Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan Keberadaan Pohon Inti dan Kondisi Permudaannya (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua)1 Baharinawati W.Hastanti2 BPK Manokwari Jl. Inamberi Susweni Kotak Pos 159 Manokwari Papua Barat Telp. (0986) 213437 Fax. (0986) 213441 Hp. 081344023684 Email :
[email protected] dan
[email protected]
ABSTRAK Produktivitas hutan di Papua dalam beberapa tahun terakhir ini disinyalir terus mengalami penyusutan secara kuantitas maupun kualitas. Salah satu penyebabnya adalah eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya hutan. Kondisi ini dapat dikaitkan dengan keberadaan perusahaan pemegang konsesi IUPHHK di Tanah Papua. Untuk menjamin kelestarian produksi diperlukan sistem silvikultur yang efektif dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan alam di Papua yang dilakukan perusahaan IUPHHK menerapkan sistem TPTI selama ini. Degradasi dan deforestasi hutan alam, akan mengancam kelestarian produksi akibat tidak tersedianya jumlah jenis komersial tebang yang layak untuk siklus tebang selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem silvikultur TPTI yang diterapkan oleh perusahaan pemegang IUPHHK dalam mengelola hutan sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan lestari, khususnya keberadaan pohon inti yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi TPTI di lokasi penelitian yakni areal kerja PT. Tunas Timber Lestari di Kabupaten Boven Digul Provinsi Papua dari perspektif keberadaan pohon inti masih layak dilakukan karena ketersediaan permudaan yang melimpah baik jenis komersial ditebang, komersial tidak ditebang maupun jenis lain di tingkat semai, pancang, tiang maupun pohon inti, sehingga kelestarian produksi untuk siklus tebang berikutnya masih dapat dipertahankan. Kata kunci : implementasi, sistem silvikultur, TPTI, pohon inti. I. PENDAHULUAN Produktivitas hutan alam di Indonesia dewasa ini semakin mengalami penurunan akibat penyusutan kuantitas maupun kualitas produksi. Hal ini disebabkan oleh penjarahan atau eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi lahan maupun kebakaran hutan. Kelestarian hutan ditentukan oleh pengelolaan hutan yang didasarkan atas perencanaan yang benar. Selama 3 dasawarsa terakhir telah terjadi salah kelola hutan akibat kebijakan yang tidak berpihak pada lingkungan.
---------------------------------------------------¹Disampaikan pada Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado, 23-24 Oktober 2012. ²Peneliti Muda pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
115
Untuk menjamin kelestarian hutan harus ditentukan sistem silvikultur yang tepat untuk setiap areal hutan dengan pertimbangan aspek ekologis maupun aspek ekonomis. Berdasarkan aspek ekologis diharapkan terjadinya perubahan ekosistem yang sealami mungkin. Sedangkan pertimbangan aspek ekonomis lebih berorientasi pada keuntungan dari produksi. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.11/Menhut-II/2009, sistem silvikultur adalah sistem pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu melalui proses edafis dan klimatologis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari (Departemen Kehutanan, 2009). Sistem silvikultur yang diterapkan menurut aturan Kementerian Kehutanan pada hutan tropis Indonesia atau hutan dengan tegakan tidak seumur adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Tebang Rumpang (TR). TPTI menurut Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.9/VI-BHPA/2009 bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hutan tegakan tidak seumur melalui tebang pilih dan pembinaan tegakan tinggal dalam rangka memperoleh panenan yang lestari. Pemanenan tebang pilih adalah penebangan berdasarkan limit diameter tertentu pada jenis-jenis niagawi dengan tetap memperhatikan keanekaragaman hayati setempat. Pembinaan tegakan tinggal berarti kegiatan yang dikerjakan setelah tebang pilih perapihan, pembebasan, pengayaan dan pemeliharaan. Kegiatan TPTI terdiri atas : 1) Penataan Areal Kerja (PAK), 2) Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP), 3) Pembukaan Wilayah Hutan (PWH), 4) Pemanenan, 5) Penanaman dan pemeliharaan tanaman pengayaan, 6) Pembebasan pohon binaan, dan 7) Perlindungan dan pengamanan hutan (Departemen Kehutanan, 1997). Dasar-dasar pemilihan sistem silvikultur menurut PP No 6 Tahun 2007 didasarkan pada pendekatan : 1) keanekaragaman hayati, berdasarkan tipe hutan sesuai formasi klimatis (hutan hujan tropis, hutan monsoon dan hutan gambut), 2) topografi, geografi, geologi dan tanah, 3) konservasi tanah dan air, 4) teknologi, dan 5) tujuan pengelolaan hutan (Departemen Kehutanan, 2007). Sementara itu Papua sebagai benteng terakhir bagi keberlangsungan hutan alam tropika di Indonesia juga mengalami kerusakan pada satu dasawarsa terakhir ini. Laju kerusakan hutan di Papua sejak tahun 2005 sampai 2009 mengalami peningkatan sampai seluas 1.017.841 hektar atau sekitar 254.460 hektar setiap tahunnya. Walaupun kerusakan hutan di Papua dipicu berbagai macam sebab, seperti eksploitasi hutan yang berlebihan dan alih fungsi lahan. Namun kerusakan hutan di Papua juga tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan konsesi hutan melalui IUPHHK yang mencapai 20 perusahaan (Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2010). Selama ini perusahaan IUPHHK di Papua, sesuai dengan tipe hutannya dalam formasi klimatis (hutan hujan tropis), sistem silvikultur yang diterapkan adalah TPTI dengan permudaan alam karena hutan yang dikelola merupakan hutan alam. Bila dihubungkan dengan keberadaan hutan Papua yang terus mengalami degradasi dan deforestasi dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini dan dikawatirkan akan mengancam kelestarian produksi, akibat kurangnya ketersediaan jenis komersial tebang untuk siklus tebang berikutnya. Hal ini kemungkinan karena penerapan sistem silvikultur yang tidak efektif atau tidak sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Penerapan sistem silvikultur yang menyimpang dari kebijakan yang ada menyebabkan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh para pemegang IUPHHK jauh dari tujuan pengelolaan hutan
116
lestari. Hal ini akan mengakibatkan semakin menyusutnya produktivitas hutan sehingga mengganggu siklus tebang berikutnya dan kelestarian ekosistem hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji implementasi sistem silvikultur TPTI yang dilakukan oleh perusahaan pemegang konsesi IUPHHK ditinjau dari keberadaan pohon inti dan kondisi permudaan baik di areal hutan alam maupun areal bekas tebangan. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di areal kerja IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari di Kabupaten Boven Digul, Provinsi Papua. B. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif . Penelitian dilakukan melalui pengumpulan data lapangan baik data primer maupun data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pembuatan plot dengan sistem jalur pada hutan primer dan areal bekas tebangan untuk mengetahui jumlah pohon inti jenis komersial tebang dan keadaan sistem permudaan untuk menentukan tindakan silvikultur yang sesuai dan wawancara terhadap narasumber yang terlibat dalam kegiatan teknis kehutanan sesuai tugas pokoknya pada struktur organisasi perusahaan IUPHHK yang diteliti. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan berupa RKT, RKL yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Secara garis besar metodologi penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : Melakukan pengamatan dengan pembuatan plot dengan sistem jalur (line plot sampling) pada areal bekas tebangan dan hutan primer untuk mengetahui keadaan permudaan dan pemeliharaannya sehingga terjamin kelestarian hasil pada siklus penebangan mendatang. Penelitian dilakukan terhadap semua tingkat permudaan, yaitu tingkat semai, pancang, tiang dan pohon untuk semua jenis, baik jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang maupun jenis lain. Pada Lokasi PT. Tunas Timber Lestari (TTL) di Kabupaten Boven Digul, Petak contoh dibuat pada hutan primer, areal bekas tebangan umur 1 (satu tahun) dan areal bekas tebangan umur 5 (lima) tahun . Luas areal kerja yang digunakan masing-masing tempat adalah 15 ha (500 m x 300 m). Pada petak contoh tersebut dibuat 2 jalur. Peletakan jalur pertama adalah sejauh 500 meter dari tepi petak contoh dengan jarak antar jalur 200 m. Pada tiap-tiap jalur dibuat plot-plot pengamatan untuk risalah pohon secara garis berpetak dengan ukuran 20 m x 50 m dan jarak antar plot 50 m. Dalam plot-plot pengamatan yang berukuran 20 m x 50 m dibuat petak-petak pengamatan untuk tingkat tiang, pancang dan semai secara nested sampling, sehingga intensitas penarikan contoh untuk tingkat pohon dan permudaannya 5% untuk tingkat pohon, 2,5% untuk tingkat tiang, 1,25% untuk tingkat pancang dan 0,5% untuk tingkat semai. Berdasarkan luas plot yang digunakan dalam penelitian ini maka kriteria yang digunakan dalam penelitian ini cukup tidaknya permudaan dan pohon adalah sebagai berikut (Wyatt dan Smith dalam Indrawan, 2002 ) :
117
1. 2. 3.
Untuk tingkat semai terdapat paling sedikit 40% stocking permudaan dari jenis-jenis komersial atau 1000 petak ukur per hektar yang berisi minimal 1 semai jenis komersial ditebang. Untuk tingkat pancang terdapat paling sedikit 60% stocking permudaan atau 240 petak ukur per hektar yang berisi minimal 1 pancang dari jenis-jenis komersial ditebang. Untuk tingkat tiang terdapat paling sedikit 75% stocking permudaan atau 60 petak ukur per hektar yang berisi minimal satu tiang dari jenis-jenis komersial yang ditebang.
Untuk tingkat pohon terdapat 100% stocking permudaan atau 25 petak ukur per hektar yang berisi minimal 1 pohon dari jenis-jenis komersial yang ditebang. III. PEMBAHASAN A. Komposisi Jenis 1. Hutan Primer Komposisi jenis pada hutan primer di lokasi penelitian PT. Tunas Timber Lestari di areal hutan primer pada tingkat semai adalah 21 jenis, tingkat pancang 10 jenis, tiang sebanyak 25 jenis dan pohon sebanyak 34 jenis. Canarium sp dan Vatica sp mendominasi tingkat semai dengan INP 35% dan 16%. Jenis Sizygium sp dan Myristica sp, mendominasi tingkat pancang dengan INP masingmasing 51% dan 22%. Sedangkan pada tingkat tiang yang mendominasi adalah jenis Sizygium sp dan Myristica sp dengan INP 43% dan 19%. Pada tingkat pohon jenis yang dominan adalah Sizygium sp dan Vatica sp dengan INP masing-masing 42% dan 12%. 2. Areal Bekas Tebangan Umur 1 Tahun Pada petak pengamatan di areal bekas tebangan tahun 2010, ditemukan jumlah jenis pada tingkat semai adalah 17 jenis, tingkat pancang 9 jenis, tiang sebanyak 21 jenis dan pohon sebanyak 33 jenis. Hopea sp dan Vatica sp mendominasi tingkat semai dengan INP 20% dan 18%. Jenis Canarium sp dan Sizygium sp mendominasi tingkat pancang dengan INP masing-masing 21% dan 18%. Sedangkan pada tingkat tiang yang mendominasi adalah jenis Myristica sp dan Sizygium sp dengan INP 31% dan 29%. Pada tingkat pohon jenis yang dominan adalah Vatica sp dan Sizygium sp dengan INP masing-masing 22% dan 21%. 3. Areal Bekas Tebangan Umur 5 Tahun Pada petak pengamatan di areal bekas tebangan tahun 2006, ditemukan jumlah jenis di tingkat semai sebanyak 19 jenis, tingkat pancang 11 jenis, tingkat tiang sejumlah 23 jenis dan pohon 34 jenis. Pada tingkat semai didominasi jenis Hopea sp dan Vatica sp dengan INP masing-masing 21% dan 18%. Jenis Sizygium sp dan Myristica sp mendominasi tingkat pancang dengan INP masing-masing 51% dan 16%. Sedang pada tingkat tiang yang mendominasi adalah jenis Sizygium sp dan Myristica sp dengan INP masing-masing 52% dan 24%. Tingkat pohon didominasi oleh jenis Sizygium sp dan Vatica sp dengan INP 41% dan 18%.
118
B. Jumlah Pohon Inti Jumlah pohon inti untuk masing-masing kelas diameter pada hutan primer, areal bekas tebangan umur 1 tahun dan areal bekas tebangan umur 3 tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5 Jumlah Pohon Inti per hektar pada Hutan Primer dan Areal Bekas Tebangan di PT. TTL Blok Klas Diameter (cm) KD KTD K JL Hutan Primer
20 – 35 36 – 65 ≥ 65
37 32 40
14 12 13
51 44 53
11 9 9
109
37
146
29
20 – 35 36 – 65 ≥ 65
17 21 44
8 12 6
25 33 50
9 7 2
20 – 35 36 – 65 ≥ 65
81 27 24 26
26 11 10 8
107 38 34 34
18 12 4 2
87
29
116
21
Jumlah Areal Bekas Tebangan Umur 1 Tahun Jumlah Areal Bekas Tebangan Umur 3 Tahun Jumlah
Keterangan : KD : Jenis Komersial Ditebang, KTD : Jenis Komersial yang Tidak Ditebang, K = KD+KTD, JL : Jenis Lain
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah pohon inti jenis komersial yang ditebang (Intsia sp, Hopea sp, Pometia sp, Vatica sp dan lain-lain) berdiameter antara 20 cm ke atas berjumlah 109 pohon/hektar. Sedangkan pada areal bekas tebangan umur 1 tahun jenis komersial yang ditebang dengan diameter 20 cm ke atas sejumlah 81 pohon/hektar. Pada areal bekas tebangan umur 5 tahun jumlah pohon inti jenis komersial yang ditebang 87 pohon/hektar. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan dan tidak boleh ditebang adalah 25 pohon/hektar dengan diameter 20 – 49 cm. Bila jenis komersial ditebang (KD) jumlah pohon inti berdiameter 20 – 49 cm yang tersedia kurang dari 25 pohon/hektar dapat diambilkan dari jenis komersial yang tidak ditebang yang berdiameter 50 cm ke atas (Dirjen Pengusahaan, 1989). Berdasarkan persyaratan TPTI diatas, maka baik hutan primer maupun areal bekas tebangan memenuhi persyaratan seperti yang digariskan pada TPTI. Gambaran jumlah pohon inti jenis-jenis komersial ditebang, jenis-jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain dapat dilihat pada grafik di bawah ini :
119
Grafik 2. Jumlah Pohon Inti di PT. TTL 160 140 120 100 80
KD
60
KTD K
40
JL
20 0
Keterangan : KD : Jenis Komersial Ditebang, KTD : Jenis Komersial yang Tidak Ditebang, K = KD+KTD, JL : Jenis Lain
Grafik diatas menggambarkan perubahan dari jumlah pohon inti pada hutan primer, areal bekas tebangan umur 1 tahun dan areal bekas tebangan umur 5 tahun. Perubahan di atas menunjukkan bahwa perkembangan jumlah pohon inti pada areal bekas tebangan umur 1 tahun akan mengalami perkembangan yang sama dengan areal bekas tebangan umur 5 tahun nantinya apabila umur tebangan mencapai 5 tahun mengikuti suatu siklus. C. Keadaan Permudaan 1. Hutan Primer Kondisi permudaan pada hutan primer di petak pengamatan dapat dilihat dengan melihat kerapatan dan penyebaran jenis-jenis pada tabel di bawah ini :
120
Tabel 6. Jumlah Individu per hektar dan Penyebarannya pada Tingkat Semai, Pancang, Tiang dan Pohon pada Hutan Primer di PT. TTL Kelompok Jenis
Tingkat Permudaan Semai
Pancang
Tiang
Pohon
KD
K F
9546 0,93
1756 0,89
213 0,85
109 0,81
KTD
K F
4352 0,91
1123 0,87
145 0,84
37 0,78
K
K F
13898 0,92
2879 0,88
358 0,84
146 0,84
JL
K F
6743 0,91
1105 0,86
113 0,85
29 0,81
Keterangan : KD : Jenis Komersial Ditebang, KTD : Jenis Komersial yang Tidak Ditebang, K = KD+KTD, JL : Jenis Lain, K : Kerapatan, F : Frekuensi (Penyebaran)
Pada tabel diatas ditunjukkan bahwa pada jenis komersial ditebang kerapatannya mencapai 9546 individu/hektar dengan penyebarannya mencapai 93% pada tingkat semai, pada tingkat pancang jumlah individu per hektar adalah 1756 dengan frekuensi atau penyebaran mencapai 0,89 atau 89%, penyebaran pada tingkat tiang mencapai 85% dengan kerapatan 213 individu/hektar, sedangkan pada tingkat pohon kerapatannya mencapai 109 pohon/hektar dengan frekuensi penyebaran 94%. Berdasarkan kriteria Wyatt dan Smith (1963), baik jenis komersial ditebang maupun jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain dapat memenuhi kriteria persyaratan tersebut baik pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. 2. Areal Bekas Tebangan Umur 1 Tahun Kondisi permudaan pada areal bekas tebangan tahun 2010 pada petak pengamatan dapat dilihat pada kerapatan individu per hektar dan penyebarannya pada tingkat semai, pancang, tiang sampai pohon pada jenis-jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain. Tabel di bawah ini menunjukkan keadaan permudaan di petak pengamatan PT. TTL :
121
Tabel 7. Jumlah Individu per hektar dan Penyebarannya pada Tingkat Semai, Pancang, Tiang dan Pohon pada Areal Bekas Tebangan Umur 1 Tahun di PT. TTL Tingkat Permudaan Kelompok Jenis Semai Pancang Tiang Pohon KD KTD K JL
K F K F K F
9986 0,95 7856 0,97 17842 0,96
1786 0,89 1112 0,78 2898 0,75
186 0,75 95 0,67 271 0,74
81 0,78 26 0,88 107 0,82
K F
8865 0,95
1056 0,81
67 0,75
18 0,84
Keterangan : KD : Jenis Komersial Ditebang, KTD : Jenis Komersial yang Tidak Ditebang, K = KD+KTD, JL : Jenis Lain, K : Kerapatan, F : Frekuensi (Penyebaran)
Tabel diatas menunjukkan kerapatan individu untuk jenis komersial ditebang pada tingkat semai sejumlah 9986 individu/hektar dengan penyebaran 95%, pada tingkat pancang kerapatannya 1786 individu/hektar dengan penyebaran mencapai 89 %, pada tingkat tiang kerapannya 186 individu/hektar dengan penyebaran 75% dan pohon kerapatannya 81 pohon/hektar dengan penyebaran 78%. Berdasarkan kriteria yang disyaratkan oleh Wyatt dan Smith (1963), baik jenis komersial ditebang maupun jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain pada tingkat semai, pancang tiang dan pohon dapat memenuhi persyaratan yang dtetapkan. 3. Areal Bekas Tebangan Umur 5 Tahun Kondisi permudaan pada areal bekas tebangan tahun 2006 di lokasi petak pengamatan PT. Tunas Timber Lestari pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon untuk jenis-jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 8. Jumlah Individu per hektar dan Penyebarannya pada Tingkat Semai, Pancang, Tiang dan Pohon pada Areal Bekas Tebangan Umur 5 Tahun di PT. TTL Tingkat Permudaan Kelompok Jenis Semai Pancang Tiang Pohon KD
K F
9997 0,93
1643 0,88
223 0,85
87 0,89
KTD
K F
5875 0,95
1332 0,87
111 0,88
29 0,91
K
K F
15872 0,94
2975 0,87
334 0,86
116 0,90
JL
K F
4987 0,93
1013 0,86
129 0,85
21 0,91
Keterangan : KD : Jenis Komersial Ditebang, KTD : Jenis Komersial yang Tidak Ditebang, K = KD+KTD, JL : Jenis Lain, K : Kerapatan, F : Frekuensi (Penyebaran)
122
Tabel diatas menunjukkan kerapatan individu untuk jenis komersial ditebang pada tingkat semai sejumlah 9997 individu/hektar dengan penyebaran 93%, pada tingkat pancang kerapatannya 1643 individu/hektar dengan penyebaran mencapai 88 %, pada tingkat tiang kerapatannya 223 individu/hektar dengan penyebaran 85% dan pohon kerapatannya 87 pohon/hektar dengan penyebaran 89%. Berdasarkan kriteria yang disyaratkan oleh Wyatt dan Smith (1963), baik jenis komersial ditebang maupun jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain pada tingkat semai, pancang tiang dan pohon dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Berdasarkan uraian diatas, jumlah pohon inti dan kondisi permudaan alam di petak-petak pengamatan pada lokasi penelitian PT. Tunas Timber Lestari di Kabupaten Boven Digul Provinsi Papua menunjukkan keadaan yang layak dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Tebang Tanam Pilih Indonesia (TPTI) 2. Jumlah pohon inti yang cukup dan kondisi permudaan pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon dari kelompok jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang dan jenis lain di petak-petak pengamatan pada areal bekas tebangan menunjukkan kondisi yang memenuhi dan baik. B.
Saran Penerapan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan pembebasan permudaan alam dari tumbuhan pengganggu baik, baik pembebasan vertikal maupun pembebasan horizontal akan dapat menghasilkan tegakan lestari di hutan produksi baik jenis komersial ditebang, jenis komersial tidak ditebang maupun jenis lain. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan,1997. Sistem Tebang Tanam Indonesia Intensif. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hutan Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.11/Menhut-II/2009. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007. Departemen Kehutanan. Jakarta. Dinas Kehutanan Provinsi Papua. Laporan Tahunan 2010. Tidak Diterbitkan. Jayapura. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1989. Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Indrawan, Andri. 2002. Penerapan Sistem Silvikultur TPTI pada Hutan Dipterocarpace di HPH PT Hugurya Aceh. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol VIII No 2 75-78 (2002). Wyatt-Smith, J. 1963. Manual of Malayan Silvicultur Part I-II. Malayan Forest Record No 23. Forest Research Institute of Malay. Kepong, Malaysia.
123
124