674
BAB VII PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada Bab-Bab sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan bahwa: A.1. Bentuk-bentuk perlindungan konsumen produk halal dan tayib dalam hukum Islam dan sertifikasi halal MUI diwujudkan melalui: a. Pengaturan prinsip maqashid syariah, prinsip kejujuran, dan prinsip absolut dalam penerapan sistem jaminan produk halal dan tayib. Prinsip maqashid syariah bertujuan untuk memelihara kesucian agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta konsumen dan pelaku usaha dalam kegiatan produksi, perdagangan, dan konsumsi produk di Indonesia agar sesuai dengan standar hukum Islam. Prinsip kejujuran bertujuan mewajibkan pelaku usaha menjelaskan semua bahan yang digunakan dan proses produksi yang dilakukan dalam menghasilkan produk halal dan tayib bagi kaum Muslimin. Prinsip absolut bertujuan agar semua bahan yang digunakan, proses produksi yang dilakukan, dan transaksi yang dilakukan dalam menghasilkan produk harus pasti kehalalan dan ketayibannya. b. Penetapan kehalalan dan keharaman produk dilakukan berdasarkan pada dalildalil al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saw.,serta Fatwa MUI atau Ijtimak Nasional Komisi Fatwa MUI. Dalil-dalil al-Quran tentang halal, tayib, dan haram, yang bersifat imperatif yaitu:
675
1) Perintah untuk memperhatikan makanan, berdasarkan QS.’Abasa (80): 24; 2) Perintah untuk memakan makanan yang halal, berdasarkan QS. al-Baqarah (2): 57, 168, 172, QS. al-Ma’ idah (5): 1, 4, 5, 88, QS. an-Nahl (16): 114, dan QS. Taha (20): 81; 3) Pengaturan tentang kehalalan makhluk secara umum, berdasarkan QS.alBaqarah (2): 29, QS. al-A’raf (7): 32, QS. al-Jasiyah (45): 13; 4) Larangan makan makanan yang diharamkan sehingga harus dihindari, berdasarkan QS. al-Baqarah (2): 173, 195, QS. al-Ma’ idah (5): 3, QS. anNahl (16): 115, QS. al-An’am (6): 145, QS. al-A’raf (7): 157; 5) Larangan minuman keras dan khamar yang diharamkan sehingga harus dihindari, berdasarkan QS. al-Baqarah (2): 219, QS. an-Nisa’ (4): 43, QS. al-Ma’ idah (5): 90, dan QS. an-Nahl (16): 67; 6) Larangan untuk mengharamkan atau menghalalkan makanan tanpa dalil syariat yang bersumber dari al-Quran dan sunnah, berdasarkan QS. al-Ma’ idah (5): 87 dan QS. an-Nahl (16): 116; 7) Larangan untuk melakukan tindakan yang membahayakan atau merugikan diri sendiri dan orang lain, berdasarkan QS. al-Baqarah (2): 195 dan QS. anNisa’ (4): 29. Dalil-dalil hadis Nabi Muhammad saw. tentang halal, tayib, dan haram, yang bersifat imperatif yaitu: 1) Perintah dan larangan berkaitan dengan kehalalan dan keharaman sesuatu yang dikonsumsi, berdasarkan Hadis No. 1028, 1293, 1301 dan 1302 HR. Bukhari dan Muslim;
676
2) Larangan bersikap ragu dalam menghadapi sesuatu yang akan dikonsumsi, subhat atau tidak?, berdasarkan HR. Bukhari; 3) Larangan jual beli produk haram, berdasarkan Hadis No. 1017, 1018, 1019, dan 1020 HR. Bukhari dan Muslim; Hadis No. 3460 HR. Bukhari dan Hadis No. 1582 HR. Muslim; Hadis No. 1579 HR. Muslim; Hadis No. 2236 HR. Bukhari dan Hadis No. 1581 HR. Muslim; dan Hadis No. 52 HR. Bukhari; 4) Sanksi bagi pengkonsumsi produk haram, berdasarkan Hadis No. 1303 HR. Bukhari dan Muslim. c. Pengaturan perlindungan konsumen melalui nilai hikmah produk halal dan tayib; bahwa segala perintah dan larangan Allah swt. mengenai halal, tayib, dan haram yang diimplementasikan pada produksi, perdagangan, dan konsumsi produk dimaksudkan untuk memberikan kebaikan, keamanan, keselamatan, dan kemanfaatan, serta melindungi kesucian agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan baik dalam posisi sebagai konsumen maupun pelaku usaha. d. Pengaturan perlindungan konsumen melalui nilai-nilai hikmah dalam produk halal dan tayib meliputi: 1) nilai hikmah kewajiban Tauhid dalam produk halal dan tayib yang berlaku khusus bagi Muslim; sedangkan nilai hikmah lainnya berlaku umum bagi semua orang yaitu: 2) nilai hikmah kepastian hukum dalam produk halal dan tayib; 3) nilai hikmah keadilan dalam produk halal dan tayib; 4) nilai hikmah kemanfaatan dalam produk halal dan tayib;
677
5) nilai hikmah universal dalam produk halal dan tayib; 6) nilai hikmah kebaikan dalam produk halal dan tayib; 7) nilai hikmah kebersihan dalam produk halal dan tayib; 8) nilai hikmah keselamatan/keamanan dalam produk halal dan tayib; 9) nilai hikmah kesehatan dalam produk halal dan tayib; 10) nilai hikmah kejujuran dalam produk halal dan tayib. A.2. Bentuk-bentuk perlindungan konsumen produk halal dan tayib dalam instrumen hukum sertifikasi dan labelisasi produk halal di Indonesia diwujudkan melalui: a. Relevansi pengaturan asas-asas hukum perlindungan konsumen yang berlaku nasional bagi konsumen Muslim, yaitu: 1) Asas manfaat, asas
keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan dan
keselamatan konsumen, serta asas kepastian hukum; sebagai asas-asas umum perlindungan konsumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 2) Asas keterbukaan dan keterpaduan serta asas kemandirian, kemitraan, dan keprofesionalan; sebagai asas-asas khusus penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; 3) Asas perikemanusiaan, asas pelindungan, asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban, asas gender dan nondiskriminatif, serta asas norma-norma agama; sebagai asas-asas khusus penyelenggaraan kesehatan dalam UndangUndang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
678
4) Asas kedaulatan, asas kemandirian, asas ketahanan, asas pemerataan, dan asas berkelanjutan; sebagai asas-asas khusus penyelenggaraan
pangan
dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan; b. Pengaturan perlindungan konsumen melalui peran negara bersifat kompleks sehingga perlu kerjasama harmonis antara Kementrian Agama dan kementrian lainnya dengan MUI dan LPPOM MUI sebagai organisasi keagamaan yang memiliki kewenangan menetapkan fatwa halal dalam rangka melaksanakan kegiatan pelayanan umat melalui sertifikasi produk halal dan tayib. c. Pengaturan perlindungan konsumen melalui nilai-nilai hikmah produk Indonesia harus ditingkatkan melalui penyusunan dan penerapan standar halal dan tayib produk Indonesia sehingga mampu memenuhi kebutuhan konsumen Muslim dalam negeri dan pasar halal internasional. A.3.Formulasi
bentuk-bentuk
perlindungan
konsumen
dalam
penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia diwujudkan melalui: a. Penguatan perlindungan konsumen melalui koneksi dan integrasi asas-asas jaminan produk halal dan tayib dengan asas-asas umum/khusus perlindungan konsumen
di
Indonesia.
Norma-norma,
standar,
dan
pedoman
penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia harus harmonis dengan perkembangan prinsip-prinsip hukum Islam, hukum perlindungan konsumen Indonesia dan hukum perdagangan internasional. b. Penguatan perlindungan konsumen melalui koneksi dan integrasi asas-asas hukum nasional, yaitu:
679
1) Asas kepentingan nasional, asas keamanan berusaha, asas akuntabel dan transparan, asas kemitraan, asas kesederhanaan, asas kebersamaan, dan asas berwawasan lingkungan; sebagai asas-asas khusus penyelenggaaraan perdagangan dalam
Undang-Undang No.
7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan; 2) Asas konsensus dan tidak memihak, asas transparansi dan keterbukaan, asas efektif dan relevan, asas koheren, asas dimensi pembangunan nasional; dan asas kompeten dan tertelusur; sebagai asas-asas khusus penyelenggaraan standarisasi dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian; 3) Asas perlindungan, asas akuntabilitas dan transparansi, asas efektifitas dan efisiensi,
serta
asas
profesionalitas;
sebagai
asas-asas
khusus
penyelenggaraan jaminan produk halal dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. c. Penguatan perlindungan konsumen melalui koneksi dan integrasi asas-asas hukum perdagangan internasional, yaitu: 1) Prinsip-Prinsip General Agreement on Tariff and Trade (GATT/WTO), yaitu: prinsip most-favoured nation; prinsip national treatment; prinsip larangan restriksi (pembatasan) kuantitatif; prinsip transparansi; prinsip resiprositas; berkembang;
dan
prinsip
perlakuan
khusus
bagi
negara
sedang
680
2) Prinsip-prinsip Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement), yaitu: prinsip transparansi dan notifikasi pada peraturan teknis, standar, dan prosedur penilaian kepatuhan; 3) Prinsip-prinsip
Agreement
on
Sanitary
and
Phytosanitary
(SPS
Agreement), yaitu: prinsip transparansi dan notifikasi serta prinsip pencegahan (precautionary) pada peraturan teknis, standar, dan prosedur penilaian kepatuhan. d. Penguatan perlindungan konsumen melalui peran aktif pemerintah sebagai wakil negara Indonesia yang memiliki mayoritas konsumen Muslim dalam organisasi negara Islam atau standar halal dan tayib regional dan intenasional. Indonesia harus menjadi anggota aktif dalam kerjasama saling mengakui dan menyusun bersama standar halal dan tayib pada organisasi Majelis Agama Brunai Darusalam, Indonesia, dan Malaysia (MABIMS), dan menjadi anggota organisasi negara-negara Islam yang menangani masalah penyelenggaraan jaminan halal dalam perdagangan internasional, yaitu SMIIC (Standard and Metrology Institutes of Islamic Countries).
Setelah menjadi anggota
dan
menerapkan standar halal yang sama maka produk halal dan tayib Indonesia dapat diterima dan diperdagangkan di negara anggota lainnya. e. Penguatan perlindungan konsumen melalui penyusunan standar produk halal dan tayib Indonesia, standar sertifikasi produk halal dan tayib Indonesia, dan standar label produk halal dan tayib Indonesia; yang harus disesuaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku secara nasional dan internasional.
681
f. Penguatan perlindungan konsumen melalui transformasi nilai-nilai hikmah produk halal dan tayib dalam hukum penyelenggaraan jaminan produk halal, hendaknya diperkuat untuk mencapai standar nilai berdasarkan hukum Islam melalui upaya penjabaran dalam
asas-asas, norma-norma, standar, dan
pedoman penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib yang
melindungi
konsumen dan pelaku usaha di Indonesia, yaitu. 1) penguatan nilai hikmah perlindungan negara dalam produk halal dan tayib Indonesia; 2) penguatan nilai hikmah kepastian hukum dalam produk halal dan tayib Indonesia; 3) penguatan nilai hikmah keadilan dalam produk halal dan tayib Indonesia; 4) penguatan nilai hikmah kemanfaatan dalam produk halal dan tayib Indonesia; 5) penguatan nilai hikmah universal dalam produk halal dan tayib Indonesia; 6) penguatan nilai hikmah kebaikan dalam produk halal dan tayib Indonesia; 7) penguatan nilai hikmah kebersihan dalam produk halal dan tayib Indonesia; 8) penguatan nilai hikmah keselamatan/keamanan dalam produk halal dan tayib Indonesia; 9) penguatan nilai hikmah kesehatan dalam produk halal dan tayib Indonesia; 10) penguatan nilai hikmah kejujuran dan transparansi informasi produk halal dan tayib Indonesia; 11) penguatan nilai hikmah toleransi dalam produk halal dan tayib Indonesia;
682
12) penguatan nilai hikmah ekonomis dan daya saing dalam produk halal dan tayib Indonesia. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian maka penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut: 1. Kepada Pemerintah Republik Indonesia agar segera menyusun norma, standar, kriteria halal dan tayib produk Indonesia sesuai ketentuan al-Quran, hadis, dan fatwa MUI; peraturan perundangan nasional, kesepakatan halal organisasi negara-negara Islam regional atau internasional, dan perjanjian perdagangan internasional. 2. Kepada Pemerintah Republik Indonesia agar segera menjadi anggota SMIIC (Standard and Metrology Institutes of Islamic Countries), agar produk halal dan tayib Indonesia dapat memenuhi standar halal SMIIC dan diterima di pasar halal inernasional yang lebih luas. 3. Kepada Pemerintah Republik Indonesia agar mengembangkan prinsip maqashid syariah, prinsip kejujuran, dan prinsip absolut sebagai prinsip perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal, yaitu dengan mengadopsi substansi fatwa-fatwa MUI tentang standar halal. 4. Kepada MUI dan LPPOM MUI agar meningkatkan peran sebagai lembaga fatwa dan lembaga pemeriksa halal sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal serta meningkatkan pembinaan dan pelayanan umat melalui pemberdayaan konsumen dan pembinaan pelaku usaha dalam mengkonsumsi produk halal dan tayib untuk
683
memenuhi ketentuan agama Islam. MUI dan LPPOM dapat menyusun buku fikih produksi produk halal dan tayib sesuai dengan kondisi, kebutuhan, kebiasaan, dan kenyakinan masyarakat Muslim Indonesia, sebagai penjelasan pelengkap buku kumpulan fatwa MUI yang telah beredar selama ini. 5. Kepada Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI),
Yayasan
Perlindungan Konsumen Muslim (YLKM), dan Lembaga Swadaya Masyarakat Perlindungan Konsumen lainnya; agar meningkatkan peran untuk melakukan pendidikan dan sosialisasi sistem jaminan produk halal pada konsumen dan pelaku usaha. 6. Kepada pelaku usaha agar meningkatkan kesadarannya untuk memenuhi hak konsumen Muslim dengan memproduksi dan memperdagangkan produk halal dan tayib, serta memberikan informasi produk yang benar secara jujur. Pelaku usaha harus konsisten menerapkan sistem jaminan produk halal ddan tayib agar dapat bertahan di pasar dalam negeri dan masuk pasar halal internasional. 7. Kepada konsumen Muslim agar meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan ketaatan untuk selalu mengkonsumsi produk halal dan tayib Indonesia dalam rangka memenuhi ketentuan agama Islam dan cinta produk dalam negeri. Konsumen Muslim harus bertindak cerdas dan teliti untuk memastikan bahwa produk yang akan dikonsumsi telah benar memenuhi ketentuan jaminan produk halal dan tayib. 8. Lembaga Pendidikan/Lembaga Pedidikan Agama Islam dari Paud sampai Perguruan Tinggi/Perguruan Tinggi Agama Islam; agar berperan serta dalam mengembangkan pendidikan mengenai hukum produk halal dan perlindungan
684
konsumen Muslim.
Lembaga Pedidikan Agama Islam agar berperan serta
mengembangkan pendidikan untuk menyiapkan berbagai kebutuhan SDM untuk mengembangkan produk halal dan tayib, membentuk unit penelitian dan pengembangan produk halal dan tayib.