Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
PEMAKNAAN MOTIF BATIK JOGJA DAN BATIK SOLO Monica Rosalina dan Imelda Martinelli Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jl. Letjen S.Parman No.1 Jakarta 11440
Abstrack: The researcher discusses the semiotic theory conducted in Yogyakarta and Solo Batik motifs to know the meaning of the motif. Batik is used to evoke the spirit of nationalism almost all companies both nationally and internationally wear batik as their company uniforms. That is why the rose leaves are used for batik entrepreneurs to commercialize the commodity all over Indonesia and even overseas. By wearing batik, then the value of civilization and integrity become more recognized and viscous unity. But if there is conscious what is the origin and content of the art of batik art itself. Researchers saw that the art lies not only in color but also in the motif. For motif questionable meaning. According to Pierce semiotic system of meaning on objects visible using symbols and signs. Talking about it is a sign that more needed Semiotics Barthes speaks about the marker, and signs that called the language and myth. Keywords: Meaning, Batik, Jogja, Solo, Semiotics, Pierce, and Barthes Abstrak: Peneliti ini membahas tentang teori semiotik yang dilakukan ke dalam motif Batik Jogja dan Solo untuk mengetahui pemaknaan motif tersebut. Batik digunakan untuk membangkitkan semangat nasionalisme hampir semua perusahaan baik nasional maupun internasional mengenakan batik sebagai seragam perusahaan mereka. Itulah sebabnya mengapa naik daunnya batik dimanfaatkan bagi para pengusaha untuk mengkomersilkan komoditi itu ke seluruh penjuru Indonesia bahkan sampai mancanegara. Dengan memakai batik, maka nilai peradaban bangsa serta integritasnya menjadi lebih diakui dan kental persatuan. Tapi apakah ada yang sadar dari mana asal muasal kesenian batik dan isi dari seni itu sendiri. Peneliti melihat bahwa kesenian tersebut tidak hanya terletak pada warna tapi juga pada motif. Untuk itulah motif batik dipertanyakan maknanya. Menurut Semiotik Pierce sistem pemaknaan pada objek terlihat menggunakan simbol dan tanda. Berbicara mengenai tanda maka lebih dibutuhkan Semiotik Barthes yang berbicara tentang penanda, dan tanda yang di sebut sebagai bahasa dan mitos. Kata Kunci: Pemaknaan, Batik, Jogja, Solo, Semiotik, Pierce, dan Barthes Pendahuluan
B
atik adalah pakaian nasional bangsa Indonesia. Pakaian nasional disini dianggap memiliki makna penting pada objeknya dan memberi pengaruh lebih pada subjeknya. Ada tiga hal mengapa batik menarik diteliti dalam kajian ilmu komunikasi. Pertama, bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 129
ISSN: 2085 1979
Monica Rosalina dan Imelda Martinelli: Pemaknaan Motif Batik Jogja Dan Batik Solo
1945, sebelumnya bangsa ini hanya merupakan jajaran pulau yang dihuni masyarakat pribumi dengan birokrasi kerajaan-kerajaan di dalamnya. Melalui masa kerajaan, bangsa ini diajarkan budi pekerti dan nilai-nilai moral yang kental persatuan, sampai pada akhirnya para penjajah datang dan membuat sistem kerajaan porak poranda, alhasil setiap pribumi berusaha keras mencari identitasnya kembali dan berusaha keras untuk memerdekakan identitasnya. Kemerdekaan yang diraih inilah berasal dari pemahaman atas identitas diri sebagai warga Indonesia yang memegang nilai pancasila dimasa kini sampai masa yang akan datang. Kedua terkait dengan integrasi bangsa Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia yang sah, masing-masing kita baiklah memiliki integritas teguh dalam berpikir dan bertingkah laku yang benar. Batik disini muncul untuk menguatkan kembali makna integritas, bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Integritas adalah apa yang dikatakan sesuai yang dilakukan. Melalui pakaian nasional inilah bangsa kita diajarkan berintegritas. Terakhir adalah batik sebagai pemersatu bangsa. Tidak hanya di kota-kota besar di Indonesia, di daerah pun masyarakatnya kini menggalakkan mengenakan batik pada hari Jumat. Hal ini dinubuatkan untuk mendorong rasa persatuan dan kesatuan nasional masing-masing warga. Melalui batik kembali kita diingatkan tentang persatuan Indonesia, seperti semboyan yang berbunyi demikian bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Jika batik dapat berkomunikasi mengenai ketiga alasan di atas, tentu ia akan berkomunikasi melalui motifnya ketimbang warnanya. Bagi diri penulis, warna bebas diekspresikan, namun motif selalu memiliki khas dari asalnya. Hampir semua batik yang dipakai masyarakat memiliki acuan pada satu atau dua motif unggulan. Motif unggulan inilah yang masih perlu digali. Apa dan bagaimana dia bisa menjadi motif unggulan. Darimana motif itu berasal, siapa yang menciptakan, dan untuk apa diciptakan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat penulis sadar bahwa batik memiliki sejarah dan sejarah itu dipakai banyak orang dan banyak orang tidak sadar bahwa ia memiliki sejarah. Pada kesempatan kali ini, teori semiotik Pierce dan Barthes dinilai dapat menjadi landasan teori, karena Pierce berusaha mengungkap sejarah tersebut sebagai fenomena dan Barthes cenderung mengembangkan fenomena sejarah menjadi peristiwa yang dapat berkenan dengan masa kini. Untuk itu secara garis besar penulis ingin meneliti makna semiotik dari motif batik dengan menggunakan analisis teori semiotik Pierce dan Barthes. Sebelum masuk ke dalam penelitian, berikut urutan pokok penelitian dari awal hingga akhir. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain. Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa berlangsung dengan baik. Menurut Laswell ada tujuh pemikiran tentang komponen-komponen komunikasi. Pertama, pengirim atau komunikator (sender) adalah pihak yang mengirimkan pesan kepada pihak lain. Kedua, pesan (message) adalah isi atau maksud yang akan disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lain. Ketiga, saluran (channel) adalah media dimana pesan disampaikan kepada komunikan. dalam komunikasi antar-pribadi (tatap muka) saluran dapat berupa udara yang mengalirkan getaran nada/suara. Keempat, penerima atau komunikate (receiver adalah pihak yang menerima pesan dari pihak lain. Kelima, umpan balik (feedback) adalah tanggapan dari penerimaan pesan atas isi pesan yang disampaikannya. Keenam, Proses menentukan feedback digunakan pemaknaan yang diperoleh dari pesan visual atau verbal, sehingga baru ISSN: 2085 1979
130
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
menghasilkan pola pemaknaan baik yang diungkapkan melalui komunikasi internal maupun komunikasi eksternal. (internal: komunikasi dalam diri, eksternal: komunikasi ke luar diri). Proses ini yang dikenal sebagai representasi
(representation).
Representasi adalah sebuah cara memaknai apa yang diberikan pada objek atau pesan baik yang dikatakan maupun yang digambarkan. Proses ini dikatakan sebagai sistem representasi karena ia tersusun bukan atas ―individual concepts melainkan melalui cara-cara pengorganisasian. Karena proses pemaknaannya tidaklah selalu fixed, maka dikatakan sebagai makna konotasi sedangkan yang fixed dikenal sebagai makna denotasi. menandai bentuk-bentuk representasi yang kehadirannya bisa disaksikan seutuhnya seperti bentuk-bentuk obyek, orang, alam, hewan, tumbuhan, tarian, atau kejadian yang dihubungkan dalam set konsep yang mengacu pada bentuk faktual obyek yang mewakili sesuatu yang terepresentasi dalam kehidupan nyata. Charles Sanders Peirce (pengucapan/purse) (10 September 1839 - April 19, 1914) adalah seorang filsuf Amerika, ahli logika, matematika. Peirce lahir di Cambridge, Massachusetts, ia menempuh pendidikan sebagai ahli kimia dan bekerja sebagai ilmuwan selama 30 tahun. Ia berkontribusi besar terhadap ilmu logika, matematika, filsafat, dan semiotika (dan pendiri pragmatisme). Pada 1934, filsuf Paul Weiss menyebut Peirce sebagai "the most original and versatile of American philosophers and America's greatest logician:. Peirce adalah seorang inovator dalam matematika, statistik, metodologi penelitian, filsafat ilmu, epistemologi, dan metafisika. Peirce dinilai sebagai seorang ahli logika pertama dan yang utama. Dia membuat kontribusi besar kepada logika, tetapi "logika" baginya mencakup banyak hal dari apa yang kini disebut epistemologi dan filsafat ilmu. Dia melihat logika sebagai cabang resmi semiotika (di mana dalam hal ini Peirce adalah pendirinya). Peirce paling dikenal dengan sistem filsafatnya yakni pragmatisme. Menurut sistem ini, signifikasi adalah sebuah teori atau model terletak pada efek praktis penerapannya. Model tanda yang dibangunnya menjadi sangat berpengaruh, dan membentuk sebagian besar karya kontemporer mengenai semiotika kontemporer. Peirce berargumen bahwa fenomenon seperti simbolisme bunyi pada kenyataannya mengungkapkan sebuah kecenderungan untuk membuat bagian X dari jenis tanda manapun verbal atau nonverbal sedikit banyak mengimitasi konsep atau objek yang diwakilinya dengan suatu cara. Maka, sementara Saussure memandang tanda sebagai struktur yang dibuat secara manasuka, Peirce alih-alih memandangnya sebagai struktur yang cenderung dimotivasi‖ oleh suatu bentuk simulasi. Peirce membagi signs ke dalam tiga jenis Icon, Index, dan simbol. Sekali lagi, ketiganya ini dapat dibuatkan model dengan segitiga. Peirce menilai bahwa cara ini most useful dan menjadi model dasar. Peirce mengatakan “Setiap sign ditentukan oleh object-nya, pertama dengan membagi karakter object itu, ketika Saya menyebutnya sebagai Icon; kedua dengan menjadikannya nyata dan di dalam eksistensi individu berkaitan dengan object individu, ketika saya menyebut tanda sebagai suatu Index; ketiga, dengan memperkirakan kepastian hal itu terinterpretasikan sebagai denoting the object yang konsekuensinya pada suatu kebiasaan ketika Saya menyebut the sign sebagai suatu Symbol (Zeman, 1977). Peirce mengajukan model pemaknaan dengan bentuk segitiga yang memperlihatkan hubungan antara sign, the user, dan external reality. Peirce, 131
ISSN: 2085 1979
Monica Rosalina dan Imelda Martinelli: Pemaknaan Motif Batik Jogja Dan Batik Solo
sebagai tokoh yang saat ini dikenal sebagai pendiri American tradition of semiotics , menjelaskan modelnya sebagai berikut: “A sign is something which stands to
somebody for something in some respect or capacity. It addresses somebody, that is, creates in the mind of that person an equivalent sign, or perhaps a more developed sign. The sign which it creates I call the interpretant of the first sign. The sign stands for something, its object. (Zeman, 1977). Peirce menyebut Tanda sebagai Representamen dan konsep, benda, gagasan, dan seterusnya, yang diacunya sebagai Object. Makna (impresi, kogitasi,
perasaan, dan seterusnya) yang diperoleh dari sebuah Tanda oleh Peirce diberi istilah Interpretant. Tiga dimensi ini selalu hadir dalam signifikasi. Oleh karena itu, Peirce memandang sebagai sebuah struktur triadik, bukan biner (sebagaimana disebut de Saussure). Model Peirce memperlihatkan segitiga yang masing-masing titik dihubungkan oleh garis dengan dua arah, yang artinya setiap istilah (term) dapat dipahami hanya dalam hubungan satu dengan lainnya. A sign me-refer kepada sesuatu di luar dirinya (something other than itself)—the object, dan dipahami oleh seseorang: yaitu, ia memiliki efek di dalam benak atau pikiran (mind) penggunanya (user)—the interpretant. Selanjutnya teori Barthes tentang mitos atau ideologi memungkinkan seorang pembaca atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna terantuk pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di situ, oleh karenanya penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan.Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam representasi. Sementara secara diakronik analisis Barthes memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitis digunakan. Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa lampau yang sudah jauh dari dunia pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos kemarin sore yang akan menjadi founding prospective history‖. Semiotik Barthes meneliti objek melalui dua tahap pemaknaan. Tahapan pertama objek dikaji melalui penanda, petanda, dan tanda. Tahapan kedua, tanda pada tahapan pertama menjadi penanda. Kemudian baru disambung kembali dengan petanda dan tanda. Kemudian tanda di akhir penelitian menjadi sebuah intepretant pada semiotik Pierce. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Semiotik Barthes merupakan turunan dari Pierce. Berikut ini adalah pola semiotik yang dikembangkan oleh Barthes. Bagan 1. Pola Semiotik Barthes
ISSN: 2085 1979
132
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
Dari jabaran di atas makan pertanyaan penelitian dari pernelitian ini adalah Bagimana pemaknaan motif Batik Jogja dan Batik Solo menurut Analisis Teori Semiotik Pierce dan Semiotik Barthes? Kemudian tujuan penelitian adalah untuk Mengetahui bagaimana pemaknaan motif Batik Jogja dan Batik Solo menurut Analisis Teori Semiotik Pierce dan Semiotik Barthes. Metode Penelitian Metode yang dugunakan dalam penelitian ini adalah kulitatif. Adapun teknik analisis data akan dijelaskan sebagai berikut. Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif di dasarkan pada pendekatan yang digunakan. Beberapa bentuk analisis data dalam penelitian kualitatif, yaitu: Pertama, Biografi merupakan langkah-langkah analisis data pada studi biografi seperti; Mengorganisir file pengalaman objektif tentang hidup responden seperti tahap perjalanan hidup dan pengalaman. Tahap tersebut berupa tahap kanak-kanak, remaja, dewasa dan lansia yang ditulis secara kronologis atau seperti pengalaman pendidikan, pernikahan, dan pekerjaan. Membaca keseluruhan kisah kemudian direduksi dan diberi kode. Kisah yang didapatkan kemudian diatur secara kronologis. Selanjutnya peneliti mengidentifikasi dan mengkaji makna kisah yang dipaparkan, serta mencari epipani dari kisah tersebut. Peneliti juga melihat struktur untuk menjelaskan makna, seperti interaksi sosial didalam sebuah kelompok, budaya, ideologi, dan konteks sejarah, kemudian memberi interpretasi pada pengalaman hidup individu. Kemudian, riwayat hidup responden di tulis dengan berbentuk narasi yang berfokus pada proses dalam hidup individu, teori yang berhubungan dengan pengalaman hidupnya dan keunikan hidup individu tersebut. Kedua Fenomenologi, langkah-langkah analisis data pada studi fenomenologi, seperti; Peneliti memulai mengorganisasikan semua data atau gambaran menyeluruh tentang fenomena pengalaman yang telah dikumpulkan. Membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai data yang dianggap penting kemudian melakukan pengkodean data. Menemukan dan mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh responden dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai yang sama. Selanjutnya, pernyataan yang tidak relevan dengan topik dan pertanyaan maupun pernyataan yang bersifat repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga yang tersisa hanya horizons (arti tekstural dan unsur pembentuk atau penyusun dari phenomenon yang tidak mengalami penyimpangan). Pernyataan tersebut kemudian di kumpulkan ke dalam unit makna lalu ditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi. Selanjutnya peneliti mengembangkan uraian secara keseluruhan dari fenomena tersebut sehingga menemukan esensi dari fenomena tersebut. Kemudian mengembangkan textural description (mengenai fenomena yang terjadi pada responden) dan structural description (yang menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi). Peneliti kemudian memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi dari fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman responden mengenai fenomena tersebut. Membuat laporan pengalaman setiap partisipan. Setelah itu, gabungan dari gambaran tersebut ditulis. Ketiga grounded theory, langkah-langkah analisis data pada studi grounded theory, seperti; Mengorganisir data membaca keseluruhan informasi dan memberi kode. Open coding, peneliti membentuk kategori informasi tentang 133
ISSN: 2085 1979
Monica Rosalina dan Imelda Martinelli: Pemaknaan Motif Batik Jogja Dan Batik Solo
peristiwa dipelajari. Axial coding, peneliti mengidentifikasi suatu peristiwa, menyelidiki kondisi-kondisi yang menyebabkannya, mengidentifikasi setiap kondisikondisi, dan menggambarkan peristiwa tersebut. Selective coding, peneliti mengidentifikasi suatu jalan cerita dan mengintegrasikan kategori di dalam model axial coding. Selanjutnya peneliti boleh mengembangkan dan menggambarkan suatu acuan yang menerangkan keadaan sosial, sejarah, dan kondisi ekonomi yang mempengaruhi peristiwa. Keempat adalah Etnografi, langkah-langkah analisis data pada studi etnografi, yaitu; Mengorganisir file, membaca keseluruhan informasi dan memberi kode, menguraikan setting sosial dan peristiwa yang diteliti, menginterpretasi penemuannya, menyajikan presentasi baratif berupa tabel, gambar, atau uraian. Keabsahan Data hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal, yaitu subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif, alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol, dan sumber data kualitatif yang kurang credible akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian. Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa cara menentukan keabsahan data, yaitu: Kredibilitas Apakah proses dan hasil penelitian dapat diterima atau dipercaya. Beberapa kriteria dalam menilai adalah lama penelitian, observasi yang detail, triangulasi, peer debriefing, analisis kasus negatif, membandingkan dengan hasil penelitian lain, dan member check. Cara memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian, yaitu: Memperpanjang masa pengamatan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan, bisa mempelajari kebudayaan dan dapat menguji informasi dari responden, dan untuk membangun kepercayaan para responden terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri. Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Triangulasi, pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Peer debriefing (membicarakannya dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat. Mengadakan member check yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta denganmengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data. Transferabilitas yaitu apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain. Dependability yaitu apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Konfirmabilitas yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif.
ISSN: 2085 1979
134
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
Hasil Penelitian dan Pembahasan Dengan adanya Ilmu Komunikasi, yang membantu menjelaskan apa itu komunikasi beserta proses dan apa hasil dari komunikasi, maka idealnya batik harus mampu mengkomunikasikan sesuatu makna di dalam motif batiknya. Batik Solo dan Jogja mempunyai esensi dasar dalam motif batiknya, di mana kedua batik itu memiliki satu ciri khas yang diadopsi oleh batik-batik lainnya. Ciri Khas itulah yang dibawa sampai sekarang ini. Untuk itu agar dapat melihat, menggambarkan, kemudian memaknai, dan merekonstruksikan sebuah ciri khas batik tradisional yang diambil dari batik Jogja dan Solo, maka dibutuhkan teori semiotik. Teori semiotik disini merupakan turunan teori komunikasi yang disinggung di atas. Teori Semiotik beraneka ragam, kalau kita telusuri dalam buku-buku semiotik yang ada, hampir sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913). de Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839 - 1914) seorang filsuf Amerika, Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (1915 - 1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 - 1993), Christian Metz (193 - 1993), Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics framework muncul akibat kontak antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan penciptanya. Motif-motif batik yang dipakai saat ini menjadi bermakna jika kita mampu menemukan relasirelasi dalam lingkungan masyarakat dan tidak hanya memakai batik hanya untuk taat aturan semata. Untuk itu ilmu semiotika merupakan salah satu dari berbagai alat kaji yang tersedia guna mengkaji dan membantu menemukan makna yang tersirat dalam batik. Dilihat sudut orientasi akademis, Semiotika Peirce mengembangkan sistemnya dalam kerangka filsafat, sedangkan Saussure dalam kerangka linguistik. Sehingga pendekatan pada tulisan ini ditekankan pada sistem semiotika yang dikembangkan Peirce, karena secara terperinci mempersoalkan sifat dan hakekat tanda dalam kaitannya dengan keseluruhan realitas sebagai permasalahan teori pengetahuan. Di satu sisi pierce akan lebih lengkap apabila disambung dengan semiotika Barthes yang mengangkat petanda dan penanda dalam sebuah mitos. Mitos Batik Jogja & Solo seputar cerita tentang keris atau wayang sering kita dengar. Tetapi mitos di seputar pembuatan batik, barangkali hanya sedikit yang pernah beredar. Misalnya saja mitos penciptaan motif batik sidoluhur yang menuntut pencipta awalnya untuk menahan nafas berlama-lama. Atau tentang batik parang yang tercipta karena kekaguman seorang Panembahan Senopati kepada alam sekitarnya, atau juga tentang truntum yang konon tercipta karena dorongan sebuah pengharapan seorang garwa ampil kepada rajanya dan sebagainya. Sampai sekarang pun, secara umum, proses penciptaan batik masih sama seperti jaman dulu. Laki-laki membuat motif, yang wanita mencanting. Pada proses penciptaan motif parang juga seperti itu. Panembahan Senopati (bertahta 1540–1553 J) dikenal sebagai pencipta motif parang. Panembahan mendapat inspirasi semasa ia melakukan teteki (menyepi dan bersemadi) di goa pinggir Laut Selatan. Ia begitu kagum terhadap stalagmit dan stalaktit yang ada di dalam goa 135
ISSN: 2085 1979
Monica Rosalina dan Imelda Martinelli: Pemaknaan Motif Batik Jogja Dan Batik Solo
yang dalam pandangan Panembahan sangat khas khususnya pafa saat gelap. Setelah menjadi Raja Mataram, ia pun menyuruh para putri kraton untuk mencanting motif tersebut. Tetapi ada pengkecualian dalam proses penciptaan motif truntum. Menurut Winarso Kalinggo, motif itu diciptakan oleh Kanjeng Ratu Beruk. Anak dari seorang abdi dalem bernama Mbok Wirareja ini adalah isteri dari Paku Buwono III (bertahta dari 1749–1788 M) tetapi berstatus garwa ampil, bukan permaisuri kerajaan. Persoalan status ini menjadikan Kanjeng Ratu Beruk selalu gundah. Ia mendamba jadi permaisuri kerajaan, sebuah status yang begitu dihormati dan dipuja orang sejagad keraton. Tapi lebih dari semua itu, Kanjeng Ratu Beruk ingin selalu berada di samping sang raja agar malam-malam sunyi tidak ia lewati sendirian. Pada suatu malam, perhatian Kanjeng Ratu Beruk tertuju pada indahnya bunga tanjung yang jatuh berguguran di halaman keraton yang berpasir pantai. Seketika itu juga ia mencanting motif truntum dengan latar ireng (hitam). ―Ini refleksi dari sebuah harapan. Walaupun langit malam tiada bulan, masih ada bintang sebagai penerang. Selalu ada kemudahan di setiap kesulitan. Sekecil apa pun kesempatan, ia tetap bernama kesempatan, begitu ujar Winarso Kalinggo melukiskan harapan Ratu pembuat truntum.
1. Batik Jogja Motif Parang Gambar 1. Motif Parang
a. Sign. Kumpulan garis diagonal yang memanjang dari atas ke bawah, seperti huruf S. Memiliki jarak antar garis yang sama rata, sama panjang, sama lebar, setara, seimbang. b. Object. Dapat diasumsikan seperti turun gunung, air yang mengalir dari mata air di puncak bukit sampai ke dasar lautan lalu kembali lagi melalui proses ‗re‘ dan berulang-ulang, ombak yang menukik dari atas kebawah lalu ke atas lagi dan kembali lagi ke dasar. c. Inteprentant. Ada sesuatu yang turun temurun atau dapat dikatakan sesuatu yang diturunkan untuk maksud tertentu, entah pesan keluarga, doa yang baik untuk generasi berikut, tradisi sakral yang diturunkan, atau budaya yang sama dan tetap dilestarikan dari waktu ke waktu.
ISSN: 2085 1979
136
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
Ditinjau dari semiotika Barthes Bagian pertama. Penanda merupakan kumpulan garis diagonal yang memanjang dari atas ke bawah, seperti huruf S. Memiliki jarak antar garis yang sama rata, sama panjang, sama lebar, setara, seimbang. Petanda dapat diasumsikan seperti turun gunung, air yang mengalir dari mata air di puncak bukit sampai ke dasar lautan lalu kembali lagi melalui proses “re” dan berulang-ulang, ombak yang menukik dari atas kebawah lalu ke atas lagi dan kembali lagi ke dasar. Tanda merupakan sesuatu yang turun temurun atau dapat dikatakan sesuatu yang diturunkan untuk maksud tertentu, entah pesan keluarga, doa yang baik untuk generasi berikut, tradisi sakral yang diturunkan, atau budaya yang sama dan tetap dilestarikan dari waktu ke waktu. Kemudian bagian kedua. Penanda merupakan sesuatu yang turun temurun atau dapat dikatakan sesuatu yang diturunkan untuk maksud tertentu, entah pesan keluarga, doa yang baik untuk generasi berikut, tradisi sakral yang diturunkan, atau budaya yang sama dan tetap dilestarikan dari waktu ke waktu. Petanda baik pesan, doa, tradisi, maupun budaya yang diturunkan pastilah sesuatu yang baik dan bernilai sakral. Sesuatu yang baik ini adalah hasil ketika kita sudah melakukan hal yang baik pula. Ada contoh yang dapat diajarkan atau dipelajari. Ada perbuatan yang terpuji yang harus dicontoh atau diakui. Ada simbol atau makna bermanfaat bagi kehidupan. Tanda Apa yang patut dicontoh pastilah membuahkan kehidupan yang lebih baik lagi, yakni merujuk pada sisi kehidupan manusia baik dalam segi kekayaan, kemakmuran, keharmonisan, kekeluargaan, ketentraman, ketaatan, ketatatertiban, keindahan, dan kesempurnaan.
2. Batik Jogja Motif Kawung Gambar 2. Motif Kawung
a. Sign, seperti kelopak bunga, selalu berbentuk persegi empat, memiliki titik tengah. b. Object, merupakan sentral dari segala sesuatunya, seperti bumi ada inti bumi, negara ada pusat pemerintahan, kelompok ada kepalanya. c. Intepretant, memiliki konsep kekuasaan, berpusat, titik temu yang menandakan kekuatan dan pengaruh terhadap yang lain. Mungkin motif ini diperuntukan bagi pejabat daerah zaman dahulu atau petinggi-petinggi kerajaan di masa Kerajaan Majapahit.
137
ISSN: 2085 1979
Monica Rosalina dan Imelda Martinelli: Pemaknaan Motif Batik Jogja Dan Batik Solo
Ditinjau dari semiotika Barthes Bagian pertama. Penanda Seperti kelopak bunga, selalu berbentuk persegi empat, memiliki titik tengah. Petanda merupakan sentral dari segala sesuatunya, seperti bumi ada inti bumi, negara ada pusat pemerintahan, kelompok ada kepalanya. Tanda memiliki konsep kekuasaan, berpusat, titik temu yang menandakan kekuatan dan pengaruh terhadap yang lain. Baik pengaruh mengatur, menghakimi, mempimpin, menertibkan, dan membuat peraturan. Kedua, penanda merupakan konsep kekuasaan, berpusat, titik temu yang menandakan kekuatan dan pengaruh terhadap yang lain. Petanda pemegang kuasa seperti: Pemerintah, Bupati, Gubernur, Walikota, Raja, Senopati, Panglima. Tanda motif ini dipakai oleh orang-orang berkuasa sejak zaman Kerajaan Jawa dahulu kala.
3. Batik Solo Motif Truntum Gambar 3. Motif Truntum
a. Sign, motif dasar bunga-bunga, memiliki garis diagonal dari sisi kiri ke sisi kanan maupun sebaliknya sehingga membentuk bujur sangkar, terdapat sesuatu yang selalu berpusat di tengah, warna cokelat menjadi dominan. b. Object, bunga mencerminkan sesuatu keindahan dan kehidupan, adapun lika-likunya berarti di satu sisi indah, di sisi lain ada rintangan atau likalikunya, warna yang dipakai adalah cokelat yang melambangkan kehangatan, natural, dan asri. c. Inteprentant, apabila motif ini berbicara keindahan dan kehidupan, berarti ada sesuatu yang baru dimulai, tumbuh, dan mengharapkan tumbuh dengan indah. Jika dalam konteks bermasyarakat merupakan awal dari kehidupan baru, ada kegembiraan, tawa canda, mungkin memperingati datangnya hari jadi, hari nikah, hari syukuran, hari ungkapan keberhasilan, sebuah perayaan besar yang diperingati. Memiliki konsep hangat atau dapat diterima oleh masyarakat. Ditinjau dari semiotika Barthes Bagian pertama. Penanda berbentuk seperti kelopak bunga, memiliki garis diagonal dari sisi kiri ke sisi kanan maupun sebaliknya sehingga membentuk bujur sangkar, terdapat sesuatu yang selalu berpusat di tengah, warna cokelat menjadi dominan. Petanda bunga mencerminkan sesuatu keindahan dan kehidupan, adapun lika-likunya berarti di ISSN: 2085 1979
138
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
satu sisi indah, di sisi lain ada rintangan atau lika- likunya, warna yang dipakai adalah cokelat yang melambangkan kehangatan, natural, dan asri. Tanda apabila motif ini berbicara keindahan dan kehidupan, berarti ada sesuatu yang baru dimulai, tumbuh, dan mengharapkan tumbuh dengan indah. Jika dalam konteks bermasyarakat merupakan awal dari kehidupan baru, ada kegembiraan, tawa canda, mungkin memperingati datangnya hari jadi, hari nikah, hari syukuran, hari ungkapan keberhasilan, sebuah perayaan besar yang diperingati. Memiliki konsep hangat atau dapat diterima oleh masyarakat. Kedua, penanda jika dalam konteks bermasyarakat merupakan awal dari kehidupan baru, ada kegembiraan, tawa canda, mungkin memperingati datangnya hari jadi, hari nikah, hari syukuran, hari ungkapan keberhasilan, sebuah perayaan besar yang diperingati. Petanda hari jadi yang dirayakan biasanya lebih merujuk pada kehidupan yang baru. Pernikahan adalah yang paling mendekati suatu konsep memasuki kehidupan yang baru, awal yang baru. Tanda motif ini dipakai di hari pernikahan untuk kedua mempelai. Motif luhur ini diturunkan ke generasi berikutnya agar mereka mengerti mengapa tradisi jawa memakai motif truntum dalam adat pernikahannya. Bahwa ada doa yang ingin disampaikan melalui motif ini, yakni berbuah keindahan atau kebaikan atau ucapan syukur atas manisnya madu kehidupan atau cinta kasih yang mewarnai kehidupan rumah tangga mereka yang baru.
4. Batik Solo Motif Semen Gambar 4. Motif Semen
a. Sign, motif seperti bunga, ayam, burung, diikuti liukan dahan dedaunan, warna terang dan kalem. b. Symbol, menyimbolkan kenaturalan sebuah alam, keastrian alam di lingkungan manusia, nuansa sejuk tercermin melalui motif ini. Adapun pemilihan motif berdasarkan ciri khas flora dan fauna di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya. c. Intepretant, nuansa alam yang diberikan sungguh menginspirasi manusia, bahwa ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sungguh tiada tara. Manusia berusaha menuangkan kekagumannya terhadap alam melalui motif batik ini. Ada bentuk keindahan yang natural atau tidak dibuat-buat dan tidak dapat di “create”oleh manusia. 139
ISSN: 2085 1979
Monica Rosalina dan Imelda Martinelli: Pemaknaan Motif Batik Jogja Dan Batik Solo
Ditinjau dari semiotika Barthes Bagian pertama. Penanda motif seperti bunga, ayam, burung, diikuti liukkan beberapa dahan dan dedaunan, serta memiliki kolaborasi antara warna terang dan kalem atau lembut. Petanda, menyimbolkan kenaturalan sebuah alam, keastrian alam di lingkungan manusia, nuansa sejuk tercermin melalui motif ini. Adapun pemilihan motif berdasarkan ciri khas flora dan fauna di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya. Tanda, Nuansa alam terlihat anggun dan hangat, seakan memberikan citra kehangatan dan keindahan alami yang masih sangat asri serta mengingatkan kembali manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sang pencipta. Manusia berusaha menuangkan kekagumannya terhadap ciptaanNya melalui motif batik ini. Ada bentuk keindahan yang natural atau tidak dibuat-buat dan tidak dapat di “create” oleh manusia. Kedua, penanda, nuansa alam yang diberikan sungguh menginspirasi manusia, bahwa ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sungguh tiada tara. Manusia berusaha menuangkan kekagumannya terhadap alam melalui motif batik ini. Ada bentuk keindahan yang natural atau tidak dibuat-buat dan tidak dapat di ‘create‘ oleh manusia. Petanda, keharmonian antara flora dan fauna yang dituangkan dalam motif batik ini memiliki keterkaitan pada manusia, bahwa merupakan satu rantai. Manusia diberikan bahan pangan dari alam, bahan sandang dari alam, bahan papan juga dari alam. Di satu sisi untuk melestarikan manusia, Pencipta memberikan makhuk hidup sebagai teman dan pelengkap sekaligus dimanfaatkan untuk membantu manusia. Tanda, manusia diingatkan kembali pada kuasa sang pencipta, untuk itu sebagai makhluk paling berbudi, manusia diwajibkan menjaga kelestarian alam sekitar sebagai ungkapan syukur kepada Maha Pencipta. Panembahan Senopati (bertahta 1540–1553 J) dikenal sebagai pencipta motif parang. Panembahan mendapat inspirasi semasa ia melakukan teteki (menyepi dan bersemadi) di goa pinggir Laut Selatan. Ia begitu kagum terhadap stalagmit dan stalaktit yang ada di dalam goa yang dalam pandangan Panembahan sangat khas khususnya pafa saat gelap. Setelah menjadi Raja Mataram, ia pun menyuruh para putri kraton untuk mencanting motif tersebut. Alhasil terciptalah batik bermotif Parang seperti liukan huruf ‘S‘. Walaupun demikian motif ‘S‘ itu bukan mewakili sebuah huruf melainkan sebuah gambar atau objek tertentu. Peneliti meyakini objek ‘S‘ yang dimaksud yakni objek alam, karena pada masa itu huruf atau aksara modern seperti alpabet baru diperkenalkan pada zaman penjajahan yakni oleh penjajah dari benua barat. Sedangkan Jawa masih menggunakan bahasa Jawa yang kental dengan huruf tagalognya. Untuk itu bagi saya, parang merupakan perwakilan alam yang memperlihatkan objek meliuk-liuk dari atas ke bawah yang berarti air, aliran sungai, ataupun tembereng pada masa itu atau bisa jadi bahwa kata parang diambil dari kata peralatan nelayan, yang berarti sebuah parang yang dipakai oleh para nelayan pada masa itu untuk mencari tangkapan laut. Namun kembali pada mitos yang menceritakan motif parang terbentuk melalui kekaguman Panembahan Senopati di lereng Gua Laut Selatan, berarti dari sini ada persamaan antara argumen peneliti, mitos, dan hasil penelitian menggunakan teori semiotik. Dengan demikian tradisi pelaut atau nelayan pada masa itu membawa pengaruh kepada motif pakaian mereka salah satunya adalah parang itu sendiri. Sehingga semangat para leluhur diharapkan dapat diteruskan oleh para penerusnya dan akan terus hidup tanpa dimakan zaman.
ISSN: 2085 1979
140
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
Berbicara mengenai motif Kawung dikenal sebagai motif para pembesar kerajaan pada masa kerajaan Majapahit di Pulau Jawa, motifnya yang rapi karena berbentu kelopak bunga bersegi empat membuat mata enak memandangnya. Tidak ada mitos khusus mengenai motif kawung karena motif ini cenderung mirip dengan motif sidoluhur yang dipakai para pejabat kerajaan. Sebagai kaum awam tentu motif kawung jauh lebih proposional dan cenderung berkelas. Mungkin inilah alasan mengapa motif kawung banyak dipakai oleh petinggi-petinggi atau konglomerat pada masanya. Sedangkan penelitian mengenai motif truntum cenderung mewakili kewanitaan. Hal ini terlihat dari motif bunga-bunga yang meliuk-liuk di atas bidang berwarna gelap atau kecokelatan. Kecintaannya akan bunga, membuat opini penulis tertuju pada seorang wanita yang membuatkan kain batik ini untuk pasangannya. Terciri dari jenis bunga yang diambil seperti anggrek, mawar, ataupun lili. Keeksotisan bunga cenderung mewakili kelemahlembutan seorang wanita dan bidang latar berwarna cokelat mewakili kehangatan dan cinta seorang pria terhadap wanita. Hal ini tampak sama dengan mitos motif truntum bahwa kanjeng ayu menyadari cintanya pada pangeran namun karena kedudukannya yang bukan adalah permaisuri maka kanjeng ayu hanya mencoba menyampaikan isi hatinya yang sedang berbunga-bunga terhadap raja yang ia cintai. Menurut Winarso Kalinggo, motif truntum diciptakan oleh Kanjeng Ratu Beruk. Anak dari seorang abdi dalem bernama Mbok Wirareja ini adalah isteri dari Paku Buwono III (bertahta dari 1749–1788 M) tetapi berstatus garwa ampil, bukan permaisuri kerajaan. Pada suatu malam, perhatian Kanjeng Ratu Beruk tertuju pada indahnya bunga tanjung yang jatuh berguguran di halaman keraton yang berpasir pantai. Seketika itu juga ia mencanting motif truntum dengan latar ireng (hitam). Merupakan refleksi dari sebuah harapan. Walaupun langit malam tiada bulan, masih ada bintang sebagai penerang. Selalu ada kemudahan di setiap kesulitan. Sekecil apa pun kesempatan, ia tetap bernama kesempatan,‖ begitu ujar Winarso Kalinggo melukiskan harapan Ratu pembuat truntum. Jikalau kita melihat motif semen, tentu yang terbenak adalah tanah. Untuk motif semen ini kebetulan memang lebih nampak bermain dengan warna ketimbang dengan motif. Warna latarnya seperti warna semen atau warna tanah. Mungkin karena itu mengapa motif ini disebut motif semen. Jaman dahulu para pembuat pakaian mengambil bahan baku seadanya. Di mana lagi kalau bukan dari alam. Sehingga kita dapat melihat bahwa motif atau gambarnya tetap makhluk hidup seperti tumbuhtumbuhan dan hewan. Namun yang membedakannya dengan motif lain adalah warna latarnya yang selalu berwarna krem atau kuning kecoklatan untuk mewakili warna tanah atau semen tersebut. Simpulan Melalui penelitian kali ini Pierce membantu menyampaikan fenomena yang ada dari batik itu sendiri, karena batik memiliki sejarah dalam bentuk mitos sedangkan Barthes memberikan pemahaman rasional daripada mitos yang masih irasional. Dengan demikian motif batik pada Jogja identik dengan motif parang yang menandakan moral yang diturunkan generasi demi generasi seperti lereng gunung yang beranjak turun dan aliran ombak yang terus mengalir dan membawa kita pada manfaat moral sebagai identitas dan pemersatu bangsa. Sedangkan 141
ISSN: 2085 1979
Monica Rosalina dan Imelda Martinelli: Pemaknaan Motif Batik Jogja Dan Batik Solo
motif solo terkenal dengan semennya yang memiliki cita nusantara dan kentalnya budaya kerajaan yang mengklasifikasikan masyarakat, sehingga Barthes mengubah fenomena itu menjadi realita bahwa batik saat ini tidak hanya dikenakan oleh keluarga kerajaan tapi juga dibuka untuk umum bahkan disahkan menjadi pakaian nasional. Motif batik untuk itu harus dilestarikan hingga kehidupan selanjutnya dengan kesimpulan bahwa motif tersebut membawa cerita masa lalu dengan pesan moral di dalamnya. Pesan moral tersebut tentu akan berdampak baik bila diwujudnyatakan dan dilestarikan bagi generasi selanjutnya, karena moral yang baik akan membawa bangsa ini pada kemajuan. Daftar Pustaka Bungin, M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Doellah, H.Santosa, 2003, Batik, Dampak Waktu Lingkungan Hidup, Solo; Danar HadI. Elliott, 1984, Inger McCabe. Batik: kain dongeng foto Jawa, Brian Brake; kontribusi, Abdurachman Paramita, Susan Blum, Iwan Tirta, desain, Kiyoshi Kanai. Jakarta: Clarkson N. Potter Inc. Sadjiman, P., 1996, dkk., Serba-Serbi Semiotika, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Van Zoest, 1993, Aart. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya, Yayasan Sumber Agung, Jakarta.
ISSN: 2085 1979
142