Belajar dan Mengajar dengan Kreatif itu sangat Kristiani
“Saya tidak mengerti apa yang Ibu inginkan. Selama berpuluh-puluh tahun saya mengajar, daun ya berwarna hijau. Bisa dikelompokan menurut bentuk, tulang dan sisi. Memangnya, apalagi yang bisa diamati dari daun?”
Tanggapan itu diberikan seorang Bapak Guru senior dari sebuah Yayasan Pendidikan Kristen di sebuah daerah. Setiap peserta diminta memilih sehelai daun yang berbeda dari yang diambil oleh rekan-rekannya, membuat pengamatan dan deskripsi dengan cermat dan menuliskannya di kertas. Bapak ini memegang sehelai daun papaya. Baginya cukup untuk menjawab hal-hal yang “standar”, dan tidak perlu untuk merasakan bahwa baik warna maupun tekstur permukaan dan bawah daun berbeda. Bahwa tidak setiap daun berwarna hijau, atau berwarna hijau yang sama. Sehelai daun, bisa menjadi media belajar dan diskusi yang menarik. Tidak perlu seperangkat computer dengan sambungan internet yang cepat, atau ruang kelas dengan AC yang nyaman. Kurikulum Kata itu sering muncul terdengar dalam percakapan orang tua, atau ketika sebuah sekolah sedang mempromosikan institusinya. Kurikulum sekolah X berasal dari Negara A, sementara kurikulum sekolah Y dibuat dari gabungan Negara B, C dan D, seakan-akan dengan menggunakan kurikulum tertentu, masa depan anak akan terbuka lebar dan terang benderang. Benarkah demikian? Sebuah alat yang sangat canggih baru bisa bermanfaat secara optimal ketika orang yang menggunakannya juga tahu bagaimana mengoperasikannya secara efektif. Bila tidak, maka alat tersebut akan ada tanpa berguna. Demikian juga halnya dengan kurikulum. Sering orang berpikir bahwa kurikulum merupakan sebuah “hard-ware” yang tidak berkaitan sama sekali dengan penerapan di kelas. Padahal, pemahaman mengenai kurikulum sama sekali tidak boleh dilepaskan, dan akan menjadi tidak lengkap disebut kurikulum, bila tidak disertai dengan metode pembelajaran dan system evaluasi yang diinginkan sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Jadi, sebuah kurikulum barulah dapat disebut dengan kurikulum bila terdiri dari tiga bagian: isi (yang akan diajarkan), metode (bagaimana cara mengajarnya) dan system evaluasi (bagaimana cara menilainya). Secara isi, sebuah panduan/standar isi (yang sering salah kaprah disebut “kurikulum”) bisa sangat baik, mendalam, berkesinambungan tetapi bila tidak dilengkapi dengan metode dan sistem Penilaian/Evaluasi yang tepat, maka isi kurikulum hanya menjadi SOP yang cantik dan keren sebagai pajangan saja. Tulisan di bawah ini akan menekankan mengenai Metode Pembelajaran, bagaimana metode sangat berpengaruh terhadap hasil pendidikan, dan apa yang kita bisa lakukan dalam kapasitas kita di bidang Teknologi Informasi dan Komputer secara praktis. Multiple Intelligence/Ragam Kecerdasan dan Ragam Metode Pembelajaran Lebih dari tiga dekade lalu, Howard Gardner menghebohkan dunia pendidikan dan psikologi dengan jargon Multiple Intellegencenya. Sekarang ini, jargon MI menjadi jargon sehari-hari yang mudah
[email protected]. Tulisan ini disampaikan dalam ITM Gathering, Nov 2012
Page 1 of 9
ditemui bukan hanya di iklan-iklan sekolah, tetapi juga iklan-iklan produk makanan kesehatan anak. Seakan-akan, bila sekolah ataupun produk kesehatan anak tidak memperhatikan MI dalam strategi komunikasinya, sekolah/produk itu akan dianggap ketinggalan jaman dan tidak berkualitas. Pada awalnya, beberapa kelompok Kristen menganggap bahwa Multiple Intelligence yang digagas oleh Howard Gardner bertentangan dengan konsep Kristiani. Sebaliknya, kita sekarang dapat melihat bahwa pemahaman mengenai MI membantu kita melihat bagaimana Allah telah menciptakan manusia begitu istimewa dan berharga. Setiap manusia berbeda dan layak diberi tempat untuk berkembang sesuai dengan kapasitasnya. Mazmur 139 menggambarkan bagaimana Allah menenun manusia sejak ada dalam kandungan ibunya. Kata menenun menunjukkan betapa “tailor-made”nya proses penciptaan kita. Allah mendekati umat dan nabi-nabiNya dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang melalui tanda penglihatan, pendengaran, ataupun kemenangan perang. Kristus memenangkan perempuan Samaria melalui “Socratic Dialoque”. Dia memberi ruang pada Petrus untuk berjalan di atas air. Perlakuan Allah Bapa dan Kristus kepada manusia jelas menunjukkan betapa Allah menghargai manusia sebagai mana adanya. Allah menciptakan manusia yang tidak seragam. Dalam dunia pendidikan (termasuk pendidikan Kristen, tentunya), hal itu berarti bahwa ketika ada sebuah konsep yang harus disampaikan, sudah sepantasnya guru berupaya agar metode penyampaian konsep tersebut dapat dimengerti dengan baik oleh murid-muridnya dengan ragam kecerdasan yang berbeda. Hal itu juga berarti, guru perlu menyiapkan ragam metode pembelajaran yang bervariasi. Seorang guru yang baik akan selalu berusaha menghindari metode pembelajaran yang hanya dengan membuka, membaca dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di buku siswa. Atau dia juga akan menghindari penjadi “penceramah” utama. Seorang guru belum pantas disebut mendidik bila yang dia lakukan hanyalah memerintahkan anak menulis ulang apa yang ada di buku (sebagus apapun bukunya) ke papan tulis, untuk kemudian dicatat kembali di buku anak. Kita mengenal adanya kekeliruan yang sangat fatal dalam proses pembelajaran 4D alias “datang, duduk, diam dan dengar”. Pembiaran kekeliruan itu telah menghasilkan generasi yang apatis terhadap penyelenggaraan Negara, a-sosial terhadap masalahmasalah masyarakat, dan generasi ABS atau Asal Bapak Senang. Dan ketika kita ikut melakukan pembiaran tersebut kita telah berkontribusi dalam melakukan pembodohan bangsa. Brain-Based Learning/Proses Belajar Berdasarkan Cara Kerja Otak (BBL) Allah menciptakan otak kita dengan sangat luar biasa dan ajaib. Otak bekerja dan mengatur begitu banyak system di dalam tubuh kita. Semuanya bekerja sama dan terkoordinasi dengan baik dan otomatis. Selain mengontrol bagian kognitif seseorang, di dalam bagian otak ada juga syaraf-syaraf pengendali emosi dan perasaan. Karena itu, ketika Kristus memberikan perintah “Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”, Kristus secara gamblang ingin mengatakan, “Aku menciptakan otakmu dengan luar biasa, berikanlah dan gunakanlah itu semua kepadaKU dan untukKU”. Pembelajaran berdasarkan cara kerja otak sudah dan sedang dikembangkan sejak lebih dari 10 tahun yang silam. Anda dapat dengan mudah memperoleh bahan-bahan mengenai BBL. National Geographic dan BBC membuat film-film yang luar biasa baik mengenai cara kerja otak yang menakjubkan. Brain neuro-science menjadi bidang studi yang sangat berkembang pesat di dunia
[email protected]. Tulisan ini disampaikan dalam ITM Gathering, Nov 2012
Page 2 of 9
kedokteran syaraf. Pendidikan yang tidak memperhatikan bagaimana otak bekerja, memperoleh informasi dan kemudian menyimpan informasi dengan tepat akan menghasilkan proses pembelajaran yang keliru. Proses pembelajaran yang keliru akan menghasilkan generasi yang kurang berkualitas. Ada paling tidak 12 cara otak bekerja, yang sangat terkait erat dalam proses pembelajaran. Kita akan membahas delapan aspek secara singkat di bawah ini: 1. Otak bekerja secara parallel (The brain is a dual processor). Banyak orang berpandangan bahwa ada pemisahan yang nyata antara cara kerja otak kiri dengan otak kanan. Padahal, secara sadar, kita juga lebih menangkap, misalnya, angka-angka dalam statistik yang disampaikan dengan visualisasi yang menarik. Sebuah buku teks terlihat membosankan ketika hanya berisi data dan fakta semata. Buku teks yang sama akan menjadi lebih menarik ketika data dan fakta itu kemudian disampaikan baik melalui tampilan yang berbeda maupun contoh-contoh yang melibatkan emosi dan rasa. Hal yang sama juga terjadi dalam proses pembelajaran itu sendiri. Pada saat seorang guru menerangkan, murid akan lebih menangkap dengan baik ketika anak dilibatkan (secara emosi ada ketertarikan), media ajarnya menarik (aspek visual), intonasi dan bahasa tubuhnya mendukung (aspek visual dan auditory). Pendekatan yang sama juga berarti ketika anak melakukan aktivitas, kemudian menerangkan hasil aktivitas itu dengan ragam media dan warna, menyampaikannya dengan penuh perasaan, anak tersebut dan teman-temannya akan dapat menangkapnya dengan lebih baik juga. 2. Dapatkah Anda belajar dengan baik ketika merasa lapar dan haus? Atau, dapatkah Anda belajar dengan baik ketika saat bersamaan sedang sakit gigi atau flu? Prinsip cara kerja otak yang kedua adalah kerja otak melibatkan fungsi tubuh secara keseluruhan dan bersamaan. Para pekerja kesehatan masyarakat sangat menyadari korelasi positif antara kurang gizi dengan kualitas pendidikan di sebuah daerah. Tuhan Yesus melakukan mujizat mengubah lima roti dan dua ikan, tidak semata-mata karena ingin membuat heboh. Sang Pencipta otak tahu bagaimana otak dapat bekerja dengan baik. Proses pembelajaran yang efektif akan memperhatikan kebutuhan fisik siswa. Ada banyak sekolah yang mengijinkan, dan bahkan mendorong anak untuk minum air putih di dalam kelas pada waktu belajar. Guru paham bahwa ketika otak bekerja, ia memerlukan air sangat banyak. Beberapa sekolah sudah melarang penjualan makanan dan minuman dengan gula berlebihan, zat pengawet maupun zat pewarna berbahaya. Sekolah-sekolah yang baik akan mengaitkan semua proses pembelajarannya dengan gaya hidup sehat. Contoh-contoh yang digunakan adalah makanan dan minuman sehat. Secara terus menerus dan melalui ragam mata pelajaran, pemerintah Inggris memasukkan budaya makan sayur-sayuran dan buahbuahan. Teori kesehatan tidak serta merta diajarkan begitu saja tetapi dilebur dalam metode pembelajaran yang menarik.
[email protected]. Tulisan ini disampaikan dalam ITM Gathering, Nov 2012
Page 3 of 9
3. Otak bekerja mencari makna. Otak bekerja lebih baik ketika sesuatu dirasakan bermakna dan mengena. Ingatkah kita pada waktu sekolah dimana kita berjuang keras untuk mendapatkan nilai baik tanpa tahu makna apa yang dipelajari? Betapa sukarnya kita belajar ketika kita merasa apa yang kita pelajari tidak bermanfaat (sekalipun guru menyebutkan dan memerintahkan kita menghapalkan manfaat-manfaatnya). Bukankah lebih mudah bagi kita untuk mengingat, misalnya, peristiwa penting dalam kehidupan kita dibandingkan dengan tanggal, tahun dan tempat peperangan dalam sejarah Indonesia? Bukan berarti bahwa peristiwa sejarah itu tidak penting. Tetapi, kembali lagi, bagaimana kemudian guru dapat menyampaikan pentingnya sejarah dengan metode yang menarik dan mengingat cara kerja otak. 4. Pemaknaan ini sangat terpengaruh dengan bagaimana anak bertumbuh dalam lingkungannya dan bagaimana otaknya telah menyimpan memori sebelumnya. Seorang anak di pesisir tentu sangat mudah belajar mengenai jenis-jenis ikan, rumput laut dan pengenalan gelombang atau pasang surut dibandingkan anak pegunungan. Sebaliknya anak di kota perlu usaha yang lebih untuk dapat memahami bagaimana padi ditanam, dipelihara, tumbuh dan dipanen dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di daerah persawahan. Seorang anak yang pernah mengalami trauma gempa tentu akan lebih tersentuh emosinya ketika ada pembelajaran mengenai bencana, dibandingkan anak yang hidup dalam keadaan yang nyaman. Apa artinya ini bagi pendidikan? Proses pembelajaran tidak boleh seragam dan diseragamkan. Bahan-bahan pembelajaran harus bersifat kontekstual. Pelatihan pengembangan ketrampilan dan pengetahuan guru harus merujuk pada latar belakang budaya dari guru dan murid setempat. Alat yang canggih, buku yang hebat, akan menjadi tidak bermakna bagi orang yang tidak mengerti manfaatnya. Kembali lagi, keistimewaan otak menjadi yang utama. 5. Otak juga bekerja secara simultan dan meramu baik kognitif maupun afektif secara bersamaan. Pada saat tangan saya mengetik tulisan ini (part), otak saya secara keseluruhan (whole) berusaha menautkan apa yang ada di tulisan sebelumnya, pengalaman saya dalam mengajar dan melatih, gambaran bagaimana murid dan mahasiswa saya menanggapi apa yang dipelajari, dan emosi sayapun kembali terusik. Kita tidak dapat memisahkan antara yang “part” dari yang “whole”. Bukankah ketika saya mengetik dengan “doc”, ada system terintegrasi dalam computer saya yang kemudian mengolah dan menyimpannya? Hal ini berarti ketika proses pembelajaran berlangsung, kita tidak dapat memilah-milah metode kita secara terpisah-pisah – manakah bagian kognitif, manakah bagian afektif. Ketika seorang guru mengajarkan topic rantai makanan dalam IPA, maka pada saat yang bersamaan juga guru wajib mengaitkannya dengan kecintaan akan lingkungan hidup. Ketika Kristus hanya menulis dengan jariNya di tanah pada saat orang-orang Farisi membawa kepadaNya seorang perempuan yang berzinah, ada konsep “zinah”, “perempuan”, “Farisi” dan “Kristus” bermunculan di benak semua orang. Peristiwa orang Farisi membawa perempuan yang berzinah (part) tidak dapat dipisahkan dari konsep-konsep lainnya yang
[email protected]. Tulisan ini disampaikan dalam ITM Gathering, Nov 2012
Page 4 of 9
muncul di otak pada saat itu (whole). Tindakan Kristus langsung mentransformasi konsep hukuman dan pengampunan. 6. Pernahkah mengamati kuda yang diberi “penghalang mata”? Mengapa hal itu perlu dilakukan? Apa yang terjadi bila penghalang mata itu dilepaskan? Ilustrasi tersebut menggambarkan dengan tepat bahwa proses pembelajaran kita melibatkan baik perhatian yang difokuskan maupun pada sekeliling kita. Kuda diberi penghalang mata agar dia bisa fokus pada jalan yang akan ditujunya, tidak menjadi terganggu dengan kendaraan ataupun manusia di sekitarnya. Kuda itu bisa dikendalikan dan mencapai tujuannya dengan lebih mudah dan cepat. Bagaimana ketika pemahaman ini diterapkan di dalam kelas? Guru perlu membuat kelas menjadi menarik sedemikian rupa sehingga anak bisa fokus pada apa yang sedang dipelajari dan tidak teralihkan oleh hal-hal lain yang mengundang perhatian. Atau sebaliknya, bagaimana guru bisa mengalihkan perhatian anak dan mengaitkannya dengan topic yang dia sedang bahas. Kristus banyak sekali menggunakan kesempatan dimana perhatian orang sedang tertuju pada banyak hal di sekelilingnya. Dia merujuk pada burung, rumput, ikan, ataupun roti yang dipegangNYA. Dia mampu membuat sekelilingnya terfokus kembali pada apa yang Dia ingin sampaikan. 7. Memori kita bekerja secara spasial dan pada saat yang sama menghapal, atau lebih baik ketika terjadi pengulangan. Murid dapat belajar dengan lebih baik ketika menggunakan benda-benda kongkrit dan kemudian menguatkan pemahaman konsep dengan pengulangan berkali-kali. Allah menyatakan hal ini dengan jelas di dalam Ulangan 6:7-9. Allah melibatkan verbal, waktu, tindakan, bentuk (ikatan di tangan, dahi dan tiang pintu rumah dan gerbang). Tidaklah keliru untuk meminta anak berlatih dan mengerjakan banyak soal. Tetapi pembelajaran ini perlu dilakukan dengan cara-cara yang sebisa mungkin kongkrit dan bervariasi. 8. Dan yang terpenting, otak bekerja paling efektif ketika dalam suasana yang aman dan menyenangkan. Manakah yang lebih baik – menakuti-nakuti anak sehingga dia belajar dengan tekun, memberikan tantangan kepadanya untuk dipecahkan? Atau mengimingimingi dengan hadiah? Ketiga cara tersebut memang dapat meningkatkan prestasi belajar. Tapi apakah semua cara tepat? Otak kita menyukai tantangan dan menciut bila diancam. Proses pembelajaran harus berlangsung dengan menyenangkan. Neuron-neuron otak akan bertumbuh dengan subur dan saling terkait menjadi rimba kumpulan pembelajaran. Sebaliknya ketika seorang anak diancam ketika belajar, syaraf-syaraf di otaknya akan putus. Anak yang belajar penuh dengan ancaman akan menjadi anak yang tidak percaya diri. Sementara anak yang senang belajar karena diiming-imingi dengan hadiah, baru akan belajar bila ada hadiah. Syaraf otak tidak berkembang karena keingin-tahuan. Ketika dia dewasa, dia akan bertumbuh menjadi generasi yang “bargaining” dan bersikap transactional. Hubungan dengan sesamanya hanya ditentukan oleh untung rugi.
[email protected]. Tulisan ini disampaikan dalam ITM Gathering, Nov 2012
Page 5 of 9
Pemahaman mengenai keterkaitan keberhasilan belajar dengan emosi anak berarti guru akan selalu mengusahakan kelas yang kondusif, bebas dari ancaman ataupun pelabelan. Guru akan menekankan mengenai kerja sama dan saling membantu secara sehat dibandingkan berkompetisi secara individual. Kelas yang menyenangkan juga akan dipenuhi dengan rasa saling menghormati dan memuji dengan tulus. Bukankah itu juga yang Kristus tekankan? Memenangkan hati seseorang. Dan bukankah Paulus juga menyatakan bahwa di atas ketiga hal yang penting, kasih menjadi yang paling utama. Dengan melihat paling tidak delapan cara kerja otak, kita dapat memahami bahwa metode belajar tidaklah sesederhana yang kita pikirkan. Profesi guru menuntut bukan hanya kompetensi tetapi sekaligus kesungguhan hati. Biasanya para murid peka manakah guru yang dapat dipercaya, atau manakah guru yang sekedar memberikan kepintaran. Proses Berpikir Ilmiah dan Konstruktivisme Ragam kecerdasan dan cara kerja otak telah mengubah proses belajar mengajar. Paradigma bahwa murid belajar dengan lebih baik ketika kelas sepi, guru membawa rotan dan bentuk ulangan sematamata menghapal telah sangat ketinggalan jaman. Bahkan sebetulnya, cara pembelajaran seperti itu jelas-jelas tidak Alkitabiah. Kristus sangat memberi keleluasaan dan kebebasan pada orang yang mau belajar kepadaNYA. Dia menepis gambaran orang-orang Farisi dan ahli Taurat bahwa belajar dan taat pada Allah identik dengan menghapal ayat dan melakukan ritual. Taxonomy Bloom yang menyebutkan tingkatan pembelajaran dari mulai menyebutkan dan menghapal, sampai dengan menganalisa dan menciptakan sudah Kristus terapkan pada waktu DIA ada di dunia. Kristus mengkritik pendengarnya yang lebih bisa menganalisa dan menyimpulkan mengenai angin, dibandingkan menganalisa kebenaran Kerajaan Allah. Kristus bermain analogi dan filsafat ketika bercakap-cakap dengan Nikodemus. Dia meminta murid-muridnya membandingkan dan membedakan jenis tanah di mana benih jatuh ditabur. Cara mengajar Kristus jauh dari menghapal mati dan taat karena takut. Kristus mengajar dengan mencerdaskan dan bukan membodohkan. Pendidikan yang baik akan menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran dimana anak sendiri akan berproses dalam membangun pemahamannya. Metode pembelajaran yang efektif akan mendorong anak untuk tidak sekedar menyebutkan dan menghapal. Sebaliknya Metode belajar yang efektif membuat anak aktif untuk melakukan proses berpikir ilmiah sampai pola berpikir kritis terbentuk. Kondisi Pendidikan di Indonesia (dan sekolah-sekolah Kristen/dengan pendidik Kristen) Tulisan ini hanya menyinggung sedikit saja mengenai permasalahan pendidikan di Indonesia karena sudah banyak tulisan lain yang dapat dibaca dengan mudah. Saya hanya mengangkat hasil PISA terakhir sebagai bahan perenungan. Hasil PISA tahun 2009 memperlihatkan Indonesia ada di urutan ke 57 dari 65 negara-negara yang mengikuti penilaian kompetensi membaca, matematika dan sains. Jauh di bawah Singapore (5) dan
[email protected]. Tulisan ini disampaikan dalam ITM Gathering, Nov 2012
Page 6 of 9
masih berada bahkan di bawah Thailand (50). Dalam laporannya disebutkan bahwa anak-anak Indonesia lemah dalam menganalisa. Apalagi bisa sampai pada tahap mencipta. Mengapa hal ini dapat terjadi? Bukankah Indonesia sudah merdeka 20 tahun lebih dahulu dibandingkan Singapore? Tulisan Sejarah Kurikulum SD yang dipaparkan oleh Puskurbuk menyatakan bahwa sekalipun Indonesia telah merdeka selama 67 tahun, pola pembelajaran di Indonesia dengan menempatkan ragam kecerdasan dan cara kerja otak baru diterapkan sejak 2004, atau masih kurang dari satu decade. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa hampir semua guru yang mengajar anak-anak sekarang ini adalah produk dari menghapal dan ditakuti. Karena itu tidak mengherankan bila murid-murid kita tidak dapat berpikir lebih tinggi dari menyebutkan saja. Kapasitas otak mereka sama dengan anakanak lainnya di belahan bumi yang lain. Tuhan selalu adil dalam proses penciptaanNya. Masalahnya, apakah syaraf-syaraf otaknya dibangun dengan cara kerja otak secara maksimal, apakah metode pembelajaran telah mengakomodasi ragam kecerdasan, dan apakah guru-guru sendiri dibekali dan dievaluasi dangan system yang sama. Bagaimanakah dengan sekolah-sekolah Kristen atau sekolah dengan mayoritas tenaga pendidik Kristen? Provinsi manakah yang menempati urutan ke 33 dari 33 provinsi dari bidang kesehatan dan pendidikan? Provinsi manakah yang menempatai urutan ke 33 dari 33 provinsi dari segi Indeks Pembangunan Manusia? Mengapa demikian? Bukankah seharusnya iman berkorelasi positif dengan kualitas kehidupan sosial? Atau, ada yang salah dengan proses pembelajaran iman? Apakah iman dipelajari sebagai sesuatu yang dihapalkan dan bahwa Allah adalah Allah yang menakut-nakuti dan menakutkan? Bagaimana dengan kualitas guru di sana? Sampai seberapa jauhkah kompetensi guru dari segi konsep, kelayakan pendidikan dan ketrampilan mengajar dengan ragam kecerdasan dan cara otak bekerja? Sekolah-sekolah Kristen sangat sulit mendapatkan guru-guru Kristen yang berkompeten dan mempunyai kesungguhan hati. Bahkan sekolah-sekolah Kristen yang dikategorikan favoritpun sulit mendapatkan guru yang berpotensi, mau berkembang dan mau setia. Sebaliknya, sekolah-sekolah Kristen favoritpun tidak jarang yang menganut filosofi “upahmu besar di surga”, dan karenanya, posisi guru tidak menarik dan menjanjikan. Sementara itu, sekolah-sekolah dengan tenaga kependidikan Kristen mengalami hal yang tidak jauh berbeda. Kasus suap, pemalsuan nilai, kekerasan dan kompetensi guru yang terbatas merupakan masalah bersama yang lebih daripada masalah agama ataupun etnis. Kualitas pendidikan Indonesia memang belum memberikan gambaran yang menggembirakan. Kondisi ini merata baik di daerah rural ataupun urban. Masing-masing dengan tantangannya sendirisendiri. Karena itu, apakah mengherankan bila jumlah tenaga kerja di Indonesia, 49.2% nya terdiri hanya dari lulusan SD saja atau bahkan tidak tamat SD (http://www.bps.go.id/brs_file/naker_07mei12.pdf). Hampir sebagian besar generasi penerus bangsa kita tidak mampu (apakah baik secara ekonomi ataupun aksesibilitas) meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Generasi ini akan menghasilkan generasi selanjutnya. Artinya, bila tidak ada usaha dan komitmen yang serius dari kita
[email protected]. Tulisan ini disampaikan dalam ITM Gathering, Nov 2012
Page 7 of 9
semua, kita sedang menciptakan generasi baru yang (kembali) hanya mampu menghapal dan baru taat bila ditakut-takuti. Pengikut Kristus dan Pendidikan di Indonesia Sangatlah keliru bila menyatakan bahwa urusan iman tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan sebagai warga Negara. DR J. Leimena, seorang menteri dalam tujuh kabinet berbeda selama pemerintahan Soekarno mengatakan bahwa “Dalam hal kecintaan, kesetiaan, ketaatan kepada dan pengorbanan bagi tanah air, bangsa dan negara, orang Kristen tidak dan tidak boleh kurang daripada orang-orang lain, bahkan ia harus menjadi teladan bagi orang lain sebagai pecinta tanah air, warga negara yang bertanggungjawab dan nasionalis yang sejati. Segala sesuatu ini adalah refleksi dari pada kecintaan, kesetiaan dan ketaatan kepada Tuhannya, dengan pengertian: “Soli Deo Gloria” (segala kemuliaan adalah hanya bagi Tuhan).” Iman seseorang selayaknya
akan mempengaruhinya dalam berkontribusi positif terhadap bangsa dan negaranya. Seseorang yang mengaku beriman tetapi apatis dan a-sosialis perlu merenungkan kembali makna hukum kasih kedua yang sama utamanya dengan hukum kasih yang pertama. Bila sekarang ini kualitas manusia Indonesia masih terpuruk, dan pendidikan merupakan salah satu kuncinya, tentunya para pengikut Kristus tidak dapat tinggal diam dan berpangku tangan. Pengikut Kristus juga tidak dapat dengan mudahnya mengatakan bahwa itu adalah urusan pemerintah dan bukan urusan “saya” apalagi “gereja”. Sebaliknya, urusan negeri ini adalah urusan saya. Pendidikan dan “Saya” di ITM Ada banyak cara dimana kita dapat mengambil peluang dan berperan aktif sesuai dengan panggilan dan kompetensi kita. Saya mengajukan empat hal praktis yang sangat mungkin dilakukan: 1. Pembuatan Sistem - Administrasi sekolah sangat menyita waktu dan berpeluang untuk terjadinya kekeliruan. Ada banyak sekolah yang harus mengerjakan semua hal administrative secara manual. Memang bisa jadi karena para guru di sana tidak menguasai computer dengan baik. Tetapi yang lebih sering terjadi adalah mereka tidak berkompeten memanfaatkan computer untuk bisa membuat system yang mudah digunakan dan terintegrasi. Dengan pembuatan system administrasi yang mudah ini, para guru bisa lebih meluangkan waktunya dalam persiapan metode mengajar yang kreatif. 2. Penyediaan sumber/media pembelajaran – ada banyak sumber/media pembelajaran yang menggunakan alat dan bahan yang sederhana, yang dapat diterapkan secara mudah di pelosok Indonesia.Sayangnya, bahan-bahan tersebut berserak di banyak situs, atau ditulis dalam bahasa Inggris. Hasil pengumpulan, pemilahan, penerjemahan dan pengadaptasian bisa menjadi kompilasi bahan yang sangat bermanfaat untuk metode belajar yang aktif. 3. Ketrampilan-ketrampilan praktis – bagi kita yang menggunakan TIK dalam kehidupan seharihari, kita bingung bagaimana mungkin ada banyak orang jaman ini, apalagi guru, yang masih belum terampil menggunakan fasilitas TIK. Padahal kemampuan-kemampuan praktis seperti operasi doc, excel ataupun powerpoint akan menjadi sangat bermanfaat bagi mereka. Kursus-kursus praktis, ringan dan intensif bisa dilakukan. Dengan bekal ketrampilan praktis ini, gurupun dapat menyimpan catatan-catatan pembelajaran mereka. Mereka juga dapat melakukan presentasi yang lebih menarik untuk para siswanya. 4. Pemetaan dan analisa data – kompetensi guru yang terbatas membuat mereka kurang mampu mengambil, membuat dan menganalisa data yang ada. Padahal, bila saja mereka
[email protected]. Tulisan ini disampaikan dalam ITM Gathering, Nov 2012
Page 8 of 9
bisa diperlengkapi dengan cara yang sederhana, mereka dapat didorong untuk memetakan baik sekolah mereka sendiri, maupun desa/kota tempat mereka berada. Dengan bekal analisa data, para guru diharapkan dapat lebih melibatkan siswa dalam membangun daerahnya. Dan dengan bekal ini pula, gurupun tidak akan terpaku pada buku teks siswa yang kemungkinan besar mencantumkan data-data yang tidak kontekstual. Metode belajar aktif yang menjadi jargon jualan banyak sekolah ternyata sangat Kristiani. Peluang pelayanan dalam menunjang metode pembelajaran kreatif juga sangat terbuka luas. Tunggu apa lagi?
[email protected]. Tulisan ini disampaikan dalam ITM Gathering, Nov 2012
Page 9 of 9