BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Dinamika politik Indonesia kontemporer peran politik aliran masih mewarnai kompetisi politik kepartaian untuk meraih kekuasaan. Pada awal kemerdekaan, politik aliran sangat mewarnai preferensi politik yang termanifestasi pada Pemilu 1955, dengan menampilkan lima kekuatan utama, yaitu PNI, NU, Masyumi, PKI, dan Partai Sosialis. Dasar ideologis politik aliran tersebut adalah nasionalis, islamis, komunis, dan sosialis, meskipun secara substantif paham-paham tersebut tidak tampak dalam praksis di masing-masing partai tersebut. Artinya, di antara partai politik
juga saling
memanfaatkan prinsip-prinsip dasar ideologis, seperti PNI meskipun nasionalis juga menerima paham islamis, demikian pula NU dan Masyumi meskipun islamis tetapi juga menerima dan sebagian memiliki paham nasionalis. Bahkan NU dan Masyumi secara substantif pahamnya juga terdapat perhimpitan nilai dengan sosial demokrat, seperti soal penerimaan terhadap prinsip egalitarian. Runtuhnya rezim Soekarno atau yang populer era Orde Lama, munculah kemudian rezim militer di bawah pimpinan Soeharto, politik aliran melemah dengan fusi partai politik menjadi tiga yaitu PPP, Golkar dan PDI. Pilihan sistem politik yang tidak demokratis, Soeharto secara sengaja memilih sistem politik otoriter. Kualitas Pemilu selama periode ini pun dilihat dari prinsip demokrasi sangat rendah, karena penuh dengan rekayasa dan karena itu pemilu pada era Orde Baru lebih terasa sebagai formalitas politik. Secara substantif dan faktual, corak dan aktivitas politik pada era ini 333
lebih menunjukkan karakter sistem politik otoritarian dengan militer sebagai peran utama. Karena itu, politik aliran yang berbasis ideologis dan kultural surut secara signifikan, tetapi tidak mati, hanya sekadar mati suri. Ketika era Orde Baru selesai yang ditandai jatuhnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998, Indonesia memasuki babak baru lagi, yaitu menjadi negara yang mengalami transisi demokrasi. Secara prosedural, perebutan kekuasaan melalui Pemilupun kemudian diselenggarakan dengan prinsip-prinsip demokratis. Pada pemilu pasca Orde Baru, pada Pemilu 1999, berlangsung secara demokratis, tertib dan lancar meskipun tanpa pengawalan ketat oleh militer dan jajaran aparat kepolisian. Pemilu 1999 dan seterusnya, menjelaskan warna politik aliran berpengaruh kembali. Meskipun paham komunis secara kelembagaan tidak mewarnai proses politik karena dilarang oleh negara. Pemilu pasca Orde Baru kemudian melahirkan kekuatan politik kepartaian yang berbasis aliran yang disebut partai sekuler yaitu PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Parta Hanura. Sedangkan partai Islam yaitu PPP, PKB, PAN, PKS dan PBB. Sebagaimana temuan dalam penelitian ini, politik aliran tampak termanifestasi dalam pola pilihan politik di Sangkrah dan Kauman Solo. Kampung Sangkrah melalui artikulasi kultural terbukti digunakan sebagai orientasi ideologis, yaitu nasionalis yang sekaligus menjadi preferensi dan pertimbangan piihan politiknya. Di kampung Sangkrah sebagian besar warganya berkultur abangan meskipun berada dalam struktur urban, sebagian lagi berkultur priyayi yang menghuni struktur birokrasi, dan sementara warga yang berkultur santri sedikit meskipun mereka secara kuantitatif beragama Islam. 334
Manifestasi kultur abangan itu tampak pada proses kehidupan sosiokulturalnya yang dikendalikan oleh pola siklus kehidupan, yaitu lahir, usia muda-produktif, dan kemudian mati. Dalam ketiga siklus itulah oleh komunitas abangan dijadikan sebagai momen penting kehidupan, sehingga ditandai dengan berbagai ritual selamatan berdasarkan mitologi. Kuatnya mitologi pada siklus kehidupan itulah maka momen kelahiran, pernikahan, dan kematian senantiasa diperingati dengan ritual-ritual selamatan. Mitologi pada momen kelahiran diadakan ritual selamatan seperti mitoni, brokohan kelahiran bayi, sepasaran, selapanan. Sementara momen pernikahan diadakan serangkaian upacara selamatan seperti midodareni dan upacara adat pernikahan. Sedangkan momen kematian diadakan upacara tlusupan, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, dan seribu hari. Warga kampung Sangkrah juga masih menjalankan berbagai tradisi seperti Suronan, jamasan pusaka, dan nyekar ke makan leluhur. Tradisi ke makam leluhur itulah yang sangat kuat karena mereka percaya bahwa kehidupan setelah mati akan berkumpul kembali berdasarkan basis institusi keluarga. Ada semacam kepercayaan kuat, jika tidak ingat leluhur yang dibuktikan melalui nyekar ke makam leluhur akan mengalami goncangan batin, sehingga hidupnya tidak rukun dan tentram. Rukun, dan guyub-rukun itulah yang menjadi nilai dasar kuat bagi interaksi sosial di Sangkrah dan orang Jawa pada umumnya. Mitologi seperti percaya pada Kyai Kebo Bule juga sangat kuat, momen Sekaten senantiasa menjadi sarana ekpresi budaya bagi kaum abangan. Kaum abangan masih mempercayai bahwa Kyai Kebo Bule adalah membawa berkah keselamatan bagi manusia, karena itu masih dikeramatkan.
335
Kuatnya mitologi dan sakralisasi yang terinternalisasi melalui institusi keluarga dan lembaga adat menjadikan warga Sangkrah yang berkultur abangan sangat sensitif terhadap persoalan kelestarian tradisinya. Siapa pun yang datang dari luar dan membawa tawaran baru, seperti modernisasi atau islamisasi akan senantiasa direspons secara kritis melalui instrumen seleksi sosio-kulturalnya. Kekuatan dari luar yang berpotensi untuk mengubah tradisi, atau paling tidak mempersoalkannya, selalu dicurigai sebagai kekuatan yang mengguncang nilai kerukunan, guyub, dan tentram. Itulah sebabnya momen politik seperti Pemilu, akan menjadi arena ujian bagi kekuatan daya tawar kultural komunitas Sangkrah yang berkultur abangan. Partai apa pun yang mencoba mengajak berpartisipasi sebagai basis konstituen, warga Sangkrah akan meminta jaminan
akan kelestarian tradisinya. Siapa pun yang berusaha
mempersoalkan tradisi dan mitologinya, apalagi berusaha menghilangkannya, maka akan mereka tolak. Oleh karena kaum abangan di Sangkrah memiliki pengalaman kontestatif dengan kaum santri yang berkaitan dengan tradisi dan mitologinya maka, proses ini sekaligus menjadi preferensi politik untuk condong ke partai sekuler. Di mata orang Sangkrah, partai nasionalis seperti PDI P, partai Golkar, partai Demokrat, partai Gerinda, partai Nasdem dan partai Hanura, dianggap partai yang tidak pernah mempersoalkan tradisi dan mitologinya. Oleh karena itu, proses itu sekaligus menjadi dasar bagi pilihan politiknya untuk memilih partai nasionalis. Sebagaimana temuan penelitian ini, komunitas Sangkrah dalam pemilu pasca Orde Baru konsisten dengan pilihan politiknya, yaitu partai sekuler, terutama PDIP. Dengan demikian, pilihan politik komunitas Sangkrah pada pemilu pasca Orde Baru 336
praktis tidak ada pergeseran, masih sangat diwarnai oleh praktik politik aliran sebagaimana pemilu sebelum era Orde Baru. Sementara itu di kampung Kauman, secara umum praktik politik aliran juga masih menguat dengan preferensi politik cenderung ke partai Islam. Sebagaimana temuan penelitian ini, meskipun terdapat kecenderungan menurun perolehan partaipartai berasas Islam pada pemilu pasca Orde Baru, tetapi secara sosio-kultural praktik ritual keagamaan semakin menguat di kampung ini. Bahkan jika di era Orde Baru ketidaksetujuan terhadap praktik sirik orang Islam abangan masih disampaikan secara halus, pada era reformasi ini tudingan praktik sirik di sebagian umat Islam abangan disampaikan secara terbuka. Hanya saja terjadi pergeseran di Kauman dalam sikapnya berkaitan dengan dinamika politik kepartaian. Jika pada Pemilu 1955 warga Kauman secara mutlak menyalurkan aspirasinya pada Masyumi dan NU, serta sebagian PNI, pada Pemilu pasca Orde Baru hanya pada Pemilu 1999 dominasi partai Islam masih terasa, selanjutnya pada Pemilu Legislatif 2014, preferensi politiknya mulai
mengalami
pergeseran. Pergeseran tersebut sebagaimana temuan penelitian ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kampung Kauman semakin terbuka yang ditandai oleh masuknya modernisasi pada industri batik. Jika sebelumnya, industri batik di kampung Kauman bersifat tertutup dan mempertahankan pengolahan secara konvensional, sejak pemerintahan pasca Orde Baru mulai mengadopsi modernisasi dan digabungkan dengan konsep kampung wisata Batik. Pertumbuhan industri batik dan kunjungan wisatawan semakin signifikan dan karena itu memerlukan tenaga kerja dari luar kampung Kauman. 337
Implikasi politiknya, warga yang memiliki preferensi partai nasionalis semakin bertambah, dan inilah yang kemudian menyebabkan naiknya perolehan suara PDIP. Kedua, kepoleran Jokowi merupakan personifikasi muslim dalam memori komunitas Kauman. Terdapat sentimen primordialisme dalam pengertian faktor putra daerah, yang menyebabkan kaum santri Kauman mulai terbuka pada partai sekuler. Artinya, jika sebelumnya pertimbangan nilai universal, yaitu nilai Islam dalam Islamisme cukup mendominasi dalam mengkonstruksi negara, maka ketika muncul tokoh Jokowi yang orang Solo asli, maka sedikit banyak telah mempengaruhi preferensi dan pilihan politiknya. Dengan kata lain, isu kedaerahan dan lokalitas-tradisionalisme yang mewujud pada Jokowi. Akan tetapi dalam praktik kehidupan sosial budaya pandangan kaum santri Kauman tidak berubah terutama dalam relasinya dengan kaum abangan. Bagi kaum santri Kauman praktik mistik, mitologi, dan sakralisasi yang merupakan tradisi abangan tetap dipandang sebagai sirik yang dilarang oleh agama Islam. Momen sekaten yang ditandai oleh praktik mistik dan mitologi “kyai slamet” atau kebo bule sangat diharamkan oleh kaum santri Kauman. Kontestasi itu terus berlangsung, dan dalam hal tertentu memiliki implikasi terhadap ketegangan hubungan sosial dan politik antara kaum santri dan abangan di Solo. Oleh karena itu, politik aliran yang berbasis pada kultur tetap saja fenomenal di kampung Kauman. Dengan demikian, pergeseran politik aliran lebih bersifat temporal, dan hanya mengubah peta politik kepartaian, sementara secara kultural tetap saja santri Kauman mempertahankan distingsinya dengan kaum abangan. 338
B. Refleksi Teoretis Studi ini, preferensi politik Pemilu Legislatif Pasca Orde Baru, merupakan bentuk ekspresi dari ketegangan antara kultur abangan dan Islam, yang terekpresikan dalam dua ideologi Pancasila dan Islam sebagai dasar bagi pembentukan partai politik di Indonesia. Dengan demikian pandangan hidup yang berkembang di Sangkrah dan Kauman sebagai dikotomi antara nilai –nilai Kejawen dan Islam. Hal ini tidak jauh berbeda apa yang diketengahkan oleh Geertz (1960), di Jawa pengaruh relasi sosial yang disebut trikotomi antara abangan,santri dan priyayi. Pandangan hidup mempunyai dampak sosial politik yang bertahan lama. Studi ini berbeda dengan katagorisasi yang dilakukan oleh Faith,(1957) dan Faith dan Castles (1988) yang membagi aliran politik menjadi lima yaitu komunisme, nasionalisme radikal, tradisionalisme jawa, sosialisme demokrat dan Islam. Meskipun keberadaan partai politik pasca Orde Baru sebagai keberlanjutan partai-partai terdahulu namun secara ideologis hanya bedasarkan dua ideologi yang dominan yaitu Pancasila dan Islam. Demikian pula partai politik sebagai wadah kultural dan ideologi sekuler pada PDI Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Hanura. Sedangkan partai partai Islam direpresentasikan oleh partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP),Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB). Hal ini juga berbeda dengan Geertz (1963) dalam analisisnya mengenai partai politik 1950an secara lebih praktis menggambarkan wadah aliran tercermin pada empat partai politik 339
yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Sebagaimana dengan organisasi politiknya, masingmasing partai telah menjalin hubungan dengan institusi di komunitas dan masyarakat. Sebagai obyek studi penelitian ini berbasis komunitas kaum abangan dan kaum santri dan bukan partai politik sebagaimana penelitian Faith (1957), Gaffar (2000),King (2003) dan Ufen (2006). Akan tetapi hasil studi ini merupakan kontiunitas sebagaimana di sampaikan oleh dan Geertz (1960), Gaffar (2000),King (2003) dan Ufen (2006). Kaum abangan memiliki orientasi politik dan ekonomi yang berbeda dengan kaum santri. Kaum abangan cenderung memilih atau berpihak kepada partai politik yang tradisional,sekuler dan nasionalistik. Sedangkan kaum santri cenderung untuk memilih atau berpihak pada partai Islam. Realitas masyarakat seperti yang digambarkan Geertz (1960) memperlihatkan pengkategorian sosial budaya di Jawa yang disebut oleh Gaffar bersifat cummulative atau consolidated. Politik aliran dalam studi ini merupakan gerakan sosial dan partai politik, sebagaimana Geertz maksudkan. Pola aliran komunitas Sangkrah dan Kauman didasarkan pada sistem pandangan dunia yaitu Kejawen di Sangkrah dan Islam di Kauman yang terintegrasi dengan sistem sosial lokal. Pola perkembangan politik aliran di Indonesia (Jawa) bersifat manifes pada sistem politik demokrasi dan bersifat laten pada sistem politik otoritarian. Politik aliran yang berbasis ideologi dan kultur tidak bisa dipengaruhi secara total oleh kepentingan atau elit politik jika pemilihan umum dilaksanakan secara demokratis. Modernisasi terbukti
tidak
mampu
memudarkan
politik
aliran
hanya
mengubah
politik
kepartaian.Temuan mengonfirmasi Ufen (2006) bahwa politik aliran masih eksis di 340
basis politik komunitas kaum abangan di Sangkrah dan basis politik kepartaian di kaum santri di Kauman menunjukkan gejala melemah.
341