Bagian 1
Prasasti, Bukti P eradaban Nenek Mo Peradaban Moyyang
A. Apakah Prasasti itu? Tahukah kamu prasasti itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), prasasti adalah piagam (yang ditulis pada batu, tembaga, dan media lainnya). Sebelum lebih jauh mengenal prasasti, bagaimanakah cara masyarakat Indonesia dahulu yang belum mengenal tulisan mengabadikan dan meneruskan masa lalunya? Cara masyarakat yang belum mengenal tulisan merekam dan mewariskan masa lalunya dilakukan melalui tradisi lisan. Tradisi lisan merupakan tradisi yang terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat menggunakan bahasa lisan dalam menyampaikan pengalaman sehari-hari dari seseorang kepada orang lain. Tradisi lisan dapat diartikan sebagai proses dan dapat pula sebagai produk.
5
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Sebagai proses, tradisi lisan terkait dengan kebiasaan anggota masyarakat menyampaikan pengalaman hidup sehari-hari serta pengalaman masa lalu melalui bahasa lisan. Sebagai produk, tradisi lisan terbentuk karena kebiasaan anggota masyarakat tersebut menyampaikan informasi, pengalaman melalui lisan. Sebagai produk, tradisi lisan juga terlihat dalam legenda, folklor, kisah atau mitos. Tradisi lisan dapat pula diartikan sebagai pengungkapan lisan yang disampaikan dengan kata-kata dari satu generasi ke generasi yang lain dan seterusnya. Tradisi lisan sama tuanya dengan sejarah manusia itu, terutama sejak manusia memiliki kemampuan berkomunikasi. Sejak saat itu tradisi lisan menjadi bagian dari tradisi masyarakat. Dibandingkan dengan kemampuan membaca dan menulis, kemampuan manusia berbicara atau menggunakan bahasa lisan lebih dahulu berkembang. Oleh karena itu, walaupun masyarakat belum mengenal tulisan, mereka sudah memiliki kemampuan merekam pengalaman masa lalunya. Rekaman tersebut dilakukan melalui ingatan kolektif dalam bentuk cerita, kisah, dan berita dari mulut ke mulut yang akhirnya menjadi legenda, dongeng, folklor atau mitos.
6
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Sumber: Dokumentasi Penulis Gambar 1.1 Cerita rakyat dan dongeng yang dibukukan.
Tradisi lisan merupakan bagian dari kebiasaan hidup sehari-hari dengan menggunakan bahasa sebagai media/alat untuk menyampaikan pesan, gagasan, serta pengalaman. Pesan, gagasan serta pengalaman tersebut disampaikan melalui lisan oleh siapa pun yang memiliki pesan, gagasan, dan pengalaman tersebut kepada orang lain dalam lingkungan tempat tinggal mereka. Bagi masyarakat yang belum mengenal tulisan, tradisi lisan merupakan media untuk mewariskan pengalaman masa lalu dan masa kini untuk generasi yang hidup saat itu dan generasi yang akan datang. 7
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Berbagai pengalaman masa lalu yang sampai saat mereka hidup masih dipraktikkan dapat diwariskan melalui kebiasaan sehari-hari. Misalnya, keterampilan berburu binatang buas yang merupakan proses belajar selama hidup merupakan warisan masa lalu yang dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Caranya dengan tradisi turun temurun melalui praktik serta cerita dari mulut ke mulut anggota masyarakat. Dalam mewariskan pengalaman masa lalu, peran orang yang dituakan dalam masyarakat menjadi sangat penting. Mereka adalah para pemimpin kelompok yang dianggap memiliki kemampuan lebih dalam menaklukkan alam. Karena dipercaya menjaga anggota kelompoknya, mereka juga diberi kepercayan oleh anggotanya untuk memelihara dan menjaga tradisi yang diwariskan leluhurnya. Misalnya, keyakinan terhadap ruh harus tetap dijaga dengan baik. Para ruh tersebut harus disembah dan diberikan kesukaannya dalam bentuk sesajen. Agar anggota kelompok memelihara tradisi dan kepercayaan yang sama, pemimpin kelompok menyampaikannya secara lisan sebagai sebuah ajaran yang harus ditaati. Para anggota kelompok, kemudian melakukan hal yang sama dari mulut ke mulut para anggota kelompoknya. Jadi, warisan masa lampau adat istiadat, aturan, dan kepercayaan disampaikan dari mulut ke mulut oleh semua anggota kelompok masyarakat. 8
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau masyarakat manusia. Namun, kesejarahan tradisi lisan hanya sebagian dari isi tradisi lisan itu sendiri. Selain mengandung kejadian-kejadian sejarah, tradisi lisan juga mengandung nilai moral, keagamaan, adat-istiadat, cerita khayalan, peribahasa, lagu, dan mantra. Walaupun belum mengenal tulisan, masyarakat prasejarah memiliki nilai-nilai moral yang harus dijunjung tinggi oleh semua anggota masyarakat. Cara memelihara dan mempertahankan nilai dilakukan melalui praktik kehidupan seharihari serta tradisi lisan untuk saling mengingatkan semua anggota kelompok. Hukuman terhadap pelanggaran dapat berupa pengucilan dari anggota kelompok dengan cara menyebarkan informasi dari mulut ke mulut semua anggota kelompok yang menerangkan bahwa seseorang sedang berada dalam hukuman.
B. Masyarakat Praaksara Mengembangkan Tradisi Sejarah Tradisi sejarah yang dimaksud pada masyarakat yang belum mengenal tulisan ialah tradisi dalam mempertahankan nilai-nilai moral, keagamaan, adat istiadat, petuah leluhur, peribahasa, serta kejadian-kejadian sehari-hari yang dialami oleh masyarakat. Selain mengandung kejadian-kejadian sejarah, tradisi lisan juga 9
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
mengandung nilai-nilai moral, keagamaan, adat-istiadat, cerita khayalan, peribahasa, nyanyian, dan mantra yang harus dipelihara agar nilai-nilai yang terkait dengan kehidupan mereka dapat terus dipelihara dan diwariskan kepada generasi yang akan datang. Misalnya, nasihat para leluhur yang disampaikan secara lisan dan turun-temurun harus tetap dijaga. Caranya ialah bukan dengan menuliskannya sebab mereka belum menggunakan tulisan. Cara yang mereka lakukan ialah dengan menjaga nasihat tersebut melalui ingatan kolektif anggota masyarakat dan disampaikan secara lisan. Kekhawatiran tentang berbagai nasihat itu akan hilang ditelan zaman dapat ditanggulangi oleh mereka dengan cara mempertahankan tradisi lisan tersebut.
Sumber: www.geocities.com Gambar 1.2 Lukisan dinding merupakan salah satu bagian dari sejarah adanya tulisan 10
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Cara lain untuk mewariskan nilai masa lalu dan mengembangkan tradisi sejarah ialah dengan membuat peringatan kepada semua anggota kelompok masyarakat berupa lukisan serta perkakas sebagai alat bantu hidup serta bangunan tugu atau makam. Masyarakat yang belum mengenal tulisan pada zaman prasejarah banyak yang tinggal di gua. Di tempat tersebut, mereka membuat lukisan tangan yang menggambarkan pengalaman hidup mereka. Tradisi sejarah juga dapat terlihat dari berbagai jenis bangunan serta alat-alat bantu hidup yang digunakan oleh masyarakat yang belum mengenal tulisan. Alat-alat hidup seperti perkakas (kapak logam atau batu) bukan hanya berfungsi sebagai alat bantu hidup melainkan juga sebagai peringatan untuk generasi yang akan datang. Benda-benda tersebut dapat dianggap menggambarkan keadaan zaman masyarakat penggunanya. Misalnya, kapak batu, kapak genggam, dan cangkul menunjukkan kehidupan masyarakat yang menggunakan peralatan tersebut. Tentu saja, sebutan tradisi sejarah adalah istilah yang kita ciptakan untuk mereka. Mereka sendiri tidak mengenal konsep sejarah. Hal yang penting bagi mereka adalah agar adat-istiadat atau kebudayaan yang mereka anut tersebut dapat dipelihara, baik oleh generasi mereka maupun anak-cucunya kelak. Bagi kita pembelajar sejarah, pandangan mereka dapat kita sebut sebagai tradisi sejarah. 11
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Kepercayaan terhadap ruh serta arwah nenek moyang dapat kita anggap sebagai tradisi sejarah. Kepercayaan tersebut dapat kita lihat dari banyaknya benda dan bangunan yang mereka buat. Bangunan menhir atau tugu batu dapat merupakan tugu peringatan bagi generasi yang akan datang bahwa di tempat berdirinya tugu tersebut terdapat arwah nenek moyang yang harus disembah. Tugu batu yang ditemukan di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan adanya tradisi sejarah untuk memberikan peringatan kepada siapa pun yang melihat tugu batu tersebut tentang kepercayaan mereka.
Sumber: www.kp-sindangbarang.com Gambar 1.2 Menhir
Dapat disimpulkan bahwa tradisi sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan ialah tradisi dalam mewariskan pengalaman 12
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
masa lalu serta pengalaman hidup sehari-hari yang terkait dengan adat-istiadat, kepercayaan, nilai moral, dan lain-lain, pada generasi mereka sendiri dan generasi yang akan datang melalui tradisi lisan, peringatan-peringatan berupa bangunan, serta peralatan hidup sehari-hari.
C. Cara Masyarakat Indonesia yang Sudah Mengenal Tulisan Tradisi sejarah pada masyarakat Indonesia sudah terbentuk sejak masyarakat Indonesia mengenal tulisan. Jika pengertian sejarah didasarkan kemampuan suatu masyarakat mengenal tulisan serta menggunakan tulisan untuk merekam pengalaman hidupnya, tradisi tersebut sudah terbentuk dan sudah dapat kita ketahui melalui prasasti (batu bertulis) yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Masyarakat di Kalimantan Timur, misalnya sudah memiliki tradisi sejarah sejak mereka mampu menuliskan peristiwa, kejadian, dan pengalaman hidupnya pada tujuh buah yupa (prasasti) pada abad ke-5 M. Sampai sekarang prasasti tersebut bukan hanya sebagai tanda adanya Kerajaan Kutai, melainkan juga sebagai bukti bahwa masyarakat tersebut sudah memasuki zaman sejarah.
13
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Sumber: Awidyarso65.files.wordpress.com Gambar 1.3 Yupa dari Kerajaan Kutai (5M) merupakan bukti tertua tradisi menulis bangsa Indonesia.
Tentu saja, kita tidak bisa membuat generalisasi bahwa sejak ditemukannya batu bertulis, masyarakat Indonesia secara keseluruhan sudah memasuki zaman sejarah. Sebagian besar masyarakat Indonesia tetap masih buta huruf dan masih menggunakan tradisi lisan dalam mencatat pengalamannya melalui ingatan kolektif. Akan tetapi, setelah memperoleh kemampuan baca dan tulis, tradisi lisan berkembang menjadi sejarah lisan sebab tradisi lisan tersebut dapat direkam secara tertulis. Rekaman tertulis tersebut merupakan salah satu sumber penulisan sejarah. 14
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Setelah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, tradisi sejarah dimulai dari lingkungan keraton kerajaan. Hasil penulisannya disebut sebagai sejarah tradisional (historiografi tradisional). Beberapa hasil sejarah tradisional di antaranya Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu, Kronik Wajo, Kronik Kutai, Naskah Pustaka Wangsakerta, dan Naskah Carita Parahyangan. Pada umumnya, keluarga raja di Indonesia memiliki ahli menuliskan silsilah keluarga raja, kebijaksanaan raja di bidang ekonomi, politik, dan militer serta semua kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan raja, baik yang dialami oleh si penulis maupun kejadian yang telah lama terjadi. Orang yang mengerjakan pekerjaan seperti itu disebut sebagai sejarawan resmi kerajaan atau pujangga. Mereka juga disebut sejarawan tradisional. Karena merupakan sejarawan resmi kerajaan, tentu saja fokus historiografi para pujangga adalah pada pandangan raja dan kehidupan raja, dan setelah itu lingkungan kelompok etnisnya. Dengan demikian, tradisi sejarah Indonesia lebih terkait dengan lingkungan kerajaan dan kelompok etnis. Jadi, kita akan mudah sekali membedakan hasil historiografi pada masyarakat Melayu dengan masyarakat Jawa. Pengaruh lingkungan Melayu dan Jawa pada kedua lingkungan budaya masing-masing cukup kuat.
15
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Dalam menuliskan silsilah raja, para pujangga sering merujuk pada leluhur yang paling awal, termasuk para nabi, diikuti dengan tokoh-tokoh Mahabarata, Iskandar Zulkarnaen, kemudian raja-raja Melayu dan Jawa. Susunan kerajaan Mataram sering merujuk pada kerajaan-kerajaan yang lebih dahulu lahir seperti Majapahit. Tujuan dari membuat silsilah seperti itu untuk mengesahkan kekuasaan bahwa raja tersebut merupakan keturunan dari raja-raja terdahulu, walaupun tidak semuanya didukung oleh fakta sejarah. Untuk memperkuat isi tulisan sejarah, para pujangga sering menggunakan cerita rakyat dalam legenda, mitos, folklor dan kisah kepahlawanan lokal. Dalam Babad Tanah Jawi, misalnya digambarkan urutan raja Mataram dari raja-raja terdahulu serta memiliki hubungan erat dengan penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul, dalam legenda masyarakat Jawa. Kisah dalam babad tersebut dimulai dengan kisah pendiri Mataram, Panembahan Senopati, berhubungan dengan penguasa laut Selatan tersebut, menjalin kisah cinta sampai berakhir dengan sebuah perkawinan. Tujuan pembuatan silsilah seperti itu serta mengaitkan dengan tokoh mitos ialah agar raja memiliki kekuatan pulung (kharisma) yang diwariskan oleh penguasa terdahulu. Keinginan raja seperti itu juga dapat ditangkap dengan baik oleh para pujangga sehingga penulisan
16
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
sejarah raja-raja Jawa oleh sejarawan resmi kerajaan lainnya selalu terkait dengan legenda penguasa Laut Selatan tersebut. Tradisi sejarah masyarakat Indonesia yang telah mengenal tulisan terlihat dari lahirnya beberapa karya sastra berbentuk hikayat, syair, dan suluk. Walaupun karya-karya tersebut tidak memuat urutan kronologis suatu peristiwa atau kejadian, hasil penulisannya menggambarkan tradisi tulis menulis yang mendukung ke arah terbentuknya tradisi sejarah. Tradisi tersebut terkait dengan kebudayaan Hindu/Budha dan Islam atau sintesis dari keduanya. Selain tradisi sejarah dalam lingkungan kerajaan, tradisi sejarah juga cukup kuat berkembang di beberapa daerah. Sejarah tersebut ada ditulis dengan memfokuskan pada regional berdasarkan kelompok etnis dan ada juga yang berdasarkan lingkungan lokal daerah setempat. Subjek yang ditulis dalam sejarah regional ialah semua aspek yang menyangkut masyarakat dalam batasan sosial budayanya. Misalnya, di Indonesia dikenal regional Aceh, Minangkabau. Batak, Melayu, Palembang, Jambi, Banten, Priangan, Mataram Jawa, Bali, Banjarmasin, Makasar, Bugis, dan Gorontalo. Batasan geografis dalam sejarah regional ditentukan oleh aspek sosial budaya kelompok etnis di lingkungan regional tersebut.
17
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Lebih sempit dari sejarah regional ialah sejarah lokal. Sejarah lokal adalah sejarah dari suatu tempat atau lokasi yang batas-batasnya ditentukan oleh penulis sejarah. Sejarah lokal dapat diartikan sebagai sejarah kelompok masyarakat yang berada dalam daerah geografis yang terbatas. Dilihat dari segi geografisnya, sejarah lokal dapat mencakup sejarah provinsi, kabupaten atau kota, atau daerah yang lebih sempit dari itu. Karya Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, yang ditulis pada 1964 merupakan karya sejarah lokal tentang Banten, selain berfungsi sebagai sejarah tematis, juga sejarah pemberontakan petani di daerah Banten. Selain oleh kelompok masyarakat di berbagai daerah, tradisi sejarah juga dimiliki oleh beberapa individu seperti pejabat negara, tokoh intelektual, perwira militer, pejuang, seniman, serta public figure (tokoh masyarakat). Mereka biasanya menuliskan autobiografinya dengan tujuan agar pengalaman, pandangan, dan pikirannya di bidang yang dia kuasai diketahui oleh masyarakat. Autobiografi tersebut telah memperkaya historiografi Indonesia, walaupun tidak semua autobiografi didukung oleh fakta sejarah yang objektif.
18
Bagian 2
Prasasti di Indonesia A. Bangsa yang Mau Belajar dari Bangsa Asing Sejak zaman dahulu, wilayah Nusantara merupakan wilayah terbuka. Pantainya yang landai mudah sekali dilayari perahu yang membawa manusia dan barang dagangannya. Para pedagang asing bisa dengan mudah berlabuh di pantai-pantai yang telah menjadi pusat dagang. Sebaliknya, para pedagang Indonesia juga bisa dengan mudah berdagang dan berlabuh di pantai negara lain seperti teluk Benggala di India, Champa, dan Funan di Cina untuk menjual atau membeli barang dagangan. Keterbukaan pantai di Indonesia ternyata mempengaruhi watak manusianya. Bangsa Indonesia yang hidup di kepulauan adalah bangsa yang terbuka dan mau belajar dari bangsa-bangsa asing yang mereka anggap telah memiliki peradaban yang tinggi. Walaupun telah memiliki kebudayaan sendiri, mereka mau belajar mengenai bahasa, tulisan, dan sistem kepercayaan yang mereka anggap lebih tinggi daripada tradisi mereka. Sebagai contoh, pembuatan nekara pada zaman logam mendapat pengaruh dari tradisi yang sama di daratan
19
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Asia. Bangsa Indonesia mengadopsi pembuatan nekara dari bangsa asing dan kemudian mengembangkannya sendiri menjadi satu nekara yang khas Indonesia. Melalui sikap terbuka tersebut, pengaruh Hindu dan Budha pun masuk ke Indonesia. Bangsa Indonesia yang terbuka terhadap pengaruh asing memang banyak belajar dari kebudayaan luar. Namun, aplikasinya disesuaikan dengan kebutuhan. Mereka telah bertindak selektif dalam menyerap kebudayaan luar. Dengan demikian, corak kebudayaan Indonesia asli masih terlihat baik dalam perkembangan maupun dalam proses penyuburannya. Pengaruh bahasa Sanskerta dan penggunaan huruf Pallawa cukup besar dalam membentuk kepandaian banga Indonesia dalam hal melek huruf (literate). Dengan bahasa dan huruf dari India tersebut, bangsa Indonesia memasuki zaman sejarah, suatu zaman ketika bangsa pendukungnya telah menggunakan tulisan dan meninggalkan buktibukti tertulis sebagai hasil peradabannya. Dengan adanya kepandaian menulis, bangsa Indonesia mampu menceritakan pengalaman zamannya sehingga dapat diketahui oleh generasi berikutnya.
B. Pengaruh India Berkat pengaruh kebudayaan dari India peradaban Indonesia lama telah meninggalkan bukti-bukti tertulis berupa prasasti atau batu 20
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
tertulis, seperti, Prasasti Kutei atau Prasasti Mulawarman (abad ke-4) di Kalimantan Timur, Prasasti Ciaruteun atau Prasasti Purnawarman (abad ke-5) di Jawa Barat, Prasasti Canggal atau Prasasti Sanjaya di Jawa Tengah (abad ke-8), dan Prasasti lainnya yang tersebar di Jawa dan Sumatra. Walaupun bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa berpengaruh terhadap perkembangan bahasa, tulisan seni sastra di Indonesia, bahasa tersebut tidak pernah menjadi bahasa utama yang digunakan oleh kerajaan lama di Indonesia. Tidak ditemukan bukti tertulis penggunaan bahasa Sanskerta sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan antara suku bangsa Indonesia. Bahasa tersebut kemungkinan banyak digunakan dalam lingkungan keraton atau istana dalam pergaulan internasional, terutama dengan bangsabangsa di Asia Tenggara dan Selatan (India). Tampaknya, sebagian besar suku bangsa Indonesia tetap menggunakan bahasa lokal dalam pergaulan sehari-hari di antara mereka. Namun, harus diakui bahwa pengaruh bahasa Sanskerta terhadap perbendaharaan kata bahasa daerah dan bahasa Melayu (kelak menjadi bahasa Indonesia) cukup besar. Bahasa tersebut mendapat kedudukan terhormat dalam perkembangan bahasabahasa di Indonesia. Kita sering tidak menyadari banyak kata yang kita gunakan 21
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
sehari-hari berasal dari bahasa Sanskerta, seperti, pancasila, eka, dasadarma, agama, graha, wanita, suka duka, sabdha, dan masih banyak lagi. Nama-nama ruangan sidang di gedung MPR RI tetap dengan bangga menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa Sanskerta. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Sanskerta berasal dari lingkungan elite golongan brahmana dalam agama Hindu. Prasasti yang ditemukan, erat pula kaitannya dengan keberadaan kerajaan. Misalnya, Kerajaan Kutei di Kalimantan Timur. Kerajaan yang bercorak Hindu ini terletak di tepi Sungai Mahakam, Kabupaten Mahakam, Kutei, Kalimantan Timur. Bukti adanya kerajaan ini diperoleh dari tujuh buah tugu bertulis atau prasasti yang disebut yupa. Batu bertulis ini memakai bahasa Sanskerta dan huruf pallawa. Prasasti itu berangka tahun 400 M. Perkiraan tersebut diperoleh berdasarkan perbandingan dengan huruf sejenis dan seusia yang ditemukan di India. Bahasa, huruf, dan isi tulisannya menunjukkan bahwa pengaruh India sangat dominan. Namun, ditulisnya berita tersebut dalam yupa menunjukkan adanya penggunaan budaya setempat. Tradisi membuat menhir atau tugu batu merupakan kebudayaan Indonesia asli. Perhatikanlah gambar Prasasti Kutei berikut ini. Pada salah satu yupa, ditemukan berita sebagai berikut: “Sang Maharaja Kundungga yang amat mulia memiliki putra yang 22
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
masyhur bernama Aswawarman. (Dia) memiliki tiga orang putra yang seperti api, yang terkemuka di antara ketiga putranya adalah Sang Mulawarman, raja yang besar, yang berbudi baik, kuat, dan kuasa yang telah mengadakan upacara korban emas yang amat banyak dan untuk memperingati upacara korban itulah tugu ini didirikan para pendeta.” Dari prasasti atau yupa Kutei tersebut dapat diketahui bahwa sedikitnya ada tiga generasi dalam satu keturunan yang pernah memerintah di Kerajaan Kutei. Diawali pemerintahan Kundungga, kemudian dilanjutkan Aswawarman, dan kemudian Mulawarman. Nama Kundungga dalam bahasa-bahasa di India. Diduga nama Kundungga merupakan nama Indonesia asli. Raja Kundungga sebagai pendiri Kerajaan Kutei masih menggunakan nama Indonesia. Adapun anak-anaknya yang merupakan penggantinya menggunakan nama India. Hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh India pada kerajaan ini. Ditulisnya prasasti-prasasti yang menggunakan bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa menunjukkan bahwa telah terdapat golongan sosial masyarakat yang menguasai bahasa dan tulisan tersebut. Kemungkinan, golongan tersebut adalah kaum brahmana yang menduduki status tertinggi dalam masyarakat. Golongan ini pula yang mungkin memimpin upacar vratyastoma untuk pengangkatan Raja Aswawarman dan Mulawarman sebagai raja 23
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
dan pendeta Brahmana di kerajaan Kutei. Golongan lainnya adalah ksatria yang terdiri dari para kerabat kerajaan. Kemungkinan, golongan ini pun menguasai betul kebudayaan India seperti bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa. Mereka beragama Hindu seperti anggota keluarga raja lainnya. Di luar golongan tersebut terdapat rakyat biasa yang mungkin berada di luar pengaruh India. Mereka masih memegang teguh tradisi leluhur nenek moyangnya. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana aspek kehidupan ekonomi penduduk kerajaan Kutei, kecuali disebutkan dalam salah satu prasasti bahwa Raja Mulawarman adalah raja terakhir yang berbudi baik, taat pada agamanya dan mementingkan kemakmuran rakyatnya. Dalam prasasti tersebut pun disebutkan bahwa raja Mulawarman telah mengadakan upacara korban emas dan telah menghadiahi sebanyak 20.000 ekor sapi untuk golongan brahmana. Di kerajaan ini juga dilakukan upacara asmawedha atau upacara pelepasan kuda untuk menentukan batas-batas wilayah kerajaan. Tidak dikertahui dengan pasti darimana emas-emas itu berasal. Apakah didatangkan dari India atau ditambang dari bumi Kutei. Begitu juga dengan sapi-sapi dan kuda tersebut, apakah merupakan hasil ternak kerajaan, ternak rakyat, atau didatangkan dari tempat lain, bisa disimpulkan kerajaan ini telah melakukan kegiatan dagang. Aspek kehidupan agama diketahui dengan jelas pada prasasti24
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
prasasti yupa tersebut. Mereka telah mengenal tempat suci bernama Wapakeswara untuk menghormati dewa-dewa agama Hindu, seperti Brahma, Wishnu, dan Siwa. Raja Mulawarman sangat erat hubungannya dengan golongan brahmana. Pada pemerintahan raja Mulawarman inilah, Kerajaan Kutei mencapai puncak kejayaaannya. Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat. Kerajaan Tarumanagara merupakan kerajaan tertua kedua di Indonesia setelah kerajaan Kutei. Kerajaan Tarumanagara terletak di daerah Bogor, Jawa Barat dan diperkirakan berkembang antara tahun 450—600 M. Bukti sejarah yang menunjukkan adanya kerajaan Tarumanagara adalah dengan ditemukannya tujuh buah prasasti di tempat yang berbeda, yakni empat prasasti di Bogor, satu prasasti di Jakarta, dan satu prasasti lagi di Lebak, Banten. Ketujuh prasasti itu adalah: 1. Prasasti Ciaruteun, Bogor 2. Prasasti Kebon Kopi, Bogor 3. Prasasti Jambu, Bogor 4. Prasasti Muara Cianten, Bogor 5. Prasasti Tugu, Bekasi 6. Prasasti Pasir Awi, Leuwiliang, dan 7. Prasasti Munjul, Banten. Berdasrkan bukti tertulis (prasasti), kerajaan ini mendapat 25
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
pengaruh kuat dari kebudayaan Hindu, India, seperti sistem kepercayaan, bahasa Sanskerta, dan huruf Pallawa yang digunakan dalam prasasti. Tidak diketahui dengan pasti apakah kerajaan ini mengembangkan kebudayaan India dalam bentuk yang sesuai dengan budaya setempat atau tidak. Berdasarkan prasasti tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah saat itu adalah Purnawarman. Pada prasasti Ciaruteun kedua telapak kaki raja ini diukir bersama dengan tulisan yang berhuruf Pallawa dan berita yang berbahasa Sanskerta. Berdasarkan prasasti Ciaruteun, diketahui bahwa raja Purnawarman memeluk Hindu dan menyembah dewa Wisnu. Berdasarkan prasasti Tugu, diperoleh keterangan tentang wilayah kerajaan Tarumanagara meliputi hampir seluruh Jawa Barat, yang meliputi Banten, Jakarta, Bogor, dan Cirebon. Berdasarkan berita dari Cina yang berupa catatan perjalanan seorang penjelajah Cina Fa-hien pada awal abad ke-5 M, diketahui bahwa mata pencaharian penduduk kerajaan ini adalah pertanian, peternakan, perburuan binatang, dan perdagangan cula badak, kulit penyu, dan perak. Dalam prasasti Tugu ini pula diketahui bahwa raja sangat memperhatikan aspek pertanian dan perdagangan. Pada tahun ke-22 masa pemerintahannya, raja Purnawarman memerintahkan rakyatnya untuk membangun sebuah terusan air 26
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Sungai Gomati yang panjangnya 6122 busur atau 12 km yang bisa diselesaikan dalam waktu 21 hari. Saluran ini dihubungkan dengan Sungai Candrabaga (kali Bekasi) yang telah lebih dahulu ada. Bisa kita bayangkan bahwa betapa besar tenaga kerja yang dibutuhkan untuk membangun proyek raksasa dalam waktu singkat. Hanya raja besar yang mampu memobilisai massa untuk membangun proyekproyek besar. Proyek ini memiliki arti ekonomis penting karena mampu mengairi daerah persawahan penduduk, mencegah banjir, dan sebagai sarana lalu lintas barang dari daerah pedalaman ke daerah luar yang berbatasan dengan pantai. Prasasti Ciareuteun atau Prasasti Ciampea ditemukan ditepi Sungai Ciareuteun, dekat muara Sungai Cisadane Bogor. Prasasti yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta yang terdiri atas empat baris syair. Di samping itu, ada lukisan semacam labalaba serta sepasang kaki Raja Purnawarman. Kalau mengamati dengan saksama gambar telapak kaki pada Prasasti Ciareuteun tersebut, kita akan mengenal dua arti. Pertama, cap kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut). Kedua, Di India, cap telapak kaki melambangkan kekuasaan sekaligus penghormatan sebagai dewa. Prasasti Kebon Kopi ditemukan ditemukan di Kampung Muara 27
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Hilir, Kecamatan Cibungbulang Bogor. Hal yang menarik dari prasasti ini adalah adanya telapak kaki gajah, yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan Dewa Wisnu. Prasasti Jambu atau Prasasti Pasir Koleangkak ditemukan di Bukit Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30 km sebelah barat Bogor. Dalam prasasti ini ada cap telapak kaki yang isinya memuji pemerintahan Raja Mulawarman. Prasasti Muara Cianten ditemukan di Bogor, tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Di samping tulisan, terdapat lukisan telapak kaki. Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah Leuwiliang, juga tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Prasasti Cidanghiang atau Prasasti Lebak ditemukan di kampung lebak di tepi Sungai Cidanghiang, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandenglang Banten. Prasasti ini baru ditemukan pada 1974 dan berisi dua baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa bahasa Sanskerta. Isi prasasti mengangungkan keberanian Raja Purnawarman. Prasasti Tugu ditemukan di daerah Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibandingkan dengan prasasti Tarumanegara lainnya. Prasasti lainnya yang perlu dikenal ialah prasasti yang ada kaitannya 28
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
dengan Kerajaan Sriwijaya. Dalam catatan sejarah, kerajaan ini disebut sebagai kerajaan maritim terbesar yang menguasai jalur perdangangan di Laut China Selatan dan Selat Malaka. Pengetahuan kita mengenai kerajaan tersebut diperoleh dari prasasti berikut. 1. Prasasti Kedukan Bukit (Palembang), bertarikh 605 Tahun Saka, bersamaan dengan 683 M (Masehi). Tulisan yang terdapat pada Batu Bersurat ini menggunakan aksara Pallawa. 2. Prasasti Talang Tuwo (Palembang), bertarikh 606 Tahun Saka, bersamaan dengan 684 M. Batu Bersurat ini ditemukan oleh Residen Westenenk pada 17 November 1920 di sebuah kawasan bernama Talang Tuwo, di belahan barat daya Bukit Siguntang, yaitu lebih kurang 8 km dari kota Palembang. 3. Prasasti Kota Kapur (Bangka) bertarikh 608 Tahun Saka, bersamaan dengan 686 M. 4. Prasasti Siddhayatra (tidak berangka tahun). 5. Prasasti Telaga Batu (683 M). 6. Prasasti Karang Brahi (Jambi) bertarikh 614 Tahun Saka, bersamaan dengan 692 M. Pada zaman keemasannya, kota Palembang menjadi pusat peziarah pendeta Budha dari berbagai bangsa. Kemungkinan, bahasa Melayu telah menjadi bahasa pengantar dalam sistem 29
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
pendidikan Sriwijaya. Berdasarkan beberapa prasasti yang ditemukan di Palembang, seperti yang terungkap di atas bahasa yang digunakan dalam prasasti tersebut bukan bahasa Sanskerta, melainkan bahasa Melayu kuno dan berhuruf Pallawa. Jadi, kerajaan Sriwijaya ini telah mengembangkan bahasa sendiri tanpa menggunakan bahasa asing. Kemungkinan bahasa tersebut telah digunakan dalam transaksi antarpedagang, khususnya para pedagang yang berasal dari daerah taklukkan Sriwijaya ketika itu seperti Jawa Barat, Bangka, Jambi, dan Semenanjung Malaysia. Prasasti Canggal yang ditemukan di daerah Barat Daya Magelang, berangka tahun 732 M, serta ditulis dalam bahasa Sanskerta dengan huruf Pallawa. Dari prasasti ini diketahui bahwa raja pertama yang memerintah bernama Sanjaya. Adapun berdasarkan berita yang termuat dalam Prasasti Balitung yang berangka tahun 907 M (terdapat beberapa raja wangsa Sanjaya yang memerintah di kerajaan Mataram, di antaranya Sanjaya, Rakai Panangkaran, Panungguan, Rakai Waruk, Garung, Rakai Pikatan, Kayuwangi, Watuhumalang, dan Balitung. Prasasti Adityawarman di Batusangkar, Sumatra Barat merupakan bukti sumpah palapa patih Gajah Mada saat menaklukkan Bali tahun 1343, disusul Malayau dan Pagarruyung
30
Bagian 3
Manf aat Mengenal Prasasti Ber sejarah Manfaat Bersejarah
(Minangkabau). Selain itu, prasasti ini juga membuktikan kekuasaan Majapahit atas Pulau Sumatra.
A. Prasasti Cikal Bakal Nilai Kehidupan Masa Depan Para ahli sejarah telah membuktikan manfaat mengenal prasasti bersejarah. Selain sebagai objek penelitian, pariwisata, dan pemeliharaan nilai yang terkandung dalam peninggal sejarah tersebut, setidaknya ada hal lain yang perlu digali dari prasasti itu, yakni meneladani leluhur yang telah memiliki peradaban, sebagai cikal bakal nilai pada kehidupan di lain zaman. Walaupun memang generasi muda saat ini kurang peduli atau hanya mengenal prasasti kala belajar sejarah di sekolah, setidaknya hadirnya prasasti atau temuan prasasti yang dipelihara sampai sekarang, merupakan kebesaran para leluhur kita dalam mencari tata nilai bagi bekal kehidupan. Di dalam prasasti tersebut, ada banyak peristiwa yang patut dijadikan 31
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
sebagai bahan informasi, juga peristiwa kebesaran leluhur bangsa ini. Sebagaimana halnya dalam mempelajari sejarah, selalu ada dimensi masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang. Nah, prasasti telah membuktikan bahwa leluhur bangsa ini menggali dan menerapkan nilai peradaban, yang dikemudian hari dapat dipelajari dan dicari nilainilai yang masih relevan/sesuai dengan keadaan zaman. Hadirnya prasasti di tengah-tengah kehidupan kita saat ini, menuntut kaum muda atau ahliwaris masa depan bangsa dan negara ini untuk lebih giat dan tekun menggali sumber pengetahuan, baik melalui sekolah, maupun melacak wawasannya melalui media informasi lainnya. Walaupun prasasti sekadar batu yang ditulisi, hakikatnya bukan itu, melainkan sebuah tantangan bagi generasi muda selanjutnya untuk “membaca” kehidupan masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Tentu saja dengan harapan, kita akan lebih arif dan bijaksana dalam mengarungi kehidupan ini. Satu hal lagi, keberadaan prasasti yang berdasarkan hasil temuan para ahli kepurbakalan, sebagian besar diletakkan di tempat umum agar bisa dibaca pesannya. Boleh jadi saat itu, raja dan rakyatnya telah menjalin komunikasi dalam penyampaian pesan, petuah, atau pernyataan. Ini semua menandakan bahwa komunikasi sangat penting, walau kehidupan kita selalu dibatasi dengan status sosial sehingga komuniasi bukannya lancar, malahan menjadi sebaliknya. 32
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
B. Prasasti Jawa Cina, Ucapan Terima Kasih pada Penguasa Bijaksana Meskipun kecil, prasasti Jawa Cina yang terletak di belakang Bangsal Traju Mas ternyata menyimpan kenangan yang dalam; dari cerita penyerbuan Jepang ke Indonesia dan hubungan Jawa Cina di Yogyakarta. Bagaimana cerita hubungan etnis Cina yang menetap dan telah memiliki kewarganegaraan Indonesia dengan Kraton beberapa dekade silam? Banyak orang telah mengurainya, mulai saat pertama kali bangsa Cina berdatangan untuk berdagang sebelum abad ke15, pada awal abad ke-19 hingga masa Perang Dunia II, sampai masa awal Orde Baru dan pasca-Orde Baru. Namun, kalau bicara soal bukti, terlebih berupa prasasti yang dibuat pada abad ke-20, sepertinya sulit ditemui di wilayah lain di luar Yogyakarta.
Sumber: www.yogyes.com Gambar 3.1 Prasasti Cina 33
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Di Yogyakarta, kita bisa menemui prasasti itu, yang menyimbolkan betapa baiknya hubungan etnis Cina yang tinggal di Indonesia dan warga Yogyakarta, terutama keluarga Kraton. Tempat kita bisa menemukannya adalah di Tepas Hapitopuro, belakang Bangsal Traju Mas, persis di tengah-tengah Kraton. Kita bisa menemuinya dengan masuk wilayah Kraton melalui Kraton Keben dengan membayar tiket masuk sebesar Rp5.000,00, ditambah Rp1.000,00 jika ingin mendokumentasikan dengan kamera. Prasasti Jawa Cina itu berbentuk segi empat dengan tinggi 100 cm dan lebar 80 cm. Tertulis pada prasasti tersebut tanggal pembuatannya, yaitu Tahun Cina Min Khuo 29, bulan 3, hari ke 18 atau 1942 M. Pada prasasti itu pula terukir candrasengkala berbunyi, “Jalma Wahana Dirada Hing Wungkulan” yang berarti manusia naik gajah di atas benda bundar, menunjukkan pembuatannya pada tahun Jawa 1871. Catatan juga menunjukkan bahwa batu prasasti itu didatangkan langsung dari Cina pada tahun 1940. Meskipun hanya batu kecil yang terletak di belakang bangunan bangsal yang besar, prasasti itu menyimpan banyak cerita seputar kehidupan masyarakat Jawa, Cina, Jepang, Belanda, dan Indonesia pada rentang waktu prasasti itu dibuat. Prasasti itu merupakan wujud rasa terima kasih warga etnis Cina pada keluarga Kraton karena 34
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
selama ratusan tahun telah memberikan perlindungan dan rasa aman. Cerita pertama, prasasti yang pembuatannya diprakarsai oleh delapan warga Cina, dipimpin oleh Lie Ngo An sebagai ketua masyarakat Tionghoa Yogyakarta itu menjadi saksi sejarah penyerbuan pasukan Jepang secara mendadak ke wilayah Cina. Pengiriman batu bahan dasar prasasti yang dijadwalkan sampai dengan segera menjadi terlambat karena banyak warga Cina panik akibat penyerbuan Jepang dan transportasi terganggu. Namun, meski pengirimannya terlambat, prasasti itu sebenarnya tetap bisa diserahkan tepat pada waktunya, saat penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Penyebab terlambatnya penyerahan prasasti adalah cerita lainnya. Saat itu, pasukan Jepang yang semula menyerbu Cina, dikerahkan untuk menyerbu wilayah-wilayah Jawa, termasuk Yogyakarta. Tahun-tahun setelah penyerbuan Jepang itu juga diisi oleh berbagai momen besar seperti pendudukan Jepang di Indonesia, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan perang dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Akhirnya, penyerahan prasasti itu tertunda selama 12 tahun, tersimpan di Rumah Liem Ing Hwie, salah satu pemrakarsa pembuatannya.
35
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Prasasti yang semula direncanakan sebagai ucapan terima kasih itu bertambah makna menjadi peringatan pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sebab diserahkan pada tanggal 18 Maret 1952, tepat pada peringatan 12 tahun bertahtanya Sultan HB IX. Saat itu pun, hanya lima dari delapan pemrakarsa yang bisa hadir sebab tiga lainnya sudah meninggal dunia. Adapun pemrakarsanya, selain Liem Ing Hwie dan Lie Ngo An adalah Sim Kie Ay, Liem Ing Hwie, dan Lie Gwan Ho yang merupakan pemilik toko jam, Tan Ko Liat, Sie Kee Tjie dan Tio Poo Kia, serta Oen Tjoen Hok yang mengelola Restoran Oen, salah satu restoran legendaris di Indonesia. Ungkapan terima kasih etnis Cina itu tertulis secara eksplisit dalam bait tembang kinanthi berbunyi, “Mangkya kinertyeng sela mrih, enget salami-laminya, rat raya masih lestari” yang berarti “maka kami memahat batu peringatan ini dengan maksud mengucapkan terima kasih untuk selama-lamanya”.
36
Bagian 4
Jejak Buda ulis Budayya TTulis Zaman Indonesia Klasik A. Pewarisan Budaya dengan Referensi Bahasa Tulis Indonesia masuk ke zaman sejarah pada kurang lebih abad ke-4 Masehi, setelah pasuknya pengaruh India (Hindu-Budha). Masuknya wilayah Nusantara ke zaman sejarah ditandai dengan tulisan Palawa yang terpatri pada Yupa (prasasti) Kutai. Para ahli tulisan kuno (ikonografi) memperkirakan tulisan Palawa yang dipahatkan di Yupa Kutai itu telah ada sejak abad-abad tersebut.
Sumber: www.awidyarso65.wordpress.com Gambar 4.1 Yupa Kutai 37
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Sebagai bahasa tulis, tulisan-tulisan bukti sejarah masa lampau itu sangatlah penting dikarenakan dengan tulisan, penulisnya dapat mencatat berbagai peristiwa yang terjadi pada masanya sehingga dapat menyebarkan serta mewariskan berbagai macam tradisi, nilai, kepercayaan, dan budayanya kepada masyarakat di sekitarnya maupun generasi penerus. Pewarisan budaya dengan referensi-referensi bahasa tulis menjadi penting sebab dengan bahasa ucap langsung, tentu otentisitas budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi akan mengalami perubahan. Bukti-bukti tertulis yang ditinggalkan dapat dibaca dan dipelajari oleh generasi selanjutnya. Pun generasi berikutnya mendapat fakta kehidupan generasi terdahulu yang asli/ otentik agar menjadi kekayaan dan memperkuat jati diri masyarakat dimasa kekinian. Ada berbagai bentuk dan cara para leluhur kita di masa lalu dalam meninggalkan jejak rekaman kehidupan masa lalunya. Berbagai bentuk itu, antara lain berupa pemakaian sarana tulis, yupa, prasasti, kitab/keropak (dokumen) yang dipahatkan/dituliskan pada batu, logam, keropak/daun lontar, dll. Selain sarana tulis, bahasa tulis yang dipakai dimasa klasik Indonesia itu dipakai dalam kerangka kehidupan politik, budaya, dan agama. Acapkali prasasti dipakai untuk peristiwa-peristiwa berkenaan dengan politik, sumpah 38
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
atau kutukan (contoh: Prasasti Telaga Batu yang dikeluarkan Sriwijaya), sedangkan kitab banyak dipakai untuk keagamaan, kesusastraan serta hukum. Yang dimaksud dengan masa klasik pada periodesasi sejarah Indonesia adalah masa berkembangnya pengaruh Hindu-Budha di Nusantara yang berasal dari India, masuk sekitar abad ke-4 sampai akhir periode kekuasaan Majapahit abad ke-15 Masehi. Bahasa tulis pada periode tersebut mengalami perubahan dan perkembangan. Prasasti, kitab, dan sarana tulis ketika itu ditulisi dengan hurup Palawa, Prenegari, Melayu Kuno, dan Jawa Kuno. Bahasa yang dipakai juga berlainan dari masa ke masa. Bahasa yang dipakai pada masa Kutai di Kalimantan Timur, beda dengan yang dipakai di Sumatra Barat pada periode yang kemudian sebagaimana yang dipakai pada prasasti Adityawarman di Pagaruyung. Juga berbeda dengan bahasa yang dipakai Mpu Prapanca dalam menulis Negarakertagama. Berikut beberapa rekam jejak bahasa tulis yang ditinggalkan para leluhur bangsa kita yang pernah berjaya di masa klasik, yang banyak menjadi rujukan sebagai sumber primer dalam penelitian sejarah masa klasik itu.
39
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
1. Yupa Yupa adalah tiang batu yang dibangun untuk pengikat hewan kurban. Pada Yupa Kutai, didapati guratan tulisan Palawa dengan memakai bahasa Sanskerta, menjelaskan suatu peristiwa penting yang pernah terjadi. Ada yang menyebut/menyamakan Yupa dengan prasasti, ada pula yang menyebut yupa saja, dan membedakannya dengan prasasti. Perbedaan Yupa Kutai dengan Prasasti Tarumanegara dan prasasti dari kerajaan Hindu-Budha lainnya terletak pada fungsi. Yupa Kutai difungsikan sebagai tiang batu tempat mengikat hewan kurban. Salah satu isi Yupa Kutai menjelaskan bahwa Sang Maharaja Kundunga mempunyai anak bernama Aswawarman. Sang Aswawarman mempunyai tiga orang putra dan yang paling gagah serta terkenal bernama Mulawarman. Mulawarman pernah mempersembahkan 20.000 ekor sapi/lembu kepada kaum Brahmana di lapangan suci Waprakecwara.
2. Prasasti Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan keras dan tahan lama. Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi, menandai akhir zaman prasejarah, yakni babakan dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan,
40
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
menuju zaman sejarah, yang saat itu masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Ilmu yang mempelajari prasasi disebut Epigrafi.
Sumber: www.awidyarso65.wordpress.com Gambar 4.2 Prasasti Batu Tulis
Kata prasasti berasal dari bahasa Sanskerta. Secara leksikal berarti “pujian”. Namun dalam perkembangannya dianggap sebagai piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang, atau tulisan. Di kalangan ilmuwan, prasasti disebut inskripsi, sementara di kalangan orang awam disebut batu bertulis atau batu bersurat. Berikut ini contoh prasasti.
a. Prasasti Tarumanegara Prasasti Tarumanegara memakai tulisan Palawa dan berbahasa Sanskerta, di antaranya: Prasasti Ciaruteun (terdapat pahatan 41
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
telapak kaki raja Purnawarman dan tulisan), Prasasti Kebon Kopi (berisi pahatan telapak kaki gajah milik raja Purnawarman dan tulisan), Prasasti Jambu (pujian terhadap Purnawarman), Prasasti Pasir Awi (memuat syair pujian terhadap Raja Purnawarman), Prasasti Tugu (berita tentang penggalian saluran Sungai Gomati), serta Prasasti Muara Cianten, Prasasti Cidang Hiang.
Sumber: www.awidyarso65.wordpress.com Gambar 4.3 Prasasti Tugu
b. Prasasti Sriwijaya Prasasti keluaran Sriwijaya banyak memakai tulisan Palawa dan berbahasa Melayu Kuno. Misalnya, Prasasti Kedukan Bukit (berisi tentang usaha Dapunta Hyang Sri Jayanaga menaklukkan beberapa daerah), Prasasti Talang tuo (perintah Dapunta Hyang Sri Jayanaga 42
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
untuk kemakmuran semua makhluk), Prasasti Telaga Batu (berisi sumpah dan kutukan kepada siapa saja yang tidak setia pada raja), Prasasti Kota Kapur (berisi permohonan kepada dewa untuk menjaga Sriwijaya dan menghukum para penghianat Sriwijaya).
Sumber: www.awidyarso65.wordpress.com Gambar 4.4 Prasasti Adityawarman
c. Prasasti Mataram Kuno (Sanjaya Wamca) Prasasti periode Mataram Kuno di antaranya prasasti Canggal (654 Saka/732 M), menggunakan bahasa Sanskerta dan huruf Palawa. Isi prasasti mengenai pendirian sebuah lingga atas perintah Raja Sanjaya di atas bukit Kunjarakunja. Prasasti Matyasih (prasasti Kedu) (829 Saka/907 M), berisi tentang raja-raja yang memerintah
43
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
sebelum Dyah Balitung. Prasasti Ritihang berbahasa Jawa Kuno ditulis dengan huruf Palawa berangka tahun 863 Saka/ 914 M.
d. Prasasti Syailendra Pada masa kekuasaan Dinasty Syailendra berkuasa di Jawa Tengah dikeluarkan Prasasti Kalasan, berangka tahun 700 Saka (778 M), berbahasa Sanskerta dan ditulis dengan huruf Pra-Nagari. Prasasti Kelurak (dekat Prambanan), berangka tahun 704 Saka (782 M), ditulis dengan bahasa Sanskerta dan huruf Pra-Nagari. Isi prasasti mengenai pembuatan arca Manjusri.
3. Kitab Kitab atau buku merupakan karya sastra para pujangga pada masa lampau yang dapat dijadikan sumber acuan/petunjuk untuk mengungkapkan suatu peristiwa di masa kitab tersebut disusun. Para pujangga biasanya menulis atas perintah raja. Itulah sebabnya isi tulisannya banyak menulis keagungan dan kebesaran raja yang bersangkutan sehingga bersifat istana sentris. Kitab-kitab yang terkenal pada masa kerajaan Hindu-Budha sebagai berikut.
44
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Kitab Terbitan Masa Kediri a. Arjunawiwaha Kitab ini karya Mpu Kanwa dirilis tahun 1030 M, masa pemerintahan Airlangga. Isinya meriwayatkan Arjuna yang bertapa untuk mendapatkan senjata guna keperluan perang melawan Kurawa. Arjuna pada kitab ini dipahami sebagai personifikasi Airlangga. b. Kresnayana Buah karya Mpu Triguna yang memuat riwayat Kresna semasa kecil. Cerita yang mirip dengan Kresnayana adalah cerita dalam kitab Hariwangsa karya Mpu Panuluh, yang digubah pada zaman Raja Jayabaya, dan berisi kisah perkawinan Kresna dengan Dewi Rukhimi. c. Smaradahana Karya Mpu Dharmaja digubah pada masa Sri Kameswara. Mengisahkan hilangnya suami istri Dewa Kama dan Dewi Ratih karena (dibakar) api amarah yang keluar dari trinetra Dewa Syiwa. d. Baratayudha Maha karya dari Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Isinya tentang perang saudara 18 hari antara keluarga Pandawa dan Kurawa. Kitab ini menurut banyak ahli sejarah sebenarnya gambaran Kediri semasa
45
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
perang saudara Pangjalu dan Daha yang rebutan kekuasaan antara kakak-adik yang terdapat pada prasasti Ngantang. e. Gatotkacasraya Karangan Mpu Panuluh, menceritakan perkawinan Abimanyu, putra Arjuna, dengan Siti Sundhari atas bantuan Gatotkaca, putra Bima. Ditulis pada zaman Raja Jayabaya. f. Jangka Jayabhaya Kitab ramalan Raja Jayabhaya yang diyakini ditulis sang raja, berisi tentang ramalan, ramalan masa depan Indonesia (wilayah nusantara).
Kitab Terbitan Masa Singasari-Majapahit a. Pararaton Pararaton juga dikenal dengan Katuturanira Ken Arok, atau Kisak tentang Ken Arok. Menilik isinya diperkirakan periode penyusunan Pararaton terjadi di dua masa rezim, yaitu masa Singasari dan masa Majapahit. Pengarangnya sampai sekarang belum diketahui. Isinya terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi riwayat Ken Arok sampai raja-raja Sigasari. Bagian kedua mengisahkan Kerajaan Majapahit mulai dari Raden Wijaya, Jayanegara, pemberontakan Ronggolawe dan Sora, Perang Bubad, dan daftar raja sesudah Hayam Wuruk. Pemakaian kitab Pararaton sebagai sumber sejarah
46
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
harus dilakukan hati-hati, sebab terdapat banyak kelemahan pada kitab ini untuk dijadikan sebagai rujukan/sumber.
Kitab Terbitan Masa Majapahit a. Negarakertagama Ditulis pada zaman pemerintahan Hayam Wuruk oleh Mpu Prapanca. Isi kitab mengenai kerajaan Singasari dari masa pemerintahan Ken Arok, raja pertama Singosari hingga Hayam Wuruk.
Sumber: www.awidyarso65.wordpress.com Gambar 4.5 Kitab Negarakertagama
b. Sutasoma Kitab ini karangan Mpu Tantular. Isinya menceritakan Sutasoma, putra raja yang kemudian mendalami agama Budha. Dalam kitab ini, terdapat kata Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa.
47
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Kata bhinneka tunggal ika inilah yang kemudian menjadi semboyan persatuan yang tertulis di bawah kaki lambang garuda. c. Arjunawijaya Kitab ini karangan Mpu Tantular. Kitab ini mengisahkan raja Arjuna Sasrabahu dan Patih Sumantri melawan Raksasa Rahwana. d. Kutaramanawa Kitab ini ditulis Gajah Mada. Disusun berdasarkan kitab hukum Kutarasastra dan kitab hukum Munawasastra, dan kemudian disesuaikan dengan hukum adat pada waktu itu. Zaman sekarang Kutaramanawa sama dengan KUHP yang berfungsi untuk menata dan menjaga ketentraman masyarakat dalam menciptakan Social Equilibrium. Masih terdapat beberapa kitab lainnya seperti: kitab Tantu Pagelaran, kitab Calon Arang, Kidung Sundayana, kitab Paman Canggah, kitab Usana Bali, carita Parahyangan, dll. Kekayaan literatur masa klasik itu adalah warisan tidak ternilai bagi generasi bangsa ini dalam memahami jati dirinya.
48
Bagian 5
Adity awarman Mendirik an K erajaan ditya Mendirikan Kerajaan Pagaruyung
A. Siapa Adityawarman? Kerajaan Pagaruyung didirikan oleh seorang peranakan Minangkabau-Majapahit yang bernama Adityawarman pada tahun 1347. Adityawarman adalah putra dari Mahesa Anabrang, panglima perang Kerajaan Singasari (Ekspedisi Pamalayu 1 dan Pamalayu 2), dan Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya. Ia sebelumnya pernah bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang.
49
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Sumber: ari-fortuna.blogspot.com Gambar 5.1 Patung Adityawarman
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, Kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang). Adityawarman pada awalnya bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit dan menundukkan daerah-daerah penting di Sumatra, seperti Kuntu dan Kampar yang merupakan penghasil lada. Namun dari berita Tiongkok, diketahui Pagaruyung mengirim 50
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
utusan ke Tiongkok seperempat abad kemudian. Agaknya Adityawarman berusaha melepaskan diri dari Majapahit. Kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menumpas Adityawarman. Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Jawa di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut, tentara Jawa berhasil dikalahkan.
B. Pengaruh Hindu pada Prasasti Adityawarman Pengaruh Hindu di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-13 dan ke-14, yaitu pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan mereka diperkirakan cukup kuat mendominasi Pagaruyung dan wilayah Sumatera bagian tengah lainnya. Pada prasasti di arca Amoghapasa bertarikh tahun 1347 Masehi (Sastri 1949) yang ditemukan di Padang Roco, hulu sungai Batang Hari, terdapat puji-pujian kepada raja Sri Udayadityavarma, yang sangat mungkin adalah Adityawarman.
51
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Sumber: ari-fortuna.blogspot.com Gambar 5.2 Prasasti Adityawarman
Walaupun demikian, keturunan Adityawarman dan Ananggawarman selanjutnya agaknya bukanlah raja-raja yang kuat. Pemerintahan kemudian digantikan oleh orang Minangkabau sendiri yaitu Rajo Tigo Selo, yang dibantu oleh Basa Ampat Balai. Daerah-daerah Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh dan kemudian menjadi negara-negara merdeka.
52
Bagian 6
Pak uan P ajajaran akuan Pajajaran
A. Asal-Usul Nama Pakuan Hampir secara umum penduduk, Bogor mempunyai keyakinan bahwa Kota Bogor mempunyai hubungan lokatif dengan Kota Pakuan, ibukota Pajajaran. Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu. 1. Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuna ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar. 2. K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di
53
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana, banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar (op rijen staande pakoe bomen). 3. G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian “paku”, akan tetapi harus diartikan “paku jagat” (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. “Pakuan” menurut Fouffaer setara dengan “Maharaja”. Kata “Pajajaran” diartikan sebagai “berdiri sejajar” atau “imbangan” (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti “Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit”. Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433. 4. R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa 54
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
kata “Pakuan” mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno “pakuwan” yang kemudian dieja “pakwan” (satu “w”, ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda, kata itu akan diucapkan “pakuan”. Kata “pakwan” berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti “istana yang berjajar”(aanrijen staande hoven). 5. H. Ten Dam (1957). Sebagai Insinyur Pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian “Pakuan” ada hubungannya dengan “lingga” (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian “paku”. Ia berpendapat bahwa “pakuan” bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibukota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata “pajajaran” ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara Sungai Besar dengan Sungai Tanggerang (disebut 55
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
juga Ciliwung dan Cisadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama “Pajajaran” muncul karena untuk beberapa kilometer Ciliwung dan Cisadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau “Dayeuh Pajajaran”. Sebutan “Pakuan”, “Pajajaran”, dan “Pakuan Pajajaran” dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2), sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi. Dalam naskah Carita Parahiyangan, ada kalimat berbunyi “Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata” (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata). Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut “pakuan” itu adalah “kadaton” yang bernama Sri Bima dan seterunya. “Pakuan” adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran
56
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu “istana yang berjajar”. Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik “panca persada” (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam. Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya, nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa seharihari cukup disebut Yogya. Pendapat Ten Dam (Pakuan=ibukota) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu bernama “Dayo” (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari
57
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama “Dayo” didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata “dayeuh” (bukan “pakuan”) bila bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata “dayeuh”, sedangkan dalam kesusastraan digunakan “pakuan” untuk menyebut ibukota kerajaan. Untuk praktisnya, dalam tulisan berikut digunakan “Pakuan” untuk nama ibukota dan “Pajajaran” untuk nama negara, seperti kebiasaan masyarakat Jawa Barat sekarang ini.
B. Lokasi Pakuan dalam Naskah Kuno Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati: “Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung
58
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.” (Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa). Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari “hulu Ci Pakancilan”. Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna kata “kancil” memang berarti “peucang”.
C. Berita-Berita VOC Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari
59
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC (East India Company), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris. Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak.
D. Laporan Scipio Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah sebagai berikut. 1. Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik “Unitex” sekarang. Catatannya adalah sbb.: “Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni”. 2. Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat “Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang
60
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit”. Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran. Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan “kesan wajah” kerajaan hanyalah “Situs Batutulis”. Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, “dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort” (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau). Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan khayalan adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.
61
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
E. Laporan Adolf Winkler (1690) Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur. Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut. Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut “twee lanen”. Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu. Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi “parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak (de diepe dwarsgragt van Pakowang) yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.
62
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Apabila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks “Unitex” itu pada zaman Pajajaran merupakan “Kebun Kerajaan”. Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti “tanam, tanaman atau kebun”. Tajur Agung sama artinya dengan “Kebon Gede atau Kebun Raya”. Sebagai kebun kerajaan, Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya. Dari Tajur Agung, Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku “Tulus Rejo” sekarang). Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama sebelum pindah ke “Sekip” dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawang Gintung). Jadi, gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dahulu, di sana ada pohon Gintung. Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (“het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen
63
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
hebben”). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh (7) batang pohon beringin. Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Batutulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca (“Purwa Galih”), maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh “Gang Amil”. Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Bale Kambang (rumah terapung). Bale kambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali. Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan “benteng batu” yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.
64
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa “Istana Pakuan” itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup). Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata “stond” (berdiri). Jadi setelah terlantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada posisi semula. Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara “Kabuyutan” Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, “pohon campaka warna” (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.
65
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
F. Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) Abraham adalah putra Joan van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu. Rute perjalanan tahun 1703: Benteng-Cililitan-TanjungSerengseng-Pondok Cina-Depok-Pondok Pucug (Citayam)-Bojong Manggis (dekat Bojong Gede)-Kedung Halang-Parung Angsana (Tanah Baru). Rute perjalanan tahun 1704: Benteng-Tanah Abang-KaretRagunan-Serengseng-Pondok Cina dan seterusnya sama dengan rute 1703. Rute perjalanan tahun 1709: Benteng-Tanah Abang-KaretSerengseng-Pondok Pucung-Bojong Manggis-Pager Wesi-Kedung Badak-Panaragan. Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu, ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh
66
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang “de toegang” (jalan masuk) atau “de opgang” (jalan naik) ke Pakuan. Beberapa hal yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah sebagai berikut. 1. Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan). 2. Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada jaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki. 3. Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota. 4. Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane. Pada kunjungan tahun 1704, di seberang “jalan” sebelah barat tempat patung “Purwa Galih” ia telah mendirikan pondok peristirahatan
67
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
(“somerhuijsje”) bernama “Batutulis”. Nama ini kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut. Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan “cetakan tangan” untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya C.M. Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu. Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau “Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor”, Pleyte menjelaskan, “Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran’s koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten”. (Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih terpercaya, kampung Batutulis yang sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).
68
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Sedikit kotradiksi dari Pleyte: meskipun di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota. Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas “Dalem Kitha” (Jero kuta) dan “Jawi Kitha” (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah “kota dalam” dan “kota luar”. Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis. Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa “Leuwi Sipatahunan” yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasik, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari “Leuwi Sipatahunan” itu. 69
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen “Cakrabirawa” (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama “Mila Kencana”. Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini “Kuta Maneuh”. Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata “paseban” dengan tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas “balay” yang lama. Panelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte.
70
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Menurut Coolsma, “Lawang Saketeng” berarti “porte brisee, bewaakte in-en uitgang” (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang. Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng. Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi-Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
71
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Di Kampung Lawanggintung benteng ini bersambung dengan “benteng alam” yaitu puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan “ujung benteng” dengan “benteng” pada tebing Kampung Cincaw.
G. Pemerintahan di Pakuan Pajajaran Kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478 telah mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah Prabu Kertabumi. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang isterinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.
72
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Dalam Carita Parahiyangan disebutkan “estri larangan ti kaluaran”. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut “perundang-undangan” waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan. Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala) mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai “Susuhunan” karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. 73
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Masa akhir kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran berlangsung selama 97 tahun, yang secara berturut-turut dipimpin oleh: 1. Sri Baduga Maharaja (1482 - 1521) 2. Surawisesa (1521 - 1535) 3. Ratu Dewata (1535 - 1534) 4. Ratu Sakti (1543 - 1551) 5. Ratu Nilakendra (1551 - 1567) 6. Raga Mulya (1567 - 1579)
74
Bagian 7
Prasasti Batutulis Bogor
A. Jejak Kerajaan Sunda Prasasti Batutulis terletak di jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Kompleks Prasasti Batutulis memiliki luas 17 x 15 meter. Batu Prasasti dan benda-benda lain peninggalan kerajaan Sunda terdapat dalam kompleks ini. Pada batu ini, berukir kalimat-kalimat dengan huruf Sunda Kuno. Isi prasasti: 1. Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, 2. diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana 3. di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu hajj di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata 4. pun ya nu nyusuk na pakwan 5. diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna
75
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang 6. ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyanl sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi
Sumber: wikipedia-indonesia Gambar 7.1 Prasasti Batutulis
76
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
Terjemahan bebasnya kira-kira seperti berikut: 1. Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum 2. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, 3. dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. 4. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan. 5. Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. 6. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gununggunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka “Panca Pandawa Mengemban Bumi”.
77
Prasasti: Jejak Perkembangan Masyarakat dan Budaya
78
Glosarium
1.
Folklor (folk·lor) [n] : Adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, tetapi tidak dibukukan; ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan.
2.
Fragmen (frag·men /fragmén/) [n] : Cuplikan atau petikan (sebuah cerita, lakon, dan sebagainya); bagian atau pecahan sesuatu.
3.
Historiografi (his·to·ri·o·gra·fi) [n] : penulisan sejarah.
4.
Situs (si·tus) [n] : Daerah temuan benda-benda purbakala.
5.
Topografi (to·po·gra·fi) [n] : Kajian atau penguraian yang terperinci tentang keadaan muka bumi pada suatu daerah; pemetaan yang terperinci tentang muka bumi pada daerah tertentu; keadaan muka bumi pada suatu kawasan atau daerah; uraian tentang suatu bagian tubuh sampai ke segala hal ihwal anatominya.
79
Indeks
A Alur 67 Aplikasi 20 F Fakta Sejarah 16, 18 Folklor 6 Fragmen 58 H Historiografi 15 L Laporan Tertulis 59 Legenda 6 Lontar 58
80
M Majapahit 54 Mitos 6 Mulawarman 24 P Paseban 64 Prasasti 5, 7, 65 S Silsilah 16 Situs 70 T Tematis 17, 18 Topografi 55, 70 Tradisi 5, 7, 17
Daf tar Pustak a Daftar Pustaka
Ekajati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya. Joshe. 2002. “Museum Mulawarman: Jejak Sejarah yang Terputus” , Majalah Archipelago, Edisi 18/Februari. Soekmono, R. 1997. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia (Jil. 1 s.d. 3).
Yogyakarta: Kanisius.
http:www.wikipedia.org. ”Prasasti Kebon Kopi”.
81
Tentang P enulis Penulis Anandita F.P., lahir di Bandung pada 15 Mei 1977. Penulis ini adalah alumnus Sastra Perancis, Universitas Padjadjaran. Aktivitasnya, selain mengurus anak juga menulis artikel tentang wanita dan karier serta ilmu pengetahuan. Sejumlah artikelnya pernah dimuat oleh Pikiran Rakyat, Bandung Pos, dan Galamedia. Nama Anandita F.P.. merupakan nama pena dari Hetti Restianti. Beberapa buku karyanya diterbitkan oleh sejumlah penerbit. Berikut ini beberapa karya Hetti Restianti: Seri Planet (Penerbit E-Dwiraga Bandung, 2007) dan Bertanam Tanaman Hias (Penerbit E-Dwiraga, 2007), dan Menulis bagi Ibu Rumah Tangga (Penerbit E-Dwiraga, 2008).
82
Catatan
Catatan