72
BAB VII PROFIL A AK JALA A DA PERUBAHA PERILAKU A AK JALA A ME URUT TIPOLOGI KELUARGA 7.1
Profil Anak binaan Anak binaan yang berada di Rumah Sahabat Anak Puspita berasal dari
berbagai daerah. Ada yang berasal dari Jawa, Banten, dan sebagian besar berasal dari daerah sekitar yang biasanya berstatus warga pendatang. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kompetensi diantara anak binaan. “Kita mengambil anak-anak dari berbagai daerah, ada dari Banten, Jawa, sekitar daerah Taman Mini, tidak hanya dari Empang saja untuk meningkatkan kompetensi anak binaan dan lebih memotivasi mereka. Saya selalu mengatakan kepada mereka bahwa anak-anak Empang yang jelas-jelas dekat dengan Puspita tidak boleh kalah dengan anak yang lainnya” (Srd).
Umur anak binaan di Rumah Sahabat anak Puspita adalah usia dibawah 18 tahun. Setelah anak binaan berusia 18 tahun, mereka akan dikembalikan kepada orang tua atau keluarganya. Bagi yang sudah tidak memiliki keluarga maka akan diberikan pilihan, untuk tetap tinggal di Puspita dan membantu pelayanan disana atau akan keluar, baik melanjutkan kuliah atau bekerja. Karakter anak jalan sebagian terbentuk akibat budaya yang secara tidak sadar telah diterapkan dalam hidup sehari-hari. Merujuk pada teori Sudrajat (1996) dalam Zulfadli (2004), sebagian besar anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita termasuk kedalam anak jalanan dengan karakteristik children on the street, yaitu anak-anak yang berada sesaat di jalanan. Terdapat dua kelompok anak jalanan tipe ini, yaitu anak di luar kota dan anak yang tinggal bersama dengan orang tuanya. Dalam kasus ini, anak binaan sebagian besar termasuk kedalam anak yang tinggal bersama orang tua. Anak yang tinggal dengan orang tuanya, sebagian besar anak-anak ini masih bersekolah. Namun ketika di luar sekolah, mereka ke jalan. Terdapat motivasi selain motivasi ekonomi pada beberapa, yaitu anak mempunyai motivasi belajar mencari uang, menolong orang dan dirinya sendiri.
73
Merujuk pada Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (2000), anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita dapat dibedakan menjadi tiga berdasarkan latar belakangnya, yaitu anak jalanan yang hidup di jalan, anak jalanan yang bekerja di jalan, serta anak yang rentan menjadi anak jalanan. Pada masa awal terbentuknya Rumah Sahabat Anak Puspita, anak binaan sebagian besar adalah anak jalanan yang hidup di jalan. Akan tetapi, pada periode terakhir ini, anak binaan sebagian besar tergolong kepada anak yang rentan menjadi anak jalanan. Tjahjorini (2004), menyatakan bahwa faktor keluarga berperan besar pada terbentuk dan munculnya perilaku anak jalanan, baik perilaku positif maupun negatif. Anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita sebagian besar masih memiliki keluarga/orang tua. Oleh sebab itu, latar belakang anak jalanan akan dilihat dari tipologi keluarga dan variasinya. Menurut Tjahjorini (2001) terdapat tiga tipe latar belakang keluarga anak jalanan, yaitu anak jalanan yang berasal dari keluarga miskin, anak jalanan yang berasal dari keluarga disharmonis, dan anak jalanan sebagai akibat dari adanya kekerasan dalam keluarga. Kasus-kasus anak binaan yang ada di Rumah Sahabat Anak Puspita adalah kasus anak jalanan yang berasal dari keluarga miskin, anak jalanan yang berasal dari keluarga disharmonis, anak jalanan dari keluarga miskin dan disharmonis, serta kasus anak jalanan yang berasal dari keluarga miskin, disharmonis, dan mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). 7.1.1
Kasus Anak Jalanan dengan Tipologi Latar Belakang Keluarga Miskin Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.14 Kemiskinan merupakan latar belakang hampir semua keluarga anak binaan Rumah Sahabat anak Puspita. Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari 5 subjek kasus, tiga diantaranya turun ke jalan karena alasan ekonomi.
14
http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan (Diakses tanggal 26 Juli 2010)
74
“Bapak saya sudah tidak ada, saya tinggal dengan ibu dan adik saya. Ibu saya juga hanya seorang ibu rumah tangga dan tidak mempunyai penghasilan, oleh sebab itu saya jadi joki three in one, tukang parkir, dan sekali-kali saya ngetrek (balapan liar). Balapan liar itu penghasilannya lumayan, motor dipinjemin, saya cuma bertugas memenangkan balapan.” (Hnd) “Bapak saya hanya pemulung, saya ngamen dan ngemis buat uang jajan, sebagian buat orang tua, dan sebagian lagi buat saya judi” (Imw) “Saya pernah ngamen beberapa waktu, uangnya saya kasih ke orang tua karena Bapak saya cuma pedagang sate keliling. Saya hanya ngambil paling besar Rp 5000,00 dari hasil ngamen untuk jajan” (Djn)
Tauran (2000), menyebutkan bahwa tidak semua keluarga miskin akan membuat anak-anak pergi ke jalan. Faktor dukungan keluarga (family support) memiliki peran yang penting sebagai faktor intermediate antara kemiskinan dengan perginya anak ke jalan. Faktor dukungan keluarga ini menjadi kasus terbanyak yang dialami oleh anak binaan pada awalnya. Keluarga mengeksploitasi anak atas dasar kepentingan ekonomi. Kasus lainnya yang melatarbelakangi anak turun ke jalan adalah tidak adanya faktor dukungan keluarga (family support) sebagai faktor intermediate. Menurut Tauran ada dua alasan yang menjadikan anak tetap turun ke jalan, yaitu: (1) Orang tua tidak menyadari hak kesejahteraan anak, (2) Orang tua menyadari hak kesejahteraan anak akan tetapi tidak mampu memenuhinya. Sebagian besar anak jalanan turun ke jalan dengan alasan kedua, yaitu ketidakmampuan keluarga untuk memenuhi kesejahteraan anak, walaupun keluarga menyadari akan hal tersebut. “Keluarga saya tidak pernah memaksa agar saya bekerja di jalan, akan tetapi sebagai anak laki-laki pertama saya merasa punya kewajiban untuk membantu orang tua, ya minimal saya bisa jajan tanpa harus minta ke orang tua” (Djn)
1.
Latar Belakang Keluarga Pada kasus pertama (Kasus 1) ini, kasus anak binaan yang pernah turun ke
jalan karena dilatarbelakangi oleh kemiskinan keluarga, tingkat pendidikan orang tua anak binaan relatif rendah, yaitu tamatan Sekolah Dasar. Keluarga anak binaan pada kasus pertama berstatus warga pendatang dari Indramayu. Penghasilan keluarga hanya berkisar antara Rp5.000,00 sampai Rp25.000,00 setiap hari. Keluarga kasus pertama ini tinggal bersama di daerah sekitar Empang dengan
75
kondisi rumah yang tidak berbeda jauh dengan rumah-rumah warga yang tinggal di sekitar Empang lainnya, yaitu rumah petakan yang didirikan di atas rawa-rawa sekitar sungai kecil yang kotor. Anak jalanan pergi ke jalan karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak stabil dan terancam kelangsungannya dan secara tidak langsung anak memposisikan diri sebagai tulang punggung keluarga. Akan tetapi ketika anak sudah beranjak dewasa, keberadaan anak dianggap memiliki fungsi investasi, dimana orang tua memiliki harapan bahwa nantinya anak dapat bekerja membantu ekonomi keluarga. “Jono kepengen banget bisa kuliah, dia itu kalau sama urusan belajar benar-benar semangat. Apalagi dia sangat suka dengan bahasa Inggris. Tapi gimana ya, hutang kami sangat besar, pelan-pelan saya nasehatin Jono jangan nerusin dulu sekolah biar kata dibayarin juga sama Puspita. Biar Jono membantu kami membayar hutang-hutang kami dulu. Akhirnya Jono juga ngerti. Kalau nanti dari hasil kerja dia punya penghasilan lebih ya saya akan izinkan dia nerusin kuliah, tapi kalau untuk sekarang saya suruh dia buat kerja dulu saja.” (ibu Djn)
2.
Karakteristik Subjek Kasus
1)
Karakteristik Individu Anak binaan dengan yang berasal dengan latar belakang berdasarkan
tipologi keluarga miskin ini lahir di Indramayu pada 18 tahun silam. Subjek merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan yang telah ditempuh saat ini adalah sudah menyelesaikan bangku Sekolah Menengah Kejuruan. Subjek berjenis kelamin laki-laki dan beragama Islam. Subjek masuk dan resmi menjadi anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita pada tahun 2004. Walaupun subjek sudah berusia 18 tahun (menurut aturan harus dikembalikan kepada keluarga) namun anak masih diizinkan berkunjung ke Puspita untuk mengajarkan apa yang dapat diajarkan kepada anak binaan yang baru masuk. Subjek pada kasus ini memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang cukup baik. Oleh sebab itu, subjek diarahkan untuk mengajar anak-anak binaan belajar Bahasa Inggris sementara menunggu panggilan untuk kerja. Subjek tidak meneruskan ke jenjang perkuliahan karena tidak ada dukungan keluarga untuk itu walaupun motivasi subjek untuk dapat melanjutkan pendidikan sangat tinggi.
76
2)
Karakteristik Perilaku Karakter perilaku anak jalanan pada kasus pertama ini sedikit berbeda dari
stigma perilaku anak jalanan yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai sosial di masyarakat. Hal ini ada kaitannya dengan pengaruh faktor keluarga. Perilaku anak jalanan secara nyata baik langsung maupun tidak langsung banyak dipengaruhi oleh latar belakang keluarga. Keluarga anak binaan pada kasus pertama berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi kurang mampu. Akan tetapi, orang tua anak binaan tetap memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup kepada anak binaan. Orang tua anak binaan masih menjadi kontrol yang sangat berpengaruh terhadap perilaku anak. Sikap anak binaan pada saat masih di jalan tidak menunjukkan perilaku sosial yang anormatif, seperti acuh tak acuh, dan sikap curiga yang berlebihan pada orang di luar kelompoknya, susah diatur, liar, reaktif, sensitif, bebas dan cenderung hanya bergaul atau berinteraksi dengan kelompoknya serta masa bodoh. Kenakalan anak binaan pada waktu itu masih sebatas nakal anak remaja dan masih dalam tahap yang wajar, seperti bersikap suka mengkritik yang sering diwujudkan dalam bentuk pembangkangan atau pembantahan terhadap orang tua, misalnya anak binaan sering merasa orang tua tidak bersikap adil terhadap anak binaan dan adiknya. “Dulu, saya ngga ngerasa bandel sih Kak, ya paling bandel-bandel gitu aja kaya anak-anak umumnya. Saya juga kerja di jalan cuma sebentar, jadi tidak terlalu kebawa lingkungan yang buruk” (Djn) “Kalau dibilang bandel ngga juga ya, soalnya saya selalu memperhatikan dia, dengan siapa dia berteman, apa kegiatan sehari-harinya, saya terus pantau dia. Saya juga selalu melarang dia nongkrong-nongkrong dengan anak-anak di lingkungan sini yang saya perhatikan kerjaannya ngerokok terus. Pokonya saya orangnya sangat cerewet untuk hal-hal seperti itu, ya daripada anak kita terjerumus. (Ibu Djn) Dia orangnya sangat mengerti keadaan keluarga, misalnya temantemannya sudah memakai baju model terbaru, dia paling hanya bilang,”mak, model celana sekarang kaya gini” tapi dia ngga pernah minta karena dia tau kondisi keuangan keluarga. Paling bandelnya ya dia punya sifat iri dengan adiknya dan tidak sabaran tapi itu masih wajar kalau menurut saya” (ibu Djn)
77
7.1.2
Kasus Anak Jalanan dengan Tipologi Latar Belakang Keluarga Disharmonis Disharmoni keluarga terjadi karena konflik orang tua, perceraian atau
karena meninggalnya salah satu atau kedua orang tua. Bahkan kondisi disharmoni yang tidak disikapi secara serius menyebabkan anak tidak betah tinggal di rumah dan mencari kompensasi diluar rumah, salah satunya pergi ke jalan (Tauran, 2000). 1.
Latar Belakang Keluarga Kasus di atas dialami oleh salah satu anak binaan di Rumah Sahabat Anak
Puspita. Subjek kasus (Kasus 2) sudah tidak memiliki orang tua kandung. Sewaktu masih kecil, subjek diadopsi oleh seorang keluarga berkecukupan di Ambon. Ayah angkatnya berprofesi sebagai seorang perwira polisi. Subjek kasus masih memiliki saudara kandung, akan tetapi sudah tercerai-berai karena diadopsi oleh keluarga yang berbeda. Selama berada di keluarga asuhnya, subjek mendapat kasih sayang, perhatian, dan perlakuan layaknya anak kandung sendiri. Ketika dia duduk di bangku SD, ibu angkatnya meninggal. Ketika akan masuk SMA, ayah angkatnya pun meninggal. Setelah kedua orang tua angkatnya meninggal, keluarga yang lain dari orang tua angkatnya (anak-anak dari orang tua angkat) tidak menginginkan subjek tetap berada di keluarga tersebut. Pada akhirnya, subjek menjadi korban trafficking (penculikan anak) dan hampir berpikir akan turun ke jalan setelah berhasil kabur. “saya hampir menjadi anak jalanan waktu itu, ketika saya tidak tau harus kemana, untungnya pihak gereja menyelamatkan saya” (Wly) “Kalau willy, dulu dia adalah korban trafficking, dia orang Ambon, ayah angkatnya adalah seorang perwira polisi, setelah ayahnya meninggal, ada seseorang yang mengaku teman ayahnya yang mengajak willy ke Jakarta untuk disekolahkan. Willy ngerasa ada yang aneh pas dia naik kapal dan dimasukan ke dalam koper. Ternyata dia dibawa ke penampungan anakanak. Willy berhasil kabur” (Um)
78
2.
Karakteristik Subjek Kasus
1)
Karakteristik Individu Subjek kasus dengan latar belakang keluarga disharmonis ini resmi
menjadi anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita pada tahun 2006. Subjek lahir 19 tahun yang lalu di Ambon, dimana tempatnya berasal. Subjek telah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas dan sedang menempuh pendidikan di bangku perkuliahan salah satu universitas swasta di Jakarta. Subjek berjenis kelamin laki-laki dan beragama Protestan. Saat ini, subjek kasus sudah tidak tinggal di Rumah Sahabat Anak Puspita tetapi tetap mengunjungi Puspita setiap seminggu sekali. Untuk mengembangkan kemandiriannya, subjek juga bekerja di salah satu perusahaan minuman ringan. 2)
Karakteristik Perilaku Karakteristik perilaku anak binaan pada masa awal masuk ke Rumah
Sahabat Anak Puspita cenderung mendekati perilaku anormatif, yaitu liar, sulit percaya orang dengan lain, keras, dan sering berkelahi baik dengan sesama anak binaan maupun dengan anak di sekitar lingkungan Rumah Sahabat Anak Puspita, terutama anak-anak Empang. Hal tersebut dikarenakan subjek dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan pengalaman individu. Keluarga subjek kasus yang memiliki latar belakang pendidikan militer menjadikan anak mendapat didikan yang keras. Hal tersebut membentuk pribadi yang keras pula pada diri anak binaan. Pengalaman pribadi yang dialami sejak masih kecil, mulai dari kehilangan orang tua kandung, perasaan terusir dari keluarga sendiri, korban trafficking yang mengakibatkan subjek terlunta-lunta di jalan menyebabkan dia berperilaku liar (sering kabur-kaburan), sulit mempercayai orang lain, dan tidak dapat mengendalikan emosi sampai akhirnya sering berkelahi hanya karena masalah yang tidak terlalu besar. “Saya dulu sering kabur-kaburan, ngga enak dikit, langsung bawa koper dan kabur. Udah gitu, pas awal masuk ke Puspita saya takut sama pak Aang, ya sudah saya kabur lagi ke gereja, tapi dianterin lagi sama pendeta saya. Saya juga dulu sering berkelahi, ya mungkin karena masih kecil. Diejek dikit langsung berantem, apalagi sama anak-anak Empang” (Wly)
79
“Ya mungkin setelah mengalami keadaan yang seperti itu, harus melarikan, dikejar-kejar sama orangnya, dia akhirnya kenapa ngga bandel sekalian saja, jadilah dia memiliki sifat yang keras pada saat pertama kali masuk kesini, tapi sekarang dia sudah banyak berubah. Apalagi sejak dia menemukan kakak kandungnya.” (Um)
7.1.3
Kasus Anak Jalanan dengan Tipologi Latar Belakang Keluarga Miskin dan Disharmonis Tauran (2000), menyebutkan bahwa pada tingkat tertentu, disharmoni
keluarga yang tidak ditangani secara baik akan menciptakan kondisi rumah yang tidak kondusif bagi pertumbuhan anak dan pada akhirnya kebutuhan anak terhadap kesejahteraannya, seperti perhatian, kasih sayang, pendidikan dan lainnya menjadi terabaikan. Hasil penelitian di lapang menunjukan bahwa, pada kasus anak binaan kemiskinan merupakan penyebab adanya disharmonisasi keluarga. Hal tersebut merupakan variasi latar belakang penyebab anak turun ke jalan. 1.
Latar Belakang Keluarga Kasus anak jalanan dari keluarga miskin & disharmonis dialami oleh dua
subjek kasus. Kasus pertama (Kasus 3) adalah kasus seorang subjek yang bercerita bahwa dia hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Oleh sebab itu, untuk dapat bersekolah dia harus ikut membantu keuangan keluarga dengan menjadi ojek “three in one”, Joki, “ngetrack”, dan sebagai tukang parkir. Hal tersebutlah yang diakui subjek yang melatarbelakangi mengapa subjek harus bekerja di jalan. Pengakuan subjek mengenai latar belakangnya sedikit berbeda dengan latar belakang yang diungkapkan salah satu pengurus Rumah Sahabat Anak Puspita. Menurut beliau, subjek dari sejak bayi sudah ditinggalkan orang tuanya di sebuah klinik bersalin karena tidak mampu membayar biaya persalinan. Pada akhirnya, Bidan yang membantu prosesi kelahirannya mengadopsi subjek menjadi anaknya. Setelah Bidan tersebut pensiun dan tidak memiliki penghasilan lagi, pada saat itulah subjek turun ke jalan. Setelah ibu angkat subjek meninggal, subjek dibawa saudaranya untuk dititipkan di Rumah Sahabat Anak Puspita. Setelah beberapa tahun di Puspita, orang tua kandung subjek mengetahui keberadaan subjek dan berniat membawa kembali subjek ke rumah. Ayah subjek adalah seorang sopir bemo dengan banyak istri.
80
Akan tetapi subjek meminta waktu untuk mempertimbangkan untuk kembali ke orang tuanya atau tidak. Sampai saat ini, subjek belum bersikap jujur tentang latar belakang keluarganya, dan masih meyakinkan bahwa orang tuanya sudah meninggal. “Maaf Kak, orang tua saya sudah meninggal. Dulu saya kerja di jalan untuk membantu biaya sekolah karena ibu saya tidak punya penghasilan lagi, dan saya bangga bisa sedikit membantu ibu saya meringankan biaya sekolah dari hasil keringat sendiri” (Hnd)
Subjek kasus kedua (Kasus 4) adalah anak binaan yang merupakan anak piatu anak pertama dari tiga bersaudara. Ibunya meninggal ketika dia duduk di kelas 2 SD. Ayahnya bekerja sebagai pemulung. Sebelum subjek ke Puspita, subjek adalah pengamen yang sesekali juga mengemis. Subjek lahir, tumbuh dan besar di daerah Empang. Hasil mengamen biasanya sekitar Rp35.000,00 sampai Rp50.000,00 yang diberikan kepada orang tua dan biasanya orang tuanya menggunakan uang tersebut untuk berjudi. Satu hal yang memang sudah membudaya di tempat tersebut adalah budaya berjudi yang ditularkan dari generasi ke generasi. Hal tersebut dialami oleh subjek sebelum ke Puspita, subjek dan teman-teman sebayanya yang masih kecil sudah mulai berjudi, sampai pada akhirnya dengan diiming-imingi modal untuk berjudi tanpa harus mengamen menjadi terlihat sangat menarik bagi subjek hingga mengikuti saran salah satu satu pendamping untuk tinggal di Puspita. “Saya ngamen buat berjudi, awalnya ikut-ikutan aja, lama-lama judi jadi kebiasaan, dan itu sudah dilakukan sejak dulu.” (Imw)
Ketidakharmonisan keluarga subjek bukan saja karena ibunya telah wafat, terlebih dari itu, bapak yang seharusnya menjadi kepala keluarga sedikit mengalami gangguan mental. Hal tersebut seperti yang diungkapkan subjek ketika sedang bercerita. “Bapak ngga gila Kak, tapi ngga tahu kenapa sikap Bapak seperti itu. Dia cuek, tidak pernah sekali pun memperhatikan anak-anaknya. Dia tidak punya rasa malu, sering ketawa ngakak dan lama padahal menurut kita ngga lucu. Mungkin disebabkan karena dia tidak berpendidikan kali ya Kak.” (Imw)
81
2.
Karakteristik Subjek Kasus
1)
Karakteristik Individu Kasus 3, dengan latar belakang keluarga disharmonis dan keluarga kurang
mampu ini berjenis kelamin laki-laki. Usia subjek kasus saat ini adalah 18 tahun. Subjek sudah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan. Subjek beragama Islam dan sudah tiga tahun menjadi anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita. Pada saat ini subjek masih berada di Rumah Sahabat Anak dan membatu beberapa program pemberdayaan disana, misalnya dengan mengajar anak-anak mengaji pada sore hari, mengajar olah vokal, dan lain sebagainya. Subjek kasus kedua lahir 20 tahun yang lalu ketika keluarganya sudah menjadi warga pendatang di Jakarta. Pendidikan terakhir yang telah di tempuh adalah Sekolah Menengah Kejuruan. Subjek beragama Islam dan tinggal di Jakarta bersama ayah dan tiga saudaranya. Sejak 10 tahun yang lalu subjek tinggal di Rumah Sahabat Anak Puspita. Subjek memiliki berbagai keahlian terutama dalam memainkan alat musik. Selain itu memiliki motivasi yang tinggi utuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi akan tetapi tidak terealisasi karena tidak ada dukungan keluarga. 2)
Karakteristik Perilaku Tjahjorini (2004) menuturkan bahwa, anak jalanan memiliki stigma yang
terkait dengan perilakunya yang dinilai menyimpang dari norma umum yang ada di masyarakat sekitarnya. Stigma yang diberikan masyarakat kepada anak jalanan disebabkan dalam kehidupannya di jalanan, baik secara pribadi maupun kelompok mereka berupaya mengembangkan sub-kultur dengan norma dan nilai yang berbeda dari yang berlaku secara umum. Hal itu terbukti dengan beberapa sikap yang diakui oleh Kasus 3 yang pernah dialaminya sewaktu subjek masih di jalan. Sikap tersebut adalah ketidaksukaannya dengan aturan, tidak sabar, dan pemarah. Sedangkan tingkah laku subjek tercermin dari sikapnya, yaitu suka melanggar aturan, sering berkelahi, sering pulang malam, perokok, berjudi dan terkadang minum minuman keras. Subjek mengaku karena lingkungannya yang kurang baik, kehidupan dia dulu sangat keras. Subjek sering terlibat perkelahian antar geng, minum minuman keras, perokok, dan sering keluar malam.
82
“Dulu, saya pemarah, sering banget berkelahi padahal masalahnya cuma sepele aja.” (Hnd) “Kalau ngetrek biasanya saya minum, biar nambah berani. Kalau ngerokok saya kebawa temen satu geng.” (Hnd)
Berbeda halnya dengan subjek kasus pertama, walaupun memiliki latar belakang dengan tipologi yang sama, subjek kasus kedua masih dapat mengontrol dirinya. Dari hasil penuturannya, keadaan keluarganya yang membuat subjek menjadi pribadi yang kuat, mandiri, sabar dan memiliki motivasi yang tinggi untuk mengubah kehidupannya dan kehidupan keluarganya menjadi lebih baik. Pada saat subjek bekerja di jalan, subjek masih berada di bangku Sekolah Dasar. Perilaku yang sering dilakukan oleh subjek yang melanggar norma yang ada di masyarakat pada umumnya adalah kegemarannya berjudi.
7.1.4
Kasus Anak Jalanan dengan Tipologi Latar Belakang Keluarga Miskin, Disharmonis, dan Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam UU No.
23/2004 pasal 1 adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya penderitaan fisik, seksual, psikologis, penelantaran rumah tangga, ancaman, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam rumah tangga.15 Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap Anak merupakan hal yang sangat sering terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Seto Mulyadi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, misalnya mencatat pada tahun 2003 terdapat 481 kasus kekerasan. Jumlah itu meningkat menjadi 547 kasus pada tahun 2004, dengan 221 kasus merupakan kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 permasalahan lainnya.16 Latar belakang anak jalanan di Rumah Sahabat anak Puspita memang beragam. Akan tetapi, kenyataan dilapangan subjek tidak hanya mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga. Selain itu, anak juga memiliki keluarga yang disharmonis, dan berasal dari latar belakang ekonomi tidak mampu. 15
16
http://focalpointgender.kejaksaan.go.id/downloads/undang2/UU%20No%2023%20Tahun %20200 4 %20PKDRT.pdf (Diakses Pada tanggal 1 Agustus 2010) Ingata Khaizu. 2009. Upaya-Upaya Perlindungan oleh Organisasi Sosial Keagamaan Lokal Bagi Anak yang Berada pada Pemukiman Rawan untuk Tereksploitasi Secara Ekonomi dan Seksual. Skripsi. FISIP UI
83
1.
Latar Belakang Keluarga Subjek kasus (Kasus 5) turun ke jalan dengan dilatarbelakangi oleh
keluarga miskin, disharmonis, dan mengalami KDRT. Keluarganya merupakan pendatang dari Cirebon. Merasakan hidup di Jakarta sangat sulit akhirnya keluarganya bertahan hidup dengan mengemis sekitar komplek-komplek perumahan. Sementara itu, ayahnya bekerja sebagai pemulung. Subjek mendapat paksaan dari orang tua/keluarga untuk turun ke jalan. Pada dasarnya hal ini terjadi akibat faktor ekonomi. Anak dipaksa untuk kerja di jalan (mengemis), setelah itu uangnya digunakan oleh orang tuanya untuk keperluan sehari-hari dan sisanya untuk berjudi dan mabuk-mabukkan. Pemaksaan ini terkadang dengan disertai tindak kekerasan. “Bapak selalu marah kalau aku pulang ke rumah, aku ngga boleh belajar lagi disini, kemarin dada aku dipukul sama bapak gara-gara aku ngga mau ikut ngemis sama emak” (Twn)
Subjek adalah anak ke-4 dari 7 bersaudara. Dua kakak dan satu adiknya meninggal. Kakaknya yang pertama kerja sebagai tukang cuci mobil, kakaknya yang kedua menganggur tetapi sudah tidak pernah berangkat (istilah untuk pergi mengemis) karena sudah besar. Oleh sebab itu keberadaan subjek seperti pada sebagian anak binaan lainnya, dianggap memiliki fungsi investasi. Akan tetapi, pada kasus yang dialami subjek ini, pengembalian investasi dilakukan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Sehingga pada usia yang terlalu dini subjek sudah dilibatkan dalam urusan mencari nafkah untuk keluarga. Tidak hanya subjek, ibunya, adiknya yang masih berusia enam tahun, dan bahkan adiknya yang baru berusia tiga bulan pun ikut mengemis di komplek-komplek perumahan di Duren Sawit. Penghasilan dapat mencapai Rp50.000,00 sampai Rp100.000,00 per hari. Tetapi dari keterangan salah satu anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita yang pernah mengikuti bagaimana mereka mengemis mengatakan bahwa penghasilan mereka lebih dari itu. “Penghasilan ibunya Tarwini setiap hari besar Kak, Rp50.000,00 sampai Rp100.000,00 apalagi kalau ibunya mengajak Tarwini mengemis, penghasilan mereka sekali jalan bisa diatas Rp100.000,00 karena mereka mengemis bergantian, jadi mendapat tiga kali lipat. Pokoknya kalau keluarga itu gaya hidupnya baik, mau menabung, pasti mereka sudah kaya” (Imw)
84
Menurut subjek, hasil mengamen digunakan untuk membayar kontrakan rumah, membeli kebutuhan sehari-hari dan diberikan kepada ayahnya. Subjek biasanya hanya diberi uang Rp2000,00 saja setelah selesai mengemis. Hal tersebut tidak dibenarkan oleh salah satu anak binaan yang lain. Dia mengatakan keluarga subjek tidak mengontrak rumah, dan uang hasil mengemis pada dasarnya dihabiskan oleh ayahnya yang suka mabuk-mabukan dan berjudi. “Sebenarnya Kak, uang hasil mereka mengemis habis oleh ayahnya yang senang judi dan mabuk-mabukkan karena mereka tidak mengontrak rumah. Aku tidak mengerti juga dengan budaya hidup mereka. Entah mereka udah bosan mencuci atau gimana tapi mereka jarang nyuci baju. Mereka membeli baju, setelah itu mereka pakai tiga sampai empat hari sampai benar-benar kotor dan lusuh kemudian mereka membeli baju yang baru, benarkan?” (Imw)
2.
Karakteristik Subjek Kasus
1)
Karakteristik Individu Subjek kasus ini merupakan anak binaan termuda yang ada di Rumah
Sahabat Anak Puspita. Tidak ada yang tahu kapan subjek dilahirkan, karena orang tuanya pun tidak menyadarinya. Oleh sebab itu, pihak Puspita menyamakan tanggal lahirnya dengan hari ulang tahun Rumah Sahabat Anak Puspita. Subjek berjenis kelamin perempuan dan sekarang duduk di kelas 2 Sekolah Dasar. Subjek baru beberapa bulan resmi menjadi anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita. Subjek beragama Islam dan cerdas. Subjek memiliki kemampuan belajar dengan cepat. “Saya heran Kak sama Tarwini, sekolah jarang, belajar juga jarang, tapi nilainya tetep bagus-bagus.” (Nv)
2)
Karakteristik Perilaku Subjek pada saat ini masih aktif bekerja di jalan walaupun sudah menjadi
anak binaan di Rumah Sahabat Anak Puspita. Tidak mudah untuk memutuskan hubungan dengan kehidupan jalanan ketika keluarga menjadi faktor penyebab utama anak turun ke jalan. Ketidakharmonisan keluarga timbul akibat dari kemiskinan. Subjek menuturkan bahwa sering terjadi pertengkaran di keluarganya dan tidak jarang pertengkaran tersebut berujung pada tindak kekerasan baik
85
dialami oleh subjek maupun anggota keluarga lainnya. Dengan latar belakang keluarganya itu, subjek cenderung memiliki karakter psikologis seperti tidak memiliki percaya diri yang tinggi, selalu ketakutan, dan yang paling tidak diharapkan adalah timbulnya jiwa pendendam saat subjek beranjak dewasa. “Setiap saya tanya anaknya, sayang ngga sama bapak? Dia selalu jawab ngga, aku sayangnya sama ibu, bapak galak suka mukul.” (Um)
Karakteristik psikologis tersebut berpengaruh terhadap perilaku subjek. Subjek sering berperilaku tidak jujur, sering bolos sekolah, dan cenderung tertutup. Paksaan dari orang tuanya untuk kerja di jalan sebagai pengemis menjadikan subjek tidak dapat mengikuti pemberdayaan dengan utuh. Terkadang berhari-hari subjek tidak ada di Rumah Sahabat Anak Puspita dengan berbagai alasan yang tentu saja tidak benar.
86
Tabel 15. Anak Binaan Rumah Sahabat Anak Puspita
o 1
Perbedaan Latar Belakang
Kasus 1 Keluarga miskin
Kasus 2 Keluarga disharmonis
Kasus 3 Kaluarga Miskin dan disharmonis
Kasus 4 Keluarga miskin dan disharmonis
2
Alasan Menjadi Anak Jalanan
Korban trafficking
Alasan ekonomi
Alasan ekonomi dan untuk berjudi
3
Aktivitas di Jalan
Anak menempatkan diri sebagai tulang punggung keluarga Ngamen
Kasus 5 Keluarga miskin, disharmonis, dan mengalami KDRT Paksaan dari orang tua
Belum bekerja di jalan
Ojek “three in one”, “ngetrack”, tukang parkir
Ngamen, ngemis
Ngemis (cadongan)
4
Karakteristik: A. Karakteristik Individu (1) Usia (2) Jenis Kelamin (3) Agama (4) Asal (5) Pendidikan (6) Tahun masuk Puspita B. Karakteristik Perilaku sebelum pembinaan
19 tahun Laki-laki Protestan Ambon Kuliah 2006 Keras, sulit percaya kepada orang lain, sering berkelahi
18 tahun Laki-laki Islam Jakarta Tamat SMK 2007 Suka melanggar aturan, sering berkelahi, sering pulang malam, perokok, dan minum minuman keras
20 Perempuan Islam Jakarta Tamat SMK 2000 Sering berjudi
Perempuan Islam Cirebon SD 2010 Kurang percaya diri, sering tidak jujur, sering bolos sekolah, dan tertutup
18 tahun Laki-laki Islam Indramayu Tamat SMK 2004 Penurut dan tidak memiliki perilaku yang anormatif
87
7.2
Perubahan Perilaku Anak Jalanan Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dijaga kualitasnya
untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas pada masa yang akan datang. Keberadaan anak jalanan dengan segala permasalahan yang ada seringkali dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah tanda hilangnya generasi penerus yang berkualitas atau lost of generation, serta merusak human capital dan social capital di masa yang akan datang. Selain itu, masalah anak jalanan merupakan interrelasi antara fenomena sosial, ekonomi, dan budaya yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan perlu adanya suatu penanganan serius dari berbagai pihak. Penanganan dapat dilakukan dalam bentuk penanggulangan preventif dan kuratif. Penanggulangan preventif merupakan model kebijakanan antisipatif yang mencoba mengatasi permasalahan anak jalanan dari akar penyebabnya. Arah model kebijakanan antisipatif adalah mencegah munculnya anak jalanan baru serta menciptakan suasana yang kondusif di masyarakat bagi pelaksanaan usaha pemenuhan dan perlindungan kesejahteraan anak. Titik fokusnya adalah elemen keluarga. Secara rinci arah model ini meliputi17: a. Menyelamatkan, melindungi, menjamin hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar b. Menciptakan dan menjamin kehidupan yang layak bagi anak sesuai dengan harkat dan martabat manusia yang berkeadilan sosial c. Memberdayakan keluarga anak jalanan agar mampu melaksanakan fungsi keluarga secara wajar d. Memberdayakan lingkungan sosial masyarakat ke arah terwujudnya kepedulian, kesadaran, dan dukungan terhadap program penanggulangan dan permasalahan anak jalanan. Penanggulangan kuratif merupakan model kebijakan rehabilitatif, yakni kebijakan yang lebih ditujukan terhadap anak yang telah terlanjur pergi ke jalan. Titik fokus model kebijakan rehabilitatif adalah individu anak jalanan. Arah
17
Tauran 2000, ‘Studi Profil Anak Jalanan Sebagai Upaya Perumusan Model Kebijakan Penanggulangannya’, Jurnal Administrasi .egara, Vol. I, No.1, September 2000 : 88- 101
88
model kebijakan rehabilitatif adalah mengarahkan perkembangan anak jalanan ke arah yang positif, yang meliputi: a. Anak jalanan dapat meninggalkan aktivitasnya di jalan dan menyatu kembali dengan keluarganya jika memungkinkan b. Anak jalanan mendapatkan keluarga pengganti atau panti lainnya jika tidak memungkinkan kembali dengan keluarga c. Anak jalanan dapat melanjutkan pendidikannya d. Anak jalanan dapat memperoleh keterampilan dan peluang untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Program-program pemberdayaan anak jalanan yang ada di Rumah Sahabat Anak Puspita merupakan bentuk penanganan anak jalanan. Penanganan tersebut berupa penanggulangan preventif dengan menggunakan model kebijakanan antisipatif dan penanggulangan kuratif dengan menggunakan model kebijakan rehabilitatif. Akan tetapi, pada model kebijakan antisipatif, Rumah Sahabat Anak Puspita lebih memfokuskan pemberdayaan terhadap anak jalanan itu sendiri belum menyentuh pemberdayaan keluarga anak jalanan dan pemberdayaan lingkungan sosial masyarakat. “...belum ada program khusus untuk orang tua anak jalanan, kita fokus kepada anak-anaknya. Tetapi walaupun demikian, kita tidak menutup kemungkinan untuk membantu keluarga anak binaan. Misalnya dengan membantu memberikan dana untuk keluarga anak jalanan untuk membuka usaha jualan gorengan” (Ang)
Pemberdayaan anak jalanan di Rumah Sahabat Anak Puspita pada akhirnya akan merubah anak binaan terutama perilaku mereka. Anak jalanan dapat dirubah perilakunya melalui aktivitas kegiatan yang dimodifikasi dengan melibatkan keinginan dan kesadarannya untuk mau belajar dan mempelajari perubahan yang terjadi dalam kehidupannya secara mandiri. Perubahan tersebut akan berbeda pada setiap anak. Hal tersebut ditentukan oleh beberapa faktor baik faktor internal maupun faktor eksternal anak jalanan.
89
1. Rana[h] Kognitif Perubahan yang diharapkan adalah dari tidak mengetahui menjadi mengetahui, dari tidak paham menjadi paham, dari tidak mengerti menjadi mengerti tentang sesuatu yang dipelajari individu yang belajar. Ranah kognitif terbagi menjadi enam tahapan. Masing-masing tahapan menandakan sejauhmana perubahan perilaku dalam ranah kognitif terjadi. Tahapan tersebut adalah tahap pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, sintesa, dan evaluasi. Kasus I yaitu anak binaan dengan latar belakang ekonomi ini sudah mencapai perubahan di ranah kognitif pada tahap penerapan. Pada tahap ini, kasus sudah dapat mengaplikasikan (dalam pikiran) apa yang telah dipelajari pada kondisi yang berbeda atau kongkrit dan baru. Hal ini direalisasikan oleh subjek dengan kemampuan menghapal doa-doa yang sudah diajarkan, menghapal AlQuran (Juzz Amma) dan artinya, menghapal berbagai pelajaran misalnya vocabulary dalam pelajaran Bahasa Inggris yang diajarkan. “Alhamdulillah Kak, saya sangat bersyukur ada disini, sekarang saya bisa berbahasa Inggris, bisa hafal doa-doa, dan bisa ngaji.” (Djn)
Kasus 2 merupakan anak binaan yang memiliki latar belakang keluarga disharmonis sudah mencapai perubahan kognitif tertinggi yaitu tahap evaluasi. Pada tahap ini subjek sudah dapat memberikan penilaian terhadap sesuatu atau membandingkan keunggulan atau kelemahan sesuatu atau beberapa hal, bersama dengan pertanggungjawaban pendapat itu berdasarkan kriteria tertentu. Hal tersebut dibuktikan ketika subjek bekerja. Sebagai seorang yang merancang kemasan di perusahaan minuman, subjek memiliki kewajiban untuk menilai kemasan terbaik yang dapat digunakan oleh perusahaan tersebut berdasarkan kriteria tertentu. Proses ini tentu memerlukan kemampuan kognitif dari subjek kasus. Kemampuan kognitif subjek yang sudah mencapai tahapan tertinggi ini dapat pula ditunjang oleh kemampuan berpikir logis yang diperolehnya melalui pendidikan, karena subjek meneruskan pendidikannya sampai ke bangku perkuliahan. Kasus 3 adalah anak binaan yang memiliki latar belakang keluarga kurang mampu dan disharmonis. Perubahan perilaku pada ranah kognitif hampir sama dengan Kasus 1, yaitu sudah mencapai tahapan penerapan. Berbagai kemampuan
90
kognitif yang telah dijarkan di Rumah Sahabat Anak Puspita telah mampu diaplikasikannya sekalipun berada dalam kondisi baru. “Disini saya diajarin bahasa Inggris, mengaji, hapalan doa dan Al-Quran. Alhamdulillah sekarang saya bisa bahasa Inggris sedikit-dikit, saya juga bisa mengaji dan lumayan banyak doa yang saya hapal” (Hnd)
Berbeda dengan Kasus 3, Kasus 4 sudah mencapai perubahan kognitif pada tahapan sintesa walaupun memiliki latar belakang yang sama dengan Kasus 3. Pada tahap ini subjek sudah mampu membentuk suatu kesatuan atau pola baru. Bagian-bagian dihubungkan satu sama lain, sehingga tercipta suatu bentuk baru. Hal tersebut terlihat dari bagaimana cara subjek mengajar anak secara privat, dan membuat laporan setiap selesai mengajar. Cara mengajar yang dilakukan subjek terhadap anak didik menggunakan metode yang kreatif yang merupakan pengembangan dari apa yang pernah dipelajarinya baik di tempat pendidikan formal maupun pendidikan di Rumah Sahabat Anak Puspita dengan pengetahuan baru yang biasa subjek dapatkan dari internet, majalah, buku, dan lain sebagainya. “Saya harus nyari-nyari metode yang menarik untuk ngajar Gibran, kadang dari internet, kadang dari buku. Menyita waktu sih Kak, tapi dengan gitu saya makin banyak belajar” (Imw) Menurut penuturan subjek pengetahuan anak binaan terutama subjek sendiri semakin luas setelah berada di Rumah Sahabat Anak Puspita dan mengikuti berbagai program pemberdayaan didalamnya. “Dulu saya merasa sangat oon Kak, rangking aja dulu saya paling bontot, terus saya sering diejekin temen-temen bego, tapi empat tahun di Puspita saya mulai berubah, sehingga pas waktu saya di SMP saya selalu menempati peringkat empat besar di kelas. Ya mungkin karena disini kita diharuskan untuk selalu belajar setiap hari, selain itu, disini juga disediakan guru pengajar untuk pelajaran tertentu seperti matematika, IPA, dan Bahasa Inggris, jadi kalau ada yang ngga ngerti bisa langsung nanya dan belajar disini” (Imw)
Kasus 5 merupakan kasus anak binaan yang memiliki latar belakang dengan tipologi keluarga miskin, disharmonis, dan mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Pada ranah kognitif Kasus 5 belum terlihat banyak berubah. Hal ini dikarenakan subjek baru menjadi anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita. Terlebih subjek masih aktif bekerja di jalan.
91
2. Rana[h] Afektif Perubahan yang diharapkan adalah perubahan dari sikap negatif menjadi sikap positif, dari sikap yang salah menjadi sikap yang baik, dari sikap menolak menjadi sikap menerima terhadap sesuatu yang dipelajari oleh individu yang belajar. Seperti halnya ranah kognitif, ranah afektif pun terdiri dari beberapa tahap, yaitu receiving/attending (penerimaan), responding (menanggapi), valuing (penilaian/penentuan sikap), organization (organisasi), characterization by value/value complex (menghayati). Pada ranah afektif, Kasus 1 anak binaan sudah mencapai tahap valuing (penilaian). Pada tahap ini subjek sudah mampu memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan penilaian itu. Mulai dibentuk suatu sikap menerima, menolak atau mengabaikan, sikap itu dinyatakan dalam tingkah laku yang sesuai dan konsisten dengan sikap batin. Hal tersebut tercermin dari sikap anak binaan pada kasus ini yang telah mampu membedakan mana hal yang baik atau buruk, hal yang berguna dan tidak, serta adanya pengakuan tentang pentingnya belajar. Subjek juga senantiasa mengikuti program pemberdayaan dengan sungguh-sungguh, terlebih lagi ketika mengikuti pelajaran Bahasa Inggris yang didampingi Miss Rebeca. Anak binaan yang lain mengenal subjek sebagai orang yang “menggilai” bahasa Inggris. “Saya sangat menyayangkan anak-anak binaan angkatan yang baru, mereka tidak benar-benar memanfaatkan kesempatan yang Puspita berikan kepada mereka. Contohnya saja ketika belajar bahasa Inggris, mereka kadang-kadang ada yang masih ngobrol, main-main, pokoknya tidak serius.” (Djn)
Kasus 2 yang merupakan kasus dengan tipologi disharmoni keluarga memiliki perubahan pada aspek afektif pada tahapan yang sama dengan Kasus 1 yaitu sampai pada tahap valuing (penilaian). Subjek sudah mampu mengeluarkan pendapat tentang rasa suka atau tidak suatu pada suatu hal. Pendapat tersebut tentunya merupakan hasil dari penilaian subjek terhadap hal tersebut. “Ya kalau saya ngga suka sama suatu kegiatan, saya bicara sama Pak Aang. Saya pernah kok kaya gitu dan Pak Aang ngga pernah maksa anak-anaknya buat ikut semua kegiatan” (Wly)
92
Kasus 3 mencapai perubahan pada aspek afektif pada tahap responding (menanggapi). Tahap ini subjek memiliki kemauan untuk memperhatikan secara aktif dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, ketika sedang mengikuti kegiatan belajar musik (keyboard) subjek mengikuti kegiatan tersebut dengan baik sampai selesai. Subjek memperhatikan dengan seksama, berpartisipasi ketika pendamping menanyakan ada yang ingin mencoba mempraktekan not-not yang telah diajarkan, kemudian aktif dengan mengajukan beberapa pertanyaan teoritis, serta memiliki kemauan untuk berbagi pengalaman belajar alat musik yang sama pada waktu yang telah lalu. Subjek Kasus 4 memiliki perubahan yang lebih signifikan dari subjeksubjek sebelumnya. Subjek sudah mampu mencapai perubahan pada tahap organization (organisasi) pada ranah afektif. Tahap organisasi adalah tahap dimana subjek mampu membentuk suatu sistem nilai, dari yang lama ke yang baru, atau mungkin hanya sebagian sistem saja yang dirubah. Pada tahap ini juga subjek sudah mampu menempatkan suatu skala prioritas, mana yang pokok dan harus diperjuangkan dan mana yang tidak begitu penting. Hal itu tercermin dari bagaimana subjek mengorganisasikan dirinya melalui rencana-rencana yang dibuat kedepannya. Subjek memiliki motivasi untuk dapat melanjutkan sekolahnya, akan tetapi sama halnya dengan kasus 1, keluarga subjek tidak memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan. Bagi subjek, pendidikan tetap merupakan prioritas utama yang harus ditempuh. “Saya sebenernya pengen kuliah sih Kak, tapi keluarga saya lebih nyuruh saya buat kerja. Saya juga pengen sih kerja, saya pengen bangun rumah, setidaknya ada ruangan lagi buat saya tidur tanpa harus tidur sama-sama dengan bapak dan saudara-saudara saya yang semuanya lakilaki dan sudah mulai pada dewasa. Saya sekarang kerja di sirkus di Yayasan Hidung Merah. Bukan kerja sih, tapi kita dilatih sirkus untuk menghibur anak-anak yang kena bencana di Aceh nantinya. Tapi keluarga saya tahunya saya kerja. Setiap bulannya saya mendapat uang makan satu juta. Saya akan mengirimi keluarga saya uang tiap bulannya, biar mereka tetap mengira saya kerja. Pengeluaran saya setiap bulan tidak besar kok Kak, jadi masih bisa nabung. Nanti kalau kontrak saya habis, saya mau ngambil beasiswa yang dari Bogasari. Ngga apa-apa walaupun saya hanya nerusin pendidikan Bahasa Inggris selama enam bulan di Pare (Kediri) juga dan selama saya sekolah lagi, saya akan tetap mengirim uang ke keluarga saya tiap bulannya dari hasil tabungan saya, biar keluarga menganggap saya masih kerja”
93
Kasus 5 pada ranah afektif belum mencapai perubahan. Subjek memang menerima terhadap setiap kegiatan yang diadakan di Rumah Sahabat Anak Puspita. Akan tetapi, subjek belum dengan intens dan teratur mengikuti setiap kegiatan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Hal tersebut dikarenakan subjek masih harus bekerja di jalan pada waktu kegiatan-kegiatan itu berlangsung.
3. Rana[h] Psikomotorik Perubahan yang diharapkan pada ranah psikomotorik adalah dari tidak melaksanakan menjadi melaksanakan, dari tidak adopsi menjadi adopsi, dari tidak terampil menjadi terampil, dari tidak melakukan, berbuat, membentuk, dan sebagainya berubah menjadi dapat melakukan, dapat membuat, dan dapat membentuk. Ranah psikomotorik terdiri dari berbagai tahapan, yaitu perception (persepsi), set (kesiapan), guide response (gerakan terbimbing), mechanization (gerakan terbiasa atau mekanis), complexity by real response (gerakan kompleks atau respon nyata yang kompleks), adaptation (adaptasi), creativity (kreativitas). Perubahan dalam ranah psikomotorik pada anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita pada dasarnya hampir sama, karena setiap anak binaan diajarkan keterampilan yang sama. Perubahan anak secara spesifik terjadi pada kegiatan yang berbeda. Hal ini karena anak memiliki ketertarikkan yang berbeda terhadap program keterampilan yang diajarkan. Secara umum, hampir semua subjek kasus kecuali Kasus 5 sudah berubah perilakunya sampai pada tahap mechanization (gerakan terbiasa atau mekanis) pada beberapa hal. Pada tahap ini anak mampu melakukan suatu rangkaian gerak-gerik dengan lancar, karena sudah dilatih secukupnya tanpa memperhatikan lagi contoh yang diberikan. Misalnya anak binaan sudah mampu membuat keterampilan tangan yang telah diajarkan (membuat kaos cantik). Tahapan creatifity (kreativitas) sudah dapat dicapai oleh beberapa anak dalam beberapa tahapan. Misalnya saja yang terjadi dengan subjek pada Kasus 1. Pada tahap ini anak binaan sudah dapat melahirkan pola-pola gerak-gerik yang baru, seluruhnya atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri. Misalnya, anak sudah mampu menjadi translator (penerjemah) ketika ada kunjungan dari warga asing ke Rumah Sahabat Anak Puspita. Selain itu, anak pada kasus ini sudah mampu
94
menciptakan ide-ide sendiri terutama mengenai tema ketika diminta melakukan kegiatan talkshow berbahasa Inggris. “Ketika ada kunjungan dari luar negeri, anak-anak kami sendiri yang menjadi translatornya…belum lama ini ada kunjungan dari luar, Jono yang jadi penerjemah” (Ang)
Tahapan creatifity (kreativitas) dalam ranah psikomotor juga sudah dicapai oleh Kasus 2. Berbeda dengan Kasus 1 yang memiliki kegilaan dengan bahasa Inggris, maka Kasus 2 ini memiliki bakat dan minat yang tinggi terhadap desain grafis, jurnalis, dan photoshop. Kreativitas subjek benar-benar berkembang ketika sudah mulai bekerja karena pekerjaan tersebut menuntut kreativitas dari subjek. Pada Kasus 5, perubahan perilaku yang terjadi sampai pada tahap subjek saat ini sudah memiliki kemauan untuk belajar berbagai keterampilan yang diajarkan di Rumah Sahabat Anak Puspita. Misalnya belajar komputer, menggambar, bacaan Sholat, dan lain sebagainya. Subjek juga mengikuti kegiatan belajar menggambar, akan tetapi hasilnya masih belum terlalu baik. Menurut hasil pengamatan serta hasil wawancara yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tipologi keluarga tidak berpengaruh kuat terhadap perubahan perilaku anak binaan di Rumah Sahabat Puspita. Perubahan anak binaan dari berbagai tipologi keluarga berbeda akan cenderung sama baik pada ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Hal tersebut karena setiap anak binaan mengalami pembinaan yang sama di Rumah Sahabat Anak Puspita. Perbedaan perubahan terlihat dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu waktu anak menjadi anak binaan di Rumah Sahabat Anak Puspita.