BAHAN AJAR HUKUM KENEGARAAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN (HKU 306-4 SKS)
Mata kuliah Hukum Kenegaraan dan Perundang-Undangan terdiri dari dua aspek yaitu pertama, Hukum Kenegaraan yang membicarakan proses sistem politik dalam suatu negara dan yang kedua, membicarakan tentang proses pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu dari membentuk, mengundangkan serta berlakunya peraturan perundang-undangan. Kedua aspek tersebut saling berkaitan, oleh karena dalam sistem politik kenegaraan, konfigurasi sistem politik tertentu akan menjadi warna dari produk peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itu maka efektifnya suatu peraturan perundang-undangan juga sangat dipengaruhi oleh konfigurasi sistem politik yang berlaku pula.
A. Hukum Kenegaraan 1. Pengertian Sistem Politik Hukum
Kenegaraan
adalah
membicarakan
sistem
politik
kenegaraan. Sistem politik merupakan gabungan dua kata yaitu "sistem" dan "politik". Pengertian sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang terbentuk dari beberapa unsur (elemen). Unsur, komponen, atau bagian yang banyak ini satu sama lain berada dalam satu keterikatan yang kait mengkait dan fungsional. Masing-masing kohesif satu sama lain, sehingga
ketotalitasan
unit
terjaga
utuh
eksistensinya
(Rusadi
Kantaprawira, 1983 :7). Sedangkan kata politik berasal dari kata polls ( negara kota), yang kemudian berkembang menjadi kata dan pengertian dalam berbagai bahasa, antara lain bahasa Inggris seperti polity, politic, politics, political, politician, police, dan policy. Dalam buku Politics karangan Aristoteles dikatakan : pengamatan pertama-tama menunjukkan kepada kita bahwa setiap polis atau negara tidak lain ialah semacam asosiasi. Setiap kali kita berhadapan dengan politik kita menemukan adanya suatu hubungan khusus antara manusia
yang hidup bersama; hubungan ini diberi berbagai sebutan seperti "aturan" (rule), "kewenangan" (authority), atau "kekuasaan" (power) (Rusadi Kantaprawira, 1983 : 11). Setelah melalui analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa Sistem politik tidak lain ialah mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik dalam hubungannya satu sama lain yang menunjukkan suatu proses yang langgeng (Rusadi Kantaprawira, 1983 : 12) Dalam pengertian proses mengandung dimensi waktu yaitu waktu lampau, waktu kini dan waktu mendatang. Struktur mempunyai pengertian semua aktifitas yang dapat diobservasi atau diidentifikasi dapat menentukan sistem itu sendiri.
2. Ciri-ciri Sistem Politik Almond dalam buku The Politics of Developing Areas mengatakan empat ciri sistem politik yaitu : a. Semua sistem politik termasuk yang paling sederhana mempunyai kebudayaan politik. Dalam pengertian bahwa masyarakat yang paling sederhanapun mempunyai type struktur politik yang terdapat dalam masyarakat yang paling komplek sekalipun. Type-type tersebut dapat diperbandingkan satu sama lain sesuai dengan tingkatan dan bentuk pembidangan kerja yang teratur. b. Semua sistem politik menjalankan fungsi-fungsi yang sama walaupun tingkatannya berbeda-beda yang ditimbulkan karena perbedaan struktur. Hal ini dapat diperbandingkan yaitu bagaimana fungsi-fungsi itu,
sering
dilaksanakan
atau
tidak
dan
bagaimana
gaya
pelaksanannya. c. Semua struktur politik biar bagaimanapun juga di spesialisasikannya baik pada masyarakat yang primitif maupun pada masyarakat modern melaksanakan banyak fungsi. Oleh karena itu sistem politik dapat membandingkannya sesuai dengan kekhususan tugas. d. Semua sistem poltik adalah sistem campuran dalam pengertian kebudayaan
yang
semuanya
modern
atau
semuanya
primitif,
melainkan dalam pengertian tradisional, semuanya adalah campuran antar unsur modern dan tradisional (Sukarna, 1976 : 17-18)
3. Fungsi Sistem Politik Almond
dalam
bukunya
The Politics of the
Developing
Areas, sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Haryanto dikatakan fungsi sistem politik meliputi fungsi-fungsi input dan output (Haryanto, 1982 : 35). a. Fungsi-fungsi input terdiri atas : 1) Sosialisasi politik dan rekrutmen 2) Artikulasi kepentingan 3) Agregasi kepentingan 4) Komunikasi politik b. Fungsi-fungsi output terdiri atas : 1) Pembuatan peraturan. 2) Penerapan peraturan. 3) Ajudikasi peraturan.
Adapun yang dimaksud dengan fungsi-fungsi Input dan Output tersebut yaitu : Sosialisasi politik maksudnya adalah merupakan suatu proses untuk memasyarakatkan nilai-nilai politik kepada masyarakat. Rekrutmen politik diartikan sebagai penseleksian individu-individu yang berbakat untuk dapat menduduki jabatan politik maupun jabatan pemerintahan. Artikulasi kepentingan dimaksudkan mengemukakan kepentingan-kepentingan kepada badan-badan politik atau pemerintah yang
berwenang
untuk
membuat
kebijakan-kebijakan.
Agregasi
kepentingan adalah fungsi menampung dan merumuskan kepentingankepentingan atau tuntutan-tuntutan. Komunikasi politik, pada hakekatnya menggambarkan proses penyampaian informasi-informasi politik. Fungsifungsi output, pembuatan peraturan disebut rule making, penerapan peraturan disebut rule aplication dan ajudikasi peraturan disebut rule adjudication.
4. Hubungan Sistem Politik dengan Sistem-Sistem lainnya. Sistem politik mempunyai hubungan dengan lingkungan atau sistem-sistem lainnya yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena
dipengaruhi oleh sistem-sistem lainnya maka sistem politik adalah merupakan proses. Adapun dalam pelaksanaannya sistem politik itu pelaksanannya dipengaruhi sistem sejarah, sistem sosial, sistem agama/kepercayaan maupun sistem filsafat.
5. Pemerintahan Demokrasi dan Pemerintahan Non Demokrasi. a. Pemerintahan demokrasi. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan. Selama ini hampir masing-masing negara menganggapnya sistem pemerintahan demokrasi adalah yang baik. Namun dalam implementasinya demokrasi itu sendiri merupakan suatu hal yang tidak mudah, bahkan selalu menimbulkan masalah yang tidak pernah terselesaikan. Abraham
Lincoln
mengatakan
bahwa
demokrasi
itu
ialah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (democracy is government from the people, by the people, and for the people). Sedangkan Hertz mengatakan tentang demokrasi adalah semacam pemerintahan dimana tidak ada seorang anggota masyarakat atau kelompokn pun yang mempunyai hak prerogatif politik (hak yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun juga) atas orang lain. Jadi pemerintahan yang dilakukan oleh semua untuk semua sebagai penentangan
terhadap
kepentingan
perorangan
atau
kepentingan
kelompok yang terpisah (Democracy is a form of government in which no one member, has political prerogative over any other. Government is thus the rule of all over all in the common, as opposed to the individual or separate group interest) (Sukarna, 1981 : 37 - 39). Henry B. Mayo dalam buku Intoduction to Democratic Theory yang dikutip dalam bukunya Miriam Budiarjo memberikan definisi Sistem Politik yang demokratis ialah kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihanpemilihan berkala dan diselenggarakan dalam suasana terjaminya kebebasan politik (Miriam Budiarjo, 1977 : 61). Selanjutnya dikatakan oleh Henry B. Mayo bahwa demokrasi didasari oleh beberapa nilai (values): 1)
Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga.
2)
Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah.
3)
Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur.
4)
Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum.
5)
Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman.
6)
Menjamin tegaknya keadilan.
Menurut Merkl dalam bukunya Sukarna, menunjukkan suatu kondisi yang baik untuk tumbuhnya demokrasi, ialah sebagai berikut: 1)
Kesadaran individu akan hak-hak dan kebebasan dirinya dan hakhak serta kebebasan orang lain.
2)
Sikap kerjasama.
3)
Kemampuan untuk mengemukakan alasan dan kompromi.
4)
Suatu standar hidup yang stabil.
5)
Persamaan kesempatan dalam bidang ekonomi dan sosial yang wajar.
6)
Sikap kedewasaan yang ditunjukkan karena pengalaman.
7)
Suatu masyarakat beraneka ragam tetapi bebas (Sukarna, 1979 : 44). Yang menjadi permasalahan, apakah Indonesia sebagai negara
demokrasi sudah siap dalam kondisi yang dikemukakan Merkl. Sudah barang tentu Indonesai untuk sampai kondisi yang dianggap ideal oleh Merkl, masih memerlukan waktu yang cukup panjang. Ditinjau dari segi pelaksanannya, demokrasi dibedakan dua macam yaitu : 1)
Demokrasi langsung, yaitu suatu sistem politik yang memberikan hak kepada rakyat secara langsung untuk ikut serta melakukan kegiatankegiatan kenegaraan di bidang politik. Sebagai perkembangan demokrasi, Indonesia sebagai perwujudan demokrasi langsung misalnya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan Lurah / Kepala Desa dan wacana untuk pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
2)
Demokrasi tidak langsung atau disebut demokrasi dengan sistem perwkilan, adalah suatu sistem politik yang memberikan hak kepada
rakyat melalui wakil-wakilnya yang menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat, untuk ikut serta melakukan kegiatan-kegiatan di bidang politik. Adapun dasar keanggotaan yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat dapat beragam yaitu : a) turun temurun b) ditunjuk c) diangkat d) dipilih e) campuran (dipilih dan diangkat) dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah berlaku beberapa macam demokrasi yaitu : 1)
Demokrasi Liberal Demokrasi liberal dikenal sebagai demokrasi-parlementer oleh karena berlangsung
dalam
sistem
pemerintahan parlementer.
Demokrasi liberal pada prinsipnya menghendaki atas segala kebebasan disegala kehidupan. 2) Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin berlangsung sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai Tahun 1968, digunakan Demokrasi Pancasila. 3) Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila berlangsung sampai sekarang.
b. Pemerintahan Non Demokrasi. Pemerintahan non demokrasi, bisa berupa pemerintahan absolut, totaliter, otoriter atau kediktatoran. Absolut adalah pemerintahan yang tak terbatas atau mutlak. Totaliter adalah negara sebagai segala-galanya untuk kepentingan negara. Otoriter mempunyai pengertian kekuasaan sendiri atau sewenang-wenang. Sedangkan kediktatoran mempunyai pengertian
bahwa
pemerintahan
mempunyai
kekuasaan
mutlak,
terutama diperoleh melalui kekerasan atau dengan cara yang tidak demokratis. Huszar dan Stevenson memberikan pengertian tentang kediktatoran adalah pemerintahan yang tidak terbatas dan tidak bertanggung jawab terhadap rakyat. Penentuan . kebijakan dan pelaksanaannya dilakukan oleh orang atau orang-orang yang sama.
Perbedaan Pemerintahan dengan sistem demokrasi dengan sistem kediktatoran dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pemerintahan Demokrasi. a) Adanya
distribution
of power atau
divition
of power yaitu
legislatif, eksekutif dan yudikatif. b) Open managemen yaitu, adanya social participation,
social
responsibility, social support dan social control. c) Rule of law, yaitu adanya supremacy of law, equality before the law. d) Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia. e) Terdapatnya partai politik lebih dari satu.
2) Pemerintahan Kediktatoran. a) Adanya centralization of power, dimana kekuasaan
legislatif,
eksekutif dan judikatif berada pada satu tangan. b) Close management, yaitu non social participation, non social responsibility, non social support dan non social control. c) Rule of man / power, yaitu terdapatnya supremacy of man / power, dan in equality before the law. d) Tidak adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia. e) Tidak terdapat partai politik, walaupun ada hanya satu partai politik.
6. Supra Struktur Politik dan Infra Struktur Politik. a. Supra Struktur Politik. Yang dimaksud dengan supra struktur politik adalah segala sesuatu
yang
perlengakapan
bersangkutan negara
dengan
termasuk
apa
segala
yang hal
disebut
yang
alat-alat
berhubungan
dengannya (Sri Sumantri, 1981 : 39) Dengan demikian hal-hal yang termasuk dalam supra struktural politik
ini
adalah
mengenai
kedudukannya,
kekuasaan
dan
wewenangnya, tugasnya, pembentukannya, serta hubungan antara alatalat perlengkapan itu satu sama lain. Pada umumnya, supra struktur politik diatur dalam konstitusi atau
Undang-Undang Dasar suatu negara. Yang termasuk supra struktur politik yang diatur dalam konstitusi atau Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu :
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2) Presiden dan Wakil Presiden. 3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 6) Mahkamah Agung (MA) 7) Mahkamah Konstitusi (MK) Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur fungsi / tugas masing-masing lembaga negara yaitu : ad 1) Majelis Permusyawaratan Rakyat a) Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat(1)) b) Melantik Presiden dan / atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat (2)) c) Memberhentikan Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar ( Pasal 3 ayat(3))
ad 2) Presiden dan Wakil Presiden. a) Presiden sebagai Kepala Negara (Pasal 10, 11, 12, 13, 14 dan 15) b) Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (Pasal 4 ayat (1))
ad 3) Dewan Perwakilan Rakyat. a) Fungsi legislasi (Pasal 20A ayat (1)) b) Fungsi Anggaran (Pasal 20A ayat (2)) c) Fungsi Pengawasan Pasal 20A ayat (3))
ad 4) Dewan Perwakilan Daerah. a) Mengajukan kepada Dewan Perwakilan rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan Pusat dan daerah (Pasal 22D ayat (1)). b) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22D ayat (2)). c) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan pembentukan,
undang-undang pemekaran,
mengenai; dan
otonomi
daerah,
penggabungan
daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan,
dan
agama
serta
menyampaikan
hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. (Pasal 22D ayat (3)).
ad 5) Badan Pemeriksa Keuangan Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara (Pasal 23E ayat (1))
ad 6) Mahkamah Agung Mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undangundang (Pasal 24 A ayat (1))
ad 7) Mahkamah Konstitusi. a) Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (Pasal 24C ayat (1)). b) Wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan / atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar ( Pasal 24C ayat (2))
Dalam sistem pemerintahan negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memuat sistem Presidensiel yang tidak murni atau campuran. Hal ini terbukti dalam ketentuan Pasal 7A yang mengatakan : Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden. Berdasarkan
ketentuan
tersebut
jelaslah
merupakan
unsur
Parlementer. Adapun ciri-ciri pokok sistem Presidensiel yaitu : 1) Presiden disamping sebagai
Kepala Negara juga berkedudukan
sebagai Kepala Pemerintahan; 2) Presiden mempunyai masa jabatan yang sudah ditentukan. 3) Pemerintahan dipegang oleh suatu pemerintahan yang tunggal.
Apabila
dibandingkan
dengan
sistem
Parlementer,
sistem
Parlementer mempunyai ciri-ciri pokok yaitu : 1) Presiden sebagai Kepala Negara 2) Pemerintah tergantung mosi atau kepercayaan Badan Perwakilan Rakyat. 3) Pemerintahan dipegang oleh suatu pemerintahan yang kolegal.
b. Infra Struktur Politik Yang dimaksud dengan Infra Struktur Politik adalah segala sesuatu
yang
berhubungan
dengan
kehidupan
lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang dalam aktivitasnya dapat mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada lembaga-lembaga kenegaraan dalam menjalankan fungsinya masing-masing (S. Toto Pandoyo, 1981 : 17). Infra Struktur Politik terdiri atas lima komponen atau unsuryaitu : 1) partai politik (political party); 2) golongan kepentingan (interest group); 3) golongan penekan (pressure group); 4) alat komunikasi politik (media political communication); dan 5) tokoh politik (political figure).
ad 1) Banyak definisi tentang partai politik, seperti yang dikemukakan Carl J. Friedrich; R.H. Soltau, Sigmund Neumann dan lain-lain, namun secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaaan politik dan merebut kedudukan politik biasanya dengan cara konstitusional, untuk melaksanakan kebijakankebijakan mereka (Miriam Budiardjo, 1977 : 160-161). Sesuai ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik, Partai Politik berfungsi sebagai sarana: a) pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. b) penciptaan iklim yang kondusif dan program konkrit serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk mensejahterakan masyarakat. c) penyerap,
penghimpun,
dan
penyalur
aspirasi
politik
masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan
menetapkan kebijakan negara. d) partisipasi politik warga negara, dan e) rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme
demokrasi
dengan
memperhatikan
kesetaraan gender. Klasifikasi partai politik dapat ditinjau dari berbagai cara yaitu : a) segi komposisi dan fungsi keanggotaannya, dapat dibedakan dua jenis yaitu partai masa dan partai kader. Partai masa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Sedangkan partai kader mementingkan ketetatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. b) segi sifat dan orientasi, dapat dibedakan dua jenis yaitu partai lindungan dan partai ideologi. Partai lindungan umumnya memiliki organisasi yang kendor (sekalipun organisasinya di tingkat lokal sering cukup ketat). Sedangkan partai ideologi biasanya mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijakan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat (Miriam Budiarjo, 1977 : 166167). Sedangkan kalau ditinjau dari jumlahnya Maurice Duverger membedakan : 1) sistem partai tunggal; 2) sistem dwi partai; dan 3) sistem multi partai.
ad 2) Golongan Kepentingan (Interest Group) Golongan kepentingan adalah sekelompok manusia yang bersatu atau mengadakan persatuan karena adanya kepentingan tertentu baik merupakan kepentingan umum atau masyarakat luas, maupun kepentingan kelompok tertentu. Perwujudan golongan kepentingan dapat dibedakan dalam bentuk-bentuk: a) Interes grup asosiasi. Dibentuk
dengan
maksud
untuk
memperjuangkan
kepentingan-kepentingan tertentu dari masyarakat atau dari
golongan namun masih mencakup kepada beberapa bidang yang luas.
b) Interes grup intitusional. Kelompok ini biasanya terdiri atas berbagai kelompok manusia yang berasal dari lembaga yang ada, dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan orang-orang yang menjadi anggota lembaga tersebut.
c) Interes grup non asosiasi. Kelompok ini tidak didirikan secara khusus, dan kegiatannya juga
tidak
dijalankan
secara
teratur
berkesinambungan.
Aktivitasnya hanya terlihat apabila kepentingan masyarakat memerlukan.
d) Interes grup yang anomik. Kelompok ini dapat ada secara mendadak (spontan) dan tidak bernama.
Aktivitasnya
pada
umumnya
berupa
aksi-aksi
demonstrasi, aksi-aksi bersama.
ad 3) Golongan Penekan (Pressure Group) Golongan penekan ialah sekelompok manusia yang tergabung menjadi anggota sesuatu lembaga kemasyarakatan dengan aktivitas yang tampak keluar sebagai golongan yang sering mempunyai kemauan untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak penguasa.
ad 4) Alat Komunikasi Politik (Media Political Communication), Alat komunikasi politik adalah alat komunikasi yang dapat mendukung terciptanya suasana politik rakyat. Alat komunikasi yang dimaksud adalah misalnya media cetak, elektronik dan sebagainya yang berfungsi sebagai alat penyebar luasan konsepkonsep, doktrin-doktrin, ideologi-ideologi politik.
ad 5) Tokoh-Politik (Political Figure). Tokoh-tokoh politik sangat berperan dalam mempengaruhi kehidupan politik, terutama dalam suatu negara yang masih bersifat paternalistis seperti Indonesia (toto Pandoyo, 1981 : 1727).
Didalam suatu negara demokrasi, antara supra struktur politik dan infra struktur politik terdapat hubungan timbal balik, yaitu supra struktur politik dapat mengatur segala sesuatu yang bersangkutan dengan infra struktur politik, sedangkan infra struktur politik dapat mempengaruhi supra struktur politik dalam menjalankan fungsinya masing-masing.
7. Prinsip-prinsip Negara Demokrasi.
Demokrasi sebagai suatu sistem, mengandung prinsip-prinsip, dimana satu dengan yang lain saling berkaitan sebagai suatu sistem. Oleh karena itu prinsip-prinsip itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain hanya
dapat
dibedakan.
Pembedaan
itu
penting
karena
dalam
penerapannya sistem demokrasi yang berlaku dalam suatu negara akan berbeda dari negara yang satu dengan negara lainnya. Dengan demikian meskipun ada persamaan prinsip, tetapi tetap ada perbedaannya karena dipengaruhi lingkungan dan sistem-sistem lainnya. Adapun prinsip-prinsip demokrasi tersebut yaitu : a. Pembagian Kekuasaan. Pemisahan atau pembagian kekuasaan merupakan salah satu prinsip dalam sistem demokrasi yang bertujuan untuk mencegah timbulnya pemerintahan yang absolut atau kesewenang-wenangan. Bebarapa teori tentang pembagian kekuasaan yaitu : teori John Locke, Montesquieu, Van Vollenhoven, Lemaire dan Donner. John Locke membagi kekuasaan negara menjadi 3 yaitu : kekuasaan legislatif, eksekutif, dan federatif. Kelemahan teori ini kekuatan judikatif dimasukkan dalam kekuasaan eksekutif, sehingga tidak dapat mencegah adanya penyelahgunaan wewenang. Montesquieu dengan teori trias politikanya membagi kekuasaan negara menjadi 3 yaitu: kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan judikatif, Dua kelemahan teori Trias Politika Montesquieu yaitu : 1) Pemisahan mutlak seperti yang dikemukakan Montesquieu, akan mengakibatkan
adanya
badan
kenegaraan
yang
tidak
dapat
ditempatkan di bawah pengawasan badan kenegaraan lain. 2) Di dalam suatu negara hukum modern, ternyata tidak mungkin diterima sebagai asas bahwa tiga fungsi tersebut masing-masing hanya boleh diserahkan kepada satu badan kenegaraan tertentu saja. Di suatu negara hukum modern, ada banyak badan kenegaraan yang diserahi fungsi
lebih
dari
pada
satu
macam,
kemungkinan
untuk
mengkoordinasi bebarapa fungsi. Van Vollenhoven yang dikenal dengan teorinya Catur Praja, membagi empat kekuasaan yaitu : legislatif (wetgeving), eksekutif (bestuur), judikatif (rechs spraak) dan polisi (politie). Polisi dipisahkan dari eksekutif dengan maksud untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan, oleh karena polisi dapat melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang diduga telah melanggar undang-undang. Lemaire dengan teorinya Pancapraja membagi lima kekuasaan yaitu, kekausaan legislatif (wetgeving), eksekutif (bestuur), untuk mewujudkan kesejahteraan (bestuur zorg), judikatif (rechts spraak) dan polisi (politie). Donner yang dikenal dengan teori dwi praja, membagi kekuasaan negara menjadi dua yaitu, kekuasaan menetapkan haluan negara (politik als ethik), dan melaksanakan haluan negara (politik als teknik) (Utrecht, 1954 : 14-34). Berdasarkan
Undang-Undang
Dasar Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945, tidak menganut secara murni dari teori-teori tersebut.
b. Pemerintahan Konstitusional. Pemerintahan
konstitusional
maksudnya
adalah
suatu
pemerintahan berdasarkan konstitusi. Van Apeldoorn membedakan antara Undang- Undang Dasar (grondwet) dan konstitusi (constitute). Undang-Undang Dasar adalah bagian tertulis dari konstitusi, sedangkan konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan tidak tertulis.
Tujuan pemerintahan konstitusional menurut Merkl sebagaimana dimuat dalam bukunya Sukarna yang berjudul Sistem Politik yaitu : 1) Terwujudnya stabilitas politik dalam masyarakat. 2) Terwujudnya kemerdekaan baik kemerdekaan perorangan maupun kemerdekaan kelompok dari tekanan-tekanan, baik tekanan dari yang kuat terhadap yang lemah maupun dari tekanan pihak pemerintah itu sendiri. 3) Terwujudnya keadilan, setidak-tidaknya keadilan dalam arti prosedural, yaitu penerapan hukum yang sama terhadap setiap orang. 4) Menjamin hak asasi.
Persyaratan konstitusi yang demokratis : 1)
Konstitusi dibuat baik secara langsung maupun tidak langsung oleh rakyat.
2)
Konstitusi harus menjamin kepentingan rakyat.
3)
Konstitusi berisi hak asasi manusia.
4)
Konstitusi mengakui kemerdekaan atau kebebasan rakyat untuk berserikat dan beroposisi.
5)
Konstitusi menjamin pemilihan umum yang bebas.
6)
Konstitusi mengakui kebebasan pers.
7)
Konstitusi merupakan hukum yang tertinggi.
8)
Konstitusi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
9)
Konstitusi mengakui dan menjamin peradilan yang bebas dan tidak memihak.
10) Konstitusi mengatur pembagian keuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif pada badan yang berbeda. 11) Konstitusi membatasai fungsi badan eksekutif. 12) Perubahan konstitusi harus dilakukan dengan persetujuan rakyat yang diperintah. 13) Konstitusi dalam negara demokrasi dibuat berdasarkan undangundang. (Sukarna, 1981 : 70-71)
K.C. Wheare dalam buku Modern Constitutions sebagaimana diuraikan dalam bukunya Prof. Dr. sri Soemantri M., S.H. Mengatakan
macam-macam konstitusi adalah sebagai berikut: 1)
Konstitusi tertulis dan konstitusi bukan dalam bentuk tertulis (written constitution and no written constitution).
2)
Konstitusi fleksibel dan konstitusi rijid (flexible constitusion and rigid contitution).
3)
Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidsak derajat tinggi (supreme constitution and not supreme constitution).
4)
Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan (federal constitotion and unitary constitution)
5)
Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem pemerintahan parlementer (Presidental executive and parliamentary executive constitution). (Sri Soemantri M., 1987 : 63).
c. Pemerintahan Berdasarkan Hukum (Rule of Law). Pemerintahan dengan sistem demokrasi menghendaki tegaknya rule of law, karena demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam negara demokrasi hukum atau undangundang dibuat oleh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung digunakan untuk melindungi kepentingan rakyat dan bukan untuk menindas rakyat. Hukum atau undang-undang berubah dan berkembang, sesuai dengan perubahan dan perkembangan manusia yang dipengaruhi oleh waktu dan tempat. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap isi hukum atau undang-undang antara lain : 1)
Keadaan geografis.
2)
Filsafat hidup.
3)
Adat istiadat.
4)
Agama.
5)
Paham politik yang dibuat pada waktu itu.
Untuk terwujudnya rule of law, A.V. Dicy menyebutkan ada tiga unsure yang harus dipenuhi yaitu : 1)
Supremacy of law.
2)
Equality gefore the law
3)
Human right.
d. Pemerintahan Mayoritas. Pemerintah mayoritas, adalah pemerintahan yang mendapat persetujuan dari yakyat yang banyak. Dalam system demokrasi tidak langsung mayoritas itu merupakan jumlah terbanyak wakil-wakil rakyat yang dari satu golongan partai, oleh sebab itu, untuk memperoleh wakilwakil rakyat yang sesuai dengan kehendak rakyat dan sistem demokrasi idealnya pemilihan umum dilakukan dengan system distrik rakyat memilih orangnya bukan partainya pemerintah mayoritas yang sehat, akan setabildan tahan lama, mengingat rakyat secara puas, aman, tentram dan sejahtera. Di sinilah arti pentingnya adanya mayoritas dalam badan perwakilan rakyat, sebab jika tidak terdapat mayoritas, pemerintahan akan labil dan kurang lancar. Terlebih lag! jika terbentuk pemerintahan koalisi dengan sestem parlementer menggunakan system banyak partai. Mengapa Demokrasi parlementer dengan system banyak partai dan sistem
koalisi
tidak
menjamin
kestabilan
pemerintahan,
karena
disebabkan berbagai faktor antara lain: 1. Kepentingan dan faham setiap partai berbeda, karena perbedaan ini, maka pandangan terhadap politik, sosial, ekomomi, budaya, dan kebijakan-kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah juga berbeda. oleh karena itu apabila perbedaan-perbedaan itu sangat tajam, sehingga sukar untuk disatukan, maka koalisi itu menjadi rapuh, yang membawa akibat rapuhnya kabinet koalisi. itu pula sebabnya bahwa partai-partai yang melakukan koalisi suka melakukan pendekatanpendekatan dari berbagai aspek terutama dari aspek asas, faham dan tujuan. 2. Setiap partai menghendaki memegang jabatan pimpinan dalam pemerintahan atau menduduki kursi perdana menteri dalam kabinet. oleh karena itu apabila partai-partai yang berkoalisi itu hampir sama besarnya, maka untuk mempercepat terjadinya perubahan pimpinan kabinet adalah dengan mempercepat proses pecahnya koalisi tersebut, sehingga pada akhirnya parlemen mengajukan mosi tidak percaya terhadap kabinet, yang memaksa kabinet bubar. dan membuat yang baru.
3. Raja atau presiden dalam sistem demokrasi parlementer hannya merupakan simbol,
mengingat sebenarnya kekuasaan eksekutif
dijalankan oleh kabinet, sehingga raja atau presiden tidak dapat berbuat banyak. (Sukarna,1981:78-79).
e. Pemilihan Umum Yang Bebas. Pemilihan umum yang bebas maksudnya ialah bahwa dalam suatu jangka waktu tertentu rakyat akan mendapat kesempatan untuk menyatakan hasratnya terhadap garis-garis politik yang harus diikuti oleh negara
dan
masyarakat
dan
terhadap
orang-orang
yang
harus
melaksanakan kebijakan itu (Ismail Suny, 1978:21). Oleh karena itu jelaslah bahwa pemilihan umum adalah suatu kemestian dan suatu lembaga yang sangat vital untuk demokrasi. Indonesia sebagai negara yang berkedaulatan rakyat, pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan negara Kesatuan republik
Indonesia
yang
berdasarkan
Pancasila,
sebagai
mana
diamanatkan dalam Undang-undang dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945. sebagai hukum positip yang berlaku yaitu undang-undang Nomor 12 tahun 2003, tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sesuai Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tersebut, tujuan pemilihan umum adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagai mana diamanatkan Undang-undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun
1945.
Untuk
mewujudkan
pemerintahan
yang
demokratis, pemilihan umum dilaksanakan berdasarkan asas-asas yaitu: 1. Langsung. Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. 2. Umum. Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang itu berhak mengikuti pemilu. Pemilihan
yang bersifat umum nengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tampa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. 3. Bebas. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurari dan kepentingannya. 4. Rahasia. dalam memberikan suara, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. pemilih memberikan suara pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan. 5. Jujur. Dalam penyelengaraan pemilu, setiap penyelengara pemilu, aparat pemerintahan, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindakjujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 6. Adil. dalam penyelengaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu dapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
f. Partai Politik Lebih Dari Satu. Eksistensi partai politik lebih dari satu ialah menjamin pemerintahan yang demokratis. berbeda dengan pemerintahan yang menggunakan sistem satu partai atau mono partai, setiap kebijakan selalu diambil oleh orang-orang atau kelompok tertentu yaitu partai, sehingga diangap kurang demokratis. Sedangkan dalam pemerintahan yang mengunakan sistem kepartaiannya lebih dari satu, setiap kebijakan akan diambil dan didukung oleh suara mayoritas. dalam suara atau dukungan yang mayoritas itulah demokrasi itu tercermi
g. Pers Yang Bebas. Konstitusi/Undang-undang
Dasar
telah
menjamin
adanya
kebebasan pers. Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Repiblik Indonesia Tahun 1945, mengatakan: Kemerdekan
berserikat
dan
berkumpul,
mengeluarkan
pikiran
denganm lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang. Sebaia realisasinya ketentuan tersebut dilaksanakan dengan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers. namun meskipun pers diakui kebebasannya, akan tetapi tangung jawab. Kemerdekaan pers tidak pernah berarti kemerdekaan tanpa batas/absolud. Apabila pens tidak dikontrol, akan menjelma menjadi penguasa absolud yang akam memanfaatkan kekuasaan itu untuk kepentingannya. seperti dikatakan Lord Acton, keabsolutan akan cenderung korup. Hal ini sudah barang tentu berlaku tidak hanya Pemerintahan tapi bisa juga terhadap pers. Di negara manapun, negara demokrasi apapun, tetap ada pembatasan pers. namun apa yang dibatasi dan apa yang tidak boleh dibatasi dalam kemerdekaan pers, sangat tergantung pada kontek sosial-politik dari negara masing-masing.
h. Perlindungan terhadap hak Asasi manusia. Undang-Undang Dasar 1945 setelah diamandemen banyak memuat tentang Hak Asasi Manusia. Namun dalam pelaksanaannya perlindungan terhadap hak asasi manusia di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Namun juga perlu dipahami bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tidaklah bisa ditafsirkan secara mutlak, akan tetapi perlu adanya pembatasan-pembatasan. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusi, di samping mengatur tentang perlindungan hak asasi manusia diatur pula tentang kewajiban dasar manusia. Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut dikatakan bahwa, yang dimaksud dengan hak asasio manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia makluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan seriap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Selanjutnya yang dimaksud dengan kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana tegaknya hak asasi manusia.
i. Peradilan Yang Bebas Kebebasan
Hakim
yang
didasarkan
pada
kemandirian
kekuasaan kehakiman di Indonesia dijamin dalam konstitusi Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik indonesia tahun 1945 mengatakan : Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Implementasi lebih lanjut diatur dalam UndangOundang Nomor 35 Tahun 1999. kebebasan diartikan bebas dari kekuasaan eksekutif maupun segala kekuasaan negara lain, permasalahannya adalah apakah kebebasan hakim itu dapat diartikan bebas tanpa batas, sudah barang tentu tidak. kebebasan hakim yang merupakan personofikasi dari kemandirian rambu-rambu. Rambu-rambu tersebut yaitu: 1. Akutanbilitas; 2. Integritas moral dan etika; 3. Transparansi; dan 4. Pengawasan (kontrol)
8. Good Governance dan Clean Government. Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 memperjuangkan adanya good governance and clean government. Tuntutan ini merupakan reaksi terhadap keadaan pemerintahan era Orde Baru dengan berbagai permasalahannya yang terutama meliputi pemusatan kekuasaan pada presiden, baik akibat konstitusi (Undang-undangDasar 1945) maupun tidak berfungsinya dengan baik lembaga tertinggi dan tinggi negara lainnya, serta tersumbatnya saluran partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial. Selama lima tahun setelah reformasi, keinginan untuk memperoleh
good governance and clean government masih jauh daripada dipenuhi. Berbagai kendala menampakkan diri dalam bentuk gejolak politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pemerintahan, yang simpang siur serta menimbulkan ketidakpastian yang bermuara pada keresahan dan letupanletupan yang membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat. kunci utama memahami good governance, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Prinsip-prinsip tersebut meliputi: a. Partisipasi masyarakat; semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka.
Partisipasi
menyeluruh
tersebut
dibangunberdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. b. Tegaknya supermasi hukum; kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukumhukum yang menyangkut hak asasi manusia. c. Transparansi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga, dan informasi perlu diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadahi agar dapat dimengerti dan dipantau. d. Peduli terhadap stakeholder, lembaga-lembaga dan seluruh proses pemeritahan
harus
berusaha
melayani
semua
fihak
yang
berkepentingan. e. Berorentasi pada konsensus: tata pemerintahan yang baik menjebatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompokkelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur. f. Kesetaraan : semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. g. Efektifitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembagalembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakatdan dengan mengunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal
mungkin. h. Akuntanbilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggung jawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. i. Visi startegis: para pemimpin dan masyarakat memiliki prespektif yang luas dan jauh kedepan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kesepakatan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. selain itu mereka harus memiliki pemahaman atas kpmpleksitas kesejahteraan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi prespektif tersebut ( Koesnadi Hardjosoemantri, 2003:6-7).
B. Hukum Perundang-undangan Sebelum memberikan batasan tentang Hukum perundang-undangan ada baiknya apabila terelbih dahulu diartikan masing-masing kata / istilah. Hukum demikian luasnya, sehingga banyak definisi hukum yang tidak mempunyai pengertian secara tuntas. hal ini disebabkan masing-masing definisi memusatkan pad segi / unsur yang berbeda. Namun secara umum yang dimaksud dengan hukum inti-intinya adalah: 1. Hukum
merupakan
serangkaian
peraturan
tertulis
atau
tidak tertulis
mengenai tingkah laku orang bermasyarakat. 2. Biasanya menpunyai sifat memaksa. 3. Berfungsi mengayomi. 4. Mempunyai untuk keadilan, ketertiban serta kebahagiaan. sedangkan
perundang-undangan
(Legislation,
wetdewing,
atau
gesetzgebung) mempunyai dua pengertian yang berbeda , yaitu: 1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan / proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah. 2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan peraturan-peraturan, aik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah (Maria Farida Indrati Soeprapto, 198:3) Berdasarkan uraian tersebut maka hukum perundang-undangan yang dimaksudkan adalah hukum tertulis yang dibentuk dengan cara-cara tertentu oleh pejabat yang berwenang.
Dari pengertian tersebut apabila dilihat dari letak perundang-undangan dalam sistem hukum pada umumnya merupakan hukum tertulis. Dalam sistem hukum, Hukum dibedakan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Hukum
tertulis meliputi Perundang undangan, yurisprudensi, dan perjanjian-perjanjian Internasional. Perundang-undangan
yang
dikodifikasikan
dan
yang
tidak
di
dikodifikasikan. sedang hukum tidak tertulis meliputi hukum adat dan hukum kebiasaan. Pada dasarnya sistem hukum di dunia dapat dibedakan ke dalam dua kelompok besar yaitu sistem hukum kontitental dan sistem hukum anglo sakson (Bagir Manan 1992: 5). Namun dalam perkembangannya, kecuali kedua sistem tersebut terdapat juga sistem hukum yang lain ialah seperti sistem hukum hukum Islam, sistem hukum sosialis dan lain-lain (Bagir Manan, 1992:6). Sistem kontinental berkembang di Eropa daratan. dalam sejarah hukum modern, Prancis dapat disebut sebagai negara yang paling terdahulu mengembangkan
sistem
hukum
seperti
ini.
Sistem
hukum
kontinental
mengutamakan hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya. Karena itu negara-negara yang berada dalam sistem hukum kontinental, selalu berusaha untuk menyusun hukum-hukumnya dalam bentuk tulisan. Bahkan dalam satu sistemmatika yang di upayakan selengkap mungkin dalam sebuah kitap undang-undang. Penyusunan semacam ini disebut kodifikasi. Karena itu sistem hukum kontinental sering pula disebut sistem hukum kondifikasi. Pemikiran kondifikasi dipengaruhi oleh konsepsi negara hukum abad ke 18-19, untuk melindungi masyarakat dan kemungkinan tindak sewenang-wenang dan demi kepastian hukum, kaidah-kaidah hukum harus tertulis dalam bentuk undang-undang. Sistem anglo sakson tidak menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistemnya. Sendi utamanya adalah pada yurisprudensi. Sistem anglo sakson berkembang dari kasus-kasus konkrit tyersebut lahir barbagai kaidah dan asas hukum. Karena itu sistem hukum ini sering disebut sebagai sistem hukukum yang berdasarkan kasus. Dalam perkembangannya, perbedaan dasar antara sistem kontinental dengan sistem anglo sakson makin menipis. Pada sistem kontinental, yurisprudensi makin penting sebagai sumber
hukum. Begitu pula peraturan perundang-undangan pada sistem anglo sakson makin menduduki tempat yang penting. Peranan peraturan perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis yaitu: 1. Peraturan perundang-undangan yang merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali (diidentifikasi), mudah diketemukan kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai hukum tertulis, bentuk, jenis dan tempatnya jelas. begitu pula pembentukannya. 2. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali. 3. Struktur dan sistematika perturan perundang-undangan lebih jelas sehingga memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi muatan. 4. Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan. faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Kelemahan-kelemahan peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis: 1. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat. 2. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum, dan ini mennimbulkan kekosongan peraturan perundang-undangan. Sedang perubahan salah satu kebaikan sistem anglo sakson adalah bahwa perkembangan hukum didasarkan pada keadaan konkrit, sehingga akan selalu mendekati kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Sebagai kelemahan sistem anglo sakson adalah karena tergantung pada kasus, maka sistematika hukum anglo sakson menjadi tidak jelas (Bagir Manan, 1992:7-10). Di dalam kehidupan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi tata cara berprilaku atau bertindak. dalam berprilaku atau bertindak itu harus dengan pedoman, patokan atau aturan yang disebut dengan
norma. Suatu norma yang dibuat oleh negara disebut norma negara. Kecuali norma negara masih dikenal norma-norma yang lain di dalam masyarakat yaitu, norma adat, norma agama dan norma moral. Perbedaan antara norma hukum dan norma-norma lainnya adalah sebagai berikut: 1. Suatu norma hukum itu bersifat heteromom, dalam arti bahwa norma hukum itu datang dari luar diri kita sendiri, misalnya, dalam hal pembayaran pajak, kewajiban itu dating bukan dari kita sendiri tetapi dari dari Negara sehingga kita harus memenuhi kewajiban tersebut sebnang atau tidak senang. Norma-norma lainnya bersifat otonom, dalam arti norma itu datang dari dalam diri kita sendiri. Misannya apabila kita akan menghormati orang tua atau akan berpuasa, hal ini kita lakukan karena kehendak dan keyakinan kita sendiri untuk menjalankan norma-norma itu, sehingga tindakan tersebut tidak dapat dipaksakan dari luar. 2. Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sangsi pidana atau sanksi pemaksaaan secara fisik, sedang norma lainnya tidak dapat dilewati oleh sanksi pidana ataupun saksi pamaksaan secara fisik. Contohnya apabila seseorang melanggar norma hokum misalnya menghilangkan nyawa orang lain, aia aka dituntut dan dipidana. Tetapi bila seseorang melanggar norma lainnya, tidak dapat dituntut dan dipidana. 3. Dalam
norma
hukum
saksi
pidana
atau
saksi
pemaksaan
itu
dilaksanakan oleh aparat Negara, sedangkan terhadap pelanggaran terhadap norma-norma lainnya saksi itu dating dari diri kita sendiri, misalnya adanya perasaan bersalah, perasaan berdosa, atau terhadap terhadap pelanggaran norma-norma moral atau norma adapt tertentu, pelanggarannya akan dikucilkan dari masyarakat (Maria Farisa Indrati Soeprapto, 1998, 10-11). Norma Hukum dalam dalam suatu negara adalah berjenjang-jenjang / hierarki. Hans kesen dengan teori stufentheorie, sebagai mana di katakan dalam bukunya Maria Farisa Indrati Soeprapto mengatakan, bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm) (Maria Farida Soeprapto, 1998 : 25). Teori jenjang norma hukum Hans Kelsen, diilhami teori Adolf Merkl, yang mengatakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah yaitu ke atas bersumber dan berdasar pada norma yang ada di atasnya, ke bawah menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma itu mempunyai masa berlaku yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka norma - norma hukum dibawahnya tercabut atau terhapus pula. Hans Nawiasky dalam teorinya sama dengan Hans Kelsen, namun perbedaannya bahwa Hans Nawiasky disamping mengatakan bahwa norma itu berlapis-lapis / berjenjang-jenjang, suatu norma hukum dalam suatu negara itu dikelompokkan menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas : 1. Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara). 2. Staatsgrundgesetz (aturan Dasar / Pokok Negara) 3. Forme// Geset (Undang-undang "formal") 4. Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana & aturaw otonom) (Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998 : 27). ad 1) Norma Fundamental Negara, merupakan norma tertinggi dalam suatu negara dan tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan suatu norma yang menjadi tempat bergantungnya normanorma hukum di bawahnya. Selanjutnya isi Norma Fundamental Negara merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara, termasuk norma pengubahnya.
ad 2) Aturan Dasar / Pokok Negara, merupakan kelompok norma hukum di bawah Norma Fundamental Negara, berisi aturan yang bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum disertai norma sekunder. Aturan Dasar/Pokok Negara dapat dituangkan dalam suatu dokumen suatu negara yang disebut Staatsverfassung, atau dapat juga
dituangkan dalam beberapa dokumen negara yang tersebar, yang disebut Staatsgrundgesetz.
ad 3) Undang-undang "formal" Undang-undang "formal" merupakan kelompok norma-norma hukum yang berada di bawah Aturan Dasar / Pokok Negara. Berisi norma-norma hukum yang lebih konkrit dan rinci yang langsung berlaku dalam masyarakat, dan sudah dapat memuat ketentuan tentang sanksi.
ad 4) Aturan pelaksana dan aturan otonom Aturan pelaksana dan aturan otonom adalah merupakan peraturanperaturan yang terletak di bawah undang-undang, di mana peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi. Atribusi kewenangan dalam pementukan
peraturan
perundang-undangan
ialah
pemberian
kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh undang-undang dasar atau undang-undang kepada kepada suatu lembaga negara / pemerintah. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan,
sesuai
dengan
batas-batas
yang
diberikan.
Delegasi
kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundangang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada
peraturan
perundang-undangan
yang
lebih
rendah,
baik
pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak. Kewenangan delegasi ini bersifat sementara dalam arti kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada.
Peraturan perundang-undangan sebagai hukum, dan agar berlaku di dalam masyarakat secara baik perlu diperhatikan pembentukannya. Ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu : 1. Dasar yuridis. Dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan peraturan perundangundangan karena :
a) Keharusan
adanya
kewenangan
dari
pembuat
peraturan
perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.
Kalau tidak
peraturan perundang-undangan itu batal demi hukum. b) Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundangundangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat. Ketidak sesuaian ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut. c) Keharusan mengikuti tata cara tertentu. d) Keharusan
tidak
beretentangan
dengan
peraturan
perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Dalam kaitan ini maka hal-hal yang perlu diperhaljkan oleh pembentuk peraturan perundnag-undangan yaitu : a) Satu-satunya landasan atau dasar yuridis dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan
adalah
peraturan
perundang-
undangan. Yurisprudensi, Hukum Adat, atau Hukum Kebiasaan tidak dapat dijadikan landasan atau dasar yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan. b) Tidak setiap peraturan perundang-undangan dapat dijadikan landasan atau dasar yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan. Hanya peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk dapat dijadikan landasan yuridis. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak dapat dijadikan landasan atau dasar yuridis
pembentukan
suatu
peraturan
perundang-undangan.
Persyaratan seperti ini adalah sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. c) Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan berlaku prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dapat menghapuskan peraturan perundang-undangan sederajat atau yang lebih rendah. Prinsip ini mengandung beberapa hal yaitu : 1) Pencabutan peraturan perundang-undangan yang ada hanya mungkin dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang
sederajat atau yang lebih tinggi. 2) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang sederajat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat
lainnya,
maka
berlaku
peraturan
perundang-
undangan yang terbaru dan peraturan perundang-undangan yang lama dianggap telah dikesampingkan (lex posterior derogat lege priori). 3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya undangan
bertentangan
yang
lebih
dengan
rendah,
peraturan
maka
perundang-
erlaku
peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. 4) Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur bidangbidang yang merupakan kekhususan dari bidang-bidang umum yang diatur oleh peraturan yang sederajat, maka berlaku peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang khusus tersebut (lex specialis derogat lex general!). d) Petingnya pengetahuan mengenai peraturan perundang-undangan karena bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan senantiasa dengan materi muatannya (Bagir Manan, 1992 : 21-23)
2. Dasar Sosiologis. Dasar sosiologis artinya mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Soerjono Soekanto-Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu : a) Teori kekuasaan (Machttheorie). Secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atai tidak diterima oleh masyarakat. b) Teori pengakuan (Annerkennungstheorie). Kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Tetapi satu hal yang harus diingat bahwa kenyataan yang hidup dalam masyarakat
sebagai
kencenderungan memasukkan
dan
dasar
sosiologis
harapan-harapan
faktor-faktor
kecenderungan
harus
termasuk
masyarakat. dan
harapan
pula Tanpa maka
peraturan perundang-undangan hanya sekedar merekam keadaan seketika. Keadaan seperti itu akan menyebabkan kelumpuhan peranan hukum. Hukum akan tertinggal dari dinamika masyarakat. Bahkan perundang-undangan akan menjadi konservatif karena seolah-olah mengukuhkan kenyataan yang ada.
3. Dasar Filosofis. Dasar filosofis artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakekat sesuatu. Setiap masyarakat selalu mempunyai "rechsidee" yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum, misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya. (Bagir Manan, 1992: 13-17).
Di samping dasar-dasar tersebut di atas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, pembentuk peraturan perundang-undangan perlu memperhatikan asas-asas yang perlu dipertimbangkan. Van der Vlies membedakan antara asas-asas formal dan asas materiel. Asas-asas formal ialah asas-asas yang berhubungan dengan persiapan pembentukan materiel
ialah
peraturan asas-asas
perundang-undangan. yang
berhubungan
Sedangkan
asas-asas
dengan
peraturan
isi
perundang-undangan. Asas-asas fromal meliputi: 1. Asas tujuan yang jelas. Asas ini mencakup tiga hal, yaitu : a) ketepatan letak peraturan
perundang-undangan dalam kerangka
kebijakan umum pemerintahan; b) tujuan khusus peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk; c) tujuan
dari
bagian-bagian
peraturan
perundang-undangan yang
akan dibentuk.
2. Asas organ / lembaga yang tepat. Asas ini adalah memberikan penegasan tentang perlunya kejelasan kewenangan organ-organ / lembaga-lembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
3. Asas perlunya pengaturan. Asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif-alternatif lain dalam menyelesaikan suatu masalah pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundang-undangan .
4. Asas dapatnya dilaksanakan. Asas ini merupakan usaha untuk dapat ditegakkannya peraturan perundangundangan yang bersangkutan. Sebab tidak ada artinya suatu peraturan perundang-undangan yang tidak dapat ditegakkan.
5. Asas konsensus. Asas konsensus ialah adanya kesepakatan rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan
bersangkutan.
Hal
itu
mengingat
pembentukan
peraturan perundang-undangan haruslah dianggap sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama oleh pemerintah dan rakyat.
Asas-Asas Materiel. 1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar. Pertimbangan asas ini adalah agar peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh masyarakat dan rakyat, baik mengenai katanya maupun mengenai struktur dan susunannya.
2. Asas tentang dapat dikenali. Asas tentang dapat dikenali, maksudnya ialah bahwa peraturan perundangundangan yang dibuat harus dikenali dan diketahui oleh setiap orang, lebihlebih oleh yang berkepentingan.
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum. Asas pelakuan yang sama dalam hukum, maksudnya bahwa dengan adanya peraturan perundang-undangan itu tidak menimbulkan deskriminasi.
4. Asas kepastian hukum. Asas kepastian hukum, mempunyai maksud adanya harapan yang ada dasarnya haruslah dipenuhi.
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual, maksudnya untuk memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaankeadaan tertentu, sehingga dengan demikian peraturan perundang-undangan dapat juga memberikan jalan keluar selain bagi masalah-masalah umum, juga bagi masalah-masalah khusus (Hamid S. Attamimi, 1990 : 336-343)
Selanjutnya
dalam
pembentukan
peraturan
perundang-undangan
Indonesia Hamid S. Attamimi membagi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut adalah : 1. Asas-asas formal, dengan rincian : a) asas tujuan yang jelas; b) asas perlunya pengaturan; c) asas organ / lembaga yang tepat; d) asas materi muatan yang tepat; e) asas dapatnya dilaksanakan; dan f)
asas dapatnya dikenali.
2. Asas-asas materiel, dengan rincian : a) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara; b) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara; c) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Berdasar Atas Hukum; dan d) asas
sesuai
dengan
prinsip-prinsip
Pemerintahan
Berdasarkan
Sistem Konstitusi. (Hamid S. Attamimi, 1990 : 354 - 346)
Di samping dasar-dasar serta asas-asas tersebut yang harus diperhatikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, masih perlu diperhatikan unsur lain dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu masalah teknik perancangan. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang
kurang baik, dapat terjadi karena tidak jelas perumusannya sehingga tidak jelas arti, maksud dan tujuannya, atau rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti. Atau terjadi inkonsisten dalam penggunaan peristilahan, atau sistematika yang tidak baik, bahasa yang berbelit-belit sehingga sukar dimengerti dan lain sebagainya. Perancangan peraturan perundang-undangan dapat dibagi tahap-tahap sebagai berikut: Pertama : Penyusunan Naskah Akademik. Dalam kenyataannya terdapat berbagai pandangan mengenai naskah akademik. Ada pendapat yang menyatakan tidak ada perbedaan antara naskah akademik dengan naskah rancangan. Kedua-duanya telah tersusun dalam sistematika, bab-bab, pasalpasal,
ayat-ayat
dan
seterusnya.
Perbedaannya
hanya
terletak
pada
pembuatannya. Rancangan peraturan perundang-undangan disipkan oleh instansi atau pejabat yang berwenang dalam perancangan atau pembuatan peraturan perundang-undangan. Sedangkan naskah akademik, disiapkan oleh mereka-mereka yang tidak memiliki kewenangan secara formal menyiapkan atau membuat peraturan perundang-undangan. Pendapat lain tentang naskah akademik, naskah akademik berisi pertanggung jawaban secara akademik mengenai perancangan suatu peraturan perundang-undangan.
Karena
komponen
utama
adalah
pertanggungan
akademik, maka naskah akademik tidak perlu tersusun dalam bab-bab, pasalpasal dan seterusnya. Yang penting adalah analisis akademik mengenai berbagai aspek dari peraturan perundang-undangan yang hendak dirancang. Pada tahap penyusunan naskah akademik itulah dasar-dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis mendapat pengkajian secara mendalam. Kedua : Tahap Perancangan : Tahap
perancangan
mencakup
aspek-aspek
prosedural
dan
penulisan
rancangan. Yang dimaksud dengan aspek-aspek adalah hal-hal seperti izin prakarsa
(apabila
diperlukan),
sedangkan
penulisan
rancangan
adalah
menerjemahkan gagasan, naskah akadmeik, atau bahan-bahan lain ke dalam bahasa dan struktur yang normatif. Bahasa normatif artinya bahasa yang akan mecerminkan asas-asas hukum tertentu, pola tingkah laku tertentu, (kewajiban, larangan, hak dan sebagainya). Bahasa normatif ini, selain tunduk pada kaidahkaidah bahasa Indonesia yang baku, juga harus tunduk pada bahasa hukum.
Sedangkan struktur normatif artinya mengikuti teknik penulisan peraturan perundang-undangan seperti pertimbangan, dasar hukum, pembagian bab dan seterusnya (Bagir Manan, 1992 : 19) Pengundangan peraturan perundang-undangan. Pengundangan atau pengumuman peraturan perundang-undangan dengan caracara tertentu lazim dilakukan oleh negara-negara lain. Yang dimaksud dengan cara tertentu menurut hukum yang berlaku dapat bermacam-macam cara, namun pada umumnya pada umumnya pengundangan peraturan pperundang-undangan itu dimuat dalam lembaran resmi yang diterbitkan oleh pemerintah negara bersangkutan. Pengundangan
dengan
cara
menurut
hukum
yang
berlaku,
mengandung dua aspek yaitu : 1) aspek yuridis, yaitu pengundangan yang mempunyai akibat hukum dan mempunyai
kekuatan
mengikat,
sehingga
kepada
siapa
yang
melanggarnya akan dituntut di muka pengadilan. 2) Aspek publikasi, yaitu pengumuman yang bersifat memperluas, mempercepat, memperlancar
penyebarluasan
peraturan
perundnag-undangan
yang
dikeluarkan tersebut, sehingga masyarakat segera dapat mengetahui dan ruang lingkupnya akan lebih meluas. Cara pengundangan peraturan perundang-undangan sejak Hindia Belanda sampai sekarang mengalami perkembangan yaitu : 1) Pada Masa Hindia Belanda. Pada masa Hindia Belanda peraturan perundang-undangan yang Algemene erordeningen (Wet, AMVB, Ordonantie dan RV), dimuat dalam lembaran resmi yang disebut Staatsblad, sedangkan penjelasannya dimuat dalam Bijblad. 2) Pada Masa Jepang. Ketentuan yang dituangkan dalam UU No. 40 Osamu Seirei No. 9 Tahun 2602 (1942) tentang Gun Seirei, dimuat di dalam Kan Po (Berita Pemerintah) No. 4 Tahun 2602 (1942) Tahun I. 3) Masa Kemerdekaan a) Kurun Waktu tahun 1945-1949 Pengundangan peraturan perundang-undangan berdasarkan peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1945 tentang Pengumuman dan Berlakunya
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 1 mengatakan : Segala undnag-undang dan Presiden
dan
ditandatangani
Peraturan oleh
Presiden diumumkan oleh
Sekretaris
Negara.
Pasal
2
mengatakan : Cara pengumumannya dilakukan dengan menempelkan Undnag-undang atau Peraturan Presedien di papan Pengumuman di muka gedung Komite Nasional Pusat. Kemudian terbit "Berita Republik Indonesia" terbit mulai tanggal 17 Nopember 1945sampai 31 Maret 1947. Selanjutnya terbit "Berita Negara Republik Indonesia." Dan Lampiran Berita Negara Republik Indonesia yang memuat penjelasan. Berita Negara Republik Indonesia berhenti tahun 1948.
b) Berlakunya Konstitusi RIS Dalam Konstitusi RIS pengundangan peraturan perundang-undangan berlandasan Pasal 143 yang mengatakan : 1) Undang-Undang
Federal
mengadakan
aturan-aturan
tentang
mengeluarkan, mengumumkan dan mulai berlakunya Undang-undang Federal dan Peraturan-peraturan Pemerintah. 2) Pengumuman,
terjadi
dalam
bentuk menurut Undang-Undang,
adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat. Sebagai
pelaksanaan
Undang-Undang
ketentuan
Federal
No.
Pasal
2 Tahun
143 tersebut dikeluarkan 1950 tentang
Lembaran
Negara dan pengumuman berdasarkan Undang-Undang Federal No. 2 Tahun 1950, diterbitkan : (1) Lembaran Negara (L.N.) Yaitu sebagai tempat pengumuman resmi Undnag-Undang Federal, Undang-undang Darurat Federal, dan Peraturan Pemerintah fEderal. Penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara (T.L.N.). (2) Berita Negara (B.N.) Memuat bentuk peraturan-peraturan lainnya yang dikeluarkan oleh Pemerintah RIS dan juga surat-surat lain yang dipandang perlu. Penjelasannya dimuat dalam Tambahan Berita Negara (T.B.N.).
c) Berlakunya Undnag-Undang Dasar Sementara. Dalam
Undang-Undang
peraturan
Dasar
perundnag-undangan
Sssementara,
berlandasan
pengundangan
Pasal
100,
yang
mengatakan : (1) Undang-Undang mengadakan aturan-aturan tentang membentuk, mengundangkan
dan
mulai
berlakunya
Undang-Undang
dan
Peraturan Pemerintah. (2) Pengundangan, terjadi dalam bentuk menurut Undang-Undang adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat. Untuk Undnag-Undang peraturan
Dasar
Sementara,
perundang-undangan
melaksanakan
tentang pengundangan
belum
terbentuk. Berdasarkan
Pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara. Undang-Undang Federal No. 2 Tahun 1950 masih dinyatakan berlaku.
d) Berlakunya kembali Undnag-Undang Dasar 1945, berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan berlakunya kembali Undnag-Undang Dasar 1945, sejak dekrit Presiden 5 Juli 1959, tentang pengundangan peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Pasal II, yang mengatakan : Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini, maka Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 masih diberlakukan. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 234 Tahun Tahun 1960, tentang Pengemabalian
Seksi
Pengundangan/
Lembaran
Negara
dari
Departemen Kehakiman ke Sekretaris Negara, yaitu : Menteri Sekretaris Negara. Berlakunya suatu peraturan perundang-undangan dapat digunakan bermacam-macam cara. Sudah barang tentu cara yang digunakan adalah sesuai dari maksud dan tujuan dari peraturan perundang-undangan yang dibuat. Cara-cara tersebut yaitu : 1. Pada saat diundangkan. Merupakan kelaziman bahwa peraturan perundang-undangan itu mulai berlaku pada saat diundangkan.
2. Ditentukan tanggal yang pasti. Dengan
ditentukan
tanggal
yang
pasti,
biasanya
peraturan
perundang-undangan yang dibentuk, masih memelrukan waktu.
3. Peraturan
perundang-undangan
berlaku
30
hari
setelah
diundangkan. Bisa terjadi bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk tidak ditentukan tanggal berlakunya. Untuk itu maka sesuai ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Lembaran Negara dan Pengumuman, maka peraturan perundangundangan itu berlaku 30 hari setelah diundangkan. Pasal 13 tersebut selengkapnya berbunyi: Jikalau dalam suatu peraturan tidak ditentukan tanggal yang lain, maka peraturan itu berlaku mulai pada hari ketigapuluh sesudah hari diumumkan.
4. Sebagian demi sebagian. Hal
ini
bisa
terjadi,
manakala
pembentuk
peTaturan
masih
mempertimbangkan sisi peraturan tersebut.
5. Berlaku surut meskipun pada prinsipnya sesuatu peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut, tetapi sepanjang pembentuk peraturan menghendaki, bisa digunakan hanya saja dalam penggunaannya mempertimbangkan segala aspek, lebih-lebih yang menyangkut masalah ketentuan pidana.
6. Tiga
puluh
hari
setelah
Rancangan
Undang-Undang
disetujui
bersama, dan tidak disyahkan oleh Presiden Contoh : Pasal 20 ayat (5) mengatakan : Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, Rancangan UndangUndang sah menjadi Undang-Undang wajib diundangkan.