TJEPPY D SOEDJANA et al. : Analisis Pengembangan Sistem Produksi Susu Nasional Melalui Peningkatan Efsiensi
ANALISIS PENGEMBANGAN SISTEM PRODUKSI SUSU NASIONAL MELALUI PENINGKATAN EFFISIENSI PENGADAAN BIBIT, PEMBESARAN PEDET, PEMELIHARAAN SAPI LAKTASI, DAN PEMASARAN TJEPPY D SOEDJANA, ELAN MASBULAN, dan ANTTA AZAHAR1 Balai Penelitian Ternak P. O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia Pusat Penelitian Peternakan Jalan Raya Pajajaran Kav. E. 59, Bogor 16151, Indonesia ABSTRAK TJEPPY D SOEDJANA, ELAN MASBULAN, dan ANiTA AZAHARI. 1999/2000 . Analisis pengembangan sistem produksi susu nasional melalui peningkatan effisiensi pengadaan bibit, pembesaran pedet, pemeliharaan sapi laktasi, dan pemasaran. Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-H : 264-288 Perkembangan industri susu nasional dalam 22 tshun terakhir selalu terkait dengan peran pemerintah, dan sejak tahun 1980 pemerintah melakukan intervensi dengan melaksanakan beberapa kebijakan yang sambung-menyambung dan saling terkait, sehingga salah satu komitmen yang mewarnai kebijakan pemerintah dalam Industri Susu Nasional (ISN) adalah bahwa budidaya sapi perah merupakan porsi rakyat dan pengelolaan usaha rakyat ini dilakukan melalui koperasi . Dengan demikian kebijakan pemerintah tersebut secara keseluruhan berimplikasi pada terbentuknya stniktur industri susu nasional sebagaimana yang ada saat ini. Studi ini melakukan identifikasi serta antisipasi dari berbagai masalah dan peluang yang dihadapi oleh industri persusuan nasional dari segi teknis, sosial budaya, dan ekonomik yang memerlukan tindak lanjut dalam rangka meningkatkan produktivitas sapi perah dsn sistem produksi susu nasional. Walaupun tidak seluruh masalah dan peluang tersebut dapat diidentifikasi tetapi melalui scanning yang dimulai dari berbagai tahapan identifikasi masalah dan peluang dapat diperoleh berbagai indikator yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomik, permintaan, teknologi dan aspek teknis lainnya. Berbagai data dan informasi yang diperlukan pada studi ini terdiri dari (a) hasil rumusan workshop identifikasi masalah dan peluang industri persusuan nasional, (b) observasi lapangan tentang keragaan teknik produksi dan produktivitas usaha sapi perah sebelum krisis, pada saat krisis, dan perkiraannya setelah krisis, dan (c) pengaturan, peraturan, ketetapan dan keputusan resmi yang menyangkut rangkaian kegiatan usaha dibidang industri persusuan nasional . Hasil analisa menunjukkan bahwa keunggulan komparatif sapi perah di Indonesia merupakan suatu asset nasional, bahkan hingga saat ini pengembangan sapi perah dapat menciptakan lapangan kerja di pedesaan, meningkatkan pendapatan peternak, dan menghemat devisa . Dilihat dari Perfonna ekonomi industri susu nasional, selama periode 1989 - 1997 penyerapan tenaga kerja meningkat sebesar 44,57%. Peningkatan ini dalam periode yang sama dapat mendorong pertumbuhan produksi SSDN rata-rata 3,2% pertahunrp4ehingga dapat mensubstitusi susu impor yang sekaligus sebagai penghematan devisa terhadap impor susu . Keberhasilan tersebut tentunya belum dapat dirasakan oleh peternak sebagai produsen utama dalam ISN . Peran koperasi sebagai unit pengelola ISN, nampaknya masih menjadi implikasi biaya sumberdaya yang harus ditanggung oleh peternak . Situasi seperti ini menyebabkan besarnya margin nilai susu antara yang diterima oleh peternak dengan yang dibayar oleh IPS hingga mencapai Rp.250,/liter (29,41%). Upaya meningkatkan insentif harga bagi peternak, pembenahannya tidak hanya didasarkan pada aspek pemasaran semata, melaknkan juga kebijaksanaan harga yang diterapkan sangat mewamai prospek pengembangannya. Kebijaksanaan harga jual susu di tingkat petemak seyogyanya mengacu kepada berbagai faktor pembentuknya seperti komponen biaya produksi, kuantitas produksi, serta kontribusi susu terhadap total penerimaan peternak, sehingga dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut diharapkan penentuan harga susu yang layak secara ekonomi finansial dapat terwujud secara cermat. Sampai saat ini penentuan harga susu didasarkan kesepakatan antara GKSI dengan IPS masih mengacu kepada kualitas standar Total Solid 11% (Jawa Barat dan Jawa Tengah) dan 11,5% (Jawa Timur) yang selalu ditinjau setiap enam bulan sekali, nampaknya belum mencerminkan nilai effisiensi. Kondisi harga yang ada masih menguntungkan pihak IPS dan bargaining position peternak yang diwakili oleh GKSI masih lemah. Walaupun demikian, mengacu kepada permintaan susu dalam negeri nampaknya meningkat. Pada kelompok masyarakat yang pendapatannya meningkat sekitar 6%, permintaan susu meningkat pesat sebesar 7,1% pertshun. Kondisi ini menggambarkan bahwa susu termasuk komoditas luks dan permintaannya'cukup elastis. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut di atas, maka perlunya langkah-langkah perbaikan dalam bentuk konsepsi sistem pengembangan produksi susu nasional, melalui (1) pembenahan kebijakan aspek produksi, antara lain feed effisiensi dengan optimalisasi sumberdaya lokal, yaitu integrasi dengan perkebunan, persawahan, dan perhutani, menekan biaya produksi yang mampu bersaing kompetetif dengan susu impor, serta manajemen effisiensi bagi optimasi produktivitas yang berkelanjutan, (2) pembenahan aspek pemasaran susu dan kelembagaan, antara lain : meningkatkan pengolahan SSDN sehingga menjadi-sustr--siap--saji sehingga mengurangi ketergantungan pemasaran susu kepada IPS, Menjalin kemitraan dengan pihak swasta yang menganut koeksistensi yang saling menghidupi secara sehat, serta reposisi dan restrukturisasi lembaga koperasi sebagai unit pengelola ISN.
Kata kunci :
264
Kebijakan, Sapi Perah, dan SSDN
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000
PENDAHULUAN Kajian dari suatu kebijakan yang dilakukan melalui analisis terhadap berbagai komponennya dapat dipastikan bahwa akan dijumpai beberapa perbedaan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan materi yang dianalisis serta dampak dan manfaat dari alternatif kebijakan yang akan ditawarkan . Dalam pengkajian kebijaksanaan industri persusuan nasional diperlukan proses dan pentahapan dimana berbagai isu dibahas melalui beberapa tahapan. Pada studi ini kebijakan diartikan sebagai suatu keputusan pemerintah yang berupa pengaturan,peraturan, ketetapan dan keputusan resmi yang menyangkut rangkaian kegiatan usaha dibidang industri persusuan nasional . Suatu kebijakan biasanya dipastikan oleh adanya interaksi dari berbagai keputusan yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Konsep tentang sebuah keputusan biasanya dikaitan dengan pengambil keputusan, yang pada umumnya diartikan sebagai individu, kelompok orang atau organisasi, sehingga kajian tentang suatu kebijakan seperti halnya pada industri persusuan nasional yang dilakukan pada studi ini mejibatkan interaksi dengan berbagai fihak seperti petani, peternak, fihak swasta, pemerintah, LSM dan pelaku usaha industri persusuan lainnya. Hal itu harus dilakukan karena secara keseluruhan konsep pengambilan keputusan akan selalu berkaitan dengan berbagai upaya untuk mempengaruhi kebijakan yang akan ditetapkan oleh pemerintah . Perkembangan industri susu nasional dalam 22 tshun terakhir selalu terkait dengan peran pemerintah, dsn sejak tahun 1980 pemerintah melakukan intervensi dengan melaksanakan beberapa kebijakan yang sambungmenyambung dan sating terkait, sehingga salah satu komitmen yang mewamai kebijakan pemerintah dalam Industri Susu Nasional (ISN) adalah bahwa budidaya sapi perah merupakan porsi rakyat dan pengelolaan usaha rakyat ini dilakukan melalui koperasi . Dengan demikian kebijakan pemerintah tersebut secara keseluruhan berimplikasi pada terbentuknya struktur industri susu nasional sebagaimana yang ada saat ini. Kajian makalah ini merupakan analisis terhadap hasil kebijakan, yaitu konsekuensi yang teramati dari suatu aksi kebijakan dalam pengembangan sistem produksi susu nasional secara komprehensif, yang pada akhimya kajian ini akan mencoba membangun alternatif kebijakan pengembangan sistem produksi susu nasional . METODE PENELITIAN Metodologi analisis kebijakan adalah sistem standar, aturan, dsn prosedur untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Metodologi analisis kebijakan mempunyai beberapa karakteristik utama : perhatian yang tinggi pada perumusan dan pemecahan masalah, komitmen pada pengkajian baik yAng sifatnya deskriptif maupun kritik nilai, dsn keinginan untuk meningkatkan effisiensi pilihan diantara altematif kebijakan. Studi ini melakukan identifikasi serta antisipasi dari berbagai masalah dan peluang yang dihadapi oleh industri persusuan nasional dari segi teknis, sosial budaya, dan ekonomik yang memerlukan tindak lanjut dalam rangka meningkatkan produktivitas sapi perah dan sistem produksi susu nasional . Walaupun tidak seluruh masalah dan peluang tersebut dapat diidentifikasi tetapi melalui scanning yang dimulai dari berbagai tahapan identifikasi masalah dan peluang dapat diperoleh berbagaiindikator yang berkaitan dengan aspek sosial,ekonomik, permintaan, teknologi dan aspek teknis lainnya. Proses analisis dilakukan melalui pendekatan yang menggunakan beberapa tahapan sebagai berikut 1.
2. 3. 4. 5.
Melakukan inventarisasi berbagai isu teknis, sosial dan ekonomik yang berupa : a) pengaturan, peraturan, ketetapan dan keputusan resmi yang menyangkut rangkaian kegiatan usaha dibidang industri persusuan nasional . (b) hasil rumusan workshop identifikasi masalah dan peluang industri persusuan nasional, (c) keragaan teknik produksi dan produktivitas usaha sapi perah sebelum krisis, pada saat krisis, dan perkiraannya setelah krisis . Menetukan isu yang relevan untuk dikaji dan dianalisis dalam studi ini melalui klasifikasi isu strategis yang merupakan indikator dan berpengaruh langsung dan relevan pada aspek sosial, ekonomik dan teknis. Mendefinisikan isu yang relevan tersebut sebagai dasar analisis selanjutnya dengan membuat batasan-batasan pengertian dari berbagai isu yang akan dianalisis selanjutnya. Melakukan perkiraan tentang dampak-dan prospek dari berbagai isu relevan tersebut dimasa mendatang melalui analisis SWOT. Melakukan analisis terhadap berbagai isu terpilih yang mempunyai peluang dan kekuatan dalam meningkatkan produktivitas sapi perah dsn sistem produksi susu nasional .
26 5
TJEPPY D SOEDJANA et al. : Analisis Pengembangan Sistem Produkei Susu Nasional Melalui Peninghratan Efsiensi
6.
Melakukan evaluasi sementara terhadap hasil analisis tersebut melalui uji teknis, sosial, ekonomik terhadap rancangan skenario sistem produksi susu nasional .
Sumber data dan informasi Berbagai data dan informasi yang diperlukan pada studi ini terdiri dari (a) hasil rumusan workshop identifikasi masalah dan peluang industri persusuan nasional, (b) observasi lapangan tentang keragaan teknik produksi clan produktivitas usaha sapi perah sebelum krisis, pada saat krisis, dan perkiraannya setelah krisis, dan (c) pengaturan, peraturan, ketetapan dan keputusan resmi yang menyangkutrangkaian kegiatan usaha dibidang industri persusuan nasional . HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem produksi susu nasional Perkembangan sejumlah aspek teknis, ekonomis, dan kelembagaan dari industri persusuan nasional sekitar kurun waktu lima tahun (dari 1993 sampai 1998), menunjukkan kenaikan dengan angka laju yang bervariasi (Tabel 1) . Sejumlah parameter teknis seperti kegiatan impor sapi perah dan komponen produksinya jauh lebih besar dibandingkan laju populasi di dalam negeri, sedangkan kelembagaan koperasi sapi perah memperlihatkan jumlah yang hampir konstan. Tabel 1. Profil industri sapi perah nasional Performan
1997
1998
84 .416
-
-
200
201
-
-
+0,17
Populasi sapi perah (ekor)
329.520
347.310
353 .199
-
+1,75
Nilai sapi perah (milyar rp )
372,71
435,76
-
-
+6,44
Produksi susu (000 ton)
387,5
441,2
423,7
405,5
+1,04
Konsumsi susu (000 ton)
785,8
1 .125,4
1.050
1 .034,5
+7,93
Impor susu (000 ton)
446,8
739,4
692,8
692,9
+14,34
96 .517,0
114.821,6
94 .372,2
-
+3,63
4,23
5,72
5,25
5,1
+6,04
7,7
3,8
4,4
-
+7,94
3.419,4
3.014,4
3.119,2
-
+11,31
Harga susu segar farm gate (rp/I)
580
682
702
-
+4,92
Harga susu segar (rp/1)
1 .240
1 .695
1 .661
-
+9,28
Peternak sapi perah (RT) Koperasi primer persusuan (buah)
Nilai impor susu (000 $) Konsumsi susu/kapita/tahun (kg) Impor sapi bibit (000 ekor) Nilai impor sapi bibit (000 $)
1993
1996
77 .435
Perubahan per Thn (%) +2,92
Sumber : Diolah dari Bu[cu STATISM PETERNAKAN (1998) 1. Karakteristik peternak sapi Sesuai dengan arah kebijakan pemerintah yang meletakkan azas pemerataan dan pendapatan dalam usaha peternakan nasional- (Keppres-,80/1990) telah-mendorong berkembangnya usaha peternakan sapi perah nasional dengan berbasis pada peternakan rakyat. Tidak kurang dari 98 .000 rumah tangga terlibat dalam kegiatan budidaya sapi perah, baik sebagai mata pencaharian pokok ataupun sampingan. Akan tetapi sampai saat ini kegiatan budidaya sapi perah tersebut masih terkonsentrasi pada kawasan padat penduduk clan padat temak dimana hampir 100 persen
266
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000
petemak sapi perah berada di pulau Jawa. Penyebarannya hampir merata pada tiga propinsi di pulau Jswa meliputi 26,53 % peternak di Jswa Barat, 31,63 % peternak di Jswa Tengah, dan 39,80 % peternak di Jswa Timur; serta dengan jumlah relatif kecil pada propinsi DIY sekitar 1,02 % peternak. Secara kumulatif peternakan sapi perah rakyat mensuplai sebagian besar (sekitar 93 persen) dari susu segar domestik. Akan tetapi bila dilihat dari total konsumsi susu nasional, proporsinya relatif masih rendah (sekitar 40 persen). Meskipun petemakan rakyat merupakan mayoritas pelaku budidaya, tetapi karakteristik peternaknya sendiri tidak mengalami banyak perubahan dibandingkan kondisi tahun-tahun sebelumnya, yang masih dicirikan sebagai pelaku usaha dengan keterbatasan pengetahuan, modal, dan keterampilan . Tidak mengherankan apabila sebagian besar peternak masih menerapkan budidaya secara tradisional pada skala pemeliharaan sapi perah relatif kecil, sekitar 1-5 ekor per rumah tangga, sedangkan pengelolaan lebih merupakan usaha keluarga. Hanya sebagian kecil peternak yang memelihara sapi perah dengan skala pemilikian cukup besar, sekitar 6 -12 ekor. Peternak seperti ini biasanya mempunyai lahan dsn modal yang memadai dalam usahanya, dengan pengelolaan biasanya memakai tambahan tenaga dari luar keluarga . Budidaya yang diterapkan relatif lebih maju dibandingkan petemak skala kecil. Untuk meningkatkan kemampuan produksi sapi yang dipelihara, rlrereka berusaha mengintroduksi teknologi praktis bagi pengembangan budidaya sapi perahnya. Disamping peternak rakyat dengan skala pemilikan ternak cukup bervariasi, terdapat beberapa perubhaan yang relatif besar dengan kepemilikan sapi perah diatas 100 ekor. Pendapatan usaha terutama bersumber dari produksi susu yang dipasarkan melalui koperasi/GKSI ke IPS. Pembayaran susu oleh koperasi kepada peternak dilakukan setiap sepuluh hari setelah dipotong biaya produksi dsn operasional koperasi (pakan, ongkos angkut, obat-obatan, IB, air, bunga kredit, biaya koperasi, simpanan wajib koperasi clan lainnya) . Sumber pendapatan lain dapat diperoleh dari penjualan sapi betina afkir dsn pedet (jantan dan betina). Sedangkan kotoran ternak oleh sebagian besar peternak belum menjadi produk yang ditingkatkan nilai jualnya melalui pembuatan kompos . Padahal di beberapa peternak sapi perah di Jswa Tengah pemanfaatan kotoran sebagai kompos telah memberi keuntungan yang cukup besar (HARYOTO et al ., 1999). 2. Popu/asi dan produktivitas sapi perah
Populasi sapi perah sampai tahun 1997 (sebelum krisis moneter) menunjukkan perubahan yang selalu meningkat. Kenaikan cepat terjadi selama tahun 1979 - 1989 karena importasi dalam jumlah besar sapi perah betina dari Australia dsn New Zealand. Importasi dilakukan dalam dua periode berurutan, pertama dengan jumlah sapi betina 56 .375 ekor selama tahun 1979 - 1983, clan berikutnya dengan jumlah sapi betina 27 .410 ekor dalam tahun 1987 - 1989 (GKSI, 1996) . Oleh karenanya selama kurun waktu yang sama terjadi lonjakan laju pertumbuhan populasi sapi perah sebesar 12,35 persen per tahun, tetapi setelah tahun 1989 pertumbuhan populasi sapi perah nasional kembali menurun menjadi 2,61 persen per tahun . Kegiatan importasi secara langsung memacu pula laju kapasitas produksi susu domestik, meskipun pada waktu bersamaan laju konsumsi susu terus menunjukkan tren yang menaik . Dengan demikian importasi bahan baku susu dapat terus ditekan, yakni dengan rasio terendah dicapai 1 : 0,7 psda tahun 1987 - 1989, tetapi menaik kembali sampai 1 : 2 psda tahun 1997 meski sedikit menurun dibandingkan tahun 1996 dengan rasio 1 : 2,9 ssat krisis moneter belum terjadi. Hal ini menggambarkan saat ini masih tetap diperlukan impor susu dalam volume yang tinggi agar kebutuhan susu nasional dapat terpenuhi. Sebagai ilustrasi pada tahun 1997 dengan kapasitas produksi susu segar 446,48 ribu ton memerlukan susu impor 892,96 ribu ton agar kebutuhan susu nasional sebanyak 1 .339,44 ribu ton dapat terpenuhi. Penurunan kembali pertumbuhan populasi sapi perah nasional setelah terhentinya kegiatan importasi mengindikasikan tidak berjalannya kesimbangan antara laju pengeluaran ternak terhadap penggantiannya . Keadaan ini antara lain disebabkan oleh karena sapi betina impor sulit beradaptasi pada lingkungan barunya di Indonesia. Hal tersebut terutama dialami oleh sapi perah impor yang dibudidayakan di daerah dataran rendah yang sulit mengatasi cekaman panas, pakan tidak memadai, serangan penyakit dan parasit, serta tingkat manajemen yang belum mendukung. Pada skala individu faktor tersebut menyebabkan penurunan kinerja produktivitas ternak, yang direfleksikan oleh penurunan produksi susu, gangguan reproduksi (kegagalan dan penyakit reproduksi), angka kematian pedet yang tinggi, dan daya hidup produktif menurun. Pada skala lebih luas akan menurunkan kualitas populasi yang dicerminkan oleh struktur populasi yang tidak berimbang. a. Produktivitas
Produktivitas yang dicapai sapi perah lokal masih rendah bila dibandingkan dengan produktivitas sapi perah iklim sedang. Kemampuan menghasilkan produksi susu secara rataan masih berkisar antara 8 - 10 liter per hari
267
TJEPPY D SOEDJANA
et al. : Analisis Pengembangan Sistem Produksi Susu Nasional Melalui Peningkatan Efsiensi
(2 .400 - 3.000 liter per laktasi), dengan rataan produksi sedikit lebih tinggi untuk sapi perah di daerah sentra produksi susu seperti Pangalengan dan Lembang di Jawa Barat, Pujon (Malang) Jawa Timur dan perusahaan sapi perah, dengan rataan berkisar antara 10 - 13 liter per hari (3 .000 - 3.600 liter per laktasi) . Meskipun demikian kapasitas produksi sapi perah lokal mempunyai variasi yang luas dan masih belum banyak digali potensinya sebagai upaya untuk menghasilkan produksi susu yang tinggi . Sementara itu kinerja reproduksi sapi perah di Indonesia masih rendah yang antara lain diindikasikan oleh selang beranak masih panjang. Jarak beranak sapi perah domestik (lokal dan eks-impor) umumnya melebihi 14 bulan. Selang beranak tersebut masih lebih panjang dari yang direkomendasikan selama 12 bulan (365 hari) agar sapi betina mampu menampilkan prestasi produksi (produksi susu dan pedet) secara optimal selama masa produktifnya . Sejumlah masalah yang menjadi penyebab panjangnya selang beranak antara lain sapi betina tidak/kurang memperlihatkan tanda-tanda birahi yang jelas, penyakit reproduksi, kasus keguguran, dan gangguan kesehatan. Pengembangan pola budidaya sapi perah yang mampu menampilkan potensi genetik temak untuk dapat menampilkan kinerja produktivitas (produksi susu dan reproduksi) secara optimal merupakan pendekatan inovasi teknologi yang perlu mendapatkan prioritas pengembangan di masa depan. b. Struktur populasi Hasil survey dari Bench Mark, ADB, serta BUT dan PH pada populasi sapi perah domestik tahun 1987 dan 1988 seperti dikutip Simandjuntak (1999) menunjukkan struktur populasi sapi perah di dalam negeri tidak berada pada kesimbangan yang direkomendasikan . Sejumlah pengamatan lainnya yang dilakukan pada tahun dan lokasi pengamatan berbeda memberikan gambaran bervariasinya proporsi ternak pada setiap jenis kelamin dan status faali (Tabel 2). Struktur populasi ternak hakekatnya menggambarkan proporsi status fisiologi atau faali temak dalam suatu lokasi atau populasi yang sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan alami (kelahiran - kematian) dan non alami (masuk - keluar). Secara umum kondisi peternakan sapi perah rakyat masih mempunyai angka kematian dan tingkat mutasi yang sangat tinggi, sehingga dinamika populasi terus berubah yang akan menggeser struktur populasi dari keseimbangan ideal. Ketidak seimbangan struktur populasi sapi perah di peternakan dirasakan menjadi salah satu kendala bagi penyediaan replacement stock sapi perah betina dengan jumlah dan kualitas yang memadai. Tabel 2. Struktur populasi sapi perah hasil beberapa pengamatan Status Fisiologi Anak jantan Jantan muda Jantan dewasa Anak betina Betina muda Betina dewasa : a. Laktasi b. Kering a. Produktif b.Non produktif Kelahiran Kematian Keterangan :
1987 ') 80,22 19,88 60,5 36,6 -
1987 2) 5,9 0,1 19,9 13,6 48,4 12,0 -
1988 s) -.10,4 0,7 18,6 8,4 48,2 13,7 -
1993 4) 8,72 6,40 2,76 12,67 14,03 55,42 4,10
1999 5)
Ideal 85 15 70 30 -
1) Survey ADB (1997), 2) Survey Bench Mark (1997), dan Survey Dit.BUT dan PH (1988) yang dikutip Simanjuntak (1999), 3) BuKU STATISTIK PETERNAKAN (1998), 4). Diolah dari Laporan Tatit dan SIREGAR (1999) di Pangalengan, Kertasari, Lembang, dan Cisarua.
3. Distribusi dan kualitas susu segar Dengan diberlakukannya rasio susu selama ini, menyebabkan kurang berkembangnya diversifikasi produk olahan maupun pemasaran susu segar peternak . Sekitar 90 % susu yang dihasilkan tersebut dipasarkan ke IPS dan hanya sebagian kecil yang langsung dipasarkan kepada konsumen, diolah menjadi produk olahan sederhana, 26 8
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th . 199912000
dikonsumsi sendiri, atau diberikan pada pedet. Bagan alur yang biasa ditempuh sampai susu segar peternak mencapai IPS (Gambar 1) dimulai dari pengumpulan secara berkelompok (subcollecting center), kemudian diangkut koperasi/KUD menggunakan pick up atau truk dikirim ke pusat pengumpulan (collengting center) untuk disimpan dalam unit pendingin sebelum dikirimkan ke GKSI dan terakhir ke IPS . Susu segar di peternak bila dilihat dari jumlah bakteri yang dikandungnya, umumnya masih memiliki kualitas yang baik dengan jumlah bakteri per ml susu jarang melebihi satu juta. Meskipun pada frekuensi yang cukup rendah sejak di peternak (farm gate) jumlah bakteri per cc susu dapat melebihi jumlah tersebut. Fasilitas pemerahan dan lingkungan kandang yang kurang bersih biasanya sebagai penyebab utama menurunnya kualitas susu segar di peternak, disamping kejadian mastitis masih terjadi dengan frekuensi cukup tinggi. Penurunan kualitas susu segar dalam pengertian jumlah bakteri sudah melebihi satu juta per ml susu biasanya mulai terjadi setelah susu segar didistribusikan. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN (1999) menyatakan bahwa ketika susu segar sampai di pusat pengumpulan, biasanya kandungan bakterinya sudah sangat meningkat yang dapat melebihi 10 - 20 juta per cc susu segar. Bila kualitas susu segar ditinjau dari kandungan lemak (fat) dan bahan padatan tanpa lemak (solid non fat) yang menjadi ketentuan penetapan harga susu oleh IPS, maka persyaratan standar kadar minimal lemak 3,5 dan padatan tanpa lemak 7,5 % (total solid 11 %) relatif dapat dipenuhi oleh peternak. Namun pada beberapa kasus masih terjadi penolakan susu segar peternak oleh IPS karena tidak memenuhi standar yang diinginkan. Susu segar yang memang mempunyai sifat cepat rusak sangat perlu ditangani secara baik dan tepat dengan cara melakukan pendinginan selama proses distribusi sampai mencapai tempat olahan (milk treatment) atau IPS . Pada kondisi lapangan ditemukan sejumlah koperasi (collecting center) khususnya di daerah jalur susu Semarang Boyolali masih belum mempunyai fasilitas pendinginan. Memang jarak yang ditempuh untuk mencapai GKSI masih memungkinkan susu segar ada dalam kondisi yang baik (tidak pecah). Meskipun demikian fasilitas pendinginan dengan kapasitas yang lebih kecil sesuai kemampuan koperasi tersebut dalam menampung susu segar peternak, perlu diupayakan sehingga akan sangat membantu pencegahan penurunan kualitas susu dengan menekan perkembangbiakan bakteri aktif berkembang biak pada suhu lingkungan (panas) . 4. Kelembagaan koperasi susu Keragaan usaha peternakan sapi nasional dengan berbasis peternakan rakyat pada dasamya sangat terkait dengan kinerja dari kelembagaan koperasi persusuan yang menjadi wadah pembinaan, penyediaan fasilitas kredit, sapronak, serta pemasaran susu segar peternak. Keeratan hubungan antara keduanya tidak semata dikarenakan kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pelayanan fasilitas kredit pada peternak binaan koperasi susu, tetapi disebabkan pula sifat dari budidaya sapi perah yang memerlukan pengelolaan secara intensif mulai dari penyediaan bahan baku, pelaksanaan produksi, penanganan (distribusi) susu, .sampai pemasarannya, sehingga memerlukan modal besar apabila dilakukan secara individual oleh peternak. Interaksi yang terbentuk antara peternak dan koperasi susu ini menerapkan konsep subsidiaritas dalam arti pekerjaan yang tidak dapat dilaksanakan peternak akan diambil alih oleh koperasi primer (KUD persusuan). Dalam hal ini terdapat peran dominan dari masingmasing pihak, yakni peternak berperan dalam budidaya atau proses produksi, sedangkan koperasi primer berperan dalam pembinaan/pelatihan/penyuluhan, pelayanan saprodi, pengolahan dan distribusi susu. Sedangkan usaha pembibitan dapat dilakukan secara bersama antara petemak, KUD, dan GKSI. Peran koperasi persusuan sebagai wadah pembinaan dalam meningkatkan keterampilan dan pengetahuan peternak sapi perah ini bahkan lebih besar dibandingkan dinas petemakan setempat . Dengan demikian tingkat kemajuan yang diperoleh peternak dalam pengembangan budidaya dan penanganan pasca panen sangat dipengaruhi oleh daya kerja dari kelembagaan koperasi susu dan aparatnya. Dinamika dan implikasi kebijakan sistem produksi susu nasional Perkembangan ISN dalam 20 tahun terakhir tidak dapat mengabaikan peran pemerintah. Sebelum tahun ISN belum mempunyai , banyak arti, karena populasi din mutu ternak sapi perah masih sangat rendah dan industri pengolahan susu belum berkembang . Indonesia selama masa tersebut mengandalkan susu olahan impor. Kemudian setelah tahun 1976, pemerintah melihat bahwa Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dalam pengembangan ISN dalam negeri, tetapi sektor susu ini kurang menarik perhatian investor dalam negeri, maka pemerintah mendorong ISN melalui kemudahan investasi budidaya dengan bunga rendah serta membuka investasi PMA dalam industri pengolahan susu. Sampai tahun 1979, setelah beberapa pabrik pengolahan susu PMA beroperasi, pemerintah belum melihat adanya keterkaitan secara vertikal pembangunan industri pengolah susu dengan budidaya sapi perah dalam negeri, karena industri pengolahan ini tampaknya lebih diarahkan untuk mengimpor bahan baku susu dari luar negeri . , 1976,
26 9
TJEPPY D SOEDJANA et al. : Analtsis Pengembangan Sistem
Produbi Susu Nasional Melalui Peningkatan Efsiensi
Kemudian sejak tahun 1980 pemerintah melakukan intervensi dengan melaksanakan beberapa kebijakan yang sambung-menyambung clan saling terkait. Salah satu komitmen yang mewarnai kebijaksanaan pemerintah dalam ISN adalah bahwa budidaya sapi perah merupakan porsi rakyat dan pengelolaan usaha rakyat ini dilakukan melalui koperasi . Kebijaksanaan tersebut secara keseluruhan telah mendorong terbentuknya struktur industri susu nasional sebagaimana terlihat sampai pada saat ini. Pada lapisan paling bawah adalah kelompok peternak rakyat, yang tergabung dalam kelompok-kelompok kecil yang mewakili peternak duduk dalam koperasi . Karena koperasi tidak berazaskan pada "one man one vote" tetapi "one grouf one vote" . Satu kelompok ini terdiri dari 20 sampai 1 .000 anggota. Pada lapisan selanjutnya adalah koperasi atau KUD sapi perah sebagai koperasi primer yang menjadi anggota Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) sebagai koperasi sekunder yang mewakili peternak terutama dalam mendapatkan dana kredit investasi dengan bunga rendah, pengadaan bibit, dan pemasaran susu segar. Sementara IPS yang merupakan organisasi industri pengolahan susu, merupakan sisi yang terpisah . Pemerintah mengatur IPS supaya menyerap seluruh susu segar rakyat melalui GKSI . Dinamika clan implikasi kebijakan industri persusuan nasional, pada awalnya kebijakan diarahkan untuk pengembangan teknis produksi, yaitu ; (1) impor sapi betina, dalam rangka peningkatan populasi, (2) peningkatan pelayanan Inseminasi Buatan (IB), (3) pengadaan clan penyediaan pakan, (4) peningkatan pelayanan kesehatan clan Dalam manajemen, dan (5) pembelian kredit, sebagai upaya meningkatkan skala usaha sapi perah . perkembangannya masalah dominan yang sering muncul adalah masalah non-teknis . Pada tahun 1982 para peternak sapi perah di Bandung Selatan clan Malang melakukan unjuk rasa dengan membuang produksi susu sapinya ke sungai sebagai akibat dari kesulitan memasarkan hasil susu. Kondisi ini menyebabkan peternak selalu merugi . Padahal peternak yang telah menerima kredit program sapi perah, dituntut harus membayar pinjaman kreditnya. Di sisi lain, kalangan industri pengolah susu yang saat itu sedang berkembang, lebih suka memilih bahan baku susu asal impor, dengan alasan harganya lebih murah dan mutunya lebih baik dibanding susu segar dalam negeri . Berdasarkan kasus tersebut, untuk melindungi peternakan sapi perah rakyat pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri pada tanggal 21 Juli 1982, yang menetapkan bahwa IPS diwajibkan menunjukkan Bukti Serap (Busep) pembelian susu segar dalam negeri (SSDN) sebagai persyaratan memperoleh ijin impor. Dalam SKB tersebut juga ditekankan pengaturan rasio susu, yaitu rasio pembelian SSDN dengan impor. Kemudian melalui SK Menteri Perdagangan No. 274/1982 tanggal 14 Agustus 1982 menetapkan rasio pembelian SSDN dengan impor sebesar 1 : 7. Sejak itu para peternak sapi perah mulai merasakan manfaat kebijakan melalui pemasaran susu kepada IPS. Kondisi tersebut pada tahun 1985 diperkuat dengan clikeluarkannya Inpres No.2/1985, tentang koordinasi pembinaan dan pengembangan persusuan nasional clan dibentuk "Tim koordinasi persususuan di Indonesia" . Selanjutnya rasio itu banyak mengalami fluktuasi sesuai keadaan perkembangan industri susu di Indonesia. Pada awal 1983 rasio SSDN : susu impor meningkat manjadi 1 6, clan 1 : 3,5, pacla tahun 1990 rasio menjadi 1 : 1,7, pacla tahun 1993 rasio menjadi 1 : 0,6, clan rasio terakhir pada saat dikeluarkannya INPRES No . 4/1998 adalah 1 : 2. Pengejawantahan dengan diterbitkannya INPRES No .4/1998, yaitu dihapuskannya sistem rasio sebagai salah satu bentuk proteksi pemerintah terhadap petemak clan koperasi, sejak itulah pupus sudah segala keterkaitan kewajiban serap IPS terhadap produksi susu peternak/koperasi . Dengan kondisi ini maka situasi persusuan nasional kembali seperti kondisi pada tahun 1970-an, hanya saja masing-masing pihak IPS maupun koperasi masih memiliki komitmen untuk membangun sistem peternakan sapi perah nasional, namun jika nilai tukar rupiah menguat menjadi di bawah Rp .6500, maka daya saing SSDN menjadi lemah. Dengan nilai tukar sebesar Rp.7000, daya saing SSDN relatif baik, karena susu impor masih lebih mahal dibanding SSDN, clan pada kondisi ini situasi persusuan nasional masih relatifstabil . Analisis ekonomi Dalam konteks ini perlu ditelaah dampak paket kebijakan tersebut di atas terhadap perkembangan industri susu nasional . Hal ini dapat diamati berdasarkan profil ISN dilihat dari tujuan paket kebijakan tersebut yang terdiri atas menciptakan lapangan kerja di pedesaan, dan menghemat devisa (BUDIMAN et al., 1997). Keunggulan komparatif sapi perah di Indonesia merupakan suatu asset nasional yang harus ditinjau . Dalam analisis kebijakan ini akan dilihat dari aspek kebijakan produksi antara lain keseimbangan produksi dengan beberapa faktor input produksi penentunnya, serta dari aspek kebijakan pasar yang sebagian besar sangat berdampak kepada implikasi biaya sumberdaya dan beberapa permasalahan yang senantiasa menjadi fenomena dalam sistem produktivitas sapi perah clan industri susu nasional .
27 0
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th . 199912000
a. Perjorma ekonomi industri susu nasional Pada dasarnya kebijaksanaan pemerintah tersebut di atas mencatat beberapa keberhasilan (BUDIMAN et al., 1997). Pada tahun 1973 berdasarkan Sensus Pertanian BPS, terdapat 31 .438 peternak sapi perah yakni 0,22 persen dari total rumah tangga pertanian. Sementara jumlah peternak mengalami pertumbuhan sebesar 8,4 peraen dalam waktu 10 tahun (1973 - 1983) dan jumlahnya menjadi dua kali lipat dibandingkan tahun 1973 yakni 0,41 persen dari total rumah tangga pertanian. Pada periode 1989- 1997 jumlah penyerapan tenaga kerja meningkat sebesar 44,57 persen, yaitu dari 173.569 menjadi 250.932 orang. Hal ini jelas memperlihatkan keberhasilan pemerintah dalam menggunakan media ISN untuk meningkatkan kesempatan kerja di pedesaan . Peningkatan jumlah peternak sapi perah dan peningkatan kesempatan kerja di atas berhubungan erat dengan e4pansi jumlah populasi sapi perah di Indonesia. Dalam periode sepuluh tahun (1989 - 1997) populasi sapi perah nasional meningkat sebesar 22,78 persen, yaitu dari 287.665 ekor menjadi 353.199 ekor dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,28 persen pertahun . Keadaan ini mendorong pertumbuhan produksi susu sebesar 3,2 persen pertahun . Angka-angka ini memperlihatkan keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan produksi susu dalam negeri, sehingga dapat mensubstitusi susu impor yang sekafigus sebagai penghematan devisa terhadap impor susu, yaitu selama sepuluh tahun terakhir besarnya meningkat dari S 57,76 juta (1989) menjadi S 102,2 juta (1997) .
b. Implikasi biaya sumberdaya Peranan Koperasi Unit Desa atau Koperasi Peternakan sebagai koperasi primer di tingkat desa mempunyai peranan sangat penting dalam pengembangan usahaternak sapi perah di Indonesia. Usaha peternakan sapi perah sebagian besar (99%) tergabung dalam wadah KUD atau Koperasi Peternakan di bawah koordinasi Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), yaitu dengan populasi sebanyak 338.351ekor (1997) dan melibatkan 250.932 peternak, sedangkan sisanya dikelola oleh perusahaan susu dan dipasarkan secara langsung . Koperasi Unit Desa (KUD) atau Koperasi peternakan dibawah koordinasi GKSI memiliki peranan dalam; menapung hasil susu, memberikan pelayanan teknis seperti IB, Keswan dan pembinaan atau penyuluhan tentang budidaya sapi perah yang baik serta memasarkan hasil susu kepada konsumen dan industri pengolah susu (IPS). Jika ditinjau secara ekonomik tentunya akan berimplikasi kepada adanya korbanan yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan tersebut di atas . GKSI mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan produksi dan distribusi produksi susu segar terutama karena pemberian legitimasi oleh pemerintah dalam menunjuk seseorang yang berhak menerima kredit murah dan legitimasi yang dimilikinya dalam memasarkan produksi susu segar rakyat . Dengan legitimasi ini, maka GKSI mempunyai kekuatan untuk memberikan kesempatan kerja dan pendapatan pada seseorang. Tidak mengherankan mengapa koperasi menjadi dambaan para anggotanya, karena mereka dapat menggantungkan hidupnya pada koperasi . Melalui koperasi mereka dapat memiliki temak sapi perah, bahkan dapat memliki rumah (model KUNAK), mereka dapat meminjam uang untuk biaya hidup. Dan pinjaman-pinjaman itu ssemuanya dibayar dengan produksi susu yang dihasilkannya . Namun demikian, legitimasi yang diberikan kepada koperasi ini, temyata banyak mengalami distorsi, yaitu masih banyak pmktek-pmktek untuk memerah peternak sebagai sumber keuntungan pribadi atau kelompok. Dalam fungsi sebesamya, koperasi menghimpun masyarakat menjadi satu kekuatan ekonomi. Semakin banyak anggota koperasi akan semakin kuat, yang diperlihatkan oleh semakin besamya dana simpanan wajib clan iuran anggota. Dengan kekuatan dana yang besar itu, koperasi membentuk dirinya menjadi sebuah kekuatan clan berhak mendapat jasa pelayanan ekonomi yang lebih murah, seperti potongan-potongan harga, keringanan pembayaran, dan sebagainya . Pelayanan-pelayanan ini menyebabkan meningkatkan daya beli anggota koperasi, clan hal ini akan berimplikasi kepada peningkatan kesejahteman anggota. Koperasi pada umumnya menghimpun masyarakat berpendapatan rendah, dengan harapan koperasi dapat membantu anggota tersebut mendapatkan kebutuhan hidup atau usaha dengan harga yang lebih murah . Jika koperasi tersebut menghimpun anggota yang terdiri dari peternak peternak rakyat, melalui kekuatan yang dimiliki koperasi, para peternak mendapat pelayanan dalam memperoleh input seperti pakan, bibit, dan sebagainya dengan harga yang relatif murah. Dengan demikian, koperasi hanyalah suatu waah persatuan, yang tugasnya mendorong peternak menjalankan usaha dengan efisien. Pada kenyataanya koperasi semacam ini sulit dijumpai, sehingga dengan adanya peran koperasi masih menjadi beban yang sekaligus menjadi biaya sumberdaya bagi para peternak selaku produsen utama industri susu nasional . Hasil temuan di tingkat lapang, yaitu di tiga koperasi lingkup Korda Jateng/DIY, bahwa korbanan yang dirasakan oleh peternak adalah berupa pengeluaran yang merupakan kewajiban Baik di tingkat KUD maupun GKSI (Tabel 3).
27 1
TJEPPY D SOEDJANA et al. : Analisis Pengembangan Sistem Produksi Susu Nasional MelaluiPeningkatan Efisiensi
Pengeluaran petemak yang merupakan kewajiban biaya pengelolaan dan pemasaran susu baik di tingkat GKSI maupun di tingkat koperasi/KUD menunjukkan angka yang berbeda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat manajemen dari koperasi/KUD. Semakin efisien manajemen di tingkat koperasi yang dibekali oleh kejujuran dan moral pengurus koperasi, maka beban petemak akan semakin ringan . Besarnya nilai kewajiban misalnya di Koperasi Sarono Makmur disebabkan oleh adanya angsuran kredit sapi kepada PT.PLN (Persero) Distribusi Jawa Tengah sebanyak 143 ekor dengan nilai kredit Rp. 458.967.100, dengan bunga 4%/th, serta adanya investasi membuat cooling unit sebesar Rp.85.500 .000,. Dengan demikian beban pengeluaran petemak masih relatif besar (23,97%) selama angsuran kredit tersebut belum lunas. Contoh lain besarnya beban petemak di Koperasi Pesat disebabkan oleh bisya administrasi dan organisasi yang cukup tinggi hingga mencapai Rp .68,82,/It susu, hal ini mencakup ; gaji karyawan, transportasi pengurus dan BP, asu(ansi kesehatan, perjalanan dinas, dan kesejahteraan sosial . Selanjutnya diikuti oleh biaya jasa pendingin dan transportasi susu hingga mencapai Rp .69,61,/liter susu . Di setiap tempat penampungan susu dibangun MCC, dari MCC susu dibawa ke MPP yang berada di kantor koperasi, sehingga perjalanan susu dari petemak ke IPS atau MT GKSI Boyolali memakan waktu 2 hari . Karena jauhnya jarak transportasi susu maka dibangun unit pendingin baik di tingkat kelompok petemak maupun di tingkat koperasi sendiri, yang pada akhirnya jasa pendingin dan transportasi susu dibebankan kepada biaya pengeluaran petemak. Tabel 3. Kewajiban pengeluaran petemak sapi perah di tiga Koperasi fngkup Korwil Jawa Tengah & DIY Uraian 1.
Harga susu di IPS
2.
Kewajiban di GKSI a. Operasional MT Boyolali b. Simpanan wajib GKSI c. feejasa usaha GKSI d. Saham pembibitan Total
3.
Kewajiban di KUD/ Koperasi : a. Simpanan wajib b. Dana investasi c. Jasa pendingin dan transportasi d. Administrasi & umum e. Transportasi MCC-MPP f. Dana keswan g. Dana IB/kawin suntik h. Operasiona1 MCC i. Cadangan susu rusak j. Jasa Koperasi/KUD k. Jasa kelompok I. Honor karyawan m. Bisya listrik n. Bisya telpun o . Bisya laborat p. Angsuran pinjaman q. Biaya penyusutan r. Cadangan keuntungan s. Sanitasi Total
4. Total kewajiban (2+3) 5. Harga diterima Petemak
Koperasi Pesat Banyumas (Rp)
Koperasi Sarono Makmur (DIY) (Rp)
1 .215,89 15,07 10,00 25,07 1,00 3,75 53,33 68,82 16,28 27,00 10,52 8,62 1,50 165,75 190,82 (15,69%) 1.000,00
1 .335,00
1 .173,02
5,00 5,00 10,00 20,00
15,07 5,00 5,00 10,00 35,07
30,87 8,71
20,00 4,11
300,00
11,50 7,50 8,10 10,00 9,16 2,00 72,37
320,00 (23,97%) 1.015,00
107,44 (9,16%) 1 .065,00
3,57
_
KUD Jatinom Klaten (Rp)
58,04 9,12 7,05 4,15 79,59 45,61 53,29
Secara aktual dengan adanya pembebanan biaya pemasaran dan transportasi yang relatifbesar sebagian besar petemak merasa bahwa hal tersebut merupakan resiko bisya implisit yang cukup berat. Namun jika tidak mengikuti
272
ran Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000
a. Performa ekonomi industri susu nasional Pada dasarnya kebijaksanaan pemerintah tersebut di atas mencatat beberapa keberhasilan (BUDIMAN et al., 1997). Pada tahun 1973 berdasarkan Sensus Pertanian BPS, terdapat 31 A38 petemak sapi perah yakni 0,22 persen dari total rumah tangga pertanian. Sementara jumlah petemak mengalami pertumbuhan sebesar 8,4 persen dalam waktu 10 tahun (1973 - 1983) dan jumlahnya menjadi dua kali lipat dibandingkan tahun 1973 yakni 0,41 persen dari .total rumah tangga pertanian. Pada periode 1989 - 1997 jumlah penyerapan tenaga kerja meningkat sebesar 44,57 persen, yaitu dari 173.569 menjadi 250.932 orang. Hal ini jelas memperlihatkan keberhasilan pemerintah dalam menggunakan media ISN untuk meningkatkan kesempatan kerja di pedesaan . Peningkatan jumlah peternak sapi perah dan peningkatan kesempatan kerja di atas berhubungan erat dengan -ekspansi jumlah populasi sapi perah di Indonesia. Dalam periode sepuluh tahun (1989 - 1997) populasi sapi perah nasional meningkat sebesar 22,78 persen, yaitu dari 287.665 ekor menjadi 353.199 ekor dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,28 persen pertahun . Keadaan ini mendorong pertumbuhan produksi susu sebesar 3,2 persen pertahun . Angka-angka ini memperlihatkan keberhasilaq pemerintah dalam meningkatkan produksi susu dalam negeri, sehingga dapat mensubstitusi susu impor yang sekaligussebagai penghematan devisa terhadap impor susu, yaitu selama sepuluh tahun terakhir besamya meningkat dari $ 57,76 juta (1989) menjadi $ 102,2 juta (1997).
b. Implikasi biaya sumberdaya Peranan Koperasi Unit Desa atau Koperasi Peternakan sebagai koperasi primer di tingkat desa mempunyai peranan sangat penting dalam pengembangan usahatemak sapi perah di Indonesia. Usaha petemakan sapi perah sebagian besar (99%) tergabung dalam wadah KUD atau Koperasi Peternakan di bawah koordinasi Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), yaitu dengan populasi sebanyak 338.351ekor (1997) clan melibatkan 250.932 petemak, sedangkan sisanya dikelola oleh perusahaan susu dan dipasarkan secara langsung . Koperasi Unit Desa (KUD) atau Koperasi petemakan dibawah koordinasi GKSI memiliki peranan dalam; menapung hasil susu, memberikan pelayanan teknis seperti IB, Keswan dan pembinaan atau penyuluhan tentang budidaya sapi perah yang baik serta memasarkan hasil susu kepada konsumen clan industri pengolah susu (IPS) . Jika ditinjau secara ekonomik tentunya akan berimplikasi kepada adanya korbanan yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan tersebut di atas . GKSI mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan produksi dan distribusi produksi susu segar terutama karena pemberian legitimasi oleh pemerintah dalam menunjuk seseorang yang berhak menerima kredit murah dan legitimasi yang dimilikinya dalam memasarkan produksi susu segar rakyat . Dengan legitimasi ini, maka GKSI mempunyai kekuatan untuk memberikan kesempatan kerja dan pendapatan pada seseorang. Tidak mengherankan mengapa koperasi menjadi dambaan para anggotanya, karena mereka dapq menggantungkan hidupnya pada koperasi . Melalui koperasi mereka dapat memiliki temak sapi perah, bahkan dapat memiliki rumah (model KUNAK), mereka dapat meminjam uang untuk biaya hidup. Dan pinjaman-pinjaman itu ssemuanya dibayar dengan produksi susu yang dihasilkannya . Namun demikian, legitimasi yang diberikan kepada koperasi ini, temyata banyak mengalami distorsi, yaitu masih banyak praktek-pmktek untuk memerah peternak sebagai sumber keuntungan pribadi atau kelompok. Dalam fungsi sebesarnya, koperasi menghimpun masyarakat menjadi satu kekuatan ekonomi . Semakin banyak anggota koperasi akan semakin kuat, yang diperlihatkan oleh semakin besamya dana simpanan wajib dan iuran anggota. Dengan kekuatan dana yang besar itu, koperasi membentuk dirinya menjadi sebuah kekuatan dan berhak mendapat jasa pelayanan ekonomi yang lebih murah, seperti potongan-potongan harga, keringanan pembayaran, clan sebagainya . Pelayanan-pelayanan ini menyebabkan meningkatkan daya beli anggota koperasi, dan hal ini akan berimplikasi kepada peningkatan kesejahteraan anggota. Koperasi pada umumnya menghimpun masyarakat berpenclapatan rendah, dengan harapan koperasi dapat membantu anggota tersebut mendapatkan kebutuhan hidup atau usaha dengan harga yang lebih murah . Jika koperasi tersebut menghimpun anggota yang terdiri dari peternak peternak rakyat, melalui kekuatan yang dimiliki koperasi, para petemak mendapat pelayanan dalam memperoleh input seperti pakan, bibit, clan sebagainya dengan harga yang relatif murah. Dengan demikian, koperasi hanyalah suatu wadah persatuan, yang tugasnya mendorong petemak menjalankan usaha dengan efisien. Pada kenyataanya koperasi semacam ini sulit dijumpai, sehingga dengan adanya peran koperasi masih menjadi beban yang sekaligus menjadi biaya sumberdaya bagi para peternak selaku produsen utama industri susu nasional . Hasil temuan di tingkat lapang, yaitu di tiga koperasi lingkup Korda Jateng/DIY, bahwa korbanan yang dirasakan oleh peternak adalah berupa pengeluaran yang merupakan kewajiban Baik di tingkat KUD maupun GKSI (Tabel 3).
27.Y3
TJEPPY D SOEDJANA et al. : Analisis Pengembangan Sistem Produksi Susu Nasional Melalui Peningkatan E,Jjuiensi
Berorientasi kepada fenomena tersebut, maka pendekatan analisis menggunakan "pendekatan dfalogis dan analisis kasus" , yaitu pendekatan partisipatif yang merupakan ungkapan petemak dan pelaku bisnis yang terlibat dalam industri persusuan mengenai situasi yang terakhir, yang diperhitungkan merupakan akumulasi dari pengalaman selama menjalani usaha sapi perah dan industri susu . a. Permasalahan di tingkat Koperasi Harga susu bagi koperasi pesat masih menjadi kendala utama dalam pengembangan industri sapi perah. Hal ini logis, mengingat bahwa yang menjadi pedoman yang dipakai untuk penentuan alokasi sumber-sumber ekonomi yang efisien adalah harga, baik harga input produksi (pakan konsentrat) maupun harga produksi (hasil susu) Haarga susu standar yang ditetapkan melalui komitment GKSI dengan IPS sebesar Rp.1255,-/liter dengan kriterian memiliki Total Solid (TS) 11%, nampaknya belum berimbang dengan melonjaknya harga pakan konsentrat dari Rp.300,-/kg menjcdi Rp.550 - Rp .600,/kg. Kencikan harga konsentrat dua kali lipat (100%), sedangkan kenaikan harga susu hanya Rp.155,/liter (14%). Bersamaan dengan itu, kebutuhan hidup sehari-hari para petemak juga meningkat, sehingga pengeluaran harian peternak bertambah besar sementara pendapatan petemak relatif menurun atau tetap. Permasalahan kedua yaitu pengadaan pakan konsentrat di tingkat KUD, jika diformulasi dengan kualitas standar (PK=18 %), maka harga jualnya menjadi Rp .700,-/kg . Hcrga sebesar ini . sebagian besar petemak tidak mampu membeli, sehingga untuk memenuhi kebutuhan peternak kualitasnya diturunkan dengan kandungan PK menjadi 15,5% dan harga jualnya Rp .550,/kg . Kondisi seperti ini sebenamya tidak akan dapat menghasilkan susu secara optimal . Tabel 5. Keranjang masalah dan uji prioritas masalah kebijakan industri sapi perah di Koperasi Peternakan Pesat, Banyumas . No .
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Masalah
Bebcn operasional GKSI Harga susu Pckan konsentrat Hcrga bibit sapi Biaya transpotasi susu Inseminasi Buatan Kualitas susu Pengcturan kuota penerimaan susu
Gawat
mendesak
Penyebarannya
Jumlah Skor
5
3
4
120
8 7 4 6 1 3 2
8 7 I 6 2 5 4
8 7 3 6 2 1 5
240 210 80 180 50 90 110
Skor
Keterangan : 0 menunjukkan peringkat yang paling bermasalah. Mengingat jarak dari sumber produksi susu ke milk treatment (MT) di Boyolali atau PT .Sarihusada relatif jauh, maka diperlukan jasa pendingin dan transportasi yang jumlahnya relatif besar (Rp.69,61,/liter susu). Kondisi seperti ini akan berimplikasi terhadap harga susu yang diterima petemak semakin kecil. Bersamaan dengan itu, koperasi harus menanggung beban operasional GKSI . Pengaturan quota susu, masih didasarkan komitmen dalam rapat pengurus GKSI . Pada umumnya semua anggota koperasi peternakan lingkup Korda Jateng/DIY pemasaran susunya menghendaki kepada IPS yang terdekat yaitu PT. Scrihusada, hal ini berkaitan dengan biaya transportasi namun daya tampung PT . Scrihusada nampaknya terbatas, sehingga pemasaran susu mengharuskan ke IPS yang ada di Jawa Barat atau Jcwa Timur dan hal ini akan berimplikasi terhadap biaya transportasi dan jasa pendingin yang cukup besar. Masalah kualitas susu, sebenamya terkait dengan jasa pendingin. Untuk mempertahankan kualitas susu agar tidak rusak sampai kepada IPS atau MT Boyolali, maka dibangun beberapa MCC di tingkat kelompok peternak atau TPK serta dibangun MPP yaitu pendingin di tingkat koperasi . Investasi tersebut tentunya dibebankan kepada anggota koperasi dalam bentuk potongan nilai hasil susu hingga sebesar Rp . 69,58,/liter penjualan susu.
274
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th . 199912000
Harga bibit pada akhir-akhir ini cenderung naik, hal ini disebabkan persediaan bibit semakin langka . Pada kondisi seperti ini banyak peternak tergiur dengan adanya harga pengwaran bibit sapi yang tinggi dan kebutuhan dipicu dengan kondisi pakan dan kebutuhan hidup peternak yang semakin meningkat, maka banyak petemak menjual sapi perahnya walaupun masih dalam kondisi produktif. Kondisi seperti ini dirasakan hingga akhir tahun 1998. Mulai tahun 1999, pada saat petemak bersemangat untuk beternak kembali, suplai bakalan/bibit tidak ada, sehingga replacement stock-pun tidak ada. Bersamaan dengan ini, pengadaan lewat UPSUS atau proyek tidak ada juga kinerja IB semakin menurun yaitu disebabkan semen beku dirasakan semakin Iangka (pembelian semen untuk Korda Jateng/DIY tahun 1997 dan 1998 tercatat 41 .000 dan 35 .000 dosis, sedangkan pada tahun 1999 hanya 13 .000 doisis. Kondisi seperti ini jika berlanjut menyebabkan populasi sapi perah menurun secara drastis. Hal ini dampaknya dapat dirasakan oleh koperasi secara langsung, yaitu dapat dilihat dari angka susu diterima dari anggota serta .dipasarkan yaitu pada sebelum Januari 1998 hasil susu di atas 200.000 liter per bulan, sedangkan pada bulan Februari 1998 hasil susu hanya 166.805 liter per bulan, bahkan pada bulan September 1999 hasil susu hanya 122.140 liter per bulan. Kondisi seperti ini berimplikasi terhadap menurunnya kinerja koperasi . Hasil observasi di Koperasi Unit Desa (KUD) "Jatinom ", Pada hakekatnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Koperasi Peternakan Pesat, namun pada KUD Jatinom masalah harga susu merupakan kendala utama. Harga susu yang rendah dan tidak dapat mengimbangi secara proporsional dengan melonjaknya harga pakan menyebabkan semangat usaha para petemak sapi perah menjadi turun, terlebih lagi dengan menurunnya kredibilitas para pengelola GKSI terutama dalam pengelolaan distribusi susu sampai ke IPS temyata banyak ditemukan ketimpangan dalam menentukan kualitas susu . Hal ini dirasakan sangat merugikan pihak koperasi dan para peternak . Masalah pakan dirasakan sama dengan yang terjadi di koperasi Pesat. Walaupun KUD Jatinom penyediaannya diadakan sendiri oleh koperasi dengan memiliki kapasitas produksi 1,5 ton/jam, namun permaslahannya sangat dipengaruhi oleh harga katul. Pada saat harga dedak/katul murah, suplai bahan baku untuk pembuatan konsentrat berkurang bahkan habis persediaannya, karena sebagian besar dedak/katul dibeli oleh peternak, dan sebagian besar petemak mengurang pemberian konsentratnya dan sebagian besar diganti oleh katul, begitupun bersamaan dengan itu konsentrat yang dihasilkan oleh KUD kurang laku apalagi harga konsentrat tinggi . Tabel 6. Keranjang masalah dan uji prioritas masalah kebijakan industri sapi perah di Koperasi Unit Desa (KUD) "Jatinom", Klaten . No .
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Masalah
Beban operasional GKSI Harga susu Pakan konsentrat Harga bibit sapi Kualitas susu Pengaturan kuota penerimaan susu
Skor
Gawat
Mendesak
Penyebarannya
Jumlah Skor
2
3
2
70
5 6 1 4 3
6 5 1 4 2
6 5 3 4 1
170 160 50 120 60
Keterangan : 0 menunjukkan peringkat yang paling bermasalah . Adanya GKSI menurut pandangan KUD Jatinom sebenamya kurang dapat membawa aspirasi para koperasi primer, malah menambah beban biaya operasional serta banyak merugikan pihak koperasi primer terutama dalam hal pembegian kuota/penjatahan distribusi susu yang diterima oleh GKSI, menurunkan kualitas susu (kandungan total solid dan kuman), yang pada akhirnya mempengaruhi harga susu yang diterima oleh KUD/koperasi primer semakin kecil jika dibandingkan hasil susu tersebut langsung dibawa ke IPS tanpa melalui MT Boyolali di GKSI . Secara mendalam akan dibahas pada sub bab pemasaran produk susu primer dan sekunder . Fenomena industri susu di Koperasi Sarono Makmur agak berbeda dengan koperasi sebelumya. Koperasi peternakan ini relatif baru berdirinya namun perkembangnnya relatif cepat karena dibimbing dan didanai oleh PT .PLN. (Persero) Distribusi Jawa Tengah. Permasalahan yang yang muncul masih berldsar pada penyediaan sarana dan prasarana dalam memperlancar pengembangan persusuan di kawasan ini. Disamping harga susu yang selalu menjadi polemik di semua koperasi/KUD, juga upaya untuk memperbaiki dan meningkatnyn kualitas susu melalui pengadaan cooling unit merupakan masalah prioritas. Dengan meningkatnya kualitas susu maka harga susu
275
TJEPPY D SOEDJANA et al. : Analisis Pengembangan Sistem Produksi Susu Nasional Melalui Peningkatan Efsiensi
akan semakin tinggi, dan hal ini akan memotivasi kinerja produksi para petemak sapi perah. Masalah selanjutnya yang perlu segera diantisipasi adalah pengadaan pabrik pakan konsentrat. Selama ini kebutuhan pakan konsentrat masih dipenuhi dari berbagai pabrik yang ada di sekitar DIY, yaitu PT.BAU, CV .BPM (KUD Jujur Karangnongko), serta Koperasi Susu Wargamulya . Padahal kebutuhannya cukup banyak, pada tahun 1998 jumlah kebutuhan mencapai 676,590 ton/tahun dengan nilai pembelian sebesar Rp.226 .137 .500,-. Ketergantungan suplai pakan tersebut banyak mengandung kelemahan, disamping jumlah pasokannya tidak menentu, juga kualitas pakan tidak terjamin dan harga pakan ditentukan oleh penjual. Secara ekonomis kondisi seperti ini tidak efisien, serta banyak merugikan peternak . Untuk itu situasi seperti ini harus segera diantisipasi dengan membuat pabrik pakan sendiri. Namun investasi yang cukup besar nampaknya permodalan yang dimiliki koperasi masih terbatas/belum memadai. Masalah klasik penyediaan hijauan pakan masih selalu dirasakan oleh petemak terutama pada saat musim hujan produksi melimpah dan musim kemarau sangat menjadi beban petemak (baik waktu maupun tenaga). Untuk meningkatkan kinerja produksi kondisi seperti ini harus segera diantisipasi melalui penyediaan teknologi dan sarana pengawetan HMT. Selain itu masalah produksi yang selalu ditemui di tingkat peternak adalah masalah pemenuhan kebutuhan bibit baik untuk replacement stock maupun pengembangan baru bagi peternak pemula. Sebetulnya banyak para peternak sapi potong yang ingin beralih usahanya ke usaha sapi perah namun untuk mendapatkan bibit sangat sulit diperoleh. Hal ini dapat menghambat laju kecepatan produksi susu. Sedangkan dilain pihak suplai semen cenderung semakin langka. Dan untuk jangka panjang, dalam rangka meningkatkan nilai jual dan memperbaiki sistem pemasaran susu maka harus segera diantisipasi pengelolaan pasca panen susu dalam bentuk diversifikasi produk . Tabel 7. Keranjang masalah dan uji prioritas masalah kebijakan industri sapi perah di Koperasi Petemakan "Sarono Makmur", Sleman DIY. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Masalah Harga susu Pabrik Pakan konsentrat Bibit sapi perah Kealitas susu Pasca panen susu Pengawetan HMT
Skor
Gawat
Mendesak
Penyebarannya
6 4 1 5 2 3
6 4 3 5 1 2
6 4 3 5 1 2
Jumlah Skor 180 120 70 150 40 70
Keterangan : 0 menunjukkan peringkat yang paling bermasalah . Jawa Timur salah satu sentra petemakan di Indonesia memiliki kontribusi cukup besar dalam memenuhi kebutuhan produk asal ternak nasional termasuk hasil susu . Pada saat krisis moneter, nampaknya petemak sapi perah di Jawa timur tidak banyak kena resesi, bahkan jika dikaji dari jumlah populasi dari tahun 1998 sampai 1999 meningkat sebesar 6,5%, sedangkan produksinya meningkat sebesar 11,2%. Walaupun demikian dalam pengembangan sapi perah nampaknya masih banyak dijumpai beberapa kendala, yaitu harga susu, pakan, dan kuota penyerapan susu oleh pihak IPS. Harga susu belum sebanding dengan kualitas susu. Walaupun kualitasnya senantiasa ditingkatkan, namun harga susu tetap, bahkan harga susu standar tidak lagi dengan standar total solid 11, melainkan standarnya lebih tinggi berkisar 11,5 - 11,6 . Kersulitan pakan hijauan terjadi pada saat musim kemarau. Pembuatan silase belum diterapkan, dan pakan konsentrat harus dibeli relatif mahal, sedangkan quota penyerapan hasil susu didominasi oleh PT Nesttle.
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000
Tabel 8. Kersnjang masalah dan uji prioritas masalah kebijakan industri sapi perah di Koperasi SAE, Pujon, Malang No.
Jenis Masalah
Gawat
Skor Mendesak
1. 2. 3. ' 4" 5. 6.
Bebsn operasional GKSI 2 Hsrga susu 5 Pskan konsentrat 6 1 Hsrga bibit sapi Kualitas susu 3 4 Pengsturan kuota penerimaan susu Keterangan : 0 menunjukkan peringkat yang paling bermasalah .
Penyebarannya
Jumlah Skor
2 6 5 3 1 4
70 170 160 50 120 60
3 6 5 1 2 4
b. Permasalahan di tingkat Peternak
Semua peternak merasakan bahwa harga susu yang diterima petemak sebesar Rp.1000,-/liter masih sangat rendah jika dibandingkan dengan kenaikan semua biaya faktor produksi, sehingga insentif usaha yang diterima peternak akan semakin kecil . Masalah selanjutnya adalah mutu konsentrat tidak memenuhi syarat untuk keperluan produksi (PK rata-rata <15%). Skala usaha nampaknya semakin menurun, hal ini disebabkan banyak petemak yang menjual sapinya, terutama ketika krisis moneter, penyebabnya adalah harga pakan tinggi, harga sapi/daging tinggi, dsn kebutuhan keluarga petemak meningkat, sehingga peternak terpaksa menjual sapi perahnya walaupun sebenarnya merupakan asset usaha . Modal usaha relatif rendah dan koperasi sampai saat ini belum banyak memenuhi kebutuhan modal usaha sapi perah. Harga obat-obat hewan cukup tinggi, sehingga sebagian besar petemak tidak mampu untuk membeli dan langkah antisipasinya hanya dengan memanfaatkan obat-obatan tradisional . Masalah lainnya merupakan spesifik, yaitu lahan untuk HMT sangat terbatas, sebagian besar peternak hanya memiliki lahan sawah, sedangkan lahan kering untuk tanam HMT jumlahnya sedikit, sehingga petani harus mengambil rumput ke kawasan hutan clan lainnya . Disamping itu, status lokasi kandang adalah sewa sehingga sebagian besar peternak merasa tidak tenteram . Tabe19. Keranjang masalah dan uji prioritas masalah kebijakan industri sapi perah di Kelompok Peternak Nedio Mulyo, Koperasi Petemakan Pesat, Banyumas No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Masalah Obat-obatan Pskan konsentrat Sksla Usaha Hsrga susu Jsrak MCC terlalu jauh Modal usaha Lshan HMT Status lokasi kandang
Gawat
Skor mendesak
Penyebarannya
Jumlah Skor
3 7 6 8 4 5 2 1
4 7 6 8 3 5 2 I
4 7 6 8 3 5 2 1
110 210 180 240 100 150 60 30
Keterangan : 0 menunjukkan peringkat yang paling bermasalah. Permasalahan utama pada Kelompok Peternak Margomulyo adalah kualitas konsentrat yang rendah dsn tanpa pollard . Hal ini disebabkan, jika harga pakan sesuai persyaratan produksi, maka implikasinya harga konsentrat harus di atas Rp.700,/kg, nsmun sebagian besar peternak tidak akan mampu membeli, sehingga kualitas pakan disesuaikan dengan harga kemampuan daya beli peternak, yang rata-rata Rp.500 - Rp.600,/kg.
277
TJEPPY D SOEDJANA et al. : Analisis Pengembangan Sistem Produkri Susu Nasional Melalui Peninglratan Efsiensi
Masalah kedua adalah harga susu yang sangat rendah, sama dengan apa yang dirasakan oleh semua peternak , sapi perah di Jawa Tengah, bahakan di Indonesia, menurut petemak sebenarnya harga yang layak adalah >Rp .1500, -. Masalah berikutnya adalah obat-obatan, tingkat pemberiannya semakin langka, hal ini disebabkan harga-obat melambung. Obat cacing yang seharusnya dilakukan 2 kali pertahun, namun sejak 1995 hingga sekarang (1999) hanya dilakukan 2 keli. Dampaknya clapat berpengaruh kepada lambatnya clan keticlakteraturan birahi. Masalah keempat adalah Inseminasi Buatan, sering ticlak tepat waktu. Disamping disebabkan langkanya semen dan kualitas semen, juga salah satu penyebabnya adalah kinerja Satgas/petugas IB yang kurang baik. Masalah berikutnya adalah kecilnya skala usaha, yaitu rata-rata 2 ekor induk laktasi + pellet + dam . Padahal seharusnya minimal induk sapi yang laktasi adalah 4 ekor/petemak. Jika peternak mau menambah skala usaha permasalahannya adalah ticlak punya modal. Bersamaan dengan hal tersebut bibit sulit dicari, kualitas bibit rendah, clan harga bibit relatif mahal . Tabel 10. Kerenjang masalah dan uji prioritas masalah kebijakan industri sapi perah di Kelompok Peternak Nedio Mulyo, Koperasi Peternakan Pesat, Banyumas No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Masalah Mutu konsentrat Obata-obatan Herga susu Skela usaha Modal usaha Bibit sapi perah Inseminesi Buatan
Gawat
Skor mendesak
Penyebarannya
Jumlah Skor
7 5 6 2 3 1 4
7 5 6 4 2 1 3
7 5 6 3 1 2 4
210 150 180 90 60 40 110
Keterangan : 0 menunjukkan peringkat yang paling bermasalah.
Permasalahan usaha peternakan sapi perah di Kelompok Peternak Kaliadem, Sleman DIY, pada prinsipnya sama dengan permasalah kelompok peternak sebelumnya yaitu berkisar pada masalah penyediaan clan kualitas konsentrat, harga susu, modal usaha, bibit sapi perah, clan hijauan pakan, namun permasalahan tambahan yang muncul adalah kesulitan air untuk kebersihan kandang, sehingga kondisi kandang selalu dalam keaclaan tidak higienes .
Tabel 11.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kerenjang masalah dan uji prioritas masalah kebijakan inclustri sapi perah di Kelompok Peternak Kaliadem, Koperasi Peternakan Sarono Makmur, Sleman, DIY Jenis Masalah
Mutu konsentrat Hijeuan pakan Penyecliaan air Herga susu Modal usaha Bibit sapi perah
Gawat
Skor menclesak
6 3 1 5 4 2
6 2 1 5 4 3
Keterangan : 0 menunjukkan peringkat yang paling bermasalah .
278
Penyeba Rannya
Jumlah Skor
6 2 1 5 4 3
180 70 30 150 120 90
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000
Penentuan harga dan pemasaran produk susu primer Sampai saat ini konsumen utama susu segar dalam negeri hasil produksi petemakan rakyat yang tergabung dalam wadah koperasi adalah Industri Pengolah Susu (IPS). Pemasaran utama hasil susu dari petemak adalah IPS melalui dua rantai, yaitu Koperasi Petemakan/KUD dan GKSI . Sebenamya pemasaran tersebut langsung ke IPS, namun Koperasi dsn GKSI hanyalah sebagai mediator dan fasilitator. Dan sementara ini masalah yang sangat besar dalam pemasaran susu adalah posisi tawar masih sangat lemah. Sebagai contoh di Jawa Tengah Pemasaran susu segar sebagian besar ke IPS, sedangkan pemasaran ke konsumen langsung sangat kecil, yaitu pada tahun 1996, 1997, dan 1998 adalah 0,03%, 0,12%, dsn 0,11% (Tabel 12). Dari tahun 1996 sampai dengan 1999, PT Ssrihusada clan PT. FVI Jakarta merupakan pasar utama dari prociuk susu petemakan rakyat di lingkup GKSI Korda Jateng dan DIY, dari tahun ke tahun trend-nya semakin meningkat, sedangkan PT. FSI Pasuruan trend-nya semakin menurun. Dan PT .IMDI Pandaan dsn PT. Indomilk, sejak tahun 1998 tidak lagi mengambil susu dari GKSI Jateng & DIY. Hal ini disebabkan hasil susu yang masuk ke GKSI ini semakin berkurang, diduga disebabkan sebagai dampak dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan produksi susu menurun sebagai akibat dari menurunnya populasi atau menurunnya jumlah petemak yang memelihara sapi perah sebagai refleksi dari meningkatnya dengan tajam harga sarana produksi, baik pakan maupun bibit yang harganya kurang dapat dijangkau oleh perhitungan ekonomi petemak. Untuk memenuhi suplai PT IMDI Pandaan dilimpahkan ke GKSI Korda Jatim dan Suplsi PT Indomilk dilimpahkan ke GKSI Korda Jswa Barat . Tabel 12. Rekapitulasi penjualan susu GKSI Korda Jateng & DIY ke berbagai Industri pengolah susu di Indonesia No 1.
Pemssaran susu PT . FSI Pasuruan
2.
PT. Sarihusada
3.
PT . FVI Jakarta
4.
PT. IMDI Pandaan
5.
PT . Indomilk Jakarta
6.
Konsumen Langsung Jum 1a h
1996 16 .577 .472,0 (34,79%) 12 .560 .946,6 (26,36%) 14.598 .931,0 (30,64) 1 .832 .196,0 (3,84%) 2.063 .750,0 (4,33%) 14 .463,0 (0,03%) 47 .647.758,6
1997 16 .750 .158,0 (32,38%) 13 .406 .931,7 (25,92%) 19.775 .458,0 (38,23%) 0,0 (0,0%) 1 .728 .050,0 (3,34%) 64 .592,0 (0,12%) 51 .725 .189,7
1998 7.500 .020,0 (17,93%) 16 .499 .540,3 (39,45%) 17 .771 .848,0 (42,50%) 0,0 (0,0%) 0,0 (0,0%) 46 .268,5 (0,11%) 41 .817 .676 .8
1999 2.436.990,0 (7,08%) 14.608 .450,3 (42,48%) 17.336 .810,0 (50,42%) 0,0 (0,0%) 0,0 (0,0%) 0,0 (0,0%) 34 .382 .250,3
Sementara itu, untuk meningkatkan harga susu produsen susu tidak memiliki posisi tawar yang kuat . GKSI sebagai fasilitator clan mediator dari para petemak atau koperasi primer, nampaknya belum mampu membawa aspirasi atau belum dapat mengakomodasi keinginan produsen utama susu untuk dapat menyesuaikan harga susu dengan kenaikan harga input produksi . Kondisi seperti ini menyebabkan menurunnya kinerja industri susu di tingkat peternakan rakyat. Harga yang sudah ditentukan dari hasil kesepakatan GKSI clan IPS masih mengacu kepada kwalitas standard Total Solid 11% (Fat = 3,3%, SNF = 7,7%) dengan harga saat ini (pertengahan 1999) adalah Rp .1 .255,/kg susu, sedangkan kualitas non-standard mengacu kepada sistem bonus dan fenalty, sebagai berikut =Rp. 13,04,/kg 0 Fat kurang lebih 1% = Rp . 10,71,/kg 0 SNF kurang lebih 1% _. bonus Rp.2,50 0 Total solid > 1% = + 0,1% pertama =+0,1% kedua = bonus Rp.1,0 = -0,1% = penalty Rp . 1,0 0 Total Solid < l l% Disamping itu, dengan meningkatnya tuntutan kualitas terhadap semua bahan makanan olahan diperhitungkan juga kandungan bakteri persatuanvolume., Situasi industri persusuan nampaknya dihadapkan kepada suatu dilema, dipihak IPS menuntut kualitas susu sesuai dengan standard permintaannya dengan kualitas susu yang cukup baik, namun di pihak petemak/produsen 27 9
TIEPPY D SOEDIANA
et al. : Analisis Pengembangan Sistem Produbi Susu Nasional Melalui Peningkatan Efsiensi
dihadapkan kepada masalah efisiensi, artinya insentif dari memproduksi susu relatif rendah dan belum dapat mengimbangi meningkatnya biaya produksi, sehingga jangankan untuk meningkatnyn kualitas susu, untuk mempertahankan usahaternaknya saja agar tidak bangkrut memerlukan korbanan dari pihak peternak. Sebenarnya dilema tersebut di atas tidak akan terjadi atau dapat dikurangi jika penanganan hasil susu dari mulai petemak produsen sampai ke IPS ditangani secara proposional yang dibekali tingkat kejujuran dan moral yang tinggi dari para pengurus baik dari mulai tingkat kelompok, koperasi atau GKSI sendiri . Kenyataannya dari hasil uji penelusuran kualitas susu yang disetor ke PT. Sarihusada, kualitas susu cenderung menurun . Kadar BJ, lemak, SNF, dan TS dari tingkat petemak adalah 1,0274, 4,3, 9,12, dan 13,38, sedangkan sampai di PT. Sarihusada menurun menjadi 1,0240, 3,40, 7,50, dan 10,90. Juga kadar kuman dari petemak 0,84 juta/cc, sampai di PT. Sarihusada meningkat menjadi 11,70 juta/cc kuman dan hal ini ditolak karena MBRTnya
Kualitas susu BJ
Lemak (%)
PUSPETASARI : 1. Peternak (16 Orang) 2. Kelompok (2/42 Orang) 3 . Kelompok (MT) 4. Kelompok (Cooling) 5. PT Sarihusada
SNF (%)
TS (%)
1,0274 1,0265 1,0262 1,0240 1,0240
4,30 3,80 3,70 3,60 3,40
9,12 7,82 7,89 7,56 7,50
13,38 11,61 11,59 11,23 10,90
JATINOM 1. PETERNAK (20 Orang) 2. Kelompok (2/47 Orang) 3. Kelompok (MT) 4. Kelompok (Cooling) 5. P T Sarihu s ada
1,0282 1,0256 1,0256 1,0239 1,0240
3,85 3,59 3,58 2,83 2,80
8,84 8,03 8,03 7,92 7,66 -
11,83 11,62 11,62 10,75 - 10,48
Angka Kuman (iuta cc) 0,84 1,90 1,92 3,30 11,70 (ditolak MBRT<1) 0,63 1,85 3,63 4,75 5,30
Lain halnya dengan kondisi sistem produksi susu di Jawa Timur. GKSI Jawa Timur sejak Bulan Februari terjadi restrukturisasi dengan berbadan hukum sendiri, sehingga memiliki wewenang dan tanggungjawab yang lebih besar untuk mengelola industri persusuan di daerah jawa timur. Produksi susu rata-rata setiap harinya mencapai 480 ton/hari yang diterima dari 48 Koperasi Petemakan . Pemasaran susu hampir seluruhnya ke Nesstle, sedangkan ke PT IMDI dan Lokal masing-masing sebesar 8 ton dan 5 ton/hari . Harga yang sudah ditentukan dari hasil kesepakatan GKSI dan IPS masih mengacu kepada kwalitas standard Total Solid 11% (Fat = 3,3%, SNF = 7,7%) dengan harga saat ini (pertengahan 1999) adalah Rp.1.255,/kg susu, sedangkan kualitas non-standard mengacu kepada sistem bonus dan fenalty, sebagai berikut r Total Solid <11,3% =penalty - Rp. 30 r Total solid 11,3 - 11,5 = penalty - Rp. 10 r Total solid 11,5 - 11,6% = Rp. 0 r Total Solid 11,6 - 11,8 % = Bonus + Rp. 5,r Total solid 11,8 - 11,9% = Bonus + Rp. 10, r Total solid >12% = Bonus + Rp. 15 Disamping itu, dengan , meningkatnya tuntutan kualitas terhadap diperhitungkan juga kandungan bakteri persatuan volume, yaitu r Kandungan bakteri < 3 juta/cc = Bonus + Rp15, r Kandungan bakteri 3 - 5 juta/juta cc = Bonus Rp. 5,v' Kandungan bakteri 5 - 10 juta/cc = 0 r 10 juta/cc =penalty Rp 10.
280
semua bahan makanan olahan
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000
Situasi industri persusuan nampaknya dihadapkan kepada suatu dilema, dipihak IPS menuntut kualitas susu sesuai dengan standard permintaannya dengan kualitas susu yang cukup baik, namun di pihak peternak/produsen dihadapkan kepada masalah efisiensi, artinya insentif dari memproduksi susu relatif rendah dan belum dapat mengimbangi meningkatnya biaya produksi, sehingga jangankan untuk meningkatkan kualitas susu, untuk mempertahankan usahaternaknya saja agar tidak bangkrut memerlukan korbanan dari pihak peternak. Untuk itu hasil kesepakatan antara pihak IPS dengan GKSI beberapa bulan yang lalu bahwa sejak Maret harga susu di Jawa Barat dan Jawa Tengah dinaikan sebesar Rp 75/kg. Namun untuk Jawa Timur penaikan harga susu ini pihak PT Nesstle belum menyepakati, dengan alasan : perbandingan harga susu import lebih murah, belum waktunya, serta boleh naik jika Total Solidnya minimum 12%. TOO 14. Penampilan Produksi dan kualitas susu di Jawa Timur Uraian 1998 1999 produksi 399371 443949 populasi sapi perah 59523 63366 0 produksi/ekor 6,7 7,5 0 kualitas Total Solid 1 1,71 11,91
Naik 11,2% 6,5% 12,3% 1,1%
Dari telaahan di atas, terdapat dua faktor yang menyebabkan pemasaran utama susu segar kepada IPS sampai saat ini, yaitu Pertama : pada masa lalu sampai akhir 1997/awal 1998, pemerintah mengeluarkan kebijakan ratio secara ketat yang mengharuskan IPS menyerap (membeli) semua produksi susu segar dalam negeri, baru kemudian diizinkan untuk mengimpor bahan baku susu dengan sistem ratio dan bukti serap (BUSEP) dengan prinsip equalisasi . Kedua: sesuai dengan Letter of Intent antara pemerintah Indonesia dengan IMF, dimana hal-hal yang bersifat proteksi (termasuk kebijakan ratio) dicabut, tetapi pada saat yang bersamaan (sampai sekarang) nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing relatif rendah, sehingga harga impor bahan baku susu menjadi mahal. Keadaan yang terakhir ini menjadi "blessing indisques" bagi petemak sapi perah dan sekaligus "memaksa " IPS membeli semua produksi susu segar untuk mencukupi bahan bakunya, karena relatif lebih murah dibanding bahan baku impor. Analisis Kelayakan Harga Susu Sapi Perah Sistem kelembagaan pemasaran susu sapi perah dapat ditelaah melalui pendekatan kelembagaan (institusional) terhadap lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses tataniaga susu sapi perah. Dalam analisis kebijakan sistem produksi susu pendekatan analisis yang berkaitan dengan ini akan memfokuskan pada aspek komposisi margin dan biaya tataniaga pada seluruh lembaga yang terkait. Harga susu yang disajikan pada Tabel 15 menginformasikan bahwa selama lima tahun terakhir peningkatan harga susu rata-rata Rp. 122, pertahun, sedangkan perkembangan harga di tingkat petemak peningkatannya sebesar Rp .97,12. Sementara peningkatan harga di tingkat konsumen relatif besar, yaitu Rp. 198,2, pertahun . Situasi harga di tingkat petemak dan KUD diindikasikan melalui margin harga dengan rata-rata setiap tahunnya terpaut 18,48 persen, sedangkan margin peternak dengan harga konsumen rata-rata setiap tahunnya terpaut 243,46 persen. Situasi ini membeli gambaran bahwa sistem pemasaran dan harga susu d _Indonesia belum, effisien, disatu pihak harga di tingkat konsumen langsung cukup menjanjikan . Namun untuk menembus .sistem pemasaran seperti itu tidak mudah. Hal ini memerlukan perubahan kebijakan sistem ,pemasaran secara menyeluruh, yaitu perlunya penataan dan kelembagaan produksi, penampungan, dan pemasaran susu . Upaya meningkatkan insentif harga bagi peternak, _ pembenahan tidak hanya didasarkan pada aspek pemasaran semata melainkan juga kebijaksanaan harga, yang diterapkan sangat mewarnai terhadap prospek pengembangannya. Kebijaksanaan harga jual di tingkat peternak seyogyanya mengacu pada -.berbagai faktor pembentuknya seperti komponen biaya produksi, kuantitas, produksi, serta kontribusi susu terhadap total penerimaan petemak, sehingga. dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut dihadapkan . penentuan harga susu yang layak secara ekonomi finansial dapat terwujud secara cermat.
TJEPPY D SOEDJANA et al. : Analisis Pengembangan Sistem Produksi Susu Nasional Melalui Peningkatan Efsiensi
Tabel 15. Rataan harga susu di tingkat peternak, KUD, dan Konsumen selama lima tahun terakhir Tahun 1995 1996 1997 1998 1999
Diterima peternak (Rp./liter) 564,38 596,75 610,82 850,00 1 .050,00
Harga susu Dibayar IPS (Rp./kg) 645,00 682,00 702,00 1 .100,00 1 .255,00
Dibayar konsumen (Rp./liter) 1957,00 2101,00 2255,00 2750,00 -
Margin Petemak-IPS (Rp)
Margin PeternakKonsumen (Rp)
80,62 (14,28) 85,25 (14,28) 91,18 (14,92) 250,00 (29,41) 205,00 (19,52)
1 .392,62 (246,7) 1 .504,62 (252,1) 1 .644,18 (269,2) 1 .900,00 (223,5) -
Melalui pendekatan perhitungan harga susu yang layak di tingkat peternak, maka didapatkan perkiraan harga yang layak seperti disajikan pada Tabel 16 . Dari tabel tersebut nampak rataan harga susu segar agregat yang layak secara finansial di tingkat peternak untuk kedua pola usaha adalah sebesar Rp . 990,57,- perliter . Dengan demikian harga susu aktual yang diterima peternak yaitu Rp . 850,- perliter, terlihat masih dibawah perkiraan harga yang layak atau masih terpaut sekitar 16,53 persen . Tabel 16 . Rataan harga susu aktual dan perkiraan harga susu yang layak di tingkat peternak di Sleman, D.I . Yogyakarta, 1998 . Uraian 1.
Persentase penerimaan susu terhadap total penerimaan (%) Rataan biaya produksi (Rp/ekor/tahun) Rataan produksi susu (liter/ekor/tahun) Produksi susu BEP (liter/ekor/tahun) Rataan harga susu aktual (Rp/liter) Harga susu BEP (Rp/liter) Harga susu yang layak (Rp/liter)
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pola kemitraan
Pola Petani
Agregat
81,03
74,94
77,98
6.887 .000,4.270 4.052 850 653,2 783,86
4.025 .000 ; 2.440 2.368 850 997,7 1 .197,28
5 .456 .000,3 .355 3 .210 850 825,45 990,57
Sumber : MASBULAN et al. (1999). Perkiraan harga susu yang layak nampak memberikan gambaran berbeda apabila ditelusuri menurut pola usaha. Pola kemitraan walaupun memiliki rataan biaya produksi yang tinggi, namun dapat diimbangi dengan rataan produksi susu yang relatif lebih tinggi . Sehingga jika ditinjau dari harga susu yang layak yang relatif lebih kecil dibanding harga susu aktual, maka memberi petunjuk bahwa peternak pada pola kemitraan nampaknya sudah dapat menikmati insentif harga yang memadai. Sementara itu, pada pola petani harga susu segar aktual di tingkat peternak lebih kecil (Rp. 850, perliter) dibanding harga susu segar yang layak secara finansial (Rp. 1l97,28,- perliter). Indikasi ini cukup memberi petunjuk bahwa para peternak sapi perah di daerah tersebut masih belum menikmati insentif harga yang memadai. Untuk mewuudkan tingkat harga susu yang layak di tingkat peternak agaknya menuntut keinginan politik (political will) dari pemerintah yang mengacu pada upaya peningkatan pendapatan peternak disamping membuka peluang kesempatan kerja di pedesaan melalui pengembangan agribisnis sapi perah. Tidaklah berlebihan apabila insentif harga yang diperoleh peternak tidak lagi dapat merangsang kegairahan betemaknya, maka hal ini akan berpengaruh pada kurang responsifnya petemak terhadap perubahan harga produk . Dampak lebih jauh akan menyebabkan misalokasi sumberdaya, sehingga pada gilirannya prinsif keunggulan komparatif dalam pola alokasi sumberdaya wilayah bukan lagi dasar pertimbangan utama. Biaya produksi yang terbesar pada pemeliharaan sapi perah adalah pada biaya pakan, terutama pakan konsentrat. Hasil penelitian di Pangalengan Jawa Barat, menunjukkan bahwa biaya rata-rata pakan mencapai 70,1 persen dari keseluruhan biaya produksi (SIREGAR, 1985). Oleh karena itu perimbangan yang semakin sempit antara harga per liter susu dengan harga per kg pakan konsentrat akan memberikan dampak yang semakin tidak menguntungkan. Perimbangan harga konsentrat dengan harga susu setelah krisis moneter (1999) di beberapa kawasan pengembangan sapi perah disajikan pada Tabel 17 . Dari tabel tersebut terlihat bahwa perimbangan antara harga per kg konsentrat dengan harga penjualan perliter susu di tingkat peternak pada umumnya relatif sempit/kecil . Dari
28 2
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000
kelima daerah observasi tidak satupun yang perimbangannya lebih dari 1 : 2. Paling tinggi di daerah Banyumas yaitu 1 : 1,82, dengan harga konsentrat relatif lebih murah yaitu Rp . 550,-/kg . Namun dilihat dari mutu konsentrat tersebut temyata rendah dengan kandungan PK < 10 persen clan kondisi ini berdampak terhadap produksi susu yang relatif rendah, yaitu rata-rata 7 - 8,5 liter/ekor/hari. Perimbangan yang paling rendah dijumpai di Kawasan pengembangan sapi perah Garut, yaitu 1 : 1,59 . Kondisi mutu konsentrat relatif baik, sehingga harga konsentrat relatif tinggi dibanding di Jawa Tengah . Namun dengan mutu konsentrat yang baik sehingga produktivitas sapi ki kawasan ini rata-rata mencapai 11,48 liter/ekor/hari . Tabel 17. Harga pakan konsentrat, harga susu, dan perimbangannya di beberapa daerah pengembangan sapi perah Daarah pengembangan sapi perah 1. 2. 3. 4. 5.
Banyumas D.I .Yogyakarta Klaten Garut Tanjungsari
Harga konsentrat (Rp./kg)
Harga Susu (Rp./liter) --
550 625 600 665 665
Perimbangan harga konsentrat harga susu
1 .0.00 1 .015 1 .065 1 .050 1 .086
1 1 1 1 1
:1,82 :1,62 :1,77 :1,59 :1,63
Ketidakseimbangan harga tersebut tentunya akan berimplikasi kepada tingkat keuntungan yang merupakan insentif peternak semakin kecil, bahkan dalam kondisi tertentu dapat merugikan. Ilustrasi lain dapat dijelaskan berdasarkan hasil penelitian terdahulu, menurut SIREGAR (1985), menyatakan bahwa sapi perah yang sedang berproduksi di daerah Pangalengan dengan pemberian konsentrat 7,1 kg/ekor/hari dapat menghasilkan susu sebesar 11,7 liter/ekor/hari serta keadaan perimbangannya harga konsentrat dengan harga susu segar sebesar : 1,65 dinyatakan merugi atau tidak menguntungkan. Kondisi ini dihubungkan dengan hasil penelitian menurut DARYONO et al. (1989) dalam penelitian usaha sapi perah di daerah Pangalengan mendapatkan, bahwa biaya pakan konsentrat dari keseluruhan biaya produksi rata-rata 54,56% . Dengan demikian perimbangan antara 1 kg konsentrat dengan harga I liter susu supaya memberikan sejumlah keuntungan bagi petemak haruslah di atas 1 : 100 (l,65)/54,56 = 1 3,0. Sebagai perbandingan dapat dikemukakan perbandingan harga konsentrat dengan harga penjualan susu petemak di negara Jepang yang sudah tergolong maju pemeliharaan sapi perahnya adalah berkisar antara 1 : 9,0 sampai dengan 1 : 13,5 (Dit.Jen .Nak, 1991). Analisis permintaan susu Penurunan permintaan susu dalam negeri merupakan refleksi dari jumlah konsumsi susu dalam negeri tampak nyata setelah krisis moneter. Mulai tahun 1997 konsumsi susu dalam negeri turun sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya dan berturut-turut sampai tahun 1999 tingkat konsumsi susu turun sebesar 17,7 persen dibanding pada tahun 1996 (sebelum krisis). Tabel 18 . Perkembangan Konsumsi dan Produksi Susu Dalam Negeri Selama Lima Tahun Terakhir. Uraian
1995
1996
1997
Konsumsi susu 749.742 801 .064 753.223 Produksi susu 433.442 441 .163 423.664 Gap 316.300 359 .901 329.559 Sumber : Direktur Jenderal Petemakan dalam Profil Pertanian dalam Angka (1999)
1998
1999
670.434 375.382 295.052
659 .275 384.316 244 .959
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa industri sapi perah dihadapkan kepada tantangan dan sekaligus menjadi peluang bagi para pelaku agribisnis, terlebih lagi jika kita lihat permintaan dari beberapa Indutri pengolah susu (IPS)
TJEPPY D SOEDJANA et al. : Analisis Pengembangan Sistem Produksi Susu Nasional Melalui Peningkatan Efsiensi
Tabel 19. Permintaan Industri Pengolah Susu terhadap Susu Dalam Negeri Industri Pengolah Susu I . Nesttle di Jawa Timur 2. Sari Husada di DIY 3 . PVI & FI di Jawa Barat 4. Ultra Jaya Milk Industri di Jabar 5 . Inclomilk dan Indolakto di Jabar
Permintaan (ton/hari) 500 80 500 100 500
Situasi permintaan di atas harus diimbangi dengan sistem penawaran SSDN. Dari keragaan penawaran terdapat suatu hal yang cukup menghawatirkan yaitu besarnya ketergantungan impor untuk penawaran susu di dalam negeri yang meningkat dari 55,57% menjadi 69,15% pada tahun 1996. Ketergantungan ini cliperkirakan akan semakin besar di masa yang akan datang yang diindikasikan oleh laju impor susu yang sangat besar, yaitu 46,23%, sementara laju peningkatan produksi di dalam negeri hanya 3,7-1% (PSE, 1998) . Estimasi parameter permintaan terhadap komoditas susu dapat ditelaah dari nilai elastisitas, baik elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, elastisitas pengeluaran, serta dari nilai proyeksi hasil ternak . Berdasarkan hasil analisis oleh SOEDJANA et al., (1994), bahwa nilai elastisitas harga sendiri paling rendah adalah untuk komoditas susu di Jawa Barat (-0,18) dan paling tinggi untuk daging unggas di DKI Jakarta (-2,16) . Nilai elastisitas susu di Jawa Barat tersebut menunjukkan bahwa komoditas susu di Jawa Barat tidak merupakan makanan yang sensitif terhadap perubahan harga. Tabel 20. Elastisitas harga sendiri, harga silang, clan pengeluaran kelompok hasil temak dengan retriksi homogen dan simetri di DKI Jakarta, SUSENAS 1990 Daging sapi clan Daging Susu Telur Pengeluaran Uraian awetan unggas 1. Daging sapi dan awetan 0,3 0,02 -0,30 -0,48 1,15 2. Daging unggas 0,03 -2,16 0,06 0,18 0,97 3 . Susu -0,32 0,05 -0,68 0,15 1,18 4. Telur -0,64 0,18 0,12 0,70 0,94
Tabel 21. Elastisitas harga sendiri, harga silang dan pengeluaran Kelompok hasil ternak dengan retriksi homogen dan simetri di Propinsi Jawa Barat , SUSENAS 1990 Daging sapi dan Daging unggas Susu Telur Pengeluaran Uraian awetan 1. 2. 3. 4.
Daging sapi dan awetan Daging unggas Susu Telur
-l,26 -0,88 0,19 -0,70
-1,03 0,15 -0,47 -0,32
0,13 -0,28 -0,18 0,18
-1,00 -0,39 -0,65 -0,17
1,06 0,99 1,15 1,08
Tabel 22. Elastisitas harga sendiri, harga silang, dan pengeluaran Kelompok hasil ternak dengan retriksi homogen clan simetri di Propinsi Jawa Tengah, SUSENAS 1990 , Uraian 1. 2. 3. 4.
28 4
Daging sapi dan awetan Daging unggas Susu Telur
Daging sapi dan awetan
Daging unggas
Susu
Telur
Pengeluaran
-1,69 1,00 0,67 -0,84
-1,02 -1,94 -0,57 -0,02
0,47 -0,39 -0,58 0,31
-1,11 -0,29 -0,43 -0,46
1,12 1,04 1,12 1,06
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000
Tabel 23. Elastisitas harga sendiri, harga silang dan pengeluaran kelompok hasil ternak dengan retriksi hasil ternak dengan retriksi homogen dan simetri di D.I .Yogyakarta, SUSENAS 1990 Uraian 1. 2. 3. 4.
Daging sapi dan awetan
Dsging unggas
Susu
Telur
Pengeluaran
-0,69 -0,08 0,37 -0,28
-0,09 0,65 -0,31 -0,13
0,36 -0,24 -1,2 -0,03
-1,55 -0,18 0,25 -0,46
0,64 0,92 1,25 1,13
Dsging sapi dan awetan Dsging unggas Susu Telur
Tabel 24 . Elastisitas harga sendiri, harga silang pengeluaran kelompok hasil ternak dengan retriksi homogen dan simetri di Jawa Timur , SUSENAS 1990 Daging sapi dan - awetan - -
Uraian 1. 2. 3. 4.
Dsging sapi dan awetan Dsging unggas Susu Telur
-1,2 -0,24 0,18 0,25
Dsging unggas
Susu
Telur
Pengeluaran
-0,14 -0,25 -0,21 -0,22
-0,12 -0,22 -0,97 -0,06
0,23 -0,33 -0,31 --0,93
0,88 0,93 1,15 1,06
Hasil telaahan terhadap elastisitas harga silang pada komoditas daging sapi dan awetan terhadap komoditas lainnya relatif besar. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh perubahan harga daging dan awetan terhadap permintaan komoditas lainnya cukup besar. Dengan naiknya harga daging sapi dan awetan, maka permintaan terhadap susu dsn telur akan menurun cukup besar. Hal ini berlaku untuk DKI Jakarta dsn Jswa Barat. Tabel 25 . Proyekltingkat pertumbuhan permintaan perkapita hasil ternak di DKI Jakarta Hasil ternak 1. 2. 3. 4.
Dsging sapi Dsging unggas Susu Telur
-
Peningkatan pendapatan Rend ah (4 1/6) Tinggai (6%) 4,60 6,90 3,88 5,82 4,72 7,08 3,76 5,64
Proyeksi pertumbuhan permintaan komoditas peternakan dapat ditelaah melalui tingkat pendapatan kelompok masyarakat . Dengan asumsi tingkat pendapatan ini dan elastisitas pengeluaran pada tabel di atas, maka pada skenario peningkatan pendapatan tinggi (6%) permintaan susu meningkat pesat sebesar 7,1% pertshun . Kondisi di atas dapat menggambarkan bahwa komoditas susu di seluruh propinsi yang ditelaah, komoditas susu termasuk ke dalam kelompok makanan luks . Dan ini berarti bahwa peningkatan pendapatan masyarakat di semua propinsi yang bersangkutan akan meningkatkan permintaan komoditas susu dengan persentase yang lebih besar dibanding komoditas lainnya. Dengan demikian, hasil pendugaan elastisitas pengeluaran dalam kajian ini dapat digunakan untuk memproyeksikan permintaan komoditas susu bagi program pengembangan industri susu nasional . Penurunan permintaan susu dalam negeri merupakan refleksi dari jumlah konsumsi susu dalam negeri tampak nyata setelah krisis moneter. Mulai tahun 1997 konsumsi susu dalam negeri turun sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya dan berturut-turut sampai tahun 1999 tingkat konsumsi susu turun sebesar 17,7 persen dibanding pada tahun 1996 (sebelum krisis)
28 5
TIEPPY D SOEDJANA et al. : Analisis Pengembangan Sistem ProdubiSusu Nasional Melalui Peningkatan Efsiensi
Konsepsi sistem pengembangan produksi susu nasional a Aspekproduksi Produktivitas ternak sapi perah masih rendah yang ditunjukan oleh produksi susu rata-rata antara 8 - 10 liter/ekor/hari. Kondisi seperti ini pada lima tahun terakhir berimplikasi terhadap produksi susu nasional . Pada tahun 1995 produksi susu sebanyak 433 .400 ton, sedangkan pada tahun 1998 turun menjadi 375 .400 ton (Deptan, 1999). Laju pertumbuhan produksi susu segar sebesar 2,38%, nampaknya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan laju peningkatan import sebesar 18,8% . Nilai impor susu dibandingkan produk susu dari tahun ke tahun selalu lebih besar dari nilai exportnya, sehingga membawa indonesia menjadi target pasar yang potensial apalagi melalui -Instruksi Presiden No.4 tahun 1998, maka mulai 1 Februari 1998, ketentuan rasio penyerapan susu segar melalui BUSEP sudah tidak berlaku lagi. Namun melalui kesepakatan antara GKSI dan IPS pada tanggal 27 Februari 1998, IPS masih akan menyerap susu segar dalam negeri . Hal ini mungkin masih akan berlangsung bila kurs dollar terhadap rupiah masih tinggi . Namun bila kurs rupiah makin .menguat maka impor susu dari luar negeri tidak ada hambatan lagi, sehingga petemak sapi perah sebagai produsen susu dalam negeri harus dapat bersaing. Kualitas susu segar dalam negeri masih rendah, yang ditunjukkan oleh kandungan bakteri pada susu segar dalam negeri masih tinggi berkisar 10 - 20 jeta per cc (di tingkat Milk Collecting Center/MCC), sedangkan kandungan kandungan bakteri yang baik maksimal 1 jeta per cc. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat manajemen penanganan susu segar dari farm gate ke koperasi dan disetorkan ke IPS . Kualitas pakan setelah krisis moneter cenderung makin rendah, Perubahan baku pakan yang digunakan koperasi sesudah krisis moneter yaitu penggunaan bahan baku impornya sangat berkurang. Penggunaan pollar yang tadinya 60 persen sekarang menjadi 10 persen, penggunaan tepung jagung dan bungkil kedele ditiadakan diganti dengan menaikan jumlah dedak. Kita dapat menyimpulkan bahwa susunan bahan baku pakan mengalami perubahan dari ketergantungan pada impor kini menggunakan bahan baku dalam negeri . Namun, kandungan mutu pakan setelah krisis moneter sangat rendah dan harganya mengalami kenaikan 100 persen . Peternak tidak dapat mengurangi pembelian konsentrat, karena pembelian konsentrat dikaitkan dengan jumlah susu yang peternak setorkan kepada koperasi yakni 2 liter susu harus membeli 1 kg konsetrat . Pada akhirnya, peternak harus menanggung rendahnya produktivitas sapi perah dan harus menanggung kenaikan harga pakan. Berorientasi kepada beberapa fenomena tersebut di atas, maka implikasi pengembangan sapi perah di masa yang akan datang perlu beberapa kebijakan operasional yang dapat memecahkan persoalan yang benar-benar dihadapi oleh pelaku industri sapi perah baik dari hulu sampai hilir, antara lain
r
r r
r r
286
Melambengnya harga pakan konsentrat dalam waktu mendesak dapat dipenuhi dengan penanaman dan pemberian hijauan leguminosa pohon secara besar-besaran melalui program integrasi dengan Perum Perhutani, Perkebunan, dan pemanfaatan bahan-lahan terlantar . Upaya selanjutnya adalah pemanfaatan pakan inkonvensional dan pembuatan pakan lengkap yang murah. Langkah operasional pragmatik adalah melakukan gerakan masal fermentasi jerami sebagai alternatif penyediaan pakan hijauan yang dapat dipadatkan berupa briket. Peran sektor swasta perlu ditingkatkan, terutama dalam bisnis input produksi, seperti pabrik pakan dan obatobatan . Selama ini nampaknya tidak terkoordinasi dengan baik antar pelaku/instansi terkait seperti koperasi, pemerintah, petemak, dan sektor swasta yang berjalan sendiri-sendiri dalam menjalankan usaha petemakan sapi perah. Perusahaan peternakan sapi perah sudah merupakan bisnis dengan orientasi pasar dan keuntungan sebagai kata kunci. Dengan biaya produksi untuk 1 liter susu Rp.900, saat ini, dan harga jual susu sebesar Rp.1255,/kg berarti margin yang diperoleh sekitar 10 persen dan hal ini dirasakan belum memuaskan bagi para produsen di sektor hulu . Untuk itu perlu dirintis upaya Diversifikasi usaha di sektor hilir melalui peningkatan margin usaha tersebut di atas (lebih dari 10%) dengan cara pateurisasi (Margin >12,5%), industri yoghurt (15%) dan produk olahan berupa keju marginnya bisa >15%. Koperasi sebagai pemasok pakan konsentrat dan sarana produksi lainnya serta penanggungjawab program diharapkan dapat menyesuaikan penetapan pasok serta menjamin mutu pakan secara baik mencakup kandungan nutrisi, kontaminasi, residu, dan bahan kimia lainnya. Peran pemerintah dapat dikurangi dan lebih ditekankan sebagai forum promosi dan fasilitator. Rambu-rambu yang ,dipergunakan harus sesuai dengan kondisi bisnis saat ini, dengan orientasi pasar dan keuntungan usaha sebagai kunci utama.
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000
Meningkatkan promosi minum susu segar melalui anak sekolah, kantor pemerintah, maupun swasta, sehingga persentase susu segar yang dipasarkan langsung akan menjadi lebih besar, disamping meningkatkan gizi masyarakat juga sekaligus menstabilkan harga susu . Manajemen effisiensi bagi optimasi produktivitas yang berkelanjutan Menekan biaya produksi yang mampu bersaing kompetetif dengan susu impor
b. Aspek pemasaran susu dan kelembagaan
" '~~Di bidang pemasaran, posisi koperasi sangat lemah. Untuk meningkatkan posisi tawar, koperasi harus memperkuat dengan meningkatkan kemampuan dibidang peralatan pengolahan susu segar, sehingga koperasi tidak hanya menjual susu segar, akan tetapi mampu menjual susu hasil olahan sendiri. " Hal yang perlu dsn mutlak dilakukan baik oleh koperasi maupun GKSI dalam mengantisipasi persaingan yang semakin ketat, khususnya terhadap kemungkinan masuknya bahan baku susu asal impor dengan harga murah, koperasi harus melakukan paling tidak dua kegiatan secara simultan, yaitu : mengurangi penjualan susu segar ke IPS bersamaan dengan meningkatkan pengolahan susu segar menjadi susu olahan yang dipasarkan langsung ke konsumen . Kegiatan ini akan dapat mengurangi ketergantungan kepada IPS sekaligus dapat meraih nilai tambah yang cukup besar. " Menjalin kemitraan dengan pengusaha besar (IPS) yang menganut kewajiban koeksistensi yang saling menghidupi secara sehat. Terfokus pada pendirian pabrik pakan, perkebunan hijauan pakan, aplikasi bioteknologi (silase, fermentasi, dan sebagainya). " Biasanya harga susu bergerak menjadi oligopoli, namun kenyataannya mejadi monopoli, misi dan visi serta praktek kerjanya koperasi harus direposisi sesuai dengan tujuan koperasi itu sendiri. " Penetapan harga susu yang berdasarkan pada kualitas (kesepakatan GKSI dan IPS) yang ditinjau setiap 6 bulan sekali perlu ditinjau/dikaji, seharusnya mengacu kepada biaya produksi (mungkin perlu digali dari bawah) " Untuk meningkatkan kapabilitas dan pengetahuan petemak sangat perlu dibentuk suatu lembaga pelatihan agribisnis sapi perah, sebagaimana yang telah dirintis oleh PT. Kepurun Pawana Indonesia di Yogyakarta, dengan sistem pola magang dan bersertifikat. " Koperasi primer harus besar-benar melaksanakan keputusan-keputusan hasil rapat anggota. Nilai suara tidak dilakukan atas dasar besarnya skala usaha yang dimiliki oleh, anggota koperasi, melainkan semua anggota memiliki hak yang sama . Pengurus koperasi dan petemak harus memiliki satu persepsi bahwa usaha sapi perah merupakan usaha dengan produksi susu sebagai core bisnisnya. __ " Pembinaan pengurus koperasi perlu difokuskan pada peningkatan kemampuan untuk melakukan prediksi kapabilitas calon clan peserta program pengembangan agribisnis sapi perah, sementara bagi peserta pembinaan perlu diarahkan pada peningkatan kemampuan alokasi sumberdaya untuk keperluan pengembangan usaha sapinya
KESIMPULAN DAN SARAN Perkembangan industri susu nasional dalam 22 tshun terakhir selalu terkait dengan peran pemerintah, dan sejak tahun 1980 pemerintah melakukan intervensi dengan melaksanakan beberapa kebijakan yang sambungmenyambung dan saling terkait, sehingga salah satu komitmen yang mewamai kebijakan pemerintah dalam Industri Susu Nasional (ISN) adalah bahwa budidaya sapi perah merupakan porsi rakyat clan pengelolaan usaha rakyat ini dilakukan melalui koperasi . Dengan demikian kebijakan pemerintah tersebut secara keseluruhan berimplikasi pada terbentuknya struktur industri susu nasional sebagaimana yang add saat ini. Kita sadari bahwa keunggulan komparatif sapi perah di Indonesia merupakan suatu asset nasional, bahkan hingga saat ini pengembangan sapi perah dapat menciptakan lapangan kerja di pedesaan, meningkatkan pendapatan petemak, clan menghemat devisa. Dilihat dari Performa ekonomi industri susu nasional, selama periode 1989- -1997 penyerapan tenaga kerja meningkat sebesar 44,57% . Peningkatan ini dalam periode yang sama dapat mendorong pertumbuhan produksi SSDN rata-rata 3,2% pertshun, sehingga dapat mensubstitusi susu impor yang sekaligus sebagai penghematan devisa terhadap impor susu .
287
TJEPPY D SOEDJANA et al. : Analisis Pengembangan Sistem Produksi Susu Nasional Melalui Peningkatan Efsiensi
Keberhasilan tersebut tentunya belum dapat dirasakan oleh peternak sebagai produsen utama dalam ISN. `ยป Peran koperasi sebagai unit pengelola ISN, nampaknya masih menjadi implikasi biaya sumberdaya yang harus4 ditanggung oleh petemak. Situasi seperti ini menyebabkan besarnya margin nilai susu antara yang diterima oleh petemak dengan yang dibayar oleh IPS hingga mencapai Rp.250,/liter (29,41%). Upaya meningkatkan insentif harga bagi petemak, pembenahannya tidak hanya didasarkan pada aspek pemasaran semata, melainkan juga kebijaksanaan harga yang diterapkan sangat mewarnai prospek pengembangannya. Kebijaksanaan harga jual susu di tingkat petemak seyogyanya mengacu kepada berbagai faktor pembentuknya seperti komponen biaya produksi, kuantitas produksi, serta kontribusi susu terhadap total penerimaan petemak, sehingga dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut diharapkan penentuan harga susu yang layak secara ekonomi finansial dapat terwujud secara cermat . . kampai saat ini penentuan harga susu didasarkan kesepakatan antara GKSI dengan IPS masih mengacu kepada kualitas standar Total Solid 11% (Jawa Barat dan Jawa Tengah) dan 11,5% (Jawa Timur) yang selalu ditinjau setiap enam bulan sekali, nampaknya belum mencerminkan nilai effisiensi . Kondisi harga yang ada masih menguntungkan pihak IPS dan bargaining position petemak yang diwakili oleh GKSI masih lemah. Walaupun demikian, mengacu kepada permintaan susu dalam negen nampaknya meningkat. Pada kelompok masyarakat yang pendapatannya meningkat sekitar 6%, permintaan susu meningkat pesat sebesar 7,1 pertahun. Kondisi ini menggambarkan bahwa susu termasuk komoditas luks dan permintaannya cukup elastis. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut di atas, maka perlunya langkah-langkah perbaikan dalam bentuk konsepsi sistem pengembangan produksi susu nasional, melalui : (1) pembenahan kebijakan aspek produksi, antara lain feed effisiensi dengan optimalisasi sumberdaya lokal, yaitu integrasi dengan perkebunan, persawahan, dan perhutani, menekan biaya produksi yang mampu bersaing kompetetif dengnan susu impor, serta manajemen effisiensi bagi optimasi produktivitas yang berkelanjutan, (2) pembenahan aspek pemasaran susu dan kelembagaan, antara lain : meningkatkan pengolahan SSDN sehingga menjadi susu siap saji sehingga mengurangi ketergantungan pemasaran susu kepada IPS, menjalin kemitraan dengan pihak swasta yang menganut koeksistensi yang saling menghidupi secara sehat, serta reposisi dan restrukturisasi lembaga koperasi sebagai unit pengelola ISN. DAFTAR PUSTAKA DuNN, WILLIAM.N . 2000 . Pengantar Analisis Kebijakan Publik, edisi Kedua. Gadjah Mada University Press.
DARYoNo, J.M., ATMADJA, dan A.B.D . MARTANEGARA. 1989. Analisa Kombinasi Usahatemak Sapi Perah Dengan Usahatani Sayuran di Kecamatan Pangalengan, Bandung. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar, Puslitbang Petemakan. Drr.JEN .NAK . 1991 . Pengalaman Tamna Tani Magang di Jepang dan Pelaksanaan Usahatani Setelah Magang . Direktorat Jenderal Petemakan.
HuTABARAT, B., Y. YusDJA, B. SAYAKA, and M. IQBAL. 1997 . Indonesian Dairy Industry facing The Challenge From Global Competetive market. Paper for Workshop at Center for Agro-Socioeconomic Research (CASER), Bogor Indonesia.
MASBuLAN, E., T.D. SOEDJANA, dan I . SAMEKO . 1999 . Perspektif Pengembangan Agribisnis Sapi Perah di Kawasan Lahan Kritis (Studi Kasus Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) . Prosiding Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. PSE, 1998 . Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian Pada Pelita VII. Ringkasan Bahan Diskusi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. PSE. 1998 . Analisis Kebijaksanaan Peningkatan Daya Saing Susu Sapi Setelah Krisis Moneter. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. PSE. 2000 . Membangaun Kemampuan Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian. Rapat Kerja Badan Litbang Pertanian, Cisarua, 7 - 9 Februari 2000 . Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian SOEDJANA, T.D ., T. S