BATAM DAN PELAYANAN ANGKUTAN UMUMNYA
Nadia Khaira Ardi Pengajar pada Prodi Teknik Sipil – Universitas Riau Kepulauan Batam
Hufff..pagi ini perjalanan saya kembali tersendat di depan rusun Mukakuning. Batuaji – Mukakuning saja bisa ditempuh dalam 10 menit perjalanan, sedangkan dari Rusun Mukakuning ke lampu merah Panbil, harus ngantre 15-20 menit perjalanan. Hal yang biasa dialami pengguna jalan di peak hour pagi. Setidaknya, ada 2 u-turn yang harus diwaspadai pengendara, sebelum dan sesudah simpang bersinyal pada perjalanan dari Mukakuning menuju Batamcenter. U-turn pertama, tidak membolehkan pergerakan belok kanan (ada rambunya), tapi selalu difasilitasi oleh petugas keamanan setempat. U-turn kedua ada weaving antara kendaraan dari arah Simpangkabil ke kawasan industri Panbil dan kendaraan yang keluar dari kawasan industri Panbil ke arah Batuaji. Meskipun sudah ada traffic cone yang mengarahkan pengguna kendaraan untuk memutar ke uturn terdekat, seringkali pengendara yang ingin cepat tetap saja memutar di u-turn tersebut. Nah, di persimpangan beda lagi masalahnya. Kalau nonton di acara 86-nya NET TV, pengendara yang melewati stop line ditilang. Tapi kalau di Simpang Panbil, yang nilang malah mengarahkan pengguna jalan untuk melewati stop-line. Padahal ada hak pejalan kaki yang dilanggar di situ. Tidak hanya di simpang Panbil, di beberapa simpang lainnya juga beberapa kali teramati. Paling bahaya adalah u-turn dadakan yang dibuat oleh pengendara motor, melintasi median jalan yang tidak dipasangi kanstin. Sehingga tidak jarang kita harus mengerem mendadak garagara sepeda motor di depan kita, tiba-tiba berbelok mendadak tanpa lampu peringatan di u-turn yang mereka buat sendiri, hanya karena malas berputar lebih jauh sedikit di u-turn resmi. Bicara tentang perilaku pengguna jalan, ya hanya bisa sebatas anjuran untuk mengedukasi dan mengingatkan. Karena akan kembali lagi pada pribadi pengguna jalan itu sendiri, menyadari
atau tidak hak dan kewajibannya sebagai pengguna jalan. Sanksi ada. Tapi selama tidak ada penegakan sanksi, tidak akan pernah selesai dibahas masalah perilaku pengguna jalan ini. Macet, biasa terjadi di kota-kota besar di seluruh dunia. Di negara-negara maju, hal ini bisa cepat diatasi, namun belum di rata-rata negara berkembang. Kalau di Batam, lebih tepat disebut tundaan yang cukup lama, karena hanya terjadi di persimpangan dan pada jam-jam sibuk saja. Hal ini terjadi karena kendaraan bertambah menurut deret ukur, sedangkan jalan bertambah menurut deret hitung. Artinya pembangunan jalan baru tidak sebesar pertumbuhan kendaraan. Sehingga, ketika jalan tidak lagi sanggup menampung kapasitas kendaraan yang ada, maka terjadilan kondisi yang kita sebut macet. Kalau tidak ada pengendalian terhadap jumlah kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya, maka kita pastikan, 5-10 tahun mendatang, kondisi di Batam bisa seperti Jakarta. Macet bisa terjadi tidak hanya di persimpangan pada jam sibuk, tapi bisa terjadi di ruas mana saja pada jam berapa saja. Rencana pembangunan fly-over di Simpang Kabil dan Simpangjam, saya yakini hanya akan menjadi solusi sementara dalam beberapa tahun ke depan. Jika tidak dilakukan tindakan nyata pembatasan kendaraan di jalan raya melalui perbaikan kualitas pelayanan angkutan umum, maka dampak pembangunan fly-over tersebut, tidak akan terasa. Beberapa negara, sudah mulai meninggalkan kebijakan pembangunan tol dalam kota, karena dianggap bukan menjadi solusi kemacetan. “Move the people not the cars”. Maka yang harus dipikirkan adalah bagaimana mengefektifkan angkutan umum yang sudah ada, atau merencanakan angkutan umum baru dengan kapasitas muat yang lebih banyak. Memandang kemacetan terjadi karena tingginya jumlah kendaraan pribadi mungkin benar. Tapi menyalahkan pengguna kendaraan pribadi juga bukan hal yang tepat.Kita harus melihat penyebab, kenapa masyarakat lebih memilih menggunakan angkutan pribadi dibandingkan angkutan umum? Angkutan umum menggunakan prasarana secara lebih efisien dibandingkan dengan kendaraan pribadi, terutama pada jam-jam sibuk. Kinerja (performance) angkutan umum, biasanya dinilai dari beberapa hal: operasi pelayanan, frekuensi, kecepatan dan kenyamanan pengguna, dan dinilai pula dari sarana penunjang yang ada seperti penentuan lokasi dan desain tempat
pemberhentian dan terminal serta pemberian prioritas yang lebih pada angkutan umum (jalur khusus bus, prioritas bus, lampu lalu lintas dan lain sebagainya), (Tamin, 2000). Sebagai angkoters sejati (tapi tidak dalam dua tahun terakhir ini), saya sudah pernah merasakan naik angkutan umum di Batam dengan kondisi tiba-tiba kopling kendaraannya putus di jalan.Tidak jarang, beberapa angkutan umum saling mendahului dengan kecepatan tinggi, berebut mendapatkan penumpang. Belum lagi mobil yang ngetemnya lama, lebih dari setengah jam, terus ketika saya tanya, sopir angkotnya malah marah dan meminta saya untuk naik angkot lain saja kalo ingin buru-buru (haduh, harusnya dia bilang di awal ketika baru ngetem 10 menit). Angkutan umum lainnya, menentukan rute berdasarkan demand. Saat itu, saya menjadi penumpang tunggal di angkot yang disepakati melewati rute A. Di salah satu pusat perbelanjaan, ada serombongan karyawan yang sepertinya hendak pulang. Mereka bertanya pada sopir angkot tersebut, apakah kendaraannya melewati rute B. Sopir angkot langsung meng-iya-kan, tanpa persetujuan saya, dan langsung meminta saya untuk turun dan mencari angkot lain (nasib.. nasib). Angkutan umum seperti ini, bisa disebut semi angkutan umum atau paratransit, yang menyediakan layanan perorangan atau kelompok dan bukan layanan massal. Ya… seperti taksi plat hitam kalau di Batam. Ada lagi angkutan umum rute C, yang pintunya dibuka manual, nutup otomatis (alias nutup sendiri kalo sopirnya nge-rem).Memang tidak semua, masih ada angkot yang pelayanannya baik dan kendaraannya bagus. Tapi ya..itu, rata-rata penumpang tidak merasakan pelayanan yang maksimal dari angkutan umum. Syukurnya saat ini sudah bisa merasakan layanan taksi berargo, dengan pelayanan cukup baik sehingga saya tidak lagi diledekin teman-teman yang di luar Batam yang selalu bilang, taksi kok bisa ditawar. Angkutan umum terjangkau lainnya yang saya rasa cukup bagus adalah BPP-Batam (Bus Pilot Project) atau yang lebih dikenal dengan bus Trans Batam. Permasalahan utamanya adalah, trayek yang terbatas dan jumlah armada yang sedikit, sehingga waktu tunggu penumpang menjadi lama.Belum lagi kalau ada acara-acara tertentu, bus ini seringkali dikaryakan, sehingga bus yang beroperasi melayani penumpang menjadi berkurang jumlahnya.
Dalam salah satu penelitian yang pernah saya lakukan pada bulan November tahun 2012, tentang Kinerja Angkutan Umum dari Sisi pengguna (studi kasus BPP Batam), terlihat bahwa indikator keselamatan, kemananan dan kenyamanan penumpang merupakan hal penting yang diharapkan oleh para pengguna jasanya, yang diharapkan dapat ditingkatkan agar lebih baik lagi. Demikian pula dengan ketersediaan moda. Sedangkan ketepatan waktu datang dan pergi kendaraan serta ketersediaan fasilitas penunjang juga merupakan indikator penting yang sejauh ini dinilai responden cukup baik dan perlu dipertahankan oleh penyelenggara BPP-Batam. Indikator lain yang dinilai adalah kepedulian dan perhatian pengemudi/petugas, pemberian informasi yang tepat, kerapihan dan kebersihan pengemudi, keramahan dan kesopanan pengemudi, serta kondisi halte.Secara keseluruhan, pelayanan BPP-Batam dinilai cukup baik karena persentase 11 indikator yang belum sesuai dengan yang diharapkan pengguna rata-rata di bawah 50 persen. Menarik membaca kutipan kalimat Enrique Penalosa, mantan Wali Kota Bogota, Kolombia.“A developed country is not a place where the poor have cars. It’s where the rich use public transportation”. Mantan Wali Kota Bogota ini, serius membenahi transportasi publiknya.Di era kepemimpinannya sistem Bus Rapid Transit (BRT) Trans Millenio dibangun. TransMilenio adalah sistem bus cepat, yang merupakan jaringan modern menghubungkan bus pada jalur khusus (busway) dan bus berukuran kecil (feeder).Sistem ini melayani area perumahan dan membawa penumpang ke area utama. Dalam pemikirannya, perbaikan angkutan umum massal dan penyempitan jalan untuk mobil pribadi akan mendorong masyarakat untuk memilih menggunakan sepeda untuk perjalanan jarak dekat dan angkutan umum untuk jarak jauh. Beberapa ruas jalan utama di Bogota dirubah menjadi jalur sepeda dan pejalan kaki. Jalur sepeda di Bogota disebut “ciclorutas”, merupakan jalur yang ekstensif dibandingkan kotakota lain. Sejak pembangunan jalur ini, penggunaan sepeda bertambah 5 kali di dalam kota dan diperkirakan terdapat 300,000 sampai 400,000 perjalanan dilakukan setiap hari di dalam Bogota menggunakan sepeda.
Hal ini berdampak pada perubahan perilaku masyarakatnya dimana 60 persen penduduk Bogota menggunakan bus, 35 persen menggunakan sepeda, dan 15 persen tetap memakai kendaraan pribadi. Sistem transportasinya terintegrasi dengan baik. Ada airport internasional, jalur bis, taksi, sistem massal TransMilenio dan kereta yang melayani transportasi dari kota ke arah luar. Bagaimana dengan kita, masyarakat Batam? Publik memang tidak punya pilihan lain selain harus membeli kendaraan sendiri karena tidak terkoneksinya transportasi publik dengan baik. Hal ini berdampak pada makin banyaknya jumlah kendaraan di Batam.Rata-rata kendaraan yang ada di Batam, tidak bisa dibawa keluar dari Kota Batam, sementara kendaraan dari luar Batam, bebas masuk ke Batam. Belum ada kebijakan serius yang dikeluarkan untuk menangani hal ini.Bagaimana dengan masyarakat yang captive alias tidak punya pilihan moda transportasi?Terpaksa tetap harus menggunakan angkutan umum yang ada, dengan tingkat pelayanan seadanya.Pembuatan lajur sepeda? Bukannya tidak mungkin. Tapi masyarakat kita harus teredukasi dengan baik.Dikhawatirkan, jalur sepeda nantinya malah dimanfaatkan oleh pengguna sepeda motor. Trotoar saja, hingga saat ini belum berfungsi maksimal karena digunakan oleh pedagang kaki lima dan pengguna sepeda motor. Rasanya harus sudah mulai dipikirkan untuk mengalihkan dana pembangunan jalan tol atau fly over pada perbaikan moda angkutan umum misalnya dengan memberikan kemudahan bagi operator angkutan umum untuk mengupayakan kendaraan pengganti jika kendaraannya sudah tidak laik lagi alias diremajakan, pengadaan kendaraan yang kapasitasnya lebih besar BRT (Bus Rapid Transit) atau jika mungkin membuat MRT (Mass Rapid Transit). Seperti yang saya pernah tulis sebelumnya, bercermin pada Seoul, Korea dan Milwaukee, USA, beranikah kita mengambil kebijakan yang sama? Ketika banyak kota di dunia berlombalomba membangun jaringan jalan baru sebagai langkah untuk mengimbangi pertumbuhan kendaraan yang sangat cepat, dua kota di atas malah mengambil kebijakan berbeda, dengan merubuhkan jalan bebas hambatan di tengah kota, dan membuatnya lebih humanis dengan menjadikannya taman kota yang hijau dengan aliran sungai yang dilengkapi dengan fasilitas fisik pejalan kaki.
Dua contoh kota ini, telah membuktikan bahwa penentuan kebijakan dan perencanaan sektor transportasi yang dikembangkan dengan mempertimbangkan kualitas lingkungan, berhasil menumbuhkan revitalisasi di pusat kota (ITDP). Para pengambil kebijakan, mulailah membuat kebijakan serius tentang sistem one in dan one out untuk kendaraan pribadi, fasilitas scrapping untuk kendaraan yang sudah tidak lagi terpakai, pembangunan lajur khusus kendaraan berat yang mungkin diawali dengan pengaturan jam operasi kendaraan berat, meningkatkan besaran pajak dan tarif parkir untuk angkutan pibadi, tentunya dengan terlebih dahulu memperbaiki kondisi dan kualitas pelayanan angkutan umum yang ada. Harapannya, Batam menjadi kota yang lebih humanis dengan sistem transportasi yang terintegrasi dan berkelanjutan. ***