BENARKAH GURU MATEMATIKA SEBAIKNYA MENGAJAR SECARA INDUKTIF DAN BUKAN SECARA DEDUKTIF? Fadjar Shadiq, M.App.Sc
Widyaiswara PPPPTK Matematika (
[email protected] & www.fadjarp3g.wordpress.com) Merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa teori IPA banyak disimpulkan menggunakan penalaran induktif (induksi). Sebagai contoh, dari beberapa kasus khusus seperti besi, aluminium, seng dan tembaga yang jika dipanasi akan selalu memuai maka dapat ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum (general) yang dikenal dengan suatu teorema, yaitu semua logam jika dipanasi akan memuai. Di samping itu, berbeda dengan IPA, matematika sudah dikenal sejak zaman Euclides bersifat deduktif aksiomatis. Bangunan matematika disusun oleh suatu dasar atau pondasi yang kokoh berupa kumpulan sifat pangkal (aksioma). Jadi, aksioma adalah semacam dalil atau teorema yang kebenarannya tidak perlu dibuktikan namun akan dijadikan dasar untuk membuktikan dalil atau teorema matematika selanjutnya secara deduktif. Hal seperti ini tidak dikenal di IPA. Berkait dengan induksi dan deduksi ini, pada suatu pertemuan, penulis pernah menyatakan tentang adanya suatu kecenderungan baru (the newest trend) bahwa proses pembelajaran matematika di kelas sudah dan akan lebih mengarah ke induktif dari hanya murni deduktif. Beberapa teman sepertinya ada yang tidak menyetujui peryataan tersebut meskipun tidak dilontarkan secara jelas, namun hanya berupa gumanan saja. Mungkin saja penulis dianggap salah ngomong. Karenanya artikel ini disusun dengan maksud untuk menjelaskan secara umum bahwa pernyataan penulis tadi tidak salah. Meskipun demikian, penulis akan tetap menghargai setiap pendapat yang berbeda dengannya. Harapannya, pendapat yang berbeda tersebut dapat dipublikasikan juga di Limas sehingga akan terjadi saling pengertian dan saling melengkapi di antara kedua pendapat tersebut. Itupun jika memang benar ada perbedaan. Namun, mudah-mudahan saja tidak ada perbedaan di antara kita. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih terinci beberapa alasan yang mendasari pernyataan tersebut, dimulai dari alasan tentang pengertian matematika, diikuti pendapat Polya dan Lakatos yang sama-sama akan menunjukkan pentingnya para siswa belajar secara induktif dan tidak hanya belajar secara deduktif. Pengertian Matematika Courant terkenal tersebut jawaban
& Courant pada 1981 menulis buku teks matematika yang sangat untuk mahasiswanya dengan judul: “What is Mathematics”. Buku tidak membahas secara khusus tentang apa itu matematika. Ternyata, untuk pertanyaan ‘Apa sih Matematika itu?’ tidaklah semudah yang 1
dibayangkan. Jika Anda yang mendapat pertanyaan seperti itu, lalu apa jawaban Anda? De Lange (2005:8) seorang pakar pendidikan matematika dari Freudenthal Institute (FI), suatu lembaga di Universitas Utrecht yang sangat terkenal dengan Realistic Mathematics Education (RME) menyatakan: “‘What is mathematics?’ is not a simple question to answer.” Faktanya, materi (content) yang dibahas matematika pada tahun 1900 jelas-jelas akan berbeda dengan materi matematika pada tahun 2008. De Lange (2005:8) mencatat ada sekitar 60 sampai 70 cabang matematika yang berbeda. Tidak hanya itu, kebutuhan (needs) para siswa terhadap matematika pada tahun 1900 akan sangat berbeda dengan kebutuhan para siswa terhadap matematika pada saat sekarang. Pada tahun 1900-an komputer dan kalkulator belum ada. Yang ada waktu itu hanyalah mistar hitung. Hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya perubahan definisi matematika, pembelajarannya, dan tujuan pembelajaran matematika di kelas. Jadi, tujuan dan proses pembelajaran matematika di kelas akan selalu berubah karena harus menyesuaikan dengan perubahan waktu dan tuntutan perubahan kebutuhan siswa terhadap matematika. Belasan tahun lalu, NRC (National Research Council, 1989:1) dari Amerika Serikat telah menyatakan pentingnya Matematika dengan pernyataan berikut: “Mathematics is the key to opportunity.” Matematika adalah kunci ke arah peluang-peluang. Masih menurut NRC, bagi seorang siswa keberhasilan mempelajarinya akan membuka pintu karir yang cemerlang. Bagi para warganegara, matematika akan menunjang pengambilan keputusan yang tepat. Bagi suatu negara, matematika akan menyiapkan warganya untuk bersaing dan berkompetisi di bidang ekonomi dan teknologi. Meskipun demikian, ada pengakuan tulus juga dari para pakar pendidikan matematika (NRC, 1989:3) bahwa sesungguhnya kemampuan membaca akan jauh lebih penting dan lebih mendasar dari matematika. Kecenderungan pada saat ini menunjukkan bahwa definisi matematika lebih dikaitkan dengan kemampuan berpikir yang digunakan para matematikawan. Karena itulah, NRC (1989:31) menyatakan dengan singkat bahwa: “Mathematics is a science of patterns and order.” Artinya, matematika adalah ilmu yang membahas pola atau keteraturan (pattern) dan tingkatan (order). De Lange (2005:8) menyatakan hal yang sama: “Mathematics could be seen as the language that describes patterns – both patterns in nature and patterns invented by the human mind.” Jelaslah sekarang bahwa matematika dapat dilihat sebagai bahasa yang menjelaskan tentang pola; baik pola di alam dan maupun pola yang ditemukan melalu pikiran. Masih menurut De Lange (2005:8); pola-pola pada matematika tersebut bisa berbentuk real (nyata) maupun berbentuk imajinasi, dapat dilihat atau hanya dalam bentuk mental, statis atau dinamis, kualitatif atau kuantitatif, asli dan nyata yang berkait dengan kehidupan nyata sehari-hari atau tidak lebih dari hanya sekedar untuk keperluan rekreasi. Hal-hal tersebut dapat muncul dari lingkungan sekitar, dari kedalaman ruang dan waktu, atau dari hasil pekerjaan pikiran insani. Formulasi definisi seperti yang dinyatakan NRC maupun De Lange menunjukkan bahwa langkah paling tepat mempelajari pola atau keteraturan adalah dengan menggunakan penalaran induktif; di mana pembelajarannya dimulai dengan contoh-contoh khusus, diikuti dengan 2
keteraturan- keteraturan yang ada. Agar lebih jelas, berikut ini akan dipaparkan pendapat Polya maupun Lakatos yang akan menunjukkan pentingnya memfasilitasi siswa untuk belajar secara induktif. Pendapat Polya George Polya (1973: VII) di dalam bukunya yang sangat terkenal dan menjadi buku acuan tentang pemecahan masalah, yaitu ‘How to Solve It’ menyatakan: “Yes, mathematics has two faces; it is the rigorous science of Euclid but it is also something else. Mathematics presented in the Euclidean way appears as a systematic, deductive science; but mathematics in the making appears as an experimental, inductive science.” Pendapat Polya ini telah menunjukkan bahwa matematika memiliki dua sisi. Pada satu sisinya matematika sebagai hasil karya Euclides merupakan ilmu yang eksak, namun pada sisi yang lain, sesungguhnya matematika memiliki hal lain. Matematika yang disajikan dalam bentuk seperti hasil kerja Euclides muncul sebagai ilmu yang sistematis dan deduktif. Akan tetapi, pada waktu proses ditemukan atau dikembangkan; matematika muncul sebagai ilmu yang mengunakan sifat eksperimen dan induktif. Hal ini menunjukkan pengakuan Polya tentang pentingnya penalaran induktif (induksi) dalam pengembangan matematika dan secara tersirat pada proses pembelajarannya. Berikut ini adalah penjelasannya secara lebih rinci, berdasarkan pengalaman penulis. Ketika penulis sedang mengikuti kuliah dan untuk pertama kalinya mempelajari turunan (differensial), maka yang dilakukan sang dosen adalah langsung secara deduktif menyatakan definisi turunan adalah: f ( x + ∆x ) − f ( x ) ∆x →0 ∆x
f ' ( x ) = lim
Hal yang sama terjadi ketika proses pembelajaran teorema limit yang langsung dimulai dengan definisi. Meskipun Anda seorang guru, jika Anda mempelajari limit langsung dengan definisi, apakah Anda langsung memahaminya? Hal yang sama akan terjadi ketika proses pembelajaran Aljabar, di mana prosesnya langsung dimulai dari beberapa sifat penjumlahan dan perkalian seperti sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya unsur identitas, invers dan sifat distributif perkalian terhadap penjumlahan dan diikuti dengan membuktikan beberapa rumus atau teorema seperti a.(−b) = −(ab). Pada proses pembelajaran seperti itu teorema matematika telah dibahas sebagai ilmu yang eksak, sistematis dan deduktif. Mahasiswa tidak mengetahui darimana dan bagaimana rumus itu didapat. Padahalnya, pada waktu proses ditemukan atau dikembangkannya teorema turunan adalah tidak seperti itu, telah terjadi perjuangan yang sangat menarik untuk mendapatkannya. Teorema peluang misalnya ditemukan secara tidak sengaja dari arena judi. Menurut buku yang penulis pernah baca namun lupa judulnya, penemuan teorema awal differensial ditemukan ketika seseorang mencatat jarak yang ditempuh suatu benda (partikel) yang dilepaskan dari puncak menara miring Pisa. Ternyata, hubungan yang didapat antara waktu t (dalam detik) dengan jarak yang ditempuh s (dalam meter) adalah mendekati: s(t) = 5t2 3
Dengan demikian, dalam waktu 6 detik, jarak yang ditempuh benda tersebut adalah 5×62 = 5×36 = 180m. Sedangkan dalam waktu 4 detik, jarak yang ditempuh benda adalah 5×42 = 5×16 = 80m. Jika ditanyakan kecepatan benda untuk selang t = 4 sampai t = 6, maka kecepatan rata-rata benda pada selang tersebut adalah (180 − 80)/(6 − 4) = 100/2 = 50m/detik. Secara matematis perhitungan itu dapat dinyatakan dengan: Selang Jarak 180 − 80 s( 6) − s( 4) = = Selang Waktu 2 6−4
Sekarang, pertanyaan yang dapat diajukan adalah bagaimana caranya menentukan kecepatan rata-rata benda pada: 1. selang antara t = 4 sampai t = 4,2? 2. selang waktu antara t = 4 sampai t = 4,0000002? 3. tepat pada waktu t = 4? Jawaban pertanyaan 1 dan 2 adalah seperti di atas. Namun pertanyaan terakhir dapat juga dinyatakan dengan cara di atas, yaitu untuk selang antara t = 4 sampai t = 4,000...0001. Sehingga kecepatannya menjadi: v ( 4) = lim
s( 4 + 0,000...0001) − s( 4) atau 0,000...0001
Perhatikan bahwa 0,000...0001 merupakan bilangan yang sangat kecil sedemikian sehingga mendekati 0 namun tidak sama dengan 0 dan diberi notasi 0,000...0001→0 atau dapat juga dilambangkan dengan h→0 atau ∆x→0, sehingga didapat: s( 4 + h) − s(h) atau h f ( x + ∆x ) − f ( x ) f ' ( x ) = lim ∆x →0 ∆x
v ( 4) = lim
h→ 0
Jelaslah bahwa pada proses penemuan yang berkait dengan definisi differensial ini telah terjadi penalaran induktif dan bukan penalaran deduktif, sebagaimana dinyatakan Polya. Dimulai dari kasus-kasus khusus, akan didapat pola atau keteraturan yang selanjutnya mengarah ke definisinya. Pertanyaan selanjutnya adalah: Manakah yang lebih penting, kemampuan penalaran secara induktif atau deduktif? Kedua penalaran tersebut sama penting. Namun, sebagaimana dinyatakan Polya, pada satu sisinya matematika merupakan ilmu yang eksak, sistematis dan deduktif. Akan tetapi, pada waktu proses ditemukan atau dikembangkan matematika muncul sebagai ilmu yang mengunakan sifat eksperimen dan induktif. Namun, jika kemampuan menemukan juga dibutuhkan siswa dan bangsa ini, maka jelas bahwa siswa harus difasilitasi untuk belajar secara induktif dan tidak hanya melulu deduktif. Artinya, dari induktif baru ke deduktif.
Pendapat Lakatos Di samping Polya yang dikenal sebagai pakar pemecahan masalah, Lakatos yang dikenal sebagai filusuf, sebagaimana dikutip Burton (1992:2) membuat pernyataan yang lebih keras: “Deductivist style hides the struggle, hides the 4
adventure. The whole story vanishes, the successive tentative formulations of the theorem in the course of the proof-procedure are doomed to oblivion while the end result is exalted into sacred infallibility” Artinya, cara deduktif telah menyembunyikan perjuangan dan petualangan (penemunya). Semua ceritera sudah usai, urut-urutan yang bersifat tentatif atau nisbi dari formulasi teoremateorema, dalam pelajaran yang mengutamakan prosedur pembuktian telah dimatikan ke arah yang tidak berarti, sedangkan hasilnya telah diagungagungkan sebagai suatu kebenaran yang tidak terbantahkan dan dikeramatkan. Kembali ke waktu di mana penulis sedang mengikuti kuliah tentang turunan (differensial), maka yang dilakukan sang dosen adalah sesuatu yang sudah jadi, yaitu suatu definisi turunan adalah: f ' ( x ) = lim
∆x →0
f ( x + ∆x ) − f ( x ) ∆x
Namun proses pembelajarannya sama sekali tidak membahas atau tidak menceriterakan bahkan telah menyembunyikan perjuangan dan petualangan yang dilakukan si penemu teorema tersebut. Semua ceritera mengenai kehebatan si penemu sama sekali tidak nampak. Padahalnya, dari ceritera tadi, nampak jelas kehebatan si penemu ketika ia mulai berpikir dari kasus-kasus khusus tersebut, lalu muncul pertanyaan berikut: “Bagaimana caranya menentukan kecepatan benda pada waktu t = 4?” Pertanyaan inilah yang memunculkan teori tentang turunan. Kadang-kadang muncul di benak penulis, bagaimana dan mengapa tiba-tiba muncul pertanyaan yang sangat hebat seperti itu pada diri si penemu? Lalu, mengapa bukan salah seorang warga bangsa kita yang memunculkan pertanyaan seperti itu untuk pertama kalinya? Dari contoh tentang pembelajaran differensial di saat kuliah tadi, di mana pembelajarannya lebih mengacu pada pembelajaran deduktif, hal-hal yang harus dilakukan dan diketahui siswa sudah tertentu, sudah jelas dan sudah terarah. Namun proses pembelajaran yang diinginkan para pakar pendidikan matematika sekarang adalah dengan memulai pembelajarannya dengan menayangkan ‘masalah kontektual’ atau ‘masalah realistik’ sehingga para siswa difasilitasi untuk melakukan eksplorasi, investigasi, inkuari dan berkomunikasi dengan teman-temannya. Selanjutnya, berkait dengan investigasi, Bastow, dkk (1986) menyatakan, “Investigating is not just getting the right answers but asking the right questions”. Artinya, pada proses investigasi (atau proses eksplorasi maupun proses penemuan) intinya adalah bukan hanya pada jawaban yang benar saja, namun juga untuk belajar mengajukan pertanyaan yang benar. Fasilitasi bagi para siswa untuk belajar mengajukan pertanyaan akan lebih banyak pada pembelajaran yang lebih mengacu pada pembelajaran induktif daripada hanya murni deduktif. Investigasi, eksplorasi, ataupun penemuan merupakan aktivitas yang dapat memfasilitasi siswa untuk mempelajari induksi dan deduksi. Selanjutnya, pendekatan terbaru seperti pembelajaran matematika realistik, kontekstual, kooperatif, PAKEM, ataupun pemecahan masalah adalah sangat cocok dengan pembelajaran yang lebih mengacu pada pembelajaran induktif. Penutup Istilah pola dan generalisasi jelas menunjukkan bahwa pelajaran matematika ini mengacu pada pembelajaran yang berkait dengan penalaran induktif. 5
Selanjutnya, perhatikan pendapat Giere (1984: 45) berikut: ”The general characteristic of inductive arguments is that they are kowledge expanding; that is, their conclusions contain more information than all they are premises combined”. Pada penalaran induktif, dari beberapa kasus khusus, dapat disusun suatu kesimpulan yang bersifat umum (general). Proses penalaran induktif ini menjadi sangat penting, karena ilmu pengetahuan, termasuk matematika, tidak akan pernah berkembang tanpa adanya penarikan kesimpulan ataupun pembuatan pernyataan baru yang bersifat umum yang melebihi kasus-kasus khususnya. Contohnya, differensial tidak akan ada tanpa eksperimen dan induksi. Hal inilah yang telah menjadi suatu kelebihan dari penalaran induktif dibandingkan dengan penalaran deduktif. Mengingat begitu hebat dan besarnya kelebihan dari penalaran induktif ini, maka pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika sudah seharusnya dimulai secara induktif dan dilanjutkan dengan deduktif. Tidak hanya di bangku SD dan SMP saja langkah pembelajaran seperti itu dilaksanakan, namun juga di SMA dan SMK harus dilakukan seperti ditunjukkan dengan contoh tentang differensial yang sangat jelas dan gamblang pada penemuan dan implikasinya pada pembelajarannya. Terakhir, terhadap pertanyaan pada judul artikel ini, yaitu: “Benarkah guru matematika sebaiknya mengajar secara induktif dan bukan secara deduktif?” Lalu bagaimana jawaban Anda? Yakinkah Anda dengan jawaban Anda tersebut? Jawaban penulis sebagaimana disampaikan di depan adalah keduanya sangat dibutuhkan. Kedua penalaran itu memiliki kelebihan dan kekurangan sendirisendiri. Pada intinya, untuk lebih memahamkan siswa dapat digunakan penalaran induktif lalu pembuktiannya menggunakan penalaran deduktif. Jadi tidak benar juga hanya menggunakan penalaran induktif saja. Daftar Pustaka Bastow, B.; Hughes, J.; Kissane, B.; & Randall, R.; (1986). Another 20 Investigational Work. Perth: Mawa. Burton, L. (1992). Implications of constructivism for achievement in mathematics. Pada buku: 7th International Congress on Mathematical Education (ICME-7). Topic Group 10; Constructivist Interpretations of Teaching and Learning Mathematics. Perth: Curtin University of Technology. De Lange, J. (2005). Mathematical Literacy for Living from OECD-PISA Perspective. Paris: OECD-PISA. Depdiknas (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas Giere, R. N. (1984). Understanding Scientific Reasoning (2ndEdition). New York: Holt, Rinehart and Winston. NRC (1989). Everybody Counts. A Report to the Nation on the Future of Mathematics Education. Washington DC: National Academy Press. Polya, G. (1973). How To Solve It (2nd Ed). Princeton: Princeton University Press.
6