BANK SAMPAH RANGGA MEKAR : BERKAT SAMPAH MENUAI BERKAH Oleh : Budi Budiman, S.Hut, M.Sc Penyuluh Kehutanan Pusat Permasalahan sampah Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Berdasarkan asalnya, sampah padat dapat digolongkan sebagai Sampah Organik dan Sampah Anorganik. Bicara soal sampah, masyarakat Indonesia umumnya tidak peduli sampah yang dihasilkan rumah tangganya jenis organik atau anorganik. Jangan dulu kita bicara tentang pemisahan sampah organik dan anorganik yang seharusnya dimulai di tingkat rumah tangga, membuang sampah saja kita masih sembarangan. Tidak mengherankan jutaan meter kubik sampah rumah tangga bercampur baur menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di berbagai kota. Data Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Bogor menunjukkan bahwa pada tahun 2016 Kota Bogor dihadapkan pada peningkatan volume sampah sebanyak 2% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 volume sampah kota Bogor sebanyak 1.901 m3/hari meningkat menjadi 1.940 m3/hari di tahun 2015. Sebanyak 73% volume sampah tersebut dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Galuga dan sisanya diharapkan terserap melalui pengembangan kegiatan Tempat Pengelolaan Sampah (TPS) 3R (Reduce Reuse Recycle) dan Bank Sampah. Bank Sampah Bank sampah adalah suatu tempat yang digunakan untuk mengumpulkan sampah yang sudah dipilah‐pilah. Hasil dari pengumpulan sampah yang sudah dipilah akan disetorkan ke tempat pembuatan kerajinan dari sampah atau ke tempat pengepul sampah. Pengelolaan Bank sampah dilakukan layaknya menerapkan sistem perbankkan pada umumnya. Perbedaan yang mendasar adalah barang yang ditabung bukanlah uang melainkan sampah yang masih memiliki nilai manfaat. Sampah yang dapat disetorkan antara lain : kertas, botol plastik, gelas plastik, kardus, plastik kemasan, plastik kresek, koran, plastic sachetan, ember, kaleng, besi, alumunium, dll. Sistem perbankkan tersebut dikelola oleh petugas sukarelawan. Seperti halnya di bank konvensional, setiap nasabah mendapat nomer rekening dan buku tabungan. Catatan di dalam
buku tabungan meliputi identitas pemilik, tanggal setor, jenis sampah yang disetor beserta jumlahnya. Waktu penyetoran bisa disesuaikan melalui kesepakatan bersama. Sampah‐sampah yang telah disetor para nasabah dikumpulkan di oleh bank di gudang. Setelah dirasa cukup, petugas bank kemudian bisa melakukan transaksi dengan pengepul sampah agar membelinya. Hasil penjualan sampah tersebut kemudian dibagi antara pihak bank dan nasabah dengan sistem prosentase. Besaran prosentase bisa disesuaikan kemudian. Waktu pembagian hasil penjualan sampah bisa disesuaikan dengan kebutuhan atau disepakati bersama antara pihak bank dengan nasabahnya. Untuk memudahkan pemilahan sampah, pihak bank sampah misalnya bisa menaruh tiga kantong di rumah‐rumah penduduk. Masing‐masing untuk sampah kertas atau kardus, plastik dan gabus, serta untuk botol dan kaleng, atau disesuaikan dengan kebutuhan. Masyarakat dapat sewaktu‐waktu mengambil uang pada tabungannya saat tabungannya sudah terkumpul banyak. Imbalan yang diberikan kepada penabung tidak hanya berupa uang, tetapi ada pula yang berupa bahan makanan pokok seperti gula, sabun, minyak dan beras. Bank sampah juga bermanfaat bagi siswa yang kurang beruntung dalam hal finansial, beberapa sekolah telah menerapkan pembayaran uang sekolah dan asuransi Kesehatan menggunakan Tabungan sampah. Bank sampah memberikan manfaat untuk masyarakat yaitu menambah penghasilan masyarakat, berupa imbalan uang tabungan dalam rekening bank sampah yang mereka miliki ketika mereka menukarkan sampahnya. Disisi lain bank sampah juga dapat mengurangi tumpukan sampah yang tidak dapat dilayani oleh angkutan sampah yang ditampung di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah yang dikelola oleh pemerintah. Bank Sampah Rangga Mekar Bank Sampah Rangga Mekar berdiri karena adanya keprihatinan masyarakat terhadap lingkungan sekitar yang semakin lama semakin dipenuhi dengan sampah baik organik maupun anorganik. Sampah yang semakin banyak tentu akan menimbulkan banyak masalah, sehingga memerlukan pengolahan seperti membuat sampah menjadi bahan yang berguna. Bank sampah Rangga Mekar dibentuk atas dasar kerjasama berbagai lembaga swadaya masayarakat (Nusatani, Paguyuban Bogor, Ormas Oi Hing Puri Bima Sakti) bekerja sama dengan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Dan PKK Kelurahan Rangga Mekar. Bank sampah Rangga Mekar diresmikan oleh Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto pada tanggal 22 Februari 2016. Bank sampah Rangga Mekar berdiri di lahan fasilitas sosial dan fasilitas umum Taman Interaksi Warga & Arboretum Rangga Mekar RW 10/ RT 01, yang memanfaatkan lahan milik pemerintah kota Bogor seluas 9.318 m2. Selain Bank sampah dibangun juga Rumah Kreatif 3R Nusantara
sebagai tempat pembelajaran dan kerajinan daur ulang sampah dengan menggunakan fasilitas bekas rumah contoh milik Bogor Nirwana Residence yang sudah kosong dan tidak termanfaatkan. Peresmian Bank Sampah Rangga Mekar oleh Walikota Bogor Bank sampah Rangga Mekar merupakan implementasi pengelolaan sampah berbasis masyarakat (community based solid waste management). Secara harfiah pengelolaan sampah berbasis masyarakat diartikan sebagai sistem penanganan sampah yang direncanakan, disusun, dioperasikan, dikelola dan dimiliki oleh masyarakat. Prinsip‐prinsip pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah: 1.
Partisipasi masyarakat
2.
Kemandirian
3.
Efisiensi
4.
Perlindungan lingkungan
5.
Keterpaduan sampah rumah tangga, sampah an organik , didaur ulang/ digunakan kembali
Dalam mengumpulkan sampah Bank Sampah Rangga Mekar mengandalkan dua cara yaitu penyetoran langsung oleh masyarakat ke bank sampah dan petugas bank sampah mencari sampah ke pusat sampah di masyarakat secara door to door dengan menggunakan kendaraan operasional mobil box atau motor beroda tiga. Sampah yang terkumpul kemudian dipilah menjadi sampah organik dan sampah an organik. Setelah nasabah mengisi absensi, kemudian petugas mencatat jenis sampah yang dibawa. Sampah kemudian ditimbang sesuai dengan jenis sampahnya. Data berat sampah dan nominal rupiah yang diterima kemudian dicatat di buku besar kemudian nasabah pulang membawa bukut tabungan yang sudah berisi nominal rupiah hasil penimbangan sampah.
Kegiatan pengumpulan, penimbangan dan pencatatan sampah Bank sampah Rangga Mekar melayani 13 RW yang terdiri dari pemukiman teratur (perumahan elite) dan pemukiman tidak teratur (perkampungan). Setiap bulannya Bank Sampah Rangga Mekar menerima sampah sebanyak 600 kg sampai dengan 1 Ton yang setara dengan nilai uang sekitar Rp 800 ribu – Rp 1 Juta. Sampah yang disetorkan warga dihargai mulai dari Rp 150 – Rp 600 ribu tergantung dari jenis sampahnya. Sampah‐sampah tersebut kemudian dikirim ke pengepul besar, namun beberapa sampah anorganik dimanfaatkan untuk membuat kerajinan tangan seperti pot bunga, goody bag, miniatur hiasan rumah tangga, atau produk‐ produk sekunder yang lainnya, sedangkan sampah organik diolah menjadi pupuk kompos. Dalam Perkembangannya, banyak pihak yang melirik dan tertarik dengan kiprah Bank sampah Rangga Mekar. Telah banyak kalangan yang berkunjung ke Bank sampah Rangga Mekar seperti perwakilan pemerintah kota Semarang, Malang dan Pemeritah Timor Leste, tak terkecuali kalangan akademisi dan diangkat dalam berbagai media masa cetak dan elektronik. Bantuan dari pemerintah pun datang dengan sendirinya, baru‐baru ini Bank sampah Rangga Mekar telah mendapatkan bantuan dari Dinas Pekerjaan Umum berupa alat untuk mengelola sampah organik serta digester biogas. Alat tersebut berguna untuk memisahkan sampah untuk memudahkan pembuatan produk turunan dari sampah organik. Sedangkan digester biogas berguna untuk menghasilkan biogas dari hasil pengolahan sampah organik.
Mekanisme Bank Sampah (dok: rumahpelangi.org)
Kerajinan tangan yang terbuat dari sampah (dok : efekgila.com) Dengan adanya Bank sampah Rangga Mekar, diharapkan dapat mengurangi volume sampah di tempat pembuangan sampah yang dapat mencemari lingkungan sekitar. Dalam jangka panjang keberadaan Bank Sampah Rangga Mekar dapat berperan aktif dalam membantu program Pemerintah Kota Bogor dalam mewujudkan Bogor menjadi Kota yang BISA (Bersih, Indah, Sejuk dan Asri). Berkat Sampah Menuju Jepang Totalitas dan kreativitas yang ditunjukkan bank sampah Rangga Mekar telah mendapatkan apresiasi dan dukungan dari berbagai pihak. Apresiasi pemerintah kota Bogor terlihat dari kesediaan Walikota Bogor yang turun langsung meresmikan pengoperasian Bank Sampah Rangga Mekar. Dan yang lebih menggembirakan, badan kerjasama internasional Jepang, Japan Internasional Cooperation Agency (JICA) juga menunjukkan perhatian dan apresiasinya. Pada
tanggal 28 Mei 2016, perwakilan bank sampah Rangga Mekar diundang ke Jepang untuk melakukan studi banding pengelolaan sampah di negeri sakura selama 10 hari. Dalam kunjungan di Jepang, perwakilan Bank Sampah Rangga Mekar mengnjungi beberapa tempat seperti Sekolah Dasar Shinichi di Kota Hiroshima, perusahaan pengeloaan sampah Egawa Econos dan Kuil Miyajima. Di Sekolah Dasar Shinichi mereka belajar bagaimana murid‐ murid SD sudah diperkenalkan dengan sampah dan tehnik pengelolaannya. Pelajaran pengeloaan sampah telah menjadi kurikulum wajid di sekolah dasar tersebut. Dalam kunjungan ke perusahaan pengelola sampah Egawa Econos diperoleh pelajaran bagaimana memilah sampah sejak dini dan pemanfaatan sampah menjadi pupuk organik. Kunjungan tersebut Bertepatan dengan hari peduli sampah sedunia yang jatuh pada tanggal 5 Juni 2016, perwakilan bank sampah Rangga Mekar turut berpatisipasi dalam kegiatan pungut sampah di kota Hiroshima.
Kegiatan Pungut Sampah di Kota Hiroshima “Banyak pelajaran yang didapat dari kunjungan ke Jepang diantaranya kita belajar bagaimana masyarakat Jepang memilah sampah sejak masih berada di rumah dan bagaimana rapinya sistem pengeloaan sampah di kota Hiroshima. Semoga hasil kunjungan ke Jepang tersebut dapat diimplementasikan di Indonesia, khususnya memberikan dampak yang nyata terhadap masyarakat di Rangga Mekar sehingga sampah tidak lagi menjadi masalah namun menjadi berkah bagi masyarakat sekitar” beber Sandi Adam, ketua umum Bank Sampah Rangga Mekar. Patut diakui bahwa dengan adanya Bank Sampah Rangga Mekar memberikan dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar, selain manfaat ekonomis juga manfaat ekologis. Masyarakat sekitar menuai berkah dari sampah.
MEMBUDIDAYAKAN JAMUR TIRAM DENGAN MEDIA SERABUT KELAPA DI HUTAN DIKLAT RUMPIN IDA NURMAYANTI Widyaiswara Balai Diklat Kehutanan Bogor Abstract Coconut fiber is one of the biggest wastes with a percentage of 42% of the weight of coconuts. Unprocessed coconut husk is not cocopeat , cocopeat itself is a waste coconut coir processing taken fibers or fiber . Cocopeat has special characteristics , which can store water five times of its weight. These unique characteristics make the cocopeat can be used as a planting medium . The advantage is to increase the water holding capacity , save water , and storing nutrients plant nutrients. As the oyster mushroom growing medium , which usually use sawdust are now using coconut fiber (cocopeat) , which serves as a provider of nutrients for fungi . Coconut coir coconut fiber used is very potential in improving crop yields oyster mushrooms Keywords : cocopeat, jamur tiram. PENDAHULUAN Sulawesi Utara dikenal sebagai salah satu daerah penghasil kelapa terbaik di Indonesia, sehingga terkenal dengan bumi nyiur melambai. Luas perkebunan kelapa di Sulawesi Utara mencapai 267.350,79 Ha (data tahun 2011). Kelapa walaupun sebagai komoditi unggulannya tetap dapat menimbukan permasalahan lingkungan, sehingga bagaimana cara untuk meminimalisir permasalahan lingkungan tersebut. Salah satu pemanfaatan dari kelapa yang dapat diolah adalah sabut kelapanya. Hingga saat ini pengolahan sabut kelapa di Sulawesi Utara masih terbatas pada penggunaan secara langsung sebagai bahan bakar rumah tangga dan bahan bakar pada industri rumahan terutama pembuatan cakalang fufu. Penggunaan tersebut dinilai masih belum mampu menyerap banyaknya jumlah sabut kelapa sebagai sisa pengolahan kelapa. Hal ini menyebabkan masih banyak sabut kelapa yang berakhir sebagai limbah yang terbuang percuma, sehingga perlu penyelesaian permasalahan limbah di lingkungan sekitar (info data Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado, 2015). Pada tahun 2015 kami Widyaiswara Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BDLHK) Bogor mendapat kesempatan ke BPK Manado untuk mempelajari
1
bagaimana cara memanfaatkan sabut kelapa sebagai media pertumbuhan Jamur Tiram. Dimana selama ini yang sering dilakukan sebagai media pertumbuhan jamur tiram adalah serbuk gergaji. Dengan mendapatkan ilmu ini, maka kami berharap dapat membangun demplot Budidaya Jamur Tiram dengan media serabut kelapa di hutan diklat Rumpin Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bogor. MANFAAT SABUT KELAPA (Cocopeat) Sabut kelapa atau dikenali juga dengan istilah cocopeat merupakan limbah perkebunan yang berlimpah di daerah penghasil kelapa, tanaman yang masih keluarga aren‐arenan atau Arecaceae ini, seluruh bagiannya mempunyai manfaat yang besar bagi manusia. Sabut kelapa adalah salah satu limbah yang terbesar dengan persentase 42% dari berat buah kelapa. Air kelapa memiliki manfaat penting sebagai bahan dasar pembuatan pupuk organik cair, begitu juga dengan sabut yang membungkus buah kelapa dapat diolah menjadi pupuk organik padat atau bokashi. Sabut kelapa yang belum diolah bukanlah cocopeat, cocopeat sendiri merupakan limbah pengolahan sabut kelapa yang diambil serat atau fiber. Cocopeat merupakan butiran halus atau serbuk dari fiber kelapa, sehingga sabut kelapa ini sangat besar manfaatnya untuk pertanian. Kandungan hara yang dimiliki sabut kelapa baik makro atau mikro ternyata sangat dibutuhkan oleh tanaman. Kandungan unsur hara makro dan mikro yang terdapat pada sabut kelapa antara lain Kalium (K), Fosfor (P), Calsium (Ca), Magnesium (Mg), Natrium (Na) dan beberapa mineral lainnya. Kandungan unsur hara yang dimiliki cocopeat terbanyak jumlahnya adalah unsur K, dimana kandungan Fosfor dan Kalium sangat dibutuhkan tanaman saat proses pembentukan buah serta peningkatan rasa untuk segala jenis buah. Sabut kelapa bisa dimanfaatkan menjadi biopot, yaitu semacam media tanam yang berisi bahan organik dan nutrisi hara tanaman, kemudian dicetak menjadi bentuk seperti pot. Media tanam ini dibuat dalam berbagai ukuran dan disesuaikan dengan tanamannya. Keunggulan biopot antara lain adalah lebih ramah lingkungan, karena tidak menggunakan plastik dan bisa langsung ditanam ke lahan. Cocopeat adalah limbah yang jumlahnya tidak banyak, sehingga sering diabaikan. Cocopeat memiliki karakteristik yang istimewa, yaitu bisa menyimpan air lima kali dari bobotnya. Karakteristik unik ini membuat cocopeat bisa dimanfaatkan sebagai media tanam. Keunggulannya adalah meningkatkan daya menahan air, menyimpan air, dan menyimpan hara nutrisi tanaman. Cocopeat mengandung tannin yang kurang baik untuk tanaman. Kandungan tannin ini dapat dihilangkan dengan cara perendaman. Media
2
tanam dibuat dengan mengkombinasikan cocopeat dengan kompos, arang sekam, fosfat alam, dan dolomite. Berbagai macam tanaman hortikultura bisa ditanam dengan menggunakan media tanam ini, sehingga cocopeat dapat pula dimanfaatkan sebagai media tanam jamur tiram.
Gambar 1. Sabut kelapa KELEBIHAN DAN KEKURANGAN Cocopeat Kelebihan dari Cocopeat yang berkualitas baik adalah : 1.
Mudah teruri dan aman bagi lingkungan karena merupakan 100% bahan alami yang terbuat dari sabut kelapa.
2.
Dapat menahan air hingga 6‐9 kali berat cocopeat itu sendiri.
3.
Memiliki tekstur yang memudahkan pertukaran oksigen (tukar kation) di dalam tanah, sehingga bermanfaat bagi kesuburan akar tanaman.
4.
Dapat digunakan berkali‐kali dan sangat awet hingga baru akan hancur dalam kurun waktu 10 tahun.
5.
Mampu mengikat bau tak sedap, sehingga cocok digunakan sebagai alas pada kandang ternak.
6.
Bisa digunakan sebagai media bedding cacing (vermicomposting).
7.
Anti bakteri dan anti jamur karena mengandung Trichoderma sp, sejenis jamur (fungi) yang menguntungkan bagi tanaman, dan dapat menghambat pertumbuhan jamur merugikan.
8.
Biasanya dijual dalam bentuk blok dengan berat 5 kg dan mudah dibawa.
9.
Dalam batas tertentu bisa digunakan sebagai pakan ternak dan itik.
Selain ada kelebihan tentunya ada juga kekurangan dari cocopeat ini yaitu: 1.
Biaya produksi yang tidak sedikit
3
2.
Jika tidak diolah dengan benar, maka akan menghasilkan cocopeat berkualitas buruk dan akan merugikan tanaman serta lingkungan.
3.
Proses pembuatannya yang membutuhkan waktu cukup lama.
BUDIDAYA JAMUR TIRAM Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) telah lama dikenal dan banyak dibudidayakan sebagai jamur pangan. Sebagai salah satu sumber pangan, jamur tiram juga dikenal karena rasaya yang enak dan dapat diolah dengan bervariasi. Keunggulan pengembangan jamur tiram adalah siklus hidup hingga saat panen yang cukup singkat, relatif mudah dibudidayakan serta cukup adaptif dengan penggunaan media. Jamur tiram cocok dikembangkan di wilayah tropis dengan kelembaban yang tinggi dan intensitas sinar matahari yang baik. Berdasarkan nilai ekonomis, budidaya jamur tiram sangat prospektif karena memiliki nilai jual yang cukup baik di pasaran, bahkan dengan kualitas dan variasi pengolahan akan semakin meningkatkan nilai jualnya. Usaha budidaya jamur tiram seringkali mengalami kegagalan karena teknik dan cara budidaya yang kurang benar. Meskipun gampang, perlu diperhatikan juga faktor‐ faktor seperti lingkungan, kebersihan, serta konsistensi selama perawatan. Jika faktor‐ faktor tersebut tidak bisa dipenuhi dengan baik maka hasilnya pun kurang optimal bahkan besar kemungkinan berpotensi mendatangkan kegagalan. Jamur tiram putih berwarna putih agak krem dengan diameter tubuh 3‐14 cm. Jamur ini memiliki miselium. Tubuh buah jamur inilah yang bernilai ekonomis tinggi dan menjadi tujuan dari budidaya jamur tiram. Teknik budidaya jamur tiram mulai dari persiapan hingga pasca panen sangat perlu diperhatikan agar pelaku usaha benar‐benar memahami sehingga lebih menguasai dalam pemeliharaan maupun pengendalian hama tanaman.
Gambar 2. Jamur Tiram
4
PERSIAPAN PENANAMAN JAMUR TIRAM Sebelum melakukan penanaman, hal‐hal yang menunjang budidaya jamur tiram harus sudah tersedia, diantaranya rumah kumbung baglog, rak baglog, bibit jamur tiram, dan peralatan budidaya. Usahakan budidaya jamur tiram menggunakan bibit bersertifikat yang dapat dibeli dari petani lain atau dinas pertanian setempat. Peralatan budidaya jamur tiram cukup sederhana, harga terjangkau, bahkan kita bisa memanfaat peralatan dapur. Untuk mengoptimalkan hasil dalam usaha budidaya jamur tiram di dataran rendah dapat dilakukan dengan modifikasi terhadap bahan media dan takarannya, yakni dengan menambah atau mengurangi takaran tiap‐tiap bahan dari standar umumnya. Dalam usaha skala kecil, eksperimen dalam menentukan takaran bahan media merupakan hal yang sangat penting guna memperoleh takaran yang pas. Hal ini mengingat jamur yang dibudidayakan di lingkungan tumbuh berbeda tentu membutuhkan nutrisi dan media yang berbeda pula tergantung pada kondisi lingkungan setempat. Hingga saat ini belum ada standar komposisi media untuk budidaya jamur tiram di dataran rendah, sehingga petani memodifikasi media dan lingkungan berdasarkan pengalaman dan kondisi masing‐ masing. Sebagai media tumbuh jamur tiram, yang biasanya menggunakan serbuk gergaji sekarang menggunakan sabut kelapa (cocopeat), dimana berfungsi sebagai penyedia nutrisi bagi jamur. Sabut kelapa yang digunakan adalah sabut kelapa yang sangat berpotensi dalam meningkatkan hasil panen jamur tiram. Sebelum digunakan sebagai media sabut kelapa harus dikompos terlebih dahulu agar bisa terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna oleh jamur. Proses pengomposan dilakukan dengan cara menutupnya menggunakan plastik atau terpal selama 1‐2 hari. Pengomposan berlangsung dengan baik jika terjadi kenaikan suhu sekitar 50⁰C. Media berupa dedak/bekatul dan tepung jagung berfungsi sebagai substrat dan penghasil kalori untuk pertumbuhan jamur. Sebelum membeli dedak dan tepung jagung, sebaiknya pastikan dahulu bahan‐bahan tersebut masih baru. Jika memakai bahan yang sudah lama dikhawatirkan sudah terjadi fermentasi yang dapat berakibat pada tumbuhnya jenis jamur yang tidak dikehendaki. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan dedak maupun teung jagung memberikan kualitas hasil jamur yang sama karena kandungan nutrisi kedua bahan tersebut mirip. Namun, penggunaan dedak dianggap lebih efisien karena bisa memangkas biaya dan cenderung mudah dicari karena banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kapur (CaCO3) berfungsi sebagai sumber mineral dan pengatur pH. Kandungan Ca dalam kapur dapat menetralisir asam yang dikeluarkan meselium jamur yang juga bisa menyebabkan pH media menjadi rendah.
5
Wadah yang digunakan untuk meletakkan campuran media adalah kantong plastik bening tahan panas (PE 0,002) berukuran 20 cm x 30 cm. Adapun komposisi media semai adalah serbuk gergaji 100 kg; tepung jagung 10 kg; dedak halus atau bekatul 10 kg; kompos 0,5 kg; kapur (CaCO3) 0,5 kg; dan air 50‐60%. Ada dua hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan penanaman bibit jamur, yaitu sterilisasi bahan dan sterilisasi baglog. STERILISASI BAHAN Sebelum dicampur dengan media lain, sabut kelapa dan dedak disterilisasi terlebih dahulu menggunakan oven selama 6‐8 jam pada suhu 100⁰C. Dengan sterilisasi tersebut selain mengurangi mikroorganisme penyebab kontaminsasi juga menguranngi kadar air pada serbuk sabut kelapa, sehingga media menjadi lebih kering. Kedua bahan tersebut kemudian dicampur dan diberi air sekitar 50‐60% hingga adonan menjadi kalis dan bisa dikepal. Air berfungsi dalam penyerapan nutrisi oleh miselium. Air yang digunakan harus air bersih untuk mengurangi resiko kontaminasi organisme lain dalam media. Dalam memasukkan media ke dalam plastik, media harus benar‐benar padat agar jamur yang dihasilkan bisa banyak. Jadi pastikan bahwa bahan‐bahan telah cukup padat di dalam plastik dengan cara menekan‐nekan adonan hingga benar‐benar padat, kemudian bagian atas kantong dipasang cincin paralon dan selanjutnya kantong plastik ditutup dengan sumbat kapas dan diikat dengan karet. STERILISASI BAGLOG Sterilisasi baglog dilakukan dengan cara memasukkan baglog ke dalam autoclave atau steamer dengan suhu 121⁰C selama 15 menit. Untuk mengganti penggunaan autoclave atau streamer, dapat menggunakan drum dengan kapasitas besar atau mampu menampung sekitar 50 baglog dan dipanasi di atas kompor minyak atau dapat juga menggunakan oven. Sterilisasi baglog menggunakan drum memakan waktu lebih lama, yaitu sekitar 8 jam, tetapi dianggap lebih menghemat biaya. Setelah proses sterilisasi selesai, baglog kemudian didinginkan, yakni dengan mematikan alat sterilisasi dan membiarkan suhunya turun sedikit demi sedikit. Setelah proses pendinginan, baru kemudian dilakukan penanaman bibit jamur. PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN JAMUR TIRAM Salah satu penentu keberhasilan budidaya jamur tiram adalah kebersihan dalam melakukan proses budidayanya, baik kebersihan tempat, alat, maupun pekerjanya. Hal ini karena kebersihan adalah hal yang mutlak harus dipenuhi. Untuk itu, tempat untuk
6
penanaman sebaiknya harus dibersihkan dahulu dengan sapu, lantai dan dindingnya dibersihkan menggunakan disinfektan. Alat yang digunakan untuk menanam juga harus disterilisasi menggunakan alkohol dan dipanaskan di atas api lilin. Selain itu, selama melakukan penanaman para pekerja juga idealnya menggunakan masker. Hal ini bertujuan untuk memperkecil terjadinya kontaminasi. Dalam budidaya jamur tiram hal yang juga harus diperhatikan adalah menjaga suhu dan kelembaban ruang agar tetap pada standar yang dibutuhkan. Jika cuaca lebih kering, panas, atau berangin, tentu akan mempengaruhi suhu dan kelembaban dalam kumbung sehingga air cepat menguap. Bila demikian, sebaiknya frekuensi penyiraman ditingkatkan. Jika suhu terlalu tinggi dan kelembaban kurang, bisa membuat tubuh jamur sulit tumbuh atau bahkan tidak tumbuh. Oleh karena itu, atur juga sirkulasi udara di dalam kumbung agar jamur tidak cepat layu dan mati. Pengaturan sirkulasi dapat dilakukan dengan cara menutup sebagian lubang sirkulasi ketika angin sedang kencang. Sirkulasi dapat dibuka semua ketika angin sedang dalam kecepatan normal. Namun, yang terpenting adalah jangan sampai jamur kekurangan udara segar. PENUTUP Sabut kelapa adalah salah satu limbah yang terbesar dengan persentase 42% dari berat buah kelapa. Air kelapa memiliki manfaat penting sebagai bahan dasar pembuatan pupuk organik cair, begitu juga dengan sabut yang membungkus buah kelapa dapat diolah menjadi pupuk organik padat atau bokashi. Sabut kelapa yang belum diolah bukanlah cocopeat, cocopeat sendiri merupakan
limbah
pengolahan
sabut
kelapa
yang
diambil
serat
atau
fiber. Cocopeat memiliki karakteristik yang istimewa, yaitu bisa menyimpan air lima kali dari bobotnya. Karakteristik unik ini membuat cocopeat bisa dimanfaatkan sebagai media tanam. Keunggulannya adalah meningkatkan daya menahan air, menyimpan air, dan menyimpan hara nutrisi tanaman. Sebagai media tumbuh jamur tiram, dapat menggunakan sabut kelapa (cocopeat), dimana fungsinya sebagai penyedia nutrisi bagi jamur. Sabut kelapa yang digunakan adalah sabut kelapa yang sangat berpotensi dalam meningkatkan hasil panen jamur tiram.
7
DAFTAR PUSTAKA Carijo, O. A., Liz, R. S., Makishima, N. 2002. Biosorpsi Cr (III) pada Biosorben Serat Sabut Kelapa Teraktivitasi Sodium Hidroksida (NaOH). http://ojs.unud.ac.id/ Sudiarta/ tanggal 26 september 2012. Djarijah dan Djariah. 2001. Jamur Tiram Pembibitan, Pemeliharaan dan Pengendalian Hama‐Penyakit. Yogyakarta: Kanisius. Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian IPB (2002). Pengaruh Taraf ampas Tahun Dalam Media Serbuk Sabut Kelapa Terhadap Panjan, Diameter Tubuh, Produksi dan Kualitas Kascing Cacing Tanah (Lumbricus rubellus).http://repository.ipb.ac.id/diakses 30 september 2012. Sarief. 1989. Jurnal: Pemanfaatan Limbah Media Jamur Tiram Putih (Pleurotus Florida) Sebagai Tambahan Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). http:// jurnal.ump.ac.id/ diakses 22 september 2012. Soenanto, Hardi. 2000. Jamur Tiram Budi Daya dan Peluang Usaha. Semarang: Aneka Ilmu. Tim Redaksi Trubus. 1992. Mengapur Tanah Asam. Jakarta: Penebar Swadaya. Tutik. 2004. Pengaruh penambahan bekatul dan ampas tahu pada media terhadap pertumbuhan dan produksi jamur tiram putih (Pleorotus ostreatus). http://ib.uin‐malang.ac.id/ diakses 26 desember 2012
8
Belajar sambil Berlibur ke Desa Wisata Ilmu Ulat Sutera Oleh : Ernita
Salah satu wisata edukasi di Bandung timur yang dikenal sebagai Desa Wisata Ilmu Padepokan Dayang Sumbi, terletak di Bandung Timur, Kampung Pamoyanan, Desa Mekarmanik, Jl. Arcamanik Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Kenapa disebut sebagai desa wisata ilmu? Karena para pengunjung tidak hanya berwisata namun juga dapat menambah ilmu pengetahuannya yang berkaitan dengan seluk‐beluk ulat sutra. Padepokan ini mulai dibuka sekitar Tahun 2005, di arealnya yang tidak terlalu besar ± 2 ha pengelola mengembangbiakan ulat sutra dan menanam murbei, karena dari awal tujuan pendirian padepokan ini sebagai wisata ilmu. Di tempat ini tersedia fasilitas pendidikan stek tanaman murbei dan halaman kelinci, dimana anak‐anak dapat mengejar, memberi makan dan menggendong kelinci. Tempat ini juga menjadi tempat favorit bagi para peneliti untuk melakukan penelitian tentang bagaimana proses pembudidayaan ulat sutra hingga akhirnya dapat menjadi sebuah produk yang dapat memiliki nilai jual tinggi. Adapun kegiatan di wisata ilmu ini meliputi : 1.
Penjelasan
budidaya
ulat
sutera dan peninjauan ke rumah ulat Pendalaman materi akan
disesuaikan
tingkatan
kelompok
dengan usia
pengunjung. Kunjungan ke rumah ulat sutera
Jenis ulat sutera pilihannya adalah ras Jepang dengan ciri ada dua tato khas di bagian anterior (kepala). Kelebihan ras Jepang ini satu kepompongnya dapat menghasilkan benang sutra sepanjang 1.600 meter. Kualitas dan kuantitas benang sutera yang dihasilkan sangat ditentukan oleh teknik pemeliharaan ulat yang dilakukan oleh petani sutera. Biasanya kualitas dan warna serat sutera yang dihasilkan tergantung dari jenis ulat sutera dan makanannya. Kain yang berasal dari kepompong tersebut akan terlihat berkilau bila terkena cahaya. Selain itu, kepompong ini akan menghasilkan kain yang halus, lembut, dan mudah menyerap keringat. Teknik pemeliharaan ulat sutera yang dilakukan dapat dikelompokkan berdasarkan : a.
Bibit Ulat Sutera Bibit ulat sutera merupakan salah satu faktor penting dalam pemeliharaan ulat sutera. Bibit ulat sutera yang berkualitas sangat menentukan produksi kokon yang akan dihasilkan. Pada pembibitan ulat sutera dilakukan pengujian dan sertifikasi bibit untuk mengidentifikasi apakah bibit tersebut mengandung penyakit yang dapat menurunkan produksi kokon sehingga kerugian yang akan dialami oleh petani sutera dapat dihindari.
b.
Penggunaan Daun Murbei Produksi kokon yang dihasilkan oleh petani sutera juga ditentukan oleh tersedianya pakan ulat sutera (daun murbei). Doyannya ulat sutera
terhadap
murbei,
karena murbei menghasilkan enzim
glukosida
yang
menyebabkan rasa ketagihan. Selain jumlah daun murbei yang tersedia, jenis murbei juga dapat menentukan kualitas dan kuantitas kokon yang dihasilkan. c.
Desinfeksi Desinfeksi adalah suatu tindakan untuk mencegah berkembangnya penyakit pada saat pemeliharaan ulat sutera. Tindakan desinfeksi dilakukan dengan cara menyemprotkan desinfektan pada tempat
pemeliharaan dan alat‐alat pemeliharaan ulat sutera yang digunakan. Idealnya penyemprotan desinfektan dilakukan 2 (dua) kali yaitu sebelum pemeliharaan ulat sutera dan setelah kegiatan pemeliharaan ulat sutera. d. Tempat pemeliharaan ulat sutera Tempat pemeliharaan ulat sutera dapat mempengaruhi produksi kokon yang akan dihasilkan. Pemeliharaan ulat sutera dapat dilakukan secara kecil‐kecilan dalam skala rumah tangga ataupun secara besar‐besaran. Namun, dimanapun ulat itu dipelihara, hendaknya ruangan/tempat pemeliharaan memenuhi persyaratan, terutama menyangkut suhu, cahaya, kelembaban, dan ventilasi (pertukaran) udara. Lokasi penanaman pun harus berada diketinggian 700 meter dari permukaan laut. e. Alat pengokon Alat pengokonan yang digunakan dapat mempengaruhi kualitas kokon yang akan dihasilkan. Alat pengokonan yang baik digunakan adalah : seri frame, pengokonan bambu dan mukade (terbuat dari daun kelapa atau jerami yang dipuntir membentuk sikat tabung).
ruang pemeliharaan ulat seriframe 2. Melihat pembuatan kain sutera dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dan melihat produk‐produk sutera. Pengelola yang memiliki latar belakang teknik mesin melakukan beberapa penemuan pada alat reeling (pemintal) serat sutra menjadi benang. Untuk mengefektifkan kerja pemintalan serat sutra dari kokon (kepompong), dibuat
sebuah mesin reeling yang berfungsi memintal serat dari kokon untuk dijadikan benang. Beliau terinspirasi oleh mesin pemintal serat sutera zaman dahulu yang masih menggunakan pemutar tangan. Alat yang digunakan sudah menggunakan mesin seperti alat pemintal yang banyak digunakan perajin ulat sutera lainnya. Bedanya, alat temuan ini memiliki dua sensor kualitas serta pemakaian listrik yang lebih hemat. “Mesin pemintal di luar negeri juga telah memiliki sensor, namun menggunakan lebih dari 750 watt listrik sekali pakai. Sementara mesin ini hanya membutuhkan 125 watt untuk maksimal kerja 24 jam,” katanya bangga. Keunggulan mesin yang terdiri dari 4 (empat) set pemintalan ini memiliki mekanisme kerja yang lebih ringan. Beberapa komponen mesin juga terbuat dari bahan yang lebih ringan, serta adanya belt (sabuk) dari karet yang membantu kerja pemilinan serat.
Mesin Reeling Benang Sutera Penenunan Kain Sutera dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin ) 3. Kemudian dilanjutkan dengan makan siang, menyantap nasi merah dan ikan goreng kering serta sambal lalap daun murbei. Padepokan Dayang Sumbi menyediakan berbagai macam paket penawaran bagi para pengunjungnya. Paket kunjungan wisata ilmu sebagai berikut : 1. Paket Standar Kunjungan untuk perorangan/keluarga/grup kecil Mendapatkan welcome snack dan drink serta cinderamata Harga Tiket : Rp. 85.000,‐/peserta 2. Paket Hemat Kunjungan untuk Grup tanpa welcome snack dan cinderamata Harga Tiket : Rp. 65.000,‐/peserta Minimum 60 peserta
Fasilitas untuk semua paket : welcome drink, pengenalan budidaya ulat sutera, meninjau rumah ulat, reeling benang sutera, penenunan kain sutera, LKS, tangkap jangkrik, mini lomba dan bermain dengan kelinci di halaman kelinci. Untuk para pelancong, padepokan ini juga menyediakan penginapan yang berupa rumah saung, dilengkapi ± 6 kamar tidur, ruang aula audio dan video dll. Untuk lebih jelas Tarif Masuk, Kondisi Reservasi dan Jadwal Kunjungan, dapat mengunjungi website www.wisatasutera.co
Penginapan yang berupa rumah saung, dilengkapi ± 6 kamar tidur Selain bisa dimanfaatkan sebagai bahan kain sutra, kepompong ulat sutra atau disebut juga kokon juga dimanfaatkan dalam dunia kecantikan yaitu sebagai bahan pengamplas kulit (scrub) alami serta aneka produk (bunga, aksesoris wanita, pajangan dll).
Outlet aneka produk kerajinan tangan berbahan baku kepompong ulat sutera Di zaman teknologi yang serba canggih saat ini, anak‐anak lebih sering berinteraksi dengan hand phone, getget, computer, tab dan barang‐barang elektronik lainnya yang dapat mengisolasi anak‐anak dari kesenangan menjelajahi alam dan bersosialisasi
dengan orang‐orang disekitarnya. Hal ini menjadi sangat menarik karena dengan adanya wisata edukasi ini, anak‐anak dapat menambah pengalaman dan pengetahuan baru serta sekaligus memahami kebesaran Tuhan dengan menyaksikan sendiri bagaimana seekor ulat sutera menghasilkan produk yang indah dan bernilai tinggi. Tidak perlu jauh‐jauh ke luar negeri untuk pergi berlibur, Cintailah wisata alam Indonesia yang sangat menakjubkan.
ALKOHOL TEKNIS : NILAI TAMBAH YANG MENJANJIKAN DARI AREN Oleh : Irene Christine Mandang, S.Hut Penyuluh Kehutanan Kabupaten Minahasa Tenggara
PENDAHULUAN Tanaman Aren telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai “pohon emas hijau”, yang telah dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dikarenakan memiliki manfaat yang banyak bagi manusia. Mulai dari bagian akar, batang, pelepah sampai daun aren dimanfaatkan sebagai obat, sumber pangan maupun fungsi pelindung tanah dan air (Konservasi). Salah satu komoditi yang dihasilkan dari tanaman aren adalah Air Nira. Umumnya masyarakat Minahasa sejak dahulu telah mengenal pengolahan nira aren menjadi cap tikus. Nira Aren atau yang lebih dikenal saguer adalah cairan yang disadap dari mayang pohon aren. Nira aren (Saguer) dapat diminum langsung atau diolah menjadi berbagi produk seperti Gula Aren, Gula Semut, cap tikus, asam cuka, alcohol teknis bahkan telah dikembangkan menjadi sumber energy – BIO ETANOL. Kadar etanol (alcohol) dalam Cap Tikus sekitar 30 – 40 %.Alkohol (etanol) adalah cairan encer tidak berwarna (bening) yang memiliki bau merangsang dan dapat bercampur dengan air. Cap Tikus sebagai minuman mulai dikenal sejak nenek moyang (penduduk Minahasa). Proses pembuatan cap tikus diturunkan secara turun temurun dan umumnya menggunakan peralatan sederhana yang terdiri dari bambu dan drum sebagai wadah memasak nira aren. PRODUKSI ALKOHOL AREN (CAP TIKUS) Produksi cap tikus di daerah Minahasa (Kabupaten Minahasa Induk, Utara, Selatan dan Tenggara) kira‐kira 3.500.000 liter/tahun. Penyerapan produksi cap tikus oleh industri minuman beralkohol seperti “Kasegaran” dan lain‐lain kira‐kira 40% atau 1.500.000 liter/tahun. Sedangkan kira‐kira 60% atau 2.000.000 liter/tahun yang tidak terserap industri minuman beralkohol dan langsung dipasarkan sebagai minuman,
1
karena sejak dahulu kala konsumsi cap tikus hanya digunakan sebagai penyegar maupun penghangat tubuh.Oleh karenanya pengolahan nira aren menjadi minuman beralkohol (Cap Tikus) sudah menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat. Dewasa ini produk cap tikus ibarat madu dan racun. Sebagai madu karena masyarakat petani aren khususnya pengrajin cap tikus dapat menghidupi keluarga dari usaha cap tikus, seperti menyekolahkan anak hingga sarjana dan terpenuhinya kebutuhan hidup keluarga. Dan dianggap racun karena cap tikus sering disalahgunakan oleh masyarakat dengan mengkonsumsi secara berlebihan sehingga menyebabkan masalah gangguan kamtibmas seperti mabuk dan berujung pada hal‐hal negative, seperti kecelakaan lalu lintas, perkelahian, pembunuhan, pemerkosaaan dan lain‐lain. Oleh sebab itu, untuk mengatasi masalah gangguan kamtibmas tersebut, maka pemerintah daerah sedang mengkaji untuk membuat peraturan daerah (PERDA) tentang Pemanfaatan dan PeredaranCap Tikus.Selain itu Cap Tikus juga perlu dikembangkan dan diberdayakan pemanfaatan nira aren sebagai Gula aren maupun gula Kristal/gula semut, bahan bakar nabati (Biofuel) dan alkohol teknis.
Alkohol Teknis Pemanfaatan Alkohol teknis dapat digunakan untuk bahan medis, seperti disinfektan dan antiseptic/pembunuh kuman; industri kosmetika, industri makanan/minuman, farmasa dan lain‐lain.Kebutuhan alcohol teknis di Sulawesi Utara kira‐kira 100.000 liter/tahun, dan saat ini Alkohol teknis yang dipasarkan di Sulawesi Utara, didatangkan dari luar daerah yaitu dari Pulau Jawa. Kebutuhan alcohol teknis dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan pertumbuhan industri farmasa dan medis.Selain untuk industri farmasi, kesehatan/medis, alkohol teknis dapat diolah menjadi biofuel/biodiesel untuk bahan bakar kendaraan bermotor yang ramah lingkungan.
Proses Pembuatan Alkohol Teknis Proses pembuatan alkohol teknis menggunakan metode/cara destilasi diawali dengan pemanasan cap tikus dengan suhu pemanasan sekitar 70 – 75 °C, sehingga alkohol yang memiliki titik didih lebih rendah dari air akan menguap akan menguap. Uap tersebut bergerak menuju kondenser yaitu pendingin. Proses 2
pendinginan terjadi karena pada kondensor dialirkan sir ke dalam dinding (bagian luar kondensor), sehingga uap yang dihasilkan akan kembali cair. Proses ini berjalan terus menerus dan akhirnya terjadi pemisahan antara alkohol dengan air, alkohol yang terpisah dengan kadar 70% atau lebih disebut alkohol teknis. Bahan dan Alat Pembuatan Alkohol Teknis Bahan :
Cap Tikus
Air
Bahan Bakar (minyak Tanah, gas elpiji, kayu bakar)
Alat :
1 (satu) set alat penyulingan alkohol yang teridri atas : Ketel penyulingan Kondensor Penampung alkohol Teknis Tungku/kompor Selang air
Masih menggunakan alat penyulingan sederhana/Tradisional (Bambu)
3
INOVASI TEKNOLOGI PENYULINGAN ALKOHOL CAP TIKUS DI KTH BUNGA TANI DESA LOBU SATU KECAMATAN TOULUAAN. Sebagai petani aren (pengrajin cap tikus) dan bagian dari masyarakat Desa Lobu Satu, Kelompok Tani Hutan Bunga Tani telah lama berkecimpung dalam pengolahan Nira Aren menjadi Alkohol Cap Tikus. Berawal dari pengalaman usaha pengolahan cap tikus yang diterima secara turun temurun, KTH Bunga Tani memulai usaha penyulingan alkohol cap tikus dengan menggunakan peralatan yang sederhana/tradisional, yaitu menggunakan alat penyulingan dari bambu dan drum sebagai wadah pemasakan air nira sejak Tahun 2006. Pada Tanggal 15 April 2014, atas inisiatif kelompok dan motivasi dari Penyuluh Kehutanan, maka pada tanggal 12 Mei 2014 dikukuhkan oleh Hukum Tua Desa Lobu Satu sebagai Kelompok Tani Hutan dengan Sertifikat Nomor: 520/BP4K/165/V/2014. Dengan pendampingan dan fasilitasi dari penyuluh kehutanan, serta keinginan yang besar kelompok untuk berkembang dalam usaha penyulingan alkohol, pada akhir Tahun 2014 melalui Kegiatan Kelompok Usaha Produktif dengan pengembangan teknologi penyulingan dari alat bambu diganti dengan pipa stainlessteel. Inisiatif
penggunaan
pipa
stainlesssteel
diawali
denganmasalah
yang
timbul/terjadi dengan penggunaan alat bambu adalah, seperti : Tidak dapat mengurangi penguapan yang terjadi di permukaan bambu, Sifat bambu yang tidak tahan panas, cepat/mudah rusak akibat cuaca Waktu penggunaan yang relative singkat, sehingga perlu sering diganti Produksi alkohol yang relatif kurang dan kadar alkohol yang lebih rendah. Untuk mengantisipasi masalah dari penggunaan bambu tersebut, maka alternatif yang dipilih adalah dengan menggunakan pipa stainlesssteel yang memiliki keunggulan, seperti: Sifat stainless steel yang tahan panas, sehingga penguapan yang berlangsung di dalam pipa berjalan lancar. Stainless steel dapat tahan terhadap perubahan cuaca, sehingga tidak mudah rusak dan tahan karat Waktu penggunaan yang lebih lama, sehingga dapat mengurangi biaya produksi
4
Produksi alcohol (kuantitas) lebih banyak dan kadar alkohol (kualitas) yang dihasilkan lebih tinggi. Adapun teknik pemilihan diameter pipa stainlesssteel tidak sama atau berbeda diameter dari pangkal sampai ke ujung, karena pemasangan pipa semakin ke ujung semakin kecil ukuran diameter pipa. Hal ini dimaksudkan agar proses penguapan alkohol dari nira aren dapat berjalan lebih maksimal. Adapun pipa yang dibutuhkan untuk 1 unit penyulingan alkohol adalah 12 ujung, dengan teknik pemasangan pipa :
1 buah pipabesar (1 ujung pipa = 6 meter) dipasang pada tempat keluarnya penguapan (dari drum) memakai ukuran diameter pipa yang lebih besar, yaitu 3" (tiga inchi) dandiletakkan dengan arah ke atas, selanjutnya
4 buah pipa sedang dengan ukuran diameter 2" juga disambungkan dan diletakkan dengan arah ke atas, kemudian
7 buah pipa kecil dengan ukuran diameter 1,5" saling dihubungkan dan diletakkan dengan arah sedikit ke bawah. Untuk mengurangi panas yang timbul dari pipa, maka di ujung penguapan dalam
proses penyulingan masih tetap menggunakan kombinasi bambu sebanyak 4 – 5 ujung. Penggunaan bambu juga merupakan teknik yang dapat mempercepat proses pendinginan dan merupakan alat yang mudah di dapat di alam.
5
Perbedaan Hasil Produksi antara Bambu dan Stainless steel Setelah beralih dari teknologi sederhana (Tradisional) ke Teknologi yang lebih Inovatif, KTH Bunga Tani merasakan terjadi perubahan dalam hal biaya produksi, hasil produksi dan tingkat pendapatan hasil petani. Sejak menggunakan pipa dari stainleessteel, bahan baku air nira aren yang digunakan lebih sedikit namun dapat memberikan hasil cap tikus yang sama, bahkan memiliki kadar alkohol yang lebih tinggi dan nilai ekonomis yang lebih besar. Berikut perbedaan yang dapat ditunjukkan pada Tabel berikut : No 1.
Indikator
Alat Penyulingan Bambu
Jumlah Air Nira yang dibutuhkan
Stainleessteel
7 gallon
5 gallon
dalam 1 drum untuk menjadi 1 gallon Alkohol 2.
Kadar Alkohol
30 – 35 %
40 – 45 %
3.
Harga Alkohol
Rp. 300.000,‐
Rp. 450.000,‐
Dengan demikian, Inovasi Teknologi yang dicapai dari hasil kerjasama Penyuluh Kehutanan dan KTH Bunga Tani telah dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat sekitar untuk lebih meningkatkan hasil produksi maupun peningkatan pendapatan petani aren. Diharapkan peran aktif dari pemerintah daerah maupun pusat untuk lebih mengembangkan potensi si “Pohon Emas Hijau” sehingga dapat mengangkat derajat hidup masyarakat maupun daerah di masa mendatang.
6
Masih banyak Kelompok Tani Hutan yang ingin mengambil peran dalam mengembangkan potensi aren, namun mereka memerlukan bantuan dan dukungan baik modal, teknis dan manajemen dari pihak pemerintah, lembaga swasta maupun lembaga keuangan. Jika masyarakat dalam Kelompok tani Hutan ini diberdayakan, maka mereka juga dapat memberikan konstribusi bagi peningkatan devisa bagi Negara. Semoga bermanfaat.
7
PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL SECARA KOLABORATIF (Studi Kasus Di Taman Nasional Bukit Duabelas) COLLABORATIVE MANAGEMENT OF NATIONAL PARK Case Study in Bukit Duabelas National Park Oleh: Waldemar Hasiholan * Abstract Bukit Duabelas National Park is representing to specific and unique Conservation Area because in this area live the traditional tribe "Orang Rimba”. The traditional knowledge Orang Rimba in managing forest as live place and subsistence source require to be defended and preserve. The Changing of status of production forest to the status of the conservation forest has led to conflict of forest management and access to natural resources in the National Park. This situation led to management of Bukit Duabelas National Park is not operating effectively. The changing of Management system should be done in participative by involving stakeholders, so it’s not magnify differences park management. Therefore the collaborative management of national parks with the community as a solution to resolve the conflict in the management of national parks. Key word: Collaborative management I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Secara umum tujuan pembangunan suatu Taman Nasional adalah untuk melindungi proses ekologis yang menunjang kehidupan, mengawetkan keanekaragaman ekosistem, spesies dan genetik yang terdapat di dalam taman nasional serta memanfaatkan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang ada untuk kepentingan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan alam, rekreasi, wisata alam dan jasa lingkungan serta kegiatan penunjang budi daya. Demikian pula dengan penunjukan Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas seluas 60.500 ha yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 258/Kpts‐ II/2000 Tanggal 23 Agustus 2003. Penunjukan Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan perubahan fungsi hutan yang berasal dari sebagian Hutan Produksi Terbatas Serengam Hulu (20.700 ha) dan sebagian Hutan Produksi Tetap Serengam Hilir (11.400 ha) serta Areal Penggunaan Lain (1.200 ha) dan Suaka Alam Bukit Duabelas (27.200 ha). Perubahan Fungsi Hutan Produksi dan Fungsi Hutan Suaka Alam menjadi Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas tentunya juga merubah sistem pengelolaannya dari sistem pengelolaan hutan produksi menjadi sistem pengelolaan taman nasional. *Widyaiswara Pusat Diklat Kehutanan
Perubahan sistem pengelolaan hutan tersebut telah menimbulkan konflik pengelolaan dan akses terhadap sumber daya alam hayati dan ekosistemnya antara pengelola kawasan dengan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan taman nasional. Masyarakat Orang Rimba yang telah hidup dan mencari penghidupan di dalam kawasan hutan tersebut jauh sebelum ditunjuk sebagai taman nasional merasa terancam kehidupannya akibat wilayahnya ditetapkan sebagai kawasan taman nasional. Konflik yang terjadi sudah pada tingkat konflik terbuka sehingga dalam mengelola taman nasional seringkali menghadapi penolakan dari masyarakat. Hal ini menyebabkan pengelolaan taman nasional menjadi kurang efektif. Dalam rangka mewujudkan pengelolaan taman nasional yang efektif diperlukan upaya‐upaya penanganan konflik sehingga kehadiran taman nasional dapat diterima dan didukung oleh masyarakat. Salah satu langkah awal dalam penyelesaian konflik adalah melakukan identifikasi konflik dan sumber konflik. Selanjutnya dilakukan analisis atas konflik guna memperoleh solusi penagananan konflik yang terjadi. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan dan sharing informasi kepada para pihak dalam mewujudkan pengelolaan taman nasional yang efektif dan diterima oleh masyarakat. METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini menggunakan teknik pendekatan dan perpaduan sebagai berikut: 1. Studi pustaka karya tulis ilmiah terkait taman nasional. 2. Kajian Peraturan dan Perundang‐undangan terkait hutan dan kawasan konservasi. 3. Pengalaman dalam mengelola taman nasional. Selanjutnya data dan informasi yang dikumpulkan dianalisis dan dirumuskan untuk menghasilkan rekomendasi bagi penyelesaian konflik sehingga pengelolaan taman nasional dapat efektif dan diterima oleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. II. KONSEP PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL A. Pengertian Taman Nasional Menurut Pasal 1 angka 14 Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang dimaksud dengan taman nasioanl adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
2
pariwisata, dan rekreasi. Lebih lanjut dsalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2011 dijelaskan bahwa Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional haruslah memenuhi: 1. Memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik; 2. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; 3. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; dan 4. merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan. Menurut Clawson, 1972 (dalam Waldemar 1986) kriteria untuk suatu taman nasional adalah sebagai berikut: 1. Mempunyai kemampuan untuk menunjang kebutuhan masyarakat kini dan akan datang dalam hal aktifitas, kegemaran dan sifat‐sifatnya. 2. Kebutuhan akan macam areal tergantung pada faktor sosial ekonomi masyarakat setempat, sebab perkembangan ekonomi masyarakat menentukan perubahan sasial dan berpengaruh pada taman nasional dan konsep ini dapat berubah dinamis. 3. Keberadaan taman nasional harus dimengerti oleh seluruh masyarakat dan didukung oleh pemerintah. Selanjutnya Harroy (dalam Waldemar 1986), menyatakan bahwa untuk membangun taman nasional yang efektif ada empat hal utama yang wajib diperhatikan, yaitu: 1. Harus ada kehendak politis yang kuat dari para pimpinan negara yang bersangkutan. 2. Diperlukan pula adanya pendapat masyarakat yang menunjang atau menerima kehendak resmi pemerintah ini. 3. Harus disediakan cukup dana untuk menjadikan kehendak itu berhasil. 4. Administrasi taman nasional harus cukup efektif dan kompeten dalam menggerakan kehendak ini menuju kegiatan nyata. Dari uraian tersebut di atas kehadiran suatu taman nasional selain harus mendapat dukungan pemerintah tertinggi tetapi juga harus dapat diterima oleh masyarakat serta mendapat dukungan dari masyarakat dalam pengelolaannya. B. Zonasi Taman Nasional Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona‐zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data,
3
penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian‐kajian dari aspek‐aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Berdasarkan Pasal 8 huruf (d) PP 23 Tahun 2011 zonasi yang terdapat di taman nasional meliputi zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan. Menurut Clawson (1972) Kebutuhan akan macam zonasi tergantung pada faktor sosial ekonomi masyarakat setempat, sebab perkembangan ekonomi masyarakat menentukan perubahan spasial dan berpengaruh pada taman nasional dan konsep ini dapat berubah dinamis. Lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62/Permenhut‐II/2007 ditetapkan bahwa kawasan taman nasional sekurang‐kurangnya terdiri dari zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan. Namun demikian di dalam taman nasional sesuai dengan kondisi kawasan, potensi kawasan, sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar taman nasional, dapat dibuat zona lain secara variatif, seperti: Zona tradisional; Zona rehabilitasi; Zona religi, budaya dan sejarah serta Zona khusus. Dari uraian tersebut diatas dapat dirumuskan bahwa zonasi taman nasional bersifat dinamis dan penetapannya bergantung pada sejarah kawasan, sosial ekonomi masyarakat setempat, budaya masyarakat, tingkat kebergantungan masyarakat atas kawasan taman nasional dan perkembangan kesejahteraan masyarakat. C. Dasar Hukum Pengelolaan Taman Nasional Bersama Masyarakat 1. Undang‐undang Nomor 5 Tahun 1990 Dalam undang‐undang nomor 5 Tahun 1990 dinyatakan bahwa tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh Pemerintah, oleh karenanya peran serta masyarakat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. 2. Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999 Sebagai kawasan hutan maka pengelolaan Taman Nasional harus memperhatikan hal berikut ini:
4
a. Menjaga keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.; b. Memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat; c. Menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi; d. Mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat; e. Dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat; f.
Bertujuan untuk sebesar‐besar kemakmuran masyarakat yang berkeadilan dan berkelanjutan, diantaranya dengan: 1) Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; 2) Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; 3) Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
g. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat. (dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan merasakan dan mendapatkan manfaat hutan secara langsung, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka, serta sekaligus dapat menumbuhkan rasa ikut memiliki) h. Dalam kerjasama dengan masyarakat kearifan tradisional dan nilai‐nilai keutamaan, yang terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan aturan yang disepakati bersama. i.
Masyarakat berhak: 1) Menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. 2) Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang‐undangan yang berlaku;
5
3) Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; 4) Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; 5) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. j.
Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan.
k. Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. l.
Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
m. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan yang berlaku. 3. Undang‐Undang Hak Asasi Manusia Dalam Undang‐undang Hak Asasi Manusia telah diatur hubungan antara masyarakat tempatan khususnya masyarakat adat dengan lingkungannya, diantaranya adalah: a. Perlindungan dan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat; b. Hak untuk berpartisipasi dalam perencanaan, perumusan dan implementasi kebijakan taman nasional, khususnya atas penyusunan rencana pengelolaan; c. Hak atas kepemilikan taman nasional; d. Hak atas pengembangan diri; e. Hak atas informasi, dimana pemerintah harus memberikan dan menyediakan informasi yang cukup, adil dan transparan dalam kebijakan taman nasional dan kebijakan pemerintah secara umum. f.
Hak untuk hidup secara bermartabat di Taman nasional;
g. Hak atas tanah ulayat di Taman Nasional; h. Hak kelompok khusus, dimana pemerintah secara umum harus memberikan perlakuan dan perlindungan lebih terhadap masyarakat sebagai kelompok khusus dalam kebijakan pembangunan. Dari uraian tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa pengelolaan taman nasional haruslah melibatkan masyarakat secara aktif mulai dari perencanaan taman nasional, pelaksanaan
6
kegiatan dan monitoring serta evaluasi kegiatan taman nasional. Dalam penerapannya pengelolaan taman nasional bersama masyarakat mencakup tiga fungsi yaitu fungsi perlindungan, fungsi pengawetan dan fungsi pemanfaatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengelolaan kawasan taman nasional merupakan perpaduan antara pengelolaan cagar alam, suaka margasatwa, hutan lindung, hutan wisata alam dan hutan produksi. III. KONFLIK DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS A. Gambaran Umum Taman Nasional Bukit Duabelas yang terletak di Dataran Pulau Sumatera Bagian Tengah, secara administratif terletak di tiga kabupaten. dengan rincian luas menurut kabupaten, masing‐ masing : 1. Kabupaten Batanghari
65% (37.000 Ha)
2. Kabupaten Sarolangun
15% (9.000 Ha)
3. Kabupaten Tebo
20%. (11.500 Ha)
Kawasan ini merupakan Hutan Alam sekunder tua, sebagian lagi merupakan hutan primer, kebun karet, belukar dan ladang. Secara ekologis Taman Nasional Bukit Duabelas Termasuk dalam Tipe Ekosistem Hutan Hujan Dataran Rendah. Dengan tipe ekosistem yang demikian Taman Nasional ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Hampir sebagian besar spesies tumbuhan dan satwa liar yang terdapat di Sumatera dapat dijumpai di kawasan ini diantaranya adalah Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan Tapir (Tapirus indicus) masih sering ditemukan di areal ini. Selain itu Kawasan ini juga telah menjadi tempat hidup dan mencari penghidupan bagi Masyarakat Adat ”Orang Rimba” . Sudah sejak lama Orang Rimba hidup di belantara hutan yang tersebar di Provinsi Jambi. Namun hanya Taman Nasional Bukit Duabelas yang lebih menjamin kelestarian habitatnya. B. Permasalahan Taman Nasional Berdasarkan perbandingan antara kriteria, persyaratan dan peraturan yang berkaitan dalam penetapan taman nasional dengan realisasi penetapan taman nasional akan ditemui permasalahan yang berpotensi menjadi sumber konflik dalam pengelolaan taman nasional. Potensi konflik dalam pengelolaan taman nasional dimaksud diantaranya adalah sebagaimana disajikan pada tabel berikut ini:
7
Tabel 1. Identifikasi Potensi Konflik di Taman Nasional No
Penetapan Taman Nasional
Permasalahan
Potensi Konflik Terjadi konflik kepentingan penggunaan dan pemanfaatan kawasan Penolakan atau resistensi terhadap keberadaan taman nasional
Kriteria
Realisasi
1.
Harus didasari pada hasil inventarisasi sumber daya alam/hutan
Umumnya dilakukan dengan penunjukan kawasan hutan atau perubahan fungsi
Terjadinya perbedaan persepsi dan kepentingan antara dalam
2.
Harus diterima oleh masyarakat
Dalam penunjukan taman nasional umumnya belum mendengarkan aspirasi masyarakat yang bermukim di dalam/sekitar kawasan Masyarakat berhak Masyarakat belum mengetahui banyak tahu rencana rencana pembangunan pembangunan kehutanan di kehutanan wilayahnya
Terjadinya perbedaan dan kepentingan dalam pemanfaatan atau penggunaan kawasan
3.
4.
5.
6.
Masyarakat berhak mendapatkan kompensasi atas tertutupnya akses dalam pemanfaatan kawasan hutan
Belum ada mekanisme pemberian kompensasi kepada masyarakat atas hilangnya akses dalam pemanfaatan hutan Peran serta Peranserta masyarakat dalam masyarakat belum pengelolaan taman menjadi kebutuhan nasional menjadi utama dalam kebutuhan utama pengelolaan taman nasionak Adanya program Program partisipatif peningkatan masyarakat dalam kemampuan SDM pengelolaan taman masyarakat di nasional masih dalam/sekitar terbatas hutan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan
Terjadinya perbedaan dan kepentingan dalam pemanfaatan atau penggunaan kawasan Terjadinya ketidakpuasan dan tuntutan untuk tetap mempertahankan kawasan
Penolakan atau resistensi terhadap keberadaan taman nasional
Terjadinya ketidakpuasan dan kekecewaan dalam pengelolaan taman nasional
Lemahnya dukungan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional Lemahnya dukungan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional
Terjadinya ketidakpuasan dan kekecewaan dalam pengelolaan taman nasional
Penolakan atau resistensi terhadap keberadaan taman nasional
8
7.
8.
9.
nilai‐nilai kearifan tradisional dalam budaya masyarakat dapat dijadikan aturan kesepakatan dalam pengelolaan kawasan Masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan Perlindungan dan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat.
Aturan pengelolaan taman nasional lebih mengutamakan aturan formal atau hukum positif
Terjadinya ketidakpuasan dan kekecewaan dalam pengelolaan taman nasional
Lemahnya dukungan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional
Pemerintah jarang melibatkan masyarakat dalam melakukan pengawasan secara aktif
Terjadinya inefisiensi dalam pengelolaan taman nasional
Lemahnya dukungan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional
Masih sedikit Peraturan Daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat
Terjadinya inefisiensi dalam pengelolaan taman nasional
Lemahnya dukungan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional Konflik kepentingan
10. hak atas Taman Nasional kepemilikan taman dikuasai oleh Negara nasional dan belum mengakui kepemilikan masyarakat adat atas kawasan taman nasional 11 Taman Nasional Unsur‐unsur manajemen taman dikelola dengan dana yang cukup nasional dalam dan mendapat keadaan terbatas dan belum mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat dukungan penuh dari dan daerah pemerintah pusat maupun daerah
Terjadinya kegiatan illegal di dalam taman nasional
Manajemen taman nasional kuarng efektif
Program dan kegiatan pengelolaan taman nasional kurang optimal dan kurang mendapat dukungan masyarakat
Berdasarkan pengalaman dalam pengelolaan taman nasional, konflik antara masyarakat dengan pengelola kawasan yang sering muncul dipermukaan adalah: 1. Konflik dalam penggunaan lahan, seperti: a. Pemukiman di dalam kawasan taman nasional yang keberadannya telah ada sebelum penetapan taman nasional b. Perladangan masyarakat yang dilakukan secara tetap yang keberadaannya sudah ada sebelum penetapan taman nasional
9
c. Perladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat tradisional 2. Konflik dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati, diantaranya: a. Pemungutan hasil hutan kayu untuk kepentingan ekonomi keluarga, kepentingan sendiri dan lainnya. b. Pemungutan hasil hutan bukan kayu untuk kepentingan ekonomi keluarga, kepentingan sendiri dan lainnya. c. Perburuan tradisional 3. Konflik sosial, diantaranya: a. Kesempatan mendapatkan pendidikan b. Kesempatan mendapatkan kesehatan c. Kesempatan dalam mendapatkan pekerjaan d. Kesempatan dalam menjalankan tatanan budaya Akibat terjadinya perubahan status fungsi hutan dari fungsi hutan produksi menjadi fungsi hutan konservasi di Taman Nasional Bukit Duabelas, permasalahan umum yang teridentifikasi, adalah sebagai berikut: 1. Belum mantapnya batas kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas 2. Belum terakomodasinya tata ruang kehidupan Orang Rimba dalam sistem Zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas 3. Manfaat ekonomi atas eksistensi kawasan belum dirasakan oleh masyarakat; 4. Belum terlibatnya secara aktif masyarakat ”Orang Rimba” dalam pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas 5. Kondisi sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan Orang Rimba masih rendah 6. Pergeseran‐pergeseran nilai yang berkonotasi negatif di kalangan komunitas Orang Rimba. 7. Belum terbangunnya Sistem Pengelolaan Multi Pihak yang berbasis konservasi sumberdaya alam dan Community Development. 8. Terbatasnya komunikasi dan informasi para pihak. 9. Adanya potensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia. IV. SOLUSI KONFLIK Mengacu pada permasalahan tersebut, maka strategi yang dilakukan adalah mengembangkan 7 (tujuh) prinsip pengelolaan hutan modern, yaitu: 1. Mengembangkan Multi‐Purpose Forest Used Management 2. Mengembangkan Multi‐Porpose Trees Species Management 3. Mengembangkan Multi Stakeholder of Forest Management;
10
4. Mengembangkan Intensive Forest Management Base On Research and Science; 5. Mengembangkan Resort Base Forest Management; 6. Mengembangkan Multi Product of Forest Management; 7. Mengembangkan Multi Impact of Forest Management. Adapun langkah‐langkah pendekatan yang dilakukan dalam pemecahan masalah tersebut didasarkan pada: 1. Pengembangan Zonasi Taman Nasional 2. Konservasi Kawasan 3. Perkuatan Keberdayaan Komunitas Orang Rimba 4. Penggalangan Aliansi Mitra Strategis Lintas Pihak. A. Pengembangan Zonasi Salah satu upaya penyelesaian konflik sumber daya alam hayati di Taman Nasional adalah dengan mengembangkan sistem zonasi partisipatif sesuai kebutuhan masyarakat dan kelestarian ekosistem. Dengan demikian Sistem Zonasi yang dikembangkan di Taman Nasional Bukit Duabelas diarahkan untuk memenuhi kebutuhan ruang dan penghidupan Orang Rimba serta konservasi ekosistem, spesies dan genetik yang terancam punah. 1. Zona Inti Zona Inti adalah sebagai ruang pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya kawasan dan merupakan areal yang dilindungi ketat. Kegiatan yang diperbolehkan pada zona ini hanya yang bersifat penelitian terbatas, atau yang berkaitan dengan kehidupan budaya komunitas Orang Rimba. 2. Zona Rimba Zona Rimba melingkari areal Zona Inti sampai ke sisi batas luar kawasan, kecuali bagian‐ bagian ruang yang diperuntukkan untuk tipe zona lainnya. Fungsi utama Zona Rimba adalah sebagai : a. Ruang pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. b. Ruang kehidupan dan penghidupan komunitas Orang Rimba. c. Ruang kegiatan penelitian dan pendidikan. d. Ruang kegiatan pariwisata terbatas / penyelenggaraan program interpretasi. 3. Zona Pemanfaatan Untuk memfasilitasi kegiatan pemanfaatan, dirancang 4 (empat) tipe zona pemanfaatan, masing‐masing : a. Zona Pemanfaatan Tradisional: Zona ini diperuntukkan untuk memfasilitasi kebutuhan kehidupan dan penghidupan komunitas Orang Rimba. Fungsi utama Zona Pemanfaatan
11
Tradisional adalah sebagai : Ruang budidaya tanaman pangan, komoditi jual dan biota obat hutan (agroforestry), Ruang Interaksi komunitas Orang Rimba dengan masyarakat luar, Ruang penyelenggaraan kegiatan pemberdayaan komunitas Orang Rimba. Di zona ini akan dikembangkan agroforestry dan fasilitas untuk menunjang program pendidikan dan kegiatan‐kegiatan pemberdayaan lainnya (Orang Rimba Community Center) termasuk introduksi program interpretasi berikut sarana dan prasarana wisata untuk di kelola oleh komunitas itu sendiri. b. Zona Pemanfaatan Terbatas : Fungsi utama Zona Pemanfaatan Terbatas adalah untuk mengakomodasi pemanfaatan areal kawasan TNBD (ex Cagar Biosfer) yang dirambah pada masa‐masa lalu dan sudah dijadikan lahan perkebunan rakyat oleh warga masyarakat desa interaksi. Dan, areal ex PT INHUTANI V dan PT Sumber Hutan Lestari yang sudah terlanjur dijadikan perkebunan rakyat sebelum terbentuk TNBD. c. Zona Pemanfaatan Pariwisata Alam. Fungsi utama Zona Pemanfaatan Pariwisata Alam adalah untuk : Pengembangan sarana dan prasarana ekowisata dan penyelengaraan program interpretasi, Pengembangan laboratorium alam terbuka, Pengembangan budi daya biota obat hutan dan tanaman hias, Pengembangan Pusat Penyelamatan Satwa Endemik Sumatera, Sebagai wadah penampungan satwa liar endemik Sumatera bermasalah dan hasil sitaan dari masyarakat, Pengembangan Penangkaran Satwa (endemik Sumatera), Sebagai wadah pengadaan stok untuk 1) Kebutuhan masyarakat yang berminat mengembangkan kegiatan usaha penangkaran, dan 2) Keperluan intervensi jenis satwa yang terancam, baik untuk kawasan TNBD maupun kawasan lainnya. d. Zona Khusus: adalah areal‐areal di TNBD yang diperuntukan secara khusus bagi pengembangan komoditi kehutanan dan pertanian serta perikanan yang dikelola secara intensif untuk peningkatan ekonomi masyarakat Orang Rimba yang telah bermukim di kawasan jauh sebelum Taman Nasional Bukit Duabelas ditetapkan. 4. Zona Rehabilitasi. Zona ini tertutup untuk semua kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan program pemulihan lingkungan. Setelah proses intervensi berakhir, tipe zona untuk ex areal rehabilitasi akan disesuaikan dengan keperluan konservasi kawasan. B. Konservasi Kawasan 1. Pemantapan batas kawasan a. Pembuatan kesepakatan dengan Masyarakat Desa untuk rasionalisasi dan pemantapan batas kawasan b. Mengusulkan rekonstruksi batas TNBD secara partisipatif
12
c. Melakukan Pemeliharaan Batas TNBD dengan penanaman pohon kehidupan bersama‐ sama dengan masyarakat d. Pemetaan Pal Batas Kawasan TNBD dalam Peta GIS e. Pembentukan Team Kerja Zonasi TNBD yang terdiri atas Kelompok Orang Rimba, NGO, Pemerintahan Desa dan Taman Nasional f.
Mengembangkan sistem zonasi TNBD yang mampu mengakomodasi kebutuhan ruang dan sumber penghidupan Orang Rimba
g. Melakukan survey identifikasi dan penentuan zonasi 2. Perlindungan dan pengamanan kawasan a. Penjagaan: melakukan penjagaan pada lokasi strategis b. Patroli: Melakukan patroli ditempat‐tempat rawan gangguan keamanan hutan c. Operasi Pengamanan Hutan: Berupa operasi preentih, preventif dan represif. d. Pengendalian kebakaran hutan: Diutamakan kegiatan pencegahan terjadinya kebakaran hutan. C. Penguatan Keberdayaan Masyarakat 1. Penguatan Kelembagaan Adat Nilai‐nilai Kearifan trasidional Orang Rimba dalam megelola sumberdaya alam hutan dan isinya perlu dilestarikan. Oleh karena itu terus dilakukan penguatan atas aturan‐aturan dan hukum adat yang bersifat positip bagi peningkatan kesejahteraan Orang Rimba dan Pelestarian TNBD. 2. Pengembangan Community Patrol Balai Taman Nasional Bukit Duabelas mengembangkan Community Patroll yang beranggautakan POLHUT TNBD, Orang Rimba dan Orang Desa. Regu patroli ini bertugas melakukan pemantauan dan monitoring keamanan kawasan TNBD di lapangan, 3. Peningkatan Ekonomi Masyarakat Kegiatan yang dilaksanakan berupa pembangunan demonstrasi plot penangkaran anggrek, budidaya jernang, rotan dan budidaya perikanan. D. Pengembangan Pengelolaan Kolaboratif 1. Mengembangkan pengelolaan taman nasional bersama masyarakat Untuk lebih mempercepat pencapaian tujuan penetapan taman nasional dikembangkan Kelompok Kerja Pengelolaan TNBD yang terdiri atas Balai TNBD, Orang Rimba dan Stage Holder terkait mulai dari Tingkat Resort, Subseksi, Sampai pada Tingkat Kabupaten. Ruang lingkup kegiatan Kelompok Kerja Pengelolaan TNBD meliputi kegiatan perencanaan, implementasi dan monitoring serta evaluasi.
13
2. Mengembangkan kerjasama kemitraan Mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak‐pihak terkait untuk mendukung konservasi kawasan TNBD dan keanekaragaman jenis yang terdapat di dalamnya melalui peningkatan kwalitas SDM pengelola kawasan dan program pendanaan dan pendampingan 3. Mengembangkan Kolaborasi Multi Stakeholder Bersama dengan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, Perusahaan Swasta, NGO Nasional, NGO Internasional, Lembaga Adat dan Orang Rimba membentuk Forum Kolaborasi Pengelolaan TNBD. Forum ini bertugas untuk merencanakan dan mengimplementasikan program dan kegiatan secara terpadu dalam rangka pencapaian tujuan penetapan Taman Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan Orang Rimba. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas bersama masyarakat merupakan solusi memecahkan permasahan dalam pengelolaan taman nasional, selain itu sistem pengelolaan ini mampu meredam timbulnya konflik antara Pengelola kawasan dengan masyarakat tradisional. B. Saran Pengelolaan taman nasional yang berbasis masyarakat sudah saatnya dilaksanakan di Indonesia. Selain mampu meningkatkan efektifitas pengelolaan sistem ini juga sangat sesuai dengan salah satu persyaratan pembentukan suatu taman nasional yaitu kehadiran suatu taman nasional harus dierima oleh masyarakat. Daftar Bacaan Departemen Kehutanan. 2005. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas. Direktorat Jenderal PHKA. Bogor. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 2003. Pedoman Umum Pengembangan Social Forestry. Kelompok Kerja Social Forestry Departemen Kehutanan. Jakarta. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐. 1999. Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐. 1990. Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Keanekaragaman hayati dan Ekosistemnta ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐. 2011. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Waldemar Hasiholan. 1986. Studi Kemungkinan Pengembangan Suaka Margasatwa Gunung Palung Sebagai Taman Nasional. Pontianak.
14
PKSM: SDM Handal yang belum dilirik Kementerian LHK (Oleh : Yumi Angelia, PK Madya Pusat Penyuluhan, BP2SDM)
Perlu diakui bersama belum banyak unit kerja Eselon 1 dan 2 lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang memberdayakan Penyuluh Kehutanan (PK) sebagai tenaga andalan dalam kegiatan pendampingan masyarakat di tingkat tapak. Banyak argumen yang dikemukakan antara lain : “Penyuluh Kehutanan kurang kompeten”, “Tidak ada Penyuluh Kehutanan di lapangan”, “Pendampingan masyarakat bukan tupoksi penyuluh” dan alasan lainnya. Perlu diakui masih ada perbedaan persepsi tentang tugas pokok dan fungsi penyuluh kehutanan di Kementerian LHK, bahkan ada kecenderungan menafikan keberadaan Penyuluh Kehutanan di lapangan. Penyuluh Kehutanan yang saat ini berada di bawah Pemerintah Daerah, sebagian besar adalah PNS yang diangkat oleh Kementerian Kehutanan pada tahun 1978 sebagai Petugas Lapangan Penghijauan (PLP) atau Petugas Lapangan Reboisasi (PLR). Kinerja dan keberadaan Penyuluh Kehutanan semakin menurun terutama sejak diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten. Pada saat itu Kanwil Kehutanan sebagai institusi pembina para Penyuluh Kehutanan dibubarkan pada tahun 1997, Penyuluh Kehutanan diserahkan Pemerintah Kabupaten/Kota, yaitu Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (Dinas PKT). Pada era otonomi daerah tahun 2000 Penyuluh kehutanan dipindahkan ke Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Belum lagi Penyuluh Kehutanan bekerja dengan baik, terbit Undang‐ Undang Nomor:16 tahun 2006 dimana penyuluh kehutanan bersama penyuluh pertanian dan perikanan berada dalam satu naungan lembaga, yaitu Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten. Penyuluh Kehutanan semakin “tidak berdaya” sehingga banyak yang beralih profesi menjadi pejabat struktural bahkan pekerjaan lainnya. Kuantitas dan kualitas penyuluh kehutanan semakin menurun sementara perekrutan tenaga PK oleh Pemda tidak berjalan baik. Oleh karena itu saat ini jumlah Penyuluh Kehutanan di lapangan memang sangat sedikit. Kebijakan Pemerintah zero growth PNS menjadi kendala besar dalam penyelenggaraan penyuluhan kehutanan di tingkat tapak. Saat ini jumlah PK PNS seluruh Indonesia adalah 3,768 orang, lebih dari 50% akan memasuki pensiun dalam 2‐3 tahun mendatang. Sedangkan jumlah desa di dalam dan tepi hutan, sebagai tempat tinggal masyarakat sasaran penyuluhan kehutanan, adalah sebanyak 18.718 desa (Survey Kehutanan, 2014). Persentasi desa di dalam dan tepi hutan yang berada di Pulau Jawa 23,12% sementara 76,88% berada di luar Jawa. Ironisnya sebaran PK PNS yang diharapkan mendampingi masyarakat desa di dalam dan tepi hutan justru terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Sumber: Pusluh, Agustus 2016
PKSM: Pendamping handal di tingkat tapak yang sudah teruji
1
Permasalahan tenaga penyuluh kehutanan ini menjadi persoalan serius yang perlu diperjuangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara itu di sisi lain, berkaitan dengan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk pemberian akses pengelolaan hutan seluas 12,7 juta hektar kepada masyarakat sangat membutuhkan tenaga pendamping di tingkat tapak. Dengan kondisi seperti ini perlu dicarikan solusi permasalahan ketenagaan Penyuluhan Kehutanan. Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM), sebagai mitra kerja Penyuluh PNS menjadi tumpuan harapan bagi Kementerian LHK untuk keberlangsungan kegiatan pendampingan masyarakat dalam pembangunan kehutanan di tingkat tapak. Strategi pemberdayaan PKSM sebagai pendamping masyarakat di tingkat tapak sangat tepat, efektif dan efisien. Efektif karena kinerja PKSM selama ini telah terbukti, karya nyata para PKSM dalam penyuluhan dan pendampingan masyarakat bidang pembangunan kehutanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sudah terbukti. Efisien karena PKSM melakukan kegiatannya secara swadaya, tidak mengandalkan biaya dari Pemerintah. Mereka mengabdikan diri secara sukarela sebagai wujud kepedulian terhadap kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat setempat. PKSM umumnya adalah ketua/pengurus kelompok tani yang telah berhasil atau tokoh masyarakat/tokoh agama yang menjadi panutan. PKSM adalah penduduk setempat dan tinggal bersama masyarakat setempat, sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi dan tidak perlu membiayai pemondokan dan lainnya sebagaimana bila mendatangkan tenaga LSM dari luar daerah. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.76/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016 Tentang Penyuluh Kehutanan Swasta dan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat, mendefinisikan PKSM adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. Sampai dengan Agustus 2016 PKSM berjumlah 5.183 orang dan tersebar di 33 provinsi di Indonesia. PKSM dengan berbagai latar belakang profesi, dengan motivasi yang tinggi telah menyumbangkan karyanya bagi kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. PKSM secara swadaya, telah menunjukkan prestasi dalam kegiatan pembangunan kehutanan, tidak saja dalam kegiatan rehabiilitasi hutan dan lahan, tetapi juga dalam kegiatan konservasi, pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta reklamasi atau restorasi ekosistem. Tanpa anggaran dana dari Kementerian LHK, mereka telah menunjukkan prestasi yang luar biasa.
Sumber: Pusluh, Agustus 2016
Ditinjau dari segi kompetensi, PKSM memiliki tingkat kompetensi “Sedang/Baik”, hal ini dapat disimpulkan dari hasil uji coba evaluasi kepada 49 orang PKSM dari 12 provinsi yang terlibat dalam kegiatan pembangunan kehutanan, yang dilakukan oleh Pusat Perencanaan SDM, BP2SDM Kementerian LHK pada bulan Mei 2016. Hasil rata‐rata kompetensi PKSM adalah 50,73, dengan 2
persentasi 44.9% termasuk pada kategori baik, 38,78% kategori cukup dan 16,33% termasuk kategori sangat baik. Kelemahan PKSM umumnya pada aspek pengetahuan, karena sebagian besar PKSM memiliki latar belakang pendidikan yang rendah (tingkat SD dan SMP). Tetapi dari aspek sikap dan ketrampilan dalam kegiatan pembangunan yang digelutinya, PKSM dapat dikategorikan baik.
Sebaran skor kompetensi 49 orang PKSM dari 12 provinsi di Indonesia.
Hal tersebut menjukkan bahwa PKSM merupakan tenaga potensial sebagai pendamping masyarakat, termasuk terkait dengan program pemberian akses 12,7 juta hektar untuk pemberdayaan masyarakat. Mereka telah memiliki sikap positif dalam bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bahkan keswadayaan dan kepeduliannya terhadap masalah pembangunan kehutanan tidak diragukan lagi. Dalam aspek ketrampilan, banyak PKSM memiliki kearifan yang dihasilkan dari pengalamannya berkecimpung dalam bidang pembangunan kehutanan. Kelemahan dari segi pengetahuan dapat ditingkatkan melalui bimbingan teknis atau pelatihan.
Beragam aspek pembangunan kehutanan dan dampaknya Mungkin tidak disadari oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, SDM sebanyak 5,183 yang tersebar di seluruh Indonesia merupakan mitra kerja Penyuluh kehutanan yang jumlahnya sudah semakin kurang. PKSM di seluruh Indonesia memiliki keahlian yang sangat beragam, yang dapat dicontoh oleh masyarakat sekitarnya. Kedudukan PKSM yang umumnya adalah tokoh masyarakat atau panutan masyarakat, merupakan kekuatan besar yang memberikan dampak dan pengaruh yang besar terhadap masyarakat di sekitarnya. Sebagai contoh: Yesaya Mayor, PKSM dari Kecamatan Sawinggrai, Kabupaten Raja Amat, kepeduliannya terhadap konservasi tanah dan air, konservasi flora dan fauna endemik Papua ditularkan kepada anak‐anak muda desanya melalui kegiatan seni. Pak Mayor telah menghijaukan bukit di Desa Meos yang sebelumnya gersang sehingga menjadi habitat burung‐burung endemik Papua, dan munculnya banyak mata air. Melalui sanggar seni yang dipimpinnya Pak Mayor menanamkan kesadaran anak‐anak muda untuk menjaga dan mencintai kelestarian alam. Salah satu filosofi yang beliau tanamkan kepada anak muda: “Menangkap ikan atau burung untuk dijual, hanya dapat penghasilan 1 kali saja, tetapi dengan menjaga kelestarian fauna dan flora tersebut masyarakat akan mendapatkan penghasilan seumur hidup”. Mereka kemudian mengembangkan wisata alam pengamatan burung cenderawasih dan burung endemik Papua lainnya, pemberian makan pada ikan, penangkaran anggrek endemik Papua. Contoh lainnya ialah Bapak Nisro, dari Kabupaten Wonosobo yang telah berhasil mengembangkan hutan rakyat, bahkan sudah memiliki sertifikat Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. PKSM mampu membuktikan bahwa kayu rakyat yang dikelola dengan lestari memberikan keuntungan berlipat ganda bagi masyarakat. Kegiatan Pak Nisro sudah dicontoh oleh
3
masyarakat sekitarnya bahkan oleh masyarakat di luar kabupaten atau luar provinsi yang berkunjung dan belajar kepadanya. Tabel 1. Kegiatan pembangunan kehutanan yang dilakukan PKSM tersebar di wilayah Indonesia No 1
2.
Aspek pembangunan kehutanan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (pembibitan, penghijauan) Agroforestry/Hutan Rakyat / Sistem Verifikasi Legalitas Kayu/ Kemitraan
3.
Konservasi Sumberdaya Alam
4.
Hutan Kemasyarakatan
5.
Hasil Hutan Bukan Kayu
6.
Hutan Desa/ Hutan Adat
7.
Reklamasi Bekas Tambang/ Restorasi Ekosistem
8.
Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
9.
Pendidikan dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan/ Ekowisata
10.
Teknologi terapan
Nama PKSM 1. Memet A Surahman 2. Hari Susanto 3. James Riadi 4. Kusno 1. Nisro
2. Sucahyo Pribadi 3. Mateus Warnares 1. Wahyu Karyono 2. Aden 3. Yesaya Mayor
Bandung‐ Jawa Barat Magelang – Jawa Tengah Minahasa Utara‐ Sulawesi Utara Wonosobo – Jawa Tengah Wonosobo ‐ Jawa Tengah Lumajang – Jawa Timur Biak Numfor‐Papua Kebumen – Jawa Tengah Sukabumi – Jawa Barat Raja Ampat‐Papua Barat
4. Haryono 1. Moh. Zaini
Lumajang‐ Jawa Timur Tanggamus – Lampung
2. Engkos Kosasih 3 .Supardan
Lampung Barat‐ Lampung Kulon Progo – DI Yogyakarta
1. Wita 2. Abi Jumroh Harahap
2. Raden Abdilah
Belitung Padang Lawas Utara‐Sumatera Utara Lombok Barat ‐ NTB Gunung Kidul – DI Yogyakarta Bangli‐ Bali Sinjai‐Sulawesi Selatan Lampung Timur‐Lampung Mempawah‐Kalimantan Barat Sukabumi – Jawa Barat Kab. Sijunjung, Sumatera Barat Kampar‐Riau Sungai Buluh,Padang Pariaman‐ Sumatera Barat Banjar – Kalsel Karangasem‐Bali Banjar‐Kalimantan Selatan Palangkaraya‐Kalimantan Tengah Ketapang‐Kalimantan Barat
3. Junaedi
Indragiri Hulu‐Riau
4. Berson, S.Pd
Pulang Pisau – Kalimantan Tengah Pasuruan – Jawa Timur Kulon Progo – DI Yogyakarta Kab. Belitung‐Bangka Belitung Jepara – Jawa Tengah Pangandaran – Jawa Barat
3. Suadi 4. Sugeng Aprianto 5. Wayan Nyarka 6. Haji Thablib 7. Samsudin 8. Yuswari 9. Edi Yususf 1. Jhon Aprizal 2. Joko Surahmad 3.A. Dt Rajo Batuah 1. Madrodji 2. I Gede Partadana, SH 3. Hamzah 1. Sutikno
1. Sugiarto 2. Sumarjana 3. Adie Darmawan 4. Marwoto Endang Suryana
Kegiatan yang dilakukan Pembibitan tanaman langka Pembibitan tanaman kayu‐kayuan Pembibitan cempaka, nyatoh Pembibitan tanaman kayu‐kayuan Hutan Rakyat, SVLK, SVLK, PHBM, Hutan Rakyat (Jati) Penangkaran kupu‐kupu Penangkaran arwana Penangkaran anggrek dan pelestari burung endemik Papua Penangkaran anggrek Pemanfaan tanaman bawah tegakan, kopi, madu Budidaya kopi, madu, Pemanfaatan Jasa Lingkungan/Wisata Alam Gaharu Gaharu Lebah Madu – Trigona Sp. Lebah Madu – Trigona Sp. Bambu Mangrove Mangrove Mangrove Sutera Alam Pengelolaan Hutan Adat Pengelolaan Hutan Adat Pengelolaan Hutan Nagari Reklamasi areal bekas tambang Reklamasi galian C Reklamasi areal bekas tambang Pencegahan dan penanggulangan kebakaran di lahan gambut Pencegahan dan penanggulangan kebakaran di lahan gambut Pencegahan dan penanggulangan kebakaran di lahan gambut Pencegahan dan penanggulangan kebakaran di lahan gambut Pendidikan lingkungan Pengelolaan Wisata Alam Kalibiru Pendidikan lingkungan Pemanfaatan Jasa Lingkungan Pembuatan cuka kayu
Untuk meningkatkan motivasi dan kinerja PKSM, Pusat Penyuluhan, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM telah berupaya memberikan insentif berupa fasilitasi kegiatan peningkatan kapasitas PKSM melalui kegiatan bimbingan teknis, pembentukan Wanawiyata Widyakarya (Lembaga Pelatihan dan Pemagangan Usaha Kehutanan – LP2UKS), pembentukan Pos Penyuluhan Kehutanan Pedesaan – Posluhutdes. Dengan fasilitasi kegiatan dimaksud, diharapkan PKSM dapat memberikan dampak kepada masyarakat yang lebih luas. 4
Beragam profesi dan nilai strategisnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah sepantasnya berbangga karena PKSM ternyata tidak hanya berasal dari profesi petani bidang kehutanan, tetapi sangat beragam. PKSM banyak yang berprofesi sebagai guru, kepala desa/lurah, aparat desa, penegak hukum, tokoh agama, tokoh masyarakat bahkan anggota ABRI. Dalam kegiatan Temu Teknis PKSM tahun 2016 yang mengambil topik khusus Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan, Perhutanan Sosial dan Restorasi Ekosistem muncullah para pejuang pembangunan kehutanan di tingkat tapak dari berbagai latar belakang profesi, yang selama ini belum banyak didayagunakan oleh Kementerian LHK. Keragaman latar belakang profesi tersebut menjadi nilai strategis bagi Kementerian LHK khususnya dalam konteks semakin tersebarluasnya kesadaran dan kepedulian berbagai lapisan masyarakat terhadap kelestarian sumber daya hutan. Sebagai contoh: Berson, S.Pd seorang guru di Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah yang memiliki ladang garapan turun temurun di sekitar hutan. Sebagai penduduk desa yang lahir dan dibesarkan di sekitar hutan, memiliki kecintaan terhadap hutan. Dia menggerakan masyarakat desa untuk bergotong royong menjaga dan mencegah kebakaran hutan dan lahan. Dia menggerakkan Kelompok Tani Hutan di wiilayahnya secara bergotong royong membuka lahan tanpa bakar, dan secara swadaya membeli pompa dan selang untuk pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Di lingkungan sekolah, sebagai guru Berson menyadarkan murid sejak dini tentang bahaya kebakaran hutan dan lahan, dan larangan membuka lahan dengan membakar. Apa yang diajarkan kepada muridnya, ternyata berdampak pada orang tua murid yang bermata pencaharian sebagai petani, yang berangsur‐angsur meninggalkan kebiasaan membakar lahan. Contoh lainnya adalah Jhon Aprizal sebagai wali nagari atau kepala desa di Nagari Latang, Kec. Lubuk Tarok, Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Sebagai kepala desa, Pak Jhon Aprizal memiliki kewenangan untuk mengusulkan anggaran untuk pembangunan kehutanan di desanya. Selain itu seorang wali nagari di Sumatera Barat, yang masih sangat menjunjung tinggi adat budaya, memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk menggerakkan warganya dalam menjaga keamanan hutan, baik dari pencurian maupun kebakaran hutan dan lahan. Menurutnya, masyarakat desa memiliki kemampuan lebih dalam menjaga keamanan hutan dibandingkan aparat keamanan karena masyarakat yang tinggal di daerah tersebut dapat menjaga 24 jam sehari, sementara aparat keamanan paling lama 8 jam sehari. Semakin diberdayakan, semakin termotivasi dan meningkat kinerjanya PKSM yang telah berprestasi, seperti juara Lomba Wana Lestari, yang setiap tahun diadakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup cq Pusat Penyuluhan – BP2SDM, pada umumnya semakin giat melakukan kegiatan pembangunan kehutanan di daerahnya setelah ajang lomba tersebut. Motivasi mereka adalah berkarya untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang telah menghantar mereka sampai di istana negara pada peringatan Hari Kemerdekaan RI. Hal tersebut merupakan tonggak sejarah dalam kehidupan PKSM, yang membuat mereka bangga dan memacu untuk lebih giat berkarya bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Umumnya PKSM selalu haus akan pengetahuan dan pengalaman baru, oleh karena itu kegiatan pelatihan atau peningkatan kapasitas seperti bimbingan teknis lainnya tidak pernah mubazir karena mereka sangat semangat dalam belajar dan menerapkan apa yang telah dipelajarinya. Tidak berhenti sampai di situ, mereka bahkan dengan sukarela dan senang hati menyebarluaskannya pada masyarakat sekitar. Untuk peningkatan motivasi dan kinerja PKSM, sudah saatnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan perhatian kepada kebutuhan utama PKSM yaitu Pertama, pengakuan dari Kementerian LHK. Peraturan tentang PKSM memang menegaskan yang menetapkan PKSM adalah unit kerja di tingkat kabupaten yang menangani penyuluhan kehutanan. Tetapi PKSM sangat
5
mengharapkan pengakuan yang sederhana dari Kementerian LHK, berupa kartu identitas, personal use untuk menguatkan keberadaan mereka di tingkat tapak sekaligus meningkatkan korps sesama PKSM. Kedua, peningkatan pengetahuan dan keterampilan PKSM karena umumnya PKSM memiliki semangat dan keinginan belajar yang tinggi. Hal ini sangat penting terutama bila ingin mendayagunakan PKSM di luar bidang keahlian atau pengalamannya. Ketiga, PKSM perlu difasilitasi dengan kegiatan‐kegiatan yang dapat menggantikan biaya operasional dan jaminan kerja dalam melakukan tugas penyuluhan kehutanan. Mereka tidak menuntut gaji atau honor, karena stempel swadaya sudah melekat pada dirinya. Namun bila ingin kinerja PKSM meningkat dan PKSM lebih banyak berperan dalam pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup, perlu dipikirkan pemberian bantuan biaya operasional dan tunjangan keamanan, apalagi kegiatan kehutanan umumnya berada di lokasi yang sulit dijangkau dengan kendaraan umum. PKSM Jawa Barat dengan seragam kebanggaan yang difasilitasi Pemda. Sampai usia lanjut pun tetap bersemangat menjadi PKSM, sampai‐sampai mereka plesetkan PKSM dengan Penyuluh Kehutanan Sampai Mati!
PKSM BISA!! Dengan uraian di atas, kita dapat menyepakati bahwa PKSM dapat dipercaya menjadi tenaga handal dalam pendampingan masyarakat khususnya dalam kegiatan pembangunan kehutanan. Kegiatan‐ kegiatan strategis Eselon 1 dan 2 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, khususnya kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dapat dipercayakan kepada PKSM untuk mengelolanya. Oleh karena itu Kementerian LHK perlu memberikan perhatian pada peningkatan kuantitas dan kualitas PKSM di Indonesia terutama di wilayah Indonesia bagian timur yang jumlah PKSM masih sangat minim. Pengakuan terhadap keberadaan dan peranan PKSM dalam pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup perlu diwujudnyatakan demi tercapainya masyarakat sejahtera hutan lestari.
6
SMK KEHUTANAN PEKANBARU MENUJU SEKOLAH ADIWIYATA NASIONAL*) Oleh Binti Masruroh Guru SMK Kehutanan Pekanbaru
Beberapa gambar di atas adalah kondisi lingkungan SMK Kehutanan Negeri Pekanbaru (SMKKN Pekanbaru). Terlihat teduh dan asri, sangat kontras dengan kondisi kota pekanbaru dengan cuaca panas dan khas dengan kabut asapnya. Sangatlah terasa jika kita masuk di area SMK ini, iklim mikro dari pepohonan yang ada di dalamnya membelai wajah wajah yang kelelahan dan berkeringat penuh debu untuk kembali tersenyum takjub. Kata‐kata yang tidak berlebihan dan bisa anda buktikan.
SMK Kehutanan Negeri Pekanbaru adalah pelopor sekolah adiwiyata diantara
lima SMK Kehutanan milik Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan. Adiwiyata adalah sebuah penghargaan yang diberikan bagi sekolah yang berwawasan lingkungan. Setelah mendapatkan penghargaan sebagai sekolah adiwiyata tingkat kota pekanbaru, SMK ini juga berhasil mendapatkan adiwiyata tingkat propinsi dan sekarang sedang mempersiapkan menuju adiwiyata nasional. Bukan hal yang mudah untuk mendapatkan semua, diperlukan kerja keras dan kerjasama seluruh elemen baik dari siswa, guru, pegawai dan seluruh warga sekolah. Mengapa adiwiyata perlu? Apakah penting?
Pertanyaan yang sering terdengar dalam proses menuju adiwiyata nasional.
Wajar sekali jika banyak yang bertanya. Adiwiyata sangat penting bagi sebuah sekolah,
tidak sekedar sebuah penghargaan tapi lebih dari itu. Pendidikan karakter cinta dan peduli lingkungan yang diwujudkan dengan aksi nyata adalah sangat berharga. Mencoba mengasah sensitivitas / kepekaan siswa/i dalam berinteraksi dengan alam adalah bagian dari kegiatan ini. Pendidikan karakter cinta dan peduli lingkungan hendaknya dapat melekat pada siswa/i sehingga dapat di bawa di dunia kerja yang berkaitan langsung dengan kelestarian hutan.
Seiring dengan bergabungnya Kementerian Kehutanan dan Kementerian
Lingkungan Hidup menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Adiwiyata menjadi sangat penting. Seluruh SMK Kehutanan diharapkan dapat melaksanakan program adiwiyata. Sebuah nilai plus bagi SMK Kehutanan Negeri Pekanbaru yang telah memulai lebih awal. SMKKN Pekanbaru telah mengawali adiwiyata dari tahun 2014 di bawah pimpinan Kepala Sekolah Bapak Harjanto, S.Hut. M.Pd dan dilanjutkan oleh Bapak M. Abdul Aris, S.Hut, M.Si. Bagaimana untuk bisa menjadi sekolah adiwiyata?
Ada beberapa yang perlu dilakukan untuk dapat menjadi sekolah adiwiyata
Kebijakan berwawasan lingkungan Kebijakan berwawasan lingkungan dituangkan dalam visi, misi serta tujuan sekolah.
Pelaksanaan kurikulum berbasis lingkunganan Pelaksanaan kurikulum berbasis lingkungan dituangkan dalam silabus dan RPP (Rencana Program Pembelajaran). Dimana semua pelajaran diharapkan memuat pendidikan karakter cinta dan peduli lingkungan
Kegiatan berbasis lingkungan partisipatif Kegiatan ini dapat berupa : Kegiatan piket kebersihan kelas dan lingkungan, penanaman dan perawatan pohon, kegiatan daur ulang limbah serta kegiatan lain dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan. Kegiatan ini melibatkan seluruh siswa siswa/I dan warga sekolah
Sarana Pendukung ramah lingkungan Sarana pendukung ramah lingkungan berupa : Tempat sampah dan terminal sampah yang terpisah antara plastik, kertas, daun dan B3, Lubang biopori, sumur resapan, Unit pengolahan limbah dll.
Keempat elemen tersebut dibuat dalam bentuk dokumen untuk kemudian di lakukan audit oleh tim penilai. Kesulitan yang dijumpai dalam mewujudkan sekolah adiwiyata ini adalah menumbuhkan kesadaran dan karakter dalam menjaga lingkungan terutama dalam pengelolaan sampah. Solusi yang kami lakukan adalah pembentukan polisi lingkungan (Poling) dengan focus utama adalah pengelolaan sampah. Polisi lingkungan adalah salah satu pengembangan diri dengan anggota perwakilan dari masing masing kelas yang dilaksanakan setiap minggu sore. Evaluasi kegiatan polisi lingkungan dilakukan 1 x dalam seminggu sedangkan forum polisi lingkungan antar sekolah yang terbentuk sebagai green school community dilakukan 1 x dalam 2 bulan. Dengan forum ini diharapkan siswa/I dapat bertukar fikiran dengan siswa/I sekolah lain dalam pengelolaan sampah.