bagian XIV
Direktur Jenderal Migas
B
agi seorang pegawai negeri sipil, jabatan Direktur Jenderal merupakan jenjang karir profesional paling tinggi di luar jabatan Menteri yang merupakan jabatan politis. Rachmat Sudibjo diangkat dan dilantik sebagai Direktur Jenderal Migas menggantikan Supraptono Sulaiman yang memasuki usia pensiun. Pada masa jabatannya yang berlangsung sekitar tiga tahun dari 30 Maret 1999 sampai dengan 29 Juli 2002, tidak kurang dari tiga Menteri yang membawahi Rachmat Sudibjo yaitu Kuntoro Mangkusubroto, SBY dan Purnomo Yusgiantoro.
Baginya pekerjaan baru yang diembannya tidak terlalu asing karena sebagian tugas dan fungsi Ditjen Migas sudah dia kenal baik sewaktu dia menjabat sebagai Direktur EP maupun Sekretaris Ditjen Migas. Struktur organisasi Ditjen Migas terdiri dari Sekretariat Ditjen (dipimpin oleh Waryono Karno) dan empat unsur pelaksana yaitu Direktorat Eksplorasi dan Produksi (Amri Muis), Direktorat Pengolahan dan Pemasaran (Wiranto Wiromartono), Direktorat Teknik (Subijanto) dan Direktorat Pembinaan Pengusahaan (Siti Djuharmi). Di samping itu terdapat Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Migas, LeMigas (Maizar Rahman) dan Pusat Pengembangan Tenaga Perminyakan, PPT Migas (Mudjito). Kekuatan SDM sekitar 450 orang, turun dari 550 orang selama lima tahun terakhir karena kebijakan zero growth.
|
169
|
mbang
Direktur Jenderal MigasPerta
a | Rachmat Sudibjo
Pada saat Rachmat dilantik menjadi Dirjen Migas, suasana reformasi sedang marak sebagai dampak Krisis Moneter 1998 yang mengubah paradigma dan pola pikir masyarakat secara total. Masyarakat sudah jenuh melihat praktek KKN dan monopoli yang dipegang oleh segelintir kelompok tertentu. Demonstrasi yang dilakukan secara bergelombang menuntut perombakan total di segala bidang yang mencapai puncaknya dengan diselenggarakannya sidang MPR tahun 1999. Hasil sidang berupa Tap MPR no. IV/MPR/1999 tanggal 19 Oktober 1999 yang mencerminkan suasana kebatinan masyarakat waktu itu lebih dikenal sebagai GBHN 1999. Khusus di bidang ekonomi yang terkait langsung dengan tugas dan fungsi Deptamben, Tap MPR mengamanatkan Arah Kebijakan Bidang Ekonomi sebagai berikut:
“Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup…”.
Pimpinan dari sidang MPR tersebut adalah Prof. Dr. H. M. Amien Rais sebagai Ketua, dan sebagai Wakil Ketua antara lain Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita dan Drs. Kwik Kian Gie. Operasionalisasi dari Tap MPR tersebut kemudian dijabarkan dalam Propenas 2000-2004. Ternyata beberapa tahun kemudian kebijakan ekonomi dari Tap MPR dilupakan atau bahkan ditentang oleh sebagian kalangan masyarakat termasuk salah satu dari Wakil Ketua MPR tersebut yang notabene menandatangani ketetapan tersebut. Di tengah-tengah suasana kebatinan seperti itulah Rachmat Sudibjo melaksanakan tugas sebagai Dirjen Migas, dimana yang perlu digaris bawahi antara lain adalah mengenai penurunan/penghapusan subsidi BBM, dampak kebijakan Otonomi Daerah terhadap sektor Migas dan meneruskan penyusunan RUU Migas. Hal-hal khusus yang ditanganinya antara lain kebijakan tentang Celah Timor, penghapusan bensin bertimbal dan Oil for Food. |
170
|
Pada awal tugasnya, Rachmat mendapat warisan permasalahan yang cukup berat. Dengan tanggung jawab terhadap kelancaran penerimaan Migas yang besarnya tidak kurang dari 30% dari total penerimaan negara, sungguh ironis bahwa Ditjen Migas tidak mempunyai kantor sendiri. Dalam rangka proyek pembangunan ‘Migas Tower’ di kompleks Gedung Migas yang lama di Jl. M.H. Thamrin pada masa Menteri Ginandjar Kartasasmita, Ditjen Migas dipindahkan ke gedung Dharma Niaga di Jl. Abdul Muis dengan sistem sewa yang ditanggung oleh developer pelaksana proyek. Pada masa Menteri I.B. Sudjana timbul masalah hukum dengan developer sehingga sewa gedung Migas dihentikan. Di luar dugaan proses pengurusan peralihan pembayaran sewa gedung ke Departemen Keuangan memakan waktu yang sangat lama dan tidak pernah tuntas. Hal ini tentu memberatkan keuangan Dharma Niaga yang notabene merupakan BUMN dan beberapa kali melontarkan protes kepada Ditjen Migas c.q. Deptamben. Sungguh mengherankan bahwa pihak Departemen Keuangan seolah tidak mau tahu tentang sengketa ini. “Suatu hari selagi saya dalam suatu meeting di London dalam rangka pertemuan bilateral RI-Inggris, tiba-tiba telepon saya berdering. Ternyata ada laporan dari Jakarta: ‘Pak kantor Migas disegel oleh Dharma Niaga. Kami semua masih di luar gedung tidak bisa masuk kerja.’ Saya terkejut bukan main. Bagaimana mungkin kantor pemerintah yang bertanggung jawab atas sedikitnya sepertiga dari penerimaan negara disegel oleh sebuah BUMN? Yang jelas ini bukan salah BUMN tapi yang berwenang atas alokasi anggaran.” Penyegelan tersebut tidak berlangsung lama, keesokan harinya segel diperintahkan untuk dibuka, barangkali untuk menghindari agar tidak menjadi tontonan rakyat yang tidak lucu. Beruntung bahwa persoalan gedung Migas ini tidak terus berlarutlarut. Kementerian ESDM akhirnya mengambil jalan keluar dengan membeli gedung di Jl. Rasuna Said dan ironisnya dengan dana dari iuran batubara, bukan dari penerimaan migas. Akar permasalahan yang sebenarnya adalah paradoks yang berlangsung sejak awal tentang pemegang wewenang sebagai pencatat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor Migas. Drama ini muncul karena tradisi (yang |
171
|
mbang
Direktur Jenderal MigasPerta
a | Rachmat Sudibjo
salah kaprah) yaitu bahwa Departemen Keuangan-lah yang menjadi pencatat PNBP Migas dan bukan departemen teknis yang membidangi migas (Kementerian ESDM). Masalah tentang kekisruhan ini telah berulang kali untuk dicoba diungkap kepermukaan tapi tidak pernah mendapat penyelesaian secara tuntas. Bahkan tidak saja ketiadaan gedung, kendaraan antar-jemput pegawai Ditjen Migas pun mayoritas sudah bobrok dan sulit diremajakan karena masalah pendanaan.
Gambar 60. Bersama Pengurus Dharma Wanita Ditjen Migas
Otonomi Daerah Dalam rangka mendukung kebijakan Otonomi Daerah Kementerian ESDM mengambil langkah proaktif dengan membentuk task force untuk memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi Daerah di bidang energi dan sumber daya mineral. Ditjen Migas sebagai bagian dari task force tersebut melakukan inventarisasi, diskusi, dan sosialisasi di daerah penghasil Migas. Sebagai Dirjen Migas, Rachmat Sudibjo menjadi anggota rapat interdep pembahasan RUU tentang Pemerintahan Daerah (kemudian menjadi Undang-undang No. 22/1999) dan RUU tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPD), yang kemudian menjadi Undang-undang No. 25/1999. Dalam rapat dibahas tentang |
172
|
proporsi hak penerimaan Migas daerah dari Kabupaten/Kota penghasil Migas : Provinsi : Kabupaten/Kota lain dalam provinsi dimaksud. Dalam Undang-undang PKPD secara jelas porsi penerimaan Migas daerah diberikan secara prioritas kepada Kabupaten/Kota penghasil Migas. Namun dikemudian hari timbul salah tafsir dimana Kabupaten/Kota yang wilayahnya dilalui atau ditempati oleh prasarana Migas seperti pipa dan pengolahan gas juga menuntut hak yang sama dengan Kabupaten/ Kota daerah penghasil. Berdasarkan rapat-rapat tersebut, untuk menampung aspirasi daerah, di dalam RUU Migas diatur tentang pemberian Participating Interest (PI) sebesar 10% bagi Kabupaten/Kota penghasil Migas yang WK Migas didaerahnya sudah dinyatakan komersial. Pada awal penerapan kedua Undang-undang ini sering timbul kecurigaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat karena terdapatnya data produksi yang berbeda. Hal ini terjadi karena produksi Migas memang diklasifikasikan dalam beberapa jenis pentahapan: produksi kotor, produksi bersih (dipotong fuel, losses, dan own use), produksi hasil rekonsiliasi dan lifting (di custody transfer). Secara tidak langsung daerah mendapat data yang berlainan jenis klasifikasinya yang menimbulkan kecurigaan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Dengan berjalannya waktu curiga-mencurigai ini lambat-laun menghilang. Ada satu hal yang Rachmat tidak pernah lupakan. Karena banyaknya daerah pemekaran baru kadang-kadang terjadi kesalahan pemetaan batas wilayah daerah yang baru dimekarkan. Pernah dalam satu rapat interdep yang diadakan di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Rachmat menyaksikan pertikaian antara Bupati Kutai Timur dengan Bupati Kutai Kartanegara karena memperebutkan satu wilayah produksi Migas yang besar. Pertengkaran demikian hebatnya sehingga harus dilerai oleh peserta rapat. Periksa punya periksa, ternyata Kemendagri telah melakukan kesalahan dalam pemetaan batas wilayah yang mencakup wilayah produksi yang kemudian menjadi sengketa. Konon kabarnya salah satu Bupati sudah sempat mengerahkan sebagian penduduknya di perbatasan untuk mempertahankan wilayah kerja yang diperebutkan.
|
173
|
mbang
Direktur Jenderal MigasPerta
a | Rachmat Sudibjo
Subsidi BBM Masalah kedua yang harus dihadapi Dirjen Migas adalah tentang subsidi BBM. Dihadapkan pada kondisi yang sulit dimana subsidi BBM sudah mencapai lebih dari Rp 30 triliun, dan ditengah lemahnya ekonomi nasional akibat krisis ekonomi 1998, Pemerintah tidak punya alternatif lain kecuali memutuskan untuk menaikan harga BBM. Pada awal 2000, Menteri SBY segera mulai membahas rencana kenaikan harga BBM tersebut dengan DPR. Tugas Ditjen Migas adalah untuk melakukan analisa data supply-demand dari biaya pengadaan dari setiap jenis BBM dan menghitung besaran subsidi yang diperlukan. Rachmat juga mendapat tugas untuk melakukan sosialisasi melalui seminarseminar dan dialog terbuka dengan berbagai unsur masyarakat dan kalangan DPR. Walaupun akhirnya DPR menyetujui kenaikan harga BBM sebesar 10% dibanding dengan rencana semula sebesar 20%, tetap saja demonstrasi yang menentang kenaikan harga BBM tersebut marak dimana-mana. Akhirnya Pemerintah dengan persetujuan DPR menunda kenaikan harga BBM tersebut hingga waktu yang tidak ditentukan. Menurut pandangan Rachmat bahwa dari sisi keadilan, subsidi hanya layak diberikan apabila dapat dinikmati oleh rakyat secara luas. Dan satusatunya jenis BBM yang masuk dalam kategori ini adalah minyak tanah yang digunakan secara luas oleh hampir semua lapisan masyarakat. Sedangkan bahan bakar bensin dan solar yang dinikmati oleh tidak lebih dari 10% penduduk di Indonesia (mereka yang memiliki kendaraan bermotor) sudah tentu tidak masuk dalam kategori yang layak diberi subsidi. Harus diingat bahwa berkaitan dengan masalah kenaikan harga BBM ini, anggota DPR selalu dihadapkan pada dilema antara pilihan menyetujui usulan Pemerintah menaikan harga BBM yang secara psikologis menimbulkan citra tidak pro-rakyat atau tidak menyetujui usulan pemerintah walaupun mereka tahu bahwa hal itu akan memperberat keuangan pemerintah. Kebijakan subsidi secara inheren menciptakan konflik kepentingan yang laten dan berkepanjangan antara pemerintah |
174
|
dan DPR dan selalu timbul ketegangan setiap kali Pemerintah memutuskan untuk menaikan harga BBM. Memang betul bahwa secara makro harga BBM yang murah dapat memberikan daya kompetisi yang lebih tinggi dibanding negara lain, tapi sifatnya sangat semu. Terlebih lagi disparitas harga yang tinggi antara minyak tanah dan minyak solar merangsang oplosan antara kedua jenis BBM tersebut dan lebih fatal lagi adalah disparitas harga BBM dengan negara tetangga yang menimbulkan berlangsungnya penyelundupan BBM yang jumlahnya jauh lebih masif. Pelaku dari kategori terakhir inilah yang sangat dirugikan bila harga BBM dinaikkan dan dengan segala daya dan cara mereka berupaya untuk menggagalkan kebijakan pengurangan subsidi tersebut.
Gambar 61. Partisipasi dalam Diskusi Panel di Kampus ITB tahun 2002
Kebijakan subsidi diberikan dengan asumsi bahwa aparat penegak hukum kita mempunyai disiplin dan integritas yang tinggi dan siap untuk membasmi efek samping berupa pengoplosan dan penyelundupan BBM yang merugikan tersebut. Tapi kenyataan di lapangan membuktikan lain. Banyak oknum aparat yang tidak tahan terhadap godaan untuk mendapat keuntungan yang besar dengan mengambil jalan pintas |
175
|
mbang
Direktur Jenderal MigasPerta
a | Rachmat Sudibjo
melindungi atau bahkan mendukung penyelundupan yang seharusnya mereka berantas. Kuntoro semasa menjabat Mentamben mengantisipasi hal ini dan membentuk Tim Pelaksana Penanggulangan Penyalahgunaan BBM yang diketuai Slamet Singgih dan keberadaan Tim ini terus berlanjut pada masa SBY. “Sebagai pensiunan Jenderal pak SBY suka terjun langsung melakukan operasi mendadak (sidak). Beberapa kali beliau melakukan sidak ke daerah-daerah dan yang paling spektakuler adalah waktu kami diajak sidak ke Marunda yang dilakukan lewat laut dengan speedboat Pertamina menyisir pantai utara dengan arah melambung ke arah pangkalan Marunda. Benar saja kita menemukan empat tongkang ilegal dengan logo Pertamina palsu yang sedang bersandar di dermaga pangkalan dengan muatan penuh minyak tanah tanpa dilengkapi dokumen resmi,” Rachmat menceritakan pengalaman dengan SBY yang tidak pernah dia lupakan. Rachmat tidak sependapat dengan mengartikan istilah vital dan strategis bagi Migas dan BBM dan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 sebagai keharusan mensubsidi. Istilah dan pengertian tersebut dalam konteks pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri lebih diartikan sebagai tersedianya BBM dalam jumlah yang mencukupi dengan sarana kilang dan distribusi yang handal di seluruh tanah air. Sebagai contoh, masih pada masa SBY terjadi krisis BBM. Hal ini terjadi bermula dengan rusaknya kilang Balongan yang mensuplai sekitar 15% dari kebutuhan BBM nasional. Stok BBM nasional hanya dapat memenuhi kebutuhan nasional selama tiga minggu (bandingkan dengan Strategic Petroleum Reserve ‘SPR’ negara anggota IEA selama tiga bulan). Kerusakan Balongan ternyata jauh lebih lama dari yang diantisipasi yang ternyata kemudian baru dapat beroperasi kembali setelah tiga bulan. Situasi ini diperburuk dengan kecelakaan yang berturut-turut yaitu rusaknya pipa BBM di Labuhan Deli, Medan, karena dihantam sebuah kapal kargo yang sedang berlabuh dan terbakarnya salah satu unit kilang Balikpapan. Di DKI dan beberapa kota di Jawa antrian BBM sudah memanjang. Beruntung kemudian krisis
|
176
|
dapat teratasi terutama setelah dicapai persetujuan Crude Processing Deal (CPD) antara Pertamina dengan SPC, Singapura, yaitu memproses minyak yang tadinya diolah di kilang Balongan dialihkan ke kilang SPC. Purnomo Yusgiantoro merupakan Menteri yang memegang rekor tertinggi dalam menaikan harga BBM selama menjabat jadi Menteri ESDM. Yang paling menegangkan adalah pada saat Menteri akan mengumumkan kenaikan harga BBM yang biasanya dilakukan pada malam hari untuk menghindari rush antrian pembeli BBM di pompa bensin. Belum lagi mengatisipasi kemungkinan adanya demo pasca pengumuman kenaikan harga tersebut. Sebenarnya inilah salah satu alasan lahirnya pasal 28 RUU Migas. Intinya adalah bahwa subsidi harga tidak lagi diberikan pada BBM (dan harga Gas Bumi) dan diubah menjadi subsidi langsung bagi masyarakat yang membutuhkan (harga BBM diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, tanpa mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu). Pasal ini sebenarnya merupakan pelaksanaan lanjut dari amanat Propenas 2000-2004 yang disusun sebagai operasionalisasi dari GBHN 1999:”… mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu mekanisme pasar, melalui regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif, yang dilakukan secara transparan dan diatur dengan undang-undang.” Rachmat menceritakan bahwa yang terjadi beberapa tahun kemudian adalah bahwa atas pengaduan dari sebagian kalangan masyarakat/LSM pada tahun 2004 Mahkamah Konstitusi melakukan Judicial Review dan menetapkan Pasal 28 ini sebagai inkonstitusional. Dengan demikian, Pemerintah secara rutin kembali tersandera masalah subsidi BBM dan kenaikan harga BBM yang proses penetapannya memerlukan energi yang besar dan cukup melelahkan bagi semua pihak.
|
177
|
mbang
Direktur Jenderal MigasPerta
a | Rachmat Sudibjo
RUU Migas Setelah pernah ditolak DPR pada masa Kuntoro, SBY memprakarsai kembali diajukannya RUU Migas ke DPR. Sebagai tokoh yang berhasil melakukan reformasi TNI, pemerintah (Presiden Gus Dur) menaruh harapan bahwa SBY juga akan berhasil melakukan reformasi di bidang Migas. Agar tidak terulang situasi konfrontatif seperti yang pernah terjadi pada masa Kuntoro, kali ini sebelum draft RUU diserahkan ke DPR, SBY melakukan pendekatan ke Pertamina. Dan setelah sekian lama absen dari pembahasan RUU ini (Sekretaris DKPP tidak langsung terlibat dalam pembahasan RUU Migas), Rachmat Sudibjo, dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Migas berada di front depan dalam memperjuangkan RUU ini yang menyita sebagian besar waktu Rachmat dalam pembahasan yang sangat intensif pasal demi pasal dengan Komisi VIII DPR RI. Persiapan dan pembahasan RUU yang dimulai sejak 1996 dengan segala up and down-nya akhirnya pada tahun 2001 ditetapkan menjadi Undangundang Migas pada masa Purnomo Yusgiantoro. Ada satu hal yang dikemudian hari dijadikan target serangan bagi para oponen Undang-undang Migas yaitu Memorandum Tambahan dari Letter of Intent (LOI) tanggal 7 September 2000:
“The Government remains strongly committed to the comprehensive legal and policy reforms for the energy sector outlined in the MEFP of January 2000. In particular, two new laws concerning Electric Power and Oil and Natural Gas will be submitted to Parliament during September. The Ministry of Mines and Energy has prepared medium term plans to phase out fuel subsidies and restore electricity tariffs to commercially viable levels.”
Nampaknya IMF memandang bahwa kebijakan reformasi energi yang dituangkan dalam RUU Migas dan RUU Kelistrikan yang berjalan tidak terlalu mulus perlu secara eksplisit dimasukan dalam LOI IMF. Demikian pula adanya bantuan USAID berupa expertise yang studi bandingnya praktis tidak terpakai karena konsep RUU Migas waktu itu sudah sangat jauh dan solid. Dikemudian hari hal ini menjadi senjata efektif bagi para |
178
|
oposan Undang-undang Migas untuk menyerang Undang-undang Migas sebagai pesanan IMF yang pro asing, liberal, anti rakyat dan sebagainya. Mental sebagian kalangan masyarakat kita yang masih memandang ‘superioritas’ bangsa Barat otomatis memandang bahwa tuduhan tersebut sebagai satu kebenaran. Padahal kalau mereka mau menelusuri perkembangan substansi RUU Migas dari tahun ke tahun sejak 1996 sampai disetujuinya RUU tersebut oleh DPR mereka pasti tidak akan menemukan adanya diskontinuitas atau perubahan yang mendadak sebelum dan sesudah adanya ‘intervensi’ itu. Para pelaksana serta mitra kerja penyusunan Undang-undang Migas yang bekerja secara estafet selama lima tahun tersebut tidaklah senaif seperti apa yang dilontarkan oleh para oposan tersebut.
Gambar 62. Meeting dengan Kementerian Energi Yordania sebelum Berangkat ke Bagdad
Celah Timor Ditjen Migas sebagai institusi yang mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan pembinaan serta menyelenggarakan kegiatan usaha hulu Migas tidak saja di wilayah pertambangan di tanah air tapi juga di Zone of Cooperation (ZOC) di Celah Timor. ZOC ini dibentuk sebagai tindak lanjut dari Timor Gap Treaty yang ditandatangani antara |
179
|
mbang
Direktur Jenderal MigasPerta
a | Rachmat Sudibjo
Indonesia dan Australia pada 1989 yang kemudian diratifikasi oleh DPR RI pada November 1990. ZOC ini merupakan hasil kompromi antara kedua negara karena tidak tercapainya kesepakatan penetapan batas landas kontinen di Celah Timor dimana Indonesia ingin menetapkan batas landas kontinen di Celah Timor dengan sistem median line dan ZEE (berdasarkan UNCLOS 1982), sedangkan Australia dengan sistem bathymetric axis line, penetapan batas berdasarkan sumbu terdalam dari laut, atau Palung Timor-Banda (Konvensi Jenewa 1958). Untuk pelaksanaan pengendalian operasi Migas di ZOC dibentuk Joint Authority yang eksekutifnya terdiri dari perwakilan kedua negara. Sistem PSC diadopsi sebagai bentuk kerja sama antara Joint Authority dengan pihak kontraktor Migas. Di Zona Kerja Sama (ZOC) bagi hasil penerimaan Migas antara dua negara ditetapkan 50 : 50. Setiap tahun Ditjen Migas bersama mitra kerjanya dari pihak Australia mengadakan pertemuan bilateral yang lokasinya diadakan secara bergantian di kedua negara tersebut dengan agenda kerja sama di bidang energi, pembahasan batas landas kontinen yang belum terselesaikan dan Celah Timor. Treaty ini berakhir setelah Timor Timur lepas dari Indonesia dan menjadi negara merdeka, Timor Leste. “Joint Authority yang merupakan badan eksekutif pemegang manajemen operasi di ZOC ini adalah sebuah badan otoritas, bukan BUMN patungan dari masing-masing negara. Walaupun implementasinya dilakukan dalam kontek dan skala terbatas, para pengamat yang menganggap bahwa pengelola/pemegang manajemen operasi Migas di negara kita harus berbentuk BUMN perlu melihat hal ini kembali,” ungkap Rachmat.
Penghapusan Bensin Bertimbal Mayoritas kilang Pertamina sudah tua dan hanya mampu menghasilkan bensin beroktan rendah antara 60-70. Agar mesin kendaraan tidak mengelitik (knocking), Pertamina menaikkan bilangan oktan dengan mencampurkan Tetra Ethyl Lead (TEL) yang sangat efektif dan murah |
180
|
namun kemudian dinyatakan sebagai bahan berbahaya (beracun). Dengan campuran itu bensin yang beredar di Indonesia beroktan 88. Namun bilangan oktan ini tidak cukup tinggi untuk mesin kendaraan modern yang mempunyai RPM tinggi. Karena kadar racunnya yang tinggi diharapkan bahwa TEL tidak akan lagi dicampur dalam bahan bakar bensin. Pada 1996, Presiden Soeharto yang hadir dalam Konvensi Rio de Janeiro, Brasil menginstruksikan penghapusan kandungan timbal dalam bensin di seluruh Indonesia pada tahun 1999. Pertamina mengusulkan untuk membangun catalytic reformer (Program Langit Biru) untuk menghasilkan High Octane Mogas Component (HOMC) yaitu bensin beroktan tinggi (mendekati angka 100) untuk dicampurkan pada bensin beroktan rendah hasil kilang Pertamina. Program ini gagal memperoleh pendanaan sehingga target tahun 1999 tidak tercapai. Pada Oktober 1999, Mentamben Kuntoro Mangkusubroto menerbitkan Kepmen tentang penundaan target penghapusan bensin bertimbal menjadi 1 Januari 2003 yang akan dilakukan bertahap sesuai kemampuan kilang Pertamina (Program Langit Biru). Pada Desember 1999, Dirjen Migas (Rachmat Sudibjo) membentuk Tim Interdep untuk mempersiapkan langkah-langkah dan tindakan penghapusan bensin bertimbal sesuai Kepmen MPE 1999. Dalam Tim dibahas tiga cara yang dapat ditempuh yaitu mempercepat Program Langit Biru untuk memproduksi HOMC, mengimpor HOMC atau mencampurkan Octane Booster berupa organo metalik berbasis Ferrous (a.l. Plutocene) atau berbasis Manganese (a.l. MMT). Cara ini kurang efektif dan lebih mahal ketimbang TEL namun lebih murah dari HOMC. Dirjen Migas menginstruksikan LeMigas untuk melakukan pengkajian teknis atas aditif MMT sebagai alternatif termurah di luar TEL. Hasil kajian LeMigas ini kemudian disampaikan ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Bappedal untuk dievaluasi dari sisi lingkungan Rapat interdep selalu tidak berhasil mengeluarkan hasil yang konkret, karena tidak berhasil memperoleh persetujuan anggaran dari Kementerian |
181
|
mbang
Direktur Jenderal MigasPerta
a | Rachmat Sudibjo
Keuangan baik untuk pendanaan Program Langit Biru maupun untuk impor HOMC. Sedangkan untuk penggunaan octane booster organo metalic menunggu persetujuan dari KLH. Menyusul disepakatinya penghapusan bensin bertimbal secara bertahap per wilayah yang tidak terlalu memberatkan anggaran dibandingkan penghapusan secara serentak, pada Juni 2001, Dirjen Migas menerbitkan spesifikasi bensin tanpa timbal untuk premix dan premium (Kep. Dirjen No. 73 dan 74K/72/DJM/2001). Dengan landasan spesifikasi bensin tanpa timbal tersebut pada 1 Juli 2001, DKI/Jabotabek yang merupakan 30% dari total konsumsi Indonesia dinyatakan bebas bensin bertimbal. Pencampuran HOMC ke dalam bensin dipasok dari Kilang Balongan. Pertamina mampu menghasilkan HOMC untuk dicampur dengan BBM khusus untuk konsumsi BBM Jabotabek dan sekitarnya. Pada November 2001, menyusul Cirebon dan sekitarnya yang lokasinya dekat dengan kilang Balongan pada gilirannya dinyatakan bebas bensin bertimbal. Pada 29 Juli 2002, Rachmat Sudibjo berhenti sebagai Dirjen Migas karena diangkat sebagai Kepala BP Migas dan sejak itu dia sama sekali tidak menangani BBM/TEL. Dari perkembangan selanjutnya, ternyata target bebas timbal pada 2003 pun tidak tercapai. Secara nasional Indonesia baru bebas timbal secara penuh pada tahun 2006. “Mungkin orang tidak pernah berpikir bahwa Kementerian teknis (ESDM) tidak mungkin berjalan sendiri melaksanakan penghapusan bensin bertimbal. Tanpa dukungan Kementerian Keuangan untuk pendanaan dan KLH untuk persetujuan dari segi lingkungan, tidak mungkin program bisa berjalan. Bahkan yang kemudian saya ketahui bahwa SKB tiga Menteri yang sudah ditandatangani Menteri ESDM dan Menteri Lingkungan Hidup pun ternyata tidak ditandatangani Menteri Keuangan. Negeri kita ini memang aneh, banyak orang rajin bikin program tapi tidak pernah memikirkan dana yang diperlukan untuk melaksanakannya. Ini ibaratnya seperti film cowboy, lakonnya dengan gagah berani malang melintang menunggang kuda untuk menumpas ‘bandit-bandit’nya, tapi sutradaranya lupa menceritakan bagaimana dia dapat duit untuk membiayai hidupnya”. |
182
|
Tapi Rachmat tidak menyangka bahwa sepuluh tahun kemudian dia dituduh menerima suap dan ikut bertanggung jawab atas mundurnya target Program Penghapusan Bensin Bertimbal.
Oil for Food Ada pengalaman yang unik yang Rachmat alami yaitu keikutsertaan Rachmat sebagai Dirjen Migas dalam misi Oil for Food, yaitu kebijakan PBB mengizinkan Irak mengekspor minyak secara terbatas untuk ditukar dengan bahan makanan dan obat-obatan yang sangat diperlukan rakyat Irak karena embargo yang dilakukan PBB sejak Perang Teluk berakhir tahun 1991. Pemerintah Indonesia berinisiatif untuk memperoleh minyak Irak terkait dengan program Oil for Food dengan mengirim misi ke Irak pada 1999. Ternyata perundingan yang dimulai pada masa Kuntoro memerlukan waktu yang cukup panjang sehingga harus dilakukan beberapa kali kunjungan yang dilanjutkan pada masa SBY hingga yang terakhir pada masa Purnomo Yusgiantoro.
Gambar 63. Berpose di Depan Gua Kahfi, Amman, Yordania
Rachmat jadi seperti bernostalgia mengulang kembali perjalanan waktu dia selaku Direktur EP Migas, membantu Pertamina dalam misi memperoleh konsesi lapangan Tuba dan Blok eksplorasi Western Desert |
183
|
mbang
Direktur Jenderal MigasPerta
a | Rachmat Sudibjo
di Irak beberapa tahun yang lalu. Embargo udara masih diberlakukan hingga rombongan delegasi masih harus mendarat di Amman, Yordania, untuk transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Bagdad. Pada satu kesempatan Menteri Purnomo memanfaatkannya untuk mencoba menjalin hubungan dengan Kementerian Energi setempat untuk menjajaki kemungkinan kerja sama antara kedua negara dalam bidang energi. Pihak Yordania terkesan dengan pengalaman Indonesia dalam menangani transportasi gas dan mengundang pengusaha Indonesia untuk berinvestasi pada infrastruktur gas di bagian utara negeri itu yang kemudian dijajaki oleh tim PGN yang ikut bersama rombongan. Perjalanan ke Bagdad ditempuh melalui jalan darat menembus padang pasir sejauh 1.000 km dan suasananya tidak mencekam seperti yang dia alami sebelumnya. Rombongan tamu negara biasa menginap di Hotel Rashid. Di lantai pintu gerbang hotel terpampang gambar muka George Bush Senior sehingga setiap tamu yang masuk ke hotel terpaksa harus menginjak-injak muka Bush. Itulah cara Saddam Husein membalas dendam kepada George Bush Senior, mantan Presiden Amerika Serikat yang merupakan musuh bebuyutannya. Di bawah tekanan embargo dari PBB, kota Bagdad terlihat sangat mundur. Nampak mobil yang sudah tua meluncur di jalan-jalan kota yang agak lengang dipenuhi dengan potret berukuran besar dari pemimpin besar Irak itu. Rombongan tidak pernah tahu kapan menteri kita sebagai utusan khusus dari Presiden RI akan diterima oleh Saddam Husein. Rencana pertemuan selalu dilakukan secara rahasia dan mendadak biasanya pada pagi hari dan dengan dikawal oleh Pejabat Pasukan Garda Republik para tamu negara di antar menyusuri jalan berputar-putar sebelum bertemu di tempat rahasia orang nomor satu Irak tersebut. Misi Oil for Food tersebut kemudian terhenti setelah situasi memburuk dan kemudian mencapai puncaknya pada saat Amerika Serikat menyerbu Irak pada tahun 2003 dengan alasan untuk menghancurkan senjata pemusnah massal dan tentunya menyingkirkan Saddam Hussein once for all. Kita semua sedih mendengar berita bahwa semua menteri Irak yang pernah kita temui telah dihukum mati. “Namun dengan kandungan |
184
|
minyak sebesar 112 miliar barrel yang merupakan sepersepuluh dari cadangan minyak dunia adalah satu keniscayaan bagi kita untuk dapat menghidupkan kembali pertemuan bilateral yang pernah kita jalin bersama, kapan pun kesempatan untuk itu terbuka,” Rachmat berharap.
Gambar 64. Bersama Mentamben Susilo Bambang Yudhoyono dalam Kunjungan Kerja Ke Pusdiklat Cepu
Gambar 65. Bersama Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro pada Acara Pekan Olah Raga Departemen
|
185
|
mbang
Direktur Jenderal MigasPerta
|
186
|
a | Rachmat Sudibjo