bagian XII
Sekretaris Dewan Komisaris Pemerintah Untuk Pertamina
B
agi seorang pegawai negeri, dipromosikan ke jabatan Eselon I tentu merupakan milestone yang sangat penting bagi perjalanan karirnya. Tapi jalan menuju Eselon I penuh (IA), biasanya harus terlebih dahulu memegang jabatan Staf Ahli Menteri (Eselon IB) sesuai dengan keahlian/bidang yang digelutinya. Namun intensitas dari interaksi antara Staf Ahli dengan Menteri sangat tergantung pada aktivitas dan kreativitas masing-masing staf serta informasi dan masukan yang diperlukan Menteri. Banyak yang frustasi karena semasa mereka menjabat Eselon II, kegiatan mereka jauh lebih padat dibanding saat menjadi Staf Ahli Menteri. Pada zaman Orde Baru, pernah seorang Menteri yang hendak keluar mengikuti Sidang Kabinet di istana menyapa seseorang yang sedang berdiri di lobi Departemen: “Bagaimana kabarnya, sepertinya kita pernah bertemu ya. Apa kegiatannya sekarang?” Yang disapa menjawab tersipu-sipu karena banyak tamu di lobi melihat mereka berdua. ”Lho Pak, kan sudah hampir lima tahun saya menjadi staf Ahli Bapak.”
Tapi Staf Ahli Menteri bidang Migas lain karena secara ex officio merangkap menjadi Sekretaris DKPP, satu jabatan yang banyak di idam-idamkan pejabat Departemen. Siapa yang tidak kenal Pertamina, |
149
|
Sekretaris Dewan Komisaris Pemerintah Untuk Pertaminart | Rachmat Sudibjo
perusahaan raksasa milik negara dengan asetnya yang besar tersebar di seluruh Tanah Air? Tentu merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi Rachmat saat dipromosikan menduduki jabatan ini pada tahun 1997 menggantikan posisi Supraptono Sulaiman yang diangkat menjadi Dirjen Migas. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 8/1971, tugas DKPP adalah menetapkan kebijaksanaan umum Perusahaan, mengawasi pengurusan Perusahaan, dan mengusulkan kepada Pemerintah langkah yang perlu diambil dalam rangka menyempurnakan pengurusan Perusahaan, termasuk susunan Direksi Perusahaan. DKPP terdiri atas tiga anggota tetap, yaitu Menteri Pertambangan dan Energi selaku Ketua merangkap Anggota, Menteri Keuangan selaku Wakil Ketua merangkap Anggota, dan Kepala Bappenas selaku Anggota. Apabila diperlukan, Presiden dapat mengangkat sebanyak-banyaknya dua Menteri dari bidang lain sebagai anggota. Selama masa jabatannya sebagai Sekretaris DKPP, yang menduduki Ketua DKPP adalah I.B. Sudjana yang kemudian digantikan oleh Kuntoro Mangkusubroto. Rachmat menceritakan bahwa proses pengangkatannya menjadi Sekretaris DKPP tidak terlalu mulus. Pada suatu hari Rachmat diberitahu rekannya di Sekretariat Negara bahwa sebentar lagi dia akan dipromosikan menjadi Staf Ahli Menteri/Sekretaris DKPP, dan SK pengangkatannya sudah ditandatangani Presiden. Namun hal tak terduga terjadi beberapa hari kemudian. Menteri I.B. Sudjana menerima surat kaleng yang mendiskreditkan pribadi Rachmat. “Pak Sudjana adalah seorang purnawirawan Jenderal TNI, tentu ingin disiplin ditegakkan. Beliau memerintahkan kepada Pak Umar Said selaku Sekjen Departemen waktu itu untuk melakukan pemeriksaan. Walaupun sebagai teman baik sejak belajar bersama di Perancis, sikap pak Umar sangat zakelijk.” Tapi belum sampai masalah ini selesai, terjadi perubahan personil pada tataran Eselon I, termasuk Umar Said yang tergeser dari jabatan Sekjen. “Persoalannya kemudian sempat terkatung-katung. Tapi berkat bantuan dan inisiatif Pak Purnomo Yusgiantoro, Penasehat Menteri waktu itu, persoalan tersebut akhirnya dapat diselesaikan. Saya tidak pernah lupa atas jasa pak Purnomo yang secara tidak langsung ikut memuluskan karier |
150
|
saya naik ke jenjang Eselon I,” kenang Rachmat. Purnomo Yusgiantoro di kemudian hari menjadi Menteri Pertambangan dan Energi pada saat Rachmat sudah menjabat Dirjen Migas. Untuk membantu DKPP, ada tiga kelompok kerja yang dibentuk. Kelompok I adalah Bidang Ekonomi dan Keuangan, Kelompok II adalah Bidang Pemasaran dan Pembekalan, sedangkan Kelompok III adalah Bidang Eksplorasi, Produksi, dan Pengolahan. Anggota kelompokkelompok ini berasal dari beberapa Kementerian yang disesuaikan dengan kebutuhan, yaitu Departemen Keuangan, Sekretariat Negara, BPPT, Sekretariat DKPP, DPE dan Bappenas, Pertamina, Ditjen Migas. Sebelum diangkat menjadi Sekretaris DKPP, sebagai wakil dari Migas Rachmat berada di Kelompok III yang dipimpin oleh Prof. Andreas Kukuh (Kho Kian Ho), dosen Teknik Kimia ITB yang juga bekerja di BPPT. Salah satu bahan bahasan di kelompok itu adalah biaya pengolahan di kilang Pertamina dan distribusi BBM ke seluruh penjuru tanah air.
Gambar 50. Bersama Kuntoro Mangkusubroto, Mentamben dan Soegianto, Dirut Pertamina
|
151
|
Sekretaris Dewan Komisaris Pemerintah Untuk Pertaminart | Rachmat Sudibjo
Agenda rutin tahunan yang dibahas di Sekretariat DKPP adalah membahas usulan Rencana Kerja dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Biaya Perusahaan,yang kemudian diajukan ke Sidang Pleno DKPP untuk mendapat persetujuan. Pembahasan yang dilakukan di Kelompok III difokuskan pada pengkajian tekno-ekonomi, termasuk biaya operasi pengolahan minyak bumi di kilang minyak Pertamina dalam rangka menghitung subsidi BBM, yakni selisih antara harga yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk setiap jenis BBM dengan biaya operasi pengolahan dan distribusi ke seluruh wilayah nusantara. Agenda lain adalah melaksanakan studi kelayakan proyek investasi Pertamina terutama dari kegiatan hilir Migas. Kelompok III memandang bahwa sistem cross-subsidi antar jenis BBM menimbulkan distorsi harga dan merangsang penyelundupan dan pengoplosan karena disparitas harga terlalu tinggi. Dalam kaitan dengan target Indonesia bebas timbal pada1999, Kelompok III memfokuskan pada pengkajian rencana pembangunan unit reformer untuk menghasilkan High Octane Mogas Component (HOMC) sebagai pengganti komponen timbal dalam bensin yang dikenal dengan nama Program Langit Biru. Hambatan yang dihadapi adalah kesulitan untuk mendapatkan dana bagi realisasi program ini, terlebih setelah Indonesia mengalami krisis moneter pada tahun 1998. Di bidang kegiatan hulu, status TAC Ustraindo menjadi perhatian khusus, dan karena kegagalan mereka dalam memenuhi komitmennya, TAC Ustraindo kemudian dibatalkan oleh Ketua DKKP/ Mentamben dan operasinya dikembalikan kepada Pertamina. Banyak hal yang dibahas dalam Kelompok III yang hasilnya kemudian menjadi bahan penyesuaian dan masukan bagi penyusunan Undangundang Migas yang baru. Dalam kaitan dengan Program Restrukturisasi Pertamina (1994-1999) yang diajukan Pertamina, Kelompok III meminta agar restrukturisasi dilakukan secara lebih mendasar. Dengan status Pertamina saat itu, Kelompok III beranggapan bahwa Pertamina tidak dapat berfungsi sebagai layaknya unit usaha. Pertamina tidak dapat melakukan pemupukan dana dan menjual obligasi kecuali diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) khusus untuk itu dan manajemen Pertamina yang lebih transparan. |
152
|
Gambar 51. Sesi Break pada Pertemuan dengan Salah Satu PSC di AS
Untuk itu diusulkan perubahan struktur dan manajemen Pertamina melalui pembentukan investment holding atau strategic holding mengingat Pertamina punya organisasi dan aset besar yang tersebar di seluruh Indonesia. Pertamina dikenakan pajak perseroan sehingga Pertamina mempunyai NPWP, memperoleh tax-receipt dan dapat gopublic atau menjual obligasi. Diperlukan perubahan falsafah usaha, meninjau kembali peraturan perundangan, pola usaha, struktur organisasi. Sistem cost-center (nirlaba) kegiatan operasi penyediaan BBM yang didasarkan atas cost & fee perlu diubah menjadi profit center. Prof. Kho yang terkenal vokal di lingkungan DKPP mengkritik sistem cost & fee tersebut dengan mengibaratkan seolah-olah Pertamina diberlakukan sebagai tukang jahit. Kain, benang, dan mesin jahit disediakan oleh pemerintah dan Pertamina hanya diberi upah menjahit. Tentu resiko usaha sangat kecil karena semuanya ditanggung Pemerintah, namun sistem yang demikian tentu tidak sehat bagi pertumbuhan Pertamina. Kondisi ini diperparah karena Departemen Keuangan sering terlambat membayar penggantian subsidi kepada Pertamina. Akibatnya Direksi Pertamina sering memakai alokasi dana operasi Direktorat EP untuk
|
153
|
Sekretaris Dewan Komisaris Pemerintah Untuk Pertaminart | Rachmat Sudibjo
menalangi pengadaan BBM. “Kalau istilah sekarang Pemerintah bayarnya pakai Yen … yen eling lan yen ana,” Rachmat bergurau. Tentu hal ini sangat mengganggu pengembangan lapangan Migas own operation Pertamina. Apalagi dalam melaksanakan fungsinya di kegiatan hulu sebagai pemegang manajemen operasi PSC, Pertamina hanya mendapat retensi atau management fee sebesar 2% (setelah pajak) dari penerimaan produksi Migas PSC. Sedangkan produksi minyak dari own operation kurang dari 5% produksi nasional yakni sekitar 60 ribu barel per hari. Dalam kondisi demikian itu, 70% lebih dari pendapatan Pertamina berasal dari upah, sedangkan yang berupa profit adalah dari hasil kegiatan own operation Pertamina dan kegiatan hilir non-BBM. Banyak kalangan masyarakat, termasuk karyawan Pertamina yang tidak sadar bahwa dalam status yang demikian, Pertamina seperti layaknya Perjan. Meskipun dalam skala raksasa. Mereka yang selalu mempertanyakan mengapa Petronas, yang notabene dulu belajar dari Pertamina, bisa mengungguli gurunya? Rachmat menjawab sambil tertawa: “Yang jelas Petronas tidak memasukan sistem cost & fee
Gambar 52. Berpose Bersama Martiono, Dirut Pertamina
|
154
|
pengadaan BBM dan management fee pengelolaan PSC dalam daftar kurikulum yang mereka ambil sewaktu dulu berguru di Pertamina.” Ke depan, diharapkan Pemerintah mengganti BBM dari Pertamina yang digunakan dalam sistem subsidi BBM sesuai dengan harga pasar (harga MOPS seperti yang diberlakukan untuk BBM non-subsidi). Apalagi porsi BBM impor yang semakin besar dibanding dengan yang diproduksikan dari kilang-kilang Pertamina. Mengingat ke depan makin sulit bagi Pemerintah untuk menyertakan modal untuk membangun kilang-kilang baru, diusulkan agar dibuka partisipasi dari pihak swasta untuk ikut memasok dan memasarkan BBM di dalam negeri yang secara nasional untuk meningkatkan efisiensi distribusi BBM. Sebagai Sekretaris DKPP sejak tahun 1997, Rachmat melakukan koordinasi tugas-tugas dari Kelompok Kerja DKPP. Disamping tugas Kelompok III yang dia sudah kenal dengan baik, koordinasi dilakukan terhadap tugas Kelompok I yang meliputi pemantauan arus minyak (rangkaian besaran produksi, impor, pengolahan, distribusi, dan ekspor minyak mentah dan produk-produknya), evaluasi Rencana Kerja Pertamina (RKP) dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Biaya Perusahaan (RAPBP), evaluasi laporan periodik Pertamina dan kewajiban perpajakan Pertamina, serta Kelompok II yang meliputi pengkajian pembekalan, sarana penyimpanan dan distribusi, impor-ekspor dan pemantuan harga minyak mentah, BBM dan gas bumi. Ada beberapa kejadian penting yang tidak akan pernah Rachmat lupakan. Pada suatu hari Rachmat dipanggil oleh Bapak I.B. Sudjana. Beliau bilang bahwa akan ada pergantian Dirut Pertamina dan Keppres penggantian Pak Abda’ou sudah turun. “Pak Rachmat saja yang memberitahu beliau,” perintah I.B. Sudjana. Rachmat segera menelepon Sekretaris Dirut meminta waktu untuk segera bertemu dengan Dirut. “Oh, ini kebetulan beliau ada di kantornya, Bapak bicara langsung saja,“ jawab sekretaris. Tidak lama kemudian Rachmat mendengar suara Abda’ou, ”’Saya diganti ya?’” Rachmat mengenang. “Rupanya Pak Abda’ou sudah merasa bahwa beliau akan diganti, apalagi waktu menerima telepon dari saya yang jarang menelepon secara langsung kalau tidak ada hal yang sangat |
155
|
Sekretaris Dewan Komisaris Pemerintah Untuk Pertaminart | Rachmat Sudibjo
urgent. Saya ikut terharu karena ikut terlibat dalam proses pergantian pak Abda’ou yang termasuk sebagai Dirut Pertamina yang terlama.”
Gambar 53. Bersama Dirut Pertamina, Faisal Abda’ou
Ada lagi satu milestone yang cukup penting bagi Pertamina, yaitu dalam hal sistem remunerasi. Namun saat itu Rachmat sudah tidak menjabat sebagai Sekretaris DKPP lagi, tetapi sebagai Dirjen Migas yang hadir dalam sidang DKPP dalam kapasitasnya secara ex officio membantu Menteri Pertambangan dan Energi yang bertindak selaku Ketua DKPP. Salah satu agenda sidang DKPP yang ia hadiri adalah membahas pergantian Dirut Pertamina, dimana Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) waktu itu telah setuju untuk mengangkat Baihaki Hakim, President dan CEO Caltex Pacific Indonesia sebagai Dirut Pertamina yang baru. “Wah bagaimana ini. Apa mungkin Baihaki bisa masuk ke sini kalau gaji Dirut Pertamina seperti sekarang ini?” kata salah satu Menteri anggota DKPP. “Kalau tidak salah, gaji Dirut Pertamina waktu itu sekitar Rp 20 juta, jauh dibawah gaji Dirut beberapa BUMN dan Bank Pemerintah, apalagi Presiden CEO Caltex,” Rachmat mengingat-ingat kejadian itu. Dan sejak masuknya Baihaki ke Pertamina, remunerasi Direksi dan pekerja Pertamina secara berangsur-angsur ditingkatkan.
|
156
|
Setelah ekonomi Indonesia terpuruk pasca krisis moneter 1998, di bawah suasana reformasi yang menggebu-gebu, Pertamina mendata kembali semua perusahaan yang terkait dengan proyek-proyek Pertamina yang berbau KKN. Pertamina membuka kembali tender terbuka untuk proyek-proyek tersebut, baik yang berkaitan dengan proyek eksplorasi dan eksploitasi, kegiatan pengolahan (kilang), kegiatan ekspor-impor, distribusi, perkapalan, dan pemasaran dalam negeri. Termasuk dalam semangat reformasi itu adalah tekad Pertamina merombak pola kegiatan ekspor-impor yang selama ini dilakukan oleh Petra Oil Marketing, Permindo Trading Oil, dan Pasific Petroleum Trading, serta akan mengimpor minyak mentah dan BBM sendiri melalui Divisi Pemasaran Luar Negeri Pertamina. Rachmat merasa bahwa pengalaman yang diperoleh selama berkecimpung di DKPP sangat berharga untuk dipakai sebagai masukan bagi penyusunan RUU Migas yang dia geluti sejak tahun 1996 dan sampai saat itu masih terus berjalan. “Terlepas dari tuduhan bahwa Undangundang Migas No. 22 tahun 2001 telah mengebiri dan membonsai Pertamina, saya kira tidak ada yang bisa membantah bahwa kondisi Pertamina saat ini sebagai PT Persero jauh lebih baik dibandingkan saat Pertamina masih berstatus ‘Perusahaan Jawatan Nasional’ dibawah Undang-undang No. 8 tahun 1971.”
|
157
|
Sekretaris Dewan Komisaris Pemerintah Untuk Pertaminart | Rachmat Sudibjo
|
158
|