Linguistika Akademia Vol.1, No.2, 2012, pp. 169~180 ISSN: 2089-3884
TEMBUNG RURABASA DALAM BAHASA JAWA Evi Aprilia e-mail:
[email protected] ABSTRACT Rurabasa in Javanese means as sentence which still uses by society although the meaning is false and usual use by them. In this case, rurabasa has different meaning with the real meaning by the speaker. The aim of this paper is to analyze how far the differences between rurabasa with the real meaning. What is the factor that might this phenomena still used by the society of Java. For analyzing this paper, the writer uses linguistic structural theory, specifically in London minded. With uses the theory of meaning by Firth. The result of this analysis is shows that the usage of rurabasa in Javanese is only understand by certain people. In the contexts of the people who know the situation and condition when the utterance was uttered. Where is the words mikul soto (loads soto), for the example, define as loads a pan of soto. Not define as loads soto that in fact soto is a kind soup, which is can’t load by people.
ABSTRAK Kalimat rurabasa dalam bahasa Jawa berarti kalimat yang tetap penggunaannya walaupun salah kaprah dan lazim digunakan oleh masyarakat. Dalam hal ini kalimat rurabasa memiliki perbedaan makna antara makna asli kalimat dengan makna sebenarnya yang dimaksudkan dengan penutur. Tujuan penulisan jurnal ini untuk meneliti sejauh mana perbedaan makna yang terdapat dalam rurabasa dan makna sebenarnya. Hal-hal apa saja yang memungkinkan pemakaian rurabasa ini dilazimkan dan masih terus digunakan oleh masyarakat Jawa sampai saat ini. Untuk menganalisa fenomena ini, penulis menggunakan teori linguistik struktural, dengan spesifikasi aliran London. Dengan menggunakan teori makna Firth. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa pemaknaan rurabasa dalam bahasa Jawa hanya dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Dalam konteksnya yang paham dengan situasi kondisi saat dituturkan ujaran tersebut. Dimana kata-kata mikul soto, misalnya dipahami sebagai mikul kwali isine soto (memikul kuali berisi soto). Bukan diartikan leterlek sebagai memikul soto yang pada kenyataannya akan sangat sulit diterima akal sehat. Karena bentuk soto yang berupa makanan berkuah. Jadi tidak memungkinkan untuk dipikul. Kata kunci: Rurabasa; makna; bahasa Jawa.
170
A. PENDAHULUAN Pada dasarnya makna merupakan inti dari segala sesuatu, baik itu benda konkret maupun abstrak. Sama halnya dengan unsur kebendaan, makna dalam tiap kata dalam bahasa merupakan inti dari kata itu sendiri. Baik kata itu bersanding dengan kata yang lain maupun berdiri sendiri. Makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri terutama kata-kata (Djajasudarma, 2009:7). Beberapa definisi makna antara lain makna merupakan suatu sifat intrinsik, konotasi suatu kata, tempat sesuatu di dalam sistem, kata-kata lain yang dihubungkan dengan sebuah kata di dalam kamus, dan lain-lain (Leech,1974:7). Sedangkan, menurut Palmer (1981:4) setiap kata tidak hanya memilki satu makna literal saja, melainkan makna lain yang muncul ketika bersanding dengan kata yang lain. Makna dari suatu kata didefinisikan sebagai bagian dari hubungan kata itu sendiri dengan kata lain dalam suatu bahasa (Saeed, 1997: 53). Sehingga makna suatu kata dapat dicermati dan didefinisikan ketika kata itu berdiri dalam suatu kalimat dan bersanding dengan kata-kata yang menyusun kalimat itu sendiri. Leech (1974:38) membagi tipe makna menjadi tujuh yang dapat dikategorikan kedalam tiga tipe dasar yakni 1) makna konseptual; 2) makna asosiatif, dan 3) makna tematik. Yang tergabung dalam makna asosiatif antara lain makna konotatif (makna kiasan atau makna tak sebenarnya), makna stilistik (makna yang berhubungan dengan keadaan sosial penggunanya), makna afektif (makna yang berasal dari perasaan atau tingkah laku penuturnya), makna refleksi (makna kiasan dari ungkapan yang sama), dan makna kolokatif (makna yang timbul dari asoasiasi makna kata yang berbeda). Karena makna memiliki intensitas untuk berubah-ubah baik bersandingan dengan kata lain atau berdiri sendiri, maka makna juga dapat berubah tergantung siapa pemakainya. Adakalanya suatu bahasa memiliki pencitraan arti yang berbeda-beda di suatu daerah dengan daerah lain. Tiap-tiap masyarakat bahasa belajar dari tetangga-tetangganya. Barang-barang, baik alami maupun buatan, diteruskan dari satu masyarakat ke masyarakat lain, begitu pula pola-pola perbuatan (Bloomfield, 1933:430). Dari sini dapat kita lihat bahwa bahasa sebagaimana bagian dari kehidupan bermasyarakat Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 169 – 180
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
171
memiliki tendensi untuk dipakai tidak hanya oleh masyarakat asal tetapi juga diteruskan ke sekelompok masyarakat yang lain. Dalam hal ini, pengguna Tembung Rurabasa dalam bahasa jawa sangat erat kaitannya dengan pemaknaan kata. Karena walaupun sudah sama-sama mengetahui maksudnya, masyarakat khususnya suku Jawa sudah melazimkan pengguna tembung atau kata ini. Yang sebenarnya memiliki beberapa kejanggalan makna sebenarnya dengan makna yang dimaksudkan. Untuk itu, penulis menfokuskan pembahasan jurnal ini pada dua permasalahan: (1) sejauh mana perbedaan makna rurabasa yang dipahami oleh masyarakat Jawa denga makna asli kata tersebut. (2) Hal-hal apa saja yang memungkinkan rurabasa ini masih tetap digunakan dalam kalangan masyarakat Jawa. Untuk menganalisa fenomena ini, penulis menggunakan teori linguistik struktural, dengan spesifikasi aliran London. Walaupun pada dasarnya aliran ini menitikberatkan pada bidang fonetik dan fonologi. Namun setelah berkembang, maka aliran inipun juga mengkaji masalah kolokasi, konteks situasi dan fonologi prosodi (Kridalaksana: 55). Selanjutnya, penulis menggunakan teori makna Firth untuk mengkaji lebih lanjut tentang penggunaan rurabasa ini. Firth menyatakan bahwa kata-kata itu adalah pola-pola tingkah laku, dan dalam pola ini, kata-kata tersebut menpunyai fungsi koordinasi. Kata-kata itu mengacu kepada sesuatu dan situasi. Dalam bahasa tutur, untuk mengetahui makna, ada tiga hal yang terlibat, yakni: sikap terhadap acuan, sikap terhadap mitra tutur dan sikap terhadap ujaran itu sendiri. B. LANDASAN TEORI Dalam bukunya, Alwasilah menyebutkan bahwa, pada tahun 1930an Firth menyetujui bahwa makna adalah the total network of relations or functions into which any linguistic item anters (= jaringan keseluruhan dari relasi-relasi dan fungsi-fungsi ke dalam mana setiap butir linguistik masuk). Firth berbicara tentang makna sebagai berikut. Saya mengusulkan pemisahan makna atau fungsi ke dalam satu urutan fungsi-fungsi unsur. Setiap fungsi akan dibatasi pemakaian bentuk bahasa atau unsur bahasa dalam hubungannya dengan konteks. Dengan perkataan lain makna haruslah dianggap satu keseluruhan hubungan-hubungan kontekstual, dan fonetik, grammar, Tembung Rurabasa dalam Bahasa Jawa (Evi Aprilia)
172
leksikolografi, dan semantik masing-masing mengatur unsurunsurnya sendiri dari keseluruhan itu dalam konteksnya yang cocok. (Firth dalam hill, ed. 1962:252).
Dari pernyataan di atas nampaklah bahwa konsep makna dari Firth adalah social dan behavioral. Bahwasanya kata-kata menjadi bagian dari kebiasaan, dan makna yang mungkin dimiliki kata-kata itu adalah pola-pola tingkah laku, dan dalam pola ini kata-kata tersebut mempunyai fungsi koordinasi. Kata-kata mengacu kepada sesuatu dan situasi. Inilah yang disebut sebagai directive reference. Dalam bahasa ucapan, makna melibatkan paling tidak tiga hal lain yaitu: sikap terhadap acuan (reference), sikap terhadap lawan tutur kata, dan tujuan dari ujaran itu sendiri. Firth Menolak analisis makna hanya dalam sistem bahasa saja (Alwasilah, 1992: 68). Dalam kaitannya dengan konteks teori makna Firth, dalam hal ini terjadi fenomena tersebut dalam bahasa Jawa. Yakni rurabasa, yang mengkorelasikan antara hubungan makna dengan pola-pola tingkah laku. Yang mengacu pada situasi, dan tujuan ujaran yang menjadi bagian dari kebiasaan. Dalam bahasa linguistik disebut makna asosiasi. Yakni adanya hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain yang berkenaan dengan bentuk ujaran itu, sehingga demikian bila disebut ujaran itu maka yang dimaksud adalah sesuatu yang lain yang berkenaan dengan ujaran itu (Chaer: 2007: 313). Makna yang dimaksud bisa saja berarti sesuatu yang lain yang berhubungan dengan sesuatu ujaran yang diucapkan. Sedangkan lazimnya, makna ujaran seharusnya sama dengan makna yang dimaksud. Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi. Rurabasa diartikan sebagai tetembungan sing ajeg nganggone sanajan salah kaprah (kalimat yang tetap digunakan walaupun salah kaprah) (Hendra Prayitna - M. abi Tofani, 2000: 76). Yang berarti bahwa rurabasa ini sudah diketahui oleh masyarakat jika makna kata tersebut salah, tetapi masih tetap digunakan. Hanya sedikit orang yang sadar akan kesalahan makna kata tersebut, seolah penggunaan kata tersebut sudah benar. Dan sebagian besar orang sudah melupakan makna asli dari kata yang termasuk tembung rurabasa. Salah kaprah ini berlanjut dikarenakan hal ini sudah dianggap lazim dan menjadi hal yang dibenarkan. Ketidakpahaman juga bisa menjadi faktor lain dalam eksistensi Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 169 – 180
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
173
rurabasa ini. Maka karena sudah mentradisi, rurabasa menjadi bab tersendiri yang dibahas di dalam kerangka bahasa Jawa. Contoh kata rurabasa ini antara lain: No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Contoh Rurabasa Adang Sega Mangan Awan Menek Klapa Mikul Bakso Njahit Klambi Nguleg Sambel Nulis Layang Nunggu Manuk
9.
Negor Jambu
10.
Tangi Turu
Arti kata
Makna Sebenarnya
Menanak nasi Makan siang Naik kelapa
Menanak beras agar menjadi nasi Makan di saat siang hari Naik pohon kelapa
Memikul bakso Jahit baju
Memikul wadah berisi bakso Menjahit kain agar menjadi baju Menghaluskan bumbu agar menjadi sambal Menulis tulisan supaya berbentuk surat Menjaga sawah agar padinya tidak dimakan burung Menumbangkan pohon Jambu
Menghalus kan sambal Menulis Surat Menunggu burung Menumban gkan Jambu Bangun tidur
Bangun setelah tidur
Dapat diketahui dari contoh kata-kata di atas bahwa makna yang dimaksud tidak sepenuhnya sesuai dengan makna yang terkandung dalam ujaran. Tetapi makna yang dimaksud hanya sedikit berhubungan dengan kata yang diucapkan. Fenomena ini menjadi suatu bukti bahwa makna asosiatif masih kental terkandung, khususnya di bahasa Jawa. Ketidaksesuaian makna dengan ujaran, bisa saja menjadi faktor kesalahpahaman antara penutur dengan target tuturan. Tembung Rurabasa dalam Bahasa Jawa (Evi Aprilia)
174
C. ANALISIS Untuk mengetahui sejauhmana perbedaaan antara makna kata dan makna sebenarnya yang dimaksud oleh penutur, maka penulis akan menganalisis satu persatu tembung rurabasa yang dicontohkan di atas. 1. Adang Sega Pada kata ini mempunyai arti kata nanak nasi dalam bahasa Indonesia. Maksud dari kata ini adalah menanak beras agar menjadi nasi. Penggunaan kata ini biasanya digunakan saat seseorang sedang memasak beras. Misalnya, Ibuku lagi adang sega (Ibu saya sedang menanak nasi). Dalam contoh ini, bisa dipahami bahwa seolah, nasi dan beras adalah hal yang sama. Pada kenyataanya, beras adalah padi yang telah terkelupas kulitnya (yg menjadi nasi setelah ditanak). Sedangkan nasi adalah beras yang sudah dimasak (dengan cara ditanak atau dikukus). Jelas bahwa yang harus ditanak agar bisa dimakan adalah beras. Sedangkan tanakan beras selanjutnya disebut nasi. Penggunaan nasi pada kata adang sega yang berarti nanak nasi mengindikasikan adanya kesalahpahaman tentang arti kata beras dan nasi. Dalam kata nanak nasi, ada kesalahan arti, jika diartikan secara arti kata yaitu, menanak hasil tanakan beras yang sudah berupa nasi. 2. Mangan Awan Kata mangan awan ini berarti makan siang, yang mempunyai makna sebenarnya adalah makan pada siang hari. Contoh kata, Suparno mangan awan (Suparno makan siang), dalam konteksnya harusnya menjadi: Suparno mangan wayah awan (Suparno makan saat siang hari). Ada perbedaan yang cukup signifikan pada dua kalimat di atas. Contoh pertama, bermakna bahwa seseorang yang bernama Suparno memakan awan (siang). Sedangkan kalimat kedua bermakna seseorang yang bernama Suparno makan pada saat siang hari. Kalimat ini akan jelas maknanya jika objek tuturan mengetahui konteks kalimat tersebut. 3. Menek Klapa Di kata menek klapa ini, mempunyai arti kata naik kelapa. Makna yang sebenarnya adalah naik pohon kelapa. Perbedaannya Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 169 – 180
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
175
dapat diketahui pada contoh kalimat berikut: (1) Pak Radi menek klapa. (2) Pak Tono menek wit klapa. Kalimat (1) berarti Pak Radi naik kelapa. Kalimat (2) berarti Pak Tono naik pohon kelapa. Kalimat (1) bermakna bahwa Pak Radi sedang menaiki kelapa. Kelapa yang kita ketahui sebagai buah kelapa yang bentuk buahnya tertutup sabut dan tempurung yang keras, di dalamnya terdapat daging yang mengandung santan dan air. Bisa diketahui jika buah tersebut tidak bisa dinaiki, karena tentu saja badan Pak Radi lebih besar daripada kelapa. Sedangkan kalimat (2) bermakna Pak Tono naik atau memanjat pohon kelapa yang pohon tersebut merupakan tumbuhan palem yg berbatang tinggi, buahnya tertutup sabut dan tempurung yg keras, di dalamnya terdapat daging yg mengandung santan dan air, merupakan tumbuhan serba guna. Kalimat ini make sense, karena pohon tersebut bisa dinaiki atau dipanjat oleh Pak Tono. Tetapi, masyarakat sudah terbiasa menggunakan kalimat (1) karena lebih simple dan sudah bisa memahamkan lawan tutur karena kalimat (1) sudah biasa digunakan daripada kalimat (2). 4. Mikul bakso Tembung atau kata ini mempunyai arti memikul bakso, makna sebenarnya adalah memikul wadah berisi bakso. Ketika ada seseorang yang memikul sesuatu, berarti sesuatu itu mempunyai masa yang berat. Sedangkan bakso yang kita ketahui adalah makanan terbuat dari daging, udang, ikan yang dicincang dan dilumatkan bersama tepung kanji dan putih telur, biasanya dibentuk bulat-bulat. Jadi tidak mungkin jika dipikul, dibawa dengan tanganpun sudah cukup. Tetapi jika kata rurabasa di atas, bermakna bakso tersebut sudah berupa racikan-racikan untuk membuat bermangkuk-mangkuk bakso, yang terdiri dari bakso itu sendiri, sayuran, bumbu dan kuah yang biasanya di tempatkan dalam wadah atau panci besar. Kesemuanya itu mempunyai masa berat, jadi dibawa dengan dipikul. Sekarang lebih modern dan mudah dengan cara didorong memakai gerobak. Kata ini sudah lazim digunakan, karena masyarakatpun sudah paham dengan penggunaan kata ini. 5. Njahit klambi Makna contoh rurabasa di atas berarti njahit kain supaya dadi klambi (Hendra Prayitna - M. abi Tofani, 2000: 76). Dalam bahasa Tembung Rurabasa dalam Bahasa Jawa (Evi Aprilia)
176
Indonesia berarti menjahit kain agar menjadi baju. Ketika pemaknaannya secara perkata, brarti menjahit baju, padahal baju yang kita ketahui itu barang yang sudah jadi. Baju tersebut merupakan bentuk dari kain yang dijahit dengan pola tertentu, sehingga bisa menutupi badan. Kecuali jika menjahit baju yang robek, sehingga perlu dijahit ulang untuk menutupi robekan di baju tersebut. Terbukti bahwa dalam contoh kata ini terdapat makna ganda. Bisa menjadikan salah persepsi antara penutur degan lawan tutur. 6. Nguleg Sambel Kata nguleg sambel yang berarti menghaluskan sambal. Bermakna sesungguhnya, menghaluskan bumbu-bumbu yang biasanya berbentuk makanan penyedap yang dibuat dari cabai, garam, bawang merah, tomat dan bumbu lain yang ditumbuk atau dihaluskan, biasanya dimakan bersama nasi. Ketika sambal ini diuleg, berarti bahwa proses pengulegan ini berlangsung dua kali. Harusnya yang diuleg bukan sambalnya, tetapi bumbu-bumbunya agar halus seperti sambal. Akan terasa perbedaannya di dalam kalimat berikut: (1) Ulegna bumbu-bumbu iku! (2) Siti lagi nguleg sambel. (3) Siti lagi nguleg bumbu. Pada kalimat (1) berarti bahwa, ada kalimat perintah yang mengandung makna agar seseorang mau menghaluskan bumbu-bumbu yang ada. Kalimat (2) berarti Siti sedang menghaluskan sambal. Kalimat ini mengandung kata rurabasa. Kalimat (3) berarti Siti sedang menghaluskan bumbu. Antara kalimat (2) dan (3), yang sering digunakan adalah kalimat (2). Kalimat (3) masih dirasa janggal dalam pemakaiannya. 7. Nulis layang Kata nulis layang ini mempunyai makna nulisi dluwang supaya dadi layang (Hendra Prayitna - M. abi Tofani, 2000: 76). Maksudnya adalah menulisi kertas agar menjadi sebuah surat, yakni kertas yang bertulis. Biasanya, layang atau kertas ini masih kosong, kemudian diisi dengan tulisan yang berisi pesan, berita, kabar atau apa saja yang menjadi tujuan dari penulisan surat tersebut. Kemudian jika sudah selesai, barulah bisa disebut surat. Jadi maksud dari rurabasa di atas, bukan menulis di atas kertas yang sudah bertuliskan pesan. Namun, berarti menulis pesan di kertas agar pesannya bisa Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 169 – 180
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
177
tersampaikan ke tujuan. Contoh kalimatnya: Lisa lagi nulis layang kanggo Rina (Lisa sedang menulis surat untuk Rina). 8. Nunggu manuk Dalam bahasa Jawa, kata ini berarti nunggu sawah supaya parine ora dipangan manuk (Hendra Prayitna - M. Abi Tofani, 2000: 76). Dalam bahasa Indonesia berarti menunggu sawah agar padinya tidak dimakan burung. Di kata ini, mengandung makna ganda, jika target tuturan tidak tahu akan konteks kalimatnya. Makna pertama yang dimungkinkan adalah sesuai dengan arti kata di atas, yakni menunggu padi di sawah agar padi yang ditanam tidak dimakan burung. Makna kedua bisa saja berarti bahwa ada seseorang yang menunggu kedatangan burung yang mungkin akan lewat. Pengartian kata ini bisa saja berarti lain jika diinterpretasikan sesuai dengan konteks kalimat lain yang berbedadari yang telah penulis sebutkan. Maka, dalam kata rurabasa ini, sangat penting adanya konteks kalimat yang jelas, sesuai dengan maksud dari si penutur ujaran. 9. Negor jambu Dalam kata ini, kurang lebih sama kasusnya dengan kata menek klapa. Pada kata negor jambu ini, diasumsikan jambu yang dimaksud mewakili pohon jambu yang bisa ditebang. Padahal jika di kalimat tersebut tidak mencantumkan kata wit (pohon), akan ada ambiguitas. Tetapi, sama halnya dengan kasus menek klapa sebelumnya, kata inipun sudah sering digunakan, dan dianggap lazim. Kata jambu di tas berlaku juga untuk nama buah atau tumbuhan lain yang mempunyai batang pohon yang besar. Sehingga bisa ditebang. Jika hanya mencantumkan kata jambu saja, maka tidah make sense atau tidak masuk akal. Karena jambu berupa buah yang tidak mungkin untuk ditebang. Kata rurabasa ini juga mengandung ambiguitas, target penutur harus tahu tentang konteks kalimat saat di ucapkan ujaran tersebut. 10. Tangi turu Kata di atas, berarti melek bar turu (bangun setelah tidur). Jika dilihat dari kata di atas, terlihat kekontrasan kata dalam kata tersebut. Kata tangi dan turu adalah lawan kata. Sama dalam konteks bahasa Indonesia dengan kata-kata bangun dan tidur. Tembung Rurabasa dalam Bahasa Jawa (Evi Aprilia)
178
Terkadang kita sudah melupakan makna asli kata tersebut, karena kata tersebut sudah sangat lazim digunakan. Sudah menjadi hal yang biasa terjadi di masyarakat. Sehingga wajar saja kata tersebut saat diucapkan atau digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, jika diperhatikan dengan seksama, kata tersebut mempunyai makna kata ganda dan tidak saling berhubungan, karena saling berlawanan. Akan mudah dipahami jika kata tersebut ditambah menjadi: bangun setelah tidur. Tapi, penggunaan kata ini janggal, karena sudah terbiasa dengan kata bangun tidur (tangi turu). Hal-hal yang memungkinkan fenomena ini masih dipertahankan adalah: 1. Ketidakpahaman tentang kesalahan kata tersebut. Kata-kata yang digunakan, telah lazim dan dianggap benar. Kata-kata ini sebenarnya salah kaprah, kesalahan yang dibenarkan. Pembenaran inipun sudah dianggap sah oleh sebagian masyarakat, dengan adanya pengesahan secara tidak langsung dengan pemakaiannya yang terus menerus sampai saat ini. Walaupun dalam tataran bahasa Jawa ada bab tertentu yang membahas bab rurabasa ini tersendiri, dan sudah ada keterangan lebih lanjut mengenai makna kata yang dimaksud, kata ini tidak dianggap salah. Fenomena ini cukup unik dikalangan masyarakat. Terkadang, ada sebagian orang yang membenarkan penggunaan kata ini, namun tidak begitu kentara perubahannya. 2. Terbiasa menggunakan kata-kata atau tembung rurabasa. Keterbiasaan ini merupakan hal yang sulit untuk diubah. Karena kebiasaan itu butuh proses panjang untuk mengubahnya. Ditambah dengan pelaziman kata-kata tersebut jika digunakan. Maka akan sangat sulit untuk diubah. Han ini bisa saja menjadi inventaris masa depan di dalam konteks bahasa Jawa pada masa berikutnya. Jika dimungkinkan, kata-kata ini tidak akan berubah, namun ada pembenaran dalam penggunaanya. Untuk masa sekarang, sudah banyak orang yang mulai menulis buku tentang salah kaprah yang ada dalam bahasa Jawa. Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 169 – 180
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
179
D. KESIMPULAN Dalam beberapa contoh kata di atas, dapat diketahui bahwa makna kata dan makna sebenarnya memiliki perbedaan. Perbedaan yang ada cukup signifikan. Ada beberapa kata yang memiliki makna ganda. Adapula yang memiliki ambiguitas jika tidak mengetahui konteks kalimat saat saat pengucapan kalimat tertentu. Tapi, penggunaan kata ini sudah lazim digunakan. Acuan yang diajak bicarapun sudah paham dengan maksud yang penutur inginkan. Kecuali jika acuan yang diajak berbicara memiliki latarbelakang asal atau daerah yang berbeda dengan si penutur. Hal ini dipengaruhi oleh sesuatu dan situasi (directive reference) yang terjadi antara penutur dan acuannya, sesuai dengan teori makna Firth. Ketidakpahaman dengan kesalahan yang ada dalam kata-kata salah kaprah tersebut, dalam konteks ini rurabasa di bahasa Jawa juga menjadi faktor penting masih digunakannya rurabasa saat ini. Dan juga dipengaruhi oleh sikap penutur, acuan dan sikap terhadap ujaran itu sendiri pada saat kata tersebut diutarakan. E. DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, A.Chedar. 1993. Beberapa Madzhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Angkasa. Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Handout Linguistik Theories. Mulyana, dkk. 2007. Salah Kaprah Bahasa jawa. Yogyakarta: Narasi. Prayitna, Hendra – M. Abi Tofani. 2000. Buku Pinter Basa Jawa Pepak. Surabaya: karya Utama. http://kamusbahasaindonesia.org/. Diakses pada hari Rabu tanggal 20 Juni 2012. Jam 12.40 WIB http://www.scribd.com/doc/52676230/Teori-Sapir-Whorf-dalamBahasa-Serapan. Diakses pada hari Rabu 4 April 2012 jam 17.21 WIB
Tembung Rurabasa dalam Bahasa Jawa (Evi Aprilia)
180
Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 2, 2012 : 169 – 180