Mengais Sisa-sisa Tetes Getah Karet Written by Hermas E Prabowo dan Haryo Damardono
Tarsin (70) kelelahan. Matanya menatap lesu. Memegang ember berisi lhem, atau sisa tetes getah karet alam, ia duduk di bawah pohon karet di area perkebunan PT Perkebunan Nusantara XIX di Sedandang, Pageruyung, Kendal, Jawa Tengah. Sudah empat jam ia menyusuri perkebunan itu untuk mengais sisa getah karet.
Baru dapat 1,5 kilogram kotor,” kata Tarsin dalam bahasa Jawa, akhir Maret lalu.
Padahal, ia telah menyusuri batang demi batang pohon karet di perkebunan itu mulai pukul 05.00 hingga 09.00.
Dengan 1,5 kg lhem kotor, atau masih bercampur tanah, yang dihasilkannya, itu berarti ia hanya mendapat sekitar 1 kg lhem bersih. Itu juga berarti upah yang diterimanya hari itu hanya Rp 1.400 karena 1 kg lhem harganya Rp 1.400.
Padahal, hari itu setidaknya 100 batang pohon karet telah ia ”sapa” untuk mengais sisa getah karet yang ada.
Dengan jarak antarpohon karet sekitar 10 meter, pagi itu Tarsin setidaknya telah berjalan 1 kilometer menyusuri perkebunan karet. Itu belum termasuk perjalanan yang harus ditempuh dari rumahnya di RT 06 RW 02 Dukuh Laban, Desa Bangunsari, Pageruyung, Kendal, ke areal kebun milik PTPN XIX yang berjarak sekitar 3 km.
”Habis kalau enggak begini mau makan apa. Jadi buruh tani tenaga sudah tidak kuat. Kalau tidak mencari lhem, tidak makan karena anak-anak juga kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri,” kata Tarsin yang kini tinggal berdua dengan istrinya.
1/5
Mengais Sisa-sisa Tetes Getah Karet Written by Hermas E Prabowo dan Haryo Damardono
Tekadnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup membuat Tarsin tidak beranjak pulang meski perutnya sudah lapar. ”Sekarang yang cari lhem banyak, saling berebut. Semua orang butuh makan,” tuturnya.
Tidak jauh dari tempat Tarsin duduk, Tutur alias Paoyi, warga Bangunsari, sibuk mengais lhem di tanah bekas tetesan getah karet. Selain harus menghidupi istri dan satu anaknya, Tutur juga harus menanggung biaya hidup keponakannya.
Meski hasil dari mengais lhem tak mencukupi, bagi Tutur tidak ada pilihan lain. ”Kerjaan banyak di kampung, tetapi yang bayar enggak ada,” katanya.
Lhem adalah istilah yang kerap dipakai di lingkungan perkebunan karet di Jawa, untuk menyebutkan sisa tetesan getah karet hasil sadapan.
Biasanya lhem ada setelah penyadap mengambil hasil sadapannya berupa getah karet berwarna putih. Setelah getah itu diambil penyadap, ada sisa tetesan getah yang tertinggal di pohon atau jatuh ke tanah. Sisa getah itulah yang disebut lhem.
Berebut lahan
Biasanya lhem dibiarkan berhari-hari hingga menumpuk sehingga baunya seperti telur busuk. Pihak perkebunan biasanya mengambil lhem dalam periode tertentu, yaitu 15-30 hari sekali. Namun, kini sebelum pihak perkebunan mengambilnya, masyarakat sudah lebih dulu mengaisnya.
Warga Desa Bangunsari dan desa lain di sekitar kawasan perkebunan karet terpaksa mengais lhem karena tidak punya pilihan. Saat ini pekerjaan sulit didapat, sementara anak dan istri butuh makan.
Berharap bisa mendapat pekerjaan di desanya hampir mustahil. Pergi ke kota pun belum tentu
2/5
Mengais Sisa-sisa Tetes Getah Karet Written by Hermas E Prabowo dan Haryo Damardono
menjanjikan. Pendidikan penduduk yang rata-rata hanya tamat SD atau SMP membuat mereka sulit memasuki pasar kerja formal.
Menjadi buruh tani juga sulit karena Kecamatan Pageruyung, tempat tinggal mereka, bukanlah sentra produksi beras atau komoditas pertanian lain.
Warga pemilik sawah umumnya hanya memiliki lahan kurang dari 3.000 meter persegi sehingga tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Apalagi, sawah di wilayah itu tadah hujan yang dalam setahun hanya ditanami dua kali.
Mau jadi karyawan penyadap getah karet di PTPN XIX juga sulit. Persaingan sangat ketat. Belum lagi jumlah penyadap karet dibatasi. Memang kadang kala mereka bisa bekerja sebagai buruh harian di perkebunan itu, tetapi tidak setiap waktu.
Mencari kayu bakar pun sudah tidak mungkin sebab perkebunan karet baru saja diremajakan. Tidak banyak ranting atau cabang kering yang bisa diambil.
Menjadi pedagang, tidak ada modal. Jangankan untuk modal, buat makan setiap hari sulit. Kini hanya mengais lhem satu-satunya peluang yang ada bagi warga Bangunsari untuk mengais rezeki, setidaknya agar dapat bertahan hari ini. Jumlah penduduk desa itu sekitar 5.000 jiwa.
”Mungkin warga sini kalau enggak ada lhem sudah kelaparan semua,” kata Tutur.
Memang ada sejumlah warga, terutama perempuan, yang nekat mengadu nasib menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia atau negara-negara di Timur Tengah.
Namun, menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri pun butuh modal awal dan itu juga tidak mudah didapat. Apalagi, ada beberapa orang warga desa itu yang sejak berangkat ke luar negeri hingga kini belum ada kabar beritanya.
3/5
Mengais Sisa-sisa Tetes Getah Karet Written by Hermas E Prabowo dan Haryo Damardono
Begitu berartinya lhem bagi warga desa, tidak peduli anak- anak, perempuan, kakek-kakek, nenek-nenek, remaja putra maupun putri, semuanya tumpah ruah ke perkebunan karet. Siang malam, bahkan hingga tengah malam, perkebunan karet ramai didatangi pencari lhem.
Pengumpul
Apa yang saat ini dikerjakan warga Desa Bangunsari dan sekitarnya hanyalah potret dari kemiskinan yang ada di masyarakat. Warga sulit mendapatkan pekerjaan karena lapangan kerja di pedesaan begitu sempitnya. Daya beli pun menurun.
Pergi ke kota, seperti Jakarta, juga belum menjamin akan ada harapan. Kota tak lagi ramah pada pendatang kelas bawah, apalagi tanpa bekal pendidikan dan keterampilan.
Di tengah pekerjaan yang sulit didapat, kini mereka harus menghadapi kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Harga beras medium naik lebih dari Rp 1.000 per kg dari harga setahun lalu, minyak goreng naik Rp 6.000 per liter, minyak tanah langka, kalaupun ada harganya naik.
Harga tahu-tempe, yang jadi menu utama warga kelas bawah, pun naik. Belum lagi ongkos transportasi, yang juga turut melonjak, hingga membuat harga sayuran, bawang merah, bawang putih, cabe, dan berbagai kebutuhan lain ikut naik.
Harga cabe merah keriting saja saat ini sudah lebih dari Rp 25.000 per kg.
”Untuk makan tiap hari satu keluarga setidaknya harus ada uang Rp 15.000. Namun, jangankan mendapatkan uang sebanyak itu per hari, mencari Rp 5.000 saja susah,” kata Tutur.
Itu pula yang saat ini dialami Tarsin. Meski sudah mencari lhem sejak pukul 05.00, dia belum berniat pulang. Setidaknya ia harus mendapatkan 3 kg lhem sebelum pulang. Untuk itu, ia bisa seharian mencari lhem di perkebunan hanya untuk mendapatkan uang untuk membeli 1 kg
4/5
Mengais Sisa-sisa Tetes Getah Karet Written by Hermas E Prabowo dan Haryo Damardono
beras.
Meskipun perut tuanya kosong karena tak membawa bekal, ia tetap harus berjalan menyusuri satu demi satu batang karet. Lhem yang ia cari akan dijual ke pengumpul. Oleh pengumpul lhem dijual ke kota, seminggu atau dua minggu sekali.
Bagaimanapun, fenomena lhem di Desa Bangunsari adalah fenomena kemiskinan yang menyelimuti bangsa ini.
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.09.0130053
5/5