BABVII DAMPAK DAN MAKNA KOMODIFIKASI KAIN TENUN SONGKET BALI
Komodifikasi sebagai sebuah fenomena sosial memiliki dampak baik secara sosial budaya maupun secara ekonomi. Dampak, secara etimologi adalah pengaruh kuat yang dapat mendatangkan akibat baik positif maupun negatif, atau dalam perspektif ekonomi berarti pengaruh suatu penyelenggaraan kegiatan terhadap perekonomian.( http://artikata.com). Dampak komodifikasi songket Bali dalam pemelitian ini adalah implikasi yang luas dan jelas dalam masyarakat baik secara sosial, budaya, dan ekonomi serta perluasan makna-makna dari komodifikasi songket Bali itu sendiri.
7.1. Dampak Sosial Budaya Modernisasi di Bali membawa perubahan pada struktur masyarakat dari struktur masyarakat agraris menjadi non agraris. Karakteristik masyarakat Bali kian berubah menjadi individualis, economic oriented, aware terhadap bisnis atau kapitalistik. Dalam tatanan masyarakat yang kapitalistik ini, berkembang ideologi konsumerisme yang bersamaan dengan tumbuhnya golongan masyarakat kelas menengah. Budaya konsumerisme adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dicegah karena ia tumbuh dan berkembang dalam sebuah sistem ekonomi pasar bebas dan globalisasi. Dalam konteks budaya konsumerisme tumbuh subur pula budaya massa (pop culture), ideologi pencitraan, libido economic dan komodifikasi berbagai aspek kehidupan.
156
157
7.1.1 Menuju “Masyarakat Komoditas” Secara simbolik, komodifikasi songket Bali dalam konteks fesyen menunjukkan merebaknya budaya konsumsi dalam masyarakat. Theodor W. Adorno (1945) dalam tulisannya yang berjudul ,” A Social Critique of Radio Music” mengajukan beberapa aksiorna yang penting menandai lahirnya apa yang disebutnya "masyarakat komoditas" (commodity society) dimana fesyen dan kebudayaan pop lainnya sebagai saudara kandung budaya konsumerisme berkembang
secara
luar
biasa.
Adorno
„masyarakat komoditas‟ sebagai berikut yang
memperjelas
aksioma-aksioma
pertama di dalam masyarakat
berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tapi demi profit atau keuntungan. Kedua bahwa dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang luar biasa yang memungkinkan terselubungya operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Yang ke tiga meningkatnya tuntutan terus-menerus, sebagai kecenderungan umum dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi dari relasi kekuasaan dan kekayaan yang ada. Dan yang ke empat terjadi antagonisme di wilayah budaya seperti upaya memperkuat budaya totontonan yang mendominasi budaya membaca dan menulis. Kelas menengah di Bali bertumbuh tiap tahunnya, dan mereka memiliki waktu dan kesempatan lebih banyak untuk berfoya-foya dan bersenang-senang. Kebutuhan kelompok kelas masyarakat seperti ini telah melampaui kebutuhan yang bersifat dasar (basic need) dan mencari kebutuhan-kebutuhan lain yang
158
bersifat prestige dan simbolik. Realitas seperti ini dapat dipenuhi oleh budaya konsumen yang menggunakan image, tanda-tanda dan benda-benda, simbolik yang mengumpulkan mimpi-mimpi, keinginan dan fantasi yang menegaskan keauntentikan romantik dan pemenuhan emosional dalam hal menyenangkan diri sendiri secara narsistik. Masyarakat Bali yang kian kontemporer mengkonsumsi budaya popular termasuk fesyen yang lahir, tumbuh dan berkembang dari budaya kapitalis. Peningkatan disposable income dan daya beli masyarakat menyebabkan menguatnya konsumsi masyarakat akan benda-benda diluar kebutuhan pokok. Seperti tuturan desainer Rico Ananta: “Masyarakat Bali yang sekarang terutama diperkotaan sudah sangat konsumtif. Ini dikarenakan perubahan nilai-nilai hidup yang semakin terbuka dan mencair dengan pergaulan internasional dan juga didukung oleh meningkatnya income masyarakat. Saya mengamatinya dari sisi fesyen saja, ada peningkatan selera dan pilihan masyarakat terhadap produk fesyen. Mereka lebih ingin tampil modis, elegan dan berkelas. Sepertinya mereka juga berlomba-lomba untuk memperoleh produk termutahir dan yang menggambarkan pribadi mereka yang eksklusif”. (Wawancara 15 April 2013) Bersamaan dengan gejala ini ada fenomena media dan distribusi yang terus menerus memborbardir hasrat melalui citra-citra objek baik yang dipersonifikasi maupun dikemas dengan cara vulgar dan mengedepankan sensualitas. Tujuannya hanyalah memperopagandakan konsumsi “Buys till you drop!” Karakteristik seperti ini sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Peter N. Sterns : “They become enmeshed in the process of acquisition shopping and take some of their identity from a possession of new things that they buy and exhibit. In this society, a host of institutions both encourage and serve
159
consumerism… from eager shopkeepers trying to lure customers into buying more than they need to produce designer employed to put new twists on established models, to advertisers seeking to create new needs”. Kegunaan benda-benda konsumsi selalu dibingkai oleh konteks budaya, bahkan benda-benda sederhana dalam kehidupan sehari-hari mempunyai makna budaya (Ajidarma, 1998). Mereka memperoleh makna melalui
perolehan,
penggunaan,
kemudian
dan
pertukaran
benda-benda,
individu-individu
mempunyai kehidupan sosial. Storey (2007) berpendapat konsumerisme telah men-sugesti bahwa makna kehidupan ditemukan pada apa yang dikonsumsi, bukan pada apa yang dihasilkan. Mengenai hal ini Tjok Abi menuturkan : “Seseorang mau membeli sehelai songket seharga puluhan juta sebenarnya bukan karena fungsinya, tapi lebih karena keinginan mendapatkan citra dari songket tersebut sebagai simbol kekayaan, status sosial yang tinggi, kekuasaan dan berbagai motivasi pembeda lainnya. Demikan juga yang mampu menggunakan gaun-gaun karya desainer tertentu. Mereka seolaholah ingin mengatakan mereka mampu dan berhak dengan posisi atau status khusus dalam masyarakat”. (Wawancara 8 April 2013) Komodifikasi songket Bali merupakan contoh sebuah realitas baru terbentuk dalam masyarakat, dimana penampilan berbusana menjadi signifikansi atau pembeda dalam masyarakat. Kemampuan mengkonsumsi produk fesyen dari bahan songket ini dianggap sebuah “kelas” baru dalam stratifikasi sosial. Pakaian merupakan suatu simbol sosial yang dapat memberikan identitas kultural terhadap seseorang. Lebih dari itu pakaian juga dapat berperan sebagai sarana komunikasi simbolis dan makna-makna sosial. Pada dunia yang sedang mengglobal belakangan ini pakaian sudah tidak hanya berfungsi sebagai pembungkus tubuh dalam artian yang “tradisional” namun telah melebihi dari batas-batas
160
fungsionalnya yang semula. Clothes were a tool of oppression, a weapon wielded against the poor. They were used to drive home the lesson that the grand were not simply different, they were better, because they were rich. They wore on their backs the proof that they were superior intellectually, morally and socially (McDowell, 1984). Simbol-simbol yang melekat dengan busana yang mereka pakai menjadi penanda diferensiasi atau pemisah dengan kelompok dominan dengan kelompok subodinat, superior berbeda dengan inferior, yang kaya berbeda dengan yang miskin dan seterusnya. Menurut Ibrahim (2007) dalam „masyarakat komoditas‟ penampilan dan gaya lebih penting dari moralitas. Gaya hidup (lifestyle) pun menjadi segalagalanya dan segala-galanya adalah gaya hidup. Tidak mengherankan industri media pun menjamur dengan penerbitan majalah popular, televisi swasta, dan industri hiburan lainnya. Pagelaran fesyen show semarak digedung-gedung mewah, konser musik, dan perbelanjaan modern seperti mall. Salah seorang informan sambil lalu mendukung pernyataan diatas. “Bali atau Denpasar khususnya sama sibuknya dengan kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya dalam hal pemenuhan gaya hidup. Ada ratusan hotel bintang empat dan lima disini, pusat-pusat hiburan berskala internasional, kafe dan spa menjamur disetiap pelosok Bali, konser musik yang tak henti-hentinya”. (Wawancara 8 Juni 2013) Lebih jauh Ibrahim menjelaskan bahwa kekuatan citra menjadi pusat perhatian
dalam
„masyarakat
komoditas‟.
Milan
Kundera
(http://portal.sarapanpagi.org) menyebutnya sebagai kernenanqan "imaqology” yakni ideologi tubuh sebagai pusat kesadaran. Dengan kemenangan imagoloqi, biro iklan, manajer kampanye, ahli desain, perancang mode, perekayasa peralatan
161
gimnastik, penata rambut, bintang showbiz telah ikut mendiktekan "ideal-ideal kecantikan," "norma-norma keindahan tubuh" lewat televisi, film, iklan, dan juga dalam dunia olahraga. Kategori-kategori tubuh, body, fisikal, atau logika instrumentalistik kini rupanya mulai mendefinisikan arti kebahagiaan individu dalam masyarakat komoditas.
7.1.2 Erosi Budaya Dampak komodifikasi bagi modernisasi, biasanya selalu dihubungkan dengan rasionalisasi (Weber, 1930). Dalam hal ini termasuk rasionalisasi doktrin memudarnya sakralitas simbol-simbol budaya yang kaya makna. Apa yang disebut Weber sebagai demagifikasi atau demistifikasi dunia, nampak dengan berkurangnya unsur kesucian dan kekhusyukan dari sisi religius dari sebuah artefak budaya. Masyarakat tidak lagi memperlakukan songket Bali sebagai benda budaya “archeos“ yang dikeramatkan atau disimbolkan dengan makna-makna tertentu. Masyarakat kontemporer Bali cenderung mendialogkan antara proses internasionalisasi dan tradisionalisasi. Seorang informan menyatakan “Saya khawatir kalau semua kebudayaan kita terlalu dikomersilkan akan kehilangan taksu dan merosotnya kehidupan spiritual di Bali. Sudah banyak contoh yang kita lihat, wisatawan menodai pura atau tempat suci lainnya, pratima dicuri, tarian suci dipertontonkan di depan masyarakat umum, kain-kain bebali, songket menjadi seperti barang dagangan biasa saja yang tidak bernilai magis”. (Wawancara 3 Juni 2013) Penuturan informan di atas semakin banyak didukung oleh masyarakat Bali, walaupun mereka mengakui bahwa pariwisata adalah rahmat bagi Bali. Komodifikasi
artefak
budaya
termasuk
songket
Bali
dianggap
telah
memperlonggar simpul-simpul budaya yang tercermin melalui aturan, pakem,
162
awig-awig dan seterusnya. Yang terjadi akhir akhir ini adalah masyarakat dianggap terlalu bersikap toleran terhadap permintaan pasar. Selain itu unsurunsur budaya asing seperti fesyen telah menyeret kain-kain tradisional seperti songket Bali kepada „konversi‟ dari produk estetika tradisional menjadi bersifat internasional.. Menurut Geertz (1974) perubahan sosial-budaya yang tejadi melalui proses dialog antara kekuatan internasionalisasi dan tradisionalisasi ini menyebabkan manusia Bali seakan-akan melakukan “konversi” yang merupakan muara dari kombinasi antara rasionalisasi, orthodoxysasi, pragmatisisasi, dan tradisionalisasi. Lebih jauh modernisasi termasuk ide-ide komodifikasi menurut Gidddens menyebabkan dua hal yaitu cenderung mengurangi nilai adat istiadat yang sudah mantap dan cenderung melihat ke luar. Tjok Abi sebagai desainer asli Bali mengungkapkan keprihatinanya: “Memang saya akui sebagai desainer, pelanggaran pakem tak terhindarkan apalagi pada saat kita mengekplorasi kreativitas atau demi permintaan pelanggan. Semakin banyak desainer muda yang bermunculan, yang kurang paham dengan pakem, kesakralan motif-motif tertentu serta latar belakang sejarah songket Bali. Akhirnya saya melihat ada kemerosotan dalam hal estetika dimana unsur-unsur tradisionalnya memudar”. (Wawancara 8 April 2013) Memang seutuhnya argumentasi bahwa komodifikasi songket Bali tidak satu-satunya yang menyebabkan kemerosotan atau erosi budaya Bali, melainkan adalah akumulasi dari semua peristiwa komersialisasi seluruh aspek budaya di Bali.
163
7.2. Dampak Sosial Ekonomi Sebuah komunitas industri modern, yaitu masyarakat yang digambarkan Bellah (1957) sebagai suatu masyarakat yang ditandai oleh perasaan pentingnya ekonomi dalam sistem sosialnya dan pentingnya nilai-nilai ekonomi dalam sistem nilainya. Sistem budaya kapitalis yang hidup dalam masyarakat modern mendorong komodifikasi terhadap berbagai dimensi hidup dan budaya untuk menciptakan peluang-peluang ekonomi. Seperti ilustrasi Marx "The linen, by virtue of the form of value, no longer stands in a social relation with merely one other kind of commodity, but with the whole world of commodities as well." Hubungan sosial masyarakat ditandai dengan hubungan yang bersifat komoditi dengan kontra-kontrak ekonomi di dalamnya. Komodifikasi songket Bali berdampak multiplier efek dalam ekonomi. Berkembangnya industri fesyen yang merupakan agent komodifikasi songket Bali turut membuka lapangan kerja baru dan memperluas kapasitas industri yang sudah ada. Pryo Oktaviano mengatakan trend fesyen songket Bali mengharuskan mereka merekrut pengrajin tenun songket dari Bali ke Jakarta. Peningkatan nilai tambah (value added) juga menambah income melalui peningkatan pemesanan dan nilai jual dari produk songket dan kreasi-kreasinya. Dinamika ekonomi bergeliat dari hulu sampai kehilir, dari tingkat pengrajin sampai pedagang, dan desainer. Secara agregat, bersama dengan industri kreatif lainnya produksi dan konsumsi fesyen songket Bali turut meningkatkan pendapatan asli daerah. Tjok Abi memberikan informasi tentang bisnis fesyen songket Bali: “Bisnis ini melibatkan banyak orang, mulai dari pengrajin, penjahit, pedagang asesoris, sampai pada tahap akhir ketika ditampilkan dalam
164
ajang fesyen, kita harus membayar jasa panitia EO, pragawan-pragawati, dan publikasi media”. (Wawancara 8 April 2013) Dalam hal ini Priyo Oktaviano juga mendukung pendapat Tjok Abi: “Setiap kali saya memiliki projek saya melibatkan pengrajin dari Seraya Karangasem, dan dari Gelgel . Bisnis mereka menggeliat, karena pesanan tidak sedikit, apalagi kalau dilakukan diluar Bali. Mereka bahkan sudah ikut pameran ke Jepang”. (Wawancara 15 April 2013) Dari kedua informan di atas diperoleh keterangan bahwa pada tingkat mikro, bisnis fesyen memberikan banyak pekerjaan bagi masyarakat, Menurut informan dari Dekranasda kota Denpasar bahwa peluang bisnis fesyen yang mengekplorasi kain tenun tradisional Bali tetap cerah dan semakin banyak diminati oleh pasar domestik dan luar negeri. Pengusaha mikro bahkan sudah ada yang memulai membuat brand atau merek mereka seperti Royal Songket, Royal Prada, dan Royal Endek. Secara nasional Hatta Rajasa dalam Tribun News Kamis 30 Mei 2013 Hatta menjelaskan, industri fashion, yang telah menyumbang Rp 164,7 triliun untuk Produk Domestik Bruto (PDB). Fashion Indonesia berada di urutan kedua dalam sumbangan PDB atau 30 persen. Hatta juga mengatakan industri kreatif saat ini telah menyumbang Rp 573,9 triliun untuk PDB. Hatta mengatakan : "Angkanya terus meningkat. Diperkirakan kurang dari satu dekade ke depan, industri kreatif kita akan menempati ranking atas dalam sumbangannya ke PDB”. Hal ini diperkuat juga oleh oleh Ketua Dekranasda Denpasar: “Modifikasi, bukan hal salah bagi kalangan pengrajin, jika mereka juga mengembangkan. Justru
165
merupakan hal positif untuk memperluas pasar seni tata rias Bali yang kini tak lazim di masyarakat lokal, tapi juga wisatawan domestik dan mancanegara.”
7.3 Makna Komodifikasi Kain Tenun Songket Bali Komodifikasi songket Bali mengalami perubahan makna. Makna secara linguistik berarti pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Komodifikasi songket Bali dalam tataran semiotika berfungsi sebagai signifier atau penanda, sedangkan yang menjadi signified nya bermakna sebagai sebuah proses mengubah songket Bali yang sebelumnya merupakan objek yang tunduk atau mengikuti aturan sosial non-pasar menjadi suatu objek yang tunduk dan mengikuti aturan pasar (Gleick, 2002). Namun menurut Fairclough (1995) komodifikasi mengalami pergeseran makna, tidak hanya berpusar pada masalah ekonomi tetapi juga menjalin jaring-jaring makna secara sosial budaya: “Commodification is the whereby social domains and institutions, whose concern is not producing commodities in the narrower economic sense of goods for sale, come nevertheless to be organized and conceptualized in the term of commodity production, distribution and consumptions”. Fenomena sosial seperti komodifikasi dapat dilihat sebagai sebuah gejala bahasa. Makna denotatif komodifikasi songket Bali mengalami dinamika dengan pertambahan atau perluasan makna-makna konotasi atau disebut dengan gejala diversisifikasi makna (Hoed, 2008). Dalam konsep Derrida pemaknaan terjadi melalui cara membongkar (to dismantle) dan menganalisis dengan kritis hal yang dimaknai. Munculnya makna baru menurut Barthes, karena adanya “penundaan” hubungan penanda (bentuk) dan petanda (makna). Perubahan-perubahan konteks
166
sosial budaya dalam masyarakat Bali ikut memperkaya makna bagi komodifikasi Songket Bali.
7.3.1 Makna Sakral ke Profan Dalam masyarakat ada perdebatan yang mempersoalkan apakah songket Bali merupakan benda-benda budaya yang termasuk dalam katagori benda sakral atau tidak. Yang mengatakan bukan sakral, memberikan argumentasi bahwa songket Bali hanya menunjukkan status sosial masyarakat karena harganya yang mahal dan dibatasi oleh hukum adat untuk memberi citra yang berbeda bagi kaum bangsawan dengan masyarakat biasa. Argumen seperti ini dianggap sah-sah saja mengingat sebagian argumentasi tersebut benar adanya. Tetapi yang luput dari perhatian adalah dari sudut pandang masyarakat yang mendukungnya. Seorang tetuah dari Kelungkung yang juga menjadi rujukan bagi sejarah songket Bali Tjok Istri Agung Manik mengatakan: “Songket
itu memiliki sifat sakral karena proses pembuatannya yang penuh khikmad, dimulai dengan ritual sembayang kepada Hyang Widhi . Motif-motif yang dihasilkan mengandung simbol-simbol kebesaran, kewibawaan, kehalusan, kesuburan yang bermakna sakral”. (Wawancara 3 Mei 2013) Bandem (1996) berpendapat bahwa di dalam songket Bali termaktub nilainilai spiritual Hindu yang diwakili oleh simbol-simbol dalam berbagai motifnya. Karena itu songket Bali mendapatkan katagori benda budaya sakral. Hal ini juga didukung oleh pendapat Malcolm Barnard (1996) mengemukakan bahwa ada bermacam-macam fungsi dari pakaian yang salah satunya untuk menunjukkan kondisi magis-religius. Hal ini dikarenakan praktik-praktik magis dan religius
167
bergantung pada unsur-unsur seperti status resmi yang baku atau anugerah Tuhan, dan dihargai tinggi dalam tradisinya serta menjaga tatanan. Ragam hias motif songket Bali seperti motif swastika, karangtapel, bentulu, motif rerajaan seperti singa mangampid, anjing, garuda dan wayang adalah motif-motif yang berhubungan dengan simbol-simbol agama Hindu. Karenanya motif-motif ini bersifat sakral dan sudah seharusnya mendapatkan perlakuan yang penuh rasa hormat dan kehati-hatian. Tjok Istri Agung Manik menambahkan: “Kesakralan selembar songket apabila didalamnya terdapat motif tentang simbol-simbol dewata nawasanga baik dewanya, warnanya, senjatanya, kendaraanya, maupun kekuatan dewa tersebut Di dalam penggunaan kain tersebut harus diperhatikan status si pemakai dan upacara yang akan dilaksanakan”. (Wawancara 3 Mei 2013) Para desainer mugkin sudah mengerti motif mana yang sakral karena mereka juga mempelajari latarbelakang setiap motif. Kasus-kasus pengabaian terhadap simbol-simbol suci ini terjadi karena pelakunya kurang menghayati makna dan filsafat dari setiap simbol. Priyo Oktaviano mengatakan beberapa motif sakral seperti swastika dan padma mendapatkan perhatian besar dari pembeli karyanya. Priyo mendesain kain-kain songket tersebut kedalam berbagai bentuk busana yang modis dan berkesan edgy. Beberapa pendapat dari perancang yang berakar budaya Bali dan tetuahtetuah yang dihormati dalam industri songket Bali menunjukkan adanya gejala profanisasi dari motif-motif sakral dalam berbagai bentuk. Tjok Abi mengatakan : “Dari sisi estetikanya, songket Bali begitu menarik untuk dieksplorasi. Itu yang kadang-kadang membuat teman-teman desainer mau membuat karyakarya mereka. Kalau gak dingetkan, ya bisa kebablasan apalagi kalau
168
mereka tidak tahu latarbekalang sosial budaya motifnya. Yang mengerti terkadang mau juga tergiur karena harganya pasti akan dipatok mahal, berkali-kali lipat.” (Wawancara 8 April 2013) Tindakan menabrak pakem dan memamfaat kan motif-motif sakral dalam karya-karya desainer sebenarnya adalah refleksi dari perubahan paradigma dari masyarakat kontemporer yang menganggap rezim budaya yang terlalu totaliter religious.
Relativisme
plural
yang
menjadi
norma-norma
kontemporer
menganggap tidak ada lagi kebenaran tunggal, kesucian absolut dan merayakan perbedaan dan sekulerisme (Lyotard, 1979). Profanisasi songket Bali tidak saja terjadi melalui pengunaan motif-motif sakral untuk diproduksi dalam kerangka motif ekonomi, tetapi juga bagaimana songket Bali itu sendiri digunakan. Menurut Tjok Istri Agung Manik kini pemakaian kain songket Bali yang memiliki motif-motif sakral tidak memperhatikan konsep desa kala patra, dimana masyarakat memakainya pada acara dan tempat yang tidak tepat. Misalnya dipakai pada acara-acara yang penuh nuansa keduniawiaan dan hedonisme seperti pesta, fesyen, atau seremonial di instansi pemerintahan. Bahkan ada yang memakainya sebagai pakaian sehari-hari.
7.3.2 Makna Egalitarian Komodifikasi songket Bali juga dapat bermakna memudarnya stratifikasi sosial dalam masyarakat menuju pada masyarakat yang egalitarian. Dalam dalam kamus Webster, egalitarian berarti “aiming for equal wealth, status, etc., for all people” atau lebih lengkapnya “ promoting, or characterized by belief in equal political, economic, social, and civil rights for all people” atau mempromosikan
169
atau dicirikan oleh sebuah keyakinan bahwa setiap orang secara politik, ekonomi, sosial dan hak-hak sipil adalah sama kedudukannya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa secara historis, produksi dan konsumsi songket Bali terbatas pada kelas masyarakat tertentu saja. Masyarakat dan kebudayaan Bali memberikan hak prerogatif atas songket kepada keluarga bangsawan dan para pendeta saja (Ramseyer, 1997 dan Bandem 1996). Kemudian dalam suasana semangat demokrasi, Gubernur Ida Bagus Mantra pada tahun 1980 mencanangkan pemakaian busana tradisional Bali pada ritual dan upacara-upacara
adat.
Momentum
ini
dianggap
sebagai
langkah
awal
demokratisasi kain songket Bali. Sejak itu semua lapisan masyarakat Bali memiliki hak untuk memproduksi dan mengkonsumsi songket Bali.
Gambar 7.1 Lomba Pakaian Anteng ke Pura tahun 1980 Sumber http://djinar.wordpress.com Songket Bali tidak lagi mewakili kelompok tertentu sebagai representasi kelas berkuasa di Bali. Kemampuan ekonomilah yang menentukan apakah seseorang mampu membeli dan menggunakannya, dan bukan embel-embel kelas sosial seseorang. Akibatnya songket Bali mengalami penurunan derajat dari hak
170
privilege kelas tertentu yang terbatas kini menjadi milik umum. Salah seorang narasumber, Ni Luh Putu Suyeni seorang ibu rumah tangga mengatakan: “Seingat saya dulu, saya gak pernah memakai songket dalam acara-acara adat atau ritual, biasanya saya pakai kebaya dengan kain endek atau skordi kadang-kadang juga pakai batik. Saya sejak dulu tahu bahwa songket gak sembarang orang yang bisa memakainya, kalau dia dari keluarga puri pasti bisa. Tapi sekarang sudah beda, asal punya uang boleh-boleh saja memakai songket. Ini kan udah zaman reformasi. Memang songket masih mahal harganya. Makanya saya juga sekali-kali saja memakainya”. (Wawancara 3 Juni 2013) Dukungan terhadap penyataan informan diatas dapat ditemukan dalam teori fesyen yang disebut The Trickle-Down Theory (Veblen, 1899 dan Simmel, 1904) disebutkan bahwa: fashion is a process of emulation by which new fashion passes from the upper class to the lower and in their descent, fashions are vulgarized and a new fashion cycle starts. Sistem fesyen mengalir dari struktur masyarakat kelas atas kepada masyarakat umum. Dalam kaitan dengan hak-hak preogeratif kelas Triwangsa, Pryo Oktaviano mengatakan : “Justru
saya merasa sifat eksklusif songket Bali menyebabkan dia mahal, pembeli karya saya kan orang-orang yang berasal dari kelas menengah keatas dan kaum sosialita Jakarta. Mereka merasa perlu mencitrakan diri mereka dengan kain-kain Bali yang berasal dari kelas tertentu”. (Wawancara 25 Mei 2013) Kini secara meluas masyarakat Indonesia yang bukan keturunan dari Bali pun dapat menggunakan songket Bali. Dengan demikian komodifikasi songket Bali dimaknai sebagai upaya membawa turun songket Bali dari kelas triwangsa ke masyarakat umum yang lebih egalitarian.
171
7.3.3 Makna Kesejahteraan Dalam perspektif ekonomi, kebudayaan dan artefaknya merupakan “tontonan” yang dapat diperjualbelikan, dimana masyarakat yang mendukungnya diharuskan mengemas ulang kebudayaannya berdasarkan keinginan pasar (Debord, 1994). Dengan demikian perlakuan sama halnya dengan objek-objek ekonomi lainnya seperti melakukan survey pasar untuk memahami minat dan selera konsumen, dana, dan
sampai akhirnya melakukan transaksional harus
dilakukan secara professional. Kebudayaan tontonan seperti fesyen menurut Anna Fitzpatric (Ethical Fashion Show Organizer Pack) dikemas secara professional dan matang dengan memperhatikan unsur-unsur komersil yang menarik minat pembeli. Keberhasilan dari pagelaran fesyen diukur dengan animo pembeli dan besarnya transaksi pembelian setelah pagelaran. Bisnis fesyen tidak murah dan tergolong sebagai konsumsi dan hiburan bagi masyarakat golongan ekonomi atas. Persiapannya membutuhkan kerjasama banyak pihak lain, sehingga acara yang digelar berjalan dengan baik dan selalu ingin mendapatkan pujian spektakuler. Selain itu industri fesyen juga membuka banyak peluang bagi sektor pendukung seperti pengrajin kain tenun, dalam hal ini pengrajin kain songket Bali. Dukungan industri fesyen serta merta meningkatkan nilai tambah (value added) bagi songket Bali baik dalam peningkatan harga maupun kualitas produk yang dihasilkan. Ada peningkatan permintaan yang dirasakan oleh industri songket yang tadinya hanya menjual produk mereka kepada pelanggan dan pasar konvensional. Permintaan menjadi bervariasi tidak hanya sekedar lembaran
172
songket, tetapi merambah pada produk-produk pendukung busana. Menurut ketua Dekranasda kota Denpasar, I.A.Selly D.Mantra, bahwa “Perkembangan industri fesyen di Bali membuka banyak peluang bagi industri kecil dan UKM khususnya industri kain tenun tradisional. Ada efek langsung yang dirasakan oleh pengrajin, karena bahan baku kain mereka akhir-akhir ini dilirik oleh para desainer. Kelompok usaha kecil menengah terdorong untuk meningkatkan mutu dan jumlah produksi mereka. Industri fesyen yang modern dengan standart yang tinggi merupakan pemacu bagi pengrajin menghasilakan karya-karya yang bermutu tinggi. Semakin banyak kami mengadakan acara fesyen di Bali semakin ramai pesanan yang mengalir ke pengrajin”. (Wawancara 3 Agustus 2013) Efek berganda juga dirasakan bagi jenis usaha di hulu tataniaga songket Bali seperti jasa menyewakan busana tradisional Bali dan perkawinan. Seorang pengusaha penyewaan busana tradisonal dan rias wajah Bali mengatakan: “Tarif
jasa payas agung, sekarang ini, mulai Rp 3 juta hingga Rp 6 jutaan untuk sepasang pengantin, tergantung paket yang dipilih, seperti pengguna jasa menggunakan jasa prewedding, jarak lokasi pemotretan, hingga seragam orang tua pengantin”. (Wawancara 7 Juni 2013) Kontribusi produk fesyen terhadap nilai ekspor nasional tahun 2009 mencapai 5,96 persen dengan rata-rata nilai ekspor sebesar Rp 53,94 triliun. Fesyen juga mendominasi sektor ekonomi kreatif dalam periode 2002 hingga 2010, khususnya dari sisi penyerapan tenaga kerja dan lapangan usaha. Rata-rata sebesar 54,32 persen dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 4,13 juta orang atau 4,22 persen terhadap tingkat partisipasi terhadap tenaga kerja nasional.
7.3.4 Makna Kreativitas Kreativitas lahir dari sesorang yang memiliki otonomi diri. Kreativitas merupakan proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau anggitan
173
(concept) baru, atau hubungan baru antara gagasan dan anggitan yang sudah ada. Menurut Stephen R. C. Hicks bahwa krestivitas lah yang mengawali kehidupan artis atau seniman. “Art begins in the mind of a creative individual. The artist takes his significant experiences and thoughts as raw material and creates a perceptual embodiment for them. Each artist makes independent judgments about which of his experiences and thoughts are significant. And to the best of his ability and with his unique style, each artist employs the techniques of his perceptual medium of choice. The result is an object that, at its best, has an awesome power to exalt the senses, the intellects, and the passions of those who experience it.” Komodifikasi songket Bali merupakan proyek kreativitas dari para seniman fesyen atau desainer. Mereka memodifikasi songket Bali sedemikian rupa sehingga berubah wujud manjadi karya-karya yang diminati oleh pasar. Motif-motif songket menjadi bahan inspirasi mereka untuk mencipta karya-karya baru yang mewakili selera masayarkat yang terus berkembang. Penciptaan karyakarya fesyen berbahan songket terjadi melalui proses akulturasi, dan asimilasi berbagai pola dan gaya dari berbagai latar belakang budaya baik dalam teknik, pengembangan
motif
dan
warna,
desain
dan
sebagainya.
Tjok
Abi
menggambarkan proses kreatif yang dia lalui ketika menghasilkan sebuah karya: “Saya
lahir dari keluarga yang mencintai seni dan ini menjadi keuntungan buat saya sebagai desainer. Motivasi ini yang membuat saya lebih mulus menggeluti profesi saya. Lingkungan saya terus menjadi inspirasi buat saya untuk berkarya, misalnya ketika saya melihat selembar kain songket, saya memperhatikan motifnya dan warnanya, lalu saya membayangkan kain ini cocoknya jadi apa. Lalu saya membuat sketsa, menggambar desain-desain yang bagus dan cocok untuk songket tersebut. Saya mungkin juga akan menambahkan beberapa aksen dengan payet atau manik-manik, atau batu kristal dan sebagainya”. (Wawancara 8 April 2013)
174
Ketika sebuah gaun tercipta, maka selanjutnya mereka memikirkan bagaimana gaun-gaun tersebut dikomunikasikan kepada publik. Salah satu strateginya, dengan menggelar ajang peragaan busana atau fashion show. Para disainer harus pula terlibat dalam menyusun konsep-konsep pagelaran, sehingga dukungan semua aspek artistik dari pagelaran seperti susunan acara, konsep panggung, model, pencahayaan, musik latar dan sebagainya dapat memberi citra yang baik bagi karya mereka. Karya-karya fesyen songket Bali adalah hasil dari kretivitas para desainer. Para desainer ini dilahirkan dari suasana kompetisi yang sengit didalam internal mereka. Yang terbaik dalam menghasikan karya-karyalah yang direspon oleh publik dan pasar. Menurut seorang psikolog Guilford J.P. (1950) dalam jurnal Creativity American Psychologist volume 5 issue 9, kreativitas para desainer didorong oleh dua hal yaitu 1) motivasi intrisik yaitu dorongan melakukan sesuatu karena „menikmati‟ dan „memaknai‟ apa yang dilakukannya, 2) motivasi ekstrisik yaitu dorongan karena adanya reward baik berupa uang maupun pujian. Kreativitas inheren dalam modernitas dan kreativitas ada pada setiap orang, tergantung apakah ada sistem dalam masyarakat yang mampu membuatnya berkembang. Thesis David Mc.Clelland dalam bukunya The Achieving Society (1961), bahwa kemajuan di bidang ekonomi secara timbal balik berhubungan dengan tingkat kebutuhan berprestasi. Menurutnya bahwa keinginan atau kebutuhan berprestasi bukan sekedar untuk mendapatkan imbalan tetapi juga kepuasan. Pada tingkat makro pertumbuhan ekonomi yang tinggi didahului oleh n-ach yang tinggi. Pendapat Mc.Clelland mendapat pijakan oleh WCCD atau
175
World Commission on Culture and Development yang mendefinisikan manusia modern sebagai berikut: “Everyone is potentially creative. An overemphasis on rationally alone, technocratic reasoning, restrictive organizational or community structures and over-reliance on traditional approaches can restrict and destroy this potential (de Cuellar et al. 1995). Menurut Hoed (2008) yang menghambat kreativitas adalah adat-istiadat dan tradisi asli. Rico Ananta dalam hal ini mengungkapkan sumber inspirasi dan kreativitasnya: “Inspirasi dapat muncul dan asalnya dari sumber apa saja. Saat-saat seperti ini saja saya memikirkan motif songket Bali yang bernuansa floral sangat cocok untuk ide saya membuat rok-rok panjang dihiasi manik-manik atau dengan prada pada bagian tepinya. Kain tenun tradisional Bali seperti songket merupakan sumber inspirasi yang tidak habis-habisnya untuk berkarya”. (Wawancara 15 April 2013) Lain halnya dengan disainer ternama Donatella Versace mengatakan bahwa kreativitas lahir dari berbagai masalah, dari pertemuan konflik-konflik yang ada “ Creativity comes from a conflict of ideas”. Kreativitas dapat mendekontrusi tradisi dan adat istiadat membuka kemungkinan makna-makna baru. Dengan demikian kreativitas membuat wacana baru yang diharapkan membawa makna-makna baru yang membawa masyarakat pada kehidupan yang lebih baik. Menurut Eco (1990) kreativitas lahir dari otonomi individual yang dia sebut dengan prinsip supra individual. Jelas sekali bahwa proyek kapitalis adalah relevan dengan mengobarkan semangat kreativitas. Salah satu karakteristik fesyen adalah sebuah perayaan kreativitas. Busana menjadi objeknya dimana disainer
176
mengembangkan seluruh potensi kreativitasya untuk menghasilkan karya-karya terbaik mereka adalah bagian dari komodifikasi (budaya).
7.3.5 Makna Pelestarian Artefak budaya seperti songket Bali adalah tinggalan budaya (heritage) yang dapat didefinisikan sebagai perangkat-perangkat simbol kolektif yang diwariskan oleh generasi-generasi sebelumnya (Putra, 2004). Tapi tinggalan ini menurut Putra seharusnya tidak diperlakukan seperti benda-benda lainnya di museum yang akhirnya lapuk oleh pengaruh alam dan waktu. Tinggalan budaya atau heritage pantas dilestarikan dan bernilai jual (Kirshenblatt-Gimblett,1995) (1) heritage is a mode of cultural production in the present that has recourse to the past; (2) heritage is a “value added” industry; (3) heritage produces the local for export; (4) a hallmark of heritage is the problematic relationship of its objects to its instruments; dan (5) a key to heritage is its virtuality, whether in the presence or the absence of actualities. Dengan demikian pelestarian budaya berupaya mempertahankan keadaan dan keberadaan suatu peninggalan generasi masa lampau melalui proses inventarisasi, dokumentasi, dan revitalisasi. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui, memahami, dan menghargai prestasi-prestasi atau pencapaian-pencapaian
nenek-moyang,
sebagai
sumber
inspirasi
untuk
membangun masa depan yang lebih baik tanpa mengulangi kesalahan masa lalu dan merupakan deposit yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut ibu Sally Mantra: “Ada kegairahan idustri fesyen di Bali terutama perhatian desainer dari CTI mengangkat kain-kain tradisional Bali tidak hanya berdampak pada pelestarian songket itu sendiri serta motif ragam hiasnya, tetapi juga
177
melestarikan budaya menenun dan menjaga keahlian menenun secara tradisional kepada generasi selanjutnya”. (Wawancara 3 Agustus 2013) Komodifikasi sebagai agenda kapitalis ikut secara langsung dan tidak langsung mempertahankan sustainibilitas dari sebuah objek ekonomi yang dieksplorasi. Walau motivasi awal adalah untuk keuntungan ekonomi, ternyata terjadi reinventasi terhadap motif-motif lama serta pelestarian songket Bali itu sendiri. Sejumlah desainer terlibat dalam program pembinaan dan pelestarian tenun Indonesia diantaranya Priyo Oktviano, Chossy Latu, Era Soekamto, Sebastian Gunawan,
Enny Wirawan dan lain lainnya mengembas tugas dan
penunjukan dari CTI atau Citra Tenun Indonesia. Di Bali sediri ada komitmen dari APPMI dan Asosiasi Mobas terhadap pelestarian dan penggalian motif-motif songket Bali secara khusus dan kain tenun tradisional Bali secara umumnya. Salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh para desainer untuk melakukan preservasi terhadap kain tradisional Bali khususnya songket Bali adalah membawa kain-kain tradisional Bali ke panggung-panggung modern seperti fashion show, perlombaan putri pageant dan sebagainya. Tjok Abi memberikan contoh pengalamannya: “Pengalaman
saya mendandani finalis Putri Indonesia wilayah Bali membuat saya yakin. Mereka bisa tampil sangat modern, tetapi tetap dengan karakter khas Bali. Mengenakan songket tetapi tetap terlihat modern. Dengan demikian songket Bali terus mendapatkan atensi masyarakat, dengan sendirinya songket Bali dapat dilestarikan”. (Wawancara 8 April 2013) Menurut Dinalmudra (http://www.mahyudinalmudra.com) heritage is a “value added” industry. Sebuah warisan budaya dengan muatan-muatan nilai budayanya bisa dikemas dengan bentuk-bentuk yang lebih bersifat ekonomis dan
178
marketable. Hal ini secara otomatis akan menggiring warisan budaya pada sebuah perspektif komodifikasi warisan budaya. Kirshenblatt-Gimblett mengatakan bahwa heritage dapat berlaku sebagai sebuah komoditas. Karena, suatu peninggalan budaya secara implisit mengandung tiga nilai pokok, yakni (1) the value of the past; (2) the value of exhibition; dan (3) the value of difference. Oleh karena ketiga hal ini, maka warisan budaya bernilai jual alias bernilai ekonomis, terutama bila kita mengaitkannya dengan industri pariwisata global. Turisme dapat menjadi sumber pembiayaan koservasi budaya, meningkatkan kesadaran lokal masyarakat dan memotivasi orang-orang untuk berpartisipasi dalam proses konservasi (Mc.Kercher et al. 2004). Hal yang sama juga di dukung oleh Pitana dan Gayatri (2004) bahwa tujuan pemamfaatan budaya dalam pariwisata adalah samahalnya dengan dukungannya kepada mekanisme konservasi. Tradisi-tradisi lama hidup kembali bahkan dalam format „panggung tradisional‟ baru karena semakin kuatnya permintaan pelaku wisata akan keotentikan budaya (Cohen, 1988; MacCannell, 1999; MacDonald, 1997; Van den Berghe, 1994)
7.3.6 Makna Identitas Makna identitas dalam komodifikasi songket Bali dapat dilihat scope yang kecil yaitu berhubungan dengan fungsi songket Bali sebagai busana. Secara umum bagi manusia fungsi busana adalah perlindungan, perhiasan dan tanda luhur. Bagi manusia busana adalah ”intrisik”, dari dalam, tuntutan strukturnya. Selain memenuhi nilai vitalnya pada tubuh manusia, busana juga memberikan nilai decorum yang berhubungan dengan keluhuran sehingga penampakannya menunjukkan sebuah ekpresi sebagai sebuah hiasan keluhuran. Manusia yang
179
bepakaian compang-camping kurang menunjukkan keluhuran. Simbol-simbol tertentu ditambahkan pada pakaian untuk menambah kepantasan dan keluhuran. Jaman dahulu pakaian raja ( kaprabon) dipersiapkan dengan cara berbeda dengan masyarakat awam. Pakaian dengan kedudukan tertentu merupakan syarat supaya manusia tampil kemuka sebagai manusia. Pakaian juga mengkomunikasikan apa yang dianggap kehalusan wanita, keperkasaan pria, kesopanan kelas atas, dan apa yang dianggap kekasaran kelas bawah (Lury, 1998). Tjok Istri Agung Manik sebagai tetuah industri songket di Kelungkung mengatakan: “Seorang dari keturunan keluarga puri sudah seharusnya menggunakan payes agung yang menggunakan prada, dan songket pada upacara adat. Busana payes agung mencerminkan kharisma keluarga”. (Wawancara 3 Mei 2013) Drijarkara (1969) mengatakan martabat manusia harus menggejala dengan menyandang. Dengan busana seperti itu tercermin martabat, kedaulatan, dan kekuasaan seseorang. Manusia berdasarkan kekuasaannya memantaskan dirinya dengan hiasan-hiasan sehingga dengan demikian nampaklah pribadinya. Sahlins (dalam Lury 1998) berargumen bahwa manusia menjadikan pakaian-pakaian sebagai totem baru dalam masyarakat modern mengganti objek-objek alamiah dan species
untuk mengkomunikasikan identitas sosial yang mencolok dan
mengidentifikasikan berbagai „suku‟. Jadi pakaian sebagai kode simbolik yang digunakan pemakainya untuk mengkomunikasikan keanggotaan mereka dalam sebuah kelompok sosial. Roland Barthes (1990), fashion adalah sebuah sistem tanda (signs). Cara kita berpakaian merupakan sebuah tanda untuk menunjukan siapa diri kita dan nilai budaya apa yang kita anut. Maka cara berpakaian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang netral dan sesuatu yang lumrah. Seseorang
180
yang menggunakan songket Bali yang mahal pasti sedang mengkomunikasikan sesuatu tentang status sosialnya. Komodifikasi songket Bali melalui fesyen adalah kecenderungan dari budaya konsumsi yang mengkonotasikan individualitas, ekspresi diri serta kesadaran diri yang stilistik. Tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu luang, dan seterusnya dipandang sebagai individualitas selera serta rasa gaya dari pemilik atau konsumen (Featherstone, 2001). Dari sudut pandang linguistik, budaya konsumsi dalam komodifikasi diartikan sebagai proses menggunakan atau mendekonstruksi tanda-tanda yang terkandung di dalam objek-objek. Ketika kita mengkonsumsi suatu objek, secara internal orang mendekonstruksi tanda yang ada dibalik objek tersebut. Itulah alasan mengapa seseorang memilih baju yang model trendy, sepatu yang styles, dan seterusnya. Dalam scope yang lebih luas komodifikasi songket Bali dipandang sebagai penanda sebuah entitas budaya atau identitas bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Bahwa identitas berusaha dibangun, digali, ditafsirkan sebagai bentuk pelestarian masa lalu dan sebagai bentuk transformasi serta perubahan masa depan melalui rantai perubahan secara terus menerus. Banindro (2007) mencoba menjelaskan pengaruh komodifikasi kebudayaan terhadap pembentukan identitas komunitas melalui gaya psychedelia sebagai gerakan idealis anti kemapanan. Banindro (2007) melihat komodifikasi gaya psychedelia yang pada awal kemunculannya sebagai gaya atau gerakan komunitas yang memiliki pandangan melawan budaya kemapanan berubah sebagai gaya hidup remaja yang dituangkan dalam produk make up, fashion, meubel, sepatu,
181
otomotif, elektronik, bahkan tattoo, dianggap sebagai proses komodifikasi kebudayaan. Wicandra (2006) menyatakan bahwa identitas akan selalu mengalami perubahan, pada kadar kecil apa pun sesuai dengan perubahan sejarah dan kebudayaan. Hal tersebut disebabkan adanya percepatan tempo kehidupan dalam masyarakat pasca industri, serta percepatan pergantian tanda, citra, makna, dan simbol yang menggiring ke dalam kondisi perubahan. Percampuran budaya di Bali hingga saat ini belum mampu menghapuskan identitas Bali, bahkan ada kecenderungan penguatan-penguatan local genius serta menguatnya kesadaran untuk merawat dan mengkonservasi seni budaya Bali. Mantra (1993) mengatakan orang Bali sangat fleksibel dan memiliki karakter yang sangat adaptif , mereka dapat menyerap dan mengelolah elemen-elemen asing
untuk memperkaya budaya mereka tanpa membahayakan karateristik
budaya mereka. Francilon (1975) menyebutkan nya sebagai kekuatan sinkretisme budaya Bali yang mampu mengasimilasi budaya-budaya lain: "Desainer mengambil motif setempat, mempertahankan budaya lokal, dengan ciri dan karakter khas sesuai daerah namun juga memodifikasinya dalam rancangan busana siap pakai yang lebih kepada art wear". Pitana (1999) mengemukakan bahwa proses internasionalisasi telah menjadikan Bali sebagai masyarakat yang multibudaya. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, terjadi pula proses yang arahnya berlawanan, yaitu suatu proses ke dalam, mencari identitas ke masa lalu, yang bisa disebut sebagai proses “tradisionalisasi”. Proses ini dapat terjadi juga melalui komodifikasi budaya karena didalamnya terjadi reinventasi dan preservasi budaya. Ada asumsi umum
182
bahwa dalam proses internasionalisasi dan modernisasi, masyarakat lokal akan terjepit, termaginalisasi, dan kehilangan identitas budayanya. Kenyataannya, melalui komodifikasi budaya, identitas budaya masyarakat Bali makin menguat. Komodifikasi songket Bali tidak serta merta diikuti oleh memudarnya identitas ke balian tetapi malahan mempertegas dan memperkuat identitas tersebut. 7.3.7 Makna Estetika Unsur estetika dalam komodifikasi songket Bali tidak kalah penting dengan motif ekonomi yang mendorong para aktor dalam industri fesyen. Para desainer dalam proses ini memiliki idealisme kuat untuk menghasilkan karyakarya yang indah secara estetika. Mereka menerapkan apa yang telah mereka pelajari secara teknik seperti mengartikulasikan permukaan, memanipulasi kesan volumetrik, memunculkan silhouette yang dramatik, menggunakan cara pengolahan yang terkesan arsitektural dalam mengolah teknik seperti anyaman, sampul ikatan, rajutan juga sambungan pertemuan berbagai bahan, ketegasan bentuk maupun struktur dalam konstruksi pakaian dan sebagainya. Rico Ananta memberikan informasi terkait estetika: “Tentunya saat membuat desain pertimbangan utama adalah unsur estetikanya, karena fesyen juga bagian dari estetika. Busana yang indah berasal dari desain yang kuat dalam menggali unsur estetikanya”. (Wawancara 15 April 2013) Aspek modernisasi yang melebur dalam budaya lokal telah menghasilkan sebuah bentuk kebudayaan baru. Demikian halnya yang terjadi pada industri fesyen dimana unsu-unsur estetikanya hanya bertujuan untuk merangsang hasrat untuk mengkonsumsi (Piliang, 2006). Aspek spiritual atau theistic dari unsurunsur estetika telah memudar digantikan oleh logika dan rasionalitas.
183
Keseimbangan antara simbol-simbol budaya tradisional dengan teknik-teknik busana modern dalam keadaan timpang. Fungsi estetika hanya berpusar pada penggalian ekstasi tubuh dalam hasrat melalui citra-citra. Originalitas telah digugat dengan munculnya hybrid-hybrid budaya. Bell (1914) mengatakan secara estetika tujuan dari visual art seperti fesyen adalah menciptakan „bentuk signifikan‟ (significant form) dari objek yang indah sehingga mampu mengungkapkan makna. Significant form yang dimaksud disini adalah sebuah pencapaian yang diharapkan oleh desainer dimana publik mampu mengenali dan mengapresiasikan karya-karya mereka dengan karateristik yang tegas seperti gaun Dolce Gabana, kemeja Yves Saint Laurent (YSL), tas Marc Jacob, handbag Hermes, Channel suit dan seterusnya. Dalam masyarakat yang kebutuhan pokonya sudah tercapai (utilitarian needs) maka unsur-unsur estetika dari produk tertentu atau merek tertentu menjadi faktor penentu bagi konsumen atau consumer choice. Seseorang sosialita misalnya sering dikenali dengan penggunaaan busana hasil karya perancang tertentu atau brand tertentu. Demikian juga individu-individu yang mengkonsumsi songket Bali dalam karya-karya seni fesyen adalah untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi seperti sebuah kesenikmatan (pleasure) dalam memandang keindahan dan emosi yang inheren didalam makna dari simbol-simbol yang tercipta. (Cohen, 1993) mengatakan pengalama estetika seperti ini adalah ekspresi sebuah ego yang ingin terlihat lebih menonjol: America is distrustful of aesthetics, considering them false and of no value. This is a national failing and, in some ways, the worse sort of reverse snobbism.
184
Fesyen menampilkan songket Bali dalam karya estetika kontemporer yang melebihi kewajaran (fungsi) dalam modernitas. Walaupun Baudelaire (1821– 1867) mengangap fashion sendiri sebagai lambang dari modernitas. Karya-karya songket Bali dalam bentuk collage, bricolage, kitsch, champ, dan parody adalah estetika kontemporer yang menandai budaya post industri atau post modern. Ekspresi estetika postmodern ini berasal dari manipulasi hasrat yang menurut Lacan berada dalam wilayah ketidaksadaran yang kemudian bermanifestasi dalam tindakan-tindakan bermotif konsumsi. 7.4 Refleksi Komodifikasi artefak budaya Bali termasuk songket Bali sebenarnya adalah sebuah nomena yang menggambarkan menebalnya ideologi yang memuja uang dalam masyarakat kita dewasa ini. Dalam sebuah epic yang tertulis pada kitab Bhagawadgita terdapat seorang tokoh dewa bernama Bhatara Sri Rambut Sedana atau dewa Kuwera. Sri Sedana dikenal sebagai dewa uang dengan perkataanya yang terbukti pada era modern ini; “…dengan jalan apa pun kau menyembah diriku, aku akan terima karena itu merupakan jalanku”. Dewasa ini semua orang menyembah dewa Sri Sedana, mereka menggantikan dewa-dewa kebajikan dan ajaran-ajaran yang luhur. Uang telah mengambil peran lebih luas dalam hubungan sosial masyarakat mengalahkan nilai-nilai mulia, menyingkirkan kearifan lokal dengan meneguhkan prinsip-prinsip ekonomi sebagai landasan pengambilan keputusan. Karena itu manusia modern digambarkan oleh Karl Marx sebagai makhluk yang terkungkung atau teraleniasi dari dirinya sendiri dan lingkungannya karena melakukan apapun untuk
mengejar materi. Demikian
185
kitab-kitab suci memprediksi malapetaka dan kehancuran akan terjadi bagi masyarakat yang mengutamakan uang dalam hidupnya. Uang dapat menjadi sumber musibah dan sekaligus rahmat. Uang dapat menjadi alat untuk mendapatkan dharma artha kama dan moksa tetapi bukan menjadi tujuan dari hidup itu sendiri, sehingga harus mengorbankan nilai-nilai budaya yang mendalam sebagai tuntunan kehidupan spiritual. Demikian pula caranya masyarakat dan pemerintah harus memandang fenomena komodifikasi songket Bali. Dari satu sisi diakui sebagai peristiwa yang melunturkan kharisma songket Bali sebagai warisan budaya adiluhung yang mengandung simbol-simbol sakral dan ditengarai membawa aspek negatif dalam masyarakat. Disadari bahwa motif keuntungan lah yang pada awalnya telah mendorong terjadinya komodifikasi songket Bali, namun demikian komodofikasi bukanlah sebuah setan atau musuh jahat yang harus dibumi hanguskan. Komodifasi songket Bali adalah sebuah realita yang tidak terhindarkan, bagian dari sisi natural manusia yang kreatif dan obsesif, karena itu harus dikelolah dengan baik. Komodifikasi songket Bali harus juga dapat dipandang sebagai alat menciptakan kesejahteraan masayarakat. Dengan demikian seperti apa yang disebut dalam kitab Nitisastra III.8 bahwa kegunaan yang utama dari harta emas perak itu adalah untuk menolong orang sengsara, sedih dan melarat, dan untuk menjaga keutuhan harta benda itu tak lain dari memagarinya dengan memberikan sedekah dan derma, jadi komodifikasi songket Bali harus mampu membawa masyarakat pada tingkat kesejateraan dalam dimensi yang lebih luas.