BAB V BENTUK KOMODIFIKASI KAIN TENUN SONGKET BALI
Komodifikasi adalah sebuah proses (Fairclough, 1995:207), yang juga di maknai secara lebih luas dalam hal bagaimana institusi-institusi sosial memproduksi
komoditas
barang
maupun
jasa,
mengorganisasikan
dan
mengkonseptualisasikannya ke dalam aspek-aspek produksi, distribusi dan konsumsi komoditas. Bentuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah rupa atau wujud yang ditampilkan. Bentuk komodifikasi songket Bali dalam penelitian ini tidak hanya berupa wujud yang ditampilkan dalam informasi geometris tetapi juga melalui tindakan, proses dan ide-ide yang terkait dengan bentuk,
sehingga menganalisis dan menjelaskan bentuk-bentuknya harus
dilakukan mulai pada tahapan produksi, kemudian distribusi dan konsumsi.
5.1 Komodifikasi Produksi Sampai saat ini, teknologi produksi songket Bali belum banyak berubah. Produksi songket Bali masih dilakukan secara tradisional di rumah-rumah industri,
dikerjakan secara manual tanpa menggunakan mesin yang canggih.
Helai demi helai dari kain songket ditenun oleh para wanita di rumah-rumah mereka sebagai mata pencaharian atau pekerjaan sambilan setelah mereka mengurus pertanian dan pekerjaan rumah tangga. Secara teknik, songket dibuat dengan menambahkan suatu pola pada suatu bahan dengan mengisi benang. Bahan baku kain Songket Bali ini adalah berbagai jenis benang, seperti benang
76
77
kapas atau jenis benang lain yang seratnya lebih lembut dari bahan benang sutera. Tetapi untuk membuat kain songket yang bagus, bahan bakunya berupa benang putih yang diimpor dari India, Cina atau Thailand. Sebelum ditenun, bahan baku diberi warna dengan cara dicelup dengan bahan warna yang dikehendaki. Dahulu hanya warna
tertentu saja yang dominan dipakai dalam
pembuatan tenun songket Bali. Namun saat ini penenun dari Bali sudah menggunakan berbagai jenis warna, termasuk warna yang biasa digunakan untuk tekstil sehari-hari. Kain songket tradisional dicelup dengan warna-warna yang didapat dari alam, dan teknik ini diteruskan turun temurun. Setelah benang diberi warna, lalu ditenun dengan alat yang sederhana. Penempatan benang-benang telah dihitung dengan teliti (lihat Gambar 5.1).
Gambar 5.1 Tahapan dalam menenun pada struktur mendatar horizontal a. Benang lugsi di susun menggunakan pegunan atau gilik. b. Benang pakan mengikat benang lungsi dengan arah melintang c. Pegunan cenik diangkat dan benang lungsi di masukkan d. Benang pakan kemudian diikatkan. Sumber: Redrwan dan Buhler, 1940
78
Benang yang memanjang atau vertikal disebut lungsi, benang yang ditempatkan melebar atau horizontal disebut benang pakan (Kartiwa, 1989). Hasil persilangan kedua jenis benang ini terangkai menjadi kain.Untuk mendapatkan motif songket berbenang emas, harus ditambahkan benang emas yang sudah dihitung dan ditenunkan di antara hasil tenunan tadi. Produksi songket Bali secara tradisional dibatasi oleh pakem yang tercipta dalam keluarga aristokrat di Bali (Barnes dan Hunt, 2010): The festive apparel of aristocratic families and of dancers was basically restricted to rectangular textiles of various size, such as elegantly draped his cloths, wrapped breast, shoulder cloths, and sashes. Tjok Istri Agung Manik yang juga sebagai pengrajin mengatakan bahwa: “Songket Bali dikerjakan dengan tuntunan yang ketat, merupakan warisan keluarga para bangsawan. Saat mau mulai menenun, jiwa dan raga kita harus bersih dari kekotoran, persiapan menenun sama halnya dengan bersiap-siap membawa persembahan kepada Hyang Widhi. Jadi jangan asal-asalan atau semaunya kapanpun ada keinginan, walaupun diusahakan semua urusan pekerjaan rumahtangga sudah diselesaikan. Pertama-tama kita ngeliying benang dulu, caranya benang dibentangkan, dibuka tali pusarnya dan digulung pakai peleting. Lalu diteruskan dengan nganyi benang, benangnya tadi di pasangkan pada ulakan dan diputar keliling. Lalu nyuntik, benangnya dimasukkan dalam serat menggunakan lidi. Serat digunakan untuk menentukan motifnya.Serat bisa dibeli, ada pengrajin yang menjualnya…Kalau menenun harus pakai cagcag, bukan ATBM sudah memang begitu aturannya dari dulu, supaya terjaga aturannya atau pakemnya. Waktu menenun benang lungsi disusun rapat dan kemudian diikat secara berselang seling dengan benang pakan secara melintang.Untuk motifnya supaya timbul caranya benang tambahannya disisip diatas atau dibawah benang lungsi dan benang pakan, sesuaikan saja dengan pola motifnya”. (Wawancara 8 April 2013) Tahapan-tahapan yang disampaikan informan, oleh Ramseyer dkk (1991: 5-13) dijelaskan bahwa keanekaragaman, keunikan dan tradisi menenun Bali yang
79
sangat kaya berasal dari evolusi yang terus menerus dalam konteks budaya Bali yang tumbuh dalam pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa; “They are indispensable in shrines, where they are used underlays for offerings and figures of gods.” Ramseyer lebih jauh mengatakan bahwa Bali orang Bali tekstil seperti songket memiliki tujuan dan makna yang mendalam; “ In Bali, textiles are much more than just cloths from which garment are made…they are medium through which the devine nature of the universe and its material manifestation are recognized and expressed.” Secara keseluruhan teknik-teknik menenun tradisional masih tersimpan baik oleh para pengrajin di Bali, namun berkat infiltrasi pasar dan perkembangan trend busana ada perubahan-perubahan yang harus dibuat sesuai dengan permintaan pasar. Para pengrajin juga sudah begitu cerdas menggunakan prinsipprinsip ekonomi dalam mengembangkan usahanya. Misalnya dalam menghemat bahan baku benang, pengrajin memperjarang sisir dan menyederhanakan motif. Dahulu digunakan kain sutra Cina sebagai dasar songket Bali, namun saat ini sutra yang digunakan telah dicampur dengan polyester, rayon atau katun. Menurut pengrajin selain menghemat biaya produksi juga kain menjadi lebih kuat dan tahan luntur. Kualitas benang emas dan perak adalah yang terbaik seperti benang emas lalubay dari India dan Perancis. Tetapi yang digunakan sekarang adalah benang emas sintetis berasal dari Singapura dan India yang tentu lebih murah harganya. Perubahan motivasi pengrajin yang semakin business oriented dapat dijelaskan dengan fenomena komodifikasi budaya. Komodifikasi disini dapat kita
80
definisikan sebagai proses mengubah nilai pada suatu produk yang tadinya hanya memiliki nilai guna kemudian menjadi nilai tukar (nilai jual) di mana nilai kebutuhan atas produk ini ditentukan lewat harga yang sudah dirancang oleh produsen (Mosco, 2009: 132). Pengrajin pun kini semakin pragmatis dan mengedepankan kalkulasi ekonomi. Hasil penelusuran Yayasan Citra Tenun Indonesia yang dituliskan dalam “ Woven Indonesian Textile For Home” (2012) mengungkap bahwa pasar berpengaruh besar mengalihkan pengrajin atau penenun dari kehidupan tradisional mereka. Dalam kehidupan tradisional, para pengrajin yang polos menenun kain-kain songket bertujuan untuk kebutuhan domestik saja, dipakai oleh keluarga dan bila berlebih dapat menjadi alat tukar untuk komoditas lainnya. Perkembangan nilai-nilai modern yang membawa pengertian tentang nilai uang dan nilai-nilai kapitalis lainnya membuka cakrawala baru bagi pengrajin. Sistem pasar bebas sebagai norma utama dari ideologi kapitalis memiliki prinsip memproduksi barang dan jasa untuk dijual di pasar dan menjadikan harga pasar sebagai satu-satunya patokan. Konsekuensi dari prinsip ini adalah semua elemen industri dijadikan komoditas. Pelaku industri termasuk pengrajin songket menyadari bahwa melalui komodifikasi, akan lebih banyak kesempatan untuk menciptakan kekayaan. Komodifikasi produksi songket Bali menurut desainer Priyo Oktaviano terjadi dalam beberapa aspek: “Kalau membandingkan produksi songket Bali sekarang dengan yang lama kita dapat menemukan berbagai bentuk modifikasi baik dalam warna, motif serta desainnya. Para pengrajin sudah pintar membaca selera pasar. Mereka juga mempelajari teknik-teknik pewarnaan baru yang bukan
81
berasal dari Bali seperti teknik pewarnaan batik jawa. Kami para desainer juga memesan jenis songket yang dapat kami ubah ke dalam busana modern seperti gaun, jacket, rok, celana, dan berbagai bentuk pendukung busana”. (Wawancara 25 Mei 2013) Tjok Abi menambahkan bahwa selain warna, motif dan desain bahwa penggunaan songket Bali dalam konteks fesyen juga menjauhi pakemnya bahkan mungkin ada yang sengaja melanggarnya.
5.1.1 Komodifikasi Motif dan Warna Dalam wawancara dengan Tjok Abi terungkap bahwa modifikasi design Songket Bali pertama kali diperlihatkan pada publik melalui Bali Fashion Show tahun 2002. Pada ajang tersebut designer Bali, Ika Mariana mempertunjukkan karya-karyanya yang sebagian berbahan dasar songket Bali. Karya-karya Ika Mariana dianggap cukup berani, karena beliaulah yang pertama kali melakukan modifikasi songket Bali yang masih dianggap tabuh bagi designer Bali kala itu. Ika memotong-motong songket selayaknya kain percah (patchwork). Disain busana songket Bali yang dimodifikasi tersebut terkesan playfull, kaya dengan permainan warna. Dengan karyanya ini Ika Mariana dianggap mempelopori para designer Bali untuk berkreasi dengan bahan dasar songket Bali. Karya-karya songket selanjutnya secara intensif mengalami komodifikasi dalam desain dan motif ragam hiasnya. Umumnya motif-motif yang paling banyak mengalami modifikasi adalah motif-motif flora dan fauna. Motif-motif ini mengalami proses pengecilan atau minimalis objek motif, multiplikasi motif dan fragmentasi motif dengan bentukbentuk yang tidak utuh lagi. Selain itu banyak ditemukan jenis-jenis motif baru
82
yang bukan tergolong motif tradisional Bali. Seperti motif-motif batik dari Jawa atau motif-motif geometris atau bangun ruang yang padat, dengan komposisi yang lebih rumit dan motif abstrak. Gambar 5.2. di bawah ini adalah sebuah contoh modifikasi motif geometri dengan ragam hias tumbuh-tumbuhan yang dibentuk oleh motif-motif geometri seperti lingkaran, segitiga, segiempat, dan belah ketupat.
Gambar 5.2 Motif Komodifikasi Geometri Dokumen A3 Denpasar Selain motif yang mengalami banyak modifikasi, warna-warna Songket Bali terkini juga semakin bervariasi. Trend fesyen dan pilihan pemakai menjadi patokan bagi pengrajin dalam menentukan pewarnaan. Dalam proses pembuatan bahan pewarna, dahulu warna-warna tersebut dibuat dengan bahan-bahan alamiah misalnya merah berasal dari mengkudu, kuning diperoleh dari kesumba dan kemiri, hitam atau indigo dari pohon taum atau tarum, dan merah dari kulit pohon asam sunti. Warna-warna yang umum yang digunakan dalam proses pembuatan
83
songket Bali secara tradisional adalah ungu, merah hati, coklat, hitam, biru, kuning dan orange. (Lihat Gambar 5.3)
Coklat manggis
Ungu
Hitam
Marun
Biru
Kuning
Merah hati
Orange
Gambar 5.3 Warna-Warna Umum pada Songket Bali Warna-warna beige, pastel, dan putih bukanlah warna-warna yang umum dipakai pada karya seni tradisional Bali, tetapi kini warna-warna tersebut sudah banyak digunakan.
Putih Cream
Pink
Hijau Toska
Turkis
Gambar 5.4 Warna-Warna Songket Bali ang Mengikuti Trend Fesyen dan Pasar
Kini proses pewarnaan
mengalami perubahan; bahan pewarna yang
dipakai saat ini lebih didominasi dengan pemakaian bahan kimiawi, menurut para
84
pengrajin hal ini disebabkan oleh kondisi sulitnya memperoleh bahan-bahan pewarna dari alam. Variasi dengan spektrum warna bertambah luas sesuai pesanan khusus dari industri fesyen, dalam hal ini para desainer. (Lihat Gambar 5.5).
Gambar 5.5 Warna-Warna Lembut (Pastel) Songket Bali Pesanan Desainer Dokumentasi A3 Denpasar, koleksi Priyo Oktaviano APEC 2003
Warna-warna degradasi dengan berbagai siluet mulai dikenal oleh pengrajin. Teknik yang dipakai disebut pengabluran warna, yaitu seperti teknik yang digunakan pada kain-kain batik Jawa. Dahulu, pewarnaan songket diperoleh saat pencelupan benang. Pada songket modern, kain songket diablur seperti pada proses pewarnaan kain batik. Selain itu juga, dilakukan pencelupan benang secara berulang ulang sehingga terjadi perubahan warna seperti yang diinginkan.
85
5.1.2 Komodifikasi Desain Berdirinya Bali Fashion Week di awal tahun 2000 dianggap sebagai tonggak sejarah komodifikasi songket Bali. Mungkin memang pernah ada karyakarya yang dihasilkan sebelumnya, tapi menurut Tjok Abi momentum tersebut menjadi motivasi bagi desainer berkreatifitas, mengeksplorasi kain tradisional Bali khususnya songket ke panggung-panggung high fashion. Bagi desainer, songket Bali merupakan sumber inspirasi yang melahirkan karya-karya yang indah. Pada ajang tersebut pelopor dari BFW Ika Mardiana menampilkan koleksinya. Salah satu yang mencuri perhatian adalah karya patchwork songket Bali. Keberanian Ika ini merupakan pendobrak eksplorasi desain terhadap songket Bali. Melalui ajang fashion show para desainer dapat memperlihatkan karyakarya modifikasi songket Bali. Seperti yang dilakukan oleh Priyo Oktaviano dalam Jakarta Food and Fashion Festival (JFF) di Jakarta. Pryo memang secara resmi telah ditunjuk oleh Yayasan Citra Tenun Indonesia (CTI) untuk mengembangkan kain-kain tradisional Bali. Karya-karya Priyo mendapatkan perhatian pecinta seni fesyen seiring semakin meluasnya kecintaan dan apresiasi masyarakat terhadap kain tenun tradisional. Melalui koleksi Kawaii Bali, Priyo menunjukkan kain tenun dapat ditampilkan lebih modern dan kontemporer. Priyo membuat beberapa model gaun malam bergaya one shoulder, gaun cocktail, dan tunik dengan sentuhan bling-bling. Pryo juga menggabungkan unsur-unsur kebudayaan lain dalam karyanya seperti penggunaan kain songket Bali dalam sentuhan busana cheongsam. (lihat Gambar 5.6).
86
Gambar 5.6 Cheongsam Modern Rancangan Priyo Oktaviano Menggunakan Bahan Dasar Songket Bali Sumber: http://fesyenbagus.blogspot.com Selain itu, Pryo menampilkan pula gaun one shoulder dari songket Bali, dan juga gaun bergaya cheongsam berlengan panjang yang menggabungkan lace dengan songket Bali. (Lihat Gambar 5.7). Gaun tersebut dalam warna senada palais royal menghadirkan busana yang high fashion dalam balutan material seperti linen, katun, dan sifon. Priyo menceritakan tentang karya-karyanya pada JFF 2012: "Untuk mempertegas kesan Indonesianya, saya menggunakan 70 persen kain songket Bali handmade, Gaya busana yang saya tapilkan simpel dan siap pakai, dengan mengeksplorasi keindahan dari motif songket itu sendiri tanpa banyak menambahkan aksesori penunjang lainnya. Terlalu banyak detail khusus pada songket akan membuat motifnya menjadi rusak dan menutupi keindahannya. merah marun dan emas. Sentuhan yang lebih modern terlihat pada tambahan aksen backless, dan ruffles di bagian bawah roknya. Hampir semua cheongsam berkesan seksi karena memiliki
87
belahan depan yang cukup tinggi. dan tunik dengan sentuhan bling-bling. songket Bali sebagai pusaka keluarga raja-raja sangat elegan dengan desain-desain klasik Cina” (Wawancara 25 Mei 2013)
Gambar 5.7 Gaun Songket Bali dengan Linen, Katun dan Chiffon Sumber: http://fesyenbagus.blogspot.com Karya-karya Priyo adalah karya yang eksklusif dengan dengan kualitas desain yang rumit dan berkelas karena memang ditujukan bagi kelompok masyarakat yang daya belinya tinggi. Hal ini senada dengan definisi fesyen yang dibuat oleh seorang economist bernama Robinson (1958: 126-138) yang mengatakan : "Fashion, defined in its most general sense, is the pursuit of novelty for its own sake." Jadi tujuan dari fesyen bagi pemakainya adalah sebagai ekspresi
88
estetik
yang
didorong
motivasi
oleh
tingkat
kepuasan
psiko
sosial
(http://www.acrwebsite.org). Bagi kelompok kelas menengah atas seperti kaum sosialita dan golongan the have lainnya fesyen menjadi sebuah distiguish statement. Dalam kaitan fesyen dengan sistem kelas, Simmel (1904) mengatakan: “Social forms, apparel, aesthetic judgment, the whole style of human expression are constantly transformed by fashion, in such a way, however, that fashion--in all the things affects only the upper classes. Just as soon as the lower classes begin to copy their style, thereby crossing the line of demarcation the upper classes have drawn and destroying the uniformity of their coherence, the upper classes turn away from this style and adopt a new one, which in its turn differentiates them from the masses; and thus the game goes merrily on...” Dari penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa komodifikasi songket Bali dalam format fesyen tidak saja digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan bisnisnya tetapi merupakan tindakan kelompok masyarakat tertentu untuk membentuk stratifikasi sosial baru. Pada pagelaran BFW ke-4 Tjok Abi mengeluarkan koleksi tahunannya yang bernuansa kebaya dan kain tradisional Bali.(Lihat Gambar 5.8) Pada kesempatan tersebut kain songket Bali ditangan kreatif Tjok Abi berubah menjadi busana-busana ready to wear, mini skirt, gaun yang edgy dan stylish sampai pada busana jump suit yang dipadupadankan dengan sepatu boot. Tjok Abi tidak hanya menghasilkan busan-busana yang relatif mahal tetapi juga berkreasi dengan berbagai pelengkap busana seperti asesoris dengan bahan songket Bali. Beberapa penunjang penampilan seperti selop, kipas, clutch, tas dan sebagainya sudah banyak yang menggunakan bahan songket Bali.
89
Gambar 5.8 Rok Mini Berbahan Songket Bali Karya Tjok Abi Dokumen Tjok Abi Selain desainer, pengrajin rumah tangga atau home industry mulai ikut memproduksi asesoris.
Gambar 5.9 Clutch Berbahan Songket Bali Karya Pengrajin Bali Sumber : http://tenunikatbali.com/product/clutch-songket-bali-2/ Berbagai perubahan baik dalam modifikasi motif, warna dan desain adalah sebuah fenomena yang sebenarnya juga terjadi dalam dimensi seni yang lain. Ini memperlihatkan sebuah perubahan era filsafat dan seni, yang berbeda dari era filsafat dan seni sebelumnya. Karya-karya seni yang muncul memberikan karakteristik sendiri walaupun tidak menunjukkan keterputusan dari era
90
sebelumnya (Habermas dalam Geuss, 2004). Apa yang dilakukan oleh designer seperti dalam karya Ika adalah salah satu tehnik campuran yang dinamakan dengan„collage‟. Collage menawarkan suatu cara alamiah untuk mencampurkan bahan-bahan yang saling bertentangan. Collage menjadi wahana kritik postmodern terhadap mitos pengarang atau seniman tunggal. Teknik lainnya adalah
„bricolage‟,
yaitu
penyusunan
kembali
berbagai
objek
untuk
menyampaikan pesan ironis bagi situasi masa kini. Beberapa ide ide yang mencampurkan songket Bali sebagai produk budaya tradisonal dengan elemen modern juga termasuk karya bricolagae, seperti busana jump suit songket Bali dengan sepatu boot merupakan contoh yang pas. Seni posmodern sendiri di satu sisi memberi pengertian, memungut masa lalu tetapi di sisi lain juga melompat kedepan atau bersifat futuris. Seni postmodern selain bricolage, dan collage, juga memeperlihatkan gejala simplifikasi, daur ulang gaya, serta pembauran batasbatas antara seni berkualitas rendah (low art) seperti seni budaya massa (popular art) dengan seni berkualitas tinggi (fine art) seperti karya-karya fesyen tertentu. Karya-karya Priyo misalnya menujukkan kekuatan estetika dengan teknik yang tinggi. Fesyen adalah sebuah gejala seni postmodern. Antoni Giddens (1984) mendefinisikan postmodernisme sebagai berikut: “postmodernisme adalah sebuah estetika, sastra, politik atau filsafat sosial, yang merupakan dasar dari upaya untuk menggambarkan suatu kondisi, atau suatu keadaan, atau sesuatu yang berkaitan dengan perubahan pada lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi sebagai „post modern‟. Pandangan Giddens ini adalah pandangan yang netral terhadap
91
Postmodern bila dibandingkan dengan Lyotard, Derrida, Foucault dan Baudrillard. Sebagian beranggapan gaya postmodern dianggap nyeleneh, miskin essensi, dangkal makna, lebih mengagungkan ketidakwajaran daripada sesuatu yang sifatnya konvensional, kacau atau chaos dan seterusnya. Estetika posmo kecenderungannya tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif. Pada dasarnya seni postmodern tidak eksklusif dan sempit tetapi berbauran (sintetis). Karya seni tersebut dengan bebas memasukkan berbagai macam kondisi, pengalaman, dan pengetahuan jauh melampaui obyek yang ada. Karya ini tidak melukiskan pengalaman tunggal dan utuh. Justru yang hendak dicapai adalah keadaan seperti sebuah ensiklopedia, yaitu: masuknya jutaan elemen, penafsiran, dan respons (Howard Fox, 1987). Gaun percampuran dua kebudayaan seperti cheongsam dan gaun one shoulder adalah fenomena memudarnya elitisme masing-masing budaya baik antara budaya Cina, Barat dan Bali. Unsur-unsur dua kebudayaan menyatu membongkar batas-batas budaya menjadi sebuah parody sekaligus sebuah kritikan. Postmodernisme juga menolak “ide-ide seni untuk seni” yang tujuannya membongkar mitos avant-garde atau kemapanan sebuah norma atau suatu kebudayaan. Para desainer menerobos batas-batas kesakralan sebuah budaya, mempertanyakan kemapanan budaya bahkan cenderung mengolok-oloknya. Bahan songket sebagai simbol sebuah kelas dalam masyarakat Bali menjadi runtuh, walau sedikit demi sedikit telah gejala ini telah terlihat ketika terjadi
92
demokratisasi dalam masyarakat Bali, dan penghapusan hak privilege produksi dan konsumsi songket Bali oleh kelas tri wangsa. Pada masa lalu hak kreatif bertenun songket dimiliki keluarga puri dan kelompok Brahmana. Melalui proses kapitalisasi budaya, pintu komodifikasi kian terbuka lebar. Desainer diberi jalan masuk untuk memiliki kebebasan berekspresi dengan songket Bali. Mereka tak tanggung-tanggung merubah simbol kelas menjadi sebuah parody, sebagai karya seni yang tidak elitis dan dapat diakses siapapun. Postmodernisme
jelas
berhubungan
dengan
elemen-elemen
komersialisme, kitsch atau sampah artisitk dan seni estetika
dari
camp (Piliang,
2006). Estetika dipandang tidak lebih dari hasil suatu proses logis, di mana kebutuhan dan teknik operasional dipadukan sehingga menghasilkan sebuah bentuk karya yang akhir dalam hal ”estetika komoditi” yang dikendalikan oleh prinsif dasar komersial dan kapitalisme, yaitu mencari keuntungan sebanyakbanyaknya, sehingga ekspresi estetis dalam pembuatannya tidak menjadi sesuatu yang utama melainkan hanya sebagai pemanis saja. Proses komodifikasi secara sadar atau tidak sadar telah menyentuh langsung pada dingding makna kebudayaan apalagi ketika simbol, ikon, dan budaya telah mulai disentuh oleh prinsif komersil. Tjok Abi dan Rio Ananta mengiyakan bahwa karya-karya songket mereka berkali-kali lipat mengalami kenaikan harga. Karya-karya Priyo Oktaviano bahkan menjadi rebutan, dan akhirnya direproduksi ulang oleh desainer-desainer lain yang ingin ikut menikmati keuntungan. Malcolm Barnard (2007) seorang peneliti fesyen menegaskan bahwa
93
estetika modern berhubungan dengan produksi sedangkan estetika postmodern adalah bentuk-bentuk seni yang semata-mata dibuat untuk kebutuhan konsumsi. “[p]ostmodernity is a globalizing, post industrial world of media, communication and information systems. It is organised on the basis of a market-orientated world of consumption rather than work and production…it is a world of culture in which tradition, consensual values…universal beliefs and standards have been challenged, undermined and rejected for heterogeneity, differentiation and difference” Jadi Malcolm menduga, gaya postmodern bertujuan untuk menarik perhatian yang lebih luas, semata-mata untuk tujuan konsumsi. Konsep fesyen sendiri menurut Baudrillard (dalam Piliang, 2006) merupakan konsep daur ulang. Maksudnya fesyen mengikuti paradigma produksikonsumsi. Semuanya bersifat berulang-ulang, masyarakat merasa perlu terusmenerus memperbaharui diri mereka, setiap tahun, setiap musim melalui pakaian. Masyarakat terus mengkonsumsi dan melakukan differensiasi melalui fesyen. Menurut Baudrillrad “…tak ada lagi referensi untuk bentuk. Semuanya telah pernah dibuat. Batas terjauh dari kemungkinan bentuk baru telah dicapai…,kini yang tersisa hanyalah kepingan-kepingan historis.” Seniman postmodern menggunakan berbagai gaya yang mencerminkan suatu objek. Gaya dan historis dibuat saling tumpang tindih. Seperti dalam karyakarya songket Priyo menunjukkan kain tenun tradisonal dapat ditampilkan lebih modern dan kontemporer. Ia membawa pesan penting, bahwa tradisi dan tren dapat berjalan berdampingan dengan busana yang segar dan menarik sebagai representasinya. Karya-karya fesyen kontemporer adalah termasuk karya pastiche, miskin orisinalitas, bersifat meminjam atau mengimitasi ide yang lain. Menggunakan bahan songket tradisional dalam fesyen adalah karya pastiche, di
94
mana keberadaan songket sudah ada, dan diproduksi sedemikian rupa dengan desai-desain yang juga sudah pernah ada. Strategi fesyen mengubah songket adalah mensimulasi dan mengkopi elemen-elemen gaya dari seni tinggi untuk kepentingan sendiri, yang produksinya didasarkan oleh semangat memassa-kan seni tinggi (Pilliang, 2006). Karena itu seni fesyen dapat dikatagorikan seni kitsch. Seni postmodern berusaha menyingkirkan konsep mengenai "seorang pengarang atau pelukis asli yang merupakan pencetus suatu karya seni". Seni postmodern menghancurkan ideologi "gaya tunggal" dari modernisme dan menggantikannya dengan budaya "banyak gaya". Untuk mencapai maksud tersebut, para seniman ini memperhadapkan para peminatnya dengan beraneka ragam gaya yang saling bertentangan dan tidak harmonis. Pada kasus seperti ini terjadi kebingungan tanda-tanda (lihat Gambar 5.10).
Gambar 5.10 Tumpang Tindih Gaya Songket Bali Foto Majalah Bazar dan A3 Denpasar
95
Gambar 5.10 diatas adalah sebuah contoh gaya bertumpuk-tumpuk dan saling bertentangan. Helaian wastra wanita songkat Bali koleksi A3 menjadi pembungkus tubuh dengan menabrak pakem-pakem pemakaian songket Bali. Penggunaan sepatu boot dan berbagai asesoris ditubuh seorang wanita ber identitas Barat membentuk disharmonis dan kacau. Ada nuansa hybrid yang ditunjukkan disini. Penambahan unsur modern membaurkan unsur-unsur tradisional sehingga sulit dikenali.
Karya patchwork songket Ika Mardiana
menunjukkan gejala seperti itu. Teknik ini, sejarahnya
yang mencabut gaya dari akar
dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan berusaha meruntuhkan
sejarah. Andrew Hill (http://www.notjustalabel.com) berargumen bahwa pakaian tidak lagi berasosiasi dengan hirarki sosial seperti pada masa lampau. Estetika postmodern tidak membedakam seni tinggi dan rendah, tidak melakukan stereotype
bahwa fesyen identik dengan sifat sifat feminim. Angela Oatley
menuliskan kesimpulannya penelitiannya dalam dunia fesyen : “ I have learnt that there is much more behind an unfinished seam or a raw edge than meets the eye. Every row weaved in the fabric, every line drawn by the designer, every button sewn on (or not) is intentional.” Oatley menemukan ada banyak makna di balik sebuah tepi kain yang tidak diselesaikan atau tepian yang sengaja dari bahan yang berkualitas rendah. Setiap helaian benang yang ditenun dalam kain, setiap garis-garis yang digambar oleh desainer, setiap mata kancing yang dijahit adalah kesengajaan.
96
5.1.3 Komodifikasi Pakem Songket Bali sebagai sebuah artefak budaya dan karya seni memiliki pakem atau sebuah aturan yang menuntun masyarakat dalam memproduksi dan mengkonsumsinya. Pakem dapat menjadi sebuah pencirian karya seni yang terbentuk dari latarbelakang sejarah, norma-norma yang melekat, pandangan, pengalaman dan praktek hidup dari masyarakat pendukungnya. Menurut Tjok Istri Agung Manik pakem songket Bali sudah banyak hilang dari memori oleh masyarakat Bali, karena itu sering dilanggar. “Songket dibuat dengan sungguh-sungguh dengan ketelitian, karena itu mengerjakannya butuh waktu yang cukup lama. Bahan-bahan yang digunakan adalah bahan yang terbaik seperti benang emas dan perak, pengerjaanya sulit. Setelah jadi, pemakaianya juga tidak sembarangan, disesuaikan dengan status dan besarnya upacara yang dilaksanakan. Motif dan warna yang ditampilkan disesuaikan dengan profesi, dan jenis upacara, karena ada motif-motif yang mengandung simbol-simbol kebesaran , kewibawaan, kehalusan, dan kesakralan. Pria dan wanita juga tidak boleh sembarangan memakai warna dan motif, karena sudah dibedakan”. (Wawancara 8 April 2013) Dasar-dasar pengaturan berbusana khas Bali seperti yang dituturkan informan diatas merupakan panduan bagi masyarakat untuk memproduksi dan menggunakan busana tradisonal termasuk songket. Dasar-dasar ini dibuat berdasarkan konsep ruang dan waktu sebagai kearifan lokal masyarakat Bali. Pemerhati busana dan kain tradional Bali I.A.Selly D.Mantra mengatakan: “Songket dalam payas agung Bali sangat detail dan cukup kompleks, setiap daerah memiliki ciri dan aturanya masing-masing. Orang Bali menggunakan prinsip desa kala patra sebagai tuntunan dalam menerapkan kehidupan, begitu juga saat menggunakan payas agung. Acara-acara ritual seperti pernikahan, potong gigi, dan lainnya umumnya menggunakan pakem tata rias Bali seperti payas agung dengan pemanfaatan bunga emas, gelungan, songket, prade, dan aksesori lainnya yang memiliki makna tersendiri.” (Wawancara 15 July 2013)
97
Namun demikian aturan-aturan ini sepertinya semakin memudar, seiring dengan perubahan struktur masyarakat Bali yang semakin industrialis. Orang Bali tak begitu banyak yang mengetahui bagaimana memakai, siapa yang memakai, kapan tepatnya memakai atau pada acara apa memakai songket Bali. Semakin egaliternya masyarakat Bali, semakin kuat motivasi masyarakat untuk memperoleh hak-hak memproduksi dan mengkonsumsi songket Bali. Dalam sebuah wawancara, Ni Nyoman Budawati, seorang ibu rumah tangga mengatakan: “Saya kira Songket Bali sudah merakyat pemakaiannya, boleh kok digunakan sesuai dengan keinginan kita, memang ada yang mengandung simbol-simbol agama, untuk yang seperti itu kita juga hati-hati. Saya pribadi memang tidak tahu terlalu banyak tentang aturan-aturanya. Kalau menurut saya kalau cocok dengan selop atau tas saya, saya pakai saja. Tapi memang sayang sih, kalau memakai songket yang mahal dipakai untuk acara-acara yang kurang penting. Biasanya saya memakainya ke acara perkawinan” (Wawancara 26 Juni 2013) Apa yang disampaikan oleh ketiga informan diatas bahwa sesungguhnya mengungkapkan bahwa produksi dan konsumsi songket Bali terikat pada polapola atau aturan tersendiri yang termaktub dalam pakem kain tradisional Bali pada umumnya dan songket Bali secara khususnya. Masyarakat masih menghendaki pakem-pakem dalam produksi konsumsi songket Bali dijalankan dan seminimal mungkin dilanggar. Tatanan masyarakat Bali kental dengan norma-norma, aturan adat, awig-awig, dan sebagainya yang menjadi panduan masyarakat dalam mewujudkan idealisme filsafat Tri Hita Karana. Peraturan tersebut sangat kaya sehingga juga mengatur cara memproduksi dan mengkonsumsi busana. Menurut Bandem (1996) saat memproduksinya masyarakat menyadari bahwa tujuannya merupakan perwujudan bakti kepada Sang Hyang Widhi, sama halnya ketika masyarakat mengkonsumsinya. Tradisi menanamkan hal yang sakral berupa motif
98
sehingga kain tenun memiliki taksu yang kuat (Dibya, 1977). Tetapi pada kenyataannya motif dipakai dengan sembrono tanpa memperhatikan simbolsimbol dan ketepatan penggunaaan sesuai fungsinya. Lebih banyak disesuaikan dengan nuansa atau tema-tema yang diinginkan oleh pemakai. Dari sudut pandang produksi, pengrajin dan desainer saat ini memiliki keleluasaan untuk berkreasi. Pengrajin akhir-akhir ini mampu menangkap apa kemauan pasar dan trend yang sedang hangat. Beberapa bentuk produksi berubah dalam proses dan produk yang dihasilkan. Menurut Cut Kamaril Wardani bila dibandingkan dengan masa lalu, Songket Bali saat ini tidak terlihat rapat dan rapi, hal ini disebabkan
pengrajin Bali mengurangi jumlah benang lungsi atau
mengurangi sisir sehingga kain lebih renggang. Dari sisi keragaman motif dan ukuran, terlihat adanya pengaruh budaya-budaya dari luar Bali seperti motif abstrak modern dan motif-motif batik Jawa. Pengrajin juga melayani permintaanpermintaan khusus, misalnya pesanan yang datang untuk kebutuhan acara perkawinan. Dalam perkawinan yang menggunakan adat tradisional Bali, warna yang lazim dipakai adalah warna hitam dan merah tetapi sekarang pihak pengantin ada yang mau memesan songket berwarna putih. Dahulu bahan baku benang pakan adalah kapas atau benang katun dan sutra, sekarang bahan sutra harganya cukup mahal dan digantikan dengan sutra sintetis atau viscose. Peran para desainer berdiri di posisi sentral dalam proses komodifikasi Songket Bali. Antoni Giddens menyebut peranan seperti ini sebagai agent atau actor yang merubah struktur. Desainer dengan kreatifitas nya didukung kondisi masyakat yang sudah siap dengan ide-ide perubahan. Pertumbuhan kelas menegah
99
serta selera masyarakat akan fesyen semakin membaik adalah sebuah semangat bagi desainer. Namun dalam berkreasi beberapa desainer Bali (terutama desainer yang memahami filasafat Hindu Bali) masih enggan melanggar pakem yang tertanam kuat dalam nilai-nilai hidup mereka. Seperti apa yang dikatakan oleh Tjok Abi: “Saya masih tidak terlalu berani untuk melanggar aturan atau pakem busana Bali. Saya tahu Songket Bali memiliki motif-motif yang sakral. Biasanya saya hanya melipat-lipat saja untuk menghasilkan sebuah busana. Untuk menggutingnya saya belum berani. Tapi untuk motif-motif yang umum sifatnya saya pernah membuat gaun terusan, rok mini, celana dan sebagainya. Untuk songket yang sakral mungkin saya hanya menambah unsur-unsur modern, mengkombinasikan dengan ornamen, batu batu kristal seperti swarovski, dan payet. Untuk pemesanan tertentu saya harus terlibat dalam proses pembuatan motif seperti memisahkan motif, meminimalis, dan sebagainya”. (Wawancara 27 Mei 2013) Bagi perancang asli Bali seperti Tjok Abi yang faham dengan filsafat Hindu Bali, terjadi tarik ulur untuk mempertahankan pakem disatu sisi dan disisi yang lain adalah dorongan untuk melakukan proses kreatif yang bernilai ekonomi tinggi.
Proses kreatif sejauh ini lebih banyak karena adanya pemintaan dari
masyarakat untuk dikonsumsi. Fairclough (1995) mengatakan bahwa menolak permintaan pelanggan adalah sama dengan menolak permintaan raja dan akhirnya selalu berprinsip” give the custumers what they want, ” selain tawaran imbalan uang yang menggiurkan. Motif pelanggan atau konsumen fesyen sendiri sebenarnya adalah motif differensiasi. Menggunakan karya-karya desainer tertentu merupakan kemampuan eksklusif mereka yang dapat dibanggakan. Karena itu Immanuel Kant menggambarkan fesyen sebagai moda kesombongan; "Fashion belongs under the
100
title of vanity, because in its intention there is no inner value.” Dari hasil wawancara dengan seorang ibu rumah tangga biasa, Ni Luh Putu Suyeni, ditangkap sebuah emosi kebanggan: “Kalau saya punya cukup banyak uang, wah, saya juga ingin menggunakan karya-karya desainer ternama. Selain karena karyanya indah-indah kan juga gak dijual sembarangan toko atau dipasar. Rasanya beda memakai hasil rancangan desainer, apalagi kalau dia terkenal, menambah pede “ (Wawancara 3 Juni 2013) Saat ditanyakan apakah dia mau memakai karya-karya desainer seperti gaun songket, rok, atau jeket songket, Suyeni mengatakan: “Saya rasa gak cocok songket Bali dijadikan gaun, celana atau jeket. songket itu digunakan dalam bentuk kain, yang harus dilipat. Tidak boleh dipotong atau digunting apalagi dijahit. Aturannyakan seperti itu. Saya suka songket dipakai apa adanya saja, sebagai wastra atau kemben perempuan maupun pria. Kalau dipakai sebagai payas agung songket kelihatan sangat indah. Sayang juga barangnya mahal dibuat seperti itu.” (Wawancara 3 Juni 2013) Secara tersirat menurut informan diatas memodifikasi songket Bali tidaklah menyalahi aturan, Bahkan akan mampu meningkatkan harkat atau citra si pemakai, tetapi sebagai masyarakat Bali ada keengganan bila perubahan besarbesaran yang menabrak pakem terjadi. Fesyen sebagai sebuah gejala postmodern melabrak seluruh konvensikonvensi seni klasik dan modern. The postmodern era emphasizes difference so there is no metanarrative, meaning no real right or wrong. Fashion is a very ambiguous subject. One thing can be related to others really easily. Baudrillard menjabarkan estetika postmodern termasuk fesyen sebagai estetika yang tidak lagi membedakan mana yang indah mana yang jelek, mana yang moral mana yang immoral. Seni kontemporer tidak lagi membedakan mana kelihatan, mana yang
101
tersembunyi. Fesyen kontomporer mengabdikan dirinya pada pusaran ekstasi kegairahan. Fesyen kontemporer juga selalu menyerap unsur-unsur lain yang saling bertentangan. Dengan demikian relevan dengan apa yang disampaikan oleh Boudrillard tersebut, pelanggaran pakem yang merupakan bagian dari unsur estetika klasik adalah disengaja untuk memunculkan nilai estetika baru yang mencirikan gaya postmodern itu sendiri. Bahwa komodifikasi sebagai suatu proses memodifikasi suatu produk dengan mengalami perubahan ukuran, bentuk (tradisional menjadi modern), dan penyederhanaan, sesuai dengan tuntutan pasar atau permintaan konsumen. Perubahan ini akhirnya mengahasilkan bentuk produk baru yang berbeda dari bentuk aslinya. Proses perubahan bentuk tersebut muncul dari inovasi dan kreatifitas pengrajin, konsumen, dan industri itu sendiri, sebagai suatu karya seni yang mempunyai nilai jual. Ketika Priyo menerjemahkan eksotisme Pulau Dewata dengan membuat karya-karya songket Bali seperti terusan, rok, celana panjang, blazer juga dress dengan model peplum yang dirancang sesuai tren kekinian. Priyo dalam wawancara juga membicarakan tentang pakem: “Saya mengerti walaupun saya bukan orang Bali, bahwa ada motif-motif yang tidak boleh digunakan sembarangan. Untuk itu saya akan lebih hatihati. Sejauh ini permintaan pasar sangat besar untuk karya-karya berbahan songket Bali. Saya di dukung oleh CTI dan maskapai Garuda Indonesia untuk megembangkan desain-desain busana dengan material kain tradisional Bali. Animo masyarakat di Jakarta makin besar, busana yang saya disain selalu diminta dan habis terjual. Untuk pakem saya serahkan saja kepada masyarakat luas yang menilainya. Apa yang saya buat menurut saya tidak melanggar adat-istiadat Bali. Bahkan saya ikut mempopulerkannya”. (Wawancara 25 Mei 2013)
102
Sebagai desainer dari luar Bali, Priyo cukup apresiatif terhadap pakem kain tradisional Bali khususnya songket Bali dan makna yang tercermin di dalamnya. Sikap yang ditunjukkan Priyo relevan dengan nilai-nilai yang akomodatif yang berasal dari pengakuan akan pluralisme sebagai faham yang mendukung ideologi liberalisme yang kapitalistik. Pengakuan terhadap budaya, latar belakang sejarah dan keanekaragaman pemikiran dalam fesyen semata-mata hanya bertujuan bisnis. Secara eksplisit Wilson (2003: 13) mengatakan :”… fashion is the child of capitalism”. Fashion adalah komoditi yang memiliki konsekuensi sama dengan yang dialami oleh objek-objek materi dan manusia yang terlibat didalamnya. Apa yang disampaikan Wilson merupakan sebuah analisis terhadap fesyen dengan menggunakan kerangka berfikir Marx: Fashion is „double faced‟ or contradictory, characterised by both the expansion of social, material and cultural possibilities and by their fettering or constriction. So fashion, as with capitalism, brings both pleasure and pain, expression and exploitation. Wilson selanjutnya menguraikan bahwa fesyen adalah commodity fetishism yang mengalami mistifikasi dan re-presentasi di mana busana, tas, garmen dan seterusnya adalah totem-totem atau mistis sihir pada masa modern (Wilson,2003:47). “In every stitch; in the very warp and weft of its weave, in the cut and trim of its clothing, in the catwalk images of couture which confound and delight the imagination, as well as in the everyday aesthetic practices of fashioning the self, Marx‟s argument that „commodities are in love with money but the course of true love never did run smooth”.
5.2 Komodifikasi Distribusi
103
Pemasaran merupakan bahagian dari aspek produksi-konsumsi songket Bali yang turut berubah. Bahkan termasuk isu sentral karena pada bagian ini hasrat dimanipulasi. Pada sistem niaga Songket Bali tradisional belum mengenal metode persuasif yang sanggup mengubah alam bawah sadar masyarakat. Sistem jual beli berlangsung sangat sederhana, kebutuhan instrumental (nilai guna) lebih utama dari pada kebutuhan simbolik (makna simbolik). Pasar berubah seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi serta infrastruktur transportasi. Institusi pasar juga mengalami perubahan sejalan dengan perubahan hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini masyarakat modern menjadikan pasar di luar dari fungsi-fungsi dasarnya seperti fungsi distribusi, pembentukan harga dan promosi. Stanton (1994) mengemukakan bahwa pasar adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk puas, uang untuk berbelanja dan kemauan untuk membelanjakannya. Stanton dalam hal ini sudah mengaitkan pasar sebagai sebuah tempat yang nyaman sebagai alternatif hiburan bagi masyarakat. Hal ini merupakan sebuah lompatan dan perubahan besar dengan konsep pasar tradional yang hanya menekankan pada fungsi pasar itu sendiri.
5.2.1 Tataniaga Songket Bali secara Tradisional dan Pemasaran Modern Pasar tradisional Songket Bali masih menjalankan sistem penjualan konvensional seperti pembayaran tunai, dan mencicil atau dengan kredit. Produsen maupun pedagang lebih bersifat pasif menunggu datangnya pembeli ke lapak-lapak dagangan mereka. Bila sang pembeli adalah pedagang mereka menemui langsung ke tempat industri atau pengrajin. Beberapa pasar tradisional di Bali yang terkenal dan menjual Songket Bali adalah Pasar Sukawati Gianyar,
104
Pasar Kuta dan Kumbasari, Pasar Badung Denpasar, Pasar Guwang, dan Pasar Ubud. Di bebeberapa tempat di Bali, bahkan di kota-kota seperti Denpasar, masih ditemukan keberadaan sistem penjualan door to door yang dilakukan ibu-ibu dengan buntelan songket yang digendong atau dijunjung di kepala. Produk songket dapat dipasarkan dengan memakai saluran distribusi langsung maupun tidak langsung. Distribusi langsung dalam artian produk yang dihasilkan langsung dijual pada konsumen, sedangkan yang tidak langsung dalam artian melalui suatu agen atau distributor sebelum sampai ke tangan konsumen atau pemakai. Yang paling menonjol dari sistem pemasaran songket Bali secara tradisional adalah bentuk komunikasi lansung dari pedagang dengan pembelinya. Komunikasi terjadi dalam suasana kekelurgaan, tanpa pretensi atau kecurigaan dan kepolosan. Barang dagangan dalam hal ini kain songket, disusun bertumpuktumpuk di depan toko, berada diantara penjual dan pembeli yang bertransaksi. Tabel 5.1 Model Tataniaga Tradisional Songket Bali
UKM/ PENGRAJIN PRODUK
TOKO/ PEDAGANG PENGECER Pedagang Buntelan
KONSUMEN Nilai Guna
105
Kalaupun ada etalase, songket hanya disusun tanpa konsep, tidak teratur dan kurang memamfaatkan unsur estetika. Pembeli tak kan pernah mengetahui harga, karena tidak ada price tag yang ditaruh pada barang dagangan.
Gambar 5.11 Etalase Tradisional Pasar Songket Bali Sumber: http://balitopholiday.com/desa-desa-kerajinan-di-bali Karena itu komunikasi menjadi sangat penting dalam pembentukan harga, di mana masing-masing pihak, pembeli dan penjual bernegosiasi. Lain halnya dengan produk-produk fesyen yang dipasarkan ditempattempat „bergengsi‟ seperti toko, departement store, butik dan berbagai acara expo perdagangan. Aspek perencanaan sangat diperhatikan, seperti tempat yang strategis, strategi pemasaran, dekorasi dan setting ruangan, penetapan harga serta sistem pembayaran. Entwistle (2000) menggambarkan fesyen sebagai “the product of a chain of activities that includes industrial, economic, cultural, and aesthetic”. Dalam hal ini pedagang sangat mempertimbangkan motivasi dan prilaku konsumen yang membutuhkan kenyamanan, keamanaan, variasi pilihan dan sampai kepada lokasi yang strategis. Metode pembayaran dilakukan dalam bentuk tunai dan non tunai (kartu kredit, debit, dan dompet elektronik). Tempat-
106
tempat seperti ini menyediakan etalase took dengan windows display dengan maksud menggugah pembeli (to make the passer buy). Menurut Lury (1998) dan Park (1986) toko membuat image, dan mendramatisir untuk mempertahankan image dalam benak konsumen. Kain kain songket dengan segaja dipakaikan pada boneka-boneka manikin memberi kesan pemakai yang ingin dicitrakan oleh toko. Beberapa tempat di kota Denpasar dan daerah-daerah pusat wisata seperti kabupaten Badung dan Gianyar. Songket Bali dapat di temukan di toko-toko seperti primamoda, centro krisna, dan matahari. Secara sederhana model tataniaga songket Bali secara modern digambarkan pada table 5.2 berikut ini.
Fashion show
DESAINER
P E M B
Butik, toko
PENGRAJI N
Tabel 5.2 Model Tataniaga Songket Bali Secara Modern.
E L I
Dari table diatas terlihat bahwa songket Bali mengalami proses distribusi yang lebih panjang, dan kompleks. Dibandingkan dengan
sistem pemasaran
tradisional di mana songket hanya melewati beberapa perantara (middle man) sebelum sampai ketangan pemakai, pada pasar modern rantai tataniaganya lebih panjang lagi. Bentuk komunikasi yang terjadi sudah mengalami perluasan, di mana pembeli dapat memperoleh informasi tidak hanya dari penjual langsung,
107
tetapi dapat diperoleh dari susunan interior yang dibuat sedemikian rupa, booklet, price tag dan lain-lain. .
Gambar 5.12 Etalase Modern dengan Manikin Dokumen Galeri Adi Suranta Menurut penelitian direct sell tipe window display secara agresif memicu pembelian dengan memasang tulisan harga special atau penawaran khusus yang sedang terjadi pada toko yang bersangkutan. Dalam sebuah wawancara dengan informan, I Bagus Yudistira, seorang karyawan mengatakan: “Banyak juga temen saya yang mengikuti trend busana. Mereka ke butik atau ke toko-toko yang memiliki stok terbatas, brand ternama dengan kualitas yang baik. Biasanya pelayanannya lebih baiklah, lebih modern. Bayarnya dengan kartu kredit, jadi gak repot bawa-bawa cash, bisa debit pula”. (Wawancara 4 Juli 2013) Wawancara informan diatas mengungkapkan adanya preferensi yang berubah pada konsumen karena pengaruh sistem distribusinya. Secara psikologis, strategi pemasaran yang persuasif mampu menarik perhatian pembeli melalui kenyamanan dan kemudahan pembelian yang disediakan. Bentuk distribusi modern ini tidak saja memberi kenyamanan dan kemudahan tapi membawa dunia
108
fantasy kepada pembelinya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kesetiaan konsumen pada produk melalui ingatan-ingatan yang diciptakan oleh bentukbentuk simulasi atau tematik dalam pendekatan distribusinya. Dalam pandangan postmodern, fenomena produksi-konsumsi seperti yang telah disampaikan diatas disebut hyper reality. Umberto Eco (1990) dalam bukunya Travels in Hyperreality mendefinisikan hyperreality sebagai “effaces the contradiction between the real and the imaginary” atau menghilangkan kontradiksi diantara yang nyata dan imajinasi. Eco melihat fenomena ini pada industri Disneyland dengan boneka-boneka atau imaji-imaji yang dibuatnya hidup seperti dalam realitas. Namun tujuan dibalik realitas yang disembunyikan adalah motif-motif ekonomi."The Main Street facades are presented to us as toy houses and invite us to enter them, but their interior is always a disguised supermarket, where you buy obsessively, believing that you are still playing” Konsep hiperrialitas ala Dysneyland ini ditemukan juga pada pola-pola produksi konsumsi fesyen. Gaya dan trend busana yang diciptakan adalah sebuah realitas ideal yang harus dikonsumsi. Pada level pemasaran yang dilakukan oleh toko, retail, dan butik disain interior tertentu, penggunaan manakin, serta berbagai fasilitas kenyamanan sepeti musik, air conditioner adalah upaya dalam rangka mempersuasi pembeli dan mengekplorasi hasrat. Dari sisi estetika fenomena hiperrialitas ini relevan dengan seni schizophrenia,
sebagai
sebuah
bentuk
estetika
postmodern.
Estetika
schizophrenia ditandai dengan terputusnya rantai penanda yang menyebabkan penalaran mengalami kesulitan untuk membedakan mana yang realitas dan mana
109
yang bukan atau hiperealitas. Realitas telah diambil oleh imaji, ilusi, halusinasi, rujukan dan sebagainya di mana citra dianggap sebagai realitas. Menurut Deleuze dan Guattari (dalam Piliang, 2006) estetika schizophrenia membebaskan hasrat, menghancurkan benteng hukum dan konvensi sosial demi energy pelepasan libido (ekonomi libido). 5.2.2 Komodifikasi Hasrat dalam Pagelaran Fashion Show Pagelaran fesyen show selalu digelar dengan tradisi kemewahan dengan berbagai elemen pendukung yang menyebabkan acara berlangsung seperti sebuah fantasi atau sebuah dramatisasi dari sebuah produk fesyen. Bagian utama dari acara adalah ketika perempuan-perempuan cantik yang betubuh tinggi langsing dan pria-pria yang gagah berjalan melengang lengok di atas panggung catwalk atau runway. Mereka menggunakan busana hasil karya desainer yang terlibat dalam proyek tersebut. Penampilan dari setiap pragawati dan pragawan adalah hal yang paling penting sehingga karakter busana yang dikenakan mampu diekspresikan dengan baik. Karena itu mereka harus didandani sedemikian rupa dengan pola riasan yang sesuai dengan busana yang dikenakan atau tema-tema fesyen yang sudah dirancang dari sejak awal. Saat mereka berjalan diatas panggung, ada musik latar yang mengkondisikan pagelaran dengan tema yang ada. Panggung dan model mendapatkan sinar pencahayaan yang diatur sedemikian rupa sehingga membawa penonton pada sebuah pengalaman visual yang dramatis. Terkadang sang pragawati ikut serta menari atau bergaya secara sensual sehingga memprovokasi perhatian audience.
110
Now that fashion shows have become a way of life, now that a lady is hard put to it to lunch, or sip a cocktail, in any smart hotel or store from New York to Dallas to San Francisco without having lissome young things in the most recent models, swaying down a runway six inches above her nose—it is difficult to visualize that dark age when fashion shows did not exist”. (Chase dan Chase, 1954)
Gambar 5.13 Dramatisasi Gaya di BFW 2008 Sumber: fashion magazine blogspot.com
Penggunaan kecantikan dan dan ketampanan dari peragawan dan peragawati sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Pijil (1998: 9) tentang eksploitasi dimensi kehidupan manusia untuk memperoleh keuntungan ekonomi : The process of commodification. This means that the lives of ever more people are determined by tendentially world-embracing market relations („the connection of the individual with all‟). Goods produced, services rendered, but also the raw material of nature and human beings as such, are thus subjected to an economic
111
discipline which defines and treats them as commodities Sejalan dengan itu Synnott (2003: 11-12) mengatakan bahwa tubuh dengan bagian-bagiannya telah dimuati oleh simbolisme kultural, publik dan privat, positif dan negatif, politik dan ekonomi, seksual dan moral, yang seringkali kontroversial. Semarak panggung fesyen dengan keseluruhan style busana-busana yang dipamerkan adalah upaya sistematik. Dalam pandangan Adorno (dalam Piliang 2006) upaya menarik-narik seni kedalam fesyen atau sistem komoditi adalah murni bermotif kapitalistik. Sebuah industri budaya terbentuk dengan sistem yang bersifat mekanistik instrumentasl yang dibangun berdasarkan semangat fasis yaitu semangat merekayasa konsumen dari konsumen. Lyotard (1994) berpendapat bahwa fesyen adalah bagian dari agenda kebudayaan kapitalis yang disebutnya sebagai libidinal ekonomi. Sentra dari ekonomi libido ini adalah eksploitasi tubuh, khususnya tubuh wanita baik sebagai komoditi maupun metakomoditi yaitu alat untuk
mengkomunikasikan
komoditi
lainnya
(model,
salesgirl,
hostes,
cheerleader, peep show dan lain lain). Tubuh melalui estetika gairah, sensualitas dan erotisme merupakan raison d‟ etre setiap produksi ekonomi. Dikonsumsinya manusia sebagai pemuas libido, dalam hal ini melalui mata. Sensualitas tubuh perempuan dan pria diatas panggung catwalk tampil dengan bentuk fragmenfragmen tubuh sebagai „penanda‟ (signifier) dengan berbagai posisi dan pose, serta dengan berbagai asumsi „makna‟. Fitur tubuh perempuan ditempatkan ke dalam „sistem tanda‟ dalam komunikasi ekonomi kapitalisme. Bibir, mata, pipi, rambut, paha, betis, pinggul, perut, buah dada, semuanya menjadi fragmen-
112
fragmen tanda di dalam media patriarkhi, yang digunakan untuk menyampaikan „makna‟. Eksplorasi sensualitas adalah upaya mengontrol dan mempengaruhi masyarakat lewat keterpesonaannya pada sensualitas. Nilai guna ilusi seksual terletak kepada kepuasan yang yang diberikan lewat voyeurism, yaitu kepuasan yang diperoleh melalui tubuh dan citra tubuh sehingga menimbulkan rangsangan dan kepuasan. Dengan menguasai bagian alam bawah sadar manusia ini, maka pesan-pesan kapitalisme dalam motif ekonomi dapat dicapai. Maka akhir dari sebuah pagelaran fesyen adalah respon penikmat fesyen dengan mengkonsumsi produk yang ditawarkan. Hal yang sama juga disampaikan oleh desainer Rico Ananta: “Kami mau hasil karya kami mendapatkan sebuah penghargaan dan kami yakin bahwa ajang fashion shows lah yang tepat. Selain itu pelanggan kami adalah orang-orang tertentu yang punya rasa dan eksklusivitas tersendiri pula, mereka harus diperlakukan secara khusus pula, makanya kami memilih tempat-tempat yang mewakili karakter mereka sehingga mereka nyaman dengan apa yang kami buat. Memang tidak mudah menyelenggarakan sebuah ajang fesyen, biayanya sangat mahal. Terkadang kami harus meminjam modal atau bahkan menjual beberapa asset kami. Tapi kami akan puas bila acara nya berjalan dengan lancar, mendapatkan apresiasi dan adanya permintaan pembelian dari karya kami” (Wawancara 15 April 2013) Fesyen kontemporer dengan semua sifatnya yang mengangungkan ketelanjangan, transparansi tak lebih sebagai suatu bentuk ekstasi keindahan, yaitu bentuk perpusaran estetika yang memuja penampakan profane dan hampa akan makna-makna moralitas, spiritual, dan ideologis. Penjelasan diatas memiliki persamaan sperti apa yang disampaikan oleh seorang informan Ni Made Nandini yang mengatakan:
113
“Saya cukup antusias melihat perkembangan mode-mode pakaian di Bali sekarang, semuanya menunjukkan bahwa Bali tidak kalah dengan daerahdaerah lain di Indonesia. Saya juga tertarik melihat berbagai desain busana yang menggunakan bahan dasar kain tradisional Bali. Ini menggangkat citra Bali juga kan. Kalau ada fesyen show, memang saya jarang menghadirinya, tapi saya sangat tertarik. Semuanya dikemas secara professional. Mulai dari tata panggungnya, peraga busananya cantik-cantik dan ganteng-ganteng, ada musik yang mendukung acara, pencahayaan yang fantastis, bahkan ada acara gala dinner nya, pokoknya kita pembeli atau penikmat fesyen dimanjakan”. (Wawancara 29 Juni 2013) Penuturan informan diatas mengungkapkan pula bahwa fesyen diciptakan untuk masyarakat yang mapan. McKendrick (dalam Chaney, 2009) menyebutkan metode-metode baru pameran (display), manipulasi fesyen melalui keusangan arti fisial (artificial obsolescence), pembangunan tempat-tempat dan agen-agen baru penjualan dan bagaimana memanipulasi persaingan sosial membuat manusia memburu kemewahan (luxuris) padahal mereka sebelumnya membeli kepantasan (decencies) dan telah membeli kebutuhan atau (necessities). Menurut Boudrillard karya-karya fesyen yang ditampilkan dengan begitu memikat hasrat, karena menekankan pada dekorasi, tekstur, permukaaan sensual. (lihat gambar 5.14) dan mengorbankan kedalaman isi. Karya-karya seperti ini tergolong karya camp. Karya camp adalah karya antogonisme maskulin feminim, tanpa identitas seks atau androgini. Camp dicirikan dengan penampilannya yang berlebihan, spesial dan glamour. Camp disebut juga satu bentuk dandyisme karena menyanjung tinggi kevulgaran. Dilihat dari vulgaritasnya, maka fesyen juga dikatagorikan sebagai seni kitsch karena yang ditonjolkan bukanlah nilai estetiknya melainkan nilai provokasinya (erotisme, sensualitas, dan seksualitas). Bahwa kamp dan kitsch dari sudut pandang estetika adalah karya-karya bad taste,
114
sampah artistik sejalan dengan apa yang disampaikan oleh filsup Kant “ art is normally aligned with meaningful intention and thus meaningful engagement; fashion is generally regarded as momentary and meaningless”, seni berhubungan dengan makna yang dalam dan tak lekang oleh waktu tetapi sebaliknya fesyen bersifat dangkal dan bersifat sementara.
Gambar 5.14 Explorasi Tubuh pada BFW 2008 Sumber: photogalery indiatimes.com Seiring dengan perkembangan teknologi media dan informasi, terutama internet, distribusi Songket Bali dan produk turunan fesyen
semakin ramai dengan
kehadiran perdagangan melalui media online. Dengan mesin pencaharian ada banyak website yang menjual Songket Bali dan produk fesyennya seperti
115
balikebaya.com, balirahayucolection.blogspot.com, kaintenunsongketbali.com, www.berniaga.com, www.busanabali.com dan seterusnya. Dalam forum facebook (lihat Gambar 5.14) misalnya ditemukan account seperti Unique Songket Bali, Sakura Songket Bali, Harmoni Songket Bali, Sekar Jepun Bali, Songket Bali, Kain Songket Bali, Songket Endek Aiswarya Bali, Songket Tenun Bali, Kayonan Songket Bali, Songket Bali Art, Bali Songket Jinengdalem dan Wijaya Kusuma Bali.
Gambar 5.15 Pemasaran Songket Melalui Media Online Facebook. Survey Nielsen (2011) menyebutkan bahwa menunjukkan bahwa 80 persen di antara pengguna internet akan membeli sesuatu secara online dalam 6 bulan mendatang.meningkatnya jumlah pengguna internet yang berbelanja dan bisnis online tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa konsumen semakin memiliki pengetahuan, lebih banyak akses untuk mendapatkan informasi dan menginginkan penawaran yang sesuai dengan kebutuhan. Produk yang paling banyak dibeli secara online adalah buku, yakni sebesar 52 persen diikuti oleh
116
produk pakaian, aksesoris, dan sepatu sebanyak 44 persen tiket pesawat terbang sebesar 35 persen, serta perlengkapan elektronik sebesar 32 persen.
5.3 Komodifikasi Konsumsi Masyarakat Bali kontemporer adalah masyarakat yang peduli terhadap penampilan, gaya hidup dan trend busana. Menurut desainer Bali Tjok Abi, perkembangan ini walau dinilai tergolong lambat, karena ada tradisi budaya yang masih kuat dijunjung oleh sebagian besar masyarakat, tapi ada kecenderungan penghargaan dan apresiasi yang membaik dari masyarakat khususnya dari kelas menengah keatas. Dalam wawancaranya dengan Bali Post, Tjok Abi mengatakan : “Bali tidak dapat disamakan dengan di Jakarta, Bandung, atau Surabaya yang perkembangan modenya cukup pesat. Saya melihat di Bali belum begitu banyak yang suka mengikuti trend. Sebelum melangkah, mereka masih menoleh ke kiri dan ke kanan dulu. Mereka masih bertanya-tanya, ada nggak orang lain yang memakai pakaian yang begitu. Mereka takut terlihat lain dan aneh. Padahal, ikut fashion bukan berarti harus tampil aneh. Ada desain khusus untuk perempuan Bali, kebaya modern misalnya…Saya tahu masih banyak wanita Bali yang sadar dan ingin tampil beda. Memang di Bali trend tidak jadi suatu hal yang ekstrem seperti kota besar lain di Indonesia. Namun, kebaya berpeluang lebih baik di sini. Pengalaman saya mendandani finalis Putri Indonesia wilayah Bali membuat saya yakin. Mereka bisa tampil sangat modern, tetapi tetap dengan karakter khas Bali. Mengenakan songket tetapi tetap terlihat modern.”. (Wawancara 8 April 2013) Tuturan Tjok Abi diatas tentang perkembangan fesyen Bali yang masih menjadi monopoli kalangan atas saja. Umumnya kelas menengah bawah masyarakat Bali masih mempertahankan konsep tradisional sebagai panduan berbusana sebagai kepatuhan terhadap agama dan adat-istiadat. Ramseyer dan Schaublin (1990) menghubungkannya dengan fungsi tekstil dalam berbagai jenis ritual yang dijalankan sehari-hari.
117
Songket Bali secara konvensional dikonsumsi dalam bentuk helaianhelaian yang menjadi wastra, kamben atau anteng. Nilai guna dari dari kain ini adalah sama dengan fungsi kain itu sendiri sebagai pembungkus tubuh. Produk fesyen termasuk songket adalah barang konsumsi yang mampu memenuhi kebutuhan dalam hal ini kebutuhan kultural atau simbolik. Memiliki songket Bali yang dahulunya pernah secara eksklusif milik kelas bangsawan seperti sebuah kepuasan bagi beberapa kelompok masyarakat yang memiliki uang. Featherstone (2007) memandang konsumsi sebagai sumber diferensiasi kelas dan status sosial. Dalam hal ini Featherstone membagi budaya konsumen menjadi tiga tipe: 1) konsumerisme merupakan tahap tertentu kapitalis, 2) konsumerisme dan konsumsi merupakan persoalan tentang relasi benda-benda dan cara melukiskan status. Di sini praktik konsumsi merupakan strategi penciptaan dan pembedaan status sosial, 3) kemunculan kreativitas konsumsi. Hal ini terkait dengan estetikasi konsumsi yang kemudian menciptakan mode, estetisasi bentuk dan gaya hidup. Sejalan dengan itu salah seorang narasumber, seorang karyawati sawasta, Ni Made Nandini mengatakan: “Kalau pakaian dari fesyen memang terkenal mahal ya, semua kita juga ingin memakainya. Apalagi kalau busana tersebut dirancang oleh desainer ternama. Pamor dan gengsi kita jadi naik. Memang tak diragukan lagi karya-karya mereka sangat baik dibanding dengan busana yang dijual ditoko-toko busana. Tapi sebenarnya menurut saya karena sifat dari fesyen kan eksklusif dibuat sangat terbatas. Saya kira itu yang membuat dia jadi mahal.” (Wawancara 29 Juni 2013) Pernyataan informan diatas merupakan keberhasilan propaganda kaum kapitalis fesyen membuat diferensiasi dalam masyarakat, terutama bagi konsumen fesyen. Citra-citra yang diproduksi sebagai „berkelas‟ dan punya cita rasa yang
118
tinggi mengangkat si pemakai pada status dan tingkat kepuasan yang tinggi. Kepuasan memakai produk-produk fesyen seringkali tidak dapat diukur secara cermat. Logika konsumsi simbol-simbol kultural sering kali keluar dari perhitungan ekonomi. Material songket Bali memang berasal dari bahan yang mahal, tetapi alasan-alasan kultural seperti busana „berkelas‟ mengangkat nilai ekonomi songket Bali melebihi apa yang seharusnya. Kapitalisme menanamkan keyakinan bahwa masyarakat sangat berpartisipasi aktif dalam menciptakan apa yang menjadi kebutuhannya (bukan apa yang dibutuhkan, tetapi apa yang dapat dikonsumsi). Masyarakat konsumsi tersebut telah menjadi objek tanda sebagai komoditi. Konsumsi produk-produk fesyen tidak terlepas dari pertumbuhan jumlah kelas menengah Bali yang menjadi motor utama penggerak ekonomi Bali selain investasi dibidang pariwisata. Secara nasional konsumsi fesyen bertumbuh sekitar 30 % pertahunnya atau sekitar Rp.160.47 trilyun. Fesyen tidak akan berada jauh dari konsep konsumerisme. Simmel (2004) menekankan tentang interaksi pertukaran dalam ekonomi. Menurutnya model baru dalam mengkonsumsi muncul berkat kemunculan uang dan masyarakat perkotaan. Pertumbuhan kelas sosial urban dan model baru konsumsi tersebut terkait dengan modifikasi barang konsumsi. Pertumbuhan imajinasi mengenai barang konsumsi muncul dari penilaian pada barang tersebut. Puncak imajinasi itu berperan pada munculnya masyarakat urban yang berorientasi pada pemasaran mode (fashion) (Chaney, 2006 : 55). Simmel menyimpulkan bahwa mengkonsumsi membentuk budaya
119
baru dan mengkonstruksi masyarakat, di mana terjadi pergeseran dari masyarakat konsumen (comsumer society) menjadi budaya konsumen (consumer culture). Pierre Bordieu yang menghubungkan konsumsi dengan simbol-simbol sosial. Menurutnya, barang konsumsi merupakan simbol status dan kelas sosial seseorang. Konsumsi dibentuk oleh ide, simbol, dan selera yang menciptakan pembedaan dalam masyarakat. Selera, preferensi, gaya hidup dan standar nilai ini ditentukan oleh kelas superior. Kelas ini menentukan hegemoni dalam pola-pola konsumsi.Baudrillard menyebut barang-barang sepele tersebut dengan istilah: gad get, kitsch, sebagai objek murahan, yaitu pernik sederhana (cindera mata) yang merupakan objek semu, meskipun bukan objek nyata, namun memberi prestige dan simbol status sosial yang memiliki makna tersendiri bagi kehidupan subjek yang bersangkutan. Hakekat konsumsi bukan hanya merupakan objek kepuasan dan kesenangan individu, melainkan seluruh arena kehidupan manusia sehari-hari (Baudrillard, 2009:18). Konsumsi terkait dengan hasrat atau keinginan individu, maupun kolektif terhadap suatu objek sebagaimana komentar George Ritzer berikut terhadap pandangan Jean Baudrillard tentang konsumsi.“Bagi Baudrillard konsumsi bukan sekedar nafsu untuk membeli berbagai komoditas, satu fungsi kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri, kekayaan atau konsumsi objek. Konsumsi berada dalam satu tatanan pemaknaan pada satu “panoply” objek; satu sistem, atau kode, tanda; “satu tatanan manipulasi tanda”; manipulasi objek sebagai tanda; satu sistem komunikasi (seperti bahasa); satu sistem pertukaran (seperti kekerabatan primitif); satu moralitas, yaitu satu
120
sistem pertukaran ideologis; produksi perbedaan; satu generalisasi proses fashion secara kombinatif”; menciptakan isolasi dan mengindividu; satu pengekang secara bawah sadar, baik dari sistem tanda dan dari sistem sosio-ekonomiko-politik; dan satu logika sosial. Selain produk fesyen, kini Songket Bali dikreasikan dalam bentuk-bentuk lain. Salah satu yang menonjol adalah sebagai pelengkap desain interior bangunan. Kain-kain Songket nan anggun dan bermakna dalam ini berubah fungsi secara radikal, dijadikan penutup meja, alas kaki (karpet), bed cover, jok, sofa dan aksen pada dinding bangunan (lihat Gambar 5.16, 5.17, dan 5.18).
Gambar 5.16 Songket Bali Sebagai Taplak Meja
Gambar 5.17 Songket Bali Sebagai Karpet
Gambar 5.18 Songket Bali Sebagai Unsur Dekorasi Dinding Sumber: Woven Indonesian Textiles For the Home