BATASAN USIA MINIMAL NIKAH DI NEGARA MUSLIM (Studi Perbandingan Negara Indonesia, Turki, dan Maroko) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh: CEPI JAYA PERMANA NIM. 1112044100075
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438H/2016M
i
PENGESAH
AN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul BATASAN USIA MINIMAL NIKAH DI NEGARA MUSLIM (Studi Perbandingan Negara Indonesia, Turki, dan Maroko), telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10 oktober 2016. Skri (..........................)
ii
NIP. 19790427 ...... 19481020 196612 1 001 uji I
: . H. A. Thola6 BATASAN USIA MINIMAL NIKAH DI NEGARA MUSLIM (Studi Perbandingan Negara Indonesia, Turki, dan Maroko) Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : CEPI JAYA PERMANA NIM 1112044100075
Pembimbing
Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar, MSPD NIP: 19481020 196612 1 001
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438H/2016M
iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan dibawah ini saya:
Nama
: Cepi Jaya Permana
NIM
: 1112044100075
Fakultas
: Syariah dan Hukum
Program Studi
: Hukum Keluarga
Menyatakan dengan sesungguhnya dan sejujurnya, bahwa skripsi saya yang berjudul: ”BATASAN USIA MINIMAL NIKAH DI NEGARA MUSLIM (Studi Perbandingan Negara Indonesia, Turki, dan Maroko)” adalah asli hasil penelitian saya sendiri dan bukan plagiasi hasil karya orang lain.
Bogor, 13 Muharam 1438H 12 Oktober 2016M
iv
ABSTRAK CEPI JAYA PERMANA, NIM : 1112044100075, BATASAN USIA MINIMAL NIKAH DI NEGARA MUSLIM (Studi Perbandingan Negara Indonesia, Turki, dan Maroko). Kosentrasi Peradilan Agama, Program Studi Ahwal Al-Syakhiyyah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016 M/ 1348 H. viii + 94 Persoalan batas usia pernikahan sejatinya menjadi perhatian khusus bagi kita umat muslim di Indonesia, dan umumnya umat Islam di negara lain. Pentingnya mempersiapkan kematangan badan dan jiwa dalam membangun bahtera rumah tangga menuju keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah tidak terlepas dari kematangan umur seseorang yang hendak melangsungkan ikatan perkawinan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an maupun di perjelas oleh Sabda Rasulullah SAW yang tertuang dalam berbagai riwayat Hadist tentang anjuran menikah bagi seseorang yang telah memenuhi usia baligh. Tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mengetahui perbedaan batas usia pernikahan di Indonesia, Turki, dan Maroko, serta faktor yang melatarbelakangi perbedaan tersebut. Disamping itu, sebagai penambah wawasan khasanah ilmu pengetahuan terkait masalah batas usia pernikahan di Dunia Islam Kontemporer, terutama sebagai pembanding negara Indonesia yaitu Turki dan Maroko. Terkait metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Penelitian Kualitatif, dengan jenis Penelitian Kepustakaan, dan dengan menggunakan pendekatan metode Analisis Perbandingan. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah: Data Primer yang diambil dari Al-Qur’an, Kitab-kitab Fikih, dan UU, dan data sekunder yaitu berasal dari Buku Referensi terkait, Jurnal, Karya Ilmiah, dan Hasil Penelitian Terdahulu. Kemudian data tersebut dianalisis dengan metode analisis perbandingan. Hasil dari kajian penulis menunjukan bahwa, batas usia pernikahan di Indonesia, Turki, dan Maroko memiliki barometer yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan setiap negara memiliki tuntutan dan kebutuhan yang berbeda seiring berkembangnya zaman. Namun, dari polemik yang ada menyangkut batas usia perkawinan setiap negara memiliki cara masing-masing dalam menyikapinya, dari mulai memberlakukan peraturan yang bersifat baku hingga bersifat fleksibel. Kata Kunci
: Batasan Usia Minimal Nikah di Negara Muslim (Perbandingan Negara Indonesia, Turki, dan Maroko)
Pembimbing
: Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar, MSPD
Daftar Pustaka : Tahun 1969 s.d Tahun 2015
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Illahi Robbi Allah S.W.T Tuhan semesta alam. Yang mana telah memberikan nikmatnya tidak ada batasan. Tidak ada kuasa dan kehendak melainkan hanya Allah yang mampu menggerakan semua mahluk. Dan tidak ada kata untuk_Nya melainkan hanya puji dan rasa syukur kita kepada Allah sebagai bentuk pengabdian kita sebagai mahluk, oleh karena nya kita tidak pantas untuk tidak mematuhi segala apa yang di perintahkan_Nya, serta sebisa mungkin untuk menjauhi apa yang menjadi larangan_Nya. Kepadanya pula hamba memohon pertolongan dan perlindungan, sehingga dalam penulisan karya tulis ilmiah ini dapat di selesaikan dengan baik. Sholawat serta salam tak luput kita panjatkan kepada junjungan alam, Ashabu Syafa’at, yang mana dalam kehidupannya selalu membawa kedamaian bagi umat manusia karena sikap yang baik namun tegas jika ada kemaksiatan. Semoga sholawat serta salamnya dapat mengantarkan hamba menuju gerbang Pengadilan yang sesungguhnya. Tidak lupa juga, penulis sampaikan rasa terimakasih kepada orang-orang yang turut membantu serta mendoakan penulis dalam penulisan skripsi ini, kepada yang terhormat : 1. Ucapan terimakasih yang mendalam kepada kedua orang tua tercinta, ibunda Hj. Umiasih dan ayahanda H. Mahrod Makbuloh yang selalu memberikan nasihat, motivasi, serta doanya dengan tulus. Semoga apa yang telah beliau berikan di balas oleh Allah S.W.T yang jauh lebih baik dan perlindungan semoga selalu dihaturkan untuk beliau berdua; 2. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga, Bapak Arip Furqon, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga; 4. Prof. Dr. H. M. Atho’ Muzdhar, MSPD sebagai dosen pembimbing, semoga apa yang telah bapak berikan bermanfaat bagi penulis dan dibalas dengan kebaikan yang berlipat; 5. Sri Hidayati, M.Ag, Dosen Penasehat Akademik, Dr. Azizah, M.A, Dosen Pembimbing Kuliah Kerja Nyata (KKN) 6. Staf Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memfasilitasi guna mencari referensi-referensi dalam penulisan skripsi; 7. Teruntuk keluarga besarku sebagai motivasi tertinggi, kakak-kakakku: Susi Dewiyanti, S.Kep dan Anijam Arif, S.T, Yudi Cahyadi, S.T dan Raden Romlah Mulyana, S.E, Nina Melyana, S.Pd dan Bambang Eka Pristianto, S.T, Cindy Pratiwi, S.PdI dan Badru Salam, S.S, Adiku: Jahrotul Inayah,
vi
Keponakan tercinta: Vanya Faby Maharani, M. Reivan Pristianto, Fauziyah Asyadi Muldi, Aufa Azaikra, Samara Asrofa, Firaz Al-zufar, Averros Manggala Alkalifi. 8. Teman-teman seperjuangan, Ahmad Fauzi, Malik Shofi Zaenuddin, Atiqoh Fathiyah, Miqdad Rikanie, Indira Awaliyah, Sarifah Nurfadilah, Siti Hannah, dkk kelas Peradilan Agama B angkatan 2012, yang selalu memberikan bantuan dan motivasi, semoga sukses selalu; 9. Teman-teman KKN MISAKI yang telah saling memberikan motivasi dan dukungan: Miqdad, Izhar, Adit, Raka, Arif, Luhtfi, Wisnu, Ihsan, Evia, Icha, Hanifah, Rere, Ocha, Puty dan dede. 10. Para Senior dan teman-teman Keluarga Besar Islamic Family Law, Peradilan Agama (PA) yang memberikan saran dan motivasi dalam penulisan skripsi; 11. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Kepala Sekolah, rekan guru, staff tata usaha dan laksana, serta murid SMA Negeri 2 Gunung Putri yang selalu memberikan support. 12. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan kepada penulis baik secara moral dan materiil. Akhirnya, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatunya, semoga do’a dan harapan kita semua dapat dikabulkan oleh Allah SWT, Aamiin Allahuma Amiin.. Ciputat, 1 September 2016 Penulis
Cepi Jaya Permana
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .....................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ..........................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv ABSTRAK ..................................................................................................... v KATA PENGANTAR ...................................................................................
vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii BAB I :
BAB II :
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B.
Identifikasi Masalah .......................................................
C.
Perumusan Masalah ........................................................ 4
D.
Pembatasan Masalah ......................................................
E.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................... 5
F.
Signifikansi Penelitian .................................................... 6
G.
Metodelogi Penelitian ....................................................
H.
Kajian (Review) Studi Terdahulu ................................... 9
I.
Sistematika Penulisan ..................................................... 10
5
6
BATAS USIA MINIMAL KAWIN DALAM KITAB-KITAB FIKIH A.
Pengertian Usia Kawin dalam Fiqih ............................... 12
B.
Batas Usia Minimal Kawin Menurut Pandangan Imam Madzhab .........................................................................
BAB III :
4
15
SEJARAH PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA DI NEGARA INDONESIA, TURKI, DAN MAROKO A.
Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia ........................... 23 1. Sejarah Islam Negara Indonesia ................................
viii
23
B.
2. Pembentukan Hukum Keluarga Islam Indonesia ......
27
Sejarah Hukum Keluarga di Turki .................................
36
1. Sejarah Islam Negara Turki ....................................... 36 2. Pembentukan Hukum Keluarga Islam Turki ............. 36 C.
Sejarah Hukum Keluarga di Maroko............................... 45 1. Sejarah Islam Negara Maroko ................................... 45 2. Pembentukan Hukum Keluarga Islam Maroko .........
BAB IV :
ANALISIS
PERBANDINGAN
VERTIKAL
48
DAN
HORIZONTAL BATASAN USIA MINIMAL KAWIN DI INDONESIA, TURKI, DAN MAROKO
A.
Perbandingan Vertikal .................................................... 52 -
Aturan Hukum di Negara Indonesia, Turki, dan Maroko dengan Kitab Fikih .....................................
B.
52
Perbandingan Horizontal ................................................ 63 -
Perbandingan
Aturan
Hukum
antara
Negara
Indonesia, Turki, dan Maroko .................................. 63 C. BAB V :
Analisis Perbandingan .................................................... 80
PENUTUP A.
Kesimpulan ..................................................................... 84
B.
Saran ............................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
ix
87
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tahir Mahmood membagi penerapan hukum keluarga pada negaranegara (berpenduduk) Muslim menjadi tiga bentuk: pertama negara yang menerapkan hukum keluarga secara tradisional yang banyak terdapat di teritorial jazirah Arab dan beberapa negara Afrika yaitu Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritania, Nigeria, Sinegal, Somalia dan lain-lain. Kedua yaitu negara yang menerapkan hukum sekularis, dalam kategori ini seperti halnya negara Turki, Albania, Tanzania, minoritas Muslim Philipina dan Uni Soviet. Negara ini berpenduduk mayoritas Muslim, tetapi mengganti hukum keluarga dengan hukum yang bersumber dari Eropa (Turki dan Swiss), atau negara dengan penduduk minoritas Muslim tapi harus tunduk pada aturan hukum negaranya. Ketiga adalah negara yang menerapkan hukum keluarga yang di perbaharui seperti Indonesia, Jordania, Malaysia, Brunei, Singapore, dan lain-lain.1 Turki dan Indonesia merupakan dua negara yang secara geografis terletak di benua yang sama. Namun Muslim Turki bermadzhab Hanafi, sedangkan Muslim Indonesia bermadzhab Syafi’i. Turki berada di benua Asia bagian Barat sedangkan Indonesia berada di benua Asia Tenggara. Berbeda halnya dengan Turki dan Indonesia yang terletak di benua yang
1
Tahir Mahmood, Family Law Reform In the Muslim World, (New Delhi: The Indian Law Institute, 1972), h. 20.
2
sama, Maroko adalah sebuah negara kerajaan yang terletak di bagian barat-laut Afrika. Penduduk asli Maroko adalah Berber, yaitu masyarakat kulit putih dari Afrika Utara. Mereka penganut agama Islam bermadzhab Maliki. Bahasa yang di miliki dan yang menjadi bahasa kebudayaan mereka yaitu bahasa Arab.1 Berdasarkan data sensus pertengahan tahun 1991, jumlah penduduk Maroko adalah sekitar 27 juta jiwa dan lebih dari 99% adalah Muslim Sunni. Penganut agama Yahudi hanya kira-kira berjumlah kurang dari 8000 orang yang sebagian besar bertempat di Casablanca dan kotakota di pesisir.2 Adapun Indonesia merupakan negara mayoritas Muslim yang menganut madzhab Syafi’i. Dalam konstitusi demikian menarik untuk di kaji adalah dalam pembentukan UU atau hukum keluarga islam ketiga negara tersebut, khususnya dalam mengatur batasan usia perkawinan dan implikasinya terhadap masalah dispensasi nikah. Tahir Mahmood menjelaskan bahwa dalam Undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendak melangsungkan pernikahan adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.3Dalam kasus tertentu pengadilan dapat mengijinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan. Hal ini menjadi unik karena patokan umur tetap menjadi hal utama, berbeda dengan negara Islam atau 1
Cammak, Mark. ”Hukum Islam dalam Politik Hukum Orde Baru” dalam Sudirman Tebba (editor), Perkembangan Hukum Islam di Asia Tenggara Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, (Bandung: Mizan, 1993), h. 27-54. 2 M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern dan Kitab-Kitab Fikih, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.97. 3 Tahir Mahmood, Family Law Reform In the Muslim World, h.22.
3
mayoritas Muslim lainnya dimana dengan putusan pengadilan dapat memberikan dispensasi nikah dengan syarat keutamaan telah memasuki masa baligh bagi kedua calon mempelai sebagaimana dalam fikih.1 Indonesia termasuk negara yang cukup menoleransi perkawinan muda. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan negara-negara lain dalam pembatasan usia nikah. Negara yang menerapkan usia 21 bagi laki-laki adalah Aljazair dan Bangladesh, serta 18 tahun bagi perempuan. Sementara Tunisia sama dengan Indonesia 19 tahun bagi laki-laki, hanya saja Tunisia membatasi 17 tahun untuk perempuan. Yang cukup banyak adalah usia 18 tahun bagi laki-laki, yaitu Mesir, Irak, Lebanon, libya, Maroko, Pakistan, Somalia, Yaman Selatan dan Suriah. Sisanya adalah di bawah 18 tahun, yakni Turki yang mematok umur 17 tahun untuk lakilaki, Yordania 17 tahun, dan yang paling rendah adalah Yaman Utara 15 tahun bagi perempuan.2 Islam sejatinya tidak pernah melarang perkawinan antara orang tua dengan anak-anak. Hanya saja, perkawinan dalam Islam sendiri dimaksudkan agar tercipta ketenangan jiwa dan kebahagiaan, hal mana sepenuhnya diserahkan kepada orang tua mereka terkait dengan perempuan yang belum dewasa. Pertimbangan orang tualah yang akan menentukan arah masa depan sang anak, namun demikian, menurut alSiba’i, al-Qulyubi pernah berpendapat bahwa boleh saja orang tua
1
Dedi, Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, (Bandung: Pustaka setia, 2011), h. 57. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), h.270. 2
4
menikahkan anaknya dengan orang tua atau orang buta, tetapi hukumnya haram.1
B. Identifikasi Masalah Dari latarbelakang masalah diatas, penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1. Apakah yang mendasari perbedaan batasan usia pernikahan di negara Indonesia, Turki, dan Maroko? 2. Adakah hubungan dari perbedaan batasan usia nikah di negara Indonesia, Turki, dan Maroko? 3. Bagaimana pengaruh atau dampak penetapan batasan usia pernikahan di masing-masing negara tersebut?
C. Perumusan Masalah Adapun yang di jadikan rumusan masalah dalam perbandingan batasan usia kawin di tiga negara tersebut di atas adalah: 1. Bagaimana persamaan dan perbedaan ketentuan batas usia minimal kawin di Negara Indonesia, Turki, Maroko dan apa dasar pertimbangan penetapan tersebut baik dari segi argumen ushul fiqih maupun sosial dan budaya? 2. Bagaimana ketentuan batas usia minimal kawin di negara Indonesia, Turki, Maroko yang mengacu atau beranjak dari pendapat madzhabmadzhab? 1
Musthafa al-Siba’i, Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan. Penerjemah Chadijah Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.89.
5
D. Pembatasan Masalah Untuk mempermudah penelitian sehingga tidak keluar dari pembahasan, maka kajian penelitian ini hanya terbatas pada perbandingan batasan usia kawin terhadap pandangan kitab-kitab fiqih dan undangundang di Negara Indonesia, Turki, dan Maroko.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : a. Memberikan penjelasan kepada pembaca maupun peneliti di masa yang akan datang tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab perbedaan penetapan batasan usia nikah di negara Indonesia, Turki, dan Maroko. b. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh madzhab terhadap penetapan usia nikah di negara Indonesia, Turki, dan Maroko. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : a. Memberikan kontribusi positif terhadap wawasan keilmuan pembaca pada umumnya dan mahasiswa UIN Jakarta khususnya. b. Dengan selesainya penelitian ini, diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai bahan penelitian di kemudian hari.
6
F. Signifikansi Penelitian Penelitian ini penting dilakukan mengingat masih banyaknya hukum-hukum di dunia Islam yang memiliki dampak kontradiktif terhadap realita sesungguhnya di masyarakat. Khususnya terhadap pembahasan penelitian yaitu mengenai batasan usia nikah dengan konsekuensi adanya dispensasi nikah bagi calon mempelai yang tidak mencukupi umur pernikahan. Setiap negara memiliki kebijakan berbeda-beda yang juga menimbulkan dampak berbeda pula terhadap kehidupan rakyatnya masingmasing, sehingga hal tersebut perlu adanya pengkajian secara mendalam demi memberikan penjelasan dengan di dasari pembuktian yang ilmiah.
G. Metodelogi Penelitian A. Metode Penelitian Kualitatif Adapun metodelogi penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan (Library Research).
Hal
ini
sesuai
dengan
tujuan
bahasan
ialah
membandingkan undang-undang yang merupakan bentuk dari hasil pengkodifikasian serangkaian aturan sehingga menjadi sebuah buku pedoman suatu negara. Juga dengan tambahan menggunakan metode penelitian
historis
dengan
maksud
menguji
hipotesis
atau
membandingkan hasil studi kepustakaan dengan dugaan adanya
7
kesamaan sejarah antar satu negara yang mengalami hemogoni oleh penjajah.1 Pengumpulan data: kegiatan pengumpulan data selalu harus dilakukan sendiri oleh peneliti.2 Adapun tekhnik pengumpulan data dari penelitian kepustakaan maupun historis ini diperoleh melalui AlQur’an dan Hadits, Kitab-kitab Fikih, Undang-undang, catatan-catatan artifak, Journal, E-Book, Buku referensi terkait atau laporan-laporan verbal. B. Pengumpulan Data Penentuan metode pengumpulan data tergantung pada jenis dan sumber data yang di perlukan. Pada umumnya pengumpulan data dapat dilakukan dengan beberapa metode, baik yang bersifat alternatif maupun kumulatif yang saling melengkapi.3 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan dokumentasi yang bersifat tertulis terutama buku-buku yang terkait dengan penelitian tersebut ataupun data tertulis lainnya yang kemudian dikumpulkan dan dilakukan penelaahan terhadap naskah-naskah tersebut. C. Sumber Data Dalam
melakukan
penelitian
ini,
peneliti
menyusun
berdasarkan sumber data yang terbagi kedalam dua kriteria, yaitu
1
Http:///macam-macampenelitiankualitatif.Subliyanto.comdiakses pada 03 Maret 2016, 12.42.Wib 2 Arikunto Suharsimi, PROSEDUR PENELITIAN SUATU PENDEKATAN PRAKTIK, (Jakarta: PT RINEKA CIPTS, 2006), h.13. 3 Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusun Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi Bidang Agama Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), h.65-66.
8
sumber hukum utama (primer) dan sumber hukum tambahan (sekunder) antara lain: a. Bahan Hukum Primer Dilihat dari segi sumber data, sumber data utama yang di jadikan dasar dalam penelitian ini adalah bersumber dari Kitab-Kitab Fiqih dan Undang-Undang yang di jadikan landasan undangundang ke-3 negara terbahas yaitu Indonesia, Turki dan Maroko. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang merupakan data tambahan.1 Sumber data sekunder yang peneliti gunakan ialah dengan melalui kajian terhadap studi kepustakaan seperti buku karya ilmiah, jurnal, serta kasus-kasus yang berkaitan yang didapat melalui sumber yang akurat. D. Metode Analisis Pada dasarnya analisis data merupakan penguraian data melalui tahapan: kategorisasi dan klasifikasi, perbandingan dan pencarian hubungan antara data yang spesifik. Dalam penelitian ini, pada tahap pertama yang dilakukan adalah seleksi data yang telah dikumpulkan kemudian diklasifikasikan menurut kategori tertentu. Tahap
kedua,
persamaan
dan
perbandingan 1
kemudian perbedaan
vertikal
dilakukan
perbandingan
substansi
(Fikih
dengan
bahasan
unsur-unsur
yaitu:
Undang-undang)
antara dan
Lexy J. Moeleong, METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF,(Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2007), h.6.
9
perbandingan horizontal (antara Undang-undang di masing-masing negara: Indonesia, Turki, dan Maroko).
H. Kajian (Review) Studi Terdahulu 1.1 Daftar beberapa kajian terdahulu yang berkaitan dengan studi dapat disebutkan diantaranya sebagaimana terdapat dalam tabel. No 1
Judul Skripsi/ (Review) terdahulu PEMBATASAN USIA KAWIN DAN PERSETUJUAN CALON MEMPELAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Penyusun: Ramlan Yusuf Rangkuti
2
PENETAPAN UMUR DALAM RANGKA MENCAPAI TUJUAN PERNIKAHAN (Perbandingan Antara UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak) Penyusun: Muhammad Rajab Hasibuan
3
BATAS USIA MINIMAL PERKAWINAN MENURUT FIQIH EMPAT MADZHAB DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 Penyusun: Elly Surya Indah
Fokus Bahasan
Perbandingan yang di teliti Batasan usia nikah Memberikan dalam UU Perkawinan penjelasan secara di Indonesia No. 1 dalam mengenai tahun 1974 dan UU Perkawinan kaitannya dengan di Indonesia dan perwalian bagi 2 negara terbahas perempuan lainnya, serta dispensasi pernikahan bagi kedua atau salah satu calon Menjelaskan mempelai yang idealisme sebuah ingin pernikahan dengan melangsungkan pertimbangan pernikahan tetapi kematangan usia antara UU Perkawinan terbentur dengan dan UU Perlindungan batasan usia pernikahan yang Anak ada dalam konstitusi di setiap Negara masing-masing (Indonesia, Turki dan Maroko) Pandangan empat Menjelaskan madzhab dalam batas usia nikah memberikan pengaruh dalam fiqih terhadap batas usia (termasuk imam nikah serta empat madzhab) korelasinya dengan juga UU No. 1 Tahun 1974 perbandingan terhadap konstitusi yang
10
berlaku di tiga negara terbahas yaitu Indonesia, Turki dan Maroko.
I. Sistematika Penulisan `
Agar dalam penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak
mengambang, penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, dan setiap bab memiliki subbab yang menjadi penjelasan dari masing-masing bab tersebut. Skripsi ini diakhiri dengan kesimpulan hasil penelitian dan saran bagi pembaca. Adapun sistematika penulisan tersebut ialah sebagai berikut : Bab pertama, menyajikan tentang pendahuluan yang merupakan suatu pengantar umum pada tulisan berikutnya yang meliputi : latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan. Bab kedua, adalah tinjauan umum tentang batas usia perkawinan menurut fikih, bab ini menguraikan tentang pengertian usia baligh menurut Imam Madzhab yang dijadikan landasan dalam menentukan batasan usia perkawinan. Uraian dalam penetapan usia baligh menurut Imam Madzhab ini diletakkan dalam bab dua dimaksud untuk dijadikan dasar analisis terhadap dasar penetapan batas usia pernikahan yang disajikan dalam bab empat.
11
Bab ketiga, merupakan pembahasan mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia, Turki, dan Maroko. Serta sejarah pembentukan Hukum Keluarga di setiap negara terbahas. Bab keempat, adalah analisa penulis terhadap Penetapan batas usia pernikahan secara Vertikal (Negara dengan Kitab Fikih). Kemudian analisa penulis tentang perbandingan batas usia pernikahan secara Horizontal (Undang-undang setiap Negara). Bab kelima, merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.
12
BAB II BATAS USIA MINIMAL KAWIN DALAM KITAB-KITAB FIKIH
A. Pengertian Usia Kawin dalam Fikih Jika dilacak dengan menggunakan kata kunci nikah, maka dalam al-Qur‟an akan ditemukan ayat yang berkaitan dengan pernikahan sebanyak 23 ayat. Tapi tidak satupun ayat yang menyebutkan secara jelas tentang batas usia perkawinan, namun jika diteliti lebih lanjut, ayat yang berkaitan dengan kelayakan seseorang untuk menikah ada dua ayat dalam al-Qur‟an, yaitu surat al-Nur ayat 32 dan surat An nisa‟ ayat 61
َّ َٔأَ َْ ِكحُٕا ْاْلَيَب َي ٰى ِي ُْ ُك ْى َٔانصَّبنِ ِحيٍَ ِي ٍْ ِعجَب ِد ُك ْى َٔإِ َيبئِ ُك ْى ۚ إِ ٌْ يَ ُكَُٕٕا فُمَ َشا َء يُ ْغُِ ِٓ ُى ٍْ َّللاُ ِي َّ َٔ ۗ ِّ ِفَضْ ه َّللاُ َٔا ِس ٌع َعهِي ٌى “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur : 32)2
Al-Maraghi sebagaimana dikutip Dedi Supriyadi dan Mustofa menafsiri wassalihin ialah para laki-laki atau perempuan yang mampu untuk menikah dan menjalankan hak-hak suami isteri, seperti berbadan sehat, mempunyai harta dan lain-lain. Quraysh Shihab menafsiri ayat
1
Supriyadi, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009), h. 22-24. 2 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1998), h. 692.
13
tersebut “wassalihin”, yaitu seseorang yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga,3 bukan dalam arti yang taat beragama, karena fungsi perkawinan memerlukan persiapan bukan hanya materi, tetapi juga kesiapan mental maupun spiritual, baik bagi calon lakilaki maupun perempuan. Surat An nisa‟ ayat 6:
بح فَإ ِ ٌْ آََ ْسزُ ْى ِي ُُْٓ ْى ُس ْشذًا فَب ْدفَعُٕا ِإنَ ْي ِٓ ْى أَ ْي َٕانَُٓ ْى َٔ ََل َ َٔا ْثزَهُٕا ْانيَزَب َي ٰى َحزَّ ٰى إِ َرا ثَهَ ُغٕا انُِّ َك ْ ِرَأْ ُكهَُْٕب إِس َْشافًب َٔثِذَاسًا أَ ٌْ يَ ْكجَشُٔا َٔ َي ٍْ َكبٌَ َغُِيًّب فَ ْهيَ ْسزَ ْعف ْف َٔ َي ٍْ َكبٌَ فَمِيشًا فَ ْهيَأْ ُكم َّ ُِٔف فَإ ِ َرا َدفَ ْعزُ ْى إِنَ ْي ِٓ ْى أَ ْي َٕانَُٓ ْى فَأ َ ْش ِٓ ُذٔا َعهَ ْي ِٓ ْى َٔ َكفَ ٰى ث ﴾٦:بَّللِ َح ِسيجًب ﴿انُسبء ِ ثِ ْبن ًَ ْعش “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (diantara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”4 Dalam tafsir al-misbah, makna kata dasar rusdhan adalah ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini lahir kata rushd yang bagi manusia adalah kesempurnaan akal dan jiwa yang menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin.5 Al-Maraghi menafsirkan dewasa (rusdhan), sedangkan yang dimaksud balighu al-nikah ialah jika umur
3
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, jilid IX (Jakarta: Lentera Hati, cet IV 2005) , h.
335. 4
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, h.143. M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah,h. 336.
5
14
telah siap untuk menikah.6 Menurut Rasyid Ridha sebagaimana dikutip Dedi Supriyadi dan Mustofa, kalimat balighu al-nikah menunjukan bahwa usia seseorang untuk nikah, yakni sampai bermimpi dan haid. Pada umur ini seseorang telah bisa memberikan keturunan dan melahirkan sehingga tergerak hatinya untuk menikah.7 Berdasarkan penafsiran kedua ayat di atas, menunjukan bahwa kedewasaan dapat ditentukan dengan mimpi dan rusdhan, akan tetapi rusdhan dan umur kadang-kadang tidak sama dan sukar ditentukan. Hal ini dapat dibuktikan dalam perbuatan sehari-hari, karena itu kedewasaan pada dasarnya dapat di tentukan dengan umur dan dapat pula dengan tanda-tanda. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ali (bin Abi Thaalib) ‟alaihis-salaam, dari Nabi shallallaahu „alaihi wasallam, beliau bersabda :
ٌُٕسفع انمهى عٍ ثالثخ عٍ انُبئى حزى يسزيمظ ٔعٍ انصجي حزى يحزهى ٔعٍ انًج حزى يعمم ”Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang, yaitu : orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” [HR. Abu Dawud no. 4403 dan At-Tirmidzi no. 1423; shahih].8
Berdasarkan hadits di atas, ciri utama baligh adalah dengan tandatanda seperti mimpi bagi anak laki-laki, dan haid bagi perempuan. Hadits
6
Supriyadi, Dedi dan Mustofa, PerbandinganHukum Perkawinan di Dunia Islam, h. 62. Supriyadi, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, h. 63. 8 Muhammad bin Kamal Khalid As-Suyuthi, KUMPULAN HADITS YANG DISEPAKATI 4 IMAM (Abu Daud, Tirmidzi, Nasa‟i dan Ibnu Majah), (Bandung: Pustaka Azzam, 2009), h. 256. 7
15
ini tidak mengisyaratkan tentang batas usia baligh. Hanya menjelaskan tentang tanda-tanda baligh (alamatu al-baligh).
B. Batas Usia Minimal Kawin Menurut Pandangan Imam Madzhab Tentang hal baligh Para Ulama Madzhab sepakat bahwa haidh dan hamil merupakan bukti ke-baligh-an seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haidh kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-laki.9 Imam Maliki, Syafi’i dan Ahmad Bin Hambal mengatakan: tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti baligh-nya seseorang, begitu juga Imamiyah. Sedangkan Imam Abu Hanifa menolaknya, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Begitupula menurut Murtadha Muthahari (Ulama asal Iran) sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa masa baligh/dewasa adalah ketika bulu rambut wajah (cambang) dan dagu (jenggot) serta bulu dada pemuda mulai tumbuh. Pertumbuhan bulu rambut ini demikian juga “pecah”nya suara. Sedangkan, pada masa itu, jari-jari perempuan memperoleh kelembutan, pinggulnya mulai membesar. Demikian juga muncul penonjolan yang jelas pada dadanya sebagai persiapan melaksanakan fungsi penyusuan anak.10
9
Muhammad Jawad Mughniyah, FIQIH LIMA MADZHAB, (Jakarta: Lentera, 2006), h.317-318. 10 M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005),h.14-15.
16
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Bin Hambal menyatakan: usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah lima belas tahun, sedangkan Imam Maliki menetapkannya tujuh belas tahun. Sementara itu Imam Abu Hanifa menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah delapan belas tahun, sedangkan anak perempuan tujuh belas tahun.11 Adapun Imamiyah, maka madzhab ini menetapkan usia baligh anak laki-laki adalah lima belas tahun, sedangkan anak perempuan sembilan tahun, berdasarkan hadits Ibnu Sinan berikut ini:
َبٔأَلِ ْي ًَ ْزبن ُح ُذْٔ دَانزَّب َيخَ ََلَ َٔ َعهَ ْيَٓب َ ِإِ َراثَهَ َغز َ ْبسيَخُرِ ْس َع ِسُِ َذفَ َعإِنَ ْيَٓب َي َبَلَ َٔ َجبصَ أَ َي َش ِ بنج “Apabila anak perempuan telah mencapai usia sembilan tahun, maka hartanya diserahkan kepadanya, urusannya dipandang boleh, dan hukum pidana dilakukan atas haknya dan terhadap dirinya secara penuh.”12
Pendapat Imam Abu Hanifa dalam hal usia baligh di atas adalah batas usia maksimal, sedangkan usia minimalnya adalah dua belas untuk anak laki-laki, dan sembilan tahun untuk anak perempuan. Sebab pada usia tersebut seorang anak laki-laki dapat mimpi mengeluarkan sperma, menghamili atau mengeluarkan mani (di luar mimpi), sedang pada anak perempuan dapat mimpi keluar sperma, hamil, atau haidh.13 Ketentuan baligh maupun dewasa tersebut, menurut sebagian fuqaha‟, bukanlah persoalan yang di jadikan pertimbangan boleh tidaknya seseorang untuk melaksanakan perkawinan, akan tetapi Imam Abu 11
Muhammad Jawad Mughniyah, FIQIH LIMA MADZHAB, h. 318. Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana Pranata Media Group, 2003), h. 56-57. 13 Supriyadi, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, h. 27. 12
17
Hanifa, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa ayah boleh mengawinkan anak perempuan kecilnya yang masih perawan (belum baligh), demikian juga neneknya apabila ayah tersebut tidak ada. Hanya Ibn Hazm dan Shubrumah berpendapat bahwa ayah tidak boleh mengawinkan anak perempuan yang masih kecil kecuali ia sudah dewasa dan mendapat izin dari padanya.14 Secara historis tentang batasan usia perkawinan dicontohkan oleh pernikahan Nabi Saw, dengan „Aisyah yang berusia 9 tahun dan 15 tahun. Batasan usia 9 tahun sebagaimana hadits yang diriwayatkan Muslim berbunyi:
حذثُب يحيى ثٍ يحيى ٔ اسحك ٔ اثشاْيى ٔ اثٕ ثكش ٔ اثٕ كشيت لبل يحيى ٔ اسحك أخجشَب ٔ لبل اآلخشاٌ حذثُب اثٕ يعبٔيخ عٍ اْلعًش عٍ اْلسٕد عٍ عبئشخ لبنذ رضٔجٓب سسٕل َّللا صهى َّللا عهيّ ٔ سهى ٔ ْي ثُذ سذ ٔ ثُى ثٓب ٔ ْي ثُذ رسع )ٔ يبد عُٓب ٔ ْي ثُذ ثًبٌ عششح (سٔاِ يسهى “Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Karib. Yahya dan Ishaq telah berkata : Telah menceritakan kepada kami dan berkata al Akhrani : Telah menceritakan kepadaku Abu Mu‟awiyah dari al A‟masyi dari al Aswad dari „Aisyah ra. berkata : Rasulullah SAW mengawiniku pada saat usiaku 6 tahun dan hidup bersama saya pada usiaku 9 tahun dan beliau wafat saat usiaku 18 tahun (HR. Muslim)15
Sedangkan batasan 15 tahun sebagaimana riwayat Ibnu Umar yang berbunyi:
14
Supriyadi, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam. h. 29. Husain Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Jilid 1, (Jakarta: Dar Ihya‟ al-Kutub alArabiyah, T.t), h.595. 15
18
ٔأَب اثٍ أسثع عششح.عشضُي سسٕل َّللا صهى َّللا عهيّ ٔسهى يٕو أحذ في انمزبل . فأجبصَي. ٔأَب اثٍ خًس عششح سُخ، ٔعشضُي يٕو انخُذق. فهى يجضَي.سُخ . فحذثزّ ْزا انحذيث. ْٕٔ يٕيئز خهيفخ، فمذيذ عهى عًش ثٍ عجذانعضيض:لبل َبفع ٍ فكزت إنى عًبنّ أٌ يفشضٕا نًٍ كبٌ اث. إٌ ْزا نحذ ثيٍ انصغيش ٔانكجيش:فمبل . ٔيٍ كبٌ دٌٔ رنك فبجعهِٕ في انعيبل.خًس عششح سُخ ”Rasulullah shallallaahu ‟alaihi wa sallam menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai lima belas tahun. Beliau pun memperbolehkanku”.
Naafi‟ berkata : ”Aku datang kepada ‟Umar bin ‟Abdil-‟Aziz yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, lalu aku beri tahu tentang hadits tersebut. Kemudia ia berkata : ‟Sungguh ini adalah batasan antara kecil dan besar‟. Maka ‟Umar menugaskan kepada para pegawainya untuk mewajibkan bertempur kepada orang yang telah berusia lima belas tahun, sedangkan usia di bawahnya mereka tugasi untuk mengurus keluarga orang-orang yang ikut berperang” [HR. Al-Bukhari no. 2664, Muslim no. 1868, Ibnu Hibban no. 4727-4728, dan yang lainnya].16
Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat. Orang yang sudah berkeinginan untuk menikah dan khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina, sangat dianjurkan untuk melaksanakan nikah. Yang demikian adalah lebih utama daripada haji,
16
Husain Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Jilid 1, No. 1868. h. 596.
19
shalat, jihad dan puasa sunnah. Demikian keutamaan menikah menurut kesepakatan Para Imam Madzhab.17 Apabila ada orang yang ingin sekali menikah, tetapi tidak mampu mengadakan ongkos-ongkosnya, seperti mas kawin dan sebagainya, maka yang lebih utama dari orang ini adalah tidak usah menikah, tetapi hendaklah ia melemahkan syahwatnya dengan berpuasa.18 Batasan usia pernikahan tidaklah menjadi penting menurut Para Imam Madzhab ketika orang yang sudah sangat berkeinginan untuk menikah dan mempunyai persiapan mustahab untuk melaksanakan nikah. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Ahmad Bin Hambal berpendapat: Orang yang sangat berkeinginan untuk menikah dan khawatir berbuat zina wajib menikah. Ada pun, menurut pendapat Abu Hanifa: Dalam keadaan apa pun nikah adalah mustahab, dan menikah lebih utama daripada tidak menikah untuk beribadah, karena menikah merupakan anjuran langsung dari Rasulullah Saw, sebagaimana hadist riwayat „Alqamah r.a. dan Abdullah bin Mas‟ud yang berbunyi:19
ُ َبسس !ة َ ََُع ُْ َع ْج ِذاَنهَّ ِٓ ْجُِ ًَ ْسعُٕ ٍدسضيبنهٓعُٓمَبنَه ِ َُٕلَنهَّ ِٓصهىبنهٓعهيٕٓسهى ( يَب َي ْع َش َشاَن َّشجَب ْ َ ْ َٔأَح, ص ِش ,ج َ َ فَإََُِّٓأَغَضُّ هِ ْهج, َْيُِب ْسزَطَب َع ًِ ُْ ُك ًُب َ ْنجَب َءحَفَ ْهيَزَ َض َّٔج ِ ْصُُهِهفَش ِّ َٔ َي ُْهَ ًْيَ ْسز َِط ْعفَ َعهَ ْي ِٓجِبنصَّْٕ ِو ; فَإََُِّٓهَٓ ُِٕ َجب ٌء ) ُيزَّفَمٌ َعهَ ْي
17
Syaikh al-„Allamah Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqî, FIQIH EMPAT MADZHAB, (Bandung: Hasyimi, 2014), h.318. 18 Imam Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad Alhusaini, Khifayatul Al-Akhyar,(Surabaya: CV. BINA IMAN, 2007), h.80. 19 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, (Solo: AT-TIBYAN, 2009), h.433.
20
“Ia berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Wahai para pemuda! Barangsiapa yang sudah mempunyai kesanggupan menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena menikah itu lebih menundukan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Namun barang siapa yang belum sanggup, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu akan menjadi periasi baginya.” (Muttafaq „Alaihi).20
Hadits lain juga yang dijadikan landasan untuk menyegerakan menikah di riwayatkan dari Anas bin Malik yang berbunyi:
َٔ .ُ َلَ اَرَ َض َّٔج:ضُٓ ْى ُ بل ثَ ْع َ َة انَُّجِ ِّي صهى َّللا عهيّ ٔسهى ل ِ س اَ ٌَّ ََفَشًا ِي ٍْ اَصْ َحب ٍ َََع ٍَْ ا ي صهى ُ بل ثَ ْع ُ بل ثَ ْع َ َ َٔ ل.صهِّى َٔ َلَ اَََب ُو َ ُ ا:ضُٓ ْى َ َل َّ ِ فَجَهَ َغ رنِكَ انَُّج،ُ اَصُْٕ ُو َٔ َلَ اُ ْف ِطش:ضُٓ ْى صهِّى َٔ اَََب ُو َ ُ ن ِكُّى اَصُْٕ ُو َٔ اُ ْف ِط ُش َٔ ا. َيب ثَب ُل اَ ْل َٕ ٍاو لَبنُْٕ ا َك َزا َٔ َك َزا:بل َ ََّللا عهيّ ٔسهى فَم ْس ِيُّى َ ت ع ٍَْ ُسَُّزِى فَهَي َ فَ ًَ ٍْ َس ِغ،َٔ اَرَضَ َّٔ ُج انُّ َسب َء Dan dari Anas, bahwasanya ada sebagian shahabat Nabi SAW yang berkata, “Aku tidak akan kawin”. Sebagian lagi berkata, “Aku akan shalat terus-menerus dan tidak akan tidur”. Dan sebagian lagi berkata, “Aku akan berpuasa terus-menerus”. Kemudian hal itu sampai kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, “Bagaimanakah keadaan kaum itu, mereka mengatakan demikian dan demikian ?. Padahal aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, dan akupun mengawini wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, bukanlah dari golonganku”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]21
Terhadap anak perempuan yang berusia 9 tahun, maka terdapat dua pendapat. Pertama, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi‟i mengatakan bahwa anak perempuan yang berusia 9 tahun hukumnya sama seperti anak berusia 8 tahun sehingga dianggap belum baligh. Kedua, ia 20
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, h. 433-434. Husain Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Jilid 1, h. 590.
21
21
dianggap telah baligh karena telah memungkinkan untuk haid sehingga diperbolehkan melangsungkan perkawinan meskipun tidak ada hak khiyar baginya sebagaimana dimiliki oleh wanita dewasa.22 Tentang hukum melakukan perkawinan erat kaitannya batasan usia dengan hukum-hukum syara, Ibnu Rusyd sebagaimana dikutip Abdul Rahman Ghozali menjelaskan:23 Segolongan fuqaha‟, yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhkhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan lainnya. Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum taklif yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnat (mandub) dan adakalanya mubah. Ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, di samping ada yang sunnat, wajib, haram dan yang makruh.24 Mengingat perkawinan merupakan akad/perjanjian yang sangat kuat (miitsaqan ghalizan) yang menuntut setiap orang yang terikat di
22
Husain Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Jilid 1, h. 595. Abdul Rahman Ghozali, FIQH MUNAKAHAT, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2015), h.16. 24 Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Jilid 7, (Mesir: Dar al-Irsyad, t.th), h. 4. 23
22
dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing dengan penuh keadilan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan.25 Perkawinan sebagai salah satu bentuk pembebanan hukum tidak cukup hanya dengan mensyaratkan baligh (cukup umur) saja. Pembebanan hukum (taklif) didasarkan pada akal (aqil, mumayyiz), baligh (cukup umur) dan pemahaman. Maksudnya seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik terhadap taklif yang ditujukan kepadanya.26 Jadi penulis lebih sepakat bahwa syarat calon mempelai adalah mukallaf.27 Pada dasarnya, Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan dapat di pahami memberi kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. AlQur‟an mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu, tapi ada tanda-tanda jasmaniah dan psikologis seperti haid dan mimpi.
25
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan (Membina Keluarga Sakinah Menurut Al Qur‟an Dan As Sunnah), (Jakarta: Akademika Pressindo, Cet. III, 2003), h.1. 26 Ali Imron, Kecakapan Bertindak dalam Hukum (Studi Komparatif Hukum Islam dengan Hukum Positif di Indonesia), (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007), h.3. 27 Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Mukallaf diindikasikan dengan cukup umur (baligh), berakal dan memahami taklif yang dibebankan kepadanya. Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 334 dan 336.
23
BAB III SEJARAH PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA DI NEGARA INDONESIA, TURKI, DAN MAROKO
A. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia 1. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia Kedatangan
Islam
di
berbagai
daerah
Indonesia
tidaklah
bersamaan. Demikian pula kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya mempunyai situasi politik dan sosial maupun budaya yang berlainan. Proses masuknya Islam ke Indonesia memunculkan beberapa pendapat. Para tokoh yang mengemukakan pendapat itu diantaranya ada yang langsung mengetahui tentang masuk dan tersebarnya budaya serta ajaran agama Islam di Indonesia, ada pula yang melalui berbagai bentuk penelitian seperti yang dilakukan oleh orang-orang barat (eropa) yang datang ke Indonesia karena tugas atau dipekerjakan oleh pemerintahnya di Indonesia. Tokoh-tokoh itu diantaranya, Marcopolo,1 Muhammad Ghor, Ibnu Bathuthah,2 Dego Lopez de Sequeira, Sir Richard Wainsted.3
1
Kennet W. Morgan menjelaskan bahwa berita yang dapat dipercaya tentang Islam di Indonesia mula-mula sekali adalah dalam berita Marcopolo. Menurut Marcopolo yang ketika itu singgah di Perlak, sebuah kota dipantai utara sumatra, penduduk Perlak pada waktu itu diIslamkan oleh pedagang yang di sebut kaum saracen. (P.A. Hoesain Djadjadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. 119. 2 Ibnu Bathuhthah (1304-1369 M), merupakan pengembara terbesar bangsa Arab yang terakhir. Ia berhasil menyaingi orang besar yang hidup sezamannya, Marcopolo. Pengembaraannya meliputi seluruh dunia Islam. (Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam , (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 232. 3 Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), h. 122.
24
Adapun sumber-sumber pendukung masuknya Islam di Indonesia diantaranya adalah:
a. Berita dari Arab Berita ini diketahui dari pedagang Arab yang melakukan aktivitas perdagangan dengan bangsa Indonesia. Pedagang Arab telah datang ke Indonesia sejak masa kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 M) yang menguasai jalur pelayaran perdagangan di wilayah Indonesia bagian barat termasuk Selat Malaka pada waktu itu. Pendapat ini dikemukakan oleh Crawfurd, Keyzer, Nieman, de Hollander, Syeh Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya yang berjudul Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu dan mayoritas tokoh-tokoh islam di Indonesia seperti Hamka dan Abdullah bin Nuh. Bahkan Hamka menuduh bahwa teori yang mengatakan Islam datang dari India adalah sebagai sebuah bentuk propaganda, bahwa Islam yang datang ke Asia Tenggara itu tidak murni.4 b. Berita Eropa Berita ini datangnya dari Marcopolo tahun 1292 M. Ia adalah orang yang pertama kali menginjakan kakinya di Indonesia, ketika ia kembali dari Cina menuju Eropa melalui jalan laut. Di perjalannya itu ia singgah di Sumatera bagian utara. Di daerah ini ia menemukan adanya kerajaan Islam, yaitu kerajaan Samudera dengan ibu kotanya Pasai.5 Diantara
4
Busman Edyar, dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009),
h.207. 5
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 195.
25
sejarawan yang menganut teori ini adalah C. Snouch Hurgronye, W.F. Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke.6
c. Berita India Berita ini menyebutkan bahwa para pedagang India dari Gujarat mempunyai peranan penting dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia, karena disamping berdagang mereka aktif juga mengajarkan agama dan kebudayaan Islam kepada setiap masyarakat yang dijumpainya, terutama kepada masyarakat yang terletak di daerah pesisir pantai.7 Teori ini lahir selepas tahun 1883 M. dibawa oleh C. Snouch Hurgronye. Pendukung teori ini, diantaranya adalah Dr. Gonda, Van Ronkel, Marrison, R.A. Kern, dan C.A.O. Van Nieuwinhuize.8 d. Berita China Berita ini diketahui melalui catatan dari Ma Huan, seorang penulis yang mengikuti perjalanan Laksamana Cheng-Ho. Ia menyatakan melalui tulisannya bahwa sejak kira-kira-kira tahun 1400 telah ada saudagarsaudagar Islam yang bertempat tinggal di pantai utara Pulai Jawa. T.W. Arnold pun mengatakan para pedagang Arab yang menyebarkan agama Islam di Nusantara, ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijrah atau abad ke-7 dan ke-8 M. Dalam sumber6
Badri Yatim, Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag, 1998), h. 30. Menurut W.F. Stutterheim dalam bukunya “ De Islam en Zijn Komst in the Archipel,” Islam berasal dari Gujarat dengan dasar batu nisan sultan pertama dari kerajaan Samudera Pasai, yakni nisan al-Malik al-Saleh yang wafat pada tahun 1297. Dalam hal ini beliau berpendapat bahwa relif nisan tersebut bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat, h. 23. 8 Dedi Supriyadi., Sejarah Peradab Islam, h. 191. 7
26
sumber Cina disebutkan bahwa pada abad ke-7 M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera (disebut Ta’shih).9 e. Kajian (Seminar Ilmiah) Terdapat sumber-sumber dari dalam negeri yang menerangkan berkembangnya pengaruh Islam di Indonesia. Yakni Penemuan sebuah batu di Leran (Gresik). Batu bersurat itu menggunakan huruf dan bahasa Arab, yang sebagian tulisannya telah rusak. Batu itu memuat tentang meninggalnya seorang perempuan yang bernama Fatimah Binti Maimun (1028). Kedua, Makam Sultan Malikul Saleh di Sumatera Utara yang meninggal pada bulan Ramadhan tahun 676 H atau tahun 1297M. Ketiga, makam Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang wafat tahun 1419M. Jirat makam didatangkan dari Gujarat dan berisi tulisan-tulisan Arab.10 Mengenai masuknya Islam ke Indonesia, ada satu kajian yakni seminar ilmiah yang diselenggarakan pada tahun 1963 di kota Medan, yang menghasilkan hal-hal sebagai berikut: 1. Pertama kali Islam masuk ke Indonesia pada abad 1 H/7 M, langsung dari negeri Arab. 2. Daerah pertama yang dimasuki Islam adalah pesisir sumatera Utara. Setelah itu masyarakat Islam membentuk kerajaan Islam Pertama yaitu Aceh.
9
Busman Edyar, dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam, h. 187. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007), h. 191.
10
27
3. Para da’i yang pertama, mayoritas adalah para pedagang. Pada saat itu dakwah disebarkan secara damai.11 2. Pembentukan Hukum Keluarga di Indonesia Pembentukan hukum keluarga Indonesia terbagi dalam dua masa yaitu
hukum
keluarga
prakemerdekaan
dan
hukum
keluarga
pascakemerdekaan. Hukum keluarga prakemerdekaan dibagi dua yaitu hukum keluarga prapenjajahan (prakolonial), dan hukum keluarga zaman penjajahan (kolonial). Adapun hukum keluarga pascakemerdekaan dibagi dalam tiga yaitu hukum keluarga awal kemeredekaan, hukum keluarga sesudah tahun 1950, dan terbentuknya undang-undang perkawinan baru,12 dalam redaksi yang berbeda Prof. Khoiruddin Nasution membagi dengan sebutan masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.13 Sehingga secara keseluruhan dibagi dalam lima bagian. a. Hukum Keluarga Indonesia Prakolonial Hukum Keluarga Prakolonial juga bisa kita sebut Hukum Keluarga Masa Kerajaan, sebagaimana Ali Sodiqin membagi periode perkembangan Hukum Islam Indonesia dengan menyebut Masa Kerajaan Islam (Abad XII-XVII M).14
11
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam, Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2003), h. 336. 12 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandar Lampung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), h.60-64. 13 Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran: Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: ACAdeMIA & Tazzafa, 2010), h.30-95. 14 Ali Sodikin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, (Yogyakarta: Beranda, 2012), h. 181.
28
Pada masa ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti agama dan budaya masyarakat. Hukum tidak dapat terlepas dari budaya masyarakat dan agama. Jauh sebelum datangnya penjajah dari Eropa, masyarakat Indonesia telah mengenal beberapa macam hukum seperti Hukum adat dan Hukum Islam (pasca datangnya Islam). Hukum adat misalnya, telah dikenal oleh masyarakat jauh sebelum penjajah bahkan Islam datang. Setelah Islam datang terjadi akulturasi budaya lokal dengan ajaran Islam. Sebuah proses yang wajib ketika datang kebudayaan baru. Setelah Islam datang, kemudian terjadi adaptasi serta adopsi ajaran Islam oleh masyarakat adat setempat, sehingga pada perkembangannya ajaran Islam dan budaya lokal menyatu dan tumbuh bersama sehingga melahirkan budaya baru (perpaduan tradisi lokal dan ajaran Islam). Hal ini dapat dibuktikan di beberapa daerah seperti yang terjadi pada masyarakat Minangkabau dengan ungkapan yang terkenal “hukum adat bersendikan syara‟ dan syara‟ bersendikan kitabullah (Al-Qur’an).15 Selain itu, bukti eksistensi Hukum adat dan Hukum Islam sebelum datangnya penjajah hingga datangnya penjajah adalah adanya lembaga peradilan klasik yang terbentuk kala itu, seperti lembaga tahkim, kemudian ahlu al-hall wa al-aqd dalam bentuk peradilan adat, kemudian dalam perkembangannya Peradilan Swapraja (disebut juga Peradilan Serambi atau juga Peradilan Masjid dan sejenisnya) pada masa kerajaan-kerajaan Islam kemudian menjadi Peradilan Agama hingga sekarang. Seperti pada
15
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, h. 57.
29
Kerajaan Mataram Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X menulis secara singkat, bahwa Peradilan Serambi (disingkat PS) telah ada sejak zaman Sultan Agung. Struktur Organisasi PS diketuai oleh Hakim dan dibantu empat orang ulama, yang dinamakan Phatok Nagari. Selain PS ada juga Peradilan Perdata yang disebut Nawala Pradata Dalam. Bukti lebih
lanjut
seperti
adanya
Statuta
Batavia
1642
kemudian
dipergunakannya kitab maharrar dan Pepakem Cirebon16 serta peraturanperaturan lain didaerah lain.17 Hal diatas telah menunjukan pengaruh kuat Islam di Indonesia dalam aspek hukum perdata, terutama dalam bidang hukum perkawinan18 atau kekeluargaan. b. Hukum Keluarga Indonesia Zaman Kolonial Zaman kolonial dimulai dari masuknya kompi-kompi pedagang Eropa ke Indonesia, mulai dari Portugis, Belanda, Inggris, dan ditambah lagi dari Asia yaitu Jepang. Masuknya bangsa Eropa berawal dari kedatangan kompi pedagang Portugis ke Indonesia dengan tujuan memperoleh rempah-rempah untuk di jual di perdagangan internasional. Masuknya Portugis diikuti oleh kompikompi pedagang Belanda dan seterusnya. Masuknya kompi-kompi pedagang ini sangat menentukan nasib bangsa Indonesia dalam 16
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. Dan status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA & Tazzafa, 2009), h.16-20. 17 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, h. 60. 18 Ali Sodikin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, h. 182.
30
perkembangan selanjutnya. Berawal dari masuknya Portugis dan Belanda sangat mempengaruhi konstruksi sosial yang ada, hal ini tidak serta merta diterima oleh penduduk masyarakat setempat buktinya dapat terlihat dari penolakan yang berujung menjadi perlawanan dari penduduk asli. Lambat laun para penjajah (dalam hal ini adalah Belanda) berhasil menduduki Indonesia dan membuat penduduk asli tak berdaya. Awal kedatangan Belanda
ke
Indonesia
hingga
terbentuknya
VOC
tidak
terlalu
mempengaruhi kondisi hukum yang ada. Namun perubahan terjadi ketika daerah jajahan diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Terjadi rekontruksi bidang hukum yang serius. Semula Hukum Islam diterima dan dijadikan dasar hukum secara keseluruhan (receptio in complexu) namun situasi terbalik ketika diambil alih oleh Pemerintah Belanda menjadi berlaku sebagian (hanya yang diresepsi oleh hukum adat atau teori receptio). Kondisi
ini
memberikan keperihatinan bagi
Hukum
Islam
dan
penerapannya. Dalam perkembangan selanjutnya Pemerintah Belanda menerapkan hukum baru bagi negeri jajahan yaitu diterapkannya hukum Barat (termanifestasi dalam BW Hindia-Belanda). Belanda sebagai penjajah terlama memberikan pengaruh yang cukup besar bagi sistem kehidupan masyarakat, termasuk sistem hukum,19 karena secara filosofis dinyatakan bahwa perubahan sosial menghendaki hukum juga berubah sesuai tuntutan perubahan sosial yang terjadi.20 Dalam pemaparan yang lebih dalam dapat diungkap melalui pertikaian 19
Ali Sodikin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia,
20
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, h.59.
h. 188.
31
antara dua teori tentang keberlakuan Hukum Islam di Indonesia, yaitu teori recepti in complexu ini ditandai dari sikap minus (tiada intervensi) penjajah terhadap Hukum Islam, teori ini dikemukakan oleh Lodewejik Willem Christian Van Den Berg (1845-1927). Melalui kantor dagang Belanda (VOC), dikeluarkanlah Resolute de Indishe Regeering yang pemberlakuan hukum waris dan hukum perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer, yang merupakan legislasi Hukum Islam pertama di Indonesia. 21 Sebagai tambahan, pada masa penjajahan Belanda, perkawinan diatur dalam beberapa peraturan menurut golongannya. Pertama, bagi orang-orang Eropa berlaku kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Kedua, bagi orang-orang Tionghoa, secara umum juga brelaku BW dengan sedikit pengecualian, yakni hal-hal yang berhubungan dengan pencatatan jiwa dan acara sebelum perkawinan. Ketiga bagi golongan Arab dan Timur Asing yang bukan Tionghoa berlaku hukum adat mereka. Keempat, bagi orang Indonesia asli berlaku hukum adat mereka, ditambah untuk orang kristen berlaku Undangundang Perkawinan Kristen Jawa dan Ambon (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers Java, Minahasa an Ambonia (HOCI)) berdasarkan
21
Idris Ramulyo, Azas-azas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h.189.
32
stbl. No. 74 Tahun 1993. Kelima, bagi orang yang tidak menggunakan salah satunya berlaku peraturan Perkawinan Campuran.22 c. Hukum Keluarga Awal Kemerdekaan Hingga Berakhirnya Orde Lama Pembagian ini mengkombinasikan pembagian menurut Prof. Abdulkadir Muhammad dan Prof. Khoiruddin Nasution yakni mulai dari awal kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 hingga Tahun 1966 (berakhirnya Orde Lama seiring dengan turunnya Presiden Soekarno). Dalam masa ini Indonesia mengalami babak baru, babak kemerdekaan. Pada masa ini baik pemerintah maupun masyarakat disibukan dengan usaha mengisi kemerdekaan yang baru saja diraih sehingga perhatian pada hukum perkawinan dirasa kurang diperhatikan. Adapun untuk menjaga kekosongan hukum (vacuum racht) masih diadopsi hukum yang ada pada zaman kolonial Belanda misalnya BW. Namun bukan berarti perhatian pemerintah terhadap hukum perkawinan/keluarga tidak ada.
Setahun
setelah kemerdekaan dikeluarkan peraturan perundangan yang mengatur mengenai perkawinan terutama perkawinan yaitu UU No. 22 Tahun 1946 tentang Nikah, Talak, dan Rujuk. Walaupun telah ada UU tersebut namun jangkauan berlakunya masih terbatas yaitu hanya untuk wilayah Jawa dan Madura, hingga dikeluarkan UU No. 32 Tahun 1954 sebagai perluasan jangkauan dari UU No. 22 Tahun 1946.
22
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. Dan status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam,h. 28-29
33
Menurut Wasit Aulawi, dari pasal-pasal yang ada, secara eksplisit UU No. 22 Tahun 1946 hanya mengatur pencatatan perkawinan, talak, dan rujuk, yang berarti hanya menyangkut hukum acara, bukan materi hukum perkawinan.23 Pada masa berlakunya UU ini (UU No. 22 Tahun 1946) masih terkekang dengan teori receptio. Teori receptio ini membatasi kewenangan peradilan agama dan menghambat perkembangan hukum keluarga Islam dan agama Islam pada khususnya,24 hingga runtuhnya Orde Lama dan digantikan Orde Baru. d. Hukum Keluarga Masa Orde Baru Masa ini dimulai dari lengsernya Soekarno dari kursi jabatan kepresidenan hingga runtuhnya pemerintahan Soeharto yaitu jatuhnya Orde Baru pada bulan Mei 1998. Pada masa inilah mulai nampak klimaks dari pembicaraan hukum keluarga sebagai warisan orde sebelumnya. Terbukti pada tahun 1974 terbentuk Undang-undang tentang keluarga yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Ini tidak lain dari hasil perjuangan sebelumnya dalam membuat rancangan undang-undang tentang perkawinan. Undang-undang ini (UU No. 1 Tahun 1974) merupakan Undang-undang tentang perkawinan pertama yang terbentuk pada masa Orde Baru. Kehadiran UU No. 1 Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya beberapa peraturan pelaksana. Pertama, PP No. 9 Tahun 1975 yang 23
Wasit Aulawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, halaman. 57-58. Dalam Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. Dan status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, h.32. 24 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, h.61.
34
diundangkan tanggal 1 April 1975. Kedua, Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Ketiga, Petunjuk Mahkamah Agung R.I.25 Dalam Pasal 67 PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan: (1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975, (2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan secara efektif dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Bagi Umat Islam diatur dalam Peraturan Menag No. 3 Tahun 1975 dan No. 4 Tahun 1975, kemudian diganti dengan Peraturan Menag No. 2 Tahun 1990. Bagi yang beragama selain Islam diatur dalam Keputusan Mendagri No. 221a Tahun 1975, tanggal 1 Oktober 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil.26 Kemudian pada Tahun 1983 lahir pula PP No. 10 yang mengatur Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan pada tanggal 21 April 1983. Selanjutnya disusul lagi dengan Undangundang N0. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kemudian pada Tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan PP No. 10 Tahun 1983. Kemudian satu tahun seseudahnya berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam mengenai perkawinan, pewarisan, dan perwakafan.27 25
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. Dan status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, h. 48. 26 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. Dan status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, h. 49. 27 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. Dan status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, h. 49-50.
35
e. Hukum Keluarga Masa Reformasi Sampai Sekarang Sejak jatuhnya Orde Baru, Indonesia mengalami sejarah baru. Kondisi ini menimbulkan banyak perubahan terutama dalam hal penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia. Misalnya munculnya Mahkamah Konstitusi dan berdirinya KPK. Ini semua dalam hal penegakan hukum agar menuju Indonesia yang lebih baik. Telah 19 tahun usia reformasi namun masih bisa dikatakan bahwa perubahan dalam hukum perkawinan/keluarga masih tidak ada, yang ada adalah perluasan kompetensi bagi pengadilan agama yang tertuang dalam UU No. 3 tahun 2006. Baru-baru ini tahun 2012 terjadi wacana menarik mengenai UU No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 43 ayat 1 yang berbunyi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya sehingga ayat tersebut harus dibaca “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
36
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”28 Dapat disimpulkan, dalam konteks pembentukan dan cikal bakal modernisasi hukum keluarga di Indonesia sejatinya telah terjadi sejak paruh pertama Abad XX, yakni dengan diundangkannya undang-undang yang mengatur perkawinan Nomor 22 Tahun 1946 yang kemudian disusul oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.29 Progres yang cukup menonjol adalah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang secara efektif berlaku pada 1 Oktober 1975. Inilah undang-undang pertama yang cukup komprehensif mengatur hukum kekeluargaan di Indonesia.
B. Sejarah Hukum Keluarga Islam di Turki 1. Sejarah Masuknya Islam di Turki Islam adalah agama terbesar di Turki. Sejak zaman Kesultanan Utsmaniyah menguasai Turki pada tahun 1400-an pemeluk Islam di Turki semakin banyak. Orang-orang Turki merasa lekat dengan agama yang mereka anut semenjak berabad-abad lampau. Mereka bahkan marah kalau dikatakan bukan orang Islam. Sudah di pastikan agama Islam
28
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 Terhadap Persoalan Anak Luar Kawin. D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), h.217. 29 Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h.21.
37
sebagai sesuatu yang sudah berakar di Turki sulit untuk di pengaruhi dengan ide-ide barat.30 Para ahli sejarah kuno menduga, bahwa bangsa Hittiti-lah yang pertama menempati wilayah Turki sekarang. Memasuki tahun pertama Masehi, Wilayah Turki yang saat itu bernama Kerajaan Bizantium dikuasai Romawi selama empat abad. Kekuasaan Romawi dijatuhkan kaum Barbar. Pada masa inilah ibu kota kerajaan dipindahkan dari Roma ke Konstantinopel (sekarang Istanbul). Bizantium jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Ottoman atau dibawah bimbingan dinasti Abbasiyah dengan kekuatan orang-orang Turki di bawah komando Erthogrul dan anaknya Raja Osman I yang penaklukannya dipimpin oleh Muhammad al-Fatih. Inilah masa keemasan Turki Ottoman. Pada masa inilah pemerintahan Turki Ottoman memperolah pengaruh Islam yang kuat.31 Pada tahun 1453 M (Era Utsmaniyah) saat mulai berkuasa di Turki, Islam makin dominan di Turki. Bahkan penamaan ibu kota dari Konstantinopel
menjadi
Istanbul
adalah
terjadi
setelah
dinasti
Utsmaniyah berjaya. Dulu wilayah kekuasaannya paling luas di antara tiga kerajaan besar (Syafawi, Mughol, dan Utsmaniyah saat itu), meliputi tiga benua yakni jazirah Arabia, Balkan, Hungaria hingga kawasan Afrika Utara.
30
Gereja-gereja di Turki yang merupakan peninggalan
Abdul Sani, Perkembangan Modern dalamIslam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1998), h.131. 31 Prof. Dr. Abu Su’ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), h. 97.
38
Bizantium termasuk Hagia Sophia banyak diubah menjadi masjid. Islam menjadi sangat dominan hingga tahun 1920an ketika itu. Dinasti Utsmaniyah merupakan salah satu dinasti pemerintahan Islam yang paling lama berkuasa hingga zaman modern. Kekuasaannya meliputi tiga benua Asia, Afrika, dan Eropa. Pemerintahannya memiliki kekuatan tentara yang mampu bersaing dalam beberapa petempuran dalam Perang Dunia di Lautan Mediterania dan ikut berkoalisi dengan beberapa negara Eropa Modern seperti Jerman dan Itali. Beberapa puluh sultan ikut memerintah dari keluarga besar pewaris kesultanan. Akan tetapi, sejak Perang Dunia I Turki terlalu banyak terlibat dalam peperangan. Akibatnya, Turki banyak mengalami kerugian dalam segi energi ekonomi, termasuk wilayah-wilayah kekuasaanya banyak yang merdeka.32 Saat kesultanan Utsmaniyah runtuh dan diteruskan oleh Republik Turki pada 1923, Islam menjadi sedikit mundur karena perubahan Turki dari kesultanan menjadi negara sekuler. Di bawah kepemimpinan Mustofa Kemal Attaturk, dalam kebijakannya melarang emblem-emblem Islam dan memberi keleluasaan pada agama non-Islam.33 Efek lainnya adalah dimulainya penggunaan Kalender Masehi seperti di negara-negara Barat ketimbang Kalender Hijriah, dan penggunaan kata Tanri ketimbang Allah. Kemudian adanya larangan pengajaran agama Islam dan pembatasan jumlah masjid. Pada masa 32
Abdul Sani, Perkembangan Modern dalam Islam, h. 135. Abdul Sani, Perkembangan Modern dalam Islam, h. 135-137.
33
39
Reformasi Turki pada 1945, setelah peringanan kontrol politik otoriter pada tahun 1946, banyak orang mulai memanggil secara terbuka untuk kembali ke praktik keagamaan tradisional.34 Kondisi Turki dewasa ini hanya meninggalkan warisan sejarah tentang upaya modernism yang dijiwai oleh sekularisasi, namun sekularisasi itu sendiri boleh dikatakan kurang berhasil sepenuhnya.35 Keadaan sosial sendiri merupakan suatu konsep yang memang sangat kuat bagi rakyat Turki yang Islam masih mendambakan dewi keberuntungan tersebut, dan mengenai keadilan sosial itu hanya bisa ditumpukan harapannya kepada jalur-jalur nilai Islam. Kini sekitar 99,8% penduduk Turki adalah Muslim, Kebanyakan Muslim di Turki adalah Sunni dengan 70-80%, sisanya adalah Alevis36 dan Syiah dengan 20-30%. Sekalipun demikian setengah dari 98% penduduk Turki yang beragam Islam terus melanjutkan upaya ini meskipun sebatas gerakan bawah tanah. Tokoh cendikiawan Turki yang muncul pada Tahun 2000 ini, merupakan salah satu di antara fenomena nyata dalam bentuk-bentuk perlawanan bawah tanah ini, penentang sekularisme sains.37
34
Prof. Dr. Abu Su’ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, h. 99. 35 Abdul Sani, Perkembangan Modern dalamIslam, h. 137. 36 Komunitas agama, sub-etnis dan budaya di Turki yang berjumlah 25 jutaan. Merupakan cabang dari Islam Syiah, namun ada perbedaan yang cukup signifikan dalam kepercayaan, tradisi dan ritual. Di samping bahasa Arab, bahasa asli masing-masing masih berkuasa selama ritual dan berdoa. 37 AjidThohir, StudiKawasanDuniaIslam,h.231.
40
Islam dalam peradaban Turki Modern merupakan suatu tanda kebangkitan kembali kejayaannya, fenomena itu terjadi secara bersamasama dengan pengendoran sekularisme. Sejarah kuat Muslim di Turki sebagai bentuk keinginan kembali kemasa kejayaan Islam ialah dengan dasar bahwa Al-Qur’an itu diturunkan di bumi Hijaz, dibaca di Mesir, di tulis di Turki. Adalah betul bahwa cara orang-orang Mesir membaca AlQur’an telah memperoleh kehormatan yang tertinggi di seluruh dunia Islam, dan mushaf Al-Qur’an yang paling baik adalah ditulis oleh penulis-penulis Turki, dan umat Islam yang paling terkenal dengan sopan-santunnya dan kegiatan melakukan ibadahnya adalah umat Islam Indonesia. Peninggalan-peninggalan tulisan mereka masih tersimpan di museum-museum dan perpustakaan-perpustakaan di Turki. Mushaf Utsmani, mushaf Al-Qur’an yang ditulis oleh kaligrafis Turki termahsyur, menjadi sangat popular di seluruh dunia Islam. Itu merupakan bukti pemerintah Turki selalu memberikan perhatian dalam mencetak mushaf Al-Qur’an, dengan maksud untuk memelihara keshahihannya.38 2. Pembentukan Hukum Keluarga Islam di Turki Bagi Muslim Turki, Hanafi adalah mazhab yang mengarsir kehidupan keberagamaan secara formal hingga tahun 1926, sebelum ada kebijakan legislasi Undang-Undang (UU) yang dikodifikasi secara elektikal. Undang-Undang Sipil Islam atau yang disebut Majallat al-
38
Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, h. 232.
41
ahkam al‟-Adliyah, yang sebagian materinya didasarkan pada mazhab Hanafi sebetulnya telah dipersiapkan di Turki sejak tahun 1876.39 Abad 19 M bersamaan dengan lengsernya kekuasaan Utsmaniyah, semua lembaga agama tidak diberlakukan kembali (mufti dan kadi). Untuk sistematisasi serta kodifikasi sistem hukum, pada tahun 1839 di keluarkan dekrit Imperium –Hatt-i Syarif- sebagai pondasi bagi rezim legislatif modern.40 Pergantian Undang-Undang Sipil tahun 1876 dan hukum keluarga yang baru ditetapkan pada tahun 1915 dan 1917 serta hukum waris dalam mazhab Hanafi yang belum sempat terkodifikasidengan Undang-Undang Sipil baru yang dilakukan pada tahun 1926. pada tahun 1915, kerajaan mengeluarkan dua dekrit yang mereformasi
hukum
matrimonial
(yang
berhubungan
dengan
perkawinan). Dua tahun kemudian, imperium mengeluarkan UU tentang hukum matrimonial yang berjudul “Qânũn-i Qarâr Haqũq al-„îlah alUtsmânia” –hukum Utsmani yang mengatur hak-hak keluarga 1917, minus pasal mengenai waris- yang berisi 156 pasal. Adapun materi yang menonjol dalam hokum perdata Turki tahun 1926 adalah ketentuanketentuan tentang pertunangan (terutama masalah taklik talak), batasan usia minimal untuk kawin, poligami, pencatatan perkawinan, perceraian, dan lain-lain. Untuk mengadaptasi perundang-undangan dengan tradisi Islam Turki, dilakukan amandemen terhadap UU Sipil
39
Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern dan Kitab-Kitab Fikih, h. 39-41. 40 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History), Text, Comperative Analysis, h. 263.
42
tahun 1926 tersebut hingga enam kali dari tahun 1933-1965.41 Setelah hukum keluarga dan Waris diamandemen serta digabungkan dengan UU.42 Negara Turki merupakan Negara sekuler dimana hokum keluarga telah ditinggalkan dan digantikan dengan Undang-undang hukum modern yang berlaku untuk seluruh penduduk dan dapat dikatakan terlepas dari agama. Turki di juluki sebagai bangsa Muslim dengan negara sekuler, dengan ciri memberlakukannya hukum-hukum barat ketimbang hukum Islam. Salah satu hukum Islam yang tidak dimasukkan ke dalam perundangan Turki adalah mengenai kewarisan, sehingga mengakibatkan konflik dikalangan orang-orang Islam Turki tradisionalis.43 Selain itu, melalui kebijakan-kebijakan pembaruan menuju upaya sekularisasi (1925-35), sektor hukum keluarga telah dihapuskan dari yuridiksi ulama dengan diberlakukannya Undang-undang perdata Swiss dan Undangundang pidana Italia. Perlu diketahui, dalam Undang-undang pidananya adanya larangan pembentukan perkumpulan-perkumpulan berbasiskan agama. Mengenai kementrian Agama dan Perwakafan, juga diganti dengan Direktorat Jenderal yayasan keagamaan. Di sini terlihat bahwa
41
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History), Text, Comperative Analysis, h. 265. 42 Prof. Dr. Abu Su’ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, h. 98-99. 43 Prof. Muhammad Amin Summa, HukumKeluargaIslam Di DuniaIslam, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2005), h.163-164.
43
untuk pemberlakuan hukum keluarga Islam harus dikontrol melalui negara.44 Tahun 1937, prinsip sekularisme dimasukan ke dalam konstitusi Turki. Dalam soal perkawinan, hukum perkawinan tidak lagi dilakukan sesuai dengan Syari’at Islam, tetapi dilakukan sesuai dengan hukum sipil (Civil Code) yang diadopsidari Swiss (Swiss Civil Code).45 Wanita mendapat hak cerai sama dengan laki-laki.46 Secara hukum, wanita Muslimah mendapat hak untuk menikah dengan pria non-Muslim. Hak untuk pindah agama juga dijamin oleh Undang-undang. Ketidakpastian hukum dari tahun ke tahun mengenai hukum keluarga sangat rentan terjadi di negara Turki, ini di sebabkan karena faktor internal dan eksternal. Dikatakan faktor internal karena kebanyakan
pemimpin-pemimpin
Turki
yang
membuat
sistem
pemerintahan yang sekuler. Dalam sebuah kutipan, Attaturk pernah mengatakan, “hanya dengan westernisasi, satu negara akan selamat”.47 Sudah tentu hal tersebut membahayakan umat Islam, salah satunya mengenai persoalan hukum keluarga. Selain itu arus perjalanan Turki lebih ke arah politik-ekonomi, sehingga urusan hukum (Islam) di kesampingkan. Adapun faktor eksternal, terjadi ketika bangsa Eropa,
44
KarsidiDiningrat R, Sejarah Modern Turki, (Jakarta: GarmediaPustakaUtama, 2003), h.242-243. 45 M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern dan Kitab-Kitab Fikih,h. 40-41. 46 AdianHusaini, WajahPeradaban Barat, darihegemoni Kristen bkedominasisekulerliberal, (Jakarta: GemaInsani Press, 2005), h. 274. 47 Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, dari hegemoni Kristen bke dominasi sekulerliberal, h. 271.
44
missionaris barat dan pendukung sekularism emendukung negara Turki untuk di jadikan sebagai negara sekuler. Imbasnya, hukum keluarga Islam khususnya, tidak mendapat kepastian hukum. Mengenai Undang-undang Perkawinan, Negara Turki telah memformulasikan ke dalam sebuah hokum tertulis; Fifty Years Of Personal Law reform 1915-1965, (50 Tahun Pembaruan Hukum keluarga 1915-1965).48Adapun materi muatan hukum keluarga Turki tersebut adalah: a. Pertunangan b. Umur Pernikahan Dalam undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendak melaksanakan perkawinan adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Pengadilan juga dapat mengizinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan setelah mendapat izin orang tua atau wali. c. Larangan Perkawinan d. Resepsi Pernikahan e. Pembatalan Pernikahan f. Pernikahan yang tidak Sah g. Perceraian dan Pemisahan, dan h. Hukum Waris
48
TaufiqurrahmanSyahuri, LegislasiHukumPerkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT GarmediaPustakaUtama, 2013), h.108.
45
C. Sejarah Hukum Keluarga Islam di Maroko 1. Sejarah Islam Negara Maroko Maroko atau Maghrib (al-Mamlakah al-Magribiyah), adalah kerajaan Islam di kawasan Afrika Utara; Ibu kotanya Rabat dengan luas wilayah kurang lebih 458.730 km2, penduduknya 34.721.000 (2006)49 dibagian timur berbatasan dengan Aljazair dan tenggara dengan Sahara Barat, sebelah barat berbatasan dengan Samudra Atlantik, dan Gibraltar di utara. Bahasa Arab merupakan bahasa resmi dan diperkaya dengan beberapa bahasa seperti bahasa Berber (kulit putih), Perancis dan Spanyol (negara yang pernah menginvasi). Mayoritas penduduknya menganut agama Islam (98.7%), Kristen (1.1%) dan minoritas Yahudi.50 Maroko adalah negeri yang memiliki peran penting dalam sejarah penyebaran Islam di wilayah Afrika Utara. Termasuk, negeri berjuluk ‘Tanah Tuhan’ itu merupakan pintu gerbang masuknya Islam ke Eropa lewat Spanyol. Dari Maroko inilah Panglima tentara Muslim, Tariq bin Ziyad menaklukan Andalusia tanah „Raul Gonzales‟ itu dalam sebuah peristiwa heroik yang dikenang sejarah dan mengibarkan bendera Islam di daratan Eropa. Maroko memasuki babak baru setelah Islam menancapkan benderanya di wilayah Afrika Utara. Waktu itu, Thariq membakar kapal-kapal pasukannya sendiri sehabis mendarat di Spanyol
49
Hasan Ibrahim, Al-Dakwah Ila al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nandhal al-Mishriyah, 1970), h.263. 50 M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern dan Kitab-Kitab Fikih, h. 96-97.
46
guna menundukan penguasa dzalim. Itulah cara Thariq membangkitkan patriotisme tentaranya, seraya menyiratkan perkataan bahwa “tak ada jalan pulang dalam jihad selain memenangkan pertempuran”. Pasukan Islam terbakar semangatnya sehingga pertempuran bisa mereka menangkan. Untuk mengenang peristiwa itu, bukit di daratan Spanyol dimana Thariq mendarat dinamai Jabal Thariq yang dalam logat Eropa menjadi Giblartar.51 Para penguasa al-Muwahhidun menyebarkan Islam di Afrika Utara, pada masa Abu Ya’kub Yusuf bin Abdul Mu’min (558580H/1163-1184M), kota Marrakech menjadi salah satu pusat peradaban Islam dalam bidang sains, sastra dan menjadi pengayom kaum Muslimin untuk mempertahankan Islam terhadap serangan dan ambisi kaum Kristen Spanyol. Peran lain yang dimainkannya adalah mengirimkan pasukan untuk membantu Salahuddin Yusuf al-Ayyubi52 melawan pasukan Kristen dalam perang salib.53 Penyebaran Islam telah hampir selesai sekitar tahun 750 M. Pada permulaan phase ini, Islam disebarkan oleh orang-orang Arab, yaitu melalui: a. Para tentara b. Para Khalifah 51
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Singapura: Pustaka Nasional, 1997), h. 298-301. Muhammad Sayyid al Wakil, Wajah Dunia Islam, dari Dinasti Umayyah hingga Imperialisme Modern, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1988), h.125-126. 53 Muhammad Sayyid al Wakil, Wajah Dunia Islam, dari Dinasti Umayyah hingga Imperialisme Modern, h. 167-168. 52
47
c. Para Pedagang Melalui aksi kemiliteran, orang-orang arab bergerak kearah barat sepanjang pantai Laut Tengah, akhirnya mencapai pantai laut Atlantik di Maroko dan kemudian menyebar kearah utara hingga Spanyol dan kearah selatan ke daerah Sahara. Dominasi melalui kekuatan militer juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam, dimana ajaran Islam kemudian mempengaruhi penduduk asli daerah pantai utara, orang Barbar di Algeria dan di daerah timur Tunisia, juga sebagian msayarakat yang tinggal di daerah pegunungan Maroko. Fenomena ini, yaitu invasi dan pengalihan/konversi, merupakan akibat dari adanya gelombang besarbesaran untuk meng-Arabisasi dan meng-Islamisasi di daerah yang di sebut “al-Maghribi”.54 Hal itu serupa dengan letak maroko yang berada di bagian Barat-Laut Afrika. Penduduk asli Maroko adalah berber, yaitu masyarakat kulit putih dari Afrika Utara, yang dalam banyak hal, entah karena apa, mengidentifikasi dirinya sebagai imazhigen (the Free Man).55 Mereka konon masih mempunyai garis keturunan dengan Rasulullah dan merupakan penganut agama Islam bermazhab maliki.56
54
Maghrib adalah daerah matahari terbenam, merupakan suatu istilah Islam yang umum untuk seluruh daerah Afrika Utara kecuali Mesir. 55 The Free Man dalam suku Berber memiliki arti sebagai seorang yang bebas, dalam arti lain di artikan juga sebagai orang mulia atau bangsawan. 56 Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern dan Kitab-Kitab Fikih, h. 96.
48
2. Pembentukan Hukum Keluarga Islam di Maroko Antara tahun 1912-1956 Maroko berada di bawah dominasi politik Perancis dan Spanyol. Sistem hukum kedua negara ini banyak mewarnai hukum lokal yang berlaku di Maroko, terutama dalam hukum sipil. Hanya dalam hukum keluarga, syariah, khususnya madzhab Maliki, secara teguh dianut, walaupun dalam batas-batas tertentu dan terdapat beberapa elemen yang dipengaruhi hukum Perancis dan Spanyol, dan kebiasaan-kebiasaan lokal. Aturan yang bercampur aduk ini terbungkus dalam hukum keluarga Maroko.57 Hukum privat yang berdasarkan Syari’at Islam masih tetap dijunjung tinggi oleh Umat Islam Maroko. Hukum Islam yang diterapkan menganut corak dan sistem hukum bermadzhab Maliki. Secara umum, sistem hukum di Maroko dibagi menjadi dua macam badan peradilan, Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Madaniyah (peradilan umum), hukum kanomik, dan Civil Law Prancis.58 Pada aspek-aspek tertentu pemberlakuan hukum adat dapat membawa konflik terhadap hukum Islam. Hal ini di akui oleh para ahli Hukum Islam Maroko yang tidak menyukai muatan-muatan hukum Prancis dan adat setempat masuk dalam hukum privat di Maroko.59 Pengkodifikasian dan Undang-undang hukum privat di Maroko yang dilakukan sesudah negeri ini merdeka (1958). Pemberlakuan hukum 57
Hamka, Sejarah Umat Islam, h. 298. https://indratj.wordpress.com/2016/08/01/masuknya-Islam-ke-maroco/ diakses pada tanggal 24 Juli 2016, 11.15. Wib 59 E. Levi Provencal dan G. S. Colin, “Marocco, Social and Economic Life”, dalam HAR Gibb (ed), First Ensyclopedia of Islam, h. 593. 58
49
keluarga di Maroko yang berdasarkan Syari’at, banyak di pengaruhi oleh penggunaan hukum keluarga yang di terapkan di Tunisia. Pada tanggal 19 Agustus 1957 sebuah Komisi Reformasi Hukum dibentuk berdasarkan keputusan kerajaan. Komisi ini bertugas menyusun rancangan undang-undang tersebut didasarkan pada:60 a. Beberapa prinsip dari madzhab-madzhab hukum Islam (fiqh), khususnya madzhab Maliki yang dianut di Maroko. b. Doktrin Mashlahah Mursalah. Dari draf hukum keluarga yang di setujui oleh komisi-komisi dewan perwakilan rakyat Maroko, tersusunlah sebuah kumpulan Undang-undang hukum keluarga yang di beri judul Mudawanah alAhwal al-Syakhshiyyah atau The Code Of Personal Status 19571958. Kumpulan UU ini memuat lebih dari 300 pasal yang disusun dalam 6 buku. Buku I : Tentang Perkawinan di sahkan tanggal 21-11-1957 Buku II : Tentang Pembatalan Perkawinan di sahkan tanggal 2111-1957 Buku III : Kelahiran Anak dan Akibatnya Hukuman di sahkan pada tanggal 18-12-1957 Buku IV : Tentang Cakap Hukum dan Perwalian di sahkan pada tanggal 25-1-1958
60
Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern dan Kitab-Kitab Fikih, h. 108.
50
Buku V : Tentang Wasiat Wajibah di sahkan pada tanggal 20-21958 Buku VI : Tentang Kewarisan di sahkan pada tanggal 3-4-1958 c. UU yang diberlakukan di beberapa negara Muslim lainnya. Rancangan itu resmi menjadi UU pada tahun 1958 dan diberi nama Mudawwamah al-Ahwal al-Shakhsiyyah. Sebagian besar aturan-aturan dalam hukum tersebut berdasar madzhab Maliki yang secara umum dan telah lama berlaku di Maroko. Terakhir hukum keluarga di Marokoditetapkan pada tanggal 3 Pebruari 2004 yang disebut mudawwanah al-ahwal al shakhsiyah al jadidah fi al maghrib atau Mudawwanah al-Usrah. Undang-undang ini berisi 400 Pasal, terdapat tambahan 100 pasal dari undang-undang yang ditetapkan pada tahun 1957. Pada 2004, Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad.61 Hal tersebut sangat berdampak signifikan terhadap perubahan batas usia perkawinan di Maroko. Dalam undang-undang sebelumnya di jelaskan bahwa umur perkawinan bagi calon mempelai laki-laki adalah 61
Metode ferormasi ini dengan mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan merupakan upaya memperkenalkan reformasi hukum dengan Extra Doctrinal Reform, penafsiran ulang terhadap nash yang ada dengan pemahaman yang baru. Cara ini sebagai upaya kodifikasi atau bersifat pengaturan administrasi yang pada umumnya tetap menekankan prinsip masalih mursalah atau siyasah syar‟iyah. Lihat M. Atho Mudzhar, “Wanita dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitabFikih, h. 208.
51
18 tahun dan 15 tahun bagi wanita. Dengan adanya pembaharuan di tahun 2004, maka penetapan batas usia perkawinan menjadi 18 tahun baik bagi calon mempelai laki-laki maupun wanita sebagai mana tuntutan kesetaraan antara hak laki-laki dan wanita di negara tersebut.62
62
https://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/hukum-Islam-di-negara-maroko/ pada 20 september 2016, 08.15. Wib.
diakses
52
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL BATAS USIA MINIMAL KAWIN DI INDONESIA, TURKI, DAN MAROKO
A. Perbandingan Vertikal 1. Aturan Hukum di Negara Indonesia, Turki, dan Maroko dengan Kitab Fikih a. Indonesia Syariat merupakan dasar-dasar hukum yang ditetapkan Allah SWT melalui Rasul-Nya yang wajib di ikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia dan benda, dasar-dasar hukum ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Rasulullah SAW. Oleh karenanya, syari‟at terdapat di dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits.1 Jika diperhatikan sejarah dinamika hukum Islam di Indonesia terdapat beberapa catatan; pertama, karakteristik hukum Islam Indonesia dominan diwarnai oleh keperibadian Arab (Arab Oriented) dan lebih dekat kepada tradisi Madzhab Syafi‟i. Hal ini
1
Daud Ali, M. Hukum Islam PIH dan THI Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h.42.
53
dapat dilihat dari kitab-kitab rujukan yang dipakai oleh para ulama yang kebanyakan menggunakan kitab-kitab fikih Syafi‟iyyah.2 Kondisi seperti ini terlihat pula pada rumusan Kompilasi Hukum Islam yang dirumuskan oleh para ulama Indonesia yang kental dengan warna Syafi‟inya. Selain itu, secara metodologis pun para ulama kebanyakan menggunakan kitab-kitab usul fikih karangan ulama-ulama Madzhab Syafi‟i. Sebagaimana dimaklumi bahwa usul fikih terutama yang diajarkan di kebanyakan pesantren, sebagian besar pembahasannya baru sampai masalah qiyas, walaupun ada yang lebih luas dari itu.3 Kedua, dilihat dari aspek materi substansi (ruang lingkup) hukum Islam yang dikembangkan di Indonesia, tampaknya lebih dititik beratkan pada hukum privat atau hukum keluarga (Ahwal alSyakhsiyyah), seperti: perkawinan, kewarisan, perwakafan, seperti yang tercakup dalam KHI. Lembaga Peradilan Agama pun hingga saat ini hanya berwenang menangani perkara yang berkaitan dengan
perkara
terbatas
(kendati
telah
ada
penambahan
kewenangan dalam bidang ekonomi Syari‟ah, namun secara praktik belum dapat ditangani PA). Memang ada informasi yang menggembirakan, yakni kehadiran bank-bank Syari‟ah dan BMT-
2
Abdul Hadi Muthohar, Pengaruh Madzhab Syafi‟i di Asia Tenggara, Fikih dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia, (Semarang: PT Pustaka Jaya Abadi, 2008), h. 88. 3 Abdul Hadi Muthohar, Pengaruh Madzhab Syafi‟i di Asia Tenggara, Fikih dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia, h. 9192.
54
BMT, serta lembaga-lembaga keuangan Syari‟ah di Indonesia dewasa ini yang merupakan fenomena eksistensi hukum Islam dalam bidang mu‟alah. Ketiga, dilihat dari aspek pemberlakuan, tampaknya ada kecenderungan kuat bahwa hukum Islam diharapkan menjadi bagian dari hukum positif negara, sebagai bentuk akomodasi pemerintah terhadap umat Islam.4 Jika kecenderungan itu dikaitkan dengan masalah efektivitas hukum, tampaknya ada harapan bahwa dengan diangkat menjadi hukum negara, hukum Islam akan memiliki daya ikat yang kuat untuk ditaati oleh masyarakat yang beragama Islam. Logika hukum seperti itu untuk sementara dapat diterima, kendatipun pada kenyataannya tidak selalu terjadi demikian.
Ada
kekhawatiran
bahwa
pemerintah
akan
memanfaatkan kondisi seperti ini untuk ikut serta menentukan formulasi hukum Islam yang mana dan seperti apa yang sebaiknya diimplementasikan di Indonesia.5 Sumbangsi hasil ijtihad Imam Syafi‟i yang dijadikan landasan dalam menetukan batas usia kawin di Indonesia bukanlah tanpa pertimbangan, kendati demikian kentalnya kitab-kitab fikih Syafi‟iyyah dalam pembentukan hukum keluarga dirasa telah cukup memenuhi kebutuhan bagi umat Islam di Indonesia. Konsep
4
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h.269. 5 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 271.
55
umur dalam pernikahan sebenarnya dalam pemikiran Para Imam Madzhab ialah lebih ditekankan pada tingkat kedewasaan seseorang, sekalipun dalam menetukan kedewasaan tersebut setiap ulama Madzhab memiliki pandangan dan cara masing-masing.6 Seperti halnya Imam Syafi‟i, sedikit membahas yang sebelumnya tertulis di dalam pembahasan BAB II, dijelaskan bahwa usia kedewasaan menurut-nya adalah 15 tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Sekalipun hal itu tidak serupa dengan barometer yang ditetapkan dalam UU Perkawinan di Indonesia No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 Ayat (1) yang berbunyi: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Akan tetapi, jelas hal tersebut sesuai dengan prinsip yang dikemukakan Imam Syafi‟i apabila melihat ke dalam ayat selanjutnya, yakni Ayat (2) Pasal 7 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.7Beliau menjelaskan bahwa, pada dasarnya kedewasaan tiap orang berbeda dan cenderung sukar di ukur dengan batasan usia.
6 7
Muhammad Jawad Mughniyah, FIKIH LIMA MAZHAB, h. 96. Undang-undang RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (2)
56
Hal yang paling utama baginya, seseorang yang ingin melangsungkan perkawinan hendaknya telah mampu memahami khitab asy-syar‟i (tuntutan syarak). Implikasinya dari syarat ini, berarti adalah bukan anak kecil, orang gila, orang hilang ingatan, orang tidur, dan orang yang dalam keadaan hajat (bersalah), maka baginya tidak berlaku hukum taklif.8 Kedua, seseorang yang dianggap dewasa berarti sudah cakap dalam bertindak hukum, yang dalam usul fikih disebut al-ahliyah. Artinya apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak hukum, maka seluruh perbuatan yang dilakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan.9 Itulah barometer kedewasaan bagi Imam Syafi‟i disamping bukti kebalighan pada umumnya seperti tumbuh bulu-bulu ketiak, mimpi basah (keluar sperma) dan pecah suara bagi laki-laki, serta haidh atau siap hamil bagi perempuan. Korelasi dengan UU tentang batasan usia perkawinan dalam Pasal 7 Ayat (2) dapat ditafsirkan; sekalipun seseorang yang belum mencukupi umur sebagaimana ketetapan, akan tetapi apabila telah memenuhi syarat mutlak dalam Syari‟at Islam dan telah mendapatkan izin wali (pihak perempuan), maka pernikahan tersebut tetap dapat dilangsungkan.
`8 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan (Membina Keluarga Sakinah Menurut Al Qur‟an dan As Sunnah), (Jakarta: Akademika Pressindo, Cet-III, 2003), h.5. 9 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan (Membina Keluarga Sakinah Menurut Al Qur‟an dan As Sunnah), h. 6-7.
57
Adapun terhadap penyimpangan Pasal 6 ayat (2) hal tersebut dianggap sebagai penguat dalam sebuah perkawinan dengan kejelasan adanya izin wali, hal tersebut diperjelas dalam Kompilasi Hukum Islam Bab IV Pasal 15 ayat 1 dan 2 yang tak lain adalah buah hasil dari kontribusi kitab-kitab fikih Madzhab Syafi‟iyyah. Buah ijtihad dari pemikiran-pemikiran Imam Syafi‟i dianggap sangat pas dengan keadaan dan kebutuhan umat Islam di Indonesia, oleh sebab itu ketika pedagang Mesir datang ke Indonesia untuk berdagang dan sekaligus menyebarkan Syiar Islam dengan mudah masyarakat menerima Islam sebagai agama yang hakiki. b. Turki Salah satu fenomena yang muncul di dunia Muslim pada abad 20
adalah
adanya
usaha
pembaharuan
hukum
keluarga
(perkawinan, perceraian, dan waris) di negara-negara mayoritas Muslim. Terutama Turki misalnya, melakukan pembaharuan pada tahun 1917.10 Sebelum masuk kepada pembaharuan hukum keluarga, Turki mempunyai peran penting dalam sejarah hukum Islam, terutama di Asia Barat. Hukum perdata Turki pada awalnya didasarkan pada Madzhab Hanafi, namun kemudian juga menampung madzhabmadzhab lain, seperti dalam Majallah al-ahkam al adhiya11yang
10
Prof. Dr. Abu Su‟ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, h. 101. 11 Fadil Sj, Pasang Surut Peradaban Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h.258.
58
telah dipersiapkan sejak tahun 1876, namun di dalamnya tidak terdapat aturan tentang hukum keluarga. Madzhab Hanafi mulanya tumbuh di Kufah sesuai dengan tanah kelahirannya Imam Abu Hanifah, kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur. Hingga akhirnya Madzhab Hanafi merupakan Madzhab resmi di Mesir, Turki, Syiria, dan Libanon. Dan Madzhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.12 Bila melihat sejarah pengaruh kitab-kitab fikih Hanafiah dalam pembentukan hukum keluarga di Turki pada mulanya, hal tersebut nampaknya tidak terlepas dari sosok Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (132-189 H). Beliau adalah murid Imam Abu Hanifah kedua yang langsung berguru kepada-nya setelah Abu Yusuf Ya‟kub ibn Ibrahim al-Anshari (113-182 H). Sepeninggal Imam Abu Hanifah, Muhammad ibn Hasan berguru kepada murid utamanya yaitu Abu Yusuf. Bahkan sempat dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa, semasa hidupnya Muhammad ibn Hasan juga sempat berguru kepada Al-Imam Malik bin Anas di Madinah.13 Kedudukan Muhammad juga sudah sampai ke derajat mujtahid mutlak, tetapi tidak mustaqil karena beliau tetap masih merujuk kepada Madzhab gurunya. Beliau adalah salah seorang
12
http://beritaIslamimasakini.com/sejarah-dan-tokoh-4-mazhab-Islam.htm diakses pada 25 Juli 2016, 15.15.Wib 13 Prof. Dr. Abu Su‟ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, h. 100.
59
murid yang paling banyak menyusun buah pikir Abu Hanifah, dari karya-karyanya terkenal dengan istilah al-Kutub al-Sittah (enam kitab), yaitu:
Kitab al-Mabsuth
Kitab al-Ziyadat
Kitab al-Jami‟ al-Shagir
Kitab al-Jami‟ al-Kabir
Kitab al-Sair al-Shagir
Kitab al-Sair al-Kabir Dengan karya-karya tersebut, Abu Hanifah dan Madzhabnya
berpengaruh besar dalam dunia Islam, khususnya umat Islam yang beraliran Sunny. Para pengikutnya tersebar di berbagai negara, seperti di Turki. Madzhab Hanafi pada masa Khilafah Bani Abbasiyah merupakan Madzhab yang banyak dianut oleh umat Islam dan pada pemerintahan kerajaan Utsmani, sehingga Madzhab ini dideklarasikan sebagai Madzhab resmi negara.14 Selain itu Madzhab Al-Hanafiyah juga menjadi madzhab resmi khilafah Bani Utsmaniyah yang berpusat di Istanbul, Turki. Dan selama masa kekuasaan Turki, madzhab Al-Hanafiyah sempat dijadikan qanun atau Undang-undang, lengkap dengan bab, pasal dan ayat. Undang-undang ini kemudian diberlakukan di hampir semua wilayah Islam, baik di barat maupun di timur.
14
Karsidi Diningrat R, Sejarah Modern Turki, h. 244.
60
Dalam menetapkan usia seseorang dianggap baligh Ulama Hanafiyyah menyebutkan; “Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan”.15 Dari ketegasan pemikiran Abu Hanifah dalam hal Syari‟at tersebut nampaknya benar-benar diadopsi langsung oleh Perundangundangan di Turki, Sekalipun Undang-undang tersebut telah mengalami pembaharuan hukum dari ketentuan sebelumnya, akan tetapi peraturan yang dijalankan Turki tersebut sama persis dengan pendapat Imam Abu Hanifah yang tetap memberikan ketentuan batasan usia dewasa (usia minimal kawin saat ini di Turki) yaitu 12 tahun minimal usia dewasa bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan, sedangkan Turki menerapkan dalam pengecualian Undang-undangnya yakni 15 tahun dalam sebuah kasus di pengadilan.16 c. Maroko Penduduk asli negara ini adalah Berber, konon merupakan suku kulit putih Afrika Utara yang mempunyai garis keturunan langsung dengan Rasulullah SAW merupakan penganut agama Islam bermadzhab Maliki. Selama proses invasi Perancis dan Spanyol, kedua negara tersebut banyak mempengaruhi hukum lokal, namun dalam wilayah personal, Syari‟ah Islam tetap
15
Mukti Ali, Islam dan Sekulerisme di Turki, (Jakarta: Djambatan, 1994), h.102. Mukti Ali, Islam dan Sekulerisme di Turki, h. 105.
16
61
menunjukan supermasinya.17 Sebagai negara yang mayoritas penduduknya bermadzhab Maliki, Maroko menerapkan prinsipprinsip hukum Madzhab tersebut dalam pengadilan Syari‟ah. Di samping hukum Syari‟ah di beberapa wilayah Maroko juga diterapkan hukum adat (ta‟amul) dan diatur oleh pengadilan daerah yang dalam beberapa aspek ternyata saling bertentangan dengan Syari‟ah Islam.18 Para ahli hukum Maroko merasa tidak senang dengan pengaruh keduanya yakni hukum Perancis dan adat lokal. Mereka menginginkan Syari‟ah Islam digunakan sebagai satu-satunya dalam hukum personal. Kodifikasi hukum Syari‟ah dalam garis modern merupakan jawaban dari keinginan tersebut dan mereka memulai pekerjaannya dengan tujuan ini. Kesadaran akan pentingnya pembaharuan hukum menemukan momentumnya setelah Maroko meredeka dari penjajahan Perancis tahun 1956. Pembaharuan hukum di Maroko antara lain tercermin dalam rancangan (draft) Undang-undang Hukum Keluarga, Mudawwanah al ahwal al Syakhshiyyah pada tahun 1957-1958.19 Melalui Komisi Tinggi yang dibentuk pemerintah Maroko pada 19 Agustus 1957, parah ahli hukum Maroko melakukan finalisasi draft Hukum Keluarga Sumber-sumber yang dijadikan rujukan rancangan adalah: (a) Prinsip-prinsip berbagai Madzhab 17
Abdul Sani, Lintas Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, h.46. Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, h.79. 19 Hamka, Sejarah Umat Islam, h. 302-305. 18
62
Fikih, khususnya Madzhab Maliki. (b) Doktrin Maliki tentang Mashlahah Mursalah. (c) Legalisasi yang diterapkan di negerinegeri Muslim. Namun yang menarik dalam permasalahan batas usia perkawinan di Maroko, negara tersebut cenderung tidak mengikuti prinsip Madzhab Malikiyah. Dalam sebuah penjelasan disebutkan: “Batas minimal usia boleh kawin di Maroko bagi laki-laki 18 tahun, sedangkan bagi wanita 15 tahun. Namun demikian diisyaratkan ijin wali jika perkawinan dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas umur kedewasaan”. Sebagai ulasan, Imam Malik sendiri menetapkan batas usia baligh bagi laki-laki dan perempuan adalah 17 tahun, sedangkan Imam Syafi‟i dan Ahmad Bin Hambal menetapkan batas usia 15 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Berbeda dengan yang lainnya, Imam Hanafi membedakan batasan usia keduanya. Sehingga dalam hal ini berdasarkan beberapa referensi Maroko cenderung mengikuti ketentuan umur yang ditetapkan oleh Imam Syafi‟i dan Ahmad Bin Hambal.20
20
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab, h.95.
63
B. Perbandingan Horizontal 1. Perbandingan Aturan Hukum antara Negara Indonesia, Turki, dan Maroko a. Indonesia Ketentuan batas minimal kawin di Indonesia selama beberapa dekade ini tidak banyak mengalami perubahan. Bahkan hal tersebut dianggap tidak membawa kemajuan terhadap standar umur pernikahan semenjak ditetapkannya UU No 1 Tahun 1974. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa di dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan:21 “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Hal ini juga pernah dipersoalkan dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 Juni 2015 dengan Nomor 30-74/PUU-XII/2014, yang menolak petitum para pemohon dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.22
21
Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Adapun sebagian isi dari petitum yang diajukan para pemohon adalah: “Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa „16 (enam belas) tahun‟ harus dimaknai secara inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Sehingga Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa „16 (enam belas) tahun‟ itu 22
64
Putusan MK itu menegaskan bahwa ketentuan usia minimal kawin di negara kita sedang jalan di tempat. Standar yang ditetapkan selama lebih dari 42 tahun yang lalu itu masih saja stagnan tanpa adanya perubahan. Padahal di sisi yang lain, zaman telah berubah, kondisi sosial-budaya, ekonomi dan kehidupan masyarakat pada umumnya sangatlah berbeda dengan konteks era 70-an, era di mana UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan. Bagaimanapun, perubahan sosial akan mempengaruhi dan membawa perubahan pada hukum. Sebab ketika terjadi perubahan sosial, maka kebutuhan masyarakat juga akan berubah baik secara kuantitatif dan kualitatif. Hanya saja proses penyesuaian hukum pada perubahan sosial itu biasanya berlangsung lambat. Di sisi yang lain, secara konstitusional isi Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan tahun 1974 tidak selaras dengan undang-undang yang lahir kemudian, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak
bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai „18 (delapan belas) tahun‟; Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa ‟16 (enam belas) tahun‟ harus dimaknai secara inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Sehingga Pasal 7 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa „16 (enam belas) tahun‟ itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai „18 (delapan belas) tahun‟; Mengubah materi muatan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga bunyi Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi: „Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun‟.” Lihat Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014, 21.
65
menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.23 Adapun yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.24 Dengan menikahkan anak yang masih berusia 16 tahun, berarti sama halnya merenggut hak-hak anak agar dapat hidup dan tumbuh serta berkembang secara optimal hingga ia berusia 18 tahun. Sehingga, usia 16 tahun bagi pihak wanita yang ditetapkan oleh Pasal 7 ayat (1) jelas-jelas tidak selaras dengan apa yang dicita-citakan dalam UU RI Nomor 35 Tahun 2004. Bagaimana mungkin dua undang-undang bisa saling bertabrakan? Padahal anak yang sedang menjalani masa-masa pertumbuhan sangat dilindungi oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sebagaimana tertera dalam Pasal 28A;25 Pasal 28Bayat (1) dan (2);26 Pasal 28C ayat (1);27 Pasal 28D ayat (1);28 Pasal 28G ayat
23
Pasal 1 angka (1): “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Lihat Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 24 Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 25 Pasal 28A UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” 26 Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
66
(1);29 Pasal 28H ayat (1), dan (2);30 serta Pasal 28I ayat (1) dan (2).31 Wacana perlunya revisi Pasal 7 tentang batas usia menikah dalam UU Perkawinan menjadi sorotan serius setidaknya terkait empat hal: Pertama, untuk mencegah terjadinya pernikahan usia dini, yang membawa dampak lanjutan pada terjadinya ibu hamil dan melahirkan pada usia muda, yang berisiko tinggi terhadap kesehatan ibu hamil dan melahirkan;32 serta pernikahan dini dalam konteks kesiapan mental psikologis pasangan yang menikah dikuatirkan berisiko tinggi terhadap angka perceraian. Kedua,
27
Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” 28 Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 29 Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” 30 Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” 31 Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun; (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” 32 Dalam Tajuk Rencana harian Kompas (21/04/2015), disebutkan bahwa angka kematian ibu (AKI) masih terlampau tinggi. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 mencatat AKI sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka itu jauh dari target Sasaran Pembangunan Milenium, yaitu 102 pada tahun ini. Adapun salah satu penyebab tingginya AKI adalah masih terjadinya praktik pernikahan dini pada anak perempuan. Lihat Tajuk Rencana “Relevansi Peringatan Hari Kartini”, di poskan Kompas, 21 April 2015. Diakses pada tanggal 8 Agustsus 2016, 09.15. Wib
67
untuk melindungi hak dan kepentingan anak, mengingat bahwa menurut UU No. 23 Tahun 2002 sebagai implementasi Konvensi Hak Anak, ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah sampai dengan usia 18 tahun.33 Ketiga, mempertimbangkan kesiapan para pasangan secara sosiologis untuk menjadi keluarga yang
otonom
memperhatikan
di
tengah-tengah
kesiapan
masyarakat.
ekonomidalam
kaitannya
Keempat, dengan
kompleksitas kebutuhan rumahtangga di masa sekarang yang semakin membutuhkan perencanaan matang. Bukan tidak mungkin bahwa hasil kajian dari penelitian ini menuntut agar ketentuan usia 19 dan 16 itu diubah, karena perubahan hukum merupakan sebuahkeniscayaan seiring dengan dinamika zaman (waktu):
“Tidak diingkari perubahan hukum-hukum dikarenakan berubahnya zaman (waktu).”34 Zaman yang senantiasa mengalami perubahan kemudian menjadi alasan tersendiri mengapa sebuah produk hukum juga
33
Antonius Wiwan Koban, “Revisi Undang-Undang Perkawinan”, Vol. IV No. 10(Jakarta: The Indonesian Institute, 2010), h. 3. 34 Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah Fikih (Jakarta: CV Artha Rivera, 2008), halaman. 79. Asjmuni A. Rahman, Qa‟idah-qa‟idah Fikih(Qowā‟idul Fiqhiyyah), (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 107.
68
berubah.35 Hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia.36 Lahirnya UU Perkawinan di tahun 1974 tentunya tidak lepas dari dinamika sejarah di mana ia dibuat. Konfigurasi politik dan dinamika sosial memegang peranan penting sebagai faktor yang melatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Begitu pun dengan penetapan usia 19 tahun (bagi laki-laki) dan 16 tahun (bagi perempuan) sebagai persyaratan (batas minimal usia) untuk melangsungkan perkawinan tidak lepas dari dorongan-dorongan yang muncul baik di lingkungan pemerintah sendiri, lembaga legislatif, dan juga masyarakat. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Lawrence M. Friedman, bahwasanya hukum sebagai suatu sistem terdiri dari unsur struktur, substansi dan kultur. Ketiga unsur itu saling memengaruhi dalam bekerjanya hukum di tengah kehidupan masyarakat.37 Begitu pula yang berlaku dalam penetapan standar minimal usia kawin yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan tahun 1974. Secara keseluruhan, penetapan undang-undang itu juga memiliki latar belakang yang panjang. Unsur-unsur seperti struktur hukum, substansi hukum dan kultur
35
Umi Sumbulah, “Ketentuan Perkawinan dalam KHI dan Implikasinya bagi Fiqh Mu‟asyarah: Sebuah Analisis Gender”, h. 95. 36 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h. 6. 37 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Sosical Science Perspective, (New York: Russel Soge Foundation, 1969), halaman. 225.
69
hukum yang ada di dalamnya tentunya bekerja secara koheren. Sehingga, kita tidak bisa hanya melihat dari sebagian sisi saja. Ketentuan (hukum) tentang usia minimal kawin itu setidaknya dilatarbelakangi oleh unsur (tuntutan) sosial, politik, budaya, ekonomi dan juga agama, sebagaimana bagan di bawah ini:38 Sosial Politik Budaya
Hukum
Ekonomi Agama/Moral
Maka dari itu, penulis hendak mencoba memetakan konteks terkait penetapan batas minimal usia kawin sebagaimana yang tertera pada bagan di atas. Hal ini dimaksudkan agar pemahaman dan penafsiran yang dilakukan terhadap Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan tidak bias. b. Turki Turki merupakan negara yang berdiri di atas reruntuhan Imperium Turki Utsmani yang berkuasa hampir enam abad lamanya (1342-1924 Masehi). Terbentuknya Negara Turki Sekuler (1934M) di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal At-Thatturk
38
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia (Bandung: Penerbit Marja, 2014), h.50.
70
secara resmi menghapuskan dinasti kekhalifaan Utsmani pada tahun 1922. 39 Sejak tahun 1876 Turki Utsmani telah menetapkan Undangundang Sipil Islam (Majallat al-Ahkam al-Adliya) yang diadopsi dari hukum berbagai Madzhab dan sebagian diambil dari materi hukum Barat. Namun Undang-undang itu kurang lengkap karena tidak mencantumkan hukum keluarga.40 Seluruh materi hukum yang ada pada Majallat al –Ahkam al-Adliya ini belum sempat direformasi dan belum diundangkan sampai abad ke-20. Ketika itu untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum keluarga dan hukum waris, diatur resmi oleh pemerintah dengan mengadopsi penuh dari Madzhab Hanafi, namun hal tersebut rupanya terdapat sifat penjajahan terhadap hak-hak perempuan terutama dalam masalah perceraian. Akhirnya pada tahun 1917, diresmikan Undang-undang Hukum Keluarga
yang
diambil
dari
berbagai
madzhab
dengan
menggunakan prinsip tahayyur (eclectic choice).41 Undang-undang tersebut diberi nama The Ottoman Law Of Family Right atau Qanun Qarar al-Haquq al-„Ailah al-Usmaniyyah. Undang-undang Ottoman ini terdiri dari 156 pasal minus pasal mengenai waris.42
39
The World Book Encyclopedia, Vol 19, (USA: World Book Inc, 1987), h. 414. JND Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Alih Bahasa(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h.272 41 Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, h.82. 42 Cyrill Glasse, Encyclopedi Islam¸ Alih Bahasa: Ghufron A. Mas‟adi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h.214. 40
71
Disebutkan dalam The Ottoman Law Of Family Right 1917 terkait Undang-undang batas usia perkawinan dalam buku Dedi Supriadi adalah: “Bagi laki-laki, batas usia perkawinan, minimal 18 tahun, dan bagi perempuan 17 tahun.”Adapun syarat bagi perkawinan tidak normal (dispensasi) dalam beberapa kasus pengadilan tetap menetapkan batasan usia perkawinan bagi kedua calon mempelai yakni 15 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan. Secara lengkap pasal yang berkenaan dengan batasan usia perkawinan, sebagaimana Ottoman Law of Family Right 1917, berikut ini: CAPACITY TO MARRY 4. It is a condition for competemce to marry that the man must have completed eighteen years and the woman seventeen years of age. 5. Where an adolescent boy who has not completed his eighteen year claims puberty, the Court may permit him to marry if he is adequately mature. 6. Where an adolescent girl who has not completed her seventeen year claims puberty, the Court may permit him to marry if he is adequately mature and her guardian in marrige has given consent. 7. Nobody is permitted to contract into merriage & minor boy who has not completed the age of twelve years or aminor girl who is below the age of nine years. 8. Where a girl who has completed seventeen year of her of her age desires to marry a person, the Court shall communicate her desire to her guardian and if the guardian does not object, Or if his objection appears to be unreasonable, the Court shall give her permission to marry that person.
Dalam butir 7 di jelaskan bahwa tidak diijinkan pernikahan bagi laki-laki yang umurnya kurang dari 12 tahun dan anak gadis yang dibawah 9 tahun. Artinya ketika itu ketentuan minimal usia kawin telah di tetapkan sebagaimana butir 7 dalam Undang-undang Ottoman Law Of Family Right 1917.
72
Seiring berjalannya zaman, pergolakan politik yang terjadi di Turki pada saat itu sangat mempengaruhi stabilitas Perundangundangan.43 Terutama ketika isu Turki Modern mulai mengemuka, imbasnya Undang-undang ini sempat dibekukan pada tahun 1919, dengan harapan akan dapat diganti dengan Undang-undang yang lebih komprehensif. Akan tetapi, karena ketidak berhasilan para ahli yang telah diberi tugas dalam mencapai tujuan yang dimaksud, akhirnya Turki mengadopsi Undang-undang Sipil Swiss atau lebih dikenal dengan istilah The Swiss Civil Code tahun 1912.44 Hasil adopsi tersebut melahirkan Undang-undang Sipil Turki yang baru sebagai pengganti The Ottoman Law Of Family Right 1917 yaitu The Turkish Civil Code 1926, dengan sedikit perubahan sesuai dengan tuntutan kondisi Turki.45 Namun Undang-undang baru Turki ini tidak sepenuhnya mengadopsi Undang-undang Sipil Swiss, bagaimanapun tetap disesuaikan dengan tradisi dan kondisi Islam di Turki. UU pembaharuan ini keseriusannya terlihat ketika telah diamandemen sebanyak 6 kali dari tahun 1933-1956 demi terciptanya keselarasan antara UU Sipil dengan konsep-konsep Islam.46 43
Ajid Tohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-Akar Sejarah, Budaya, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.181. 44 Http://Alfiyatuss.Blogspot.Co.Id/2011/12/Westernisasi-Dunia-Islam-Kasus-Turki.Html. diakses pada 15 Agustus 2016, 14.00. Wib 45 Khoiruddin Nasutin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malysia, (Jakarta, INIS, 2002), h. 92. 46 Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, h.83.
73
Begitupun
dampak
perubahannya
terhadap
Pasal
yang
mengatur penetapan batas usia perkawinan. Setelah dilakukan amandemen tentang batas-batas umur perkawinan, maka yang tertera dalam UU Sipil Turki 1926 adalah : Seorang laki-laki dan perempuan tidak dapat menikah sebelum berumur 17 tahun. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu, pengadilan mengijinkan terjadinya pernikahan umur 16 tahun bagi laki-laki dan perempuan, setelah adanya konsultasi/ijin wali atau orang tuanya. Adapun secara lengkap penjelasanya dalam Undang-undang The Turkish Civil Code 1926 adalah sebagai berikut: UNDANG-UNDANG SIPIL TURKI 1926 PERKAWINAN DAN DISKRIMINASI47 A. Ketentuan Lisensi I. Usia Pasal 124- Laki-laki atau perempuan dapat menikah sebelum usia tujuh belas tahun. Namun, dalam kasus luar biasa, sehingga hakim dapat memungkinkan alasan utama enam belas tahun untuk pria atau wanita untuk menikah. Bila mungkin keputusan sebelum orang tua atau wali didengar. II. Kekuatan Diskriminasi Pasal 125- Ia tidak memiliki kapasitas untuk bertindak dan tidak bisa menikah.
47
Undang-Undang Sipil Turki 1926, Terjemah “TÜRK MEDENî KANUNU”
74
III. Persetujuan dari Perwakilan Hukum 1. Tentang Anak di bawah Umur Pasal 126- Anak kecil, tidak bisa menikah tanpa persetujuan dari perwakilan hukum mereka. 2. Tentang Lumpuh Pasal 127- Terbatas, dia tidak bisa menikah tanpa persetujuan dari perwakilan hukum mereka. 3. Ke Pengadilan Pasal 128- Hakim, setelah mendengarkan perwakilan hukum dibenarkan tidak mengijinkan pernikahan tidak bisa membiarkan masalah ini untuk kelayakan kecil atau terbatas untuk menikah. TABEL. 2.1 PERBANDINGAN UU LAMA (Tahun 1917) DAN BARU (Tahun 1926) DI TURKI Usia Perkawinan No
Negara
1 Turki Dispensasi Nikah
Ottoman Law of Family Right 1917
The Turkish Civil Code 1926
Pria (Thn) 18 15
Pria (Thn) 17 16
Wanita (Thn) 17 14
Wanita (Thn) 17 16
Syarat pengurangan perkawinan menurut pengadilan
Alasan Baik Alasan Baik
Dari tabel perbandingan di atas jelas terlihat secara signifikan terhadap perubahan batas usia pernikahan. Bukan tanpa sebab Turki merubah isi dalam Undang-undang tersebut, banyaknya tuntutan
75
kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki turut serta mempengaruhi terhadap perubahan batas usia perkawinan.48 Terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi sebagaimana umur perkawinan dalam Undang-undang, Turki sama halnya dengan Indonesia dan Maroko. Memberikan keringanan atau lebih dikenal dengan istilah dispensasi kepada para calon mempelai. Sekalipun wali nikah tidak menjadi syarat mutlak dalam pernikahan di Turki khususnya terhadap mempelai wanita (Madzhab Hanafi), akan tetapi berbeda dengan masalah usia pernikahan.49 Orang tua/wali bertanggungjawab penuh terhadap pernikahan tidak normal sebelum masuk pertmbangan dewan hakim. Dijelaskan bahwa dalam kasus-kasus tertentu, pengadilan dapat memberikan izin pernikahan kepada calon mempelai yang berusia 16 tahun. Yang menarik, sekalipun memberikan dispensasi, tetapi turki tetap memberlakukan batas minimum kawin sebagai mana prinsip minimal baligh Imam Hanafi yang terkenal tegas. c. Maroko Di dunia Arab, Maroko adalah negara kedua setelah Tunisia yang memperbaharui hukum keluarga yang memberi porsi lebih besar kepada pemenuhan hak-hak kaum perempuan dalam kehidupan keluarga.50 Setelah merdeka dari Prancis pada tahun
48
Ilyas Hasan, Dinasti-dinasti Islam, (Bandung: Mizan, 1993), h. 128. Ilyas Hasan, Dinasti-dinasti Islam, h. 131. 50 Fatima Sadiqi, “Facing Challenges and Ploneering Feminists and Gender Studies: Women in Post Colonial and Today‟s Maghrib”, 468. 49
76
1956, Maroko awalnya mengadopsi kebijakan sosial konservatif (a socially conservative policy) terhadap hukum keluarga dengan menyusun kitab Hukum Keluarga. Kitab Hukum Keluarga yang diberi nama Mudawwanah alAhwâl al-Shakshiyâh pada dasarnya merupakan pengulangan daru hukum keluarga Madzhab Maliki yang diberlakukan di Maroko selama masa penjajahan Prancis. Ia dirumuskan sebagai seperangkat keputusan kerajaan Maroko yang dirilis antara tahun 1957 dan 1958. Tujuan penyusunannya adalah untuk mempersatukan seluruh kelompok masyarakat di Maroko dalam satu perangkat Hukum Keluarga.51 Selain dari pada Turki, Maroko merupakan negara yang lebih keras dalam memperjuangkan kesetaraan antara hak-hak perempuan dengan laki-laki. Hal tersebut tertuang dalam Sebelas Reformasi Utama (Eleven Main Reform), dimana pada tanggal 10 Oktober 2003 Raja Mohammad VI berpidato didepan para anggota Parlemen untuk mengusulkan sebelas reformasi mendasar dalam Hukum Keluarga di Maroko.
Dalam
pembaharuan
muatan
batas
usia
materi
ketiga
perkawinan
membahas dari
tentang
Undang-undang
sebelumnya.
http://iknowpolitics.org/sites/default/files/new20article20by20sadiqi. Pdf, diakses pada tanggal 19 Agustus 2016, 19.45. Wib 51 Fatima Sadiqi, “Facing Challenges and Ploneering Feminists and Gender Studies: Women in Post Colonial and Today‟s Maghrib”, h. 469.
77
Pada Pebruari 2004, Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah) yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad.52 Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan selain terhadap kasus perceraian juga dipastikan berdampak terhadap perubahan penetapan batas usia minimum untuk menikah pada barometer 18 tahun bagi kedua calon mempelai. Hakim dapat, bagaimanapun, menurunkan usia untuk menikah dalam kasus-kasus tertentu. Juga kesetaraan dipastikan antara anak laki-laki dan perempuan ditempatkan, dengan memungkinkan mereka untuk memilih pasangan mereka pada usia 15 tahun. Dalam kode lama, usia minimum untuk menikah adalah 15 tahun untuk anak perempuan dan 18 anak laki-laki.53 Adapun Undang-undang Maroko (Moudawana, 2004) yang menyangkut persoalan batas usia perkawinan penulis kutip secara original adalah sebagai berikut:
52
Mudawwanah al-Ahwâl al-Shakshiyâh yang berubah menjadi Mudawwanah al-Usrah. Lihat Nur Rofi‟ah, “Maroko untuk Wujudkan Keadilan melalui Hukum Keluarga”, http://kuliahhukumkeluargaIslam12.blogspot.com/2012/03/maroko-untuk-wujudkankeadilanmelalui.html. diakses pada tanggal 19 agustus 2016, 20.15.Wib 53 Moha ENNAJI, The New Muslim Personal Status Law in Marocco: Context, Proponents, Adversaries, and Argunents, (Rutgers University & University of Fès, 2003), h.3.
78
THE MOROCCAN FAMILY CODE (MOUDAWANA)54 of February 5, 2004 BOOK ONE: OF MARRIAGE Title One: Of Engagement and Marriage Title Two: Of Capacity, Tutelage and the Dowry Chapter I: Of Capacity and Tutelage in Marriage Article 19 Men and women acquire the capacity to marry when they are of sound mind and havecompleted eighteen full Gregorian years of age. Article 20 The Family Affairs Judge in charge of marriage may authorize the marriage of a girl or boy below the legal age of marriage as stipulated in preceding Article 19, in a well-substantiated decision explaining the interest and reasons justifying the marriage, after having heard the parents of the minor who has not yet reached the age of capacity or his/her legal tutor, with the assistance of medical expertise or after having conducted a social enquiry. The decree granting the petition to marry for a minor who has not reached the age of legal capacity for marriage is not open to appeal.
Jika dalam Pasal 19 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka memiliki makna sebagai berikut: “ketetapan mengenai batas usia menikah di Maroko adalah 18 tahun bagi lakilaki maupun perempuan”.Artinya, pada era saat ini hasil jerih payah kaum feminist di Maroko telah berhasil memberikan warna baru dalam perundang-undangn di Maroko terutama berkenaan dengan Hukum Keluarga. Mengenai dispensasi kawin di Maroko, sedikit menyinggung masalah perwalian di dalam pembaharuannya. Setelah melalui 54
Human Right Education Associates (HREA), THE MOROCCAN FAMILY CODE (MOUDAWANA) of February 5, 2004.
79
reformasi di tahun 2004, disebutkan bahwa tentang ketentuan seorang perempuan tidak membutuhkan izin wali untuk menikah, hal itu menimbulkan polemik mengingat apakah wali dijadikan sebagai syarat atau rukun nikah. 55 Artinya, bisakah wanita menikahkan dirinya sendiri? Terlebih apabila ketetapan umur itu tidak terpenuhi sebagaimana dalam Undang-undang. Jawabannya yaitu, sekalipun pandangan Madhzab Maliki telah mengalami perubahan setelah adanya reformasi Hukum keluarga di Maroko pada tahun 2004, akan tetapi dalam persoalan wali dan menyangkut perkawinan dibawah umur negara ini masih berpegang teguh pada prinsip Maliki yaitu mewajibkan adanya persetujuan wali bagi sebuah pernikahan. Hal itu juga selaras dengan penafsiran MOUDAWA ALUSROH Pasal 20 yang maknanya berbunyi;56“apabila terdapat calon mempelai yang kurang dari sebagaimana pasal 19, maka dengan seijin orang tua/wali dan didasarkan pada bantuan medis dan penyelidikan, maka hakim dapat memutuskan”. Dapat disimpulkan, sama halnya dengan Indonesia, dalam memberikan dispensasi pernikahan di Maroko juga menggunakan pertimbangan orang tua/wali dan pertimbangan hakim melalui 55
M. Maufur, Asal Mula Hukum Islam: al-Qur‟an, Muwatta dan Praktek Madinah, (Yogyakarta: Islamika, 2004), h.27. `56 Human Right Education Associates (HREA), THE MOROCCAN FAMILY CODE (MOUDAWANA) of February 5, 2004.
80
keterangan ahli, disamping itu ahli medis dalam hal ini juga diberikan hak atas pendapatnya sebagai salah satu pertimbangan hakim dalam memutuskan. C. Analisis Perbandingan Vertikal dan Horizontal Batas Usia Kawin di Indonesia, Turki, dan Maroko 1. Analisis Perbandingan Vertikal Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa penetapan batas usia pernikahan disetiap negara terbahas tidak lepas dari pengaruh fikih di dalamnya. Terbukti dengan dominasi corak keislaman yang bersimbolkan madzhab dalam pembentukan Undang-undangnya. Dalam hal pengaruh madzhab (fikih) didalam Perundang-undangan Indonesia dan Turki, Analisis Perbandingan Vertikal Pertama yang penulis dapat jelaskan adalah sebagai berikut; Pertama, Pengaruh kitabkitab fikih Syafi‟iyyah yang masuk dan berkembang di Indonesia merupakan hasil pendekatan orang-orang Arab yang datang untuk berdagang sekaligus menyiarkan Syari‟at Islam.57 Mudah diterimanya ajaran Islam pada masa itu melahirkan banyak berdirinya kerajaankerajaan Islam di Nusantara, sekaligus sebagai cikal-bakal pembentukan hukum Nasional termasuk hukum keluarga di dalamnya, sekalipun Indonesia sedikit banyak juga menerapkan westernisasi hukum barat akibat negara jajahan.
57
Abdul Hadi Muthohar, Pengaruh Madzhab Syafi‟i di Asia Tenggara, Fikih dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia, h.89.
81
Kedua, Turki yang menganut prinsip hukum aliran Hanafiah dalam Undang-undangnya, tak lain akibat kuatnya pengaruh dua dinasti yaitu Abbasiyah dan Utsmaniyah.58 Sejak Islam dalam masa kejayaannya di Turki, secara terang-terangan menganut Madzhab Hanafi, hal tersebut diperkuat dengan deklarasi pembentukan qanun pada masa Khilafah Utsmaniyah yang berlandaskan Madzhab Hanafi. Sekalipun pada masa kepemimpinan Attaturk segala peraturan telah banyak menagalami perubahan termasuk mendeklarasikan sebagai negara sekuler, akan tetapi didalam Undang-undang Turki khususnya mengenai usia perkawinan jelas turki tetap mengadopsi buah ijtihad dari Imam Abu Hanifah. Dalam Analisis Perbandingan Vertikal Kedua adalah; Maroko dalam pembentukan Undang-undang Hukum Keluarga memang di dominasi oleh Madzhab Maliki, tetapi khusus untuk penetapan batasan usia kawin hampir serupa dengan Indonesia yaitu berkiblat pada pemikiran Imam Syafi‟i di tambah dengan pendapat Imam Ahmad Bin Hambal. Disamping itu ketentuan lain di Maroko sama dengan Indonesia yakni mengharuskan syarat izin wali apabila kedua calon mempelai kurang dari 21 tahun. 2. Analisis Perbandingan Horizontal Apabila ketiga negara ini disandingkan mengenai Undang-undang masing-masing, maka akan sangat terlihat corak persamaan dan perbedaannya. 58
Pertama, ketiga negara tersebut
dalam Undang-
Siti Maryam, Dkk. Sejarah Kebudayaan Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: Lesfi, 2002), halaman.128.
82
undangnyamenetapkan batas usia perkawinan sebagaimana pandangan para Madzhab sekalipun madzhabnya berbeda. Madzhab yang digunakan dalam menetapkan batas usia pernikahan di Indonesia yaitu fikih Syafi‟iyah, sedangkan di Turki cenderung idealis terhadap pemikiran Imam Hanafi sekalipun telah menjadi negara sekuler. Berbeda halnya di Maroko yang dalam pembentukan Hukum Keluarganya di dominasi Madzhab Maliki, akan tetapi dalam penetapan batasan usia pernikahan condong kepada Syafi‟i dan Ahmad Bin Hambal. Khusus di Indonesia UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat (1) sekalipun di dukung oleh KHI59 Pasal 15 ayat (1) dan (2) tetap di anggap kontradiktif dengan cita-cita yang tertera dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak60 terkait penetapan batas usia calon mempelai wanita yaitu 16 tahun yang masih terikat dengan batas usia anak dibawah umur. Hal tersebut harus disikapi secara serius, mengingat agar tidak terjadi polemik dikemudian hari. Batasan usia pernikahan di Turki berubah seiring pembaharuan Hukum di negara tersebut. Namun perubahan tersebut dianggap mengalami kemunduran karena barometer usia saat ini lebih rendah
59
“Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001. 60 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
83
dibandingkan UU sebelumnya yang terdapat dalam Ottoman Law of Family Right 1917. Sedangkan di Maroko, batas usia pernikahan sebelumnya adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. Hal ini rupanya merupakan salah satu yang diangkat dalam Eleven Main Reforms,61 dimana kaum wanita menginginkan kesetaraan, sehingga berdampak pada penetapan batas usia pernikahan yaitu 18 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, dari hasil analisis di atas dapat di katakan bahwa dalam hal penetapan batasan usia minimal kawin Indonesia merupakan negara yang termasuk dalam golongan Inklusif-Konservatif artinya terbuka dengan perkembangan budaya luar tetapi tetap berprinsip pada aturan yang telah berlaku. Sedangkan Turki termasuk ke dalam golongan Inklusif-Modern artinya seiring berkembangnya zaman Turki juga melakukan perubahan terhadap peraturannya. Sama halnya seperti Turki, Maroko masuk dalam golongan InklusifModern dengan di dasarkan pada bergantinya penetapan batasan minimal usia kawin yang berasal dari kesetaraan antara kaum wanita dengan pria terutama pengaruh pembaharuan dari Tunisia
61
Moha ENNAJI, The New Muslim Personal Status Law in Marocco: Context, Proponents, Adversaries, and Argunents, h.2.
84
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari serangkaian hasil penelitian kepustakaan yang penulis susun di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari hasil penelitian Studi Komparasi yang telah dilakukan, maka dapat dijelaskan bahwa pembentukan Undang-undang Hukum Keluarga di setiap negara jelas dipengaruhi oleh fikih (Madzhab). Seperti di Indonesia yang kental dengan pengaruh fikih Syafi‟iyah, kemudian di Turki terkenal dengan fikih Hanafi, serta Maroko yang mengadopsi kitab-kitab fikih Maliki sebagai sumber utama pembentukan Hukum Keluarga. Terhadap batasan usia pernikahan tiga negara tersebut memiliki keragaman tersendiri. Indonesia misalnya, sesuai besarnya pengaruh madzhab Syafi‟i dalam pembentukan Hukum Keluarga, maka hal itu pun selaras dengan penetapan batasan usia pernikahan dalam Undang-undang yang merujuk kepada pendapat Imam Syafi‟i. Lain halnya Indonesia, Turki yang merupakan negara pertama yang memproklamirkan pembaharuan hukum Islam juga hampir serupa dengan Indonesia dalam penetapan batas usia pernikahan, yaitu mengadopsi dari fikih Hanafiah yang mempengaruhi pembentukan UU pertamanya sekalipun sekarang telah mendeklarasikan menjadi negara sekuler. Sedangkan Maroko menjadi menarik untuk dibahas karena dalam pembentukan Hukum Keluarga didominasi oleh Madzhab Maliki,
85
tetapi dalam penetapan batas usia pernikahan negara ini condong kepada pemikiran Imam Syafi‟i dan Ahmad Bin Hambal. Hal tersebut bukan tanpa sebab, melainkan karena dalam penetapan batas usia perniakahan di Maroko pemikiran Syafi‟i dan Ahmad Bin Hambal dirasa paling tepat dengan kondisi masyarakat saat itu. 2. Mengenai perbandingan UU tentang batas usia pernikahan di setiap negara memiliki pro-kontra tersendiri. Negara Indonesia dirasa paling kontradiktif, karena Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 di rasa tidak saling korelasi dengan cita-cita yang tertera dalam UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 terutama umur mempelai perempuan, sehingga menurut penulis hal itu perlu ada perbaikan demi sebuah keselarasan. Sedangkan di Turki penetapan batas usia pernikahan mengalami penyusutan dari UU sebelumnya, yakni 18 tahun bagi lakilaki menjadi 17 tahun dan bagi perempuan tetap berusia 17 tahun. Dijelaskan mengenai dispensasi pernikahan di Turki juga tetap diberlakukan penetapan usia minimal, hal ini serupa dengan pandangan Imam Hanafi yang tetap memberlakukan batas minimal usia baligh. Lain dari kedua negara sebelumnya, dalam UU MOUDAWANA Pasal 19 bahwa laki-laki dan perempuan yang ingin menikah harus berusia 18 tahun. Hal itu pun merupakan pembaharuan dari UU sebelumnya yang menetapkan batas usia pernikahan 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. Perubahan ini merupakan tuntutan masyarakat Maroko
86
karena banyaknya pernikahan dibawah umur terutama terhadap anak perempuan karena rendahnya penetapan batasan usia nikah sebelumnya.
B. Saran Akhir kata dari penulis skripsi ini, penulis mengharapkan adanya manfaat bagi kita semua. Sebelum mengakhiri tulisan ini penulis ingin memberikan sedikit saran pada para pihak yang berkompeten dalam bidang ini, kepada para pembaca khususnya pada seluruh umat Muslim. Semoga dapat menjadi masukan yang membangun dan dapat diterima. Adapun saran lainnya yang dapat penulis berikan sebagai berikut: 1. Dari hasil penelitian kepustakaan ini penulis telah berusaha menyusun secara maksimal dan optimal. Adapun terhadap kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini memang di sadari karena keterbatasan referensi terkait. 2. Hasil akhir dari terselesaikannya skripsi komparatif tentang batas usia pernikahan (studi perbandingan Indonesia, Turki, dan Maroko) diharapkan selain sebagai penambah khasanah keilmuan juga berguna sebagai bahan acuan terhadap penelitian yang akan datang sehingga melahirkan hasil-hasil penelitian yang lebih baik.
87
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyqî, Syaikh al-„Allamah Muhammad bin „Abdurrahman. FIKIH EMPAT MADZHAB. Bandung: Hasyimi, 2014 Alhusaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad. Khifayatul Al-Akhyar. Bagian 2. Surabaya: CV. BINA IMAN, 2007 Ali, Daud M. Hukum Islam PIH dan THI Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996 Ali, Mukti. Islam dan Sekulerisme di Turki. Jakarta: Djambatan, 1994 Al-Asqalani, Al-Hafizh Ibnu Hajar. Terjemah Bulughul Maram. Solo: ATTIBYAN, 2009 Al-Jaziry, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah. Jilid 7, Mesir: Dar al-Irsyad, t.th Al-Siba‟i, Musthafa. Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundangundangan. Penerjemah Chadijah Nasution. Jakarta: Bulan Bintang, 1977 Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam, Sezak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar Media, 2003 Amin, Husayn Ahmad. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999 Anderson, JND. Hukum Islam di Dunia Modern, Alih Bahasa. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994 As-Suyuthi,Muhammad bin Kamal Khalid.KUMPULAN HADITS YANG DISEPAKATI 4 IMAM (Abu Daud, Tirmidzi, Nasa‟i dan Ibnu Majah). Bandung: Pustaka Azzam, 2009 Bisri, Cik Hasan. Penuntun Penyusun Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi Bidang Agama Islam. cet. Ke-1, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya. Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1998 Diningrat, Karsidi R. Sejarah Modern Turki. Jakarta: Garmedia Pustaka Utama, 2003
88
Djadjadiningrat, P.A. Hoesain. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983 Edyar, Busman, dkk (Ed.). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009 Effendi, Bahtiar. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998 ENNAJI, Moha. The New Muslim Personal Status Law in Marocco: Context, Proponents, Adversaries, and Argunents. Rutgers University & University of Fès, 2003 Friedman, Lawrence M. The Legal System: A Sosical Science Perspective. New York: Russel Soge Foundation, 1969 Ghazali, Abdul Rahman. Fikih Munakahat. Jakarta: Kencana Pranata Media Group, 2003 ----------FIQH MUNAKAHAT. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2015 Hamka.Sejarah Umat Islam. Singapura: Pustaka Nasional, 1997 Hasan, Ilyas. Dinasti-dinasti Islam. Bandung: Mizan, 1993 Husaini,Adian.Wajah Peradaban Barat, dari hegemoni Kristen bke dominasi sekuler-liberal.Jakarta: Gema Insani Press, 2005 Ibrahim, Hasan. Al-Dakwah Ila al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nandhal alMishriyah, 1970 Imron, Ali. Kecakapan Bertindak dalam Hukum (Studi Komparatif Hukum Islam dengan Hukum Positif di Indonesia). Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 Junaedi, Dedi. Bimbingan Perkawinan (Membina Keluarga Sakinah Menurut Al Qur‟an dan As Sunnah). Jakarta: Akademika Pressindo, Cet.III, 2003 Mahmood, Tahir. Family Law Reform In the Muslim World. New Delhi: The Indian Law Institute, 1972 ----------Personal Law in Islamic Countries. New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987 Maryam, Siti Dkk. Sejarah Kebudayaan Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: Lesfi, 2002
89
Mas‟adi, Ghufron A.Encyclopedi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999 Maufur, M. Asal Mula Hukum Islam: al-Qur‟an, Muwatta dan Praktek Madinah. Yogyakarta: Islamika, 2004 Moeleong, Lexy J. METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF. ER Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2007 Mughniyah, Muhammad Jawad. FIKIH LIMA MADZHAB. Jakarta: Lentera, 2006 Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandar Lampung: PT Citra Aditya Bakti, 2010 Muslim. Sahih Muslim. Jilid 1, Jakarta: Dar Ihya‟ al-Kutub al-Arabiyah, T.t Muthohar, Abdul Hadi. Pengaruh Madzhab Syafi‟i di Asia Tenggara, Fikih dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia. Semarang: PT Pustaka Jaya Abadi, 2008 Muzdhar, M. Atho‟ dan Khairuddin, Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern dan KitabKitab Fikih. Jakarta: Ciputat Press, 2003 Nasution, Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Jakarta, INIS, 2002 ----------Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. Dan status Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam. Yogyakarta: ACAdeMIA & Tazzafa, 2009 ----------Pengantar dan Pemikiran: Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia. Yogyakarta: ACAdeMIA & Tazzafa, 2010 Ramulyo, Idris. Azas-azas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993 Sani, Abdul, Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada,1998 Shihab, M. Quraish. Perempuan. Jakarta: Lentera Hati, 2005 ----------Tafsir al Misbah. Vol. IX. Jakarta: Lentera Hati, Cet. IV, 2005 Sj, Fadil. Pasang Surut Peradaban Islam. Malang: UIN Malang Press, 2008
90
Sodikin, Ali. Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Beranda, 2012 Sosroatmodjo, Arso, dan A. Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1978 Suharsimi, Arikunto. PROSEDUR PENELITIAN SUATU PENDEKATAN PRAKTIK. ER.VI. Jakarta: PT RINEKA CIPTS, 2006 Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam. ER. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005 Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008 Supriyadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam. Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009 ----------Fikih Munakahat Perbandingan. Bandung: Pustaka setia, 2011 Su‟ud,Abu.Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia.Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003 Syafe‟i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 1999 Syahuri, Taufiqurrahman. Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: PT Garmedia Pustaka Utama, 2013 Tebba, Sudirman (ed). “Hukum Islam dalam Politik Hukum Orde Baru” dalam Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya. Bandung: Mizan, 1993 Thohir, Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011 Tjandrasasmita, Uka (Ed.). Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984 Tohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak AkarAkar Sejarah, Budaya, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 Wahid, Marzuki. Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia. Bandung: Penerbit Marja, 2014
91
Witanto, D.Y. Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012 Wakil, Muhammad Sayyid al. Wajah Dunia Islam, dari Dinasti Umayyah hingga Imperialisme Modern. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1988 Yatim, Badri. Sejarah Islam di Indonesia. Jakarta: Depag, 1998 ----------Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007
Prundang-undangan Kompilasi Hukum Islam Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2004 tetang Perubahan Perlindungan Anak Undang-Undang Negara Turki “Ottoman Law of Family Right” Undang-Undang Negara Turki “THE TURKISH CIVIL CODE 1926” Undang-Undang Negara Maroko “MOUDAWANA 2004”
Dokumen Elektronik dari Internet Http://Alfiyatuss.Blogspot.Co.Id/2011/12/Westernisasi-Dunia-Islam-KasusTurki.Html.diakses pada 15 Agustus 2016, 14.00. Wib Http://beritaislamimasakini.com/sejarah-dan-tokoh-4-mazhab-islam.html. diakses pada 25 Juli 2016, 15.15.Wib Https://indratj.wordpress.com/2016/08/01/masuknya-islam-ke-maroco/diakses pada tanggal 24 Juli 2016, 11.15. Wib Http:///macam-macampenelitiankualitatif.Subliyanto.comdiakses pada 03 Maret 2016, 12.42.Wib Https://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/hukum-Islam-di-negaramaroko/diakses pada 20 september 2016, 08.15. Wib.
92
Mudawwanah al-Ahwâl al-Shakshiyâh yang berubah menjadi Mudawwanah alUsrah. Lihat Nur Rofi‟ah, “Maroko untuk Wujudkan Keadilan melalui Hukum Keluarga”, http://kuliahhukumkeluargaislam12.blogspot.com/2012/03/maroko-untukwujudkan-keadilanmelalui.html. diakses pada tanggal 19 agustus 2016, 20.15.Wib Sadiqi, Fatima.“Facing Challenges and Ploneering Feminists and Gender Studies: Women in Post Colonial and Today‟s Maghrib”, http://iknowpolitics.org/sites/default/files/new20article20by20sadiqi. Pdf, diakses pada tanggal 19 Agustus 2016, 19.45. Wib
Ensiklopedia E. Levi Provencal dan G. S. Colin, “Marocco, Social and Economic Life”, dalam HAR Gibb (ed), First Ensyclopedia of Islam, h. 593. The World Book Encyclopedia, Vol 19, USA: World Book Inc, 1987