992.
Setiawan. Rachmat. (a), Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet. 1, Bandung: Bina Cipta, 1979.
Subekti. R. (a), Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Cet. 1, Bandung: Alumni, 1976.
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
19
___________ (b), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Bugerlijke Wetboek), Cet. 1.
___________ (c), Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, 2004.
___________ (d), Hukum Perjanjian, Jakarta: Internusa, 2008.
___________ (e), Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bandung: PT. Intermasa, 1987.
___________ (f), Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1985.
___________ (g), Hukum Perjanjian, Cet. 21, Jakarta: Internusa, 2005.
Suharnoko, Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus), Edisi 1, Cet. 4, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004.
___________, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana, 2008.
Sri Soedewi Masjehoen, Hak Jaminan Atas Tanah, Liberty: Yogyakarta, 1975.
Soekanto. Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, Jakarta: UI-Press, 1986.
S. Salim H., Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 5, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Peraturan Perundang-undangan: Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjamahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 31, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974, LN. No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019.
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013
20
Indonesia, Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, UU No. 4 Tahun 1996, LN No. 42 Tahun 1996, TLN No. 3632.
Indonesia, Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960.
Universitas Indonesia Bweralihnya Hak ..., Abimantrana Yangki Sadputra, FH UI, 2013