Batik Garutan dan Identitas Parahiyangan N. Kartika dan Trisna Gumilar *
Batik merupakan salah satu keanekaragaman budaya Indonesia yang sangat penting peranannya dalam perkembangan seni, kebudayaan, dan narasi bangsa. Sejak dahulu batik merupakan busana yang dikenakan masyarakat dari kalangan rendah, bangsawan, hingga busana yang dikenakan oleh keluarga keraton. Busana merupakan ekspresi, citra dan kepribadian suatu budaya, karena dari busana dapat tercermin norma dan nilai-nilai budaya suatu suku bangsa tertentu. Oleh karena itu, batik dengan segala keragamannya tidak saja menjadi sekedar barang seni dan kerajinan, melainkan juga telah menjadi identitas suatu budaya tertentu. Begitu pula halnya Batik Garutan. Tulisan ini hanya upaya pengenalan batik garutan, berupa deskripsideskripsi singkat tentang sejarah, perkembangan, dan simbolisasi nilai-nilai filsafat yang terkandung di dalamnya. Sebagai sebuah pengenalan, tentu analisis yang mendalam belum dilakukan. Pemerintah Kabupaten Garut dan Provinsi Jawa Barat juga sedang gencar melakukan upaya-upaya familiarisasi batik garutran melalui media cetak, media elektronik, maupun internet. N. Kartika – salah satu penulis makalah ini – sedang menyelesaikan buku mengenai batik garutan ini. Dalam tulisan ini, kedudukan batik garutan sebagai karya belum dibedakan antara seni (art) dan kerajinan (craft). Batik garutan adalah batik yang berkembang dan dikerjakan para perajin di kabupatern Garut, Jawa Barat. Batik garutan memiliki motif dan corak yang
khas. Motif ini tentu saja berkembang karena pengaruh lingkungan sosial budaya, falsafah hidup, dan adat istiadat orang Sunda. Dengan demikian, motif batik garutan adalah cerminan kehidupan sosial masyarakat Garut dari masa ke masa. Batik garutan sudah menjadi barang souvenir sejak jaman Belanda. Dalam buku Garoet, En Omstreken yang terbit tahun 1922, disebutkan bahwa salah satu yang dapat dibawa" pulang oleh turis atau para pelancong dari Garut sebagai oleholeh adalah kain Batik. Maklum, buku itu memang ditulis sebagai buku petunjuk perjalanan
wisata
yang
diperun tukan
bagi
turis -turis
("http://garutpedia.garutkab.go.id)
.
Perempuan-perempuan Priangan memakai kain batik sekitar tahun 1930-an Sumber: Het Paradijs van Java
asing
Perempuan pedagang kain memakai kain batik. Sumber: Het paradijs van Java Foto-foto tersebut memperlihatkan penggunaan batik yang luas yang pernah terjadi di kota, desa, pasar, dan kehidupan sehari-hari lainnya.
Perkembangan Batik Garutan: beberapa pandangan Batik semula dikenal sebagai produk kerajinan bahan pakaian pada masyarakat Jawa. Pada zaman kerajaan-kerajaan di Jawa dahulu, diperkirakan sejak zaman Kerajaan Majapahit dan terus berkembang kepada raja-raja berikutnya. Oleh karena awalnya kegiatan membatik hanya dikerjakan terbatas dalam lingkungan keluarga kerajaan dan hasil batiknya digunakan sebagai pakaian raja, keluarga, dan pegawainya. Para bangsawan dan pembesar kerajaan menggunakan pakaian adat yang terbuat dari kain batik halus, dan dibuat secara terbatas untuk kalangan elit tertentu. Sedangkan bagi masyarakat biasa, lazimnya
menggunakan pakaian tenun ikat yang terbuat dari bahan kain yang lebih kasar dan harganya jauh lebih murah. Menurut taksiran kasar, perbandingan harga kain batik halus yang dikenakan oleh para bangsawan keraton dengan kain kasar yang dipakai oleh rakyat jelata, sangat berbeda jauh. Kegiatan membatik mulai menyebar ke seluruh daerah di Jawa ketika semasa Perang Diponegoro berakhir yaitu pada 1830. Ketika terjadi Perang Diponegoro melawan penjajah Belanda, Belanda mendesak agar keluarga kerajaan serta pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Pada saat itulah kemudian keluarga-keluarga raja di daerah Yogya dan Solo harus mengungsi dan menetap di daerah-daerah baru. Keluarga kerajaan yang mengungsi itu kemudian tersebar ke daerah yang antara lain adalah Banyumas, Pekalongan, Ponorogo, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan daerah lainnya di sekitar Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat (Tirtaamidjaja, 1966: 25). Dari penjelasan ini, jelas bahwa seni batik garutan merupakan upayaupaya kreolisasi, yaitu atau bentuk-bentuk peniruan dari kebudayaan Jawa (Majapahit) dan penyesuaian corak dengan unsur-unsur budaya setempat (Garut atau lebih luas lagi Priangan). Pandangan ini tentu saja syah dan argumentatif. Akan tetapi, sesuai dengan judul tulisan ini, yaitu mengenai keterkaitan batik garutan dan identitas (Garut/ Priangan), maka harus pula dilihat pandangan lain perkembangan batik garutan. Tradisi membatik di kalangan orang Sunda sudah berlangsung sejak lama. Bahkan di dalam naskah Siksa Kandang Karesian yang berasal dari abad ke-16, sudah disebutkan motif-motif batik. Artinya, tradisi membatik sudah ada. Tradisi
ini terus berlangsung hingga sekarang. Di beberapa daerah, seperti di Cirebon, Tasikmalaya, dan Garut, tradisi membatik telah melahirkan motif-motif batik yang khas, yang kemudian menjadi ciri batik daerah masing-masing. Hal itu menunjukkan bahwa pada naskah itu ditulis, orang Sunda telah mengenal berbagai corak kain (samping) dan batik. Walaupun tak ada peninggalan dari zaman tersebut (Kerajaan Sunda), namun ditemukan beberapa helai kain yang usianya 200-300 tahun, Seperti kain simbut Banten. Masyarakat Garut sangat menyenangi keterampilan membatik. Kemudian mengembangkan corak-corak batiknya yang sesuai dengan budaya, alam, dan selera mereka. Kerajinan batik yang mulai bisa dikerjakan oleh masyarakat Garut itu dikenal dengan sebutan batik tulis garutan. Batik tulis garutan ini kemudian menjadi sebuah batik tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Garut yang mempunyai nilai tradisi dan seni masyarakat Sunda. Karel Frederick Holle atau dikenal sebagai theejonker (pangeran teh) yang pada mulanya bekerja sebagai administrator Perkebunan Teh Cikajang Kabupaten Garut, yang kemudian pada tahun 1862 mendirikan perkebunan sendiri bernama Perkebunan Waspada (Bellevue) adalah seorang yang menaruh perhatian yang besar terhadap budaya Sunda. Kecintaannya kepada budaya pribumi itu demikian besar sehingga gaya hidupnya sudah seperti Sunda, mulai dari cara berpakaian hingga kesenangannya pada gamelan. Oleh karena kecintaannya pada budaya Sunda inilah, K.F. Holle pun begitu menyenangi batik tulis Garutan yang memang telah menjadi keahlian masyarakat Garut pada masa itu (Djumena, 1990: 25).
Hingga pada akhirnya, K.F. Holle untuk pertama kalinya memproduksi batik tulis garutan ini di perkebunannya yaitu Perkebunan Waspada. Hasil dari produksi batik tulis garutannya itu selain untuk keperluan K.F. Holle yang memang sangat menyukai hal-hal yang berbau budaya Sunda seperti batik tulis garutan, hasil dari produksinya itu dijual juga kepada masyarakat sekitarnya. Mulai dari produksinya batik tulis garutan oleh K.F. Holle inilah, kemudian batik tulis garutan mulai dikenal luas oleh masyarakat. Bukan hanya oleh masyarakat Kabupaten garut, akan tetapi batik tulis garutan ini mulai dikenal pula oleh masyarakat Priangan. Bahkan karena kedudukan Kabupaten Garut yang dikenal sebagai tempat tujuan wisata, maka batik tulis garutan ini mulai banyak digemari pula oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang datang ke kabupaten Garut, karena setelah batik tulis garutan mulai diproduksi untuk masyarakat umum, batik tulis garutan telah menjadi salah satu ciri khas dari masyarakat Kabupaten garut.
Batik Garutan sebuah identitas Garut adalah salah satu kabupaten di wilayah Priangan yang daerahnya berbatasan dengan Kabupaten Bandung di sebelah barat, Samudera Hindia atau Laut Kidul di sebelah selatan, Kabupaten Tasikmalaya di timur, dan Kabupaten Sumedang di sebelah utara. Letak ibukotanya (Garut) sekitar 60 km sebelah tenggara Kota Bandung. Kabupaten Garut dahulu bernama dan beribukota di Limbangan. Pergantian namanya terjadi tahun 1913 dan perpindahan ibukotanya ke arah selatan terjadi tahun 1813. Luas wilayahnya pun mengalami perubahan
menjadi lebih luas, karena meliputi daerah inti dahulu (Balubur Limbangan) di sebelah utara
hingga pantai Laut
Pamengpeuk) di selatan.
Kidul (Cisewu, Bungbulang, Cikelet,
Kata garut, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
memiliki beberapa arti: 1. menggarut ; menggaruk (hingga luka); menggores (menggaris) keraskeras; menggesel sampai calar. 2. garut: suatu tanaman umbi berpelepah seperti pisang yang berukuran kecil (tinggi 60-80 cm), umbinya berserat, berwarna putih, berbentuk silinder yang tertutup oleh kulit yang bersisik, berwarna coklat muda, biasa dibuat keripik atau direbus untuk dimakan atau diperas untuk diambil tepungnya; ararut; maranta arundinacea; 2 umbi garut
Garut yang identik dengan Dodol Garut, Domba Garut, juga dikenal akan kerajinan baik yang berbahan dasar bambu, atau pun kulit. Dari bambu dihasilkan berbagai anyaman. Melihat kondisi geografisnya yang cukup strategis dengan kontur tanah yang berbukit-bukit hingga melandai ke arah Samudra Indonesia, maka Garut menjadi cerminan alam Parahiyangan (Priangan). Parahyangan atau Priangan, yang berarti tempat para dewa. Konfigurasi alam Priangan tersusun dari pegunungan dan lembah yang menciptakan kontras tinggi-rendah, aneka warna alam berupa gradasi warna dedaunan dan pepohonan, membentuk hutan yang membungkus gunung, ditambah dengan sungai yang mengalir dari gunung ke lembah. Di atasnya matahari tropis menyinari setiap hari sepanjang tahun
sehingga semua terang benderang. Priangan, Periangan, atau Parahiyangan dianggap wilayah sunda yang memiliki ”tingkat budaya” tinggi dan halus, yang merupakan orientasi utama bagi daerah Sunda lainnya (Garna, 2008: 184). Dalam naskah Siksa Kandang Karesian (ditulis sekitar tahun 1518) terdapat keterangan mengenai berbagai profesi pertukangan dan karyanya, yang dilihat kaca mata sekarang, sebagian besar masuk dalam wilayah pekerjaan dan karya seni rupa. Termasuk di dalamnya adalah desain dan kriya. Ahli atau tukang ukir disebut maranggi, dengan motif ukirannya antara lain naga-nagaan, barongbarongan,
ukiran
burung,
ukira n
kera
dan
ukiran
singa.
Tukang tenun atau ahli tekstil disebut pangeuyeuk dengan corak atau motif tenunan seperti kembang muncang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, cecempaan, paparanakan, mangin haris, sili ganti, boeh siang, bebernatan, papakanan, surat awi, parigi nyengsoh, gaganjar, lusian besar, kampuh jayanti, hujan riris, boeh alus, ragen panganten. Secara kirata, kalangkang ayakan (bayangan ayakan-alat pengayak atau penyaring) tampaknya berupa motif garis vertikal dan horisontal sebagaimana bentuk ayakan.
Motif Kalangkang Ayakan
Sumber:http://www.88DB.com Adapun tukang atau ahli gambar disebut lukis dengan berbagai corak lukisan yaitu pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata, kembang tarate. Bila istilah urang-urangan berasal dari kata urang (orang), tampaknya gaya lukisan itu adalah lukisan dengan model manusia yang sangat boleh jadi adalah yang sekarang kita kenal dengan lukisan potret. (Wiartakusumah, 2009). Sebelum
ditemukan
canting,
alat yang
dipakai
untuk
membatik
kemungkinan besar adalah bilah kayu berserat yang ujungnya ditumbuk, sehingga dapat mengikat resapan zat (cair) penolak warna yang akan dituangkan di atas kain. Bukti-bukti menunjukkan bahwa penduduk di sebagian tempat di Nusantara telah mengenal teknik rintang warna yang menyerupai batik. Kain simbut Banten Selatan dan Priangan (van der Hoop, 1949) dulu dibuat dengan teknik rintang warna. Alat untuk membuat ragam hias berbentuk kuas dari bambu yang ujungnya ditumbuk dan diruncingkan. Sedangkan bahan perintang warnanya dibuat dari bubur ketan. Kainnya ditenun dengan tenun tangan (alat tenun gendong) dengan benang lusi dan pakannya merupakan hasil pilinan tangan. Zat pewarnanya adalah bahan pewarna alam, misalnya nila, dan mengkudu. Ragam hiasnya berupa garisgaris geometris.
Sumber: http://www.88DB.com Jika dilihat sekilas, batik garutan mempunyai ciri khas yang menonjol yaitu penggunaan warna-warna yang cerah. Dalam Siksa Kandang Karesian (lempir III dan IV) terdapat warna putih, merah, warna terang, kuning dan hitam yang dipakai sebagai simbol mata angin tempat kediaman dewa. Juga ditemukan pemahaman terhadap makna garis berkelok
lembut
atau
lengkung (garis
organis)
dan
garis
luru s yang
menggambarkan kondisi kehidupan yang mengalir mulus. Dalam SSKK ini pula terdapat berbagai sebutan pertukangan serta karyanya. Dalam seni ukir, dikenal model naga-nagaan, barong-barongan, ukiran burung, ukiran kera, dan ukiran singa. Ahlinya disebut Maranggi. Dalam seni lukis, dikenal model pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata, kembang teratai. Juga dalam seni batik, pandai besi yang masingmasing lengkap beserta berbagai sebutan model, bentuk atau motif. Tinggal dicari arti setiap istilah ke dalam pengertian sekarang. Dalam seni lukis, misalnya,
dikenal model urang-urangan, bila "urang" dipahami "orang", maka itu artinya lukisan dengan objek berupa manusia (Wiartakusumah, 2009). Pada gilirannya, batik garutan yang diproduksi di kota Garut tersebut juga tidak saja menjadi identitas budaya Garut, tetapi budaya Priangan, dan budaya Sunda pada umumnya. Motif-motif batik garutan didominasi dengan motif-motif yang juga disebutkan dalam naskah Siksa Kandang Karesian. Pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, adalah motif-motif tumbuhan, sesuatu yang sangat akrab dengan masyarakat Parahiyangan dan masyarakat Sunda pada umumnya. Pada perkembangannya, motif-motif tersebut mengalami modifikasi seperti motif batik antanan.
Motif antanan. Sumber http:\\www.88DB.com Antanan adalah sejenis rumput yang biasanya tumbuh di pematang-pematang sawah. Antanan ini merupakan bentuk lalapan yang digemari masyarakat Sunda. Sudah barang tentu alam Priangan yang sangat kaya ini menjadi salah satu sumber inspirasi yang sangat penting. Menurut Ajip Rosidi (dalam Wiartakusumah, 2009), konsep keindahan yang dipahami masyarakat Sunda memiliki hubungan
timbal-balik (dialektik) antara alam dan rekaan. Ungkapan indah bagai lukisan, menunjuk pada objek di alam yang indah dan sebaliknya bila ada lukisan dengan objek dari alam yang benar-benar bagus maka ungkapannya menjadi indah seperti kenyataan. Bagi masayarakat dan kebudayaan Sunda, alam adalah salah satu unsur dari pandangan hidup. Pandangan hidup adalah rangkaian keyakinan yang berupa buah pikiran dan karakteristik tentang dunia. Keyakinan yang dianut itu tentang sesuatu yang harus dan patut diyakini, berkaitan dengan alasan normatif, moral, ataupun hal hal yang memiliki daya guna tertentu. Pandangan hidup adalah filsafat
hidup,
konsep
tentang hidup...
Pandangan
hidup
Oran g
Sunda
mengandung berbagai hal tentang manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan masyarakat, dengan alam, dengan Tuhan, dan tentang hakekat manusia, dalam mengejar kemampuan rokhaniah dan kepuasan bathin (Garna, 2008: 187). Dalam
makalahnya
di
KIBS
(20 01),
Soewarno
Darsoprajitno
mengutarakan bahwa geografi tata ruang alam Parahyangan yang indah yang sudah tersedia inilah yang ikut membentuk perilaku budaya masyarakat Sunda menjadi toleran, apresiatif dan akomodatif. Di sisi lain, kondisi alam yang indah itu menciptakan masyarakat periang yang memiliki perbendaharaan kata khusus yaitu waas. Keindahan alam dan romantika kehidupan di dalamnya yang terkandung dalam kata waas, melahirkan karya seni yang khas dengan nada yang cenderung melankolik seperti tercermin dalam tembang Cianjuran. Budaya periang itu juga kemudian melahirkan budaya humor, uniknya malah berbentuk parodi yang menertawakan diri sendiri, seperti tercermin dalam cerita Si Kabayan.
Dalam konteks tulisan ini, batik garutan juga menjadi representasi dari filsafat kehidupan orang Sunda (Parahiyangan). Corak batik garutan yang cenderung lebih terang dan warna-warni yang berani, seperti hijau terang, merah, kuning, adalah cermin kehidupan orang Sunda yang periang, toleran, sekaligus memberikan kesan waas melalui motif-motif yang ada di dalamnya. Seperti diketahui, makna suatu ekspresi maupun proses pemaknaannya sangat tergantung pada berbagai konteks di mana karya itu diekspresikan. Batik garutan mewakili sebuah ekspresi, yang tidak saja menggambarkan kebudayaan Sunda, tetapi juga dapat berperan dalam membentuk kembali (reimagined) nilainilai kesundaan yang mulai melemah seiring dengan perubahan zaman. Motif dan corak batik garutan yang khas dan terus berkembang (mengalami berbagai modifikasi) menunjukkan keluwesan masyarakat Sunda dalam pergaulan serta ikut memperkaya keragaman budaya nasional khususnya seni batik.
DAFTAR PUSTAKA Djumena, Nians. 1990. Batik dan Mitra. Jakarta: Djambatan.
Dofa, Anesia Aryunda. 1996. Batik Indonesia. Jakarta: Golden Terayon Press. Fraser-lu, Sylvia. 1989. Indonesian Batik: Processes, Pattern and Places. Oxford: oxford University Press. Garna, Judistira K. 2008 Budaya Sunda; Melintasi Wkatu menentang Masa Depan. Bandung: Lembaga Penelitian Unpad dan Judistira Garna Foundation Hamzuri. 1981. Batik Klasik. Jakarta: Djambatan. Hasanudin. 2001. Batik Pesisiran: Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik. Bandung: Kiblat. Het paradijs van Java Lubis, Nina H. (dkk). 2004. Sejarah Tatar Sunda. Bandung: Satya Historika. Risna KFF, Ina. 2006. Perkembangan Industri Batik Tulis Garutan 1930-1998. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah. Bandung: Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran. Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Peny. Nursam. Jogyakarta: Ombak. Wiartakusumah, Jamaludin. Estetika Sunda. Dimuat rubrik Anjungan Kompas Jawa Barat Sabtu 28 Februari 2009 Wiartakusumah, Jamaludin. Estetika Sunda. Dimuat di rubrik Khazanah Pikiran Rakyat , Sabtu 5 April 2008
Daftar Situs Internet http://garutpedia.garutkab.go.id/index.php/Batik_Garutan http://www.detik.com/ Promosi Batik Garutan Lewat Pengantin http://www.88DB.com
*
Penulis adalah Staf Pengajar Fak. Sastra Unpad