KAJIAN TENTANG GUGATAN PERALIHAN DAN PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH SECARA TIDAK SAH (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3082 K/Pdt/2011)
JURNAL PENELITIAN Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta
Oleh : MUHAMMAD FADHOLI NIM. 12100008
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2017
KAJIAN TENTANG GUGATAN PERALIHAN DAN PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH SECARA TIDAK SAH (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3082 K/Pdt/2011) Oleh: Muhammad Fadholi Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam memutus perkara gugatan peralihan dan penguasaan hak milik atas tanah secara tidak sah pada Putusan Kasasi No. 3082 K/Pdt/2011. 2) Mengetahui akibat hukum pembatalan peralihan hak atas tanah secara tidak sah berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3082 K/Pdt/2011. Penyelesaian sengketa pertanahan dapat berakibat pada pembatalan hak atas tanah. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Bab VI menyatakan bahwa alasan penerbitan pembatalan hak atas tanah tersebut karena adanya cacat hukum administrasi dalam penerbitan keputusan pemberian hak dan/atau sertipikat hak atas tanahnya atau putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembatalan hak atas tanah tersebut tentunya dilakukan setelah melalui tahap pembuktian yang diajukan oleh para pihak di persidangan mengenai peralihan hak atas tanah tersebut. Pembuktian atas suatu hak dapat dibuktikan dengan alat bukti yang terdiri atas alat bukti tertulis, alat bukti saksi-saksi, alat bukti persangkaan, alat bukti pengakuan dan alat bukti sumpah. Metode pendekatan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap peraturan yang berlaku serta kaedah hukum itu sendiri (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, hukum adat atau hukum tidak tertulis lainnya) dan asas-asas hukum. Sumber data menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan/studi dokumen. Analisis hukum menggunakan logika deduktif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan No. 3082 K/Pdt/2011 yaitu menolak kasasi atas permohonan kasasi dari Tergugat didasarkan pada pertimbangan bahwa Pengadilan Tinggi Semarang yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Boyolali tidak salah menerapkan hukum, di samping itu Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara tidak perlu mempertimbangkan alat bukti yang diajukan, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan kasalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. 2) Akibat hukum pembatalan peralihan hak atas tanah secara tidak sah berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3082 K/Pdt/2011 yaitu objek sengketa berupa tanah seluas 477 m² sebagaimana tercatat dalam SHM No. 1291 Desa Pandeyan atas nama Suriyem dan sebagian tanah tercatat dalam SHM No. 1292 Desa Pandeyan atas nama Kamiyo dengan ukuran lebar 22 m x panjang 41,5 m diserahkan kepada Lagiyem dan menjadi hak milik Lagiyem.
1
LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, telah terjadi perubahan fundamental pada hukum agraria di Indonesia terutama hukum di bidang pertanahan karena telah terjadi pembaharuan di bidang hukum agraria atau hukum tanah di Indonesia. Hukum tanah adat yang tidak tertulis masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas tanah yang sudah dikuasai oleh orang dan badan hukum baik yang berasal dari hukum tanah barat maupun hukum tanah adat pun dikonversi atau diubah menjadi hak-hak perorangan atas tanah menurut hukum tanah nasional.1 Dengan demikian UUPA bersumber utama pada hukum adat yang tidak tertulis, sehingga hukum tanah nasional menggunakan konsepsi, asas-asas, lembagalembaga hukum, dan sistem hukum adat yang dirumuskan menjadi norma-norma hukum tanah nasional yang tertulis dan disusun menurut sistem hukum adat. Konsepsi hukum adat mengenai pertanahan yang diangkat menjadi konsepsi hukum tanah nasional dirumuskan sebagai komunalistik-religius yang memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama karunia Tuhan Yang Maha Esa oleh para warga negara secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan tersedianya perangkat hukum tertulis yang lengkap, jelas, dan dilaksanakan secara konsisten, serta penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif. Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapapun yang berkepentingan akan dengan mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukannya, bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban, serta larangan-larangan apa yang ada dalam menguasai tanah dengan hakhak tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan ketentuan-ketentuan yang bersangkutan, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyainya.2 Kegiatan pendaftaran tanah sejalan dengan semangat awal pembentukan UUPA untuk menghilangkan segala perbedaan antara hukum tanah adat dan hukum tanah barat dengan mengkonversi hak-hak tanah tersebut menjadi hak baru menurut UUPA sejak berlakunya UUPA. UUPA sebagai peraturan dasar pokok-pokok agraria telah menetapkan ketentuan-ketentuan konversi terhadap hak-hak barat maupun hakhak Indonesia atas tanah sebagaimana diatur dalam bagian kedua UUPA. Dengan ditetapkannya ketentuan konversi, maka hak-hak dimaksud secara hukum menjadi hak yang sesuai sejak berlakunya UUPA dan secara administratif, subjek hak diharuskan mendaftarkan haknya pada instansi pemerintahan melalui suatu kegiatan yang disebut pendaftaran tanah.3 Penerbitan suatu sertipikat tanah di suatu negara berkaitan dengan sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Jika dilihat dari 1
Boedi Harsono, 2007, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Cet. 10, Jakarta: Universitas Trisakti, hlm.30 2 Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cet. 3, Jakarta: Djambatan, hlm.69. 3 Muchtar Wahid, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah : Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis, Cet. 1, (Jakarta: Republika, hlm.24.
2
ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA ditegaskan bahwa “surat tanda bukti hak atau sertipikat tanah yang diterbitkan tersebut berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat” dan sesuai dengan sistem negatif yang dianut dalam pendaftaran tanah di Indonesia, maka berarti sertipikat tanah yang diterbitkan itu bukanlah alat bukti yang mutlak yang tidak bisa diganggu gugat artinya sertipikat tanah itu bisa dicabut atau dibatalkan. Sistem pendaftaran tanah yang digunakan dalam hukum tanah nasional adalah sistem pendaftaran hak dengan sistem negatif yang mengandung unsur-unsur positif. Makna dari sistem ini adalah pemerintah memberikan pengakuan atas sertipikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak dan sebagai alat bukti kuat sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya. Dengan demikian, berdasarkan sistem pendaftaran tanah tersebut, apabila ada pihak yang merasa dirugikan atas diterbitkannya sertipikat atas suatu bidang tanah, maka pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan pembatalan sertipikat tersebut. Sebagai pemberian perlindungan hukum kepada para pemegang sertipikat hak atas tanah tersebut, Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa: “Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah ini tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut”. Timbulnya sengketa pertanahan bermula dari adanya gugatan dari salah satu pihak yang berisi keberatan dan tuntutan terhadap hak atas tanah, baik mengenai status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan tujuan untuk memperoleh penyelesaian secara administratif sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Tujuan akhir dari pengaduan tersebut adalah gugatan jika pengadu adalah pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah sengketa tersebut. Oleh karena itu penyelesaian terhadap sengketa hukum tersebut tergantung dari sifat atau masalah yang diajukan. Penyelesaian sengketa pertanahan dapat berakibat pada pembatalan hak atas tanah. Berdasarkan Pasal 104 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999), pembatalan hak atas tanah tersebut meliputi: 1) Pembatalan keputusan pemberian hak; 2) Pembatalan sertipikat hak atas tanah; 3) Pembatalan keputusan pemberian hak dalam rangka pengaturan penguasaan tanah. Setiap peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh seseorang kecuali pemindahan hak melalui lelang, harus didasarkan pada suatu akta yang berwenang sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah: “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hokum pemindahan hak lainnya kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dengan demikian, setiap perbuatan peralihan hak atas tanah tersebut harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat di mana letak tanah berada dengan
3
terlebih dahulu dibuatkan akta PPAT. Hal ini perlu agar peralihan hak atas tanah tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat, sehingga bila terjadi sengketa pertanahan di kemudian hari dan penerima peralihan hak atas tanah tersebut mempunyai bukti otentik, berupa sertipikat hak atas tanah, maka akan mendapat perlindungan secara hukum. Salah satu bentuk sengketa pertanahan mengenai peralihan hak dapat muncul karena adanya gugatan pembatalan peralihan hak. Hal tersebut juga terjadi pada gugatan perbuatan melawan hukum atas peralihan hak milik atas tanah dalam perkara perdata pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3082 K/Pdt/2011. Dalam kasus tersebut Penggugat Lagiyem sebagai ahli waris yang sah dari Resoidjojo melakukan gugatan kepada Kamijo Reso Sukarto (Tergugat I), Kiswadi (Tergugat II), Suwarto (tergugat III), Sudarjo (Tergugat IV), dan Sujiman (Tergugat V) yang telah melakukan peralihan dan penguasaan obyek sengketa tanah oleh Para Tergugat dilakukan secara melawan hukum karena menghilangkan hak mewaris dari Penggugat. Kasus tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap yang diputus oleh Pengadilan Negeri Boyolali No. 13/Pdt.G/2010/PN.Bi dan telah dikuatkan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No. 84/Pdt/2011/PT.Smg dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3082 K/Pdt/2011. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam memutus perkara gugatan peralihan dan penguasaan hak milik atas tanah secara tidak sah pada Putusan Kasasi No. 3082 K/Pdt/2011? 2. Bagaimanakah akibat hukum pembatalan peralihan hak atas tanah secara tidak sah berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3082 K/Pdt/2011? TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam memutus perkara gugatan peralihan dan penguasaan hak milik atas tanah secara tidak sah pada Putusan Kasasi No. 3082 K/Pdt/2011. 2. Mengetahui akibat hukum pembatalan peralihan hak atas tanah secara tidak sah berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3082 K/Pdt/2011. METODE PENELITIAN Metode pendekatan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap peraturan yang berlaku serta kaedah hukum itu sendiri (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, hukum adat atau hukum tidak tertulis lainnya) dan asas-asas hukum. Sumber data menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan/studi dokumen. Analisis hukum menggunakan logika deduktif.
4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Memutus Perkara Gugatan Peralihan Dan Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Secara Tidak Sah pada Putusan Kasasi No. 3082 K/Pdt/2011 Pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung yang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara tersebut meninjau dari mulai dari duduk perkara dan pertimbangan hukum yang diambil untuk memberikan putusan pada perkara tersebut. Hakim juga harus terlebih dahulu mengetahui secara obyektif tentang duduknya perkara sebenarnya sebagai dasar putusannya dan bukan secara (a priori) menemukan putusannya sedang dipertimbangannya baru kemudian dikostruir. Peristiwa yang sebenarnya akan diketahui hakim dari pembuktian. Setelah hakim menganggap terbukti peristiwa yang menjadi sengketa, maka hakim harus menentukan peraturan hukum yang menguasai sengketa antara kedua belah pihak. Hakim harus menemukan hukumanya serta harus mengkwalifisir peristiwa yang telah dianggapnya terbukti. Pertimbangan yang termuat dalam suatu putusan dibagi dua yaitu pertimbangan mengenai duduk perkaranya atau peristiwanya dan juga mengenai hukumnya. Mengenai peristiwa atau duduk perkaranya merupakan tugas dari pihak yang mengemukakannya dan membuktikannya dalam persidangan dengan menghadirkan atau menyediakan alat bukti sedangkan mengenai hukumnya merupakan tugas dari para hakim. Pengambilan keputusan oleh Majelis Hakim harus berdasarkan musyawarah dan harus dirahasiakan, tidak boleh keluar sampai diketahui masyarakat luas, jika dicantumkan secara resmi dalam putusan. Ketentuan yang mengharuskan adanya pertimbangan pengadilan ditentukan dalam Pasal 195 RBg ayat (1), 184 HIR yang menyatakan : Keputusan hakim harus memuat secara singkat tetapi jelas tentang apa yang dituntut serta jawabannya, begitu pula tentang dasar-dasar keputusan dan akhirnya putusan pengadilan negeri mengenai gugatan pokoknya serta biayanya dan mengenai para pihak mana yang hadir pada waktu putusan diucapkan. Pasal 189 ayat (1) RBg menentukan bahwa hakim karena jabatannya harus mencukupkan dasar-dasar hukum. Pertimbangan itu mencakup pertimbangan peristiwanya dan pertimbangan tentang hukum. Pertimbangan itu tidak boleh bertentangan dengan dasar gugatan. Kemudian pengadilan harus cukup membuat pertimbangannya. Kurangnya pertimbangan pengadilan akan berakibat putusan harus dibatalkan. Pada pasal 50 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Menurut Subekti dalam bukunya Hukum Pembuktian suatu putusan hakim didasarkan pada pertimbangan hukum yang diambil dengan menyimpulkan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan yang diakui atau tidak disangkal baru kemudian disusul dengan dalil-dalil yang disangkal dan yang menjadi persoalan dalam perkara tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas dapat peneliti kemukakan bahwa Hakim Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara kasasi gugatan pembatalan peralihan hak atas tanah secara tidak sah dalam Putusan No. 3082 K/Pdt/2011 sudah tepat, yaitu menolak Permohonan Kasasi dan Para Pemohon Kasasi : 1. Kamijo Reso Sukarto, 2. Kiswandi, 3. Suwarto, 4. Sudarjo, dan 5. Sujiman tersebut. Hal tersebut
5
karena Hakim Mahkmah Agung dalam memeriksa perkara tidak perlu mempertimbangkan alat bukti yang diajukan, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan kasalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau jika Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. Oleh karena Pengadilan Tinggi Semarang yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Boyolali tidak salah menerapkan hukum, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Majelis Hakim Mahkamah Agung berkesimpulan bahwa permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi/Tergugat ditolak. Akibat Hukum Pembatalan Peralihan Hak Atas Tanah Secara Tidak Sah Berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3082 K/Pdt/2011 Berdasarkan putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3082 K/Pdt/2011 yang menolak Permohonan Kasasi dan Para Pemohon Kasasi yaitu 1. Kamijo Reso Sukarto, 2. Kiswandi, 3. Suwarto, 4. Sudarjo, dan 5. Sujiman, maka akibat hukum dari objek sengketa adalah sebagai berikut: 1. Aspek Perdata a. Kepemilikan tanah objek sengketa pada waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 sejak 24 September 1960 terdaftar dalam Buku C Desa Nomor 486 pemegang haknya adalah Resoidjojo alias Sugimin, dan karena Resoidjojo alias Sugimin telah meninggal dunia, maka pemilik adalah ahli warisnya yang sah yaitu anaknya yang sah dan apabila anak-anaknya telah meninggal dunia maka diwaris oleh cucu-cucunya dikuatkan dengan Putusan Pengadilan yang sudah inkracht yaitu Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 13/Pdt.G/2010/PN.Bi, Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No. 84/Pdt/2011/PT.Smg dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3082 K/Pdt/2011. b. Meskipun Lagiyem tidak mendaftarkan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali sehingga belum memiliki sertifikat, namun tanah seluas 477 m² sebagaimana tercatat dalam SHM No. 1291 Desa Pandeyan atas nama Suriyem dan sebagian tanah tercatat dalam SHM No. 1292 Desa Pandeyan atas nama Kamiyo dengan ukuran 22 m x lebar 41,5 m diserahkan kepada Lagiyem dan menjadi hak milik Lagiyem. c. Dengan demikian secara jelas dapat disimpulkan tetang Hak Milik Nomor 1291 dan separo bagian tanah Hak Milik Nomor 1292 menjadi hak milik atas nama Lagiyem. 2. Aspek Hukum Tata Usaha Negara a. Dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia, sertifikat merupakan surat tanda hak yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis objek pendaftaran
6
tanah yang telah terdaftar, sehingga meskipun telah terbit SHM No. 1291 atas nama Suriyem dan SHM No. 1291 atas nama Kamijo namun karena terbukti subjek hak dan luasnya berubah maka sertifikat dapat dilakukan perubahan data dan pendaftaran tanahnya. b. Pencatatan perubahan data pendaftaran tanah dimaksud berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 dapat dilakukan atas permintaan pihak yang berkepentingan berdasarkan penetapan dan atau salinan resmi putuan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang diserahkan olehnya kepada Kepala Kantor Pertanahan. 3. Aspek Fisik, Sosial dan Kemanfaatan a. Bidang tanah sengketa telah diserahkan dan dikuasakan oleh Lagiyem sebagai ahli waris Pengganti Sukinem. b. Kasus ini menyangkut sebidang tanah pekarangan seluas 477 m² dan tanah sawah dengan ukuran lebar 22 m dan panjang 41,5 m yang saat ini telah dikuasai oleh Lagiyem (pemohon tindak lanjut putusan Pengadilan yang sudah inkracht), sedangkan Pihak Kamiyo Resosukarto dkk, telah dapat menerima kesepakatan dengan akta perdamaian dikuatkan dengan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga pelaksanaan pendaftaran peralihan hak milik nomor 1291 dan hak milik nomor 1292 (sebagian) dari Suriyem dan Kamiyo Reksosukarto kepada Lagiyem tidak akan menimbulkan dampak sosial. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan No. 3082 K/Pdt/2011 yaitu menolak kasasi atas permohonan kasasi dari Tergugat didasarkan pada pertimbangan bahwa Pengadilan Tinggi Semarang yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Boyolali tidak salah menerapkan hukum, di samping itu Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara tidak perlu mempertimbangkan alat bukti yang diajukan, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan kasalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. 2) Akibat hukum pembatalan peralihan hak atas tanah secara tidak sah berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3082 K/Pdt/2011 yaitu objek sengketa berupa tanah seluas 477 m² sebagaimana tercatat dalam SHM No. 1291 Desa Pandeyan atas nama Suriyem dan sebagian tanah tercatat dalam SHM No. 1292 Desa Pandeyan atas nama Kamiyo dengan ukuran lebar 22 m x panjang 41,5 m diserahkan kepada Lagiyem dan menjadi hak milik Lagiyem.
7
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Abdul Kadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Adrian Sutedi, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta. Ali Achmad, 2003, Hukum Pertanahan II Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri hukum Pertanahan IV, Prestasi Pustaka, Jakarta. Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Badan Pertanahan Nasional, 2003, Pengarahan Direktur Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah pada Rapat Konsultasi Teknis Para Kepala Bidang Hak-Hak Atas Tanah Seluruh Indonesia, Jakarta: 15 Juli 2003. Bagir Manan, 1999, Penelitian Bidang Hukum, Puslitbangkum Unpad, Perdana, Januari, Bandung. Bambang Sugeng. 2011, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata. Kencana Predana Media Grup, Jakarta. Boedi Harsono, 2007, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Cet. 10, Jakarta: Universitas Trisakti. Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cet. 3, Jakarta: Djambatan. Edy Ruchyat, 1999, Politik Pertanahan Nasional Sampai orde Reformasi, Alumni, Bandung. Effendi Perangin, 1994, Hukum Agraria Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Muchtar Wahid, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah : Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis, Cet. 1, Jakarta: Republika. Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta.
8
Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Cet. 1, Bandung: Alumni. Sarjita dan Hasan Basri Nata Menggala, 2005, Pembatalan dan Kebatalan Hak Atas Tanah, Yogyakarta : Tugujogja. Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta. Soejono, Abdurrahman, 2005, Prosedur Pendaftaran Tanah (Tentang Hak Milik, Hak Sewa Bangunan, Hak Guna Bangunan), Rineka Cipta, Jakarta. Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty. Yogjakarta.
Jurnal Penelitian Yuyun Mintaraningrum, 2015, ”Aspek Kepastian Hukum Dalam Penerbitan Sertifikat Hak Tanah (Analisis Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor Putusan PTUN Nomor 24/G/TUN/2000/PTUN.Smg)”, Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Volume II No. 2 Juli - Desember 2015. Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Perdata Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 1997 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor: 13/Pdt.G/2010/PN.Bi. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No. 84/Pdt/2011/PT.Smg Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3082 K/Pdt/2011.
9