Edisi April 2002
*Bentuk logo merupakan stylirisasi dari kaca pembesar yang terbentuk atas huruf
KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) menjadi mnemonic (jembatan keledai) dari pemantau.
*Logo Dengan huruf FrnkGothITC Hvlt Bold berwarna electric blue melambangkan
keteguhan Lembaga dalam menjalankan kegiatan utamanya yaitu melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia.
*Huruf O (otonomi) adalah lensa kaca pembesar berbentuk pusaran air berwarna
gradasi biru gelap.
*
Gradasi warna dari pusat pusaran ke arah lingkaran terluar menjadi semakin nyata. Hal ini melambangkan pergeseran dari sistem pemerintahan yang selama ini terpusat lama kelamaan menjadi terdesentralisasi yang sesuai dengan konsep otonomi daerah.
Pencapaian Kesejahteraan pada era otonomi daerah lewat pemanfaatan energi LOCAL BUSINESS CLIMATES: WHAT SHOULD LOCAL GOVERNMENTS PROVIDE ? Seminar Hasil Pemeringkatan KPPOD
PERLU ACTION PLAN YANG JELAS UNTUK PENINGKATAN KINERJA INDIKATOR YANG LEMAH Sisipan : LPEM-FEUI Unit Pemantauan Desentralisasi Agung Ngurah Oka Ratmadi, SH., Bupati Badung :
“KABUPATEN BADUNG GERBANG PARIWISATA BALI YANG TIDAK MEMILIKI KANTOR PUSAT PEMERINTAHAN” Regulasi Perizinan Usaha Kota Kupang
(Kajian Sejumlah Perda Izin Usaha Industri, Perdagangan dan Perikanan)
Gambar Sampul : Diambil dari www.worldcityphoto.org. Foto isi diambil dari internet dengan fasilitas google.
MENYIKAPI PEMERINGKATAN DAYA TARIK INVESTASI Mengartikan suatu hasil penelitian memang tidak mudah. Meskipun hasil pemeringkatan KPPOD telah disosialisasikan baik dalam versi ringkas melalui Newsletter KPPOD edisi Februari 2002, maupun versi lengkapnya yang dikirimkan ke semua Kabupaten/Kota daerah penelitian; tetap saja beberapa tanggapan klarifikasi dilayangkan beberapa Bupati/ Walikota ke KPPOD, utamanya mengenai kesahihan data dan metode analisis. Soalnya menjadi lebih jelas ketika sosialisasi hasil pemeringkatan langsung diadakan di daerah penelitian di suatu forum khusus melalui seminar. Itupun masih ada beberapa kelemahan khususnya dari unsur pemerintah daerah karena yang ditugaskan umumnya diberitahu secara mendadak oleh Bupati/Walikota untuk menggantikannya yang berhalangan hadir. Walaupun hasil sosialisasi menjadi tidak optimal, paling tidak teridentifikasi beberapa pemikiran tindak lanjut hasil pemeringkatan, diantaranya untuk membuat action plan yang jelas bagi daerah yang terfokus pada perbaikan kinerja indikator pemeringkatan yang masih lemah. Melengkapi laporan sosialisasi hasil pemeringkatan tersebut, tulisan Bambang Brodjonegoro yang disampaikan dalam suatu seminar mengenai iklim dunia usaha dan otonomi daerah, menegaskan beberapa indikator yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan daya saing ekonomi daerah. Tulisan lainnya mengenai pemanfaatan energi listrik secara bijaksana kiranya juga bisa dijadikan bahan pemikiran dalam mengoptimalkan segala sumber daya yang ada untuk kesejahteraan rakyat. Dalam kaitannya dengan kebijakan perekonomian daerah, kajian Analis KPPOD terhadap beberapa peraturan daerah Kota Kupang merekomendasikan perlunya melakukan penggabungan antara beberapa perda untuk menyederhanakan proses perijinan dan penghematan biaya. Tampilan ringkasan kajian tiap perda diharapkan memperjelas rekomendasi terhadap perda perda yang bersangkutan. Sementara itu, mulai edisi April 2002 ini, ada perubahan tampilan Newsletter KPPOD yang dilengkapi dengan sisipan Newsletter Unit Pemantauan Desentralisasi LPEM-FEUI. Selain untuk saling mendukung dari segi bobot materi, penggabungan tersebut juga dimaksudkan untuk efisiensi media sosialisasi otonomi daerah yang mempunyai kemiripan tujuan. Dengan penggabungan ini diharapkan benar benar menunjukkan sinerginya, utamanya dalam peningkatan kualitas materi dalam edisi edisi mendatang untuk lebih baik dari edisi pertama gabungan ini yang terlihat masih gagap dalam koordinasi materi. Didalam sisipan tersebut, pakar keuangan daerah Dr. Raksaka Mahi mengemukakan ‘miskin’nya strategi peningkatan PAD daerah yang masih berdasarkan pendekatan yang sangat klasik dengan penambahan jenis jenis pungutan dan ekstensifikasi subyek pajak. Semestinya masih banyak strategi peningkatan PAD lainnya yang secara signifikan dapat membantu mendorong peningkatan PAD; diantaranya dengan memberikan nilai tambah pelayanan sehingga menambah pendapatan, misalnya Rumah Sakit VIP, fasilitas peristirahatan sekitar Terminal, dll. yang dapat menambah pendapatan retribusinya. Dikawatirkan bahwa ‘miskin’nya strategi peningkatan PAD tersebut dapat menyebabkan ‘perda bermasalah’ yang bisa berdampak terhadap berbagai perilaku ekonomi sebagaimana dijabarkan dalam tulisan singkatnya. (pap)
Penerbit : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Alamat Redaksi : Sekretariat KPPOD, Plaza Great River, 12th floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-2 No.1, Jakarta 12950, Phone : 62-21-5226018, 5226027, Fax : 62-21-5226027, http://www. kppod.org/, E-mail :
[email protected]. Dewan Pengurus KPPOD : Bambang Sujagad, Anton J. Supit, Bambang PS Brodjonegoro, P. Agung Pambudhi, Aburizal Bakrie, Sofjan Wanandi, Adnan Anwar Saleh, Hadi Soesastro, Sri Mulyani Indrawati, Djisman Simandjuntak, Susanto Pudjomartono, Sjarifuddin, Aco Manafe, dan Taufik L. Redaksi : P. Agung Pambudhi, Sigit Murwito, Robert Endi. Tata Letak : F. Sundoko. Iklan dan Distribusi : M. Regina Retno B.
1
Pencapaian Kesejahteraan pada era otonomi daerah lewat pemanfaatan energi Arisman, MSi
Secara teoritis hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam konteks pengelolaan negara, dikenal dengan istilah desentralisasi dan sentralisasi. Menurut Sarundajang dalam bukunya ‘Arus Balik Kekuasaan ke Daerah’ ada dua model utama dalam konteks hubungan desentralisasi , yaitu agency model dan partnership model. Partnership model inilah yang menurut Kavanagh lebih cocok untuk diterapkan di Indonesia, dan pada perkembangannya dikenal dengan istilah otonomi daerah. O t o n o m i daerah sebagai fenomena baru hubungan pusat dan daerah di Indonesia, merupakan proses Trial and Er r or sehingga menjadi perdebatan publik. Dengan otonomi daerah, kewenangan yang lebih besar dimiliki daerah. Namun, kewenangan yang besar tersebut akan men-jadi persoalan, ketika tidak berjalan seiring dengan kemampuan masyarakat setempat untuk mengelola kewenangan tersebut. Dan ketika kemampuan itu tidak ditingkatkan, tujuan otonomi daerah dalam menciptakan welfare (kesejahteraan) masyarakat akan pupus. Kesejahteraan(Welfare) manusia dalam kehidupan modern, salah satunya sangat ditentukan oleh jumlah dan mutu energi yang dimanfaatkannya, baik langsung maupun tidak langsung. Selain itu pula, energi merupakan unsur penunjang yang sangat penting dalam proses pertumbuhan ekonomi sekaligus menentukan keberhasilan pembangunan sektor lainnya. Dalam konteks enegi inilah penyediaan tenaga listrik, sebagai salah satu energi final yang aplikasinya relatif mudah, sangat memerlukan perhatian, karena dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat. Untuk itu, dalam kerangka otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk lebih kreatif dalam hal pemanfaatan sumber energi setempat guna meningkatkan kesejateraan masyarakat di daerahnya. Pemerintah daerah bisa mencoba untuk membantu pengadaan listrik di daerahnya, dengan tidak terlalu
2
bergantung pada PLN yang sedang kesulitan dalam berinvestasi dan memperluas layanannya. Persoalannya selama ini, ketersediaan dan pemadaman bergilir, serta pengunaan secara optimal atas layanan tenaga listrik yang terjadi di banyak daerah, adalah masalah yang harus dipecahkan bersama dalam proses pembangunan ini. Pemerintah daerah, dengan paradigma barunya, diharapkan cepat tanggap dalam merespons permasalahan kelistrikan nasional ini. Ada banyak cara memberikan l a y a n a n kelistrikan k e p a d a masyarakat di daerah m a s i n g m a s i n g , d e n g a n terlebih d a h u l u mendiagnosa permasalahan u t a m a tersebut dengan PLN. Dalam pelaksanaannya, pemecahan masalah penyedian tenaga listrik di setiap daerah tentu saja berbeda. Hal ini bergantung pada kekuatan sumber daya alam, manusia, dan keuangan-nya. Secara deskriptif-analitis pemerintahan daerah Bali mempunyai kemampuan untuk menggali dan mengelola tenaga listriknya sendiri. Provinsi Pulau Dewata ini mempunyai kurva beban harian yang sangat berbeda dengan daerah lainnya. Gambar diatas merupakan gambaran secara kasar atas pemakaian layanan listrik di daerah tersebut. Kurva beban harian layanan listrik di Bali tersebut jelas menggambarkan karakteristik pemakaian energi listrik disana. Mayoritas industri pemakai listrik di daerah ini bergerak di bidang pariwisata, dimana pemakaian listrik terutama pada malam hari, sedangkan pada siang harinya tidak optimal. Berbeda dengan daerah industri lainnya, PLN justru menggalakan pemakaian pada malam hari dengan menggunakan tarif multiguna, untuk mengoptimalkan pemakaian layanan listrik yang berdampak langsung pada peningkatan penerimaan PLN. Selain itu banyak pula daerah yang benar-benar
Beban Puncak
kekurangan tenaga listrik, sehingga penambahan sedikit membuat polusi dan mengganggu kegiatan pariwisata. saja atas konsumsi tenaga listrik, dapat mengakibatkan Kedua, menurunkan kedua bahu pada kurva beban, terganggunya layanan listrik di daerah tersebut. Hal ini dengan cara mengurangi pemakaian tenaga listrik menjelaskan bahwa diperlukan manajemen yang berbeda langsung dari PLN. dalam pengelolaan ketenaga-listrikan di setiap daerah. Berkaitan dengan sumber energi, penggunaan tenaga Untuk daerah Bali, adalah pilihan sulit bagi PLN listrik dari photovoltaic ataupun tenaga air secara setempat untuk menambah investasi dengan menambah swadaya baik dari masyarakat, industri pariwisata, beban listrik, jika kurva beban tidak berubah. Adanya maupun pemerintah daerah, bisa dijadikan alternatif. penambahan konsumsi listrik, akibat berdirinya hotel, Penggunaan energi tenaga air jauh lebih baik ketimbang resor, café, ataupun restoran akan membuat kurva pemakaian tenaga diesel yang mengakibatkan polusi. Hal berubah, kedua bahu menjadi lebih tinggi menuju pada ini akan menunjang Bali sebagai daerah tujuan wisata. beban puncak. Hal ini tak bisa dihindari, karena itulah Dalam hal pendanaan dalam mengelola energi listrik, ciri khas industri pariwisata yang mendominasi Bali. pemerintah daerah harus kreatif membantu masyarakat, Kurva beban bekerja sama menjadi optimal dengan swasta Beban Harian Layanan Listrik di Bali jika bentuknya m a u p u n merupakan perusahaan 1 garis lurus, dan daerah. Salah 0,9 mempunyai satu cara yang 0,8 t i n g k a t bisa dilakukan 0,7 0,6 pertumbuhan adalah dengan 0,5 keatas yang sama. menggunakan 0,4 Pada keadaan instrumen 0,3 tersebut PLN juga municipal bond 0,2 mendapatkan (o b l i g a s i 0,1 revenue yang daerah) melalui 0 optimal, sehingga perusahaan 00 02 04 06 08 10 12 14 16 18 20 22 24 penambahan daerah. Memang Jam pembangkit adalah suatu dalam menambah Sumber : Hendrico Ilham dan Ardian Cholid, PLN, Sub Region Bali ironi dalam era beban puncak otonomi daerah, menjadi feasible. dimana pemerintah daerah bukanlah suatu badan hukum Dalam hal ini, pemerintah daerah Bali bisa membantu yang berdiri sendiri, sehingga untuk penerbitan municipal PLN sekaligus masyarakat untuk mencari solusi atas bond harus menggunakan perusahaan yang berada permasalahan diatas. Ada dua cara yang bisa dilakukan dibawahnya. Namun, semua itu adalah tantangan yang pemerintah daerah Bali. Pertama, mengisi palung pada harus dijawab oleh pemerintah daerah dalam mencoba kurva beban, dengan menggalakan industri penunjang mensejahterakan masyarakatnya. industri pariwisata, seperti pendirian pabrik pengepakan gula, garam dan merica, pabrik tusuk gigi, pabrik peralatan kamar mandi dan kamar tidur, yang tidak *)Penulis adalah lulusan MPKP-FEUI, sekarang menjabat Ketua Harian ILUNI-MPKP dan Dosen Universitas Paramadina
3
LOCAL BUSINESS CLIMATES: WHAT SHOULD LOCAL GOVERNMENTS PROVIDE ?
*)
Bambang Brodjonegoro (Vice Director for Research LPEM-FEUI, Director of Economics Graduate Program FEUI, Vice Chairman II KPPOD)
One year implementation of regional autonomy and fiscal decentralization has revealed that most of local governments are still unaware that the inter-regional competition is one of implicit essences of the law 22/1999 itself. Instead, the regional autonomy process has been labeled as one of some reasons why foreign investors prefer to wait and see in expanding their businesses in Indonesia. Security problems, lack of legal certainty, lack of local government apparatus capacity, and issuance of problematic local regulations were some of main problems cited by potential investors whenever they tried to find business opportunity in the regions and dealt with the respective local governments. The KPPOD survey clearly indicated that those factors were the main factors with the security problem as the most crucial factor. The draft of law 22/1999 revision states clearly that one purpose of regional autonomy is to promote the inter-regional competition that leads to national economic efficiency, and hence, economic growth. The question now is how local governments change drastically their old paradigm into the new one (investment promotion), and how far they can influence their own business climate. This short paper will try to discuss the most reasonable and feasible way for local governments in influencing their business climate through their policy formulations and give some information on the regional competitiveness based on certain factors. The Scope of Local Government Power As mentioned briefly, there are many factors influencing the local business climate but the question would be if the local governments have enough power to cope with that. Security problem and lack of legal certainty are frequently cited as the problems of some regions in Indonesia that hinders the possibility of incoming investment. Part of the security problem and legal problem may belong to the local government and community, but the externalities are quite high in those problems. The locals might have tried very hard to overcome security disruption and to enforce the laws rightfully, but these efforts will be useless if there are continuous infiltration and intervention from other regions or from central government. Since national defence and security, and judicial system are still central government full authorities (according to law 22/1999), it is reasonable to say that local governments alone will not be able to solve their domestic security and legal problems without any help or intervention from the central government. Many examples all around Indonesia proved that statement. Another factor that may affect the business climate is taxation policy. Many still believe in tax incentives as an instrument to promote incoming investment, eventhough latest international survey proved that it is no longer the biggest attraction. For the cases of local governments in Indonesia, taxation policy is viewed as an instrument to accelerate the investment formation
4
and subsequently, economic growth. They refer to Batam as a good example of how a region could grow fast supported by tax incentives package. However, they may not realize that the taxation policy, especially related to investment and export promotion, is full central government authority. Batam can enjoy the current condition because the central government already designated Batam as a tax-free area. According to current law, similar treatment could apply to other regions as long as there is a bonded zone or export processing zone created in those regions. The crucial point is that the central government dominates the taxation policy including the tax revenue sources such as income tax and value added tax. The local governments only have power on some local taxes, most of them indirect taxes. Those local taxes are not only small in number, but also powerless as an incentive tool. Unless the local governments have some authority on those taxes, the taxation policy will not mean much. The last possible way for the local governments influencing the business climate is through their economic potential including both natural resources and human resources. Unfortunately, natural resources are concentrated in just few regions so most of them cannot rely on it. Only human resources are left as an instrument to promote economic growth. In this matter, the local government has full authority to develop policies improving their human resources capabilities. The challenge for the local governments is how they can manage their human resources in order to promote that asset as a main attraction for potential investors. To achieve that, the local governments have to formulate two different sets of policies. One set is to improve the local human resources capacity itself through education, trainings, health programs, introduction of work ethics etc. Another set is to generate human resources based economic activities, especially manufacturing and services, that needs minimum requirement of human resources capacity and physical infrastructures. In the regional autonomy era, the local governments have to pay attention more to the allocation of their budgets, especially on the proportion between government employee expense and government investment on infrastructure. Giving more attention to the infrastructure investment means that respective local governments are aware of the importance in attracting investment to promote economic growth and welfare. Human Resources Capacity Most analysis about human resources capacity focuses on the education level of labor force and the types of job (professional, clerical, labor etc). While these are still important aspects of human resources capacity, the more fundamental question should address the basic capacity of human resources itself or in other words, how certain regions have such high quality of labor force and why some other regions have problem in providing enough skilled labor force. The answer lies on the “economic” capacity of human resources or quality of human resources in
Table 1. HDI Rank for provincial and kabupaten/kota Level 1999 (5 highest and 5 lowest for province, 10 highest and 10 lowest for kabupaten/kota) Rank 1 2 3 4 5
Rank 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Province Jakarta Yogyakarta East Kalimantan Riau Maluku
Kabupaten/Kota Yogyakarta Ambon Manado Palangkaraya Denpasar Pekan Baru Salatiga Ujungpandang Batam Bukit Tinggi
Rank 22 23 24 25 26
Rank 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252
terms of economic value. There are many ways to define the economic capacity of human resources, but the most recent and sophisticated one is the human development index (HDI). HDI is a composite index of education, health, and purchasing power that represents the basic quality of human resources in an area or region. The education part is estimated based on the adult illiteracy rate and years of schooling. The health is estimated by life expectancy, while the purchasing power by adjusted real per capita expenditure. The index has been used worldwide to compare human development among countries. In Indonesia, as expected, Jakarta has the highest HDI among provinces in 1999, meaning that investors and businessmen will have no problem finding qualified labor force for a long term. If current employee retires then it is relatively easy to find the replacement in Jakarta. At kabupaten/kota level, highest HDI was dominated by city area
Province East Jawa West Kalimantan East Nusatenggara Papua West Nusatenggara
Kabupaten/Kota Belu Sikka Central Lombok Nias West Lombok Southern Central-Timor Jayawijaya Sampang West Sumba Paniai
since HDI tends to bias toward smaller areas with smaller number of population. By putting aside Jakarta, the city of Yogyakarta appeared to be the kabupaten/kota with highest HDI. At the other extreme, some regions, mostly in the eastern part of Indonesia, had very low HDIs and it must discourage potential investors to come, unless there is huge reserve of natural resources. Another indicator to check whether the human resources of a region supportive to the economic development process is the poverty gap. This indicator measures the relative poverty, not the absolute poverty such as the total number of poor people. The poverty gap basically tries to identify the disparity among the poor itself. The bigger the disparity, the more difficult for local government to alleviate poverty. The low poverty gap may imply that the local community will be more friendly toward investors,
Table 2. Poverty Gap Rank for provincial and kabupaten/kota Level 1999 (5 highest and 5 lowest for province, 10 highest and 10 lowest for kabupaten/kota) Rank 1 2 3 4 5
Rank 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Province DKI Jakarta South Kalimantan West Sumatra DI Aceh Bali
Kabupaten/Kota Kab. Pidie Kota Denpasar Kota Banda Aceh Kota Bitung Kota Tegal Kab. Tanah Karo Kota Manado Kota Gorontalo Kota Pare-Pare Kab. Badung
Rank 22 23 24 25 26
Rank 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252
Province West Kalimantan West Nusatenggara East Nusatenggara Maluku Papua
Kabupaten/Kota Kab. North-Central Timor Kab. Central Maluku Kab. Pulau Buru Kab. Fak-Fak Kab. Merauke Kab. Mimika Kab. Nabire Kab. Paniai Kab. Puncak Jaya Kab. Jayawijaya
5
Table 3. The Rank of Road Length at The Provincial Level, 1998 Rank 1 2 3 4 5
All Road East Jawa North Sumatra Central Jawa West Jawa South Sulawesi
Rank 1 2 3 4 5
Provincial Road East Nusatenggara North Sumatra West Sumatra South Sumatra Central Jawa
and at the same time, the local governments have a better chance to alleviate poverty in relatively short period. From investors or businessmen point of view, it will be more desirable to invest in a relatively well-being area than in the middle of acute poverty. It will support, to some extent, the security of investment itself without having to rely too much on the police. Physical Infrastructure If human resources capacity can be labeled as “soft” infrastructure, then the other things really needed by potential investors are physical infrastructure such as road, electricity, and communication. Due to limited data availability, communication will not be discussed further here. Road infrastructure is clearly one of necessary infrastructure to be provided by local governments to attract investors coming to their regions. The road “hierarchy” suggests that there are three types of road : national road, provincial road, and local road. Some regions might not have to provide road by their own since the central government builds national road network in their area. Usually the national road network is built to promote or to accelerate the development of some regions, or to provide access to isolated regions. The length of the road itself may not be enough to explain the sufficiency of road infrastructure since the area covered by road network is much more important. Hence, there should be measurement of length of the road (in Km) per Km sq area. Due to unavailability of area data, only length of the road will be displayed on the following table. The table 3 demonstrates that the length of kabupaten road will determine the length of overall road. That implies that national road will play minor role in influencing the availability of road infrastructure. For investors, it will be much more convincing if the respective local governments can build or provide the road network by their own, than provided or supported by the central government through national road. In order to select regions with good road infrastructure, the potential investors should pay attention to regions with long local road network, especially provided by kabupaten/kota level. Electricity as another vital infrastructure for business activities is mainly provided by the national electricity company (PLN),
Rank 1 2 3 4 5
Kabupaten Road East Jawa North Sumatra Central Jawa West Jawa South Sulawesi
but there are also households getting their electricity from other sources. Whatever the sources, the potential investors only care about the access to electricity sources and the easier to get the sources, the more attractive a region is. The access to electricity can be represented by the percentage of households having electricity connection to the total households. By putting aside Jakarta, it is not surprising that the top five is from Jawa and Bali area, with Bukittinggi in West Sumatra at number six. The five lowest are from the eastern part of Indonesia (except West Lampung), especially in East Nusatenggara and Papua. Concluding Remark Based on the law 22/1999, the local governments cannot solve all of the problems disturbing their business climate since some of the crucial authorities such as national security and judicial system are still on the hand of central government. To fully alleviate the security and legal problems at local level, there should be cooperation between local and central government, and if necessary, direct intervention from the central government. Same thing for fiscal matter in which the local government has a little power to produce tax incentive package. All significant taxes still belong to central government, and the local governments have to follow certain rule in order to get a tax incentive package for potential investors from the central government. However, the local governments can still be influential in providing infrastructure both soft infrastructure or human resources, and physical infrastructure. For human resources capacity, the availability of HDI will help investors to locate their businesses for a long term perspective, while the poverty gap will give an early hint of possible social problems that might occur. For the physical infrastructure, it is not surprising that regions with best infrastructure are still in Jawa and Bali area. Investors should pay attention to the local government capability in building their own road network or their kabupaten/kota road and provincial road, to observe the local government commitment in providing public services for people in general, including the investors. To see the quality of electricity infrastructure, potential investors should check the percentage of households with electricity to identify how easy the access to electricity is.
Table 4. The Rank of Percentage of Household with Electricity, 1999 Rank 1 2 3 4 5
Kabupaten/Kota Mojokerto Pasuruan Denpasar Yogyakarta Tanggerang
Rank 1 2 3 4 5
Kabupaten/Kota West Lampung Manggarai West Sumba Jayawijaya Merauke
*) Presented on “Dealing with Regional Autonomy and Business Operations” Seminar on February 25, 2002.
6
Seminar Hasil Pemeringkatan KPPOD
PERLU ACTION PLAN YANG JELAS UNTUK PENINGKATAN KINERJA INDIKATOR YANG LEMAH Pemeringkatan daya tarik investasi yang dilakukan KPPOD terhadap 90 Kabupaten/Kota sebagaimana dimuat dalam versi ringkas di Newsletter KPPOD bulan Februari 2002 mendapatkan tanggapan beragam dari berbagai pihak. Unsur dunia usaha, pemerintah daerah, pemerintah pusat, lembaga penelitian, LSM dan beberapa pemerhati otonomi daerah memberikan tanggapannya berdasar sudut pandang dan kepentingannya masing masing. Tanggapan tersebut dikemukakan melalui berbagai sarana baik tertulis berupa surat, artikel pakar ekonomi, komentar Bupati, Anggota DPR, Pengusaha dan Ekonom di media masa (cetak maupun elektronik) maupun tanggapan langsung berbagai pihak melalui telepon. Umumnya tanggapan tersebut berkisar soal relevansi hasil pemeringkatan dengan kondisi riil daerah, kualitas penelitian, dan pengaruh hasil pemeringkatan tersebut terhadap iklim usaha di daerah. Menyadari bahwa pemeringkatan tersebut merupakan langkah awal yang akan terus dilakukan secara reguler, selain dipublikasikan melalui berbagai surat kabar, televisi maupun Newsletter KPPOD; sosialisasi hasil pemeringkatan juga telah dilakukan dengan menyelenggarakan serangkaian seminar yang dilaksanakan di Jakarta, Medan-Sumatera Utara, Kutai-Kalimantan Timur, Surabaya-Jawa Timur, Gianyar-Bali dan Kupang-Nusa Tenggara Timur dari tanggal 13 Maret sampai dengan 18 April 2002. Penyelenggaraan seminar yang dilakukan di 6 Kabupaten/ Kota tersebut pada prinsipnya dimaksudkan untuk: 1. Menyebarluaskan hasil kajian pemeringkatan daya saing investasi 90 Kabupaten/Kota di Indonesia yang dibuat KPPOD, 2. Mendapatkan dan mempelajari tanggapan pemerintah daerah dan pelaku usaha lokal atas hasil pemeringkatan tersebut, 3. Mencari masukan atas metodologi penelitian yang dipakai KPPOD untuk pengembangan penelitian selanjutnya, 4. Menstimulasi dan mengajak daerah untuk berkompetisi dalam meningkatkan daya tarik investasi daerahnya.
daerah sangat positif terhadap hasil pemeringkatan meskipun daerahnya berada di posisi kurang bagus dalam urutan peringkat. Hanya Kabupaten Deli Serdang yang agak defensif dalam menanggapi hasil pemeringkatan tersebut meskipun sulit untuk menyebut secara spesifik hal yang menjadi keberatannya. Dalam hal pembuatan suatu kebijakan daerah, umumnya pemerintah daerah menyebutkan sudah melibatkan partisipasi stakeholdernya (yang umumnya tidak diiyakan oleh unsur pengusaha lokal – red). Hal lain yang disampaikan pemerintah daerah adalah agar KPPOD melakukan cross check data ke daerah yang bersangkutan, serta adanya kesediaan pemerintah daerah untuk mendukung proses pemeringkatan KPPOD selanjutnya.
Beragam tanggapan didapat tim KPPOD baik dari Pembicara unsur pemerintah daerah, pengusaha lokal dan ekonom dari perguruan tinggi setempat; maupun tanggapan para peserta seminar dari kalangan bisnis, akademisi, pemerintah daerah, DPRD, LSM dan media masa.
Dari unsur pelaku usaha lokal, persoalan persoalan yang mengemuka adalah mengenai masih banyaknya ketidaksesuaian antara peraturan formal yang tertulis dengan pelaksanaannya. Misalnya adanya pungutan pungutan yang diambil dari pengusaha tanpa dasar kebijakan daerah (pungutan tidak resmi), simpang siurnya proses perijinan usaha yang tidak sesuai dengan peraturan di atas kertas yang semestinya cukup bagus. Faktor keamanan dalam distribusi barang dagangan juga dikeluhkan oleh para pengusaha, khususnya para pengusaha yang menghadiri seminar di Medan. Dalam menanggapi hasil pemeringkatan KPPOD, peserta unsur pengusaha umumnya mendesak pemerintah daerah untuk membuat action plan yang jelas dan terfokus pada peningkatan kinerja yang masih lemah menurut hasil pemeringkatan tersebut.
Penerimaan pemerintah daerah atas hasil pemeringkatan umumnya baik dalam arti pemerintah daerah berterimakasih atas usaha KPPOD memotret kondisi daerahnya dibandingkan dengan daerah daerah lainnya dalam hal daya tarik investasinya. Hal yang menggembirakan adalah bahwa unsur pemerintah
Sementara itu, kalangan akademisi setempat menilai bahwa indikator indikator pemeringkatan yang digunakan KPPOD pada prinsipnya memadai sebagai indikasi daya tarik investasi. Beberapa tambahan indikator diusulkan untuk melengkapi indikator yang telah digunakan, diantaranya indikator: kapasitas
7
pemimpin daerah, efisiensi ekonomi, kelestarian lingkungan hidup, dll. Beberapa catatan kritis juga disampaikan yang berkaitan dengan obyek penelitian, misalnya perlunya mempertimbangkan peubah kontrol dengan memperhatikan posisi daerah penelitian terhadap pusat pusat pertumbuhan. Selanjutnya ditekankan bahwa hasil pemeringkatan belum tentu sejalan / linier dengan pertumbuhan investasi riil di daerah yang bersangkutan, hal tersebut harus dikonfirmasikan dengan data daerah tersebut. Disamping beberapa tanggapan tersebut, muncul juga rekomendasi agar pemerintah daerah meningkatkan anggaran untuk pendidikan, dimana pendidikan tersebut mesti diarahkan agar sesuai dengan potensi daerah yang bersangkutan. Selain itu fasilitas kesehatan juga mendapat sorotan untuk diperbaiki sebagai wujud nyata pelayanan pemerintah bagi masyarakat daerahnya. Di beberapa tempat seminar tersebut, muncul ma-
8
sukan masukan untuk memperluas indikator pemeringkatan yang menyiratkan keinginan masyarakat daerah untuk menilai kinerja pemerintah daerah secara menyeluruh.
PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP IKLIM USAHA Oleh Raksaka Mahi * ) Penggalian Pendapatan Asli Daerah (PAD) dirasakan masih belum cukup intensif. Hasil studi yang pernah dilakukan oleh LPEM FEUI dan Clean Urban Project tahun 1998 menunjukkan betapa “miskin”nya strategi peningkatan PAD yang dimiliki oleh daerah. Pada umumnya daerah masih menggunakan kebijakan yang bersifat “klasik”, yaitu perluasan jenis-jenis pungutan maupun pendataan terhadap wajib pajak yang baru, padahal
masih banyak strategi peningkatan PAD lainnya yang secara signifikan dapat membantu mendorong peningkatan PAD. Tabel 1 memberikan ringkasan strat egi peningkatan PAD yang umumnya dilakukan oleh beberapa kabupaten/kota dalam rangka menanggulangi krisis keuangan daerah pada tahun 1998 dan 1999. Terlihat bahwa reaksi utama (immediate reaction) dari sebagian
Tabel 1. Kebijakan Pemda dalam Peningkatan PAD di Masa Krisis Ekonomi JENIS KEBIJAKAN PEMDA 1. Basis Pajak a. Identifikasi potensi pajak baru b. Memperbaiki data potensi pajak c. Memperbaiki penilaian obyek pajak d. Upaya untuk menghitung kapasitas penerimaan secara lebih rasional untuk setiap jenis penerimaan.
CUKUP SERING DIPAKAI
DIPAKAI SECARA MODERAT
JARANG DIPAKAI
X X X X
2. Pengawasan a. Inspeksi mendadak untuk evaluasi atas tindakan “self-assesment”.
X
b.
Memperbaiki proses pengawasan untuk mengurangi kebocoroan
c.
Usaha-usaha untuk memberikan hukuman yang lebih berat bagi penunggak pajak
X
d.
Tindakan disiplin secara administrasi bagi staf keuangan yang terlibat dalam kebocoran penerimaan.
X
e.
Usaha-usaha untuk mengaitkan pembayaran pajak/retribusi dengan jenis dan tingkat pelayanan yang diberikan pemerintah daerah (sebagai suatu cara untuk meningkatkan keinginan membayar pajak)
X
X
3. Persyaratan Pemungutan Pajak/Retribusi a. Perubahan tingkat pajak sebagai upaya untuk meningkatkan i b. Peningkatan pendidikan staf keuangan c.
Mempercepat pembuatan PERDA sebagai antisipasi terhadap pelaksanaan UU No 18/1997 (sehingga kehilangan penerimaan dapat segera dikompensasi melalui jenis penerimaan baru).
4. Persyaratan Administrasi a. Melakukan penyederhanaan administrasi pemungutan pajak.
X X X
X
b.
Usaha-usaha untuk menghilangkan faktor-faktor yang menghambat tercapainya optimalisasi pajak, yang ditemukan di lapangan.
X
c.
Usaha-usaha untuk menghitung tingkat efisiensi pemungutan pajak untuk setiap jenis pajak/ retribusi
X
d.
Usaha-usaha untuk mengurangi biaya pemungutan pajak
X
5. Perencanaan Keuangan a. Membuat atau memperbaiki sistem perencanaan penerimaan daerah
X
b.
Melakukan koordinasi dengan BAPPEDA dengan tujuan untuk meningkatkan potensi penerimaan baru.
X
Keterangan: Tanda “X” menunjukkan frekuensi penggunaan dari tindakan bersangkutan. Sumber : Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah di Indonesia, LPEM FEUI dan RTI, 1999.
9
besar pemda dalam menanggulangi krisis keuangan daerah adalah dengan melakukan peningkatan basis pajak melalui perbaikan data potensi wajib pajak, penyederhanaan administrasi perpajakan, dan disibukkan dengan berbagai administrasi perubahan PERDA (sebagai akibat implementasi UU No.18/1997). Sebagian besar target-target penerimaan PAD di daerah didasarkan pada “rule of thumb” (misalnya: naiknya 10 % pada tahun anggaran mendatang), tanpa basis kapasitas penerimaan yang jelas.
Implikasi Pungutan Bermasalah Terhadap Perilaku Ekonomi Untuk memberikan gambaran, dampak pungutan terhadap berbagai perilaku ekonomi, dapat mempengaruhi antara lain: - Perilaku bekerja: kelompok pekerja produktif makin terbebani oleh tambahan pungutan, sehingga ada kemungkinan akan mengurangi waktu produktif kerjanya. Dapat pula kelompok pekerja produktif akan berpindah kerja ke daerah lain. - Perilaku menabung: pungutan tambahan dapat menurunkan minat menabung masyarakat di daerah, dengan demikian salah satu sumber pembentukan modal di daerah akan hilang.
- Perilaku pemegangan aset: kesempatan bisnis untuk memperoleh keuntungan dari pemegangan aset yang ditawarkan oleh pemerintah daerah kemungkinan makin kecil dan menjadikan tidak menarik lagi. - Perilaku investasi: dalam kondisi ekstrim, bisnis tidak mampu menanggung biaya produksi yang ada, dan akibatnya akan dihadapkan kepada dua pilihan ekstrim, yaitu menutup usahanya, atau berpindah lokasi usaha, baik ke daerah lain, maupun ke negara lain. Menurut seorang ekonom Tiebout, bisnis akan melakukan perpindahan lokasi usaha ke suatu daerah lain yang akan memberikan tempat yang menguntungkan bagi mereka. Dari sudut perspektif ekonomi daerah, seyogyanya berbagai pemerintah daerah berlomba untuk menawarkan paket insentif untuk menarik investasi ke daerahnya, yaitu dengan cara memberikan keringanan pajak dan tidak menambah pungutan yang berlebihan. Beberapa jenis investasi yang mudah berpindah diantaranya adalah bisnis usaha eceran (“retail business”), beberapa jenis industri yang ringan (“light industry”) yang umumnya bersifat padat karya, beberapa jenis industri yang bahan mentahnya tersedia tidak hanya di satu daerah tetapi di banyak daerah.
Selain peningkatan diskresi keuangan daerah, pemerintah dapat menyikapi persoalan perda pungutan bermasalah melalui sosialisasi kebijakan. Ada tiga jenis sosialisasi yang penting untuk dilakukan: (i) sosialisasi dampak dari pungutan bermasalah terhadap kegiatan ekonomi daerah, (ii) sosialisasi penggunaan kriteria pungutan (pajak) sesuai yang digunakan dalam UU 34/2000, (iii) sosialisasi terhadap kebijakan daerah yang dianggap baik dan tepat (best practices). Akhirnya, pemerintah dapat pula melakukan suatu kajian tentang kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemda, yang menurut kaidah teori dan peraturan yang ada dianggap baik (best practices). Untuk itu pemerintah dapat melakukan sosialisasi dari contoh-contoh kebijakan yang baik itu kepada daerahdaerah lainnya, sehingga menjadi perhatian dan panutan dalam pengambilan kebijakan di bidang keuangan daerah. Jakarta, 2 April 2002 *)
Dr. Raksaka Mahi adalah staf pengajar dan peneliti FEUI untuk bidang keuangan negara dan desentralisasi fiskal. Saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan FEUI bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Tulisan ini merupakan penyempurnaan atas tulisan yang pernah disampaikan dalam seminar Otonomi Daerah dan Iklim Usaha, yang diselenggarakan oleh KPPOD, PEG dan USAID, di Jakarta, 19 Maret 2002.
Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan menegaskan bahwa penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah propinsi dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dibiayai aatas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan penyelenggaraan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah dan desa dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban APBN. Ya n g d i m a k s u d d e n g a n dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Sedangkan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan
10
atau desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, prasarana dan serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Dalam pelaksanaannya, kewenangan yang diterima oleh gubernur dilaksanakan oleh Dinas Propinsi sebagai perangkat daerah propinsi. Karena penyelenggaraan dekonsentrasi dibiayai oleh APBN, maka pencatatan dan pengelolaan keuangannya harus dilakukan secara terpisah dari APBD. Gubernur harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan atas pelaksanaan dekonsentrasi kepada menteri atau pimpinan lembaga
pemerintah non departemen yang bersangkutan. Untuk tugas pembantuan, pengelolaan keuangannya harus dipisahkan dari pengelolaan keuangan untuk pelaksanaan desntralisasi dan dekosentrasi. Jika pelaksanaan tugas pembantuan menghasilkan penerimaan, maka penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN. Sebagaimana pelaksanaan dekonsentrasi, pelaksanaan tugas pembantuan harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah daerah dan desa kepada departemen atau lembaga pemerintah non departemen yang menugaskannya.
Seri Pelatihan Reguler yang akan dilaksanakan LPEM-FEUI pada bulan April-Desember 2002: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kursus Kursus Kursus Kursus Kursus Kursus Kursus Kursus
PPN-LC (Perencanaan Pembangunan Nasional-Long Course), Mei-Agustus 2002 TMPPD (Teknik Manajemen Perencanaan Pembangunan Dasar), April-Juli 2002 TMPPD (Teknik Manajemen Perencanaan Pembangunan Dasar), Juni-Agustus 2002 TMPPL (Teknik Manajemen Perencanaan Pembangunan Lanjutan), September-November 2002 TMKP Bappenas 1 (Teknik Manajemen Kebijakan Publik), April 2002 TMKP Bappenas 2 (Teknik Manajemen Kebijakan Publik), Mei 2002 PPN Bappenas (Pelatihan Pembangunan Nasional), April-Mei 2002 PLN, April 2002
Seri Pelatihan Non Reguler yang akan dilaksanakan LPEM-FEUI pada bulan Februari-Nopember 2002: 1. Pelatihan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan Indikator-indikator Pembangunan Daerah, Februari dan Oktober 2002 2. Pelatihan Kajian Ekonomi Makro Daerah untuk Pengambilan Keputusan, Februari dan Oktober 2002 3. Pelatihan Membedah APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dalam Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal, Februari dan Oktober 2002 4. Pelatihan Analisa Kebijakan Publik, Maret dan Oktober 2002 5. Pelatihan Manajemen Keuangan Publik, Maret dan Oktober 2002 6. Pelatihan Singkat Perencanaan Proyek-proyek Pembangunan, Maret dan Oktober 2002 7. Pelatihan Analisa Input Output Daerah, Februari dan Oktober 2002 8. Pelatihan Standar Analisa Biaya, Maret dan Oktober 2002 Informasi lebih lanjut mengenai Pendidikan dan pelatihan (Diklat) LPEM-FEUI dapat menghubungi: Sekretariat DIKLAT-LPEM Jl. Salemba Raya No. 4, Jakarta 10430 Telp. 021-3192702, 021-3143177 (7 saluran) Faks. 021-3907235, 021-334310 E-mail:
[email protected] Website: www.lpemfeui.org
11
MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA Menghasilkan lulusan-lulusan siap pakai di pemerintahan maupun dunia usaha untuk mengisi era desentralisasi dan otonomi daerah. MEMBUKA KELAS SETIAP TAHUN bulan September (kelas Reguler) dan bulan Februari & September (kelas Eksekutif) Pendiri/Perintis : Dr. Sri Mulyani Indrawati Ketua Program Studi : Dr. Robert A Simanjuntak (Dosen tetap berasal dari FEUI, ditambah dosen tamu dari BAPPENAS, DEPDAGRI, DEPKEU, LAN, Fakultas-fakultas lain di UI, Swasta, Tokoh Masyarakat, dan LSM) A. REGULER (PAGI) - 4 Semester (bisa 3 Semester), Perkuliahan di kampus UI - Depok Biaya : Rp. 6.000.000,- /semester (untuk tahun akademik 2002/2003) B. EKSEKUTIF (SORE) - 3 Semester, Perkuliahan di kampus UI – Salemba Biaya : Rp. 8.500.000,- /semester, termasuk makan malam (untuk tahun akademik 2002/2003) I. Persyaratan: 1. Lulusan S1 dari berbagai disiplin ilmu 2. Mengikuti Test Potensi Akademik, TOEFL/EPT, dan Test wawancara. 3. Lulusan Fakultas terakreditasi A oleh BAN (Badan Akreditasi Nasional) dengan IPK 3 tidak perlu TPA II. Pendaftaran : - Gelombang I : Bulan Januari s/d bulan Maret setiap tahunnya * - Gelombang II : Bulan April s/d bulan Juni setiap tahunnya * Biaya pendaftaran sebesar Rp. 300.000,-.* Formulir pendaftaran dapat diperoleh di : Program Pascasarjana UI Salemba ,Telp. (021) 3100059, 3146737. Fax.(021) 322269 *Jadwal dan biaya pendaftaran sewaktu-waktu dapat berubah Informasi lebih lanjut silakan menghubungi : Sdr.Nurul Istiana/Sdr. Rahma/Sdr. Aminah - Gedung MPKP-UI, Kampus UI Depok Telp. (021) 78880745 / 46 . Fax. (021) 78880747 Homepage : www.mpkp.org, Email :
[email protected]
12
Agung Ngurah Oka Ratmadi, SH., Bupati Badung :
“KABUPATEN BADUNG GERBANG PARIWISATA BALI YANG TIDAK MEMILIKI KANTOR PUSAT PEMERINTAHAN” Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia di Pulau total PDRB. Sementara Subsektor Perhubungan Udara yang Bali dikenal adanya peristiwa Puputan, yaitu sebuah peristiwa disumbang oleh Pelabuhan Udara Ngurah Rai mendatangkan heroik yang ditunjukkan oleh rakyat dan Raja Badung dalam pemasukan sebesar Rp. 741 milyar atau sebesar 21.6% dari menghadang gerak langkah penjajah Belanda. Tanggal 20 total kegiatan ekonomi kabupaten. September 1906, Raja Badung, I Gusti Alit Ngurah beserta Besarnya kontribusi Pariwisata terhadap perekonomian daerah keluarganya mengambil tindakan rela mati untuk mempertahankan Kab. Badung menempatkan Kab. Badung sebagai daerah dengan kedaulatan dan harga diri bangsa, yang kemudian oleh penghasilan terbesar dari sektor pariwisata dibandingkan daerah masyarakat Bali dikenal dengan nama Puputan Badung. Walau lain di Pulau Bali dan Indonesia secara keseluruhan. Dengan peristiwa tersebut telah berlalu lama dan saat ini Badung sudah demikian ketika otonomi daerah dicanangkan, tidak ada yang berkembang menjadi sebuah kabupaten yaitu Kabupaten Badung menghawatirkan kesiapan Badung, apalagi daerah merupakan bersama-sama daerah daerah percontohan lainya di Pulau Bali yang sudah sekitar enam dan Indonesia, namun tahun lalu mencoba peristiwa tersebut untuk mandiri. Walau masih tetap melekat demikian bukan berarti erat dalam benak kita dalam melaksanakan terutama masyarakat pembangunan di era Bali khususnya Badung. otonomi daerah yang Secara geografis sudah berlangsung selama Kab. Badung sangat satu tahun lebih ini, Kab. strategis. Dengan luas badung tidak menghadapi wilayah 418 kilo meter persoalan sama sekali. persegi – terdiri dari 6 Menurut Bupati Badung, kecamatan – dibatasi Anak Agung Ngurah Oka oleh Samudera Hindia Ratmadi, SH., persoalan dari tiga arah mata angin tersebut berasal baik dari yaitu : timur, selatan, pemerintah pusat maupun dan barat. Hal ini dari daerahnya sendiri. Potensi Agrowisata - Daerah Abiansemal dan Petang di wilayah Kabupaten Badung memengakibatkan daerah nyimpan potensi yang dapat dikembangkan sebagai daerah agrowisata. Pemerintah Pusat dinilai Badung memiliki garis kurang serius dalam pantai yang terpanjang dibandingkan wilayah lain di propinsi pelaksanaan otonomi daerah, terbukti bahwa Kewenangan Bali. Pada garis pantai ini terletak daerah wisata alam berupa Wajib sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang No.22 Tahun pantai yang sangat terkenal di seluruh penjuru dunia, beberapa 1999 tidak sepenuhnya diserahkan kepada daerah. Menyinggung diantaranya seperti Kuta, Sanur, dan Nusa Dua, dan masih perkembangan wacana publik tentang rencana revisi Undangbanyak lagi obyek wisata lainnya. Potensi wisata yang begitu besar undang otonomi daerah, pada dasarnya Oka Ratmadi setuju ini didukung oleh fasilitas pendukung yang mamadai. Saat ini di dengan rencana tersebut sepanjang menyangkut penyesuaian Kab. Badung terdapat tidak kurang dari 75 buah hotel berbintang terhadap pasal 18 UUD 1945. dengan 13.801 kamar, 391 hotel melati dengan 6.489 kamar, dan Permasalah krusial dalam pelaksanaan otonomi daerah di 102 buah pondok wisata dengan 575 kamar, serta restoran yang Kab. Badung adalah adanya kepentingan yang melekat pada jumlahnya mencapai 337 buah. Konsentrasi hotel berbintang berbagai pihak baik eksekutif, legislatif dan yudikatif yang tersebut merupakan 53.4% dari hotel berbintang yang ada di akibatnya menghambat pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri. seluruh Propinsi Bali. Tidaklah mengherankan jika kemudian Selama satu tahun pelaksanaan otonomi daerah sudah terlihat perekonomian Kab. Badung sebagian besar ditopang oleh sektor adanya beberapa perubahan di Kab. Badung, diantaranya pariwisata dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan industri yaitu adanya peningkatan pelayanan kepada masyarakat dari pariwisata. Tahun 2000 sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran birokrasi, makin berperannya legislatif, serta adanya keterbukaan menyumbangkan pemasukan ke Pemda sebesar Rp. 1,5 trilyun informasi baik dari eksekutif, legislatif, maupun masyarakat. atau sekitar 45.19% dari total PDRB Kab. Badung, disusul oleh Adanya peningkatan peran legislatif selain mengakibatkan sektor Pengangkutan dan transportasi sebesar 26.73%, sektor adanya perubahan positif dalam demokratisasi di daerah, pertanian 8.62%, sektor jasa 7.49%. Sementara Subsektor ternyata juga merupakan suatu permasalahan tersendiri. Dalam Perhotelan menyumbangkan Rp. 1.150 milyar atau 33.5% dari perkembangannya, peran legislatif yang menjadi terlalu dominan
13
tersebut, pada titik tertentu justru sering kali menjadi kendala atau hambatan dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya Oka Ratmadi memfokuskan pada potensi yang dimiliki oleh daerahnya. Sektor pariwisata yang menyumbangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar dalam kegiatan perekonomian merupakan andalan bagi Kab. Badung, di samping sektor pertanian dan industri kecil/kerajinan yang juga terus akan diperhatikan untuk dikembangkan. Untuk itu Pemerintah Daerah (Pemda) Kab. Badung terus berupaya untuk meningkatkan atau memberdayakan perekonomian rakyat. Upaya Pemda dalam pemberdayaan perekonomian rakyat antara lain dengan melakukan pembinaan terhadap Lembaga Keungan Non Bank milik Desa Adat (LPD) yang saat ini berjumlah 87 buah. Selain itu juga merintis pembentukan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing desa, membangun pasar-pasar desa (sampai saat ini Kab. Badung memiliki 31 buah), serta mengembangkan pola kemitraan usaha besar dan UKM. Dalam rangka pembangunan masyarakat daerah khususnya putra daerah saat ini dinilai sudah siap berpartisipasi dalam pembangunan. Misalnya dalam pengelolaan LPD sepenuhnya dikelola oleh putra daerah (Desa Adat), dan pada sektor pariwisata putra daerah turut serta menjaga keamanan melalui pecalang. Selain upaya-upaya di atas pemda terus berupaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan antara lain dengan senantiasa melibatkan masyarakat dalam segala kegiatan mulai dari perencanaan sampai pada pelaksanaan, serta akan terus memberikan bantuan kepada desa sebagai dorongan peningkatan swadaya. Dalam upaya meningkatkan PAD strategi yang diterapkan oleh Pemda ada dua macam. Pertama adalah melakukan intensifikasi pungutan, dengan cara meningkatkan keterampilan dan kesejahteraan petugas; meningkatkan koordinasi antar karyawan dan instansi terkait. Pemda juga melakukan meningkatkan pelayanan dan penyuluhan kepada wajib pajak / retribusi; meningkatkan pengawasan terhadap wajib pajak / retribusi; serta melakukan peninjauan / perubahan perda yang tidak sesuai dengan perkembangan keadaan. Kedua adalah dengan ekstensifikasi pungutan. Untuk ekstensifikasi pungutan ini upaya yang dilakukan oleh pemda antara lain dengan melakukan pendataan obyek / subyek pendapatan daerah yang baru dan menggali sumber pendapatan daerah yang baru. Upaya ke arah itu sudah mulai memperlihatkan hasil, dimana untuk tahun anggaran 2001 telah ada kesepakan bahwa Badung memperoleh 40% dari usaha lahan parkir di bandara Ngurah Rai. Dalam kesepakatan tersebut nantinya juga meliputi pembagian pendapatan dari pajak reklame, retribusi izin mendirikan bangunan, retribusi lahan khusus parkir kendaraan bermotor, dan jasa pembersihan. Selain kedua upaya di atas pemda juga melakukan perbandingan ke daerah lain; serta pembuatan perda baru sebagai dasar pungutan pajak / retribusi. Selain peningkatan PAD dengan cara ekstensifikaasi dan intensifikasi pungutan Pemda Badung juga terus berupaya untuk meningkatkan masuknya investasi pada sektor-sektor yang menjadi andalannya. Saat ini upaya peningkatan investasi yang dilakukan oleh Pemda adalah dengan menyusun buku Profil Investasi Badung sebagai bahan informasi tentang peluang investasi di Kab. Badung. Di samping itu pemda juga akan terus melakukan koordinasi terhadap dinas-dinas terkait tentang peluang yang memungkinkan untuk kemudian
14
hari dikoordinasikan dengan BKPMD Propinsi. Menurut Oka Ratmadi, strategi yang dilakukan oleh pemda tersebut sudah membuahkan hasil. Dalam jangka pendek dan menengah untuk tahun-tahun ke depan pembangunan Kab. Badung difokuskan pada dua hal utama. Yang pertama adalah pembangunan Pusat Pemerintahan Kab. Badung. Sejak sebelum dilakukan pemekaran wilayah Denpasar menjadi Daerah Kota yang berdiri sendiri lepas dari Kab. Badung tanggal 27 Februari 1992, hingga saat ini ibukota Kab. Badung masih menumpang di Denpasar. Demikian juga dengan pusat pemerintahan atau Kantor Kab. Badung yang terbakar dalam kerusuhan akhir tahun 1999 hingga kini belum dibangun kembali dan masih berada di Dempasar. Untuk itu masyarakat dan Pemda Badung merasa perlu untuk membangun pusat pemerintahan yang baru. Rencana pembangunan pusat pemerintahan tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yang rencananya akan disisihkan dari pendapatan yang berasal dari Pajak Hotel dan Restoran (PHR). Menurut Pemda Kab. Badung, pedapatan dari PHR untuk tahun 2000 sekitar Rp.300 milyar, dan kemungkinan masih bisa ditingkatkan hingga mencapai Rp.400 milyar. Selama ini Pemda Badung membagi 30% dari penghasilan PHR ke tujuh daerah lain di Propinsi Bali. Dengan rencana pembangunan kantor pemerintahan yang baru, maka untuk tahun anggaran 2002 Pemda Badung mengurangi kontribusi PHR ke daerah lain menjadi 15%. Kebijakan ini banyak mendapat tentangan dari daerah lainnya. Kedua melakukan pemerataan pembangunan di berbagai wilayah Kab. Badung. Walau Badung merupakan sebuah daerah yang bisa dikatakan kaya, dengan jumlah penduduk yang mencapai 318 ribu jiwa ternyata masih terjadi ketimpangan pembangunan dan pendapatan masyarakat antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Memang jika dilihat secara umum infrastruktur yang tersedia di daerah Badung sudah memadai untuk mendukung investasi, kecuali pada wilayah tertentu seperti daerah Badung Utara. Untuk itu ke depannya pembangunan yang dilakukan oleh Pemda saat ini dititik beratkan pada pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan di Badung Utara. Dengan demikian diharapkan kedepannya akan dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakan di wilayah yang bersangkutan. Hal ini terutama ditujukan untuk membuka peluang untuk pengembangan perekonomian di kawasan utara seperti daerah Petang dan Abiantsemal yang memiliki potensi di sektor agrowisata yang bila dikembangkan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pemda Kab. Badung menyadari bahwa daerahnya bukan merupakan bagian yang terpisah dari daerah lainnya di sekitarnya dan wilayah lain di Indonesia. Untuk itu Pemda Kab. Badung memandang perlunya dilakukan kerjasama dengan daerah dan negara lain untuk integrasi perekonomian seperti dalam bidang pemasaran misalnya. Pemda Badung senantiasa membuka diri untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak untuk pembangunan yang dilaksanakannya. Hasil penelitian KPPOD tentang Pemeringkatan Daya Tarik Investasi 90 Daerah Kabupaten / Kota, merupakan salah satu bahan masukan kepada daerah dalam pembangunan perekonomian daerah secara berkelanjutan. (git)
Regulasi Perizinan Usaha di Kota Kupang (Kajian Sejumlah Perda Izin Usaha Industri, Perdagangan dan Perikanan)
I. Pengantar Umum Selain sebagai Ibu Kota Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Kota Kupang juga merupakan satu daerah otonom tersendiri, yang secara administratif berbentuk kota. Di luar wilayahnya, melingkar satu daerah otonom lainnya, yakni Kabupaten Kupang. Sedangkan dari segi demografisnya, tidak kurang 215.000 penduduk menghuni kota ini, dengan persebaran tingkat pendidikan (dari lulusan SD sampai lulusan PT) yang relatif merata (vide Tim Peneliti Soegeng Sarjadi Sindicated, “Otonomi: Potensi Masa Depan Republik Indonesia”, Gramedia, 2001, hal. 967). Dari segi ekonomi—sebagai daerah perkotaan, dan berbeda dengan sejumlah kabupaten lain di daratan Timor Barat—Kota Kupang tidak memiliki lahan dan potensi yang memadai bagi pengembangan sektor pertanian atau perkebunan, sehingga lebih memfokuskan kegiatan ekonominya pada subsektor industri dan perdagangan, dan juga secara intensif mulai mengembangkan pemanfaatan potensi perikanannya di selat Semau yang berada disebelah baratnya. Bahkan banyak pihak yang merekomendasikan agar Pemkot Kupang menjadikan subsektor terakhir ini sebagai andalan penghasilan daerahnya. Berkaitan dengan peta potensi ekonomi dominan di atas, pilihan ulasan peraturan daerah (perda) edisi kali ini berkaitan dengan kebijakan / regulasi yang dikeluarkan Pemkot Kupang dalam subsektor usaha perdagangan, industri dan perikanan. Sejumlah perda tersebut memuat ketentuan perizinan usaha di daerah tersebut, dari ihwal prosedural, persyaratan sampai kepada biaya yang harus dipenuhi oleh pihak pemohon izin (subyek perizinan). Selengkapnya, akan ditampilkan ulasan umum dari sejumlah perda maupun ringkasan masing-masingnya dalam bentuk lampiran tabel analisis berikut ini.
hari sesudahnya untuk menyerahkan formulir pendaftarannya. Namun aspek yang memberatkan (sekurangnya tidak proporsional) dari semua perda ini adalah biaya perizinan yang dibebankan kepada subyek atau pelaku usaha. Pertama, kecuali perda No. 11 / 2001, perda-perda lainnya mendasarkan pungutannya (biaya perizinan) atas alasan kompensasi atau penggantian biaya cetak blangko dan administratif lainnya. Yang kemudian sulit dipahami adalah tidak proporsionalnya jumlah pungutan tersebut, tidak sebanding untuk ukuran biaya administratif (vide lampiran). Kedua, meski semua perda itu mengatur biaya perizinan, pungutan yang diatur dalam perda No. 04/2001, perda No. 06/2001, perda No.10/2001 jelas tidak tergolong sebagai pajak atau retribusi (non-pajak non-retribusi). Sebagian besar kelengkapan persyaratan yang ditetapkan dalam UU No. 34 / 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak terpenuhi, termasuk persyaratan fundamentil semacam obyek, prinsip dan cara penghitungan pungutan. Ketiga, dalam kasus perda No. 11 / 2001, pungutan retribusi perizinan usaha perikanan yang tergolong ke dalam jenis retribusi perizinan tertentu (perda pasal 5 dan PP No. 66 / 2001) justru ditetapkan berdasarkan prinsip penetapan struktur dan besaran tarif retribusi jasa usaha (perda pasal 9). Hal ini tidak saja merupakan pertentangan mendasar antra pasal dalam suatu perda dan disharmoni dengan ketentuan peraturan di atasnya (PP No.66 / 2001), juga berimplikasi kepada perbedaan besaran tarif retribusinya. Kalau retribusi perizinan tertentu dipungut sekedar menutup sebagian atau seluruh biaya perkiraan gangguan yang disebabkan oleh usaha tersebut, retribusi jasa usaha lebih berorientasi kepada keuntungan murni (profit). Hal ini memang kemudian terbukti dari besar dan beranekanya pungutan yang ditetapkan dalam pasal 8 perda ini.
II. Ulasan Sejumlah Perda Perizinan Usaha Melalui berbagai regulasi perizinan usaha ini, pemerintah Kota Kupang memberikan gambaran umum menyangkut rangkaian prosedur, persyaratan dan tanggungan yang harus dipenuhi oleh para pelaku usaha yang akan menjalankan kegiatan bisnisnya di daerah tersebut. Sejauh yang terlihat dalam perda No. 04 / 2001 (Surat Izin Usaha), perda No. 06 / 2001 (Izin Usaha Industri dan Tanda Daftar Industri), perda No. 10 / 2001 (Penyelenggaran Wajib Daftar Perusahaan), dan perda No. 11 / 2001 (Retribusi Perizinan Usaha Perikanan), prosedur dan persyaratan izin usaha diatur secara jelas / ringkas. Sekedar menyebut contoh, dalam perda No. 04 / 2001, untuk mendapatkan surat izin usaha perdagangan (SIUP) pelaku usaha cukup mendaftarkan badan usahanya ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dengan mengisi formulir yang memuat skala usaha, jumlah modal disetor dan kekayaan netto, domisili perusahaan, dll. sehingga kemudian didapatkan klasifikasi SIUP dan tingkat biaya perizinannya (SIUP kecil, menengah dan besar). Kemudahan prosedural semacam ini dapat juga kita lihat pada, misalnya, perda No. 10 / 2001 tentang penyelenggaran wajib daftar perusahaan. Bahkan terhadap perusahaan yang telah mulai menjalankan kegiatan usahanya masih diberi jangka waktu 90
III. Penutup Fakta bahwa Kota Kupang memperoleh sebagian besar asal pendapatan daerahnya dari subsektor industri, perdagangan dan perikanan, dan sekaligus menjadikan ketiganya sebagai unggulan ekonomi daerah mestinya menjadi alasan penting bagi lahirnya kebijakan perizinan dan birokrasi pelayanan yang dapat mengoptimalkan capaian hasilnya. Di atas kertas, prosedur dan persyaratan izin usaha di Kota Kupang memang relatif jelas dan ringkas. Namun soal lain yang juga inheren dalam kebijakan perizinan, yakni biaya perizinan yang harus ditanggung oleh subyek atau pelaku usaha, justru ditetapkan secara tidak proporsional dan tak berdasar ketentuan perundangan yang lebih tinggi di atasnya. Maka, sebagai rekomendasi, materi krusial yang perlu direvisi dalam sebagian besar perda tadi adalah kesebandingan antara maksud mengkompensasi biaya perizinan (penggantian formulir) dengan besaran pungutan yang ditetapkan. Atau kalau memang biaya itu diartikan sebagai pungutan pajak atau retribusi, kelengkapan persyaratan yuridisnya dan ketaatan asas efisiensi ekonomis yang tidak malah kontraproduktif bagi perkembangan usaha ketiga subsektor tersebut harus menjadi pertimbangan pokok yang harus diakomodasi dalam revisinya. (Endi) IV. Lampiran
15
16
BENTUK / OBYEK (2)
HARMONISASI DENGAN PRODUK HUKUM YANG LEBIH TINGGI ATAU PRODUK HUKUM LAINNYA (3)
TINJAUAN
ã Untuk SIUP kecil (bagi perusahaan dengan modal kurang dari 200 juta) ditetapkan biaya sebesar Rp 100.000
1 Perda Kota 1. Obyek tidak dicantumkan. Pemberian SIUP adalah bagian dari bukti Kupang No. 2. Setiap perusahaan yang kewenangan daerah (dalam hal ini adalah daerah 04 Tahun 2001 basis atau domisili perusahaan perdagangan), melakukan kegiatan tentang Surat usaha perdagangan wajib dan dilaksanakan oleh Kepala Daerah atau Kepala izin usaha Dinas Perindag yang mendapat pelimpahan memperoleh surat izin per-dagangan usaha perdagangan (SIUP), kewenangan, dan izin yang diberikan bisa berlaku (Masih di seluruh wilayah RI (Pasal 4 dan 5). Prosedur dan atas pengeluaran berlaku sejak pengurusan izin, persyaratan pemenuhan izin, setiap SIUP tersebut ditetapkan 15 dikenakan biaya perizinan dan pembatalan izin yang ditetapkan dalam September perda ini terasa jelas, apalagi karena juga diatur (biaya cetak formulir). 2000) konsentrasi pengurusannya dalam satu lembaga ã Untuk SIUP besar (bagi (yakni Dinas Perindag). Namun, pada bagian yang perusahaan dengan lain, meski perda ini bukanlah perda retribusi modal di atas Rp 500 juta) (yang mengharuskan tercantumnya obyek, ditetapkan biaya sebesar prinsip dan jumlah pungutan), namun karena Rp 200.000. ia juga mengatur jenis pungutan lain (biaya perizinan sebagai pengganti balngko), mestinya ã Untuk SIUP Menengah (bagi perusahaan dengan persyaratan kelengkapan yuridis sebagaimana dalam pungutan retribusi dipenuhi sehingga bisa modal Rp 200 - 500 juta) dipertanggungjawabkan (secara yuridis dan ditetapkan biaya sebesar ekonomis) penetapan angka pungutannya. Rp 150.000.
NO
PRODUK HUKUM DAERAH (1) REKOMENDASI (5)
Sangat besanya biaya pergantian blangko semata, dan perkiraan akan adanya biaya-biaya lain di luarnya, membuat perda ini terasa berat untuk dipertahan-kan. Merevisi dasar pungutan dan rasionalitas angkanya, menjadi rekomendasi yang perlu dikerjakan Pemkot Kupang selanjutnya.
KEPENTINGAN UMUM (4) Jumlah biaya perizinan (untuk SIUP besar, menengah, kecil, heregistrasi SIUP sebesarRp 25.000 – Rp 75.000) dan biaya legalisasi SIUP kantor cabang / perwakilan sebesar Rp 150.000 adalah sangat besar kalau dasar pungutannya hanyalah biaya pergantian ongkos cetak formulir / blangko sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 15. Dan dalam perkiraan lain, bahwa akan adanya pungutanpungutan di luar biaya pergantian tersebut, penetapan jenis biaya perizinan ini dan keseluruhan biaya terkait pemberian SIUP membebani para pedagang sebagai subyek pungutannya.
Masih berlaku sejak ditetapkan (15 September 2000)
KETERANGAN (6)
17
2
NO
BENTUK / OBYEK (2)
Perda Kota 1. Obyek tidak dicantumkan. Kupang No. 2. Setiap pendirian 06 Tahun perusahaan industri wajib 2001 tentang memperoleh Izin Usaha Izin usaha Indsutri. industri dan tanda daftar 3. Khusus untuk perusahaan industri kecil tertentu industri diberikan Tanda Daftar (Masih Perusahaan sebagai berlaku bentuk perizinannya. Di sejak sini pemilik perusahaan ditetapkan cukup mendaftarakan 15 jenis industri yang menjadi September bidang usahanya. 2000) 4. Pemberian Izin Usaha Industri dikenakan biaya penggantian ongkos cetak formulir dan transportasi petugas pemeriksa sebesar Rp 100.000 – 200.000 dan biaya pendaftaran ulang setiap 5 tahun sebesar Rp 25.000 – 75.000
PRODUK HUKUM DAERAH (1) Meski perda ini bukanlah perda retribusi (yang mengharuskan tercantumnya obyek, prinsip dan jumlah pungutan), namun karena ia juga mengatur jenis pungutan lain (biaya perizinan sebagai pengganti balngko), mestinya persyaratan kelengkapan yuridis sebagaimana dalam pungutan retribusi (UU 34/2000 dan PP 66/2000) dipenuhi sehingga bisa dipertanggungjawabkan (secara yuridis dan ekonomis) penetapan angka pungutannya. Di luar persoalan kelengkapan yuridis tersebut, secara umum perda ini tidak bermaslah secara hukum, baik segi relevansi konsideransnya maupun segi harmonisasinya dengan peraturan yang lain.
HARMONISASI DENGAN PRODUK HUKUM YANG LEBIH TINGGI ATAU PRODUK HUKUM LAINNYA (3)
TINJAUAN REKOMENDASI (5)
Direvisi Secara umum, prosedur dan ãkelengkapan persyaratan perizinan yuridus yang diatur dalam sebagaimana perda ini cukup layaknya ringan, seperti dalam pungutan pengurusan izin retribusi prinsip, izin lokasi, dll. Namun pada bagian (dan bahkan, yang lain, angka melihat biaya perizinan yang adanya dikatakan sebagai pungutan, sekedar biaya blangko perda ini dan transportasi tadi, perlu diganti tentu bukanlah suatu statusnya kalkulasi biaya yang sebagai obyektif dan rasioanl. perda Jumlah pungutan ini, retribusi). ditambah perkiraan biaya (retribusi) ãrasionalitas lainnya yang mungkin penetapan ditetapkan, akan besaran biaya memperbesar ongkos (yang sesuai produksi industri dan dengan pada putaran bisnis ongkos cetak selanjutnya berimbas balngko). kepada kenaikan harga jual barang produksi (merugikan konsumen) atau kepada penekanan harga barang mentah (merugikan produsen barang primer)
KEPENTINGAN UMUM (4)
Masih berlaku sejak ditetapkan (15 September 2000)
KETERANGAN (6)
18
3
NO
Perda Kota Kupang No. 10 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan wajib daftar perusahaan (Masih berlaku sejak ditetapkan 15 September 2000)
PRODUK HUKUM DAERAH (1)
4. Dikecualikan dari kewajiban daftar ini adalah perusahaan kecil perorangan dan yang bergerak di luar bid. perekonomian (tidak semata-mata mencari laba)
ã kategori perusahaan.
ã data kegiatan (aset, jenis usaha dll)
ã legalitas usaha (akte pendirian, dll)
ã data umum (komi-saris, pengawas, dll)
3. Hal-hal yang wajib didaftarkan adalah:
2. Setiap perusahaan yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilayah Kota Kupang dan telah memiliki izin, wajib mendaftarkan usahanya dalam daftar perusahaan
1. Obyek tidak dicantumkan
BENTUK / OBYEK (2) Perda kewajiban daftar perusahaan ini merupakan pengulangan kegiatan yang hampir sama atau semestinya bisa dijalankan bersamaan (one stop service) dengan perda tentang surat izin usaha perdagangan dan perda izin usaha industri dan tanda daftar industri. Hanya kalau pada kedua jenis perda tersebut, kewajiban daftar dilakukan sebelum sebuah kegiatan usaha dijalankan, dalam perda ini hal tersebut dilakukan setelah kegiatan mulai dijalankan (yakni dalam jangka waktu 90 hari terhitung sejak perusahaan mulai menjalankan usahanya). Keberadaan peraturan ini memang tidak bertentangan, tetapi jelas merupakan pengulangan aturan yang hanya menambah panjangnya rantai urusan perizinan.
HARMONISASI DENGAN PRODUK HUKUM YANG LEBIH TINGGI ATAU PRODUK HUKUM LAINNYA (3)
TINJAUAN
ã à Perusahaan asing, kantor cabang, dll sebesar 500.000. Biaya ini terhitung besar, selain karena dasar pungutannya sebagai sekedar biaya administratif maupun karena biaya akumulasi yang digabungkan dari pungutan-pungutan lain dari perda perizinan terdahulu. Pengulangan proses perizinan usaha dan pungutan berganda ini jelas merepotkan para pelaku usaha dan menambah ongkos pengeluaran mereka.
ã Koperasi sebesar Rp. 25. 000
ã à Perusahaan perorangan, BUMN/D sebesar Rp 100.000
ã CV dan Firma sebesar Rp 150.000
ã PT sebesar Rp 200.000
Setiap perusahaan yang didaftarkan dikenakan biaya administrasi pendaftaran perusahaan, diantaranya:
KEPENTINGAN UMUM (4) Perda ini mesti diintegrasikan dengan perdaperda terdahulu sehingga memperpendek proses perizinan dan mengecilkan biaya adminsitrasi yang sesungguhnya bisa diurus bersamaan. Sehingga khusus untuk perda ini memang setepatnya dibatalkan.
REKOMENDASI (5)
Masih berlaku sejak ditetapkan (15 September 2000)
KETERANGAN (6)
19
4
NO
HARMONISASI DENGAN PRODUK HUKUM YANG LEBIH TINGGI ATAU PRODUK HUKUM LAINNYA (3)
TINJAUAN
Pungutan retribusi izin usaha perikanan ini dikenakan atas satu obyek (usaha perikanan), namun dengan berbagai tahapan kegiatan (penangkapan ikan, penanganan pasca panen, pembelian dan pengumpulan hasil laut, dll.) sehingga diberlakukan berbagai macam pungutan. Pembedaan tahapan kegiatan yang menghasilkan beraneka retribusi. Aneka dan besaran pungutan ini juga tidak sesuai dengan semangat UU No. 34/2000 dan PP No. 66/2001 maupun prinsip retribusi berjenis perizinan tertentu yang menghendaki agar pungutan dilakukan karena perkiraan adanya gangguan lingkungan atau sosial yang disebabkan karena kehadiran usaha perikanan tersebut. Dan retribusi yang dipungut juga semata sebagai kompensasi bagi biaya ã Untuk nelayan luar daerah pemulihan gangguan tersebut. Pungutan yang sebesar Rp300.000 – diatur dalam perda ini tampaknya tidak sekedar 350.000 / tahun memenuhi prinsip pemungutan retribusi perizinan tertentu tersebut. Tidak sesuainya prinsip dan ã dan berbagai jenis pungutan lainnya (pasal 8) sasaran penetapan tarif (pasal 7 ayat 1)—yang berdasarkan PP No. 66 / 2001 adalah prinsip dalam retribusi jasa usaha—dengan golongan retribusi dalam pasal 5 sebagai jenis retribusi perizinan tertentu.
BENTUK / OBYEK (2)
Perda Kota 1. Obyeknya adalah pelayanan pemberian Kupang No. perizinan kepada orang 11 Tahun pribadi atau badan 2001 tentang hukum sesuai lingkup Retribusi kegiatan usaha perikanan, perizinan seperti penagkapan ikan, usaha penanganan pasca panen, perikanan dll (pasal 3). Struktur dan (Masih besarnya tarif: berlaku sejak ã Untuk kegiatan ditetapkan penangkapan ikan oleh 15 nelayan dalam daerah September sebesar Rp 25.000 – Rp 2001) 125.000 / tahun
PRODUK HUKUM DAERAH (1) Perda ini menimbulkan aneka pungutan yang banyak dan berjumlah cukup besar untuk ukuran suatu retribusi berjenis perizinan tertentu. Kemungkinan yang kemudian timbul adalah beralihnya biaya usaha ini ke dalam tanggungan (harga beli produk) para konsumen ikan. Secara praktis, adanya retribusi periizinan usaha perikanan ini menimbulkan beban tersendiri bagi para pelaku usaha dan masyarakat setempat. Selain itu, besarnya (atau bahkan adanya) perbedaan jumlah pungutan retribusi antar nelayan dalam daerah dan dari luar daerah, dan bukan tergantung pada porsi jasa atau fasilitas yang terpakai, yang secara sosial (kepentingan luas masyarakat) mencerminkan adanya diskriminasi perlakuan.
KEPENTINGAN UMUM (4)
ã soal perbedaan perlakuan (pungutan retribusi) atas asal pelaku usaha dan bukan tergantung kepada jasa atau fasilitas terpakai.
ã soal aneka pungutan yang diberlakukan atas satu obyek usaha (perikanan) tersebut.
Direvisi
REKOMENDASI (5)
Masih berlaku sejak ditetapkan 15 September 2001
KETERANGAN (6)
Dana Perimbangan Kabupaten Kutai Sampai saat ini, dana perimbangan Kabupaten Kutai untuk triwulan pertama belum turun. Dana sebesar Rp 270 milyar tersebut seharusnya cair pada bulan Maret lalu. Jika sampai terjadi keterlambatan pencairan dana perimbangan dari pemerintah pusat, Kabupaten Kutai diperkirakan akan mengalami kesulitan keuangan. Menurut Bupati Kutai, Syaukani HR, pemerintah pusat tampaknya sengaja memperlambat kucuran dana yang menjadi hak daerah itu untuk membuat daerah terkesan tidak mampu menjalankan otonomi. (Kompas, 27 Maret 2002)
Pajak Galian C Kabupaten Klungkung Masyarakat desa Gunaksa dan Tangkas (Kabupaten Klungkung), sebagai penghasil bahan galian C, menolak diterapkannya SK Bupati Klungkung Nomor 409 Tahun 2000 yang mengatur sistem dan prosedur pungutan penyetoran pajak pengolahan bahan galian golongan C serta pemberitahuan bantuan sumbangan kepada desa-desa penghasil bahan galian C di Klungkung. Mereka menilai SK itu menyalahi Permendagri yang isinya desa penghasil galian C menerima 25 persen dari pendapatan yang diperoleh. Sedangkan SK Bupati Klungkung itu hanya memberikan bantuan berupa pembagian hasil kepada desa penghasil bahan galian C sebesar 10 persen. (Bali Post, 1 April 2002)
Pemekaran Belitung Pemekaran Belitung menjadi dua wilayah sudah di depan mata. Dalam waktu dekat ini, 23 orang yang merupakan tim DPR RI akan berkunjung ke Belitung untuk melakukan penelitian tentang rencana pemekaran wilayah Belitung menjadi dua kabupaten, yaitu Belitung Barat dan Belitung Timur. Di samping akan menerima pemaparan dari Pemerintah Kabupaten Belitung, mereka juga akan meninjau langsung ke lapangan. (Bangka Pos, 1 April 2002)
Pembentukan 2 Propinsi Baru di Sumatera Terus Diperjuangkan Setelah Kepulauan Riau mengajukan permohonan pemekaran daerah menjadi Propinsi Kepulauan Riau (Kepri) terpisah dari Riau daratan, kini giliran Propinsi Sumatera Utara. Masyarakat Sumatera bagian Timur yang membentuk Badan Pekerja Pembentukan Propinsi Sumatera Timur menyatakan pihaknya optimis bahwa propinsi yang dipersiapkan itu akan terbentuk pada akhir 2002. Budi Mulia Bangun selaku Ketua Badan Pekerja mengakui pula bahwa upaya pembentukan itu cukup berat. Di lain kesempatan, berdasarkan hasil Kongres Rakyat di Tarutung, secara de facto Propinsi Tapanuli sudah terbentuk. TM Panggabean selaku tokoh penggagas pembentukan propinsi baru itu mengungkapkan pelaksanaan kongres itu didukung oleh Komisi II DPR yang menyetujui pembentukan Propinsi Tapanuli.
Jika Rapor Sejumlah Pimpinan Daerah Merah Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) sejumlah Kepala Daerah dinilai merah oleh legislatif. Di Bekasi, LPJ yang disampaikan oleh Wali Kota Nonon Sonthanie dan Bupati Wikanda Darmawijaya dinilai oleh anggota dewan belum memuaskan sebab masih bernuansa politis ketimbang pelayanan publik. Sementara itu, 30 anggota dewan di Kabupaten Tangerang menolak LPJ Bupati Agus Djunara dan meminta Bupati untuk memperbaiki LPJ-nya dalam tempo 30 hari. Bila dalam tenggang waktu tersebut, Agus tidak dapat memperbaiki maka DPRD akan mengajukan pemberhentian dirinya kepada Presiden. Hal tragis dialami oleh Wali Kota Payakumbuh, Darlis Ilyas SH yang dinonaktifkan melalui SK NA No 131.23-102 tanggal 20 Maret 2002 yang ditandatangani oleh Mendagri Hari Sabarno. SK tersebut berlaku hingga proses hukum yang bersangkutan selesai. Sementara pihak DPRD menyambut gembira turunnya SK itu sebab pihaknya selama ini menemukan 18 kasus penyimpangan yang mencapai Rp 1,8 Milyar. (sun dari berbagai sumber)
Divestasi KPC Diambil alih Pemerintah Pusat Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur yang di era otonomi daerah menjadi daerah terkaya di Indonesia terus berusaha meningkatkan pendapatan asli daerahnya dengan berbagai cara. Salah satu jalan guna mendongkrak pendapatan asli daerah yang diperjuangkan Kalimantan Timur yakni kepemilikan saham Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar 51%. Namun niat itu terpaksa tertunda karena gugatan yang diajukan Pemprov Kalimantan Timur diintervensi oleh Pemerintah Pusat. Hal itu berkait erat dengan ladang LNG Tangguh yang ada di Irian Jaya yang sedianya menjadi pemasok utama LNG ke Negeri Tirai Bambu, China. Hal itu terjadi akibat lemahnya posisi daerah yang memiliki sumber daya potensial sebab PP yang mengatur potensi nasional seperti yang tercantum dalam UU No. 22/1999 hingga kini belum ada. (Kontan 15 April 2002)
Ambisi Riau Menjadi Pusat Perekonomian Baru Pemerintah Daerah Riau menjadi daerah paling dinamis di masa otonomi daerah. Saat ini Pemerintah Propinsi Riau tengah menyiapkan pembentukan empat perusahaan beraset besar : PT Riau Petroleum, PT Riau Airlines, PT Pengembangan Investasi Riau, dan PT Pemodalan Ekonomi Rakyat. Pendirian empat perusahaan besar itu dimulai dengan penerbitan sejumlah peraturan daerah. Untuk mewujudkan Riau Airlines, pemerintah setempat sepakat untuk urunan uang dari semua kabupaten yang ada di Propinsi Riau guna memenuhi kebutuhan modal dasar sebesar Rp 28 Milyar. Adapun PT Riau Petroleum akan didirikan dengan modal awal Rp 25 juta. Badan Usaha itu bertujuan untuk mengambilalih pengelolaan sejumlah ladang minyak yang selama ini lebih banyak dinikmati oleh pihak asing. Sementara itu, dalam perda yang tengah dirancang, pendirian PT Pengembangan Investasi Riau dimaksudkan untuk menghimpun investasi guna pengembangan proyek infrastruktur, industri dasar, dan kepariwisataan. Perda yang lain dirancang untuk pendirian PT Permodalan Ekonomi Rakyat. Pendirian Badan Usaha yang terakhir ini tampaknya patut kita cermati sebab jika proyek pengumpulan dana yang dirancang itu dilaksanakan bukan tidak mungkin hanya menjadi pungutan tersendiri yang tidak jelas dasarnya. (Kontan, 15 April 2002)
20