AEROSOL BACKGROUND LAPISAN STRATOSFER Dl ATAS BANDUNG (6°54' LS 107°35' BT) BERDASARKAN PENELITIAN TAHUN 1997-2000 MENGGUNAKAN RAMAN LIDAR Salpul Hamdl, Sri Kaloka, lis Soflatt, Aflf Budtyono Peneliii Purfat Satkllm, LAPAN
ABSTRACT Aerosol background observation over B a n d u n g (6°54' S 107°35' E) using LIDAR h a s being done since 1997 as a p a r t of global LIDAR network coordinated by J a p a n . The 5 years data shows t h a t the Integrated Backscattering Coefficient at altitude 18-35 km is very small, in the order of 10" 6 s r 1 . It is 1 / 1 0 0 times compared to IBC over J a p a n 4 y e a r s after Pinatubo eruption. The altitude of IBC weight is relatively stable, in the range of 20-25
km. ABSTRAK Pengamatan aerosol background di atas Bandung (6°54' LS, 107°35' BT) Indonesia m e n g g u n a k a n LIDAR telah dilakukan sejak t a h u n 1997 sebagai bagian dari jaringan LIDAR d u n i a yang dimotori oleh Negara Jepang. Data yang diperoleh selama 5 tahun menunjukkan bahwa Integrated Backscattering Coefficient aerosol p a d a ketinggian 18-35 km sangatlah kecil yaitu p a d a besaran 10 6 s r 1 . Nilai ini j a u h lebih kecil dibandingkan dengan pengamatan yang dilakukan di J e p a n g 4 t a h u n setelah terjadinya letusan G u n u n g Pinatubo, yaitu dalam besaran 1 0 4 s r 1 , a t a u kira-kira 1/100 kali. Ketinggian IBC p a d a lapisan tersebut relatif stabil yaitu berkisar a n t a r a 20-25 km. Kata kunci: Aerosol, LIDAR, Stratosfer 1 PENDAHULUAN Aerosol m e r u p a k a n campuran dari partikel cair p a d a t yang tersuspensi ke dalam medium gas. Secara u m u m , u k u r a n partikel aerosol adalah dalam kisaran 0,001-100 u m . Apabila konsentrasi partikel c u k u p tinggi sehingga kerapatan aerosol t e r s e b u t lebih dari 1% dari p a d a konsentrasi gas itu sendiri m a k a c a m p u r a n tersebut dapat dianggap sebagai awan, d a n memiliki sifat' sifat fisik yang berbeda dengan cairan aerosol pada u m u m n y a .
12
J e n i s aerosol merupakan parameter yang penting u n t u k dikaji karena efek aerosol t e r h a d a p iklim berbeda-beda a n t a r a satu tipe dengan tipe lainnya. Beberapa jenis aerosol yang berperanan langsung terhadap iklim adalah debu, karbon, sulfat, d a n g a r a m laut yang masing-masing memperlihatkan u k u r a n dan k e m a m p u a n daya s e r a p yang berbeda-beda. Dalam hal u k u r a n , partikel debu relatif lebih besar d a n berperan penting terutama dalam menyerap radiasi gelombang pendek, sedangkan partikel sulfat memiliki u k u r a n yang lebih kecil d a n daya s e r a p n y a j u g a relatif lebih kecil. Aerosol atmosfer dapat terbentuk oleh tiupan angin p a d a daerahdaerah yang berdebu, atau melalui penguapan (evaporasi) sea-spray, a t a u p u n melalui konversi dari beberapa gas yang dikeluarkan oleh t u m b u h - t u m b u h a n menjadi partikel-partikel yang lebih halus. Gunung berapi dapat mengeluarkan sejumlah besar gas-gas d a n partikel ke stratosfer. Pertanian, perkebunan, dan industri-industri yang dikerjakan oleh m a n u s i a memperbanyak jumlah aerosol di atmosfer, misalnya melalui proses-proses mekanis, atau melalui pembakaran h u t a n (baik yang bertujuan u n t u k m e m b u k a lahan pertanian baru m a u p u n k e b a k a r a n h u t a n yang tidak disengaja). Di lapisan troposfer bawah, aerosol mampu bertahan beberapa hari dan tidak dapat berpindah ke tempat yang j a u h . Dalam hal ini, dampak aerosol a k a n terasa paling besar di daerah yang dekat dengan sumber aerosol tersebut. Hal sebaliknya terjadi di daerah stratosfer a t a s , aerosol m a m p u bertahan lebih lama, d a n d a p a t berpindah ke daerah yang j a u h [remote area) mengikuti sirkulasi global. Partikel aerosol mempengaruhi kesetimbangan radiasi b u m i secara tidak langsung dengan memodifikasi sifat-sifat awan melalui proses mikrofisika d a n berlaku sebagai inti kondensasi awan (Twomey, 1977a; Albrecht, 1989; Charlson et aL, 1992), dan dengan m e n g u b a h konsentrasi gas-gas radiatif yang penting seperti u a p air (Twomey, 1991). J u g a memainkan p e r a n a n penting dalam siklus biogeokimia mate rial-material bumi dengan menyediakan media u n t u k beberapa variasi reaksi multifase dan reaksi heterogen (Ravishankara, 1997) dan menjadi pembawa beberapa spesies kimia (Prospero & Savoie, 1983). Efek tak langsung partikel-partikel aerosol terjadi ketika aerosol bertindak sebagai inti kondensasi awan. Adanya aerosol p a d a inti kondensasi awan menyebabkan awan bersifat lebih reflektif sehingga waktu hidupnya lebih lama. Pembentukan tetes awan memerlukan d u a hal, yaitu keadaan supersaturasi d a n inti kondensasi. Perhitungan secara detil mikrofisika awan memerlukan p e m a h a m a n yang lebih mengenai proses-proses dinamis yang memindahkan u a p air di atmosfer dan mekanisme-mekanisme fisika yang di dalamnya t e r m a s u k hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan dan pertumbuhan partikel awan, serta p e m a n a s a n dan pendinginan oleh radiasi infra m e r a h m a t a h a r i .
13
Salah satu aspek penting di dalam penelitian aerosol adalah sifat-sifat optis aerosol (aerosol optical properties) yang erat kaitannya dengan visibility (kekeruhan) dan radiative forcing. Kedua aspek tersebut bergantung pada sejumlah faktor termasuk di dalamnya adalah distribusi ukuran, komposisi kimia, dan kelembaban relatif. Naiknya aerosol dari tingkat permukaan ke tingkat yang lebih tinggi dapat terjadi mengikuti proses konveksi yaitu gerakan atmosfer dalam arah vertikal (updraftj. Karena pemanasan bumi oleh radiasi matahari maka butiran-butiran udara yang ada di atmosfer menjadi panas (disebut thermal) sehingga butiran udara tersebut naik ke tempat yang lebih tinggi. Seiring dengan kenaikan ketinggian tersebut maka butir-butir udara melepaskan panas laten dan berangsur-angsur menjadi lebih dingin. Karena bercampur dengan udara sekelilingnya melalui proses tumbukan (collision) maka ukuran butiran udara tersebut akhirnya menjadi semakin besar bersamaan dengan menghilangnya daya angkat (buoyancy). Butiran-butiran udara bisa diidentikkan dengan parcel (paket-paket) udara yang dapat naik secara alami jika suhu butiran udara di dalam parcel tersebut lebih hangat dari pada udara sekelilingnya. Oleh karena itu, pada saat suhu udara sekitar lebih dingin dari pada suhu udara parcel, sedangkan permukaan bumi bersuhu lebih hangat, maka thermal dapat terangkat ke tempat yang sangat tinggi sebelum kehilangan daya angkatnya. Peristiwa pengangkatan udara dengan proses konveksi tersebut akan menghasilkan awan konvektif yang berperan penting dalam pendistribusian kembali aerosol di troposfer melalui mekanisme pemompaan awan panas yang mentransportasikan partikel aerosol dan gas-gas dari boundary layer ke troposfer menengah dan troposfer atas. Karena sebagian besar partikel aerosol di troposfer atas mempunyai waktu tinggal yang lebih lama dibandingkan dengan partikel aerosol di boundary layer maka pengangkutannya akan mengubah sifat fisika dan kimia atmosfer secara umum.
Penelitian m e n d a l a m mengenai aerosol pernah dilakukan berkaitan dengan letusan G u n u n g Pinatubo di Philipina p a d a t a h u n 1991 oleh banyak peneliti di seluruh belahan dunia, di antaranya adalah yang tergabung di dalam EPIC Project (Effects on Pinatubo Eruptions on Climate), d a n dimotori oleh negara J e p a n g . Dalam proyeknya, EPIC m e n e m p a t k a n beberapa peralatan LIDAR yang membentang dari Kutub Utara hingga Kutub Selatan. Salah satu hasil yang diperoleh dari proyek EPIC ini adalah diperolehnya rasio h a m b u r a n balik (scattering ratio) yang disebabkan oleh aerosol Pinatubo selama k u r u n waktu beberapa t a h u n di beberapa lokasi pengamatan seperti yang ditunjukkan p a d a Gambar 1-1. Pada gambar tersebut, pengamatan dimulai p a d a b u l a n J u n i 1991 d a n berakhir p a d a b u l a n September 1994. Tahun p e n g a m a t a n dituliskan pada baris pertama s u m b u mendatar bagian atas, sedangkan huruf awal tiap-tiap bulan dituliskan p a d a baris kedua. Hal yang s a m a berlaku j u g a u n t u k Gambar 1-2. Bintik-bintik grafik p a d a Gambar 1-1 m e r u p a k a n nilai maximum scattering ratio-1 (Rmax-1) a t a u maximum optical mixing ratio of aerosol, d a n diamati dari ketinggian beberapa ratus meter di a t a s p e r m u k a a n hingga ketinggian 40 km. Ketinggian Rmax-1 dapat berubah-ubah terhadap waktu mengikuti updraft m a u p u n sirkulasi lainnya.
Pada periode tersebut LAPAN belum terlibat dalam penelitian aerosol stratosfer sehingga belum diketahui kontribusi aerosol Pinatubo terhadap atmosfer di a t a s Indonesia. Integrated Backscattering Coefficient (IBC) yang diamati selama proyek EPIC tersebut ditunjukkan p a d a Gambar 1-2 u n t u k memberikan g a m b a r a n mengenai pengaruh langsung keberadaan aerosol di 15
stratosfer dalam j u m l a h yang besar dan u n t u k m e n d a p a t k a n g a m b a r a n yang lebih jelas mengenai keberadaan aerosol Pinatubo ini, m a k a ditampilkan j u g a distribusi vertikal scattering ratio dari beberapa data p e n g a m a t a n yang berasal dari proyek EPIC tersebut, seperti yang terlihat p a d a Gambar 1-3.
Gambar 1-3: Distribusi vertikal scattering ratio yang berasal Pinatubo (Nagai ef. al, 1993) 16
dari aerosol
Makalah ini m e m b a h a s pengamatan aerosol background lapisan stratosfer yang dilakukan di Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer d a n Iklim LAPAN B a n d u n g sebagai bagian dari EPIC {Effects on Pinatubo Eruptions on Climate) Project. 2 DATA DAN PENGOLAHANNYA Untuk mengamati aerosol background digunakan peralatan LIDAR (Light Detect and Ranging) yang memanfaatkan cahaya laser sebagai media untuk m e n d a p a t k a n informasi aerosol. Cahaya laser dibangkitkan oleh pembangkit laser NdYAG p a d a frekuensi 10 p a n c a r a n per detik dan dihasilkan 3 panjang gelombang, yaitu fundamental wavelength, second harmonic generation, d a n third harmonic generation. Di dalam pengamatan sinar laser yang digunakan adalah second harmonic generation (SHG) yang memiliki panjang gelombang 532 nm. S i n a r / b e r k a s laser diarahkan ke atas secara tegak l u r u s menggunakan cermin pembelok. Di udara, berkas laser akan berinteraksi dengan komponen-komponen p e n y u s u n u d a r a misalnya aerosol, u a p air, ozon, nitrogen, d a n Iain-lain, sehingga mengalami prosesproses fisika di a n t a r a n y a adalah penghamburan balik atau backscattering dan depolarisasi. Berkas yang dihamburbalikkan ini kemudian dikumpulkan menggunakan teleskop d a n selanjutnya diubah menjadi berkas elektron d a n diperkuat m e n g g u n a k a n Photo Multiplier Tube atau PMT. Berkas elektron yang telah diperkuat selanjutnya dihitung menggunakan sistem photon counter d a n diarahkan ke dalam transient recorder u n t u k kemudian diolah menggunakan personal komputer. Pengamatan dilakukan sejak bulan April 1997 sampai dengan bulan Juli 2000. Pengamatan dilakukan pada malam hari s a a t c u a c a cerah tak berawan, u m u m n y a dimulai pada pukul 21:00 hingga 04:30 keesokan harinya. Pada s a a t c u a c a berawan, baik sebagian m a u p u n keseluruhan, pengamatan tidak d a p a t dilakukan dan menunggu hingga cuaca memungkinkan. Dengan frekuensi 10 pancaran sinar laser per detik m a k a dihitung j u m l a h rata-rata di dalam 1 menit sebagai satu b u a h data dan diulang u n t u k 60 menit. Pengolahan dapat dilakukan u n t u k rata-rata pengamatan selama satu malam, a t a u p u n u n t u k rata-rata di dalam 1 j a m pengamatan, bergantung dari analisis yang dilakukan. Prinsip-prinsip perhitungan LIDAR diungkapkan melalui p e r s a m a a n LIDAR (e.g. Measures, 1992). Sinyal echo LIDAR P(z) dari ketinggian z ke z+Az diungkapkan dalam p e r s a m a a n (2-1). (2-1) K m e r u p a k a n konstanta, yang didalamnya t e r m a s u k faktor-faktor seperti energi keluaran laser, luas permukaan teleskop penerima, transmisi 17
optis sistem teleskop p a d a setiap panjang gelombang, efisiensi Photo Multiplier Tube, beam overlap factor, d a n penguatan total rangkaian elektronik. Bb(z) adalah koefisien backscattering u n t u k h a m b u r a n Rayleigh d a n Mie, ot(z) adalah koefisien ekstingsi (pelemahan) u n t u k berkas laser yang dipancarkan pada ketinggian z, d a n Ob(z) adalah koefisien ekstingsi u n t u k berkas laser yang dihamburbalikkan p a d a ketinggian z. Untuk h a m b u r a n Mie (Mie scattering), p e r s a m a a n LIDAR dapat diungkapkan seperti di dalam persamaan (2-2) sebagai berikut.
p a d a n 3 m masing-masing adalah koefisien h a m b u r a n balik (backscattering) partikel-partikel aerosol d a n molekul u d a r a . o a d a n o m masing-masing adalah koefisien ekstingsi atmosfer u n t u k partikel aerosol dan molekul-molekul u d a r a . Rasio h a m b u r a n balik (backscattering ratio, R} dihitung dengan menggunakan prosedur normalisasi (e.g. Russell et al., 1979) yang diungkapkan dengan persamaan (2-3) berikut ini.
Normalisasi ini dilakukan pada ketinggian a n t a r a 28 d a n 30 km u n t u k R=l dengan mengasumsikan tidak adanya partikel aerosol p a d a daerah ketinggian tersebut. Backscattering atau h a m b u r a n balik berkaitan secara tidak langsung dengan jumlah/kerapatan partikel-partikel yang memantulkan sinar laser, d a n selanjutnya menentukan optical path atmosfer. Kemudian, u n t u k memperkirakan bentuk partikel yang dikaitkan dengan ketidakbulatannya m a k a dilakukan perhitungan rasio depolarisasi (depolarization ratio). Dengan mempertimbangkan s u h u dan tekanan lingkungan sekitar, m a k a rasio depolarisasi ini dapat digunakan u n t u k memperkirakan fase partikel pemantul, apakah partikel tersebut berada dalam fase cair m a u p u n padat. Rasio depolarisasi didefinisikan sebagai perbandingan a n t a r a komponen cross-polarized terhadap komponen copolarized dari berkas laser yang dipantulbalikkan. Rasio depolarisasi total (8) berasal dari depolarisasi yang disebabkan oleh molekul u d a r a d a n partikel aerosol di atmosfer, d a n dihitung dari komponen polarisasi linier sinyal-sinyal yang dipantulbalikkan terhadap polarisasi bidang cahaya laser yang dipancarkan. Rasio depolarisasi total dihitung berdasarkan p e r s a m a a n (2-4) berikut ini.
18
Simbol // d a n 1 m e r u p a k a n simbol u n t u k komponen sejajar d a n komponen tegak l u r u s terhadap bidang polarisasi dari b e r k a s laser yang dipancarkan. g adalah rasio penguatan sinyal a n t a r a d u a kanal polarisasi (K/// KJ, d a n indeks a d a n m digunakan u n t u k membedakan a n t a r a partikel aerosol d a n molekul u d a r a . Rasio depolarisasi yang tidak nol menggambarkan adanya kristal es yang tidak bulat sebagai partikel pemantulnya, d a n rasio depolarisasi yang bernilai nol berasal dari partikel pemantul yang bulat sempurna. Partikel-partikel yang dapat diasumsikan sebagai partikel bulat adalah, a n t a r a lain: wet haze, kabut, tetes awan, d a n tetes hujan yang kecil. Depolarisasi yang disebabkan oleh molekul atmosfer m u r n i adalah tidak nol karena molekul u d a r a bersifat non-isotrop. 3 HASIL DAN ANALISIS Sistem LIDAR di B a n d u n g dipisahkan menjadi d u a bagian, yaitu sistem troposfer d a n sistem stratosfer. Sistem troposfer lebih difokuskan pada pengamatan-pengamatan aerosol pada lapisan di bawah 10 km, sedangkan sistem stratosfer difokuskan pada pengamatan aerosol p a d a ketinggian tropopause d a n di atasnya. Tulisan ini, lebih d i k h u s u s k a n p a d a pengamatan lapisan stratosfer, k h u s u s n y a pada ketinggian 18-35 km. Lapisan ini menarik untuk diamati k a r e n a berada di a t a s lapisan tropopause yang menjadi pemisah a n t a r a lapisan troposfer dengan lapisan di atasnya. Adanya lapisan tropopause menyebabkan partikel-partikel yang berada di lapisan troposfer atas tidak bisa berpindah menuju lapisan stratosfer bawah, kecuali jika a d a mekanisme tertentu yang menekan partikel-partikel tersebut dengan sangat kuat sehingga m e n e m b u s lapisan tropopause. Keberadaan debu aerosol di lapisan stratosfer akan menyerap radiasi matahari d a n m e m a n a s k a n stratosfer, serta sekaligus mendinginkan lapisan troposfer d a n p e r m u k a a n bumi. Data LIDAR yang menggambarkan keadaan fisik atmosfer di atas Bandung ditunjukkan p a d a Gambar 3-1 dan 3-2. Ada beberapa keadaan yang kami peroleh dari hasil analisis data LIDAR ini, n a m u n yang kami u t a m a k a n adalah keadaan latar belakang debu aerosol (aerosol background} pada ketinggian 18-35 km. Peristiwa kebakaran h u t a n yang seringkali terjadi di wilayah S u m a t e r a d a n Kalimantan sangat menarik u n t u k diamati debu aerosolnya, a p a k a h debu aerosol tersebut mencapai lapisan stratosfer atau tidak. J i k a debu aerosol yang berasal dari kebakaran h u t a n dapat mencapai lapisan stratosfer m a k a a k a n m e n a m b a h nilai aerosol background. Dari Gambar 3-1 d a n 3-2 dapat dilihat bahwa s u m b u m e n d a t a r bagian bawah m e r u p a k a n s u m b u rasio h a m b u r a n balik, sedangkan s u m b u mendatar bagian atas adalah rasio depolarisasi, keduanya dalam skala logaritmik; s u m b u vertikal adalah ketinggian (km). Pada keadaan normal, rasio h a m b u r a n balik h a r u s l a h bernilai 1 karena sinyal-sinyal yang kembali ke bumi berasal dari molekul udara saja (persamaan 2-3). Adanya partikel19
partikel lain yang menyusun atmosfer akan menyebabkan nilai rasio h a m b u r a n balik > 1. Kemudian, nilai rasio depolarisasi yang kecil m e n u n j u k k a n bahwa komponen p e n y u s u n atmosfer berbentuk bulat, d a n tidak d a p a t diketahui secara pasti komponen penyusunnya.
Gambar 3-l:Distribusi vertikal rasio h a m b u r a n balik d a n rasio depolarisasi di a t a s B a n d u n g tanggal 11 Juli 2000 G a m b a r 3-2 m e r u p a k a n keadaan saat terbentuknya lapisan awan tipis p a d a lapisan tropoposfer. Keadaan ini seringkali terjadi d a n terdeteksi di dalam pengamatan ini dengan keadaan fisis yang berbeda-beda. Lapisan awan tipis ini seringkali diartikan sebagai lapisan awan cirrus subuisible yang d a p a t t e r b e n t u k sebagai satu lapisan tunggal, d u a lapisan yang saling bertumpuk, m a u p u n d u a lapisan yang terpisah p a d a j a r a k beberapa r a t u s 20
meter hingga 2-3 km. Rasio h a m b u r a n balik yang r e n d a h (kurang dari 10) mengindikasikan b a h w a awan ini tipis secara optis sehingga tidak t a m p a k oleh m a t a telanjang sehingga disebut sebagai subvisible. Rasio depolarisasi yang r e n d a h m e n u n j u k k a n bahwa lapisan awan ini dapat t e r b e n t u k dari aerosol a t a u p u n u a p air yang berbentuk bulat dengan kelembaban yang sangat rendah. '
Gambar 3-2:Distribusi vertikal rasio h a m b u r a n balik d a n rasio depolarisasi di atas B a n d u n g tanggal 15 Agustus 1999 Pada Gambar 3-3 digambarkan statistik dari besaran IBC dan keunggiannya. S u m b u m e n d a t a r m e r u p a k a n waktu penelitian dari t a h u n 1997 - 2 0 0 1 . Sumbu vertikal di sebelah kiri adalah ketinggian titik berat lapisan aerosol stratosfer (IBC), sedangkan s u m b u vertikal di sebelah k a n a n merupakan 21
besaran IBC. Ketinggian titik berat lapisan aerosol diwakili oleh grafik yang lebih atas, sedangkan grafik yang terletak di bawahnya mewakili nilai Integrated Backscattering Coefficient. Integrasi dilakukan dari ketinggian 1835 km dengan m e n g a s u m s i k a n bahwa ketinggian tropopause adalah 18 km. Integrasi yang dilakukan dari ketinggian tropopause lokal hingga p u n c a k lapisan stratosfer biasanya dikenal dengan istilah stratospheric IBC. Secara u m u m dapat dikatakan bahwa besarnya IBC di atas Bandung tidak berfluktuasi secara signifikan, dengan kisaran 1-6 x 10"6 s r 1 , s u a t u nilai yang j a u h lebih kecil dibandingkan dengan keadaan yang terjadi di beberapa tempat di J e p a n g setelah letusan Gunung Pinatubo di Philipina. Sebagai perbandingan dari Gambar 1-2, IBC aerosol p a d a lapisan yang s a m a diamati di T s u k u b a - J e p a n g setelah 1200 hari letusan G u n u n g Pinatubo adalah sebesar 1 0 4 s r 1 , a t a u kira-kira 100 kali lebih tinggi dari p a d a k e a d a a n yang diperoleh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai IBC yang diperoleh selama 5 t a h u n pengamatan dapat mewakili nilai-nilai aerosol background di a t a s Indonesia, k h u s u s n y a di a t a s wilayah J a w a Barat (Bandung). Ketinggian titik berat IBC pada Gambar 3-3 berkisar a n t a r a 20-25 km, n a m u n diperoleh j u g a beberapa k a s u s ketinggian IBC di bawah 20 km. Belum dapat diambil kesimpulan yang pasti mengenai fluktuasi ketinggian IBC terhadap waktu k a r e n a data penelitian yang kurang lengkap. Pengamatan LIDAR di B a n d u n g h a n y a dapat dilakukan pada saat langit bersih tak berawan sehingga sangatlah sulit u n t u k memperoleh data p a d a musim penghujan.
Gambar 3-3: Statistik IBC lapisan stratosfer di a t a s B a n d u n g 22
4 KESIMPULAN Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Integrated Backscattering Coefficient (IBC) aerosol di a t a s wilayah Bandung (Jawa Barat) p a d a lapisan 18-35 km adalah dalam orde 10*6 s r 1 dengan ketinggian rata-rata lapisan aerosol background berkisar a n t a r a 20 - 25 km. Nilai ini m e r u p a k a n nilai yang sangat kecil dan m e n a n d a k a n bahwa lapisan aerosol di a t a s J a w a Barat masih sangat bersih dari debu aerosol. DAFTAR RUJUKAN Albrecht, B. A., 1989. Aerosols, Cloud Microphysics, a n d Fractional Cloudiness, Science. 245, p. 1227-1230. Carlson, R. J., S.E. Schwartz, J. M. Hales, R. D. Cess, J. A. Ciakley, J. E. Hansen, a n d D. J. Hofmann, 1992. Climate Forcing by Anthropogenic Aerosols, Science. 255, p.423-430. Measures, R. M. ( 1992. Laser Remote Sensing, Fundamentals and Applications, Krieger Publishing Company, Malabar, Florida, p.510. Nagai, T., O. Uchino, T. Fujimoto, 1993. Lidar Observation of Stratospheric Aerosol Layer over Okinawa, Japan, after The Mt. Pinatubo Volcanic Eruption, J o u r n a l of The Meteorology Society of J a p a n , Vol. 71 No. 6, p.749-754. Prospero, J. M. a n d D. L. Savoie, 1989. Effect of Continental Sources on Nitrate Concentrations over Pacific Ocean, Nature, 3 3 9 , p.687-689. Ravishankara, A. R., 1997: Heterogeneous and Multiphase Chemistry in The Troposphere, Science, 276, p.1058-1065. Russell, P.B., T.J. Swissler, and M.P. McCormick, 1979. Methodology for Error Analysis and Simulation of LIDAR Measurements, Appl. Opt. 18, p.3783-3797. Twomey. S., 1977a. The Influence of Pollution on the Shortwave Albedo of Clouds, J. Atmos. Sci., 34, p. 1149-1152. Twomey, S., 1991. Aerosol, clouds and radiation, Atmos. Environ., 25A, p.2435-2442. Uchino, O., 1995. Lidar Observations of Pinatubo Aerosol Layers. The Review of Laser Engineering, Vol.23 No.2 p.161-165.
23