BAB VIII PENGARUH HUKUM ADAT DAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA TERHADAP PERILAKU SUAMI ISTRI DALAM PEMBENTUKAN KELUARGA
Uraian dalam bab ini akan menjawab pertanyaan, bagaimanakah pengaruh hukum adat dan program Keluarga Berencana terhadap perilaku
suami
istri dalam membentuk keluarga ?
Uraikan dimulai dengan menggambarkan
riwayat perkawinan
suami istri, kemudian dilanjutkan dengan riwayat kelahiran anak-anak dalam masing-masing generasi.
Hal ini dilakukan
atas dasar pemikiran bahwa proses pembentukan
keluarga
sudah dimulai sejak sepasang pria dan wanita melangsungkan perkawinan anak-anak anak,
dan
kemudian
mereka.
Dalam
akan dilihat
program
dilanjutkan
dengan melahirkan
uraian riwayat kelahiran anak-
bagaimana
K e l u a r g a Berencana
pengaruh
hukum
adat
s e r t a faktor-faktor
dan
lain,
terhadap perilaku suami istri dalam membentuk keluarga, terutama dalam kaitannya dengan pilihan jenis kelamin dan perencanaan jumlah anak. ingin dilihat hubungan
Lebih jauh,
dalam bab ini juga
antara pengaruh hukum adat d a n
program Keluarga Berencana terhadap perilaku suami istri dalam membentuk keluarga dengan pendidikan dan pekerjaan suami istri, yang telah diuraikan dalam bab VII. Uraian mengenai hal-ha1
tersebut,
akan dikaitkan
dengan keadaan jaman yang dialami oleh suami istri dalam
masing-masing generasi. memahami
perubahan
Cara
dalam
ini
digunakan untuk dapat
pembentukan
keluarga
sesuai
dengan perkembangan jaman. 8.1
R i w a y a t P e r k a w i n a n dan T e m p a t T i n g g a l s u a m i Istri setelah M e n i k a h
Menurut ajaran agama Hindu, melangsungkan perkawinan atau membentuk keluarga, merupakan tahapan grehasta a s r a m a yaitu tahapan kedua dari empat tahapanl) dalam perj alanan hidup manusia. Masyarakat Bali mengenal adanya berbagai istilah yang d i g u n a k a n untuk menyebut istilah kawin dan perkawinan. Istilah kawin, antara lain disebut dengan istilah nganten, mepeumahan;mesomahan, mekerabkambe.
mekurenan,
Beberapa
merabian,
m e k e r a b dan
i s t i l a h yang d i g u n a k a n u n t u k
menyebut perkawinan, antara lain
adalah p e w i w a h a n ,
pewa-
rangan, alakirabi (Astiti, 1981). Istilah m e k u r e n a n berasa 1 dari kata kuren itu,
yang berarti
keluarga.
Oleh karena
istilah m e k u r e n a n juga dapat diartikan membentuk
keluarga.
1) Empat tahapan dalam hidup manusia, dalam aqama Hindu disebut catur asrama, yaitu : 1) tahap menuntut llmu ( b r a h m a o a r i a s r a m a ) , 2) tahap hidup berumahtanqga (grehas~ t a a s r a m a ) , 3 ) tahap hidup secara bertahap men2auhkan dlrl dari kehidupan duniawi I w a n a p r a s t a a s r a m a ) dan tahap hidup membebaskan diri dari kehidupan duniawi dan mengabdi pada kehidupan rohani [bhiksuka). (Dapat dibaca pada Agastya Parwa).
Bagi seseorang,
peristiwa perkawinan merupakan suatu
peristiwa yang amat penting, karena dengan
berlangsungnya
peristiwa tersebut, seseorang akan berubah status dari bujang dan gadis menjadi suami &an istri. Demikian juga halnya dengan lahirnya anak dari perkawinan itu, akan mendapat status baru,
seseorang
yaitu sebagai orang tua.
Perkawinan pada masyarakat Bali, tidak hanya
merupa-
kan persoalan antara kedua mempelai, akan tetapi ha1
ini
juga menjadi urusan kerabat, leluhur dan masyarakat ban-
jar. Bahkan dewasa ini,
setelah keluarnya Undang-undang
Perkawinan, perkawinan juga dicampuri oleh pemerintah. Oleh karena itu, calon suami istri yang akan menempuh perkawinan
tidak mempunyai kebebasan
mutlak, misalnya
dalam menentukan wanita d a n pria pilihannya atau dalam menentukan tempat tinggal setelah mereka menikah. tersebut terbukti dalam kenyataannya bahwa
Hal
tidak setiap
orang menjalani peristiwa penting ini secara mulus, karena seringkali ada pertentangan antara keinginan orang tua dan calon mempelai, misalnya dalam ha1 memilih jodoh. Hal ini menyebabkan sering terjadinya perkawinan t a n p a direstui oleh orang t u a perempuan)
yang berlangsung
(umumnya orang tua pihak
sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan
antara besan, antara anak dan orang tua, antara mertua dan menantu.
Dengan demikian, masing-masing
suami i s t r i
mempunyai riwayat perkawinannya sendiri yang mungkin sama atupun berbeda satu dengan yang lain.
Ditinjau dari tahun perkawinan, usia kawin suami dan istri, ada tidaknya persetujuan orang tua atas perkawinan tersebut dan cara perkawinan dilangsungkan, dalam masingmasing generasi,
dapat digambaran sebagai berikut:
Generasi I Secara ringkas, tahun perkawinan, usia kawin pria dan wanita, ada tidaknya persetujuan orang tua dan cara perkawinan yang ditempuh dalam 10 kasus keluarga generasi I, digambarkan
pada tabel 12.
l a b e l 12. Tahun Kauin. Usia Kauin, Persetujuan Orang l u a dan Cara Perkauinan
: Kasus
NO.
Kasus
Perkauin an ke..
.
Perkawinan
Tahun kewin
Suami
Istri
dalm
Keluarga
Usia Kawin < tahun >
Persetujw orang tun
P r i a Uanita
Ada
Gemrasi I
Cara Perkawinan
Tidak
Meminang
Cari
Data pada tabel 12 menunjukkan bahwa pada generasi I kelihatan ada ciri
perkawinan poligami (ngemaduang).
Hal
tersebut dapat diketahui dari adanya lima kasus perkawinan poligami dalam 10 kasus keluarga. Adanya
perkawinan poli-
gami dalam generasi ini,
dapat dikaitkan dengan tahun
perkawinan dilangsungkan.
Dilihat dari tahun perkawinan
suami istri dalam 10 keluarga tersebut, tampak bahwa semua perkawinan itu berlangsung sebelum keluarnya Undang-Undang Perkawinan (Undang-undang No. 1 tahun 1974). Ini berarti bahwa perkawinan poligami dilakukan menurut adat, pada jaman itu tidak dibatasi ataupun dilarang.
yang Adanya
perkawinan poligami dalam generasi ini, memimbulkan dampak terbentuknya keluarga besarl) anak)
(keluarga dengan banyak
.
Berdasarkan tahun dilangsungkannya perkawinan pertama,
juga dapat diketahui bahwa perkawinan tersebut ber-
langsung
antara tahun 1942
-
1959, 6
keluarga diantaranya
melangsungkan perkawinan setelah tahun 1945, atau setelah kemerdekaan. Ditinjau dari usia kawin pertama pria dan wanita, tampak bahwa pria berusia antara 18 diantaranya
-
27 tahun dan 7 orang
kawin pada usia 19 tahun atau lebih.
perkawinan pertama tersebut,
wanita berusia antara 15
22 tahun dan 8 orang diantara mereka kawin
tahun atau lebih. pada
jaman itu,
Dalam
-
pada usia 16
Usia kawin tersebut termasuk tinggi,
yaitu
jaman Jepang ataupun awal jaman
kemerdekaan.
1) Di Bali, istilah keluarga besar digunakan untuk menyebut kerabat dalam ikatan tunggal sanggah. (Pengertian tunggal sanggah, dapat dilihat dalam uraian kelompok kekerabatan dalam bab V.
Berdasarkan data tersebut juga t e r l i h a t adanya perkawinan pada usia yang relatif muda, yaitu < 19 tahun yang dilakukan oleh pria
(pada keluarga ke-3, ke-8
d a n el6 tahun yang dilakukan o l e h w a n i t a ke-5 d a n ke-lo). d a a n j a m a n pada
dan ke-9)
( p a d a keluarga
Hal inipun dapat dikaitkan dengan keas a a t perkawinan
dalam mana perkawinan
t e r s e b u t berlangsung,
usia muda masih
umum dilakukan
terutama d i daerah pedesaan. Perkawinan s u a m i istri d a l a m g e n e r a s i i n i , umumnya dilangsungkan dengan persetujuan dengan cara meminang.
orang t u a d a n ditempuh
Perkawinan dengan cara ini, dipan-
dang ideal pada masyarakat Bali.
Adanya satu kasus kawin
lari dalam keluarga kesatu, disebabkan karena pihak orang t u a perempuan
t i d a k setuju
atas perkawinan
karena antara mempelai berbeda keturunan, s i istri adalah
tersebut,
dalam ha1 ini,
orang Cina.
Setelah menikah, para suami istri tinggal d i lingkung a n t e m p a t tinggal orang t u a suami. D i antara mereka ada yang
rumahtangganya bergabung d e n g a n r u m a h t a n g g a orang
tuanya
(ngerob) seperti halnya keluarga dalam kasus ke-7
d a n ke-9,
t e t a p i kebanyakan
r u m a h t a n g g a yang
terpisah
d a r i mereka
itu mempunyai
(meanian). S u a m i istri dalam
keluarga ke-10, ketika baru menikah tinggal menumpang pada salah seorang warga desa setempat, sampai akhirnya mereka dapat membeli tanah yang ditempatinya sekarang
Suami
istri
dalam keluarga ini tidak pernah tinggal di-
lingkungan tempat tinggal orang tua suami, karena orang tua suami tinggal di desa Nusa Panida si suami
dan sejak menikah
tidak pernah pulang.
Berdasarkan 10 kasus perkawinan pada keluarga generasi I, dapat disimpulkan : 1.
Perkawinan langsung
2.
pertama, dalam generasi ini umumnya ber-
pada
jaman
kemerdekaan.
Umumnya pria menikah pada usia 19 tahun atau lebih dan wanita menikah pada usia 16 tahun atau lebih.
3.
Perkawinan poligami masih umum dilakukan.
4.
Perkawinan umumnya mendapat persetujuan orang tua
Generasi I1 Perkawinan suami istri dalam 10 kasus generasi 11, dapat digambarkan secara ringkas pada tabel 13.
Tabel 13. rahun Keuin, U s i a Kauin, Pesetujuen Orang Tua den Cara Perkauinan r Kesus Perkaninan Suani t s t r i dalan Keluarga Cenerasi I t
No.
rahun
Usia kauin
kasus
keuin
p r i a uani t a
Persetujuan orang t u e
ade
tidak
Cora perkaninan Lari
Meminang
Data dalam tabel tersebut menggambarkan bahwa perkawinan suami istri dalam 10 kasus generasi ini berlangsung setelah jaman kemerdekaan
,
yaitu antara tahun
1980, diantaranya sembilan kasus perkawinan
1964
berlangsung
setelah tahun 1966, berarti pada jaman Orde Baru. demikian,
apabila dikaitkan
Undang NO. 1 tahun 1974, sejak tahun 1975, generasi ini
lebih
dengan
-
berlakunya
Namun Undang-
yang diberlakukan secara efektif
ternyata perkawinan suami istri dalam banyak
berlangsung
sebelum
itu.
Walaupun demikian, berkisar antara 19 tahun,
tampak bahwa
-
usia perkawinan
24 tahun dan wanita
antara 16
pria
-
21
yang berarti telah sesuai dengan batas usia kawin
yang ditentukan menurut undang-undang tersebut, tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
yaitu 19
Usia kawin
pria dan wanita dalam generasi ini relatif lebih tinggi dibandingkan usia perkawinan suami istri dalam generasi I. Hal ini diduga ada hubungannya dengan bekerjanya pria dan wanita di luar pertanian Seperti diketahui,
sejak mereka belum menikah.
ada kalanya pekerjaan tertentu di luar
pertanian memerlukan tenaga kerja dengan
syarat belum
menikah. Pernikahan suami istri dalam 10 kasus generasi ini umumnya berlangsung atas persetujuan orang tua dan dilakukan dengan cara meminang,
sesuai dengan perkawinan yang
ideal pada masyarakat Bali. Namun demikian, dua di antara 10 kasus perkawinan tersebut,
terpaksa dilakukan dengan
cara lari, karena ada kekhawatiran dari calon mempelai bahwa perkawinannya tidak akan disetujui oleh orang tua pihak perempuan, karena dalam kedua kasus ini antara calon suami istri add perbedaan kastaSetelah menikah, para suami istri umumnya tinggal di lingkungan tempat tinggal orang tua suami, sesuai adat setempat.
Suami istri dalam kasus ke-16,
hanya setahun
tinqqal di lingkunqan pekaranqan orang tua suami dan atas p r a k a r s a orang t u a suami mereka disarankan pindah k e tempat lain (ngarangin) karena di pekaranqan asal sudah penuh.
Dalam kasus ke-18,
sejak baru menikah si istri
dititipkan di tempat orang tua si istri sampai punya anak dua orang. istri. Si
Biaya hidupnyapun ditanggung oleh orang t u a suami sendiri tinggal di tempat majikannya, di
mana ia berburuh sebaqai sopir.
Keadaan semacam ini oleh
masyarakat Bali dianggap tidak pantas dan si istri sendiri merasa malu terus menumpang d i tempat orang tuanya karena ha1 tersebut dianqqap tidak sesuai dengan norma.
Berdasarkan
perkawinan
dalam
1 0 k a s u s keluarqa
generasi 11, dapat disimpulkan : 1.
Perkawinan dalam generasi ini kemerdekaan
dan
90 persen
di
berlangsung pada jaman antaranya berlanqsunq
pada jaman Orde Baru. 2.
Umumnya pria menikah pada usia 19 tahun atau lebih dan wanita pada usia 16 tahun atau lebih.
3.
P e r k a w i n a n umumnya dilangsungkan a t a s persetujuan orang tua
4.
Bentuk perkawinan monoqami
Generasi 111 Secara ringkas,
perkawinan
dalam 10 kasus keluarga
generasi 111 dapat digambarkan pada tabel 14. label 14.
T a h w Kauin, Usia Kawin. Persetujuan Orang Tua dan Cara Perkawinan : Kasus Perkawinan dalam 10 ketuarga Generasi 111
NO.
Tahu,
Usia Kauin
Kasus
kawin
p r i a uani t a
tidak
Ada
Menurut data pada tabel 14. kasus 1981
keluarga
-
1988,
generasi 111,
pada
Cara Perkauinan
Persetujuan Orang Tua
jaman
kawin pria dan wanita,
Meminang
Lari
perkawinan dalam
berlangsung
Orde Baru.
10
antara tahun
Dilihat dari usia
tampak bahwa pria menikah pada
usia antara 19
-
25 tahun,
usia 19 tahun atau lebih. 14
-
24 tahun, dan
berarti semuanya menikah
Usia kawin wanita adalah antara
sembilan
kasus
di
perkawinan dalam generasi 111, si istri 16 tahun
atau lebih.
pada
antara
10 kasus
menikah pada usia
Data tersebut, juga
menunjukkan
adanya satu kasus dari 10 kasus keluarga tersebut, mempelai wanita kawin pada usia muda
(14 tahun).
yang berarti
bahwa batas usia minimal untuk kawin bagi wanita menurut Undang-Undang Perkawinan,
disimpangi. Adanya kasus per-
kawinan dalam usia 14 tahun dalam keluarga ke-25,
ternya-
ta disebabkan karena mempelai wanita ingin menghindar dari pria lain yang menaksir dirinya. Umumnya perkawinan dalam generasi ini adalah monogami.
Hal ini dapat dikaitkan
dengan keadaan jaman yang
telah berubah pada saat mereka kawin, yaitu jaman Orde Baru di mana pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Perkawinan yang berasaskan perkawinan monogami dan antara lain bertujuan untuk mempersulit pelaksanaan
perkawinan
poligami. Perkawinan antara
suami istri dalam
kasus-kasus
keluarga generasi I11
pada umumnya berlangsung dengan
persetujuan orang tua,
kecuali dalam keluarga ke-21 dan
ke-22 di mana perkawinan itu berlangsung tanpa persetujuan orang tua pihak perempuan.
Dalam kasus ke-21, orang tua
mempelai perempuan tidak setuju atas perkawinan anaknya pada saat itu, karena ia masih menginginkan anak tersebut bekerja untuk membantu biaya adik-adiknya sekolah. Perkawinan suami istri dalam kasus keluarga ke-22,
tidak
mendapat persetujuan dari orang tua perempuan, karena anaknya kawin dengan laki-laki dari lain desa yang tidak ada hubungan kerabat. Setelah pernikahan,
para suami istri umumnya tinggal
di lingkungan pekarangan tempat tinggal orang tua suami, tetapi suami istri dalam kasus-29, ternyata tinggal di luar pekarangan orang tua suami, karena menempati rumah dinas.
Berdasarkan riwayat perkawinan dalam 10 kasus keluarga generasi I11 dapat disimpulkan : 1.
Perkawinan dalam generasi ini berlangsung pada jaman Orde Baru.
2.
Umumnya pria menikah pada usia 19 tahun atau lebih dan wanita pada usia 16 tahun atau lebih.
3.
Perkawinan
umumnya berlangsung dengan persetujuan
orang tua 4.
Bentuk perkawinan umumnya monogami.
Rekapitulasi perkawinan bakan pada Tabel 15.
ketiga generasi dapat digam-
Tabel 15. Rekapitulasi perkawinan Generasi I,II, 111. Hal-ha1 yang dibandingkan
Generasi I
Tahun
perkawinan
: 1942
I1
-
1959
1964
-
I11 1980
1981
-
1988
Jaman berlangsung : Jepang (4 kl) Kemerdekaan kemerdekaan nya perkawinan Orde Baru (6 kl). (9 kl) Lebih banyak sebelum W. No. 1/1974
Kemerdekaan Orde Baru (10 kl) Sernuanya sesudah W. No.1/1974.
Usia kawin pria
.
: 18-27 tahun
19 tahun (7 kl).
z 19 tahun (10 kl).
19-25tahun > 19 tahun (10 kl-)
tahun > 16 tahun (8 kl)
16-21 tahun > 16 tahun (10 kl)
z 16 tahun ( 9 kl)
8 keluarga
8 keluarga
1
Usia kawin wanita
: 15-22
.
Perkawinan dengan persetujuan orang : 9 tua
keluarga
19-27 tahun
.
14-24 tahun
Keterangan : kl = keluarga
Umumnya perkawinan pertama dalam keluarga
generasi
I, I1 dan 111 berlangsung setelah kemerdekaan, akan tetapi suami istri dalam beberapa keluarga generasi t e l a h menikah
pada
jaman penjajahan
Jepang,
I ada yang sedangkan
suami istri generasi I1 dan I11 semuanya menikah setelah kemerdekaan. nerasi
Walaupun demikian, antara suami istri ge-
I1 dan I11 ada perbedaannnya pula,
perkawinan
yaitu, bahwa
suami istri dalam generasi I1 ada yang ber-
l a n g s u n g pada
j a m a n Orde L a m a
dan kebanyakan
sebelum
berlakunya Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 tahun
1974),
sedangkan suami istri generasi 111 melang-
sungkan perkawinan pada jaman Orde Baru dan sesudah berlakunya Undang-Undang Perkawinan. Perbedaan jaman dilangsungkannya perkawinan tersebut, menimbulkan adanya kekhasan-kekhasan dalam ha1 usia
kawin
pria dan wanita (suami dan istri) generasi I. Walaupun secara umum
perkawinan suami dan istri generasi I, I1 dan
I11 berlangsung pada usia 19 tahun atau lebih (untuk pria) dan 16 tahun atau lebih (untuk wanita),
akan tetapi dalam
generasi I perkawinan di bawah usia 19 tahun (untuk pria) dan di bawah 16 tahun (untuk wanita) masih umum dilakukan. Perkawinan pada saat itu semata-mata berlangsung berdasakan hukum adat yang tidak mengenal batas minimal usia kawin
.
Perkawinan dalam ketiga generasi (1,II dan 111), umumnya dilakukan atas persetujuan (ijin) orang tua sesuai dengan perkawinan ideal menurut adat maupun Undang-Undang
8.2
Pengaruh Hukum Adat terhadap Perilaku suami Istri lam Pembentukan Keluarga
da-
Sikap suami istri yang lebih mementingkan anak lakilaki dalam keluarga,
dilandasi oleh berbagai macam per-
timbangan, antara lain, hukum adat.
Hukum adat Bali sebagai salah satu aspek kebudayaan B a l i , bersumber pada
a g a m a Hindu.
Kaidah-kaidah
yang
terkandung di dalamnya bercorak patrilineal, di mana fakilaki mempunyai peranan yang sangat penting. Dalam wujudnya yang lebih operasional tertuang dalam awig-awig
Awig-awig tersebut berlakunya
kapi dengan sanksi-sanksi.
terbatas pada satu desa adat ataupun banjar. kaidah dalam
awig-awig
a n t a r a anak d a n orang
dileng-
y a n g mengatur
Salah satu
tentang hubungan
tua
( t e r m a s u k leluhur), a d a l a h
tentang sentana (keturunan).
Awig-awig Desa Adat Baturiti
juga mengatur tentang ha1 tersebut=)Hukum adat ataupun awig-awig berlaku secara positif di masyarakat dan berfungsi sebagai alat Dalam fungsinya ini,
kontrol
sosial.
hukum adat mempengaruhi warga masya-
rakat supaya berperilaku
sesuai dengan apa yang telah
ditentukan atau mencegah masyarakat berperilaku menyimpang dari apa yang telah dirumuskan dalam awig-awig tersebut. Seperti halnya awig-awig Desa Adat Baturiti
(juga awig-
awig desa adat lainnya), yang dalam salah satu pasalnya mengatur secara rinci tentang sentana (keturunan) beserta h a k d a n kewa j ibannya.
H a l tersebut mendorong
anggota
masyarakat supaya berupaya memenuhi isi awig-awig tersebut
1) Dapat dibaca dalam lampiran 8 .
yang berarti pula mendorong seseorang untuk memperoleh keturunan. pewarisan
Oleh karena awig-awig sendiri menentukan bahwa hak dan kewajiban
keturunan laki-laki h a 1 tersebut,
tersebut dilanjutkan
oleh
(purusha), maka untuk dapat memenuhi
seseorang juga didorong untuk mempunyai
keturunan laki-laki dari perkawinannya sendiri
maupun
dengan cara mengangkat anak (mengadopsi) anak dari keluarga lain ataupun
dengan cara mengangkat anak perempuannya
sendiri sebagai sentana r a j e g yang secara hukum
berkedu-
dukan sebagai laki-laki. Bekerjanya hukum adat atau awig-awig
sebagai alat
kontrol sosial dalam suatu desa adat ataupun banjar, dapat dilihat dari pengaruhnya terhadap perilaku anggota masyarakat yang menganggap penting adanya anak laki-laki dalam keluarga untuk menggantikannya dalam memenuhi kewajiban adat adat.
(ayahan) dalam kehidupan kerabat, banjar dan d e s a
Suami istri yang tidak mempunyai anak laki-laki dan
tidak melakukan upaya untuk memperoleh
keturunan laki-
laki, pihak banjar akan menelusuri sanak keluarganya yang l e b i h jauh y a n g pantas u n t u k menggantikannya
apabila
saatnya telah tiba. Dalam ha1 seperti ini, banjar akan meneliti dan mempelajari
silsilah keluarga orang tersebut
sehingga dapat diketahui siapa yang berhak menggantikannya Adanya kekeliruan dalam menetapkan orang yang
akan meng-
gantikan ayahan tersebut, tidak jarang menimbulkan perma-
salahan,
bahkan
ada yang
sampai menjadi
perkara
di
.
pengadilan l) Pengaruh hukum adat dan awig-awig terhadap perilaku anggota masyarakat dalam membentuk
keluarga, dapat digam-
barkan berdasarkan pembentukan keluarga dalam keluarga
3 0 kasus
generasi I, I1 dan 111.
Generasi I Berdasarkan kenyataan yang terungkap dalam 10 kasus keluarga generasi sebagai berikut: dalam keluarga. anak
hidup
I,
d a p a t dilihat
1) minimal
ada seorang anak laki-laki
2 ) bentuk keluarga
4 orang
-
adanya ciri-ciri
besar dengan jumlah
11 orang.
Tentang berapa jumlah anak dalam masing-masing keluarga dan berapa dan perempuan,
perbandingan antara anak
serta urutan kelahiran anak dalam
laki-laki keluar-
ga tersebut, dapat digambarkan dalam tabel 16. 1) Kerta dan Rudji sama-sama warga Banjar Badung, Desa Melinggih, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar. Oleh banjar, Kerta pernah ditetapkan untuk menempati pekarangan dari seseorang dan melaksanakan ayahannya. Suatu ketika Ruji menggugat Kerta di Pengadilan, karena ia merasa lebih berhak menempati pekarangan itu dan melaksanakan ayahan orang yang camput tersebut. Dalam perkara ini Kerta kalah dan dieksekusi keluar dari pekarangan tersebut dan Ruji yang ditetapkan berhak atas pekarangan dan wajib melakukan ayahan.
Tabel 16. UMr Suarni I s t r i , Junlah anak L a k i - L a k i dan Perenpvan dan U r u t a n KeLahiran Anak datam 10 Kasus keluarga Generasi I
Umr
NO.
Kasus Suami I s t r i 1
2
70
65
57 57
.It.
Anak
L
p
4
3
1
4
Tatal
7 5
Urucan K e l a h i r m L = Laki-laki p = perenpuan 1. P,
*>
CY 1. P. P. P.
Keter-an
+> ")
Sentana nyetxrrin Diadopsi. r m n a t i
')
5 6
65 60
59
55
1
8
3
1
4 9
1.
P.
*)
P. P*'
4
Anak angkat
Sentana r a j e g
~ . L , ~ . ~ . ~ . ~ . l . P . L
'>
Sentana nyebur in
7
58
55
4
2
6
1,
8
68
55
4
4
8
(m) l.P.L.P.L,L,P.P (m)tm) Crn>(m)
9
65
60
5
4
9
(,P,P.I,P,L.P,I,L
Keterangan :
P,
1,
- 1 s C r i d a l a r n t e l u a r g a ke-2, pertauinan terakhir.
5,
1,
1, P
6,
(m)
=mati
(rn) =mati
7 dan 9, adalah i s t r i dalam
-Junlah anak c l a i m keluarga ke-5.7 dan 9. adalah j u n l a h anak dua orang i s t r i CLihat t a b e l 191.
Berdasarkan pembentukan keluarga dalam 10 keluarga generasi I, dapat diketahui bahwa
ada suami istri dalam
keluarga tertentu yang tidak secara tegas berkeinginan punya anak laki-laki
dan dalam
beberapa keluarga lainya
suami istri secara tegas rnengharapkan laki dalam perkawinannya.
punya anak laki-
Suami istri yang tidak secara tegas ingin punya anak laki-laki adalah suami istri dalam keluarga ke-1, ke-6 dan ke-8.
Suami istri dalam keluarga ke-1 bersikap pasrah,
k a r e n a menurut
pandangannya,
a t a u p u n perempuan
itu tidak dapat dipilih,
tersebut merupakan anugrah. ke-6,
lahirnya anak
laki-laki karena h a 1
Suami istri dalam keluarga
juga bersikap pasrah karena mereka memandang bahwa
kelahiran anak laki-laki ataupun perempuan itu di luar kekuasaannya.
Suami
istri dalam
k e l u a r g a ke-8,
tidak
pernah memikirkan untuk punya anak laki-laki atau perempuan karena mereka rnempunyai pandangan bahwa anak lakilaki
dan
anak perempuan,
sama-sama mempunyai ke- baikan
dan keburukan. Walaupun suami istri dalam ketiga keluarga ini bersikap tidak memilih kelahiran anak laki-laki ataupun perempuan,
akan t e t a p i dalam kenyataannya suami istri dalam
keluarga ke-1 menganggap bahwa mempunyai anak laki-laki dalam keluarga
itu penting d a n lahirnya anak laki-laki
dalam keluarganya
menimbulkan kepuasan tersendiri dalam
hidupnya, karena mereka merasakan tujuan hidupmya tercapai dan
terjamin keturunannya dapat diteruskan. Suami istri
dalam keluarga ke-6,
menyatakan sangat bersyukur,
dalam perkawinannya
telah lahir lebih banyak anak laki-
laki.
karena
Mereka juga mengakui bahwa anak laki-laki dalam
keluarga itu penting,
supaya ada pelanjut keturunan yang
akan mewarisi hak dan kewajibannya di dalam pergaulan hidup kerabat dan banjar. Demikian juga halnya suami istri dalam keluarga ke-8, secara eksplisit mereka bersikap pasrah akan tetapi secara inplisit mereka merasa bersyukur karena dalam perkawinannya telah lahir anak laki-laki. Menurut pandangannya, mempunyai anak laki-laki itu penting dalam keluarga, karena adanya fungsi anak laki-laki sebagai penerus keturunan dan menggantikan
orang tua
melak-
sanakan kewajiban di dalam kerabat dan masyarakat. Apabila diperhatikan lebih jauh, adanya sikap pasrah pada suami istri dalam ketiga keluarga
tersebut ada kait-
annya dengan jenis kelamin anak yang lahir lebih dahulu. Dalam ha1 ini, anak pertama dari keluarga ke-1, 6 dan 8 adalah laki-laki. Oleh karena itu, wajar apabila suami istri bersikap pasrah. Berbeda dengan perilaku suami istri dalam keluarga yang lainnya,
mereka secara eksplisit mengemukakan ingin
punya anak laki-laki, bahkan ada yang ingin punya anak laki-laki lebih dari satu orang.
Apabila diperhatikan,
suami istri yang menyatakan ingin punya anak laki-laki, ternyata anaknya yang pertama perempuan atau berturutturut anak-anaknya yang lahir adalah perempuan, seperti halnya dalam keluarga ke-2 dan ke-4. Suami istri dalam kedua keluarga tersebut berkali-kali ingin punya anak laki-laki karena anaknya yang lahir berturut-turut perem-
puan. Si suami dalam kasus kedua misalnya, ia ingin punya anak laki-laki sampai nelakukan upaya pergi ke pura-pura untuk nunasica (mohon kepada para Dewa) supaya dianugrahi anak laki-laki.
Si suami dalam keluarga ke-4 tidak merasa
puas selama belum punya anak laki-laki. Keluarga ke-5 dan ke-9,
walaupun sudah mempunyai
anak laki-laki, anak pertarna,
akan tetapi si suami ingin
mempunyai keturunan laki-laki lebih dari seorang. Si suami dalam keluarga ke-5
berusaha memenuhi keinginannya dengan
cara mengangkat anak perempuannya dari istri ketiga, menjadi sentana rajeg. Hal ini ia lakukan untuk menunjukkan sikap adil terhadap istri-istrinya supaya dalam masing-masing perkawinannya punya keturunan laki-laki sebagai penerus.
Si suami dalam keluarga ke-9, juga telah mem-
punyai anak laki-laki, yaitu anak pertama dari istri pertama. Namun demikian ia ingin punya anak laki-laki lagi dari istrinya yang kedua. Hal ini ia lakukan untuk bersikap adil kepada kedua istrinya supaya dalam masing-masing perkawinan add keturunan laki-laki sebagai penerus. Keinginannya punya anak laki-laki muncul berkali-kali, karena ia ingin mempunyai anak laki-laki lebih banyak. Bag: suami, mempunyai anak laki-laki yang banyak merupakan suatu kebanggaan, terutama di waktu mempunyai kerja adat orang-orang akan mengetahui
bahwa ia mempunyai kerabat
yang besar. Suami istri dalam keluarga ini ingin punya
anak laki-laki, karena menurut pandangannya anak laki-laki berfungsi sebagai penerus keturunan dan sebagai ahli waris yang akan meneruskan hak dan kewajiban orang tua di dalam kerabat dan banjar. Selain itu, anak laki-laki juga merupakan tempat menggantungkan diri di hari tua. Namun demikian, si suami tidak memungkiri arti pentingnya
anak
perempuan di dalam keluarga, karena ia sendiri merasakan bahwa anak perempuan memberi pelayanan yang lebih baik dan perhatian yang lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Si suami dalam keluarga ke-3, tidak berhasil memperoleh keturunan laki-laki
dalam perkawinannya dan hanya
mempunyai anak perempuan satu-satunya, namun telah kawin keluar.
Sebenarnya si suami ingin punya anak laki-laki,
akan tetapi setelah lahirnya anak pertama, si istri jatuh sakit yang akhirnya menyebabkan ia berhenti haid. Untuk memenuhi keinginannya dan kepentingannya punya anak lakilaki, suami istri dalam keluarga ini menempuh jalan, yaitu mengangkat anak (adopsi). Anak yang diangkat oleh mereka, adalah tiga orang kemenakan laki-laki, anak dari saudaranya yang sudah meninggal. Bagi si suami, keturunan lakilaki mutlak diperlukan untuk meneruskan keturunannya. Berdasarkan pembentukan keluarga dalam
10
kasus
keluarga generasi I, dapat disimpulkan bahwa mempunyai anak laki-laki dipandang penting dalam keluarga. Pentingnya anak laki-laki dalam keluarga dikaitkan dengan fungsi
dan tanggungjawab anak laki-laki di dalam kerabat dan masyarakat desa adat clan banjar sebagai penerus keturunan, dan dalam melaksanakan ayahan).
Oleh karena fungsi dan
tangqungjawab keturunan laki-laki tersebut diatur dalam hukum adat atau awig-awig, maka dapat dikatakan bahwa perilaku suami istri yang lebih mementingkan anak lakilaki dalam keluarga, adalah karena pengaruh hukum adat. Kebutuhan terhadap keturunan laki-laki dalam keluarga cenderung dipenuhi oleh suami istri dengan cara menambah anak sampai mempunyai anak laki-laki, dengan konsekuensi terbentuknya keluarga besar. Pentingnya mempunyai anak perempuan an
menurut pandang-
suami istri dalam beberapa keluarga generasi I
adalah
dalam kaitannya dengan fungsi anak perempuan untuk melaksanakan
pekerjaan rumahtangga.
Generasi II
Pada generasi k e 11, lebih tua,
istri berusia 35 tahun atau
tampak adanya ciri bahwa bentuk keluarga mulai
mengecil dibandingkan generasi I. Di antara keluarga tersebut; enam keluarga yang punya anak
dua atau t i g a
orang saja.
Tanda-tanda adanya keluarga besar masih keli-
hatan juga,
ha1 mana dapat
keluarga yang jumlah anaknya
dilihat dari adanya beberapa 4
-
5 orang. Beberapa keluar-
ga tampaknya hanya mempunyai anak perempuan, namun suami
istri tidak berusaha menambah anak lagi untuk memperoleh keturunan laki-laki, tetapi di lain pihak ada suami istri yang cenderung membentuk keluarga besar, karena masih mengharapkan anak laki-laki. Tentang jumlah anak dalam masing-masing keluarga, perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan serta urutan kelahiran anak dalam 10 kasus keluarga generasi ini, secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel 17. Tabel 17. U m r Suami I s t r i ,
Junlah Anak L a k i - l a k i dan Perenpuan dan
Urutan K e l a h i r a n Lnak
NO.
Ulnur
Suarni I s t r i
Junlah rnak Laki
Peremplan
dalam 10 Kasus Keluarga Generasi
Total
Urutan K e l a h i r a n
L = Laki p = perwan
I1
Keterangan
Pembentukan keluarga dalam 10 kasus keluarga generasi ini, khususnya yang berkaitan dengan perilaku suami istri terhadap pilihan
jenis kelamin anak, mengungkapkan adanya
beberapa keluarga yang hanya mempunyai anak perempuan, akan tetapi suami istri dalam keluarga menambah
anak
lagi untuk memperoleh
ini tidak ingin
anak laki-laki.
Hal
ini terdapat pada keluarga ke-11, ke-12 dan ke-20; adanya beberapa keluarga, di mana suami istri cenderung membentuk keluarga besar karena masih
ingin punya anak laki-laki;
adanya beberapa keluarga yang sudah
berhenti punya anak
dua atau tiga orang, karena sudah punya anak laki-laki. Suami istri dalam keluarga jenis pertama, cenderung t i d a k ingin menambah anak punya anak laki-laki, laki-laki
mereka
lagi,
walaupun mereka belum
karena untuk memperoleh keturunan
merencanakan
akan
mengangkat
seorang anak perempuannya menjadi sentana rajeg. akan mengangkat
salah Mereka
sentana r a j e g , karena mereka mengetahui
bahwa keturunan laki-laki itu penting untuk menerima dan meneruskan hak dan kewajiban
dalam kerabat dan masyara-
kat. Gambaran yang lebih rinci mengenai maupun
perilaku
suami
keluarga tersebut,
istri
pandangan, sikap
t e r h a d a p keturunan d a l a m
adalah sebagai berikut:
Keluarga ke-11 (istri usia 41 tahun) Suami istri dalam keluarga ini mempunyai anak empat orang, semuanya perempuan. Mereka merasa bersyukur dengan lahirnya anak-anak tersebut, karena perasaan was-was tidak punya keturunan yang pernah menghantui dirinya, menjadi hilang. Suami istri menyadari bahwa di Bali, keturunan laki-laki itu sangat penting, karena menurut mereka kepada anak laki-lakilah hak dan kewajiban di dalam kerabat dan masyarakat akan diteruskan. Untuk memenuhi ha1 ini, mereka telah merencanakan anak perempuannya yang tertua akan diangkat menjadi sentana rajeg. Apabila rencana ini gagal, maka anak yang kedua, ketiga dan keempat secara berturut-turut diharapkan dapat memenuhi harapan tersebut. Untuk memcapai harapannya itu, sejak dini suami istri telah mensosialisasikan hak dan kewaj iban sebagai seorang sentana rajeg. Selain itu, anak yang dicalonkan sebagai sentana diharapkan supaya memberi pengertian rajeg kepada calon suaminya tentang kedudukannya kelak di rumah si istri. Suami istri dalam keluarga ini cenderung memilih sentana rajeg daripada mengangkat anak (adopsi) sebagai upaya untuk memperoleh keturunan laki-laki, karena mereka lebih suka mewariskan harta kekayaannya kepada anaknya sendiri (sentana rajegb daripada anak orang lain (anak angkat)
.
Keluarga ke-12 (istri usia 38 tahun) Suami istri dalam keluarga ini mempunyai dua orang anak perempuan. Walaupun kedua anaknya perempuan, mereka tidak ingin menambah anak lagi untuk memperoleh anak laki-laki dari perkawinannya. Untuk memenuhi kebutuhan akan keturunan laki-laki yang akan menggantikan mereka melaksanakan kewajiban di lingkungan kerabat dan masyarakat adat, upaya yang ingin mereka lakukan adalah mengangkat salah seorang anak perempuanrajeg. Apabila ha1 ini nya menjadi sentana tldak mungkin terlaksana, maka suami istri tidak berkeberatan apabila hak dan kewajiban adat itu akan jatuh kepada kemenakannya laki-laki.
Berbeda
dengan suami
istri dalam kedua keluarga
tersebut di atas, suami istri dalam ke-19,
cenderung
keluarga ke-16 dan
menginginkan anak laki-laki dari per-
kawinannya dengan cara menambah anak, sehingga konsekuensinya bentuk keluarga menjadi besar.
Gambaran tentang
pandangan, sikap dan perilaku suami istri dalam keluarga tersebut adalah sebagai
berikut:
Keluarga ke-16 (istri usia 36 tahun).
Keluarga ini mempunyai anak lima orang, tiga Sejak si istri hamil perempuan, dua laki-laki. pertama, si suami telah mengharapkan lahirnya anak laki-laki, akan tetapi dua orang anakanaknya yang pertama secara berturut-turut lahir perempuan. Oleh karena itu, si suami belum merasa puas, tetapi si istri bersikap pasrah. Si suami masih tetap mengharapkan anak laki-laki dan harapannya ini terpenuhi dengan lahirnya anak kembar laki-laki sebagai anak ketiga dan keempat. Setelah mempunyai anak laki-laki, suami istri bersikap pasrah dan pada saat itu, mereka belum mengetahui adanya metoda pencegahan kehamilan dan anaknya seorang lagi, perempuan. Baru setelah itu, keluarga ini melaksanakan program Keluarga Berencana. Bagi si suami, mempunyai anak lakilaki itu adalah tuntutan adat, karena menurut adat anak laki-lakilah yang menjadi penerus keturunan, menggantikan orang tua dalam melaksankan kewajiban adat di dalam kerabat dan masyarakat . Keluarga ke-19 (istri usia 42 tahun) Keluarga ini mempunyai anak enam orang, tetapi tiga orang dari anak-anaknya sudah meninggal ketika masih bayi, karena sakit panas. Si suami dalam keluarga ini sejak semula menginginkan anak laki-laki, akan tetapi tiga orang anaknya berturut-turut meninggal. Harapan s i suami untuk mempunyai anak laki-laki masih tetap muncul pada saat si istri hamil keempat dan harapannya
berhasil kerena anak keempat lahir laki-laki. Setelah lahir anak keempat laki-laki, suami istri bersikap pasrah dan ternyata anak kelima lahir laki-laki. Dengan sudah adanya dua orang anak laki-laki si suami ingin berhenti punya anak, akan tetapi si istri ingin anak perempuan dan kebetulan anaknya yang lahir perempuan. Menurut si suami, ia terdorong mempunyai anak laki-laki karena anak laki-laki yang akan bertanggung jawab kepada orang tua dan akan mengantikanya kelak melaksanakan kewajiban dalam kerabat dan masyarakat serta bertanggung jawab atas sanggah/pamerajan (tempat pemujaan leluhur) Menurut si istri, ia ingin punya anak perempuan karena anak perempuan lebih telaten melayami siwaktu sakit dan dapat diajak berbagi perasaan dalam suka dan duka
.
.
Beberapa keluarga lainnya, seperti keluarga ke1 3 , 15, 17, 18, yang sudah mempunyai anak dua dan sudah ada laki-laki, cenderung tidak menanmbah anaknya lagi. Suami istri dalam beberapa keluarga ini secara eksplisit tidak menyatakan memilih anak laki-laki atau perempuan, akan tetapi secara inplisit mereka mengungkapkan perasaan puasnya dan rasa bersyukurnya karena dianugrahi putra laki-laki. Bagi mereka, mempu-nyai anak lakilaki itu penting sebagai penerus keturunan dan melanjutkan pelaksanaan kewajiban orang tua di dalam kerabat dan masyarakat. Di antara keluarga ini ada juga yang mengingikan anak perempuan dengan alasan supaya ada membantu pekerjaan rumahtangga dan karena sifat-sifat anak perempuan yang lebih telaten melayani orang tua dan lebih bersifat mengalah.
Berdasarkan pembentukan keluarga dalam
10 kasus
keluarga generasi 11, dapat disimpulkan bahwa keturunan laki-laki dianggap penting.
Pentingnya keturunan laki-
laki dalam keluarga, dikaitkan dengan fungsinya sebagai penerus keturunan, mempunyai tanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajiban terhadap leluhur dan
menggantikan
orang tua dalam melakukan kewajiban di masyarakat (banjar dan desa adat). Kebutuhan terhadap anak laki-laki dalam keluarga, berusaha dipenuhi oleh suami istri dengan cara memperoleh anak laki-laki dalam perkawinannya sendiri dan dengan cara mengangkat sentana rajeg. Oleh karena fungsi-fungsi tersebut di atur dalam hukum adat atau awig-awig, maka jelas bahwa perilaku suami istri yang berkaitan dengan pilihan jenis kelami anak laki-laki adalah karena pengaruh hukum adat. Anak perempuan di dalam keluarga juga di pandang penting, dikaitkan dengan fungsinya dalam melakukan pekerjaan rumahtangga.
Generasi I11 Keluarga dalam generasi 111 ini meinpunyai ciri bentuk keluarga kecil, dengan catatan istri kini berusia 24
-
28
tahun. Tentang berapa jumlah anak, bagaimana perbandingan anak laki-laki dan perempuan dan bagaimana urutan kelahiran anak-anak tersebut dalam 10 kasus keluarga, dapat digambarkan secara keseluruhan sebagai berikut:
T a b e l 18.
Jumlah Anak,
Perbandingan Anak L s k i - L a k i dan Per-an
K e l a h i r a n Anak d a l a m 10 Kasus K e l u a r g a Generasi
NO.
Umur
Jumlah Anak
Total
Urutan Kelahiran
dan U r u r a n
111
Keterangan
1 = laki-Laki Suami
lstri
I
P
p = pereman
Secara umum. para suami istri dalam generasi ini menganggap penting adanya keturunan laki-laki dalam keluarga. Hal tersebut diungkapkan baik secara ekplisit dalam arti suami istri menyatakan adanya keinginan punya a n a k laki-laki dan dalam beberapa keluarga lainnya, anggapan
ini terun9ka.p secara implisit, di mana suami
istri bersikap tidak memgharapkan
anak
laki-laki atau
perempuan, akan tetapi setelah dikaruniai anak laki-laki
mereka mengungkapkan perasaanya yang sangat puas dan bersyukur. Perasaan demikian itu timbul karena menurut mereka
anak laki-laki berfungsi sebagai penerus keturunan
dan akan menggantikan orang tua dalam melaksanakan kewajiban di dalam kerabat dan masyarakat dan juga untuk membantu bekerja setelah usianya tua. Di antara para suami istri ada perbedaan dalam perilaku yang berkaitan dengan pilihan jenis kelamin anak laki-laki dan perempuan.
Ada suami istri dalam
beberapa
keluarga menyatakan belum punya pilihan pada saat lahirnya anak pertama dan munculnya keinginan mempunyai anak lakilaki atau perempuan adalah setelah diketahuinya jenis kelamin anak yang sudah lahir lebih dahulu. Di pihak lain ada suami istri dalam beberapa keluarga, yang sudah mengharapkan punya anak laki-laki atau perempuan sejak hamil yang pertama. Tentang bagaimana perilaku suami istri takan keinginan terhadap
dalam -menya-
anak laki-laki/perempuan, dapat
dikemukakan beberapa kasus di bawah ini. Keluarga ke-24 Keluarga ini mempunyai dud orang anak laki-laki. istri h a m i l p e r t a m a , s u a m i Pada saat si menginginkan anak laki-laki, tetapi si istri menginginkan anak perempuan. Setelah ternyata anak pertama laki-laki, pada saat si istri hamil kedua si suami ingin anak perempuan dan si istri Si suami ingin anak laki-laki untuk pasrah. menggantikannya melaksanakan 'kewajiban di masyarakat dan keluarga serta untuk membantu bekerja
pada saat mereka sudah tua. S i suami ingin punya anak perempuan supaya ada menemani anak lakilakinya bermain dan karena anak perempuan suka mengalah. Si istri ingin punya anak perempuan untuk membantu pekerjaan rumahtangga. Pada saat lahirnya anak kedua si istri justru bersikap pasrah, karena dalam perkawinannya sudah ada anak laki-laki. Keluarga ke-23 Keluarga ini baru mempunyai anak seorang, lakilaki. Pada saat si istri hamil pertama ini, suami istri tidak memikirkan pilihan laki-laki atau perempuan. Mereka bersyukur karena anak yang lahir laki-laki dan merasa terjamin karena sudah ada pengganti yang akan meneruskan keturunan dan melaksanakan kewajibannya di dalam keluarga dan masyarkat. Oleh karena anak yang pertama sudah lahir laki-laki, untuk kelahiran anak yang kedua suami istri mengharapkan lahir anak perempuan supaya mempunyai anak dengan jenis kelamin berbeda. Keluarga ke-21 Keluarga ini sebenarnya telah mempunyai anak lima orang, akan tetapi dua orang anaknya yang pertama telah meninggal pada saat masih bayi. Sekarang anaknya tinggal tiga orang semuanya perempuan. Suami istri menyadari bahwa anak laki-laki itu penting dalam keluarga orang Bali, karena anak laki-laki akan meneruskan kewajiban orang tua dalam keluarga dan masyarakat. Oleh karena mereka tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak ingin menambah anak lagi, mereka bermaksud untuk mengangkat salah seorang anak perempuan itu sebagai sentana rajeg.
Berdasarkan pembentukan keluarga dalm lo kasus generasi 111, dapat disimpulkan bahwa generasi ini menganggap penting mempunyai
keturunan laki-laki dalam keluarga.
Pentingnya keturunan laki-laki dalam keluarga, dikaitkan dengan adanya sejumlah fungsi dan tanggungjawab keturunan laki-laki di dalam keluarga dan masyarakat, yaitu sebagai
penerus keturunan yang akan menggantikan orang tua dalam melakukan kewajiban di dalam kerabat dan masyarakat banjar dan d e s a adat. Oleh karena, kewajiban dan tanggung jawab anak laki-laki diatur dalam hukum adat atau awig-awig, maka dapat dikatakan bahwa sikap dan perilaku suami istri yang mementingkan keturunan laki-laki dalam keluarga adalah karena pengaruh hukum adat. Suami istri dalam generasi ini, cenderung ingin menempuh upaya mengangkat anak atau sentana rajeg, apabila mereka tidak berhasil memperoleh keturunan laki-laki. Pentingnya anak perempuan dalam keluarga, umumnya dikaitkan dengan
sifat-sifat khusus anak perempuan dan
fungsinya dalam melakukan pekerjaan rumahtangga.
Apabila dibandingkan antara pembentukan keluarga generasi I. I1 dan 111,
maka dapat disimpulkan bahwa
pengaruh hukum adat terhadap pandangan, sikap dan perilaku suami istri dalam membentuk keluarga, khususnya berkenaan dengan pilihan jenis kelamin anak, cukup jelas dan tidak ada bedanya antara generasi I, 11, dan 111. Ada kekhasan pengaruh hukum adat suami istri dalam generasi I, untuk memperoleh
terhadap
perilaku
yaitu tampak dalam upayanya
keturunan laki-laki dengan cara menambah
anak, sehingga cenderung membentuk keluarga besar.
Upaya
yang sama juga dilakukan oleh suami istri dalam beberapa keluarga generasi 11, tetapi suami istri generasi I1 yang tidak mempunyai anak laki-laki, cenderung ingin menempuh upaya pengangkatan anak ataupun sentana rajeg. Upaya ini juga cenderung dilakukan oleh suami istri generasi 111. 8.3
Pengaruh Program Keluarga Berencana terhadap Perilaku suami Istri dalam Pembentukan Keluarga Setelah 2 0 tahun lebih program KB diterapkan di desa
penelitian,
tampak dengan jelas telah terjadi perubahan
dalam ukuran keluarga, yaitu dari keluarga besar yang jumlah anaknya banyak ke keluarga kecil yang jumlah anaknya sedikit.
Perubahan ukuran keluarga dari generasi I
yang umumnya tidak melaksanakan program KB ke generasi I1 dan I11 yang umumnya telah mengikuti program KB, dapat dilihat dengan jelas pada tabel 19, 20 dan 21. Tentang
bagaimana program KB mempengaruhi pandangan,
sikap dan perilaku suami istri dalam membentuk keluarga, ada perbedaan dan persamaannya antar generasi dan antara keluarga satu dengan
yang
lainnya
dalam masing
-
masing
generasi.
Generasi I Suami istri dalam keluarga yang tergolong generasi I, baru mengenal program KB setelah mereka mengakhiri masa reproduksinya. Pada saat program ini diperkenalkan di desa penelitian,
tahun 1970-an,
para
suami istri sudah
terlanjur mempunyai anak banyak.
Namun demikian, di
antara 10 keluarga terdapat tiga keluarga di mana si istri pernah
menggunakan alat kontrasepsi, yaitu keluarga ke-5,
7 dan 9
Keluarga ke-5 Keluarga ini mempunyai anak empat orang, tiga orang dari istri kedua dan seorang dari istri ketiga. Pada saat melahirkan anak, istri ketiga telah besusia 45 tahun dan waktu itu program KE! baru diperkenalkan. Si istri langsung mengikuti program ini atas saran bidan. Alat kontrasepsi yang digunakan adalah IUD (spiral). Keluarga ke-7 Keluarga ini mempunyai lima orang anak, dua orang dari istri pertama, tiga orang dari istri kedua. Pada saat istri kedua hamil yang ketiga, sebenarnya ia ingin menggugurkan kandungannya dengan cara tradisional, yaitu dengan cara minum anggur atas saran ma j ikannya orang cina, namun usahanya ini gaga1 dan lahir anak yang ketiga dan kemudian keempat. Setelah punya anak empat orang, barulah keluarga ini mengetahui ada cara pencegahan kehamilan dengan memakai alat kontrasepsi. Si istri langsung memasang alat kontrasepsi IUD. Keluarga ke-9 Keluarga ini mempunyai anak sembilan orang, dua orang dari istri pertama, tujuh orang dari istri kedua. Setelah istri kedua punya anak enam orang, program KB baru diperkenalkan di desa penelitian dan pada saat melahirkan anak yang ketujuh si istri menjalani steril atas saran dokter kandungan yang kebetulan saudara sepupu si suami. Penggunaan alat kontrasepsi ketiga keluarga
tersebut, tidak
oleh
si istri
dalam
dimaksudkan untuk meren-
canakan keluarga kecil, karena jumlah anak mereka sudah telanjur banyak. Penggunaan alat kontrasepsi tersebut hanyalah untuk mencegah jangan sampai anaknya bertambah lagi secara alami.
Tentang jumlah anak,
umur istri dan alat kontrasepsi
yang pernah digunakan dalam keluarga generasi I, dapat digambarkan pada tabel Tabel
No. Kasus
19.
19.
Umur Istri, Jumlah Anak dan Alat Kontrasepsi yang Digunakan dalam Keluarga Generasi I
Umur Istri (tahun)
Alat Kontrasepsi yang digunakan
Jumlah Anak kandung mati
hidup
Total
IUD
tradisional IUD
Steril
Walaupun suami istri dalam keluarga dalam keluarga generasi I umumnya mempunyai
anak banyak karena tidak
mengikuti program KB, akan tetapi, setelah program terse-
but diperkenalkan di desa penelitian, para suami istri umumnya mempunyai pandangan dan sikap yang positif terhadap program
tersebut.
Pandangan dan sikap positifnya
itu, dapat diketahui dari pernyataannya yang menganggap cocok dan menyetujui gagasan keluarga kecil yang dianjurkan oleh pemerintah,
diterapkan pads-generasi berikutnya.
Selain itu,
juga ikut menyarankan kepada anak
mereka
cucunya supaya mengikuti program KB
dan mempunyai anak
sedikit. Hal ini merupakan suatu pertanda
ada perubahan nilai
tentang jumlah anak dalam keluarga dari nilai yang lama di mana keluarga besar (jumlah anak banyak) mempunyai nilai tinggi ke nilai yang baru, di mana keluarga kecil (jumlah anak sedikit) mempunyai nilai tinggi. Pandangan dan sikap suami istri generasi I terhadap program KB,
antara lain tercermin dalam kasus di bawah
ini. Keluarga ke-1 Keluarga ini mempunyai anak tujuh orang. Suami istri tidak pernah mempunyai perencanaan dalam pembentukan keluarga. Selama masa reproduksinya mereka tidak pernah mempunyai fikiran untuk mencegah kehamilan ataupun berhenti punya anak, baik dengan metoda tradisional, maupun dengan tek-nologi modern, karena sampai berakhir masa reproduksinya, program KB belum diperkenalkan di desa penelitian. Pandangan mereka pada sat itu tentang anak, adalah "banyak anak banyak rejeki" dan anak adalah karunia Tuhan. Oleh karena itu, patut diterima berapa adanya. Walaupun jumlah anaknya banyak, suami istri tidak pernah merasa-
kan susah memeliharanya, karena menurut mereka melahirkan dan memelihara keturunan tersebut sudah merupakan kewajiban. Setelah program KB diperkenalkan di desa ini, si suami yang juga seorang rohaniawan, berubah pandangan. Kepercayaan terhadap reinkarnasi (penjelmaan kembali) yang pernah menjadi penghambat pelaksanaan program Keluarga Berencana (karena dengan ikut program KB dianggap menutup kemungkinan bagi leluhur untuk menjelma kembali) , ia taf sirkan secara rasional. Dalam ha1 ini, ia beranggapan bahwa tidak semua leluhur akan menjelma kembali k e dunia, ibarat biji buah-buahan yang tidak semuanya kembali tumbuh menjadi tanaman. Dengan demikian membatasi kelahiran anak tidak dianggap bertentangan dengan ajaran tersebut. .Atas dasar penafsiran seperti itu, ia ikut menyarankan kepada anak cucu dan tetangganya supaya ikut program K B dan cukup mempunyai anak sedikit. Kepada anaknya yang baru menikah i nasehatkan "kiloan"'? dif ikirkan agar sebelum punya anak, terlebih dahulu baik-baik agar tidak menemui kesulitan dalam hidup berumahtangga.
Perubahan pandangan pada generasi tua seperti ini, mempunyai arti penting untuk membuka jalan bagi
generasi
yang lebih muda dalam menerima inovasi (dalam ha1 ini KB), karena pola berfikir masyarakat di desa penelitian tif masih tradisional,
rela-
dimana orang tua dan generasi tua
dianggap menjadi panutan.
Generasi 11
Para suami generasi
11,
istri
umumnya
dalam keluarga yang tergolong telah
mengikuti
program
KB.
1) Yang ia maksudkan dengan istilah "ki10an~~ sebenarnya adalah keadaan ekonomi. Dengan demikian, nasehat tersebut mengandung arti, bahwa sebelum punya anak, sebaiknya memikirkan keadaan ekonomi terlebih dahulu.
Dilihat dari jumlah anak dalam 10 keluarga tersebut, tampak bahwa besarnya keluarga telah berubah menjadi kecil apabila dibandingkan dengan
jumlah anak dalam keluarga
generasi I yang umumnya besar, yang belum mengikuti program KB. Hal ini berarti, bahwa program KB berpengaruh terhadap perilaku suami istri dalam membentuk keluarga, khususnya
dalam
mengecilkan ukuran keluarga.
Besarnya keluarga dan alat kontrasepsi yang digunakan oleh 10 keluarga generasi I1 dalam mengikuti program KB, dapat dilihat pada tabel 20. Tabel 2 0 .
No. Kasus
Umur Istri, Jumlah Anak dan Alat Kontrasepsi yang Digunakan Oleh Suami Istri Generasi I1
Umur Istri
Alat Kotrasepsi yang digunakan
Mati
(tahun) 41
pil, kondom, sistem kalender
38
IUD
35
IUD
35
IUD
35
IUD
36
IUD
35
IUD
35
IUD
19
42
IUD
20
35
IUD,
11
15
Jumlah Anak Kandung
Steril
Hidup
Total
-
4
4
-
2
2
3
3
6
-
3
3
Tentang bagaimana
program KB mempengaruhi perilaku
suami istri dalam membentuk keluarga, antara lain tercermin dalam beberapa kasus keluarga, di bawah ini. Keluarga ke-12 Suami istri dalam keluarga ini sama-sama menjadi guru SD. Mereka telah menikah tahun 1974 dan sejak lahirnya anak pertama telah ikut program KB. Mereka merencanakan punya anak dua saja, tanpa mempunyai pilihan jenis kelamin Sekarang suami istri tersebut sudah mempunyai putra dua orang, keduanya perempuan. Anak yang pertama sekarang sudah tamat Sekolah Menengah Atas dan yang kedua baru tarnat SD. Suami istri tidak bersikap memilih jenis kelamin, karena mereka mempunyai anggapan bahwa anak laki-laki belum tentu membawa kebaikan dan anak perempuan belum tentu membawa kejelekan bagi keluarga. Namun demikian, mereka juga menyadari pentingnya keturunan laki-laki dalam keluarga untuk menggantikan nanti dalam melaksanakan kewajiban di masyarakat dan kerabat. Untuk keperluan itu, mereka sudah mempunyai rencana mengangkat salah seorang anak Suami istri perempuannya sebagai sentana rajeg. mempunyai gagasan untuk menghibahkan harta kekayaannya kepada anak-anaknya semasih mereka hidup, karena sudah diketahuinya anak perempuan tidak akan dapat mewarisi harta kekayaannya kecuali sebagai sentana rajeg.
Beberapa ha1 yang dapat disoroti dari kasus-kasus tersebut, yaitu,
pertama,
adanya pengaruh program KB
terhadap perilaku suami istri dalam membentuk keluarga, tampak dalam ha1 adanya perilaku suami istri untuk memperpanjang jarak kelahiran
dan membentuk keluarga kecil
tanpa pilihan jenis kelamin anak; kedua,
tercermin pula
adanya pengaruh hukum adat terhadap perilaku suami istri,
dalam ha1 upaya mengangkat sentana rajeg untuk memenuhi kebutuhan terhadap anak laki-laki; ketiga, adanya gagasan untuk menghibahkan harta kekayaannya semasih hidup kepada anak-anaknya sebagai suatu upaya untuk menghindari adanya masalah warisan di hari kemudian. Keluarga ke-13 Suami istri dalam keluarga ini menikah tahun 1973. Si suami adalah seorang pemborong dan istrinya pedagang. Mereka sama-sama hanya tamatan SD. Keluarga ini telah dikaruniai dua orang anak laki-laki dan si istri telah mengikuti program KB sejak lahirnya anak pertama. Atas saran tetangganya, alat kontrasepsi yang digunakan adalah IUD. Dengan dikaruniai dua orang anak laki-laki tersebut, si suami sudah merasa cukup, tetapi si istri sebenarnya masih in n mempunyai anak perempuan, namun ia merasa ma135 hamil lagi karena usianya sudah 30 tahun. Akhir nya mereka memutuskan untuk punya anak dua saja.
Perilaku suami istri dalam kasus ke-13 mencerminkan adanya pengaruh program KB,
tampak dalam ha1 adanya usaha
suami istri membentuk keluarga kecil dan rasa malu si istri hamil dalam usia 30 tahun dapat dihubungkan dengan saran program KB mengenai batas usia ideal bagi wanita untuk melahirkan, yaitu 30 tahun. Dalam beberapa kasus lainnya, suami istripun menerima gagasan keluarga kecil tetapi dengan syarat supaya ada anak laki-laki. Oleh karena adanya keinginan punya anak laki
-
laki
itu,
suami
istri
dalam
beberapa keluarga
1) Pada generasi I , kasus kelima, seorang istri masih melahirkan anak dalam usia 45 tahun.
cenderung membentuk keluarga besar, karena belum merasa puas sebelum punya anak laki-laki, seperti
halnya kasus
keluarga ke-16 dan ke-19. Memperhatikan perilaku suami istri dalam 10 keluarga generasi 11, kelihatan
dengan jelas
bahwa program K B
mempengaruhi perilaku mereka untuk berupaya membatasi jumlah anak, dengan pengecualian dalam beberapa keluarga yang cenderung masih membentuk keluarga besar karena ingin punya anak laki-laki. Apabila dibandingkan antara keluarga ke-12 di mana suami istri sama-sama berpendidikan tingkat menenah atas dan pekerjaannya sebagai guru dengan keluarga ke-13 dimana suami istri sama-sama tamatan SD, pekerjaannya sebagai pemborong dan pedagang, tarnpak bahwa pengaruh program KB terhadap perilaku suami istri dalam upaya membentuk keluarga kecil, tidak tergantung dari tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Kenyataan semacam ini didukung pula oleh kasus-kasus lainnya.
Genarasi 111
Para suami istri dalam keluarga yang tergolong generasi 111, umumnya merencanakan punya anak dua sampai tiga orang saja. Di antara mereka ada yang baru punya anak satu dan masih mengharapkan kelahiran anak yang kedua dan salah satu keluarga yang sampai saat ini belum mempunyai anak.
Suami istri dalam 10 keluarga generasi 111, umumnya sudah mengikuti program KB dengan menggunakan alat kontrasepsi IUD, keculai keluarga ke-27, keluarga yang belum punya
anak. Gambaran tentang jumlah anak dan alat kontrasepsi yang digunakan dalam 10 keluarga
generasi I11 dapat
dilihat pada tabel 21. Tabel 21.
No.
Umur Istri, Jumlah Anak dan Alat Kontrasepsi yang Digunakan oleh Suami Istri Generasi I11
Umur Istri
Ka sus
Alat Kontrasepsi
Jumlah Anak Kandunq
yang Digunakan
Mati
Hidup
Total
IUD IUD IUD IUD IUD IUD
IUD IUD IUD
Adanya perencanaan suami istri untuk membentuk keluarga kecil dengan jumlah anak dua atau tiga, merupakan
petunjuk bahwa program KB berpengaruh terhadap perilaku suami istri. Berdasarkan pembentukan keluarga pada 10 kasus keluarga generasi 111,
di mana
suami istri mempu-
nyai latar belakang pendidikan dari SD sampai SMA dan jenis pekerjaan yang beraneka ragam, tampak bahwa pengaruh program KB terhadap perilaku suami istri untuk membentuk keluarga kecil, tidak tergantung pada tingkat pendidikan ataupun jenis pekerjaan.
Misalnya dari membanding perila-
ku suami istri dalam keluarga ke-29 dan 3 0 tampak bahwa suami istri dalam keluarga ke-29
yang sama-sama tamatan
Sekolah Pendidikan Guru (SPG dan PGA) guru, ingin
dan bekerja sebagai
membentuk keluarga kecil dengan jumlah anak
dua atau tiga orang, demikian juga suami istri dalam keluarga Re-30, di mana istri sebagai pedagang dan suami tidak bekerja, yang sama-sama tamatan SD, juga membentuk keluarga kecil dengan anak dud.
Jika pembentukan keluarga generasi I , I1 dan I11 dibandingkan dan dikaitkan dengan pengaruh program KB, maka dapat disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut: 1)
Ada kecenderungan besarnya keluarga pada generasi I1 dan
I11 telah
Ke luarga
menjadi kecil, karena ikut program
Berencana. Gagasan keluarga kecil juga
dapat diterima oleh suami istri generasi I yang jumlah anaknya banyak (keluarga besar).
Penerimaan gagasan
k e l u a r g a k e c i l pada g e n e r a s i I g a n dan s i k a p
mereka yang menganggap program K B cocok
d i t e r a p k a n pada g e n e r a s i kan p e t u njuk pandangan,
t e r c e r m i n dalam pandan-
bahwa
berikutnya.
program
s i k a p dan
KB
perilaku
i n i merupa-
Hal
berpemgaruh suami
terhadap
istri dalam
membentuk k e l u a r g a . 2)
T i d a k a d a p e t u n j u k bahwa p e n g a r u h program K B t e r h a d a p pandangan,
s i k a p d a n p e r i l a k u s u a m i i s t r i d a l a m mem-
bentuk k e l u a r g a k e c i l ,
t e r g a n t u n g p a d a t i n g k a t pen-
d i d i k a n d a n p e k e r j a a n suami i s t r i . Hal i n i tampak pada g e n e r a s i I , I1 maupun 111.
8.4
Pengaruh Faktor-Faktor Lain terhadap Perilaku Suami Istri dalam Pembentukan Keluarga S e l a i n adanya hukum a d a t d a n program KB yang berpen-
garuh terhadap perilaku luarga,
suami
berdasarkan kasus-kasus
lah f a k t o r l a i n y a n g j u g a
i s t r i d a l a m membentuk yang d i t e l i t i ,
jumlah
yaitu:
1) C i t a -
istri untuk meningkatkan p e n d i d i k a n anak,
Keadaan ekonomi k e l u a r g a , lahir
a d a sejum-
d i j a d i k a n bahan pertimbangan
o l e h suami i s t r i dalam membentuk k e l u a r g a , c i t a suami
lebih dahulu anak t i g a
dan
ke-
2)
3)
j e n i s k e l a m i n a n a k yang s u d a h
4)
kepqrcayaan
tentang
adanya
dengan u r u t a n k e l a h i r a n t e r t e n t u yang
membawa a k i b a t b u r u k
t e r h a d a p kehidupan k e l u a r g a .
8.4.1.
Aspirasi Suami Istri terhadap Pendidikan anak
Berdasarkan uraian
dalam
sub bab 7.1.
tahui bahwa cita-cita suami istri anak minimal sampai tingkat SMA,
dapat dike-
untuk menyekolahkan
mendorong suami istri,
khususnya generasi I1 dan I11 untuk membatasi jumlah anak dalam keluarga.
Untuk
menyekolahkan anak sampai tingkat
suami istri memerlukan waktu minimal 13 tahun (dari
SMA,
TK sampai tingkat SMA)
samping biaya hidup.
untuk memikirkan biaya sekolah di
Dalam ha1 ini, suami istri generasi
I dapat membandingkan bahwa biaya hidup dan biaya pendidikan anak di jaman sekarang jauh berbeda dibandingkan dahulu pada awal jaman kemerdekaan. Atas dasar pengalaman mereka, di antara suami istri tersebut
ada yang secara
tegas menyarankan kepada generasi sesudahnya agar mempunyai anak sedikit supaya dapat menyekolahkan amak ke tingkatan yang lebih tinggi. Suami Istri generasi I1 dan I11 yang umumnya sudah mempunyai perencanaan dalam pembentukan keluarga, tampak jelas bahwa cita-cita mereka untuk meningkatkan pendidikan anak dan menyekolahkan anak sampai setinggi-tingginya, mempengaruhi strategi reproduksi mereka
8.4.2
masing-masing.
Keadaan Ekonomi Keluarga
Memperhatikan alasan-alasan yang mendorong generasi I1 dan I11 berhenti punya anak setelah punya anak dua atau
tiga orang, tampak jelas bahwa keadaan ekonomi yang sudah. sedang dan ingin dicapai, juga menjadi bahan pertimbangan suami istri dalam
pembentukan keluarga. Sulitnya keadaan
ekonomi yang dialami oleh suami istri dalam beberapa keluarga telah mendorong mereka untuk berhenti atau membatasi jumlah anak dalam keluarga. Mereka membayangkan dengan keadaan ekonomi yang dialami itu, mereka tidak akan mampu menghidupi anak-anak yang lebih banyak. Di pihak lain, keadaan ekonomi yang diharapkan oleh suami istri juga mendorong mereka untuk berhenti punya anak sampai dua atau tiga orang, karena dengan mempunyai anak yang lebih banyak keadaan ekonomi yang dsharapkan tidak akan dapat d icapai .
8.4.3
Jenis Kelamin Anak yang Lahir Lebih Dahulu. Ditinjau dari keinginan suami istri untuk menambah
anak atau untuk berhenti melahirkan setelah punya anak dua atau tiga orang, atau timbulnya keinginan punya anak lakilaki atau perempuan dalam kelahiran berikutnya, ternyata erat kaitannya dengan jenis kelamin anak yang sudah lahir lebih dahulu. Dalam beberapa kasus generasi I, tampak bahwa suami istri ingin menambah anak karena anak-anaknya yang sudah lahir adalah perempuan. Dalam ha1 ini suami istri umumnya ingin menambah anak karena mengharapkan akan memperoleh anak laki-laki.
Keadaan seperti ini muncul
juga pada generasi I1 dan 111. Pada generasi I 1 dan 111, lahirnya anak pertama atau kedua berjenis kelamin lakilaki,
mendorong mereka untuk berhenti punya anak dua atau
tiga saja. 8.4-4
Kepercayaan tentang Adanya Urutan Kelahiran Tertentu yang Hembawa Akibat Buruk bagi Keluarga.
Dalam kehidupan tradisional masyarakat
Bali
ada
kepercayaan an+ara lain tentang adanya pengaruh baik buruk kelahiran seseorang, termasuk di dalamnya urutan kelahiran tertentu, seperti halnya kelahiran tiga orang anak yang berurutan sebagai berikut: perempuan, laki-laki, perempuan yang di Bali dikenal
dengan istilah pancoran apit gumleng
atau pancoran apit telaga dianggap membawa akibat buruk (panes atau panas) dan sebaliknya urutan kelahiran "laki-
laki, perempuan, laki-lakilt yang disebut telaga apit pancoran
atau gumleng
apit pancoran,
dianggap membawa
pengaruh baik (tis atau sejuk). Pengaruh urutan kelahiran tersebut terdapat dalam kasus keluarga ke-25, yaitu sebagai berikut: Suami istri dalam keluarga ini merencanakan punya anak tiga orang. Pada saat penelitian ini dilakukan, keluarga ini telah mempunyai anak tiga orang dengan urutan kelahiran "perempuan, laki-laki, Oleh orang tua suami, mempunyai anak perempuan." tiga orang dengan urutan seperti itu, dikatakan tidak baik dan ia menyarankan supaya suami istri menambah anak seorang lagi, untuk mencegah pengaruh buruk tersebut.
Berdasarkan uraian dalam seluruh bab ini dapat disimpulkan bahwa: 1) Hukum adat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
kuat terhadap perilaku suami istri dalam membentuk keluarga, berkaitan dengan pilihan jenis kelamin anak laki-laki. Tidak ada perbedaan yang begitu jelas mengenai pengaruh hukum adat terhadap perilaku suami istri dalam generasi I, I1 dan I11 berkaitan dengan pilihan anak laki-laki tersebut. 2) Tampak
adanya kekhasan perilaku
generasi I, I1 dan I11
suami istri dalam
berkaitan dengan upaya yang
telah atau ingin ditempuh suami istri keturunan laki-laki.
Dalam ha1 ini,
rasi I cenderung berupaya menambah
untuk memperoleh suami istri gene-
anak
dalam perka-
winannya sendiri sampai berhasil punya anak laki-laki, dengan konsekuensi terbentuknya keluarga besar.
Upaya
ini juga tercermin pada perilaku suami istri dalam beberapa keluarga generasi
11,
tetapi generasi I 1
cenderung menempuh upaya mengangkat anak (adopsi) ataupun sentana rajeg. Kecenderungan ini tampak juga pada generasi 111. 3) Tidak
ada petunjuk
pengaruh hukum
adat
dalam
ketiga generasi
terhadap
perilaku
suami
bahwa istri
yang lebih mementingkan anak laki-laki, tergantung pada
tingkat pendidikan
istri.
dan jenis pekerjaan suami
4) Program KB adalah faktor yang mempunyai pengaruh kuat
terhadap perilaku suami istri dalam membentuk keluarga, khususnya dalam merencanakan jumlah anak. Pengaruh program KB terhadap suami istri generasi I hanya terbatas pada pandangan dan dap keluarga kecil,
sikap mereka terha-
sedangkan pada generasi I1 dan I11
pengaruh tersebut langsung terhadap perilaku suami istri dalam membentuk keluarga kecil. 5) Ada petunjuk bahwa keadaan ekonomi dan aspirasi terha-
dap pendidikan anak juga berpenqaruh terhadap perilaku suami istri dalam membentuk keluarga kecil. 6) pengaruh hukum adat dan program KB terhadap perilaku
suami istri dalam membentuk keluarga, berlangsung dalam proses yang bersamaan.
Dalam proses tersebut pro-
gram KB mendorong suami istri membentuk keluarga kecil, hukum adat mendorong suami istri mempunyai anak lakilaki.
Proses tersebut memimbulkan konsekuensi bahwa
keluarga kecil diterima dengan syarat ada anak lakilaki. 7) Tidak ada petunjuk bahwa penerimaan gagasan dan nilai-
nilai baru tentang anak
(nilai keluarga kecil tanpa
membedakan anak laki-laki dan perempuan) menyebabkan terhapusnya
pelaksanaan kewajiban tradisional
dalam
hubungan orang tua dan anak, seperti yang diatur dalam hukum adat.